Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Desa Karang Kembang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id pendidikan sebagaimana mestinya khususnya di daerah-daerah terpencil di wilayah Indonesia ini, padahal pemerintah sudah membuat program pendidikan gratis. Mungkin kebanyakan dari warga masyarakat memang mempunyai jalan pikiran yang sempit atau kurangnya pengetahuan tentang pentingnya pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan bagi kehidupan saat ini, karena pendidikan, pengetahuan, wawasan, dan kemampuanlah yang akan membawa generasi muda penerus bangsa ini meraih cita-citanya sehingga membawa mereka menuju jalan kesuksesan. Adapun tingkat pendidikan masyarakat Desa Karang Kembang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 3.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Karang Kembang Tingkat Pendidikan Penduduk Jumlah Usia penduduk 3-6 tahun yang masuk TKP.Group 224 orang Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah 818 orang Jumlah penduduk yang tamat SDsederajat 813 orang Jumlah penduduk yang tidak tamat SDsederajat 185 orang Jumlah penduduk yang tamat SLTPsederajat 497 orang Jumlah penduduk yang tidak tamat SLTPsederajat 152 orang Jumlah penduduk yang tamat SLTAsederajat 409 orang Jumlah penduduk yang tidak tamat SLTAsederajat 366 orang Tamat D-2 8 orang digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Tamat D-3 3 orang Jumlah penduduk sedang S-1 17 orang Tamat S-1 175 orang Tamat S-2 26 orang Julah penduduk cacat fisik dan mental 18 orang Sumber Data: Daftar Isian Potensi Desa Karang Kembang Tahun 2015 Pendidikan di Desa Karang Kembang dari tahun per tahun mengalami peningkatan, yang dulunya masih banyak yang tidak sekolah sekarang sudah sekolah semua. Bahkan yang mengenyam bangku kuliah juga banyak dan mengalami peningkatan hampir 20-30 dari lulusan SMA yang melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi. Pemikiran orang tua yang mengatakan bahwa, “Gawe opo sekolah dhuwur-dhuwur, sesok pastine mlayune nang dapur gawene nyekel ulek-ulek” sudah tidak ada doktrin seperti itu, salah satu alasannya mungkin karena pengaruh zaman yang sudah modern seperti ini, yang penting orang tua mampu, kalau pun orang tua tidak mampu bisa saja masuk perguruan tinggi melalui jalur lain, seperti jalur bidik misi, Untuk lulusan SMP, apabila orang tua yang tidak sanggup membiayai sekolah anaknya, biasanya di pondokkan selama 3-4 tahun karena pondok juga merupakan bagian dari pendidikan. 1 Namun, di sisi lain masih ada anak putri yang setelah lulus SMA itu dinikahkan oleh orang tuanya, karena mereka tidak mampu untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, kemudian ada juga sebagian penduduk desa Karang 1 Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Kembang setelah lulus SMA mereka merantau ke luar kota seperti Surabaya dan lain-lain. 2 4. Keadaan Sosial Keagamaan Desa Karang Kembang Kegiatan keagamaan merupakan sarana untuk syiar agama, dengan harapan masyarakat semakin mengerti dan memahami hal-hal yang dianjurkan dan dilarang dalam agama, pengikut kegiatan rohani semakin meningkat, hal ini menunjukkan mulai tumbuhnya kesadaran untuk mencari ilmu, utamanya ilmu keagamaan. Hal ini juga ditandai dengan banyaknya kegiatan keagamaan yang terdapat di Desa Karang Kembang, seperti Selain itu dapat dilihat dengan bertambahknya Taman Pendidikan Al- Quran TPA di daerah-daerah yang merupakan salah satu fasilitas untuk menuntut ilmu terutama anak-anak. Di bawah ini tabel tempat ibadah masyarakat di Desa Karang Kembang. Tabel 3.6 Masjid 3 bangunan Musolla 25 bangunan Pondok Pesantren 1 bangunan Sumber Data: Daftar Isian Potensi Desa Karang Kembang Tahun 2015 Adapun beberapa klasifikasinya sebagai berikut: a. Penduduk yang beragama Islam 1 Laki-laki : 2.342 orang 2 Andri Sutiawan, Wawancara, Karang Kembang, 27 Mei 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 2 Perempuan : 2.262 orang b. Penduduk yang beragama Kristen 1 Laki-laki : 5 orang 2 Perempuan : 7 orang Penduduk desa Karang Kembang memiliki karakteristik budaya yang bernuansa Islam dengan corak dan tradisi yang di latar belakangi ajaran islam. Hal ini tercermin pada berbagai macam kegiatan keagamaan yang berkembang di masyarakat. Adapun kegiatan keagamaan masyarakat desa Karang Kembang antara lain diadakannya jama’ah tahlil dan yasinan setiap satu minggu sekali yaitu pada hari kamis malam jum’at, di laksanakan tiap RT baik laki-laki dan perempuan. Selain itu, ada pula jamaah manaqib yang dilaksanakan setiap satu minggu sekali pada hari senin malam selasa, Di desa Karang Kembang ada kelompok diba’an biasanya dilaksanakan bergilir dari rumah ke rumah. Ada juga grup hadrahan untuk anak muda, dan grup gambus. 3 . 3 Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB III TRADISI LEMPAR AYAM DI GUNUNG PEGAT LAMONGAN A. Deskripsi Tentang Tradisi Lempar Ayam di Gunung Pegat Lamongan 1. Latar Belakang Munculnya Tradisi Lempar Ayam di Gunung Pegat. Kepercayaan tentang adanya Mitos Gunung Pegat di Desa Karang Kembang sangat di yakini oleh banyak kalangan di masyarakat hingga saat ini, bukan hanya yang bermukim di sekitar Gunung Pegat saja tapi juga masyarakat dari daerah lain di luar Kabupaten Lamongan, seperti Jombang, Bojonegoro, Tuban dan sekitarnya. Bagi generasi muda sekarang ini tidak ada yang tahu persis tentang asal-muasal sejarah dari mitos Gunung Pegat, kepercayaan tersebut hanya diketahui dari cerita nenek moyang terdahulu dan memang harus diyakini oleh mereka hingga saat ini. Ada beberapa pendapat mengenai awal mula munculnya tradisi lempar ayam di Gunung Pegat Lamongan menurut masyarakat di Desa Karang Kembang. “Jaman biyen ono anake Kanjeng Jombang seng topo nang njero gua pucak wangi ono ing gunung pegat. Saking suwine topo sampek taun-taunan, akhire anake Kanjeng Jombang mau dadi ulo. Karo wong pucak wangi ulo kuwi dilulangi utowo dikuliti gak ngertine lek ulo kuwi jelmaan. Akhire ulo mau ngamuk, gununge arepe di ledakno utowo di laharno. Konon ulo kuwi sampek saiki isek ono, jarene wong seng duwe ilmu utowo wong pinter, ulo mau dowo banget lan gedhe mlungkeri gunung pegat, Mangkane biasae kemanten anyar arepe kawin lan nglewati gunung pegat kudu amit utowo permisi nggawe coro nguncalno pitek kampung werno ireng”. 1 Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Sekdes Karang Kembang bahwasanya dahulu ada putra Kanjeng Jombang yang sedang bersemedi di Gunung Pegat hingga bertahun-tahun sehingga putera Kanjeng Jombang 1 Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id tersebut berubah menjadi seekor ular yang sangat besar. Ular tersebut sangat marah dan murka karena tubuhnya dikuliti oleh warga setempat yang tidak tahu kalau ular itu adalah jelmaan dari putera Kanjeng Jombang. Konon sampai sekarang ular itu masih ada dan tubuhnya mengitari gunung pegat tersebut. Oleh sebab itu apabila calon pengantin baru yang mau menikah harus permisi dengan melempar ayam hitam di sekitar gunung pegat tersebut. Ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa : “Diarani Gunung Pegat amergo awale gunung iku siji. Nalika jaman wong Londo, gunung kuwi disigar dadi loro amergo wong Londo butuh dalan gawe jalur Babat- Jombang, Sakurunge wong Londo teko, Jaman biyen ono Putera lan Puteri sing topo nang njero gunung pegat. Putera lan Puteri saling tresno. Nalika wong Londo teko gunung kuwi dipedot, Akhire Putera lan Puteri pisahan karo nguncalno pitek kampung amergo gawe tolak balak ben wong seng nglewati gunung pegat slamer ora pegatan”. 2 Seperti yang dikatakan oleh Kasi Haji bahwa gunung pegat itu awalnya gunung pegat itu satu, berbentuk panjang dan menbentang luas. Pada jaman belanda, gunung yang aslinya satu kemudian dipisah oleh jalan raya karena pada saat itu penjajah Belanda membutuhkan jalan penghubung antara Babat- Jombang. Maka dari itu gunung tersebut dinamakan Gunung Pegat. Sebelum masa Belanda, konon dulu ada seorang Putera dan Puteri yang sedang bertapa di Gunung tersebut. Putera dan Puteri tersebut saling mencintai. Namun, karena gunung tersebut dipegatdipisah oleh jalan pada jaman Belanda maka berpisahlah Putra dan Putri tersebut. Saat berpisah, Putra dan Putri tersebut sengaja melempar ayam kampung berwarna hitam, “Ananing nggawe pitek amergo wong jowo ngarani gawe tolak balak apese awak”. Artinya agar 2 Kasi Haji, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id nambah umur pengantin yang akan menikah melewati gunung pegat tersebut selamat dan tidak pegatan. Konon dalam gunung tersebut ada sebuah ukiran seperti relief gambar Putera dan Puteri, namun sekarang relief tersebut sudah hancur. Sama halnya dengan pendapat dari Ketua LPM Desa Karamg Kembang “Gunung Pegat tersebut terpisah menjadi dua yakni sebelah timur dan barat, gunung yang sebelah timur itu dinamakan gunung putra, sedangkan gunung yang sebelah barat dinamakan gunung putri, ketika jaman belanda ternyata gunung tersebut di pisah guna untu jalan raya, maka dari itu pengantin yang baru mau menikah dan melewati gunung pegat disuruh untuk melempar ayam hitam”. 3 Seperti yang telah dipaparkan oleh beberapa narasumber di atas artinya tradisi dan mitos itu menyangkut sejarah atau dongeng lisan pada masa lampau yang diturunkan secara simbolis dari generasi ke generasi dan mempunyai makna bagi masyarakat tertentu. Sebagian masyarakat percaya akan mitos tersebut, sehingga setiap kali ada calon pengantin baru yang mau menikah, mereka pasti melempar ayam di sekitar gunung pegat tersebut. Menurut pendapat salah satu tokoh masyarakat, sebelum melakukan tradisi melempar ayam tidak ada bacaan khusus akan tetapi cuma doa pribadi atau doa sehari-hari dalam hati “ Bismillah semoga pernikahan saya langgeng dan lancar”. 4 Kemudian ayamnya dilempar di sebelah kiri jalan agar tidak tertabrak oleh kendaraan yang melintas di jalan raya. Tidaka ada aturan atau syarat untuk pelaku yang melempar ayam, “Gak kudu kemanten seng 3 M. Khoiruddin, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 4 Amiruddin, Wawancara, Babat, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id nguncalno piteke,. 5 Itu artinya tidak ada pranata yang mengatur dalam proses tradisi lempar ayam, hanya saja harus menggunakan ayam yang berrwarna hitam. Dari pendapat para tokoh-tokoh masyarakat di atas, artinya lempar ayam merupakan prosesi atau cara yang dilakukan oleh calon pengantin baru yang mau menikah dan melewati Gunung Pegat, dengan menggunakan sarana ayam kampung yang berwarna hitam. Sedangkan ayam kampung yang berwarna hitam menurut orang Jawa mempunyai makna sebagai simbol tolak balak apese awak, yang bertujuan untuk menghindari ketidakbahagiaan rumah tangga, seperti rejekinya sulit, tidak mempunyai keturunan, salah satu keluarga ada yang meninggal, dan lain sebagainya. 2. Pendapat Tokoh-Tokoh Masyarakat Terhadap Tradisi Lempar Ayam di Gunung Pegat. Beberapa pendapat dari masyarakat di Desa Karang Kembang. Salah satunya dari Sekdes Karang Kembang, beliau mengatakan bahwa : “Tradisi lempar ayam di gunung pegat itu sebenarnya hanya mitos saja. Tergantung kita sebagai manusia itu mempercayai atau tidak. Kalau kita mempercayai akan mitos tersebut, bisa saja hal yang tidak diinginkan akan terjadi. Namun, kalau dalam hati kita tidak percaya akan mitos tersebut, maka hal demikian tidak akan terjadi. Kalau pun terjadi itu bukan karena masalah tidak melempar ayam, namun itu semua sudah kehendak Tuhan” 6 Memang benar yang dikatakan oleh Bapak Hasan selaku Sekretaris Desa bahwa tradisi lempar ayam itu hanya mitos saja. Jadi tidak perlu dipercaya. 5 Nasram, Wawancara, Kedungpring, 7 Juni 2016 6 Achmad Hasan, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Beliau mengibaratkan saat kita berobat ke dokter, apabila kita percaya kepada dokter kalau dengan berobat bisa sembuh maka kita akan sembuh, namun apabila kita tidak percaya kepada dokter, maka kita tidak bisa sembuh. Hal tersebut disebabkan karena sugesti kita sendiri. Tradisi itu semacam kebiasaan yang diwariskan ke masyarakat dari nenek moyang terdahulu hingga saat ini, “Dulu pernah dengar terjadi kecelakaan hingga menewaskan sembilan orang pengiring meninggal di depan bulog desa Karang Kembang, konon gara-gara tidak melempar ayam. Saya pribadi kalau mitos itu tidak begitu saya perhatikan. Kembali pribadi masing-masing karena tiap orang berbeda-beda”. 7 Namun, ada juga sebagian masyarakat meyakini adanya mitos tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Ibu Suwarning yang mengatakan bahwa : “Saya sendiri mengalami sendiri, gara-gara tidak melempar selama Sembilan tahun menikah tidak dikaruniai anak. Dan akhirnya saya pegatan. Dulu saya punya teman yang kebetulan tanggal pernikahannya sama, karena tidak melempar akhirnya di bulan yang sama pegatan juga. Sawise pegatan karo bojoku, aku dirasani tonggo ngalur ngidul jarene tonggoku salahe wingi dikongkon nguncalno pitek gak gelem. 8 Pelaku lempar ayam yang bernama Ibu Supiyah juga percaya akan mitos apabila tidak melempar suatu saat pasti pegatan karena sudah banyak yang mengalaminya, beliau menganggap bahwa ayam kampung tersebut adalah sebagai cucuk bakal persyaratan pengantin yang menikah dari jalur utara- selatan atau selatan-utara agar tidak pegatan. Ada hukum mutlak yang menurutnya harus dipatuhi. Itu artinya sebagian dari masyarakat masih percaya akan mitos tersebut, bahkan mereka sudah mengatakan kalau tidak melempar ayam, maka suatu 7 M. Khoiruddin. Wawancara, Karang Kembang, 7 Juni 2016 8 Suwarning, Wawancara, Kedungpring, 7 Juni 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id saat pasti akan pegatan. Dapat dilihat bahwa daalam suatu masyarakat sudah pasti ada yang namanya norma-norma sosial yang berlaku dan harus dilaksanakan, apabila masyarakat setempat tidak melaukan norma sosial yang ditetapkan maka akan menerima konsekuensinya, salah satu contoh yaitu dalam tradisi lempar ayam, apabila ada calon pengantin baru yang mau menikah dan melewati gunung pegat maka harus melaksanakan norma tersebut, yakni melempar ayam di sekitar gunung pegat. Hal demikian menjadi perhatian khusus bagi masyarakat setempat, dan apabila tidak patuh pada norma sosial yang berlaku maka akan digunjing oleh banyak orang atau dibuat bahan omongan masyarakat setempat. Ada pendapat dari orang pintar desa tersebut juga mempercayai akan mitos tersebut, Namun beliau melakukan penilaian secara subjektif yang mengatakan bahwa: “Biasae seng gak melu adat nguncalno pitek kuwi wong Muhammadiyah,” 9 Di sini ada sedikit pertentangan atau perselisihan mengenai perbedaan paham atau aliran yang membuat orang mempunyai dokrin atau ajaran masing-masing, akan tetapi perlu diperhatikan bahwa antara Nahdlotul Ulama NU ataupun Muhammadiyah itu tidak ada hubungan sebab-akibat yang menjadikan alasan seseorang untuk melakukan tradisi tersebut. Karena pada prinsipnya paham Muhammadiyah atau Nahdlotul Ulama NU juga tidak mempercayai hal-hal yang mengenai mitos, karena percaya akan sesuatu yang 9 Makrun, Wawancara, Karang Kembang, 7 Juli 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id melebihi kekuatan Allah SWT itu dinamakan syirik. Antara Muhammadiyah dan Nahdlotul Ulama NU itu sama, tidak ada ajaran mengenai hal-hal seperti itu, mereka hanya percaya akan kebenaran yang telah dituliskan dalam Al- Quran dan Al-Hadits Kebanyakan orang atau kelompok masyarakat yang melakukan tradisi dan masih mempercayai mitos tersebut itu sesepuh-sesepuh desa atau mereka yang beraliran kejawen. Biasanya aliran tersebut masih kental dengan mitos-mitos dan pola pikir mereka masih mempercayai bahwa semua benda-benda yang dialam semeseta ini bernyawa dan bisa memberikan keselamatan atau kesengsaraan Tidak semua orang percaya akan mitos tersebut, terbukti ketika sang mempelai pengantin wanita yang bernama Vira mau menikah dengan sang mempelai putra dari Madura dan melewati gunung pegat, Ia tidak melakukan tradisi itu. “Itu hanya mitos saja, jadi tidak perlu dipercaya, semua yang terjadi sudah ada yang mengatur”. 10 Itu artinya tidak semua masyarakat melakukan tradisi tersebut dan tidak percaya terhadap mitos Gunung Pegat. Mereka hanya percaya takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. Mitos hanyalah cerita yang tradisi lisan yang diturunkan dari generasi ke genarasi yang belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Kemudian ada pula sebagian masyarakat memilih cara lain, mereka tidak ingin percaya dengan adanya perceraian akibat mitos Gunung Pegat dan tidak ingin 10 Vira, Wawancara, Kedungpring, 5 Agustus 2016 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id melakukan kebiasaan membuanga ayam di sekitar Gunung Pegat. Jadi jika ada pengantin baru yang sekiranya akan melewati Gunung pegat, maka mereka lebih memilih jalan memutar untuk menghindari Gunung Pegat tanpa perlu melakukan kebiasaan membuang ayam tersebut, misalkan mempelai pria bertempat tinggal di Mojokerto sedangkan mempelai wanita bertempat tinggal di Lamongan maka untuk menghindari Gunung Pegat mereka akan memilih jalan memutar melewati Jombang. Jadi, tentang adanya kepercayaan tersebut kembali pada pribadi masing- masing, bagaimana setiap orang meyakini dengan adanya kepercayaan seperti demikian, karena semua hal yang terjadi di dunia tentu saja atas kehendak Yang Maha Esa. Jika seseorang yakin tidak akan terjadi apapun dengan rumah tangganya kelak, meskipun tidak mengikuti kebiasaan yang sudah dipercayai masyarakat sekitar, maka tidak akan terjadi apapun, namun sebaliknya jika seseorang merasa ragu dan khawatir dengan adanya kepercayaan tersebut namun tidak melaksanakannya maka kemungkinan besar apa yang dipercayai akan benar-benar terjadi. Penulis menganalisa bahwa alasansebab calon pengantin baru yang mau menikah, ketika melewati gunung pegat kemudian melempar ayam yaitu memang mereka mengikuti adat istiadat atau sejarah yang sudah ditentukan oleh para pendahulu atau nenek moyang, akan tapi harusnya adat-adat seperti itu perlu dihilangkan sedikit demi sedikit. Karena hal seperti itu merupakan kebiasaan yang tidak baik, dan bisa membawa manusia kearah sesatan, hal-hal mengenai budaya, adat, atau yang berbau mistis semestinya dikurangidihapus karena itu hanya mitos saja jadi tidak perlu diyakini atau diimani. Mungkin digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id orang di luar daerah yang menikah dengan orang daerah sini dan mereka tidak tahu akan adanya hal semacam itu otomatis mereka tidak akan melempar tapi semua tergantung pada pemikirannya masing-masing. Bagi pasangan pengantin baru muslim seharusnya tidak boleh merasa khawatir dan takut saat melewati jalan raya gunung pegat. Yakin saja tidak akan terjadi apapun, karena tidak ada yang menimpakan mudharat kecuali Allah. Kita sebagai manusia hanyalah korban dari orang-orang terdahulu saja. Mitos seperti itu tidak perlu dipercaya karena semua yang terjadi di alam semesta ini sudah ada yang mengatur, ada Dzat yang Maha Besar dan Maha Mengetahui. Keyakinan tersebut juga bertentangan dengan Firman Allah SWT dalam QS. Al- An’am ayat 17 dan QS. Yunus ayat 107 di bawah ini: ْنِإَو َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ ُﻪﱠﻠﻟا ﱟﺮُﻀِﺑ َﻼَﻓ َﻒِﺷﺎَﻛ ُﻪَﻟ ﱠﻻِإ َﻮُﻫ ْنِإَو َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ ِﺑ ٍﺮْﻴَﺨ َﻮُﻬَـﻓ ﻰَﻠَﻋ ﱢﻞُﻛ ٍءْﻲَﺷ ﺪَﻗ Artinya : “Jika Allah SWT, menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri. Dan jika Dia mendatangkan kebaikan kepadamu, maka Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.” َو ِﻪِﺑ ُﺐﻴِﺼُﻳ ِﻪِﻠْﻀَﻔِﻟ ﱠداَر َﻼَﻓ ٍﺮْﻴَﺨِﺑ َكْدِﺮُﻳ ْنِإَو َﻮُﻫ ﱠﻻِإ ُﻪَﻟ َﻒِﺷﺎَﻛ َﻼَﻓ ﱟﺮُﻀِﺑ ُﻪﱠﻠﻟا َﻚْﺴَﺴْﻤَﻳ ْنِإ ْﻦَﻣ ُﻢﻴِﺣﱠﺮﻟا ُرﻮُﻔَﻐْﻟا َﻮُﻫَو ِﻩِدﺎَﺒِﻋ ْﻦِﻣ ُءﺎَﺸَﻳ Artinya : “Jika Allah SWT, menimpakan sesuatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah SWT, menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dua ayat di atas menggambarkan bahwa kemudharatan, keburukan, kemanfaatan, dan kebaikan, semuanya berada di bawah kekuasaan Allah SWT. Dialah pemilik semuanya, segala hal baik dan buruk yang terjadi di dunia ini sudah ada yang mengatur dan semua itu kembali kepada Allah yang Maha Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia menimpakan semua itu atas hamba- hamba-Nya dan sesuai kehendak-Nya. Tidak ada yang bisa menganulir dan mengubah keputusan-Nya. Tidak ada pula yang bisa menolak ketetapan-Nya. Sehingga manusia haruslah beribadah kepada-Nya semata dan tidak berdoa memohon kecuali kepada-Nya. Serta tidak mempercayai suatu hal apapun kecuali pada Allah SWT. Begitu pula dengan keberadaan Mitos Perceraian Gunung Pegat yang tidak seharusnya di percayai hingga saat ini, kepercayaan Gunung Pegat yang dapat mengakibatkan suatu perceraian dapat menimbulkan kemudharatan serta bertentangan dengan Firman Allah SWT, seperti yang tercantum pada ayat di atas. Begi pengantin baru yang melewati gunung pegat, diharapkan bertawakal saja kepada Allah SWT, agar tidak terjadi satupun hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangganya kelak meskipun tidak melakukan kebiasaan membuang ayam di sekitar gunung pegat. Tidak ada suatu keburukan kecuali Allah SWT, yang mendatangkannya. Maka bila terjadi suatu perceraian atau hal-hal buruk yang terjadi dalam digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id rumah tangga karena ada pengantin baru yang melewati Gunung Pegat namun tidak melakukan kebiasaan membuang ayam yang telah dipercayai, maka semua itu tidak ada sangkut pautnya dengan perceraian akibat mitos Gunung Pegat. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB IV MAKNA SIMBOLIS TRADISI “LEMPAR AYAM” DALAM PERSPEKTIF HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR

A. Implementasi Simbol dalam Perespektif Hermeneutika Paul Ricoeur

Lempar ayam merupakan prosesi atau cara yang dilakukan oleh calon pengantin baru yang mau menikah dan melewati gunung pegat, dengan menggunakan ayam hitam tujuannya untuk mencegah dari faktor-faktor ketidakharmonisan dalam rumah tannga seperti, rejekinya sulit, tidak mempunyai keturunan, dan lain-lain. Tradisi lempar ayam itu merupakan warisan dari nenek moyang leluhur secara turun menurun, dan dipercaya oleh masyarakat setempat. Dalam suatu budaya atau tradisi pasti tidak lepas deri simbol-simbol, seperti yang ada pada tradisi lempar ayam. Ayam merupakan simbol dalam tradisi yang mempunyai makna tertentu bagi masyarakat khususnya orang Jawa. Namun ayam yang dimaksud disini adalah ayam kampung yang berwarna hitam. Menggunakan ayam kampung yang berwarna hitam karena sebaga simbol tolak balak, apese awak. Simbol dalam perspektif Paul Ricoeur dibagi menjadi dua yaitu: 1. Simbol Primer Dalam banyak hal, tradisi lempar ayam selalu mengacu pada nilai-nilai atau material khusus seperti kebiasaan, peraturan, atau hukum yang berlaku digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id dalam konteks tertentu, artinya dalam tradisi diperlukan semacam pedoman yang telah diperintahkan, dan pedoman yang sudah berlaku turun menurun. Bagi sebagian masyarakat yang tidak melakukan tradisi tersebut mereka percaya akan terjadi suatu perceraian dan banyak resiko yang akan menimpanya, seperti keluarganya tidak harmonis, sengsara, rezekinya sulit, tidak punya anak, dan salah satu mempelai dipercayai akan meninggal. Konsekuensi seperti itulah yang menyebabkan citra diri manusia ternodai, karena telah melakukan hal tersebut. Baik dilakukan secara sengaja ataupun tidak, hal itu sudah melukai kodrat dan eksistensi kita sebagai manusia. Seolah-olah kita sudah tidak menjadi manusia yang utuh lagi. Ketidaktahuan manusia yang membuat citra diri mereka ternoda atau karena faktor rasa takut untuk tidak melakukan tradisi lempar ayam. Alasan yang terakhir, karena tradisi tersebut adalah warisan dari leluhur atau nenek moyang jadi mereka hanya mengikuti saja. Adanya sesuatu yang mengganjal itulah yang membuat diri kita ternoda oleh hal-hal yang buruk. Setelah manusia ternoda karena adanya sesuatu yang mengganjal pada dirinya, maka tahap selanjutnya adalah manusia berdosa. Dosa adalah manusia melakukan kejahatan dan ketidaktaatan kepada Tuhan. Yang telah menempuh jalan sesat, seperti pemberontakan terhadap kekuasaan Tuhan serta mengganti kemuliaan Tuhan dengan berhala dan lain-lain, seperti percaya apabila tidak melakukan lempar ayam akan mengalami pegatan. Artinya mereka telah menduakan Tuhan dan mendahului Takdir yang telah digariskan oleh Tuhan. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Jika hal itu sudah terjadi, pastinya manusia merasa bersalah yang berhubungan dengan aspek pribadi dari diri manusia. Terutama tentang beban dan kesusahan yang memberatkan hati nurani saya pribadi. Beban apabila tidak melakukan tradisi lempar ayam pastinya akan dibuat bahan omongan masyarakat atau mungkin merasa bersalah pada diri sendiri karena telah melakukan tradisi tersebut. Hal itu yang membuat saya merasa berasalah akan saya pribadi. Dengan melanggar perintah dan peraturan itu, saya tidak bersalah kepada Tuhan melainkan terhadap diri saya sendiri. Dari dosa yang menyangkut penghianatan kepada Tuhan, kebersalahan menjadi sesuatu yang menyangkut saya pribadi. Dari sesuatu yang terdapat di luar saya, kebersalahan telah menjadi sesuatu di dalam diri saya. 2. Simbol Sekunder Simbol sekunder dari tradisi lempar ayam di Gunung Pegat yang tidak bisa terlepas dengan mitos-mitos antara lain: mitos kosmis, mitos tragis, mitos Adam, dan mitos orfis, antara lain : Pertama, dalam mitos kosmis, kebanyakan orang Jawa percaya bahwa hidup manusia di dunia ini sudah diatur dalam alam semesta, Inti pandangan alam pikiran mereka tentang kosmos tersebut, baik dari diri sendiri, kehidupan sendiri, maupun pikiran sendiri, telah tercakup di dalam totalitas alam semesta atas kosmos. Inilah sebabnya manusia hidup tidak terlepas dengan lain-lainnya yang ada di alam jagad. Jadi apabila lain hal yang ada itu mengalami kesukaran, maka manusia akan menderita lagi. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id Mitos kosmis juga membuat orang Jawa percaya terhadap suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah dikenal, yaitu kasakten, kemudian arwah atau roh leluhur, dan makhluk-makhluk halus dan lainnya yang menempati alam sekitar tempat tinggal mereka. Pahlawan, leluhur, nenek moyang, gunung pegat dan ayam yang berwarna hitam adalah yang mewakili mitos kosmis yang kemudian menjadikan dunia yang teratur. Salah satu tokoh filosof islam yang bernama Al-Kindi yang menjelaskan tentang tiga dalil tentang alam untuk membuktikan adanya Tuhan yaitu: 1. Dalil baharu alam, merupakan dalil yang menegaskan bahwa alam itu fana dan akan berakhir, karena alam itu berasal dari tidak ada maka akan kembali menjadi tidak ada, meliputi waktu, gerak, dan benda. 2. Dalil keragaman dan kesatuan menunjukkan bahwa Tuhan itu Esa. Menurut Al-Kindi keragaman dan kesatuan ini bukan karena kebetulan tetapi ada yang menyebabkannya atau merancangnya. mustahil jika alam itu menjadi yang menyebabkannya. Mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya maka kan terjadilah rangkaian yang tidak aka nada habisnya. 3. Dalil kerapian Alam dan keteraturan alam menunjukkan adanya harmonisasi. Semua itu ada tanpa ada Maha yang mengatur. Pengatur dan penendalinya tentu yang berada di luar alam. Ia tidak sama dengan alam Itu artinya alam semesta itu bersifat fana, tidak kekal. Yang kekal dantidak bisa hancur hanya Allah SWT. Semua alam beserta isinya merupakan ciptaan Tuhan, semua yang terjadi sudah ada yang mengatur dari tidak ada menjadi digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id ada, dari yang tidak bergerak menjadi bergerak, yang mana pada semua itu nantinya akan kembali lagi Dzat yang mengatur segalanya dan tidak ada kekuatan yang melebihi kekuatan-Nya. Percaya akan mitos yang dapat mendatangkan keselamatan itu artinya mengingkari atas Kuasa Tuhan. Kedua, mitos tragis timbul akibat kepercayaan manusia terhadap makhluk halus yang dapat mendatangkan sukses, kebahagiaan, ketentraman, ataupun keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula menimbulkan gangguan kesengsaraan, pikiran, kesehatan, bahkan kematian. Oleh sebab itu, bagi calon pengantin baru yang mau menikah diharuskan melempar ayam hitam sebagai simbol tolak-balak apabila melewati Gunung Pegat untuk menghindari terjadinya perceraian pegatan dan banyak resiko yang akan menimpanya, seperti keluarganya tidak harmonis, sengsara, rezekinya tidak lancar, sampai tidak punya keturunan. Konsep takdir dalam QS. Al-Hadid [57]: 22 Artinya :“Tiada suatu bencana apapun yang menimpa di bumi ini, dan tidak pula pada diri kalian, melainkan telah tertulis dalam kitab Lauh al- Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” 1 Maksudnya apa saja yang telah terjadi di permukaan bumi ini telah ditulis oleh Allah dalam kitab-Nya yang tersimpan rapi di Lauh al-Mahfuzh, bahkan sebelum diciptakannya. Jadi semua itu telah digariskan oleh Allah SWT, dalam ketetapan-Nya. Jadi jika memohon sesuatu maka memohonlah pada Allah, jika memohon pertolongan terhadap sesuatu maka ajukanlah permintaanmu itu hanya kepada Allah semata. 1 Al-Quran, 57:22.