Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Desa Karang Kembang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
pendidikan sebagaimana mestinya khususnya di daerah-daerah terpencil di wilayah Indonesia ini, padahal pemerintah sudah membuat program pendidikan
gratis. Mungkin kebanyakan dari warga masyarakat memang mempunyai jalan pikiran yang sempit atau kurangnya pengetahuan tentang pentingnya
pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan saat ini, karena pendidikan,
pengetahuan, wawasan, dan kemampuanlah yang akan membawa generasi muda penerus bangsa ini meraih cita-citanya sehingga membawa mereka
menuju jalan kesuksesan. Adapun tingkat pendidikan masyarakat Desa Karang Kembang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Karang Kembang
Tingkat Pendidikan Penduduk Jumlah
Usia penduduk 3-6 tahun yang masuk TKP.Group 224 orang Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah
818 orang Jumlah penduduk yang tamat SDsederajat
813 orang Jumlah penduduk yang tidak tamat SDsederajat
185 orang Jumlah penduduk yang tamat SLTPsederajat
497 orang Jumlah penduduk yang tidak tamat SLTPsederajat 152 orang
Jumlah penduduk yang tamat SLTAsederajat 409 orang
Jumlah penduduk yang tidak tamat SLTAsederajat 366 orang Tamat D-2
8 orang
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Tamat D-3 3 orang
Jumlah penduduk sedang S-1 17 orang
Tamat S-1 175 orang
Tamat S-2 26 orang
Julah penduduk cacat fisik dan mental 18 orang
Sumber Data: Daftar Isian Potensi Desa Karang Kembang Tahun 2015
Pendidikan di Desa Karang Kembang dari tahun per tahun mengalami peningkatan, yang dulunya masih banyak yang tidak sekolah sekarang sudah
sekolah semua. Bahkan yang mengenyam bangku kuliah juga banyak dan mengalami peningkatan hampir 20-30 dari lulusan SMA yang melanjutkan
ke jenjang Perguruan Tinggi. Pemikiran orang tua yang mengatakan bahwa, “Gawe opo sekolah dhuwur-dhuwur, sesok pastine mlayune nang dapur
gawene nyekel ulek-ulek” sudah tidak ada doktrin seperti itu, salah satu alasannya mungkin karena pengaruh zaman yang sudah modern seperti ini,
yang penting orang tua mampu, kalau pun orang tua tidak mampu bisa saja masuk perguruan tinggi melalui jalur lain, seperti jalur bidik misi, Untuk
lulusan SMP, apabila orang tua yang tidak sanggup membiayai sekolah anaknya, biasanya di pondokkan selama 3-4 tahun karena pondok juga
merupakan bagian dari pendidikan.
1
Namun, di sisi lain masih ada anak putri yang setelah lulus SMA itu dinikahkan oleh orang tuanya, karena mereka tidak mampu untuk melanjutkan
ke jenjang lebih tinggi, kemudian ada juga sebagian penduduk desa Karang
1
Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Kembang setelah lulus SMA mereka merantau ke luar kota seperti Surabaya dan lain-lain.
2
4. Keadaan Sosial Keagamaan Desa Karang Kembang Kegiatan keagamaan merupakan sarana untuk syiar agama, dengan
harapan masyarakat semakin mengerti dan memahami hal-hal yang dianjurkan dan dilarang dalam agama, pengikut kegiatan rohani semakin meningkat, hal
ini menunjukkan mulai tumbuhnya kesadaran untuk mencari ilmu, utamanya ilmu keagamaan. Hal ini juga ditandai dengan banyaknya kegiatan keagamaan
yang terdapat di Desa Karang Kembang, seperti Selain itu dapat dilihat dengan bertambahknya Taman Pendidikan Al-
Quran TPA di daerah-daerah yang merupakan salah satu fasilitas untuk menuntut ilmu terutama anak-anak. Di bawah ini tabel tempat ibadah
masyarakat di Desa Karang Kembang. Tabel 3.6
Masjid 3 bangunan
Musolla 25 bangunan
Pondok Pesantren 1 bangunan
Sumber Data: Daftar Isian Potensi Desa Karang Kembang Tahun 2015
Adapun beberapa klasifikasinya sebagai berikut: a. Penduduk yang beragama Islam
1 Laki-laki : 2.342 orang
2
Andri Sutiawan, Wawancara, Karang Kembang, 27 Mei 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2 Perempuan : 2.262 orang
b. Penduduk yang beragama Kristen 1 Laki-laki
: 5 orang 2 Perempuan
: 7 orang Penduduk desa Karang Kembang memiliki karakteristik budaya yang
bernuansa Islam dengan corak dan tradisi yang di latar belakangi ajaran islam. Hal ini tercermin pada berbagai macam kegiatan keagamaan yang berkembang
di masyarakat. Adapun kegiatan keagamaan masyarakat desa Karang Kembang antara lain diadakannya jama’ah
tahlil dan yasinan setiap satu minggu sekali yaitu pada hari kamis malam jum’at, di laksanakan tiap RT baik
laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada pula jamaah manaqib yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali pada hari senin malam selasa, Di desa
Karang Kembang ada kelompok diba’an biasanya dilaksanakan bergilir dari rumah ke rumah. Ada juga grup
hadrahan untuk anak muda, dan grup gambus.
3
.
3
Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB III TRADISI LEMPAR AYAM DI GUNUNG PEGAT LAMONGAN
A.
Deskripsi Tentang Tradisi Lempar Ayam di Gunung Pegat Lamongan
1. Latar Belakang Munculnya Tradisi Lempar Ayam di Gunung Pegat.
Kepercayaan tentang adanya Mitos Gunung Pegat di Desa Karang Kembang sangat di yakini oleh banyak kalangan di masyarakat hingga saat
ini, bukan hanya yang bermukim di sekitar Gunung Pegat saja tapi juga masyarakat dari daerah lain di luar Kabupaten Lamongan, seperti Jombang,
Bojonegoro, Tuban dan sekitarnya. Bagi generasi muda sekarang ini tidak ada yang tahu persis tentang asal-muasal sejarah dari mitos Gunung Pegat,
kepercayaan tersebut hanya diketahui dari cerita nenek moyang terdahulu dan memang harus diyakini oleh mereka hingga saat ini.
Ada beberapa pendapat mengenai awal mula munculnya tradisi lempar ayam di Gunung Pegat Lamongan menurut masyarakat di Desa Karang
Kembang.
“Jaman biyen ono anake Kanjeng Jombang seng topo nang njero gua pucak wangi ono ing gunung pegat. Saking suwine topo sampek taun-taunan, akhire anake Kanjeng
Jombang mau dadi ulo. Karo wong pucak wangi ulo kuwi dilulangi utowo dikuliti gak ngertine lek ulo kuwi jelmaan. Akhire ulo mau ngamuk, gununge arepe di ledakno utowo
di laharno. Konon ulo kuwi sampek saiki isek ono, jarene wong seng duwe ilmu utowo wong pinter, ulo mau dowo banget lan gedhe mlungkeri gunung pegat, Mangkane biasae
kemanten anyar arepe kawin lan nglewati gunung pegat kudu amit utowo permisi nggawe coro nguncalno pitek kampung werno ireng”.
1
Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sekdes Karang Kembang bahwasanya dahulu ada putra Kanjeng Jombang yang sedang bersemedi di
Gunung Pegat hingga bertahun-tahun sehingga putera Kanjeng Jombang
1
Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
tersebut berubah menjadi seekor ular yang sangat besar. Ular tersebut sangat marah dan murka karena tubuhnya dikuliti oleh warga setempat yang tidak
tahu kalau ular itu adalah jelmaan dari putera Kanjeng Jombang. Konon sampai sekarang ular itu masih ada dan tubuhnya mengitari gunung pegat
tersebut. Oleh sebab itu apabila calon pengantin baru yang mau menikah harus permisi dengan melempar ayam hitam di sekitar gunung pegat tersebut.
Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa :
“Diarani Gunung Pegat amergo awale gunung iku siji. Nalika jaman wong Londo, gunung kuwi disigar dadi loro amergo wong Londo butuh dalan gawe jalur Babat-
Jombang, Sakurunge wong Londo teko, Jaman biyen ono Putera lan Puteri sing topo nang njero gunung pegat. Putera lan Puteri saling tresno. Nalika wong Londo teko
gunung kuwi dipedot, Akhire Putera lan Puteri pisahan karo nguncalno pitek kampung amergo gawe tolak balak ben wong seng nglewati gunung pegat slamer ora pegatan”.
2
Seperti yang dikatakan oleh Kasi Haji bahwa gunung pegat itu awalnya gunung pegat itu satu, berbentuk panjang dan menbentang luas. Pada jaman
belanda, gunung yang aslinya satu kemudian dipisah oleh jalan raya karena pada saat itu penjajah Belanda membutuhkan jalan penghubung antara Babat-
Jombang. Maka dari itu gunung tersebut dinamakan Gunung Pegat. Sebelum masa Belanda, konon dulu ada seorang Putera dan Puteri yang sedang bertapa
di Gunung tersebut. Putera dan Puteri tersebut saling mencintai. Namun, karena gunung tersebut dipegatdipisah oleh jalan pada jaman Belanda maka
berpisahlah Putra dan Putri tersebut. Saat berpisah, Putra dan Putri tersebut sengaja melempar ayam kampung berwarna hitam,
“Ananing nggawe pitek amergo wong jowo ngarani gawe tolak balak apese awak”. Artinya agar
2
Kasi Haji, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
nambah umur pengantin yang akan menikah melewati gunung pegat tersebut selamat dan tidak pegatan. Konon dalam gunung tersebut ada sebuah ukiran
seperti relief gambar Putera dan Puteri, namun sekarang relief tersebut sudah hancur. Sama halnya dengan pendapat dari Ketua LPM Desa Karamg
Kembang
“Gunung Pegat tersebut terpisah menjadi dua yakni sebelah timur dan barat, gunung yang sebelah timur itu dinamakan gunung putra, sedangkan gunung yang sebelah
barat dinamakan gunung putri, ketika jaman belanda ternyata gunung tersebut di pisah guna untu jalan raya, maka dari itu pengantin yang baru mau menikah dan melewati
gunung pegat disuruh untuk melempar ayam hitam”.
3
Seperti yang telah dipaparkan oleh beberapa narasumber di atas artinya tradisi dan mitos itu menyangkut sejarah atau dongeng lisan pada masa
lampau yang diturunkan secara simbolis dari generasi ke generasi dan mempunyai makna bagi masyarakat tertentu. Sebagian masyarakat percaya
akan mitos tersebut, sehingga setiap kali ada calon pengantin baru yang mau menikah, mereka pasti melempar ayam di sekitar gunung pegat tersebut.
Menurut pendapat salah satu tokoh masyarakat, sebelum melakukan tradisi melempar ayam tidak ada bacaan khusus akan tetapi cuma doa pribadi
atau doa sehari-hari dalam hati “ Bismillah semoga pernikahan saya langgeng
dan lancar”.
4
Kemudian ayamnya dilempar di sebelah kiri jalan agar tidak tertabrak oleh kendaraan yang melintas di jalan raya. Tidaka ada aturan atau
syarat untuk pelaku yang melempar ayam, “Gak kudu kemanten seng
3
M. Khoiruddin, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
4
Amiruddin, Wawancara, Babat, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
nguncalno piteke,.
5
Itu artinya tidak ada pranata yang mengatur dalam proses tradisi lempar ayam, hanya saja harus menggunakan ayam yang berrwarna
hitam. Dari pendapat para tokoh-tokoh masyarakat di atas, artinya lempar ayam
merupakan prosesi atau cara yang dilakukan oleh calon pengantin baru yang mau menikah dan melewati Gunung Pegat, dengan menggunakan sarana ayam
kampung yang berwarna hitam. Sedangkan ayam kampung yang berwarna hitam menurut orang Jawa mempunyai makna sebagai simbol
tolak balak apese awak, yang bertujuan untuk menghindari ketidakbahagiaan rumah
tangga, seperti rejekinya sulit, tidak mempunyai keturunan, salah satu keluarga ada yang meninggal, dan lain sebagainya.
2. Pendapat Tokoh-Tokoh Masyarakat Terhadap Tradisi Lempar Ayam di
Gunung Pegat. Beberapa pendapat dari masyarakat di Desa Karang Kembang. Salah
satunya dari Sekdes Karang Kembang, beliau mengatakan bahwa :
“Tradisi lempar ayam di gunung pegat itu sebenarnya hanya mitos saja. Tergantung kita sebagai manusia itu mempercayai atau tidak. Kalau kita mempercayai
akan mitos tersebut, bisa saja hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Namun, kalau dalam hati kita tidak percaya akan mitos tersebut, maka hal demikian tidak akan terjadi.
Kalau pun terjadi itu bukan karena masalah tidak melempar ayam, namun itu semua sudah kehendak Tuhan”
6
Memang benar yang dikatakan oleh Bapak Hasan selaku Sekretaris Desa bahwa tradisi lempar ayam itu hanya mitos saja. Jadi tidak perlu dipercaya.
5
Nasram, Wawancara, Kedungpring, 7 Juni 2016
6
Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
Beliau mengibaratkan saat kita berobat ke dokter, apabila kita percaya kepada dokter kalau dengan berobat bisa sembuh maka kita akan sembuh, namun
apabila kita tidak percaya kepada dokter, maka kita tidak bisa sembuh. Hal tersebut disebabkan karena sugesti kita sendiri. Tradisi itu semacam kebiasaan
yang diwariskan ke masyarakat dari nenek moyang terdahulu hingga saat ini,
“Dulu pernah dengar terjadi kecelakaan hingga menewaskan sembilan orang pengiring meninggal di depan bulog desa Karang Kembang, konon gara-gara tidak
melempar ayam. Saya pribadi kalau mitos itu tidak begitu saya perhatikan. Kembali pribadi masing-masing karena tiap orang berbeda-beda”.
7
Namun, ada juga sebagian masyarakat meyakini adanya mitos tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Suwarning yang mengatakan bahwa :
“Saya sendiri mengalami sendiri, gara-gara tidak melempar selama Sembilan tahun menikah tidak dikaruniai anak. Dan akhirnya saya pegatan. Dulu saya punya
teman yang kebetulan tanggal pernikahannya sama, karena tidak melempar akhirnya di bulan yang sama pegatan juga. Sawise pegatan karo bojoku, aku dirasani tonggo ngalur
ngidul jarene tonggoku
salahe wingi dikongkon nguncalno pitek gak gelem.
8
Pelaku lempar ayam yang bernama Ibu Supiyah juga percaya akan mitos apabila tidak melempar suatu saat pasti pegatan karena sudah banyak yang
mengalaminya, beliau menganggap bahwa ayam kampung tersebut adalah sebagai cucuk bakal persyaratan pengantin yang menikah dari jalur utara-
selatan atau selatan-utara agar tidak pegatan. Ada hukum mutlak yang menurutnya harus dipatuhi.
Itu artinya sebagian dari masyarakat masih percaya akan mitos tersebut, bahkan mereka sudah mengatakan kalau tidak melempar ayam, maka suatu
7
M. Khoiruddin. Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016
8
Suwarning, Wawancara, Kedungpring, 7 Juni 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
saat pasti akan pegatan. Dapat dilihat bahwa daalam suatu masyarakat sudah pasti ada yang namanya norma-norma sosial yang berlaku dan harus
dilaksanakan, apabila masyarakat setempat tidak melaukan norma sosial yang ditetapkan maka akan menerima konsekuensinya, salah satu contoh yaitu
dalam tradisi lempar ayam, apabila ada calon pengantin baru yang mau menikah dan melewati gunung pegat maka harus melaksanakan norma
tersebut, yakni melempar ayam di sekitar gunung pegat. Hal demikian menjadi perhatian khusus bagi masyarakat setempat, dan apabila tidak patuh pada
norma sosial yang berlaku maka akan digunjing oleh banyak orang atau dibuat bahan omongan masyarakat setempat.
Ada pendapat dari orang pintar desa tersebut juga mempercayai akan mitos tersebut, Namun beliau melakukan penilaian secara subjektif yang
mengatakan bahwa:
“Biasae seng gak melu adat nguncalno pitek kuwi wong Muhammadiyah,”
9
Di sini ada sedikit pertentangan atau perselisihan mengenai perbedaan paham atau aliran yang membuat orang mempunyai dokrin atau ajaran
masing-masing, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa antara Nahdlotul Ulama NU ataupun Muhammadiyah itu tidak ada hubungan sebab-akibat yang
menjadikan alasan seseorang untuk melakukan tradisi tersebut. Karena pada prinsipnya paham Muhammadiyah atau Nahdlotul Ulama NU juga tidak
mempercayai hal-hal yang mengenai mitos, karena percaya akan sesuatu yang
9
Makrun, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juli 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
melebihi kekuatan Allah SWT itu dinamakan syirik. Antara Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama NU itu sama, tidak ada ajaran mengenai hal-hal seperti
itu, mereka hanya percaya akan kebenaran yang telah dituliskan dalam Al- Quran dan Al-Hadits
Kebanyakan orang atau kelompok masyarakat yang melakukan tradisi dan masih mempercayai mitos tersebut itu sesepuh-sesepuh desa atau mereka yang
beraliran kejawen. Biasanya aliran tersebut masih kental dengan mitos-mitos dan pola pikir mereka masih mempercayai bahwa semua benda-benda yang
dialam semeseta ini bernyawa dan bisa memberikan keselamatan atau kesengsaraan
Tidak semua orang percaya akan mitos tersebut, terbukti ketika sang mempelai pengantin wanita yang bernama Vira mau menikah dengan sang
mempelai putra dari Madura dan melewati gunung pegat, Ia tidak melakukan tradisi itu.
“Itu hanya mitos saja, jadi tidak perlu dipercaya, semua yang terjadi sudah ada yang mengatur”.
10
Itu artinya tidak semua masyarakat melakukan tradisi tersebut dan tidak percaya terhadap mitos Gunung Pegat.
Mereka hanya percaya takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Mitos hanyalah cerita yang tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke genarasi
yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Kemudian
ada pula sebagian masyarakat memilih cara lain, mereka tidak ingin percaya dengan adanya perceraian akibat mitos Gunung Pegat dan tidak ingin
10
Vira, Wawancara, Kedungpring, 5 Agustus 2016
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
melakukan kebiasaan membuanga ayam di sekitar Gunung Pegat. Jadi jika ada pengantin baru yang sekiranya akan melewati Gunung pegat, maka mereka lebih
memilih jalan memutar untuk menghindari Gunung Pegat tanpa perlu melakukan kebiasaan membuang ayam tersebut, misalkan mempelai pria bertempat tinggal di
Mojokerto sedangkan mempelai wanita bertempat tinggal di Lamongan maka untuk menghindari Gunung Pegat mereka akan memilih jalan memutar melewati Jombang.
Jadi, tentang adanya kepercayaan tersebut kembali pada pribadi masing- masing, bagaimana setiap orang meyakini dengan adanya kepercayaan seperti
demikian, karena semua hal yang terjadi di dunia tentu saja atas kehendak Yang Maha Esa. Jika seseorang yakin tidak akan terjadi apapun dengan rumah
tangganya kelak, meskipun tidak mengikuti kebiasaan yang sudah dipercayai masyarakat sekitar, maka tidak akan terjadi apapun, namun sebaliknya jika
seseorang merasa ragu dan khawatir dengan adanya kepercayaan tersebut namun tidak melaksanakannya maka kemungkinan besar apa yang dipercayai
akan benar-benar terjadi. Penulis menganalisa bahwa alasansebab calon pengantin baru yang mau
menikah, ketika melewati gunung pegat kemudian melempar ayam yaitu memang mereka mengikuti adat istiadat atau sejarah yang sudah ditentukan
oleh para pendahulu atau nenek moyang, akan tapi harusnya adat-adat seperti itu perlu dihilangkan sedikit demi sedikit. Karena hal seperti itu merupakan
kebiasaan yang tidak baik, dan bisa membawa manusia kearah sesatan, hal-hal mengenai budaya, adat, atau yang berbau mistis semestinya dikurangidihapus
karena itu hanya mitos saja jadi tidak perlu diyakini atau diimani. Mungkin
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
orang di luar daerah yang menikah dengan orang daerah sini dan mereka tidak tahu akan adanya hal semacam itu otomatis mereka tidak akan melempar tapi
semua tergantung pada pemikirannya masing-masing. Bagi pasangan pengantin baru muslim seharusnya tidak boleh merasa
khawatir dan takut saat melewati jalan raya gunung pegat. Yakin saja tidak akan terjadi apapun, karena tidak ada yang menimpakan mudharat kecuali
Allah. Kita sebagai manusia hanyalah korban dari orang-orang terdahulu saja. Mitos seperti itu tidak perlu dipercaya karena semua yang terjadi di alam
semesta ini sudah ada yang mengatur, ada Dzat yang Maha Besar dan Maha Mengetahui.
Keyakinan tersebut juga bertentangan dengan Firman Allah SWT dalam QS.
Al- An’am ayat 17 dan QS. Yunus ayat 107 di bawah ini:
ْنِإَو َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ
ُﻪﱠﻠﻟا ﱟﺮُﻀِﺑ
َﻼَﻓ َﻒِﺷﺎَﻛ
ُﻪَﻟ ﱠﻻِإ
َﻮُﻫ ْنِإَو
َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ ِﺑ
ٍﺮْﻴَﺨ َﻮُﻬَـﻓ
ﻰَﻠَﻋ ﱢﻞُﻛ
ٍءْﻲَﺷ ﺪَﻗ
Artinya : “Jika Allah SWT, menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika
Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.”
َو ِﻪِﺑ ُﺐﻴِﺼُﻳ ِﻪِﻠْﻀَﻔِﻟ ﱠداَر َﻼَﻓ ٍﺮْﻴَﺨِﺑ َكْدِﺮُﻳ ْنِإَو َﻮُﻫ ﱠﻻِإ ُﻪَﻟ َﻒِﺷﺎَﻛ َﻼَﻓ ﱟﺮُﻀِﺑ ُﻪﱠﻠﻟا َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ ْنِإ
ْﻦَﻣ
ُﻢﻴِﺣﱠﺮﻟا ُرﻮُﻔَﻐْﻟا َﻮُﻫَو ِﻩِدﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ ُءﺎَﺸَﻳ
Artinya : “Jika Allah SWT, menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah
SWT, menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dua ayat di atas menggambarkan bahwa kemudharatan, keburukan,
kemanfaatan, dan kebaikan, semuanya berada di bawah kekuasaan Allah SWT. Dialah pemilik semuanya, segala hal baik dan buruk yang terjadi di dunia ini
sudah ada yang mengatur dan semua itu kembali kepada Allah yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menimpakan semua itu atas hamba-
hamba-Nya dan sesuai kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa menganulir dan mengubah keputusan-Nya. Tidak ada pula yang bisa menolak ketetapan-Nya.
Sehingga manusia haruslah beribadah kepada-Nya semata dan tidak berdoa memohon kecuali kepada-Nya. Serta tidak mempercayai suatu hal apapun
kecuali pada Allah SWT. Begitu pula dengan keberadaan Mitos Perceraian Gunung Pegat yang
tidak seharusnya di percayai hingga saat ini, kepercayaan Gunung Pegat yang dapat mengakibatkan suatu perceraian dapat menimbulkan kemudharatan
serta bertentangan dengan Firman Allah SWT, seperti yang tercantum pada ayat di atas. Begi pengantin baru yang melewati gunung pegat, diharapkan
bertawakal saja kepada Allah SWT, agar tidak terjadi satupun hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangganya kelak meskipun tidak melakukan
kebiasaan membuang ayam di sekitar gunung pegat. Tidak ada suatu keburukan kecuali Allah SWT, yang mendatangkannya.
Maka bila terjadi suatu perceraian atau hal-hal buruk yang terjadi dalam
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
rumah tangga karena ada pengantin baru yang melewati Gunung Pegat namun tidak melakukan kebiasaan membuang ayam yang telah dipercayai, maka
semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan perceraian akibat mitos Gunung Pegat.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI “LEMPAR AYAM” DALAM
PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR