Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politi

(1)

PEMBERIAN DANA APBN KEPADA PARTAI

POLITIK

Oleh: Patty Regina Rafli Fadilah Achmad

Valeryan Natasha

Universitas Indonesia Depok


(2)

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

Kami yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Patty Regina Nama : Rafli Fadilah

NPM : 1106056075 NPM : 1206246313

Program Studi : Ilmu Hukum Program Studi: Ilmu Hukum

Nama : Valeryan Natasha

NPM : 1206251471

Program Studi: Ilmu Hukum Menyatakan bahwa artikel imiah yang berjudul :

PEMBERIAN DANA APBN KEPADA PARTAI POLITIK

Benar-benar merupakan hasil karya pribadi dan seluruh sumber yang dikutip maupun dirujuk telah kami nyatakan dengan benar. Demikian pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat pelanggaran di dalamnya, kami siap untuk didiskualifikasi dari kompetisi ini sebagai bentuk tanggung jawab kami.

Depok, 20 Mei 2015


(3)

D A F T A R I S I

Lembar Orisinalitas...2 Daftar Isi ...3

I. PENDAHULUAN

I.1Pendahuluan...4

II. PEMBAHASAN

II.1 Pandangan Pro Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik...5 II.1.A Fungsi Penting Partai Politik Dalam Negara yang

Demokratis dan Cost Politic yang Tidak

Murah...5 II.1.B Memutus Rantai Oligarki Ditubuh Partai Politik Dan Meminimalisai Praktik Korupsi...7 II.1.C Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik Membuat Aliran Dana Lebih Mudah Diawasi dan Diaudit...9 II.2 Pandangan Kontra Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik...10

II.2.A Pemborosan APBN...10 II.2.B Menyebabkan Ketidakmandirian dan Matinya Kreativitas Partai ...11 II.2.C Partai Politik Tidak Cakap dan Profesional Dalam Membuat Laporan Keuangan...12

III. PENUTUP

III. Penutup...13

DAFTAR PUSTAKA


(4)

“Dalam proses bernegara dan berdemokrasi partai politik memegang titik sentral yang begitu fundamental”

Dr. Rizal Djalil – Ketua Badan Pemeriksa Keuangan 2014

Negara sebagai organisasi kekuasaan masyarakat, hanya dapat menjalankan tugasnya dengan baik jika partai politik di dalam negara tersebut berfungsi dengan sebagaimana mestinya. Hal tersebut dikarenakan partai politik memiliki peranan penting sebagai titik sentral bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya atau bahkan dapat mengkritisi kebjiakan pemerintah yang ada.1 Terlebih lagi, melalui partai politiklah rakyat dapat mendudukan wakil-wakilnya di lembaga perwakilan rakyat bahkan dalam hal Presiden dan Wakil Presiden juga harus diusung oleh partai politik. Mengingat pentingnya peran tersebut, partai politik harus disokong keberadaanya dan salah satu caranya adalah melalui pendanaan partai politik lewatAPBN. Dikemudian hari munculah suatu gagasan dari Tjahjo Kumolo selaku Menteri Dalam Negeri untuk melakukan pemberian dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (yang selanjutnya disebut APBN) sebesar 1 Trilyun kepada partai politik dan merealisasikannya pada pemerintahan Jokowi.2

Jika ditinjau secara yuridis, sejatinya bantuan dari APBN kepada partai politik itu sudah ada sejak berlakunya Undang-Undang No.31 Tahun 2002 dan kemudian direvisi menjadi Undang-Undang No.2 Tahun 2011 yang mana bantuan tersebut ditujukan kepada partai politik yang berhasil menempatkan calonnya pada kursi di DPR/DPRD.3 Lebih lanjut, berdasarkan PP No. 83/2012 lebih dipertegas bahwa besaran nominal bantuan dari APBN yang diberikan kepada partai politik sebesar Rp.108 persuara.

Dalam mosi ini Penulis memaknai pemberian dana yang dimaksud dilakukan dengan cara merubah nominal dana yang diberikan kepada partai politik yang semula Rp.108 persuara, menjadi nominal yang lebih besar berdasarkan penyesuaian kondisi riil yang ada, dengan tidak menutup sumber-sumber pendanaan lainnya seperti iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Nantinya dana tersebut tidak hanya diperuntukan bagi pendidikan politik dan operasional sekretariat partai saja, tapi diperuntukan bagi seluruh kegiatan partai politik.

Namun perlu digarisbawahi perbedaan secara harfiah antara “pendanaan” pada mosi kali ini, dan “bantuan keuangan” yang tertera pada Undang-Undang No. 2


(5)

Tahun 2011. Dalam konteks “pendanaan”, maka sumber utama dan terbesar dari keuangan partai politik berasal dari APBN sedangkan iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum hanyalah bersifat komplementer saja. Sebaliknya dalam konteks “bantuan keuangan”, maka suntikan dari APBN bersifat komplementer karena hanya bantuan saja, sedangkan sumber utama dan terbesarnya berasal dari iuran anggota dan bantuan yang sah menurut hukum.

Saat ini wacana mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik menuai banyak pujian sekaligus kecaman dari masyarakat luas terutama dari golongan akademisi, praktisi dan pegiat anti korupsi. Maka dari itu tulisan ini hadir untuk membahas mengenai pemberian dana APBN kepada partai politik ditinjau dari perspektif pro dan kontra dengan harapan tulisan ini dapat menjadi bahan rujukan yang ilmiah dan komprehensif dalam menyikapi wacana ini.

II.1 Pandangan Pro Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik

II.1.A FUNGSI PENTING PARTAI POLITIK DALAM NEGARA YANG DEMOKRATIS DAN COST POLITIC YANG TIDAK MURAH

Terbentuknya partai politik berasal dari sekelompok warga negara yang secara sukarela memiliki persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara.4 Frasa yang perlu ditekankan dalam kalimat tersebut sejatinya adalah partai politik itu berasal dari warga negara juga, dimana partai politik merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.5 Dimana warga negara tersebut berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat didalam naungan partai politik bertujuan untuk mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia dengan caranya masing-masing.6 Hal ini merupakan justifikasi awalan mengapa pada akhirnya partai politik layak untuk didanai oleh APBN karena pada dasarnya partai politik itu terdiri dari warga negara juga, itu artinya pendanaan tersebut sejatinya diberikan kepada warga negara juga yang memiliki kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memajukan bangsa Indonesia dengan cara yang diyakininya dibawah naungan partai politik. Alasan lebih lanjut mengenai mengapa pada akhirnya bentuk bantuannya harus pendanaan adalah karena pendanaan merupakan wujud komitmen paling sederhana dari negara terhadap partai politik.

Pentingnya pembentukan partai politik sejatinya sudah dirasakan sejak jauh-jauh hari, tepatnya pada zaman kolonial Belanda dimana partai politik merupakan


(6)

manifestasi bangkitnya kesadaran warga negara dalam melawan kekejaman pemerintahan kolonial.7 Saat ini partai politik tidak lagi berfungsi untuk melawan kekejaman pemerintahan kolonial, akan tetapi partai berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dan pemerintah dalam menyerap, merumuskan, dan mengagregasi kepentingan masyarakat.8 Lebih lengkapnya menurut Prof. Abdul Bari Azed dan Makmur Amir setidaknya terdapat tujuh fungsi partai politik saat ini yakni sosialisasi politik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan pembuat kebijaksanaan.9

Dalam hal ini Penulis mengambil satu fungsi yang menjadi fokus kajian dalam artikel ini, yaitu terkait fungsi komunikasi politik yang direlasikan dengan cost politic yang tidak murah. Dalam fungsinya sebagai agen komunikator politik, partai menyerap dan menyalurkan segala aspirasi masyarakat yang ada dan berbeda-beda dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan meredam konflik yang ada.10 Tidak bisa dibayangkan jika tidak ada partai politik, kepentingan-kepentingan yang berbeda tersebut dapat menjadi bola liar dan meluas menjadi konflik yang merugikan masyarakat. Maka dari itu bolehlah dikatakan bahwa partai politik juga sebagai mediator dan fasilitator dari beragamnya aspirasi yang ada. Selain itu partai politik juga sering mengkomunikasikan visi misi dan programnya kepada masyarakat luas dengan cara mengadakan iklan politik di televisi, terjun langsung ke lapangan, diskusi-diskusi politik dalam sebuah seminar dan pernyataan sikap dalam suatu media cetak.

Namun, disatu sisi untuk menjalankan fungsi strategis nan mulia tersebut tidaklah membutuhkan cost politic yang murah. Penulis mengutip salah satu hasil riset pengamat komunikasi politik yaitu Istiyani Pratiwi, menurutnya pos dana terbesar yang digelontorkan oleh partai adalah untuk melakukan komunikasi politik dengan cara beriklan di televisi. Beriklan memiliki dampak positif sebagai sarana berkomunikasi antara partai dengan masyarakat luas secara langsung, terlebih lagi saat ini tidak dapat dipungkiri televisi setiap harinya ditonton oleh masyarakat mulai di rumah, kantor, bahkan di warung kopi. Menurut kalkulasinya dalam jam-jam prime time tarif beriklan partai politik adalah Rp.6 -10 Juta per 30 detik, itu artinya partai menghabiskan dana sebesar Rp.500 juta sehari, dan Rp. 15 Milyar sebulan. Itu baru fungsi komunikasi politik dalam pos beriklan saja sudah


(7)

menghabiskan dana sebesar Rp. 15 Milyar sebulan, tidak bisa dibayangkan berapa besar dana yang dibutuhkan partai politik untuk mendanai pos-pos lainnya.11

Maka dari itu, mengingat pentingnya fungsi partai politik di suatu negara, besarnya cost politic, dan vitalnya ketersediaan dana partai politik, itu sebabnya pemerintah harus ambil bagian dalam menyelesaikan masalah ini. Salah satunya adalah memperbesar pendanaan APBN kepada partai politik yang lolos

parliamentary threshold, dimana nantinya dana tersebut dikelola oleh partai politik secara bertanggungjawab,transparan dan akuntabel untuk membiayai dana kampanye pada masa pemilu dan juga untuk membiayai kegiatan operasional partai politik sepanjang tahun seperti pendidikan politik, kaderisasi, konsolidasi organisasi, dan unjuk publik. Mengenai bagaimana bentuk mekanisme yang transparan dan akuntabel akan dijelaskan pada argumentasi ke-tiga tim pro.

II.1.B MEMUTUS RANTAI OLIGARKI DITUBUH PARTAI POLITIK DAN MEMINIMALISASI PRAKTIK KORUPSI

Oligarki adalah bentuk kekuasaan yang dipegang secara absolut oleh kelompok elit kecil dari masyarakat, berdasarkan kekayaaan, keluarga, ataupun kedekatan.12 Fenomena oligarki juga terjadi pada tubuh partai politik dalam konteks krisis anggaran. Salah satu penyebab terjadinya oligarki partai disebabkan karena dua hal, pertama karena bantuan negara kepada partai politik nominalnya relatif kecil sehingga tidak cukup untuk membiayai aktivitas partai politik dengan

cost politic yang sangat besar, kedua kondisi ini menuntut partai mencari sumber pendanaan lain seperti sumbangan yang sah menurut hukum kepada pengusaha, atau konglomerat.13 Menurut penelitian Marcus Mietzner kondisi tersebut menjadi pintu gerbang terjadinya oligarki ditubuh partai politik, sebab partai politik saat ini tergantung kepada siapa yang membiayai partainya paling besar. 14 Hal ini tentunya berbahaya bagi iklim demokrasi di suatu negara, karena pada dasarnya tujuan utama partai politik sebagai jembatan antara rakyat dan pemerintah menjadi tereduksi sebagai jembatan antara partai dan yang membiayainya.

Selain itu, situasi ini membuka peluang yang besar bagi kader-kader partai politik untuk mengambil uang negara dengan melakukan korupsi di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Hal tersebut disebabkan karena kader-kader yang berhasil mendapatkan jabatan di eksekutif, legislatif, dan yudikatif bukanlah tidak menggunakan dana yang murah, bahkan sebagian besarnya di modali oleh partai politik yang patut untuk dikembalikan.15 Secara sistemik hal ini


(8)

menyebabkan kader dari partai politik jadi disibukkan untuk mencari dana demi kebutuhan partainya, dan bukannya fokus kepada realisasi program-program yang berorientasi rakyat.

Permasalahan seperti oligarki dan korupsi sejatinya dapat diatasi dengan diberlakukannya mekanisme pendanaan dari APBN kepada partai politik, dimana nantinya sumber pendanaan dari APBN ini menjadi sumber utama keuangan partai. Dengan adanya mekanisme pendanaan dari APBN ini tentunya akan menutup kemungkinan adanya sumbangan yang ilegal dan memiliki kepentingan khusus, karena kebutuhan anggaran partai sudah tercukupi dan tertutupi dengan dana yang berasal dari APBN. Hal ini lebih lanjut akan berdampak positif bagi partai dan para kadernya, karena tidak perlu lagi memusingkan bagaimana cara mencari uang untuk menjalankan operasional partai dan dana kampanye karena uang tersebut sudah cukup dari APBN saja, selain itu partai juga akan lebih fokus untuk menawarkan program-program yang berorientasi kepada rakyat.

Bahkan korupsi yang dilakukan oleh kader-kader partai politik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif pun dapat diminamilisasi, karena tekanan untuk menjadi “sapi perah” partai sudah diatasi melalui mekanisme pendanaan dari APBN, sehingga pejabat-pejabat tersebut tidak perlu lagi untuk mencari uang kepada partai dengan menghalalkan segala cara. Hal ini akan membawa dampak positif kepada pejabat-pejabat tersebut untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat Indonesia, tanpa perlu memikirkan lagi bagaimana cara melakukan balas budi kepada partai yang mengusungnya.

II.1.C PEMBERIAN DANA APBN KEPADA PARTAI POLITIK MEMBUAT ALIRAN DANA LEBIH MUDAH DIAWASI DAN DIAUDIT

Berdasarkan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik diketahui bahwa keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota, sumbangan yang sah menurut hukum, dan bantuan keuangan dari APBN. Mengingat terminologi yang digunakan adalah “bantuan keuangan” dan pengakuan dari beberapa partai bahwa bantuan tersebut nominalnya amatlah kecil, bahkan hanya merepotkan secara administratif saja.16 Hal tersebut mengindikasikan bahwa sumber pendanaan berupa bantuan keuangan dari APBN sejatinya hanyalah bersifat komplementer, sedangkan pendanaan utama partai politik saat ini berasal dari iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Salah satu bukti nyatanya adalah laporan keuangan DPP partai Gerindra


(9)

pada tahun 2012, dimana dari total Rp. 8 Milyar pendapatan partai, Rp. 5.4 Milyarnya dari sumbangan, Rp. 2,1 Milyar dari iuran anggota, dan hanya Rp. 500 Juta dari APBN.17

Masalahnya dengan mekanisme pendanaan seperti ini membuat arus keuangan partai politik menjadi tidak bisa diawasi secara utuh dan diaudit secara komprehensif. Penyebabnya adalah karena iuran anggota dan sumbangan yang sah tidak diwajibkan untuk diaudit oleh ketentuan peraturan perundang-undangan karena pada dasarnya uang tersebut merupakan hak partai untuk mencari dana dan tidak ada sangkut pautnya dengan keuangan negara. Kesulitan untuk mengawasi dan mengaudit ini pada akhirnya membuat partai politik akan secara liar mencari pendanaan sesuka hatinya baik yang bersifat legal maupun ilegal.

Hal ini tentunya berbeda apabila menggunakan mekanisme pendanaan utama dari APBN. Proporsi dana yang dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan tentunya akan jauh lebih besar ketimbang mekanisme yang ada saat ini, karena pada dasarnya APBN merupakan uang yang berasal dari rakyat dan tidak bisa disalahgunakan begitu saja, maka dari itu dapat dan harus diterapkan mekanisme yang ketat dalam mengawasi dan mengaudit pengalokasian uang tersebut.18 Terlebih lagi saat ini sudah didukung dengan adanya mekanisme yang jelas mengenai laporan pertanggungjawaban terhadap dana yang bersumber dari APBN, dimana berdasarkan Pasal 12 A Peraturan Pemerintah No.83/2012 partai politik wajib melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kepada BPK secara berkala satu tahun sekali.

Sejalan dengan besaran bantuan yang akan ditingkatkan, maka diperlukan suatu mekanisme peningkatan pelaporan juga mulai dari intensitas laporan, sanksi, dan juga format laporan. Nantinya laporan keuangan yang dibuat oleh partai politik dilakukan sebanyak satu tahun dua kali, hal ini tentunya untuk mempermudah pengawasan terhadap penyerapan anggaran, kemudian terhadap partai-partai yang tidak mengindahkan ketentuan tersebut penulis menyarankan bukan hanya diberhentikan bantuannya, tetapi juga diberikan sanksi yang tegas berupa denda atau penjara kepada kader partai yang terbukti menyalahgunakan uang tersebut, tidak ada reimburse terhadap pengeluaran biaya partai politik, dan tidak dapat mencalonkan diri lagi pada pemilu berikutnya, dengan sanksi yang


(10)

tegas tersebut diharapkan tidak ada lagi alasan bagi partai politik yang mendapatkan dana untuk mangkir dalam membuat laporan pertanggungjawaban.

II.2 Pandangan Kontra Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik II.2.A PEMBOROSAN APBN

Keuangan negara adalah urat nadi negara, tanpa uang negara tidak dapat menjalankan roda pemerintahannya. Keuangan dari rumah tangga negara ini dituangkan dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, yang secara filosofis merupakan refleksi dari kedaulatan di suatu negara. Apabila di Indonesia menganut kedaulatan rakyat, maka pengalokasiannya harus ditujukan bagi kesejahteraan rakyat, maka dari itu dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara haruslah dilandasi pada sektor-sektor yang tepat sasaran dan tepat guna kepada rakyat.19 Hal ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara bahwa pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara haruslah dilakukan secara tertib, taat, hukum efisien, ekonomis, efektif, transparan dan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Maka dari itu perlu membuat skala prioritas untuk memilah mengenai program mana yang lebih penting untuk didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam hal ini tentunya prioritas yang didanai adalah sektor-sektor yang bersinggungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan juga pembangunan fasilitas umum.20

Argumentasi ini diawali dengan dua pertanyaan besar, “Apakah arif dan bijak apabila pemerintah mengalokasikan dana APBN kepada partai politik?“ dan “Apakah mendanai partai politik melalui APBN telah memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan di masyarakat?” Dengan mengalokasikan APBN kepada partai politik hal ini tentunya merupakan bentuk pemborosan yang paling nyata serta tidak memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan di masyarakat. Mengambil contoh pada Pemilihan Umum Tahun 2014 dimana terdapat 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu, apabila mengambil sample misalnya Rp. 1 Trilyun saja untuk satu partai, itu artinya terdapat Rp. 12 Trilyun dana yang digelontorkan setiap tahunnya hanya untuk membiayai partai politik yang sejatinya bukanlah prioritas untuk didanai. Tidak bisa dibayangkan apabila partai peserta pemilu diikuti oleh 48 partai politik sebagaimana pada pemilu 1999, maka APBN yang digelontorkan adalah 48 Trilyun pertahun, dan 240 Trilyun


(11)

perlimatahun. Padahal sejatinya, tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan adanya partai politik adalah untuk menggapai suatu kekuasaan yang tidak ada kaitannya langsung dengan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Tanpa pendanaan dari APBN pun, sejatinya partai politik tetap bisa memenuhi kebutuhannya dengan mencari dana secara mandiri melalui iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Akan tetapi, bagi masyarakat biasa yang kekurangan, hanya dengan bantuan negaralah masyarakat tersebut bisa bertahan.

Pendanaan APBN kepada partai politik ini tentunya apabila diterapkan secara berkesinambungan, maka konsekuensi logisnya akan mengurangi pendanaan untuk sektor-sektor lain yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal faktanya di Indonesia sendiri masih terdapat kekurangan 400 ribu guru sekolah dasar dan 7.024 rumah sakit kekurangan tempat tidur.21 Maka dari itu mendanai partai politik melalui APBN adalah bentuk pemborosan terhadap uang negara, dan lebih arif serta bijak apabila dana tersebut dialokasikan kepada sektor-sektor lain yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan.

II.2.B Pendanaan Melalui APBN Menyebabkan Ketidakmandirian dan Matinya Kreativitas Partai

Partai politik beserta para kader sejatinya dituntut untuk mandiri dan kreatif dalam mencari pendanaan kepada partainya. Mandiri dan kreatif yang dimaksud adalah dengan cara yang legal dan sah menurut hukum seperti menjual pakaian dan atribut kepada simpatisan, memaksimalkan iuran anggota, membuat produk unggulan partai, menerima bantuan yang sah menurut hukum dan lain sebagainya.22 Akan tetapi dengan adanya pendanaan yang besar digelontorkan dari APBN kepada Partai Politik hal ini hanya akan membuat partai politik menjadi manja dan menitikberatkan sumber keuangan partainya hanya dari APBN semata. Hal ini secara sistemik tentunya sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan partai politik itu sendiri, karena pada akhirnya dalam melangsungkan pendanaan kegiatan operasional partainya saja tidak mampu kreatif, apalagi untuk menawarkan dan meyakinkan program-programnya kepada konstituen? Lebih lanjut apabila disuatu hari nanti terdapat situasi dimana partai tersebut tidak lagi didanai oleh APBN karena terjadinya pelanggaran yang telah dilakukan, hal ini tentunya akan menyebabkan kebingungan terhadap partai


(12)

politik itu sendiri, karena pada dasarnya kader-kader tersebut sudah terbiasa diberikan dana yang sebegitu besarnya melalui APBN.

II.3 C Partai Politik Tidak Cakap Dan Profesional Dalam Membuat Laporan Keuangan

Filosofi dari APBN adalah sebagai bentuk kepercayaan rakyat kepada pemerintah untuk mengelola keuangan negara sehingga pengelolaanya diharapkan dapat memenuhi syarat akuntabilitas, transparan dan kewajaran.23 Penjewantahan lebih lanjut dari syarat akuntabilitas, transparan dan kewajaran dimanifestasikan melalui adanya mekanisme laporan keuangan terhadap uang yang digunakan dan berasal dari APBN, dimana penggunaanya harus dicatat dan dipertanggungjawabkan sesuai hukum. Dalam konteks ini, pengalaman membuktikan bahwa dari 12 partai politik peserta pemilu tahun 2014 hanya sedikit partai yang melaporkan penggunaan bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang diberikan sebesar Rp.108 per suara saat pemilu legislatif, itupun didasari pada inisiatif partai tersebut dan laporannya masih jauh dari standar baku yang telah ditetapkan, selebihnya berdalih dengan berbagai macam alasan. Fakta ini kemudian diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Forum Indonesia Transparansi Anggaran yang menyatakan bahwa partai politik tidak memiliki perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN, sehingga bendahara partai hanya berfungsi sebagai “kasir” tanpa pencatatan keuangan yang jelas.

Padahal sejatinya sudah ada mekanisme yang jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2012, dimana partai politik wajib untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari APBN kepada BPK secara berkala selama 1 tahun sekali, yang mana apabila tidak dilaporkan maka terdapat sanksi yang tegas berupa pemberhentian bantuan keuangan sampai laporan itu diterima, dan apabila terbukti disalahgunakan maka akan dituntut melakukan tindak pidana korupsi.

Mengingat dengan sudah adanya peraturan yang mengatur secara tegas akan tetapi masih saja tidak dibuat, hal ini mengindikasikan bahwa partai politik tidak cakap dan profesional dalam melaporkan penggunaan dana yang diterima dari APBN. Maka dari itu untuk menghindari penyalahgunaan anggaran yang disebabkan tidak adanya laporan keuangan, sudah jelaslah dana yang berasal dari


(13)

APBN tidak layak diberikan kepada partai politik, karena partai politik itu sendiri yang tidak memantaskan dirinya untuk mendapatkan dana tersebut.24

III. PENUTUP

Partai politik memegang peranan sentral dalam praktek berdemokrasi di suatu negara. Akan tetapi partai politik saat ini menghadapi situasi dilematis dimana besarnya cost politic tidak sejalan dengan pemasukan yang didapatkan. Hal ini membuka peluang kepada kader dan partainya untuk mencari pendanaan dengan tindakan ilegal yang dilarang oleh hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan satu langkah jitu dan salah satunya adalah memperbesar alokasi pendanaan APBN kepada partai politik. Wacana tersebut sejatinya harus diselaraskan dengan memperkuat pengawasan aloakasi uang negara, dimana harus dibuat sanksi yang tegas lebih dari status quo seperti denda atau penjara apabila menyalahgunakan uang tersebut, tidak ada reimburse

terhadap pengeluaran biaya partai politik, tidak dapat mencalonkan diri lagi pada pemilu berikutnya.


(14)

1 Rizal Djalil, Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia : Konsep dan Implementasi, (Jakarta : Expose, 2014), h.3

2 Inggried Dwi, “Tjahjo : Wacana Anggaran Rp. 1 Triliyun dari APBN untuk Parpol PerluDipikirkan”http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/06494931/Tjahjo.Wacana.Anggaran.Rp.1.Triliun.dari.AP BN.untuk.Parpol.Perlu.Dipikirkan, diakses pada 20 Mei 2015.

3 Fajri Nursyamsi, “Partai Kartel Menurut Katz dan Mair”, h. 17, diakses pada 20 Mei 2015

4 Dewan Perwakilan Rakyat, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Partai Politik, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2003), h.44.

5 Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaaan : Membangun Warga Negara yang Demokratis, (Jakarta : Grafindo Media Pratama, 1998), h.157

6 Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., h. 50

7 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2006), h.75.

8 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan, (Jakarta : Yayasan Perludem, 2012), h.1

9 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, op.cit., h. 27

10 Mohatar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001), h.66

11 Istiyani Pratiwi, “Hubungan Antara Iklan Partai Politik Di Televisi Dengan Sikap Pemilih Pada Pemilu 2009,” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

12 Jurjannah Intan, Sigit Suranto dan Yuni Dasusiwi, Salahkah George Berantas Korupsi? (Yogyakarta : Jogja Bangkit, 2010), h. 77.

13 M. Jusuf Kalla, Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, Prospek Pemberantasan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 481

14Dita Angga, “Dana Parpol Bisa Kurangi Oligarki Partai” http://www.koran-sindo.com/read/994728/149/dana-parpol-bisa-kurangi-oligarki-partai-1430190771, diakses pada 20 Mei 2015.

15 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, op.cit., h. Iv.

16 Lia Wulandari, “Siaran Pers Bantuan Keuangan Partai Politik 12 Maret 2015”

http://www.perludem.org/index.php?option=com_k2&view=item&id=1944:siaran-pers-bantuan-keuangan-partai-politik-12-maret-2015&Itemid=128, diakses pada 20 Mei 2015.

17 Partai Gerindra, “Laporan Auditor Independen”,

http://partaigerindra.or.id/LaporanKeuanganGerindra2010-2012/LaporanAudit2011dan2012.pdf , diakses pada 17 Mei 2015.

18 Suswinarno, Analisa dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta : Visi Media, 2012), h.97.

19 Agus Yulianto, Hukum Anggaran dan Keuangan Publik , ( Jakarta : FHUI dan Elips Prject, 1998), h. 4

20 Santoso Soeroso, Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta : EGC, 2002), h.80

21 Dessy Suciati, “PGRI: Indonesia Kurang 400 Ribu Guru SD”

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgc5y-pgri-indonesia-kurang-400-ribu-guru-sd, dan IZN, “Menyongsong BPJS, RS Indonesia Kekurangan 7.024 Tempat Tidur

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgc5y-pgri-indonesia-kurang-400-ribu-guru-sd , diakses pada 18 Mei 2015

22Ari Junaedi, “ Parpol Harus Kreatif Cari Dana Kampanye”,

http://www.centrumpost.com/autotech/417/2013/parpol-harus-kreatif-cari-dana-kampanye.html , diakses pada 17 Mei 2015

23 Suhartono, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif dan Akuntabel,” Tesis Magister Universitas Indonesia, 2011

24 Sandro Gatra, “Sembilan Alasan Menolak Jatah Rp 1 Triliun Pertahun dari APBN untuk Parpol”,

http://www.intelijen.co.id/sembilan-alasan-menolak-jatah-rp-1-triliun-per-tahun-dari-apbn-untuk-parpol/, diakses pada 20 Mei 2015.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Aim. Pendidikan Kewarganegaaan : Membangun Warga Negara yang Demokratis. Jakarta : Grafindo Media Pratama, 1998.


(15)

Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2006

Badoh, Ibrahim Fahmy Z. Dan Abdullah Dahlan. Korupsi Pemilu Indinesia. Jakarta : ICW Press, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik..Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dewan Perwakilan Rakyat. Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Partai Politik. Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2003.

Djalil, Rizal. Dana Politik Masalahdan Solusi. Jakarta : YHB Center : 2012.

________. Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia : Konsep dan Implementasi. Jakarta : Expose, 2014

Junaidi, Veri. Anomali Keuangan Partai Politik Pengaturan dan Praktik. Jakarta : Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011.

Jurjannah Intan, Sigit Suranto dan Yuni Dasusiwi. Salahkah George Berantas Korupsi?. Yogyakarta : Jogja Bangkit, 2010.

Kalla, Jusuf. Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, Prospek Pemberantasan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Komisi Pemilihan Umum. Partai Politik Peserta Pemilu 2004 ; Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : KPU, 2004.

Labolo, Muhadam. Problem Partai di Tengah Harapan Publik. Jakarta : Forum Doktor IPDN, 2013

.

Mas’oed, Mohatar dan Colin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik, .Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001.

Nursyamsi, Fajri. “Partai Kartel Menurut Katz dan Mair” Diakses pada 20 Mei 2015

Pratiwi, Istiyani. “Hubungan Antara Iklan Partai Politik Di Televisi Dengan Sikap Pemilih Pada Pemilu 2009.” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Rasyid, Harun.PengisiaanJabatanPresiden. Jakarta: PustakaUtama Graffiti, _______1999.

Soeroso, Santoso. Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia.Jakarta : EGC, 2002.

Suhartono. “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif dan Akuntabel.” Tesis Magister Universitas Indonesia,2011.

Sulistyo, Hermawan. Selamatkan Pemilu!Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi. Jakarta : RIDep, 2001. .

Supriyanto, Didik dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan. Jakarta : Yayasan Perludem, 2012.

Suswinarno. Analisa dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Jakarta : Visi Media, 2012.


(1)

tegas tersebut diharapkan tidak ada lagi alasan bagi partai politik yang mendapatkan dana untuk mangkir dalam membuat laporan pertanggungjawaban.

II.2 Pandangan Kontra Pemberian Dana APBN Kepada Partai Politik II.2.A PEMBOROSAN APBN

Keuangan negara adalah urat nadi negara, tanpa uang negara tidak dapat menjalankan roda pemerintahannya. Keuangan dari rumah tangga negara ini dituangkan dalam Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, yang secara filosofis merupakan refleksi dari kedaulatan di suatu negara. Apabila di Indonesia menganut kedaulatan rakyat, maka pengalokasiannya harus ditujukan bagi kesejahteraan rakyat, maka dari itu dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara haruslah dilandasi pada sektor-sektor yang tepat sasaran dan tepat guna kepada rakyat.19 Hal ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara bahwa pemerintah dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara haruslah dilakukan secara tertib, taat, hukum efisien, ekonomis, efektif, transparan dan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Maka dari itu perlu membuat skala prioritas untuk memilah mengenai program mana yang lebih penting untuk didanai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam hal ini tentunya prioritas yang didanai adalah sektor-sektor yang bersinggungan langsung dengan kesejahteraan masyarakat seperti pendidikan, kesehatan dan juga pembangunan fasilitas umum.20

Argumentasi ini diawali dengan dua pertanyaan besar, “Apakah arif dan bijak apabila pemerintah mengalokasikan dana APBN kepada partai politik?“ dan “Apakah mendanai partai politik melalui APBN telah memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan di masyarakat?” Dengan mengalokasikan APBN kepada partai politik hal ini tentunya merupakan bentuk pemborosan yang paling nyata serta tidak memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan di masyarakat. Mengambil contoh pada Pemilihan Umum Tahun 2014 dimana terdapat 12 partai politik yang ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu, apabila mengambil sample misalnya Rp. 1 Trilyun saja untuk satu partai, itu artinya terdapat Rp. 12 Trilyun dana yang digelontorkan setiap tahunnya hanya untuk membiayai partai politik yang sejatinya bukanlah prioritas untuk didanai. Tidak bisa dibayangkan apabila partai peserta pemilu diikuti oleh 48 partai politik sebagaimana pada pemilu 1999, maka


(2)

perlimatahun. Padahal sejatinya, tidak bisa dipungkiri bahwa tujuan adanya partai politik adalah untuk menggapai suatu kekuasaan yang tidak ada kaitannya langsung dengan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Tanpa pendanaan dari APBN pun, sejatinya partai politik tetap bisa memenuhi kebutuhannya dengan mencari dana secara mandiri melalui iuran anggota dan sumbangan yang sah menurut hukum. Akan tetapi, bagi masyarakat biasa yang kekurangan, hanya dengan bantuan negaralah masyarakat tersebut bisa bertahan.

Pendanaan APBN kepada partai politik ini tentunya apabila diterapkan secara berkesinambungan, maka konsekuensi logisnya akan mengurangi pendanaan untuk sektor-sektor lain yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan. Padahal faktanya di Indonesia sendiri masih terdapat kekurangan 400 ribu guru sekolah dasar dan 7.024 rumah sakit kekurangan tempat tidur.21 Maka dari itu mendanai partai politik melalui APBN adalah bentuk pemborosan terhadap uang negara, dan lebih arif serta bijak apabila dana tersebut dialokasikan kepada sektor-sektor lain yang lebih penting seperti pendidikan dan kesehatan.

II.2.B Pendanaan Melalui APBN Menyebabkan Ketidakmandirian dan Matinya Kreativitas Partai

Partai politik beserta para kader sejatinya dituntut untuk mandiri dan kreatif dalam mencari pendanaan kepada partainya. Mandiri dan kreatif yang dimaksud adalah dengan cara yang legal dan sah menurut hukum seperti menjual pakaian dan atribut kepada simpatisan, memaksimalkan iuran anggota, membuat produk unggulan partai, menerima bantuan yang sah menurut hukum dan lain sebagainya.22 Akan tetapi dengan adanya pendanaan yang besar digelontorkan dari APBN kepada Partai Politik hal ini hanya akan membuat partai politik menjadi manja dan menitikberatkan sumber keuangan partainya hanya dari APBN semata. Hal ini secara sistemik tentunya sangat berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi dan partai politik itu sendiri, karena pada akhirnya dalam melangsungkan pendanaan kegiatan operasional partainya saja tidak mampu kreatif, apalagi untuk menawarkan dan meyakinkan program-programnya kepada konstituen? Lebih lanjut apabila disuatu hari nanti terdapat situasi dimana partai tersebut tidak lagi didanai oleh APBN karena terjadinya pelanggaran yang telah dilakukan, hal ini tentunya akan menyebabkan kebingungan terhadap partai


(3)

politik itu sendiri, karena pada dasarnya kader-kader tersebut sudah terbiasa diberikan dana yang sebegitu besarnya melalui APBN.

II.3 C Partai Politik Tidak Cakap Dan Profesional Dalam Membuat Laporan Keuangan

Filosofi dari APBN adalah sebagai bentuk kepercayaan rakyat kepada pemerintah untuk mengelola keuangan negara sehingga pengelolaanya diharapkan dapat memenuhi syarat akuntabilitas, transparan dan kewajaran.23 Penjewantahan lebih lanjut dari syarat akuntabilitas, transparan dan kewajaran dimanifestasikan melalui adanya mekanisme laporan keuangan terhadap uang yang digunakan dan berasal dari APBN, dimana penggunaanya harus dicatat dan dipertanggungjawabkan sesuai hukum. Dalam konteks ini, pengalaman membuktikan bahwa dari 12 partai politik peserta pemilu tahun 2014 hanya sedikit partai yang melaporkan penggunaan bantuan keuangan yang berasal dari APBN yang diberikan sebesar Rp.108 per suara saat pemilu legislatif, itupun didasari pada inisiatif partai tersebut dan laporannya masih jauh dari standar baku yang telah ditetapkan, selebihnya berdalih dengan berbagai macam alasan. Fakta ini kemudian diperkuat oleh riset yang dilakukan oleh Forum Indonesia Transparansi Anggaran yang menyatakan bahwa partai politik tidak memiliki perangkat transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana dari APBN, sehingga bendahara partai hanya berfungsi sebagai “kasir” tanpa pencatatan keuangan yang jelas.

Padahal sejatinya sudah ada mekanisme yang jelas tertuang dalam Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2012, dimana partai politik wajib untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari APBN kepada BPK secara berkala selama 1 tahun sekali, yang mana apabila tidak dilaporkan maka terdapat sanksi yang tegas berupa pemberhentian bantuan keuangan sampai laporan itu diterima, dan apabila terbukti disalahgunakan maka akan dituntut melakukan tindak pidana korupsi.

Mengingat dengan sudah adanya peraturan yang mengatur secara tegas akan tetapi masih saja tidak dibuat, hal ini mengindikasikan bahwa partai politik tidak cakap dan profesional dalam melaporkan penggunaan dana yang diterima dari APBN. Maka dari itu untuk menghindari penyalahgunaan anggaran yang


(4)

APBN tidak layak diberikan kepada partai politik, karena partai politik itu sendiri yang tidak memantaskan dirinya untuk mendapatkan dana tersebut.24

III. PENUTUP

Partai politik memegang peranan sentral dalam praktek berdemokrasi di suatu negara. Akan tetapi partai politik saat ini menghadapi situasi dilematis dimana besarnya cost politic tidak sejalan dengan pemasukan yang didapatkan. Hal ini membuka peluang kepada kader dan partainya untuk mencari pendanaan dengan tindakan ilegal yang dilarang oleh hukum. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan satu langkah jitu dan salah satunya adalah memperbesar alokasi pendanaan APBN kepada partai politik. Wacana tersebut sejatinya harus diselaraskan dengan memperkuat pengawasan aloakasi uang negara, dimana harus dibuat sanksi yang tegas lebih dari status quo seperti denda atau penjara apabila menyalahgunakan uang tersebut, tidak ada reimburse

terhadap pengeluaran biaya partai politik, tidak dapat mencalonkan diri lagi pada pemilu berikutnya.


(5)

1 Rizal Djalil, Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia : Konsep dan Implementasi, (Jakarta : Expose, 2014), h.3

2 Inggried Dwi, “Tjahjo : Wacana Anggaran Rp. 1 Triliyun dari APBN untuk Parpol PerluDipikirkan”http://nasional.kompas.com/read/2015/03/09/06494931/Tjahjo.Wacana.Anggaran.Rp.1.Triliun.dari.AP BN.untuk.Parpol.Perlu.Dipikirkan, diakses pada 20 Mei 2015.

3 Fajri Nursyamsi, “Partai Kartel Menurut Katz dan Mair”, h. 17, diakses pada 20 Mei 2015

4 Dewan Perwakilan Rakyat, Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Partai Politik, (Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2003), h.44.

5 Aim Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaaan : Membangun Warga Negara yang Demokratis, (Jakarta : Grafindo Media Pratama, 1998), h.157

6 Dewan Perwakilan Rakyat, op.cit., h. 50

7 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2006), h.75.

8 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan, (Jakarta : Yayasan Perludem, 2012), h.1

9 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, op.cit., h. 27

10 Mohatar Mas’oed dan Colin MacAndrews, Perbandingan Sistem Politik, (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001), h.66

11 Istiyani Pratiwi, “Hubungan Antara Iklan Partai Politik Di Televisi Dengan Sikap Pemilih Pada Pemilu 2009,” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

12 Jurjannah Intan, Sigit Suranto dan Yuni Dasusiwi, Salahkah George Berantas Korupsi? (Yogyakarta : Jogja Bangkit, 2010), h. 77.

13 M. Jusuf Kalla, Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, Prospek Pemberantasan, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 481

14Dita Angga, “Dana Parpol Bisa Kurangi Oligarki Partai” http://www.koran-sindo.com/read/994728/149/dana-parpol-bisa-kurangi-oligarki-partai-1430190771, diakses pada 20 Mei 2015.

15 Didik Supriyanto dan Lia Wulandari, op.cit., h. Iv.

16 Lia Wulandari, “Siaran Pers Bantuan Keuangan Partai Politik 12 Maret 2015”

http://www.perludem.org/index.php?option=com_k2&view=item&id=1944:siaran-pers-bantuan-keuangan-partai-politik-12-maret-2015&Itemid=128, diakses pada 20 Mei 2015.

17 Partai Gerindra, “Laporan Auditor Independen”,

http://partaigerindra.or.id/LaporanKeuanganGerindra2010-2012/LaporanAudit2011dan2012.pdf , diakses pada 17 Mei 2015.

18 Suswinarno, Analisa dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, (Jakarta : Visi Media, 2012), h.97.

19 Agus Yulianto, Hukum Anggaran dan Keuangan Publik , ( Jakarta : FHUI dan Elips Prject, 1998), h. 4

20 Santoso Soeroso, Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta : EGC, 2002), h.80

21 Dessy Suciati, “PGRI: Indonesia Kurang 400 Ribu Guru SD”

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgc5y-pgri-indonesia-kurang-400-ribu-guru-sd, dan IZN, “Menyongsong BPJS, RS Indonesia Kekurangan 7.024 Tempat Tidur

http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/eduaction/15/03/19/nlgc5y-pgri-indonesia-kurang-400-ribu-guru-sd , diakses pada 18 Mei 2015

22Ari Junaedi, “ Parpol Harus Kreatif Cari Dana Kampanye”,

http://www.centrumpost.com/autotech/417/2013/parpol-harus-kreatif-cari-dana-kampanye.html , diakses pada 17 Mei 2015

23 Suhartono, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif dan Akuntabel,” Tesis Magister Universitas Indonesia, 2011

24 Sandro Gatra, “Sembilan Alasan Menolak Jatah Rp 1 Triliun Pertahun dari APBN untuk Parpol”,

http://www.intelijen.co.id/sembilan-alasan-menolak-jatah-rp-1-triliun-per-tahun-dari-apbn-untuk-parpol/, diakses pada 20 Mei 2015.

DAFTAR PUSTAKA


(6)

Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta : Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2006

Badoh, Ibrahim Fahmy Z. Dan Abdullah Dahlan. Korupsi Pemilu Indinesia. Jakarta : ICW Press, 2010.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik..Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Dewan Perwakilan Rakyat. Tanya Jawab Mengenai Undang-Undang Partai Politik. Yogyakarta : Pustaka Widyatama, 2003.

Djalil, Rizal. Dana Politik Masalahdan Solusi. Jakarta : YHB Center : 2012.

________. Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia : Konsep dan Implementasi. Jakarta : Expose, 2014

Junaidi, Veri. Anomali Keuangan Partai Politik Pengaturan dan Praktik. Jakarta : Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2011.

Jurjannah Intan, Sigit Suranto dan Yuni Dasusiwi. Salahkah George Berantas Korupsi?. Yogyakarta : Jogja Bangkit, 2010.

Kalla, Jusuf. Korupsi Mengorupsi Indonesia : Sebab, Akibat, Prospek Pemberantasan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2010.

Komisi Pemilihan Umum. Partai Politik Peserta Pemilu 2004 ; Perjalanan dan Profilnya. Jakarta : KPU, 2004.

Labolo, Muhadam. Problem Partai di Tengah Harapan Publik. Jakarta : Forum Doktor IPDN, 2013.

Mas’oed, Mohatar dan Colin MacAndrews. Perbandingan Sistem Politik, .Yogyakarta : Gadjah Mada University Press, 2001.

Nursyamsi, Fajri. “Partai Kartel Menurut Katz dan Mair” Diakses pada 20 Mei 2015

Pratiwi, Istiyani. “Hubungan Antara Iklan Partai Politik Di Televisi Dengan Sikap Pemilih Pada Pemilu 2009.” Skripsi Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2009.

Rasyid, Harun.PengisiaanJabatanPresiden. Jakarta: PustakaUtama Graffiti, _______1999.

Soeroso, Santoso. Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia.Jakarta : EGC, 2002.

Suhartono. “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Dalam Pelaksanaan Anggaran Belanja Negara (Solusi Penyerapan Anggaran Belanja Negara Yang Efisien, Efektif dan Akuntabel.” Tesis Magister Universitas Indonesia,2011.

Sulistyo, Hermawan. Selamatkan Pemilu!Agar Rakyat Tak Ditipu Lagi. Jakarta : RIDep, 2001. .

Supriyanto, Didik dan Lia Wulandari. Bantuan Keuangan Partai Politik : Metode Penetapan Besaran, Transparansi, dan Akuntabilitas Pengelolaan. Jakarta : Yayasan Perludem, 2012.

Suswinarno. Analisa dari Risiko dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.Jakarta : Visi Media, 2012.