Tingkat pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan demam berdarah dengue di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun 2009

ABSTRAK
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Skripsi, Desember 2009
Ahmad Nur Hidayah, NIM: 105104003444
Tingkat Pengetahuan, Sikap Dan Praktek Keluarga Tentang Pencegahan DBD
Di Rw 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan
Tahun 2009
xv + 71 halaman + 15 tabel, 3 gambar, 5 lampiran
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit yang sangat meresahkan bagi
masyarakat, karena belum ada vaksin yang dapat mencegah penyakit ini. Penyakit ini
sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan, karena vektor penyebab
penyakit DBD dapat berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak mendapat
perhatian dari keluarga. Keluarga dapat melakukan gerakan pencegahan DBD jika
keluarga tersebut mempunyai pengetahuan, sikap dan praktek yang baik terhadap
pencegahan DBD. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran tingkat
pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di Rw 09
Kelurahan Kramatpela. Jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross
sectional, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengetahuan, sikap
dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD. Penelitian dilakukan pada bulan

Agustus 2009. Sampel penelitian berjumlah 73 responden yang berasal dari
lingkungan Rw 09 kelurahan Kramatpela, tekhnik pengambilan sampel menggunakan
tekhnik systematic random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan kuesioner untuk variabel pengetahuan dan sikap, lembar observasi
digunakan untuk pengambilan data praktek. Data yang telah diperoleh lalu dianalisa
menggunakan software komputer dengan analisis yang digunakan adalah analisis
univariat. Hasil penelitian didapatkan bahwa rata-rata umur responden adalah 37
tahun, sebagian besar responden (42,5%) memiliki tingkat pendidikan sampai SLTA
dan sebanyak 50,7% responden adalah ibu rumah tangga. Sebanyak 90,4% responden
memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi tentang DBD dan pencegahannya, 98,6%
responden memiliki sikap positif terhadap pencegahan DBD. Sebanyak 57,5%
responden memiliki tingkat praktek yang cukup terhadap pencegahan DBD, 24,7%
responden memiliki tingkat praktek yang kurang, dan hanya sebesar 17,8% responden
yang memiliki tingkat praktek yang baik terhadap penceghan DBD.
Kata kunci : pengetahuan, sikap, praktek, DBD
Daftar bacaan : 26 (1987-2009)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Demam berdarah dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Jumlah kasus
yang dilaporkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun dan daerah
penyebarannya bertambah luas. Kerugian sosial yang terjadi antara lain karena
menimbulkan kepanikan dalam keluarga, kematian dalam anggota keluarga, dan
tentu saja berkurangnya usia harapan hidup penduduk Indonesia. Dampak
ekonomi langsung yang ditimbulkan pada penderita DBD adalah biaya
pengobatan, kerugian disebabkan karena rata-rata lama dirawat untuk kasus DBD
di rumah sakit sekitar 5-10 hari untuk kasus berat. Perawatan intensif diperlukan
untuk pasien yang sakit berat berupa cairan intravena, tranfusi darah atau plasma,
obat-obatan dan semua itu pasti membutuhkan uang yang tidak sedikit (WHO,
1999).
Dampak ekonomi tidak langsung yang ditimbulkan akibat DBD adalah
kehilangan waktu kerja, waktu untuk pendidikan dan biaya lain yang dikeluarkan
selain untuk pengobatan seperti biaya untuk transportasi dan akomodasi selama
perawatan penderita. Dampak yang paling berat yang ditimbulkan oleh DBD
tentu saja kematian, karena penderita DBD yang tidak ditangani secara tepat dan
cepat akan sangat meningkatkan resiko terjadinya kematian. Penyakit DBD juga
merupakan salah satu penyakit yang meresahkan bagi masyarakat, karena sampai


saat ini belum ada obat atau vaksin untuk mencegah penyakit ini (Dirjen P2PL
Depkes RI, 2007).
Sejak pertama kali ditemukan penyakit DBD di Indonesia (Surabaya dan
Jakarta) pada tahun 1968 jumlah kasus cenderung meningkat dan daerah
penyebarannya bertambah luas, sehingga pada tahun 1994 DBD telah tersebar ke
seluruh propinsi di Indonesia. Kejadian luar biasa (KLB) masih sering terjadi di
berbagai daerah di Indonesia. Pada tahun 1998 terjadi kejadian luar biasa dengan
jumlah penderita sebanyak 72.133 orang dan merupakan kejadian luar biasa
terbesar sejak pertama kali penyakit DBD ditemukan di Indonesia dengan 1.411
kematian (case fatality rate / CFR) sebesar 2%. Pada tahun 2006 selama periode
Januari-September tercatat 3 propinsi mengalami kejadian luar biasa, yaitu Jawa
Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat dengan jumlah kasus 1.323 orang,
21 orang diantaranya meninggal dunia (CFR: 1,59%). Jumlah pasien DBD di
Indonesia tahun 2007 sebanyak 156.767 orang dengan jumlah kematian 1.570
orang (Dirjen P2PL Depkes RI, 2007).
Kasus penyakit DBD di propinsi DKI Jakarta sejak tahun 1968 sampai
tahun 2002 cenderung meningkat, bahkan berdasarkan data tahun 2002 diketahui
bahwa propinsi DKI Jakarta merupakan salah satu propinsi yang angka kasus
penderita DBD tertinggi di Indonesia. Menurut data dari Dinas Kesehatan DKI

Jakarta pada tahun 2009 pada periode Januari sampai Februari di DKI Jakarta
sudah tercatat 2.940 pasien yang dirawat akibat DBD dan lima orang diantaranya
meninggal dunia. Peningkatan kejadian DBD di Jakarta saat ini terbilang ironis,

karena Jakarta merupakan ibukota Indonesia yang menjadi tolak ukur tingkat
derajat kesehatan untuk Indonesia.
Beberapa kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah untuk
menekan angka kejadian penyakit DBD dan akibat yang ditimbulkannya
diantaranya memerintahkan semua rumah sakit baik negeri atau swasta untuk
tidak menolak pasien yang menderita DBD, melakukan foging atau pengasapan
secara masal dan membagikan bubuk abate secara gratis pada daerah yang
penduduknya banyak terkena DBD, penyebaran pamflet dan poster tentang
pentingnya melakukan pencegahan DBD dengan melakukan kegiatan 3M (Dirjen
P2PL Depkes RI, 2007). Salah satu kebijakan pemerintah DKI Jakarta dalam
upaya pencegahan DBD adalah setiap keluarga wajib untuk melakukan gerakan
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) melalui kegiatan 3M selama 30 menit
setiap hari jumat yang dimulai pada pukul 09.00 – 09.30 WIB.
Tentu saja kebijakan pemerintah tentang anjuran setiap rumah sakit (RS)
untuk menerima pasien DBD mempunyai beberapa kendala, Pemerintah Provinsi
DKI misalnya telah meminta 17 RS untuk tidak menarik biaya bagi penderita

DBD dari keluarga miskin tanpa harus menunjukkan surat keterangan tidak
mampu, sedangkan 56 RS lainnya dihimbau untuk memberikan pelayanan gratis
asalkan korban DBD menunjukkan kartu tidak mampu. Kenyataan di lapangan
menunjukkan, ada sejumlah RS tetap meminta bayaran untuk menangani kasus
DBD. Agar jumlah korban akibat DBD bisa ditekan sekecil mungkin, Pemerintah
Provinsi DKI sebaiknya perlu memantau pelaksanaan kebijakan di lapangan guna
menunjukkan sikap konsistensi pemerintah terhadap penderita DBD, terutama

dari keluarga miskin (Martinah, 2005). Pelaksanaan kebijakan pemerintah berupa
pengasapan atau fogging untuk menekan kejadian DBD ternyata masih
mempunyai kelemahan, karena pengasapan hanya akan membunuh nyamuk
dewasa saja dan tidak dapat membunuh jentik nyamuk. Menurut Wuryadi (2001)
dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI
bahwa pengasapan hanya bersifat psikologis dan mahal, bahkan fogging
mempunyai dampak yang buruk terhadap lingkungan.
Upaya-upaya pemerintah untuk menekan angka kejadian DBD akan
tercapai apabila ada peran dari keluarga. Keluarga mempunyai peran yang sangat
penting dalam menjaga kebersihan lingkungannya, karena penyakit DBD sangat
erat hubungannya dengan keadaan lingkungan. Keluarga merupakan suatu sistem
dimana keluarga mempunyai kesempatan untuk memperhatikan kebersihan

lingkungannya dan menjaga kesehatan anggota keluarga. Informasi masalah
kesehatan khususnya tentang DBD akan mempengaruhi tugas keluarga di bidang
kesehatan yang meliputi pertama adalah mengenal masalah kesehatan, kedua
adalah membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat, tugas kesehatan
keluarga yang ketiga adalah memberi perawatan pada anggota keluarga yang
sakit, tugas kesehatan keluarga yang keempat

adalah keluarga dapat

menggunakan fasilitas kesehatan yang ada, dan tugas kesehatan keluarga yang
kelima adalah menciptakan lingkungan rumah yang sehat.
Hal ini tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya pendidikan
kesehatan yang diberikan perawat komunitas kepada keluarga. Peran dari
keperawatan komunitas terhadap keluarga sangat besar dalam upaya pencegahan

DBD karena keperawatan komunitas merupakan suatu bentuk pelayanan
kesehatan yang dilakukan sebagai upaya dalam pencegahan dan peningkatan
derajat kesehatan masyarakat melalui pelayanan keperawatan langsung (direction)
terhadap individu, keluarga, dan masyarakat (Mahyudin, 2009). Grout (1958,
dalam Machfoedz, 2003) mengemukakan bahwa pendidikan kesehatan adalah

upaya menerjemahkan apa yang telah diketahui tentang kesehatan kedalam
perilaku yang diinginkan dari perorangan ataupun masyarakat melalui proses
pendidikan. Tujuan dari pendidikan kesehatan adalah tercapainya perubahan
perilaku individu, keluarga, dan masyarakat dalam membina dan memelihara
perilaku sehat dan lingkungan sehat serta berperan aktif dalam upaya
mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Pendidikan kesehatan sangat
penting untuk meningkatkan pengetahuan, mengubah sikap serta mengarahkan
keluarga kepada perilaku yang dapat mencegah DBD (Setiawan, 2008).
Pengetahuan merupakan domain terendah dalam perubahan sikap dan
praktek. Menurut Roger (1974, dalam Notoadmodjo, 2003) sikap dan praktek
yang tidak didasari oleh pengetahuan yang adekuat tidak akan bertahan lama pada
kehidupan seseorang, sedangkan pengetahuan yang adekuat jika tidak diimbangi
oleh sikap dan praktek yang berkesinambungan tidak akan mempunyai makna
yang berarti bagi kehidupan. Pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan, sikap, dan praktek merupakan 3 komponen penting yang harus
dimiliki oleh keluarga untuk mencegah penyakit DBD.
Penanganan masalah DBD di Indonesia pada dasarnya tidak bisa hanya
mengandalkan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tetapi harus juga

melibatkan keluarga untuk melakukan upaya pencegahan. Berdasarkan hal

tersebut peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan
praktek keluarga tentang pencegahan DBD.

B. Identifikasi Masalah
1. Rumusan Masalah
Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menekan angka
kejadian DBD, untuk daerah Jakarta Selatan pemerintah daerah sudah
mengeluarkan beberapa kebijakan untuk menekan angka kejadian DBD seperti
kegiatan PSN setiap hari jumat dan pengasapan / fogging. Meskipun upaya
pencegahan DBD telah dilakukan, namun berdasarkan data dari Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Selatan tahun 2008 bahwa kejadian DBD yang terjadi di
daerah Kelurahan Kramatpela dalam satu tahun masih cukup tinggi jika
dibandingkan dengan kelurahan lain yang ada dalam wilayah Kecamatan
Kebayoran Baru, yakni sebanyak 40 kasus DBD. Melihat upaya pemerintah
sudah maksimal untuk mencegah DBD, maka peneliti ingin mengetahui sejauh
mana pengetahuan, sikap dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD.
2. Batasan Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif, tujuannya hanya untuk mengetahui gambaran
tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD di
RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru Jakarta Selatan

tahun 2009.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran perilaku keluarga

tentang pencegahan DBD di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan
Kebayoran Baru Jakarta Selatan tahun 2009.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi data demografi keluarga di RW 09 kelurahan Kramatpela
kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009.
b. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan keluarga tentang pencegahan DBD
di RW 09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009.
c. Mengidentifikasi sikap keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09
kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009.
d. Mengidentifikasi tingkat praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW
09 kelurahan Kramatpela kecamatan Kebayoran Baru tahun 2009.


D. Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti
a. Menambah wawasan bagi peneliti mengenai tingkat pengetahuan, sikap,
dan praktek keluarga tentang pencegahan DBD untuk ikut terlibat dalam
upaya peningkatan pencegahan primer penyakit DBD.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar penelitian lanjutan bagi
peneliti dan peneliti lain.

2. Bagi institusi pendidikan keperawatan
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan
keperawatan komunitas dalam mengembangkan program pembelajaran
keperawatan komunitas.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai rujukan tambahan
untuk melakukan pengabdian kepada masyarakat.

3. Bagi perawat komunitas
Mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga tentang
pencegahan DBD untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan asuhan
keperawatan kepada keluarga khususnya dalam pencegahan DBD sebagai
pertimbangan dasar bagi perawat dalam memberikan pendidikan kesehatan

tentang upaya pencegahan DBD dan memberikan pelayanan keperawatan
keluarga.

4. Bagi Puskesmas Kelurahan Kramatpela
Dapat membantu puskesmas dalam menurunkan jumlah kasus penderita DBD
melalui data dan informasi yang diperoleh mengenai pengetahuan, sikap dan
praktek keluarga di RW 09 Kelurahan Kramatpela Kecamatan Kebayoran
Baru, sehingga dapat menjadi perhatian serius bagi puskesmas dalam usaha
pencegahan DBD dan pengembangan sasaran pelayanan kesehatan kepada
masyarakat di masa mendatang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Perilaku
Perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup)
yang bersangkutan. Perilaku manusia berasal dari dorongan yang ada dalam diri
manusia, sedangkan dorongan merupakan usaha untuk memenuhi kebutuhan yang
ada dalam diri manusia. Terdapat berbagai macam kebutuhan diantaranya
kebutuhan dasar dan kebutuhan tambahan (Purwanto, 1999). Robert Kwick
(1974, dalam Notoadmodjo, 2003) menyatakan bahwa perilaku adalah tindakan
atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati dan bahkan dapat dipelajari.
Skinner (1938, dalam Notoadmodjo, 2003) mengatakan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organisme yang
bersangkutan. Beberapa pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku
manusia adalah semua kegiatan yang dilakukan baik yang dapat diamati secara
langsung maupun yang tidak dapat diamati secara langsung oleh pihak luar
(Notoatmodjo, 2003)
Skinner (1938, dalam Notoatmodjo, 2003) membedakan dua respon
perilaku terhadap suatu rangsangan, yaitu:
1. Respondent response atau reflexive response, ialah suaatu respon yang timbul
akibat rangsangan-rangsangan tertentu dan rangsangan ini disebut eliciting
stimuli dan akan menimbulkan respon yang relatif tetap. Contohnya suatu

cahaya yang kuat akan menyebabkan mata secara otomatis akan tertutup.
Respon ini juga mencakup respon emosi yang timbul akibat hal yang kurang
menyenangkan bagi individu.
2. Operant response atau instrumental response, yaitu respon yang timbul dan
berkembang akibat adanya rangsangan-rangsangan tertentu yang disebut
reinforcing stimuli. Rangsangan ini bersifat menguatkan respon yang telah
dilakukan oleh manusia. Contohnya jika sebuah keluarga mendapatkan
penghargaan atas upaya yang dilakukan untuk mencegah DBD di lingkungan
rumahnya dengan teratur mengikuti gerakan pemberantasan sarang nyamuk,
maka keluarga tersebut akan lebih

giat dan rajin lagi untuk melakukan

gerakan pemberantasan sarang nyamuk. Operant response atau instrumental
response merupakan bagian terbesar dari perilaku manusia dalam kehidupan
sehari-hari dan kemungkinan untuk memodifikasi respon tersebut sangatlah
besar bahkan dapat dikatakan tidak terbatas (Notoatmodjo, 1997).
Perilaku kesehatan adalah suatu respon individu terhadap suatu
rangsangan yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan
kesehatan, makanan dan minuman serta lingkungan (Notoatmodjo, 2003).
Perilaku kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, diantaranya:
1. Perilaku

pemeliharaan kesehatan (health

maintenance),

perilaku

ini

menggambarkan usaha-usaha individu untuk menjaga kesehatannya dan
upaya yang dilakukan individu untuk untuk penyembuhan jika individu
tersebut sakit.
2. Perilaku terhadap pelayanan kesehatan, adalah respon individu terhadap

sistem pelayanan kesehatan. Perilaku ini mencakup upaya individu pada saat
menderita penyakit mulai dari pengobatan sendiri sampai berobat keluar
negeri.
3. Perilaku kesehatan lingkungan, adalah upaya seseorang untuk merespon
rangsangan yang berasal dari lingkungan baik lingkungan fisik, sosial, budaya
agar lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Perilaku ini
menggambarkan upaya individu mengelola lingkungannya sehingga tidak
mengganggu kesehatannya.
Becker (1979, dalam Notoadmodjo,2003) membagi tiga kelompok perilaku
kesehatan, diantaranya:
1. Perilaku hidup sehat, yaitu perilaku individu untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatannya.
2. Perilaku sakit (illness behavior), mencakup respon seseorang terhadap sakit
dan penyakitnya, persepsinya terhadap sakit dan pengetahuannya terhadap
penyakit.
3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), perilaku ini meliputi tindakan
untuk

memperoleh kesembuhan,

mengenal

sarana

pelayanan

untuk

penyembuhan penyakit dan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai
individu yang sedang sakit.
Dilihat dari bentuk respon manusia terhadap rangsangan ini, maka perilaku dibagi
menjadi dua yaitu perilaku tertutup (bentuk pasif) dan perilaku terbuka (bentuk
aktif).
1. Perilaku tertutup (covert behavior) adalah respon internal, yaitu respon yang

terjadi di dalam diri manusia dan tidak dapat diamati secara langsung oleh
orang lain. Respon ini masih terbatas terhadap perhatian, persepsi,
pengetahuan dan sikap individu terhadap suatu rangsangan.
2. Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu apabila perilaku tersebut dapat secara
langsung diamati oleh orang lain.
Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dan sikap
merupakan respon individu terhadap suatu rangsangan dan masih bersifat perilaku
tertutup (covert behavior), sedangkan tindakan nyata seseorang merupakan respon
individu terhadap suatu rangsangan yang bersifat perilaku terbuka (overt
behavior).

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku
Terbentuknya suatu perilaku ditentukan oleh faktor-faktor baik yang
terdapat dari dalam maupun dari luar. Green (1980) menjelaskan dalam teorinya
bahwa terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi terjadinya suatu perilaku,
yaitu:
1. Faktor predisposisi, yaitu merupakan faktor-faktor yang mempermudah
terjadinya perilaku seseorang yang meliputi pengetahuan dan sikap terhadap
kesehatan, tradisi dan kepercayaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, usia, kerampilan, tingkat pendidikan dan social ekonomi.
2. Faktor

pemungkin

(enabling

factor),

adalah

faktor-faktor

yang

memungkinkan atau yang memfasillitasi terjadinya suatu tindakan. Dalam hal
ini adalah sarana dan prasarana seperti air bersih, tempat pembuangan

sampah, puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya.
3. Faktor penguat (reinforcing factor), adalah faktor-faktor yang mendorong atau
memperkuat terbentuknya suatu perilaku seperti contoh perilaku dari tokoh
masyarakat, perilaku tokoh agama, peraturan, undang-undang, surat
keputusan, dan sebagainya.

C. Domain Perilaku
Bloom (1987, dalam Notoatmodjo, 2003) mengatakan bahwa aspek
perilaku yang dikembangkan dalam proses pendidikan meliputi tiga ranah yaitu:
ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotor.
1. Pengetahuan (knowledge)
Pengetahuan merupakan hasil tahu yang didapatkan dari lima
penginderaan individu seperti indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
perabaan, dan perasa terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar
pengetahuan manusia didapat melalui indera penglihatan dan pendengaran
(Notoatmodjo, 1997).
Menurut taksonomi Bloom (1987) pengetahuan mencakup enam
tingkat domain kognitif, yaitu :
a. Mengetahui (knowledge), tingkat ini merupakan tingkat terendah dari
domain kognitif. Pada tingkat ini individu mampu mengingat kembali
materi yang telah dipelajari sebelumnya termasuk hal-hal dari fakta yang
spesifik sampai suatu teori lengkap tetapi penekanannya hanya sebatas
informasi yang sesuai.

b. Memahami

(comprehension),

pada

tingkat

ini

individu

mampu

menjelaskan tentang objek yang diketahuinya dan menyerap arti dari
informasi serta menginterpretasikan objek tersebut secara benar.
c. Mengaplikasikan (application), pada tingkat ini individu mampu
menggunakan informasi yang didapatnya dalam situasi nyata. Perilaku
pada tingkat domain ini meliputi aplikasi prinsip atau aturan, metode,
konsep, hukum, dan teori.
d. Menganalisa (analysis), pada tingkat ini individu mampu menjabarkan
materi suatu objek ke dalam komponen-komponen yang saling berkaitan
dalam situasi yang teroganisasi. Perilaku yang termasuk pada domain ini
antara lain identifikasi komponen, analisa menyangkut hubungan antara
komponen.
e. Mensisntesis (synthesis), pada tingkat ini individu mampu untuk
menyusun komponen yang ada secara bersama-sama untuk membentuk
sesuatu yang baru.
f. Mengevaluasi (evaluation), tingkat ini merupakan tingkat tertinggi pada
hierarki domain kognitif. Pada tingkat ini individu mampu membuat
penilaian terhadap suatu objek, penilaian ini berdasarkan pada
kemampuan untuk mengorganisasi dan menentukan keterkaitan dengan
informasi yang ada.
Menurut Rogers (1974, dalam Notoatmodjo, 2003) sebelum seseorang
mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang tersebut sudah terjadi proses
berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran) dimana orang tersebut menyadari dalam arti
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (objek).
b. Interest (merasa tertarik) terhadap stimulus atau objek tersebut. Disini
sikap subjek sudah mulai timbul.
c. Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus
tersebut bagi dirinya.
d. Trial (mencoba) dimana subjek mulai mencoba untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh stimulus.
e.

Adoption dimana subjek telah berperilaku

baru

sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Menurut Hendra (2008), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
a. Umur
Umur mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang.
Semakin bertambah usia maka akan semakin berkembang pula daya
tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya
semakin membaik. Semakin tua umur seseorang maka proses – proses
perkembangan mentalnya bertambah baik., akan tetapi pada umur tertentu
bertambahnya proses perkembangan mental seperti ini tidak secepat
seperti ketika berumur belasan tahun.
b. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan
kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup.

Pendidikan mempengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan
seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi.
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan dengan pendidikan dimana
diharapkan seseorang dengan pendidikan tinggi, maka orang tersebut akan
semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu ditekankan bahwa
seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak berpengetahuan
rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal, akan tetapi juga dapat diperoleh pada pendidikan nonformal.
c. Pekerjaan
Hurlock (1998) mengatakan bahwa pekerjaan merupakan suatu kegiatan
atau aktifitas seseorang untuk memperoleh penghasilan guna kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Lama bekerja merupakan pengalaman individu yang
akan menentukan pertumbuhan dalam pekerjaan dan kehidupannya seharihari.
2. Sikap (attitude)
Notoatmodjo (2003) mengatakan sikap adalah respon individu yang
masih bersifat tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat
diamati secara langsung oleh individu lain. Sikap belum merupakan suatu
tindakan, tetapi sikap merupakan suatu faktor pendorong individu untuk
melakukan tindakan. Proses terbentuknya suatu sikap pada individu dapat
dijelaskan pada diagram ini:

Reaksi

Stimulus
Proses Stimulus
Rangsangan

Tingkah laku
(terbuka)

Sikap

Gambar 2.1. Proses terbentuknya sikap

Menurut Allport (1954, dalam Notoadmodjo, 2003) sikap mempunyai tiga
komponen pokok, yaitu:
a. Kepercayaan (keyakinan), ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak
Ketiga komponen itu secara bersama-sama membentuk suatu sikap
yang utuh (total attitude) dan dipengaruhi oleh pengetahuan, pikiran,
keyakinan dan emosi. Sikap mempunyai beberapa tingkatan, diantaranya :
a. Menerima (receiving), pada tingkat ini individu mau memperhatikan
stimulus yang diberikan berupa objek atau informasi tertentu.
b. Merespon (responding), pada tingkat ini individu akan memberikan
jawaban apabila ditanya mengenai objek tertentu dan menyelesaikan tugas
yang diberikan. Usaha individu untuk menjawab dan menyelesaikan tugas
yang diberikan merupakan indikator bahwa individu tersebut telah
menerima ide tersebut terlepas dari benar atau salah usaha yang dilakukan
oleh individu tersebut.
c. Menghargai (valuing), pada tingkat ini individu sudah mampu untuk

mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu
masalah, berarti individu sudah mempunyai sikap positif terhadap suatu
objek tertentu.
d. Bertanggung jawab (responsible), pada tingkat ini individu mampu
bertanggung jawab dan siap menerima resiko dari sesuatu yang telah
dipilihnya.
3. Praktek atau Tindakan (practice)
Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam suatu tindakan,
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan
terwujudnya suatu tindakan, diantaranya adalah faktor fasilitas dan faktor
dukungan dari pihak lain. Beberapa tingkatan dalam praktek antara lain:
a. Persepsi (perception), merupakan praktek pada tingkat pertama. Pada
tingkat ini individu mampu mengenal dan memilih berbagai objek terkait
dengan tindakan yang akan diambil.
b. Respon terpimpin (guide response), indikator pada tingkat ini adalah
individu mampu untuk melakukan sesuatu dengan urutan yang benar.
c. Mekanisme (mechanism), pada tingkat ini individu sudah menjadikan
suatu tindakan yang benar menjadi suatu kebiasaan.
d. Adopsi (adoption), individu sudah mampu memodifikasi suatu tindakan
tanpa mengurangi nilai kebenaran dari tindakan tersebut.
Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak langsung dengan cara
wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan oleh individu sebelumnya,

dan secara langsung dengan cara mengobservasi tindakan atau kegiatan
individu tersebut (Notoadmodjo, 2003).

D. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Pengertian
Suhendro (2006) mengatakan bahwa DBD adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri
otot dan atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan hemoragik. Hadinegoro (1999) mengatakan DBD adalah
penyakit penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk aedes aegypti. Menurut WHO (1999) DBD adalah
penyakit yang ditandai oleh empat manifestasi klinis utama yaitu demam
tinggi, fenomena perdarahan, sering disertai oleh hepatomegali, dan pada
keadaan berat terjadi tanda-tanda kegagalan sirkulasi.
2. Etiologi Demam Berdarah Dengue (DBD)
DBD disebabkan oleh virus dengue yang merupakan bagian dari
falimi flaviviridae. Virus ini terbagi menjadi empat, yaitu DEN-1, DEN-2,
DEN-3 dan DEN-4, untuk mengetahui jenis virus dapat dilakukan melalui uji
serologi.
3. Bionomik Vektor Demam Berdarah Dengue (DBD)
Bionomik vektor adalah tata cara atau perilaku vektor. Vektor
penyakit DBD adalah nyamuk aedes aegypti. Nyamuk ini memiliki
kemampuan jarak terbang sejauh 40-100 meter dan tidak dapat hidup diatas

ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut dan kurang dapat berkembang
biak dengan baik didaerah bersuhu rendah (Tapan, 2004).
Pada dasarnya dalam kehidupan nyamuk terdapat 3 macam tempat
yang dibutuhkannya, yaitu tempat untuk beristirahat (resting places), tempat
untuk mendapatkan makanan (feeding places), dan tempat untuk berkembang
biak (breeding places). Tempat berkembang biak nyamuk aedes berupa
genangan air yang tidak langsung berhubungan dengan tanah, jernih dan gelap
baik yang berada di dalam ruangan ataupun di luar ruangan.
Dalam kehidupan di air, perkembangan nyamuk aedes dari telur
sampai mencapai nyamuk dewasa membutuhkan waktu 7-14 hari, yaitu 2-3
hari untuk perkembangan dari telur menjadi jentik, 4-9 hari dari jemtik
menjadi pupa, 1-2 hari dari pupa menjadi nyamuk dewasa. Berdasarkan
kesenangan untuk mendapatkan darah, nyamuk aedes biasanya menggigit
manusia pada pukul 09.00-10.00 pagi dan antara pukul 16.00-17.00 petang.
4. Manifestasi Klinik Demam Berdarah Dengue (DBD)
Manifestasi klinik yang khas pada penderita DBD adalah demam
tinggi, fenomena perdarahan, pembesaran hati (hepatomegali), dan terjadi
kegagalan sirkulasi. Perubahan patofisiologis utama yang menentukan
penyakit DBD adalah terjadinya peningkatan permeabilitas membran kapiler
sehingga terjadi kebocoran cairan plasma yang ditandai oleh peningkatan
hematokrit. WHO (1997) membagi derajat DBD menjadi empat derajat, yaitu:
a. Derajat I : demam mendadak 2-7 hari diikuti gejala tidak spesifik. Satu
satunya manifestasi perdarahan adalah tes tourniquet positif.

b. Derajat II : gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau tempat lain.
c. Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita
gelisah.
d. Derajat IV : syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diperiksa.
5. Patogenesis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Infeksi virus terjadi melalui gigitan nyamuk aedes aegypti, virus
memasuki aliran darah

manusia untuk kemudian melakukan replikasi

(memperbanyak diri). Bentuk perlawanan yang akan dilakukan oleh tubuh
adalah tubuh akan membentuk antibodi dan selanjutnya akan terbentuk
kompleks antigen antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya.
Kompleks antigen antibodi tersebut akan melepaskan zat-zat yang merusak
sel-sel pembuluh darah, proses ini disebut proses autoimun. Proses tersebut
menyebabkan permeabilitas kapiler meningkat yang salah satunya ditandai
dengan melebarnya pori-pori pembuluh darah kapiler. Akibatnya tubuh akan
mengalami perdarahan mulai dari bercak sampai perdarahan hebat pada kulit,
saluran pencernaan (muntah darah), saluran pernapasan (epistaksis), dan
organ vital seperti jantung, ginjal dan hati yang sering mengakibatkan
kematian (Widoyono, 2008).
6. Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)

WHO (1997, dalam Sardjana, 2007) menyebutkan diagnosis demam
berdarah dengue dapat ditegakkan bila semua hal dibawah ini terpenuhi:
a. Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari, biasanya bersifat bifasik
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan seperti uji tourniquet
positif, terdapat petekie, perdarahan mukosa atau perdarahan dari bagian
tubuh lain dan hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari 100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda dari kebocoran plasma seperti peningkatan
hematokrit lebih dari 20%, penurunan hematokrit lebih dari 20% setelah
mendapat terapi cairan dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya
dan tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, ascites, atau
hipoproteinemia.
Seorang penderita DBD dikatakan mengalami Sindrom Syok Dengue (SSD)
apabila seluruh kriteria diatas terjadi ditambah tanda-tanda kegagalan sirkulasi
dengan manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun sampai
diastolik dibawah 20 mmHg, kulit dingin serta pasien gelisah.
7. Penanganan Keperawatan untuk Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD)
Tindakan mandiri perawat:
a. Kaji saat timbulnya demam, rasional tindakan ini adalah untuk
mengidentifikasi pola demam klien dan sebagai indikator untuk tindakan
selanjutnya.
b. Observasi tanda – tanda vital klien seperti suhu, nadi, tensi, pernapasan,
tiap 4 jam atau lebih sering, rasional tindakan ini adalah sebagai pedoman

/ acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
c. Berikan kompres hangat pada kepala dan axilla, rasional tindakan ini
adalah untuk membantu menurunkan suhu tubuh yang sedang mengalami
demam.
d. Catat intake dan output, rasional tindakan ini adalah untuk mengetahui
adanya ketidakseimbangan cairan tubuh.
e. Observasi adanya tanda – tanda syok, rasional tindakan ini adalah agar
dapat segera dilakukan tindakan apabila klien mengalami shock.
f. Anjurkan klien untuk banyak minum, rasional tindakan ini adalah untuk
menambah volume cairan tubuh klien.
g. Kaji tanda dan gejala dehidrasi/hipovolemik (riwayat muntah, diare,
kehausan, turgor kulit buruk), rasional tindakan ini adalah untuk
mengetahui penyebab defisit volume cairan.
Tindakan kolaborasi:
a. Pemberian antipiretik, rasional tindakan ini adalah untuk mengurangi
demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus.
b. Pemberian cairan intra vena sesuai indikasi, rasional tindakan ini adalah
untuk mengatasi defisit volume cairan dengan keadaan umum yang buruk.
8. Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berikut ini akan diuraikan cara yang dapat dilakukan oleh masyarakat
untuk mencegah DBD menurut Dirjen P2PL Depkes RI tahun 2007 adalah:
a. Fogging focus. Salah satu upaya efektif untuk pencegahan DBD adalah
dengan cara memutuskan mata rantai kehidupan nyamuk aedes aegypti.

Pengasapan (fogging) adalah salah satu cara yang cukup banyak dipakai di
Indonesia, walaupun sebenarnya cara ini kurang efektif. Pengasapan
hanya dapat membunuh nyamuk dewasa pada suatu wilayah dengan
radius 100-200 meter di sekitarnya dan efektif hanya untuk satu sampai
dua hari. Pengasapan tidak dapat membunuh larva nyamuk.
b. PSN

(Pemberantasan

Sarang

Nyamuk)

DBD.

Pencegahan

perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti sangat tepat dilakukan dengan
program 3M (Menguras, Menutup dan Mengubur). Menguras bak mandi,
bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan, menutup rapat
tempat penampungan air serta mengubur barang-barang bekas yang sudah
tidak terpakai yang kesemuanya dapat menampung air hujan sebagai
tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
penyakit DBD sangat perlu dilakukan.
c. Abatisasi. Dilaksanakan dengan cara menaburi bubuk abate di semua
tempat penampungan air di rumah dan bangunan yang mempunyai resiko
sebagai tempat perkembangbiakan jentik nyamuk Aedes aegypti.
d. Memasang kawat nyamuk halus pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi
diseluruh bagian rumah.
e. Tidur menggunakan kelambu atau menggunakan obat nyamuk (bakar atau
gosok) untuk mencegah gigitan nyamuk.
f. Mengganti air vas bunga, minuman burung dan temapt lainnya yang dapat
dijadikan tempat perkembangbiakan vektor DBD minimal satu minggu
sekali.

g. Memelihara ikan pemakan jentik nyamuk.
h. Menggunakan obat nyamuk (lotion atau obat nyamuk bakar) untuk
mencegah gigitan nyamuk.

E. Perilaku Keluarga Terhadap Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Duvall (1985, dalam Iqbal, 2006) menyatakan bahwa keluarga adalah
sekumpulan orang ysng dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran
yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota. UndangUndang No. 10 tahun 1992 manyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami, istri dan anak atau ayah atau ibu dan
anak. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (1998) menyebutkan bahwa
keluarga adalah unit terkecil dari suatu masyarakat yang terdiri dari kepala
keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat dibawah
suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan.
Tugas kesehatan keluarga dalam upaya pencegahan terhadap DBD adalah
keluarga pertama kali harus mampu mengenal masalah yang berkaitan dengan
penyakit DBD, keluarga dapat mengenal masalah DBD dengan beberapa cara
seperti penyuluhan dari petugas kesehatan, informasi dari majalah atupun peran
aktif keluarga untuk mencari tahu informasi mengenai DBD. Kesadaran akan
tumbuh pada tiap anggota keluarga untuk melakukan tindakan pencegahan
terhadap DBD jika keluarga sudah dapat mengenal masalah kesehatan yang
berhubungan dengan DBD.

Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluraga harus mampu
memutuskan tindakan yang tepat jika ada salah satu anggota keluarga yang
terkena penyakit DBD, keluarga harus dengan cepat memutuskan tindakan yang
tepat untuk anggotanya yang terkena DBD dengan memutuskan untuk segera
membawa anggota keluarganya yang terkena DBD ke rumah sakit. Keputusan
harus segera diambil oleh keluarga karena keluarga yang dapat memantau
keadaan anggota keluarganya yang terkena DBD.
Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus mampu
merawat anggota keluarganya yang terkena DBD. Keluarga harus mempunyai
kemampuan untuk memberikan perawatan pertama pada anggotanya yang terkena
DBD karena penyakit DBD akan sangat fatal akibatnya jika keluarga tidak segera
memberikan perawatan pertama pada penderita DBD.
Tugas kesehatan keluarga selanjutnya adalah keluarga harus dapat
menciptakan lingkungan yang sehat. Kemampuan keluarga ini sangat erat
hubungannya dengan pencegahan penyakit DBD karena nyamuk penyebab DBD
dapat berkembangbiak di lingkungan rumah yang tidak diperhatikan oleh
keluarga. Keluarga dapat melakukan tindakan 3M pada lingkungan rumahnya
untuk mencegah terjadinya DBD.
Tugas kesehatan keluarga yang terakhir adalah keluarga harus dapat
memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada untuk membantu anggota keluarganya
yang terkena DBD. Pemerintah Indonesia telah membebaskan biaya untuk pasien
DBD, jadi tidak ada alasan bagi keluarga untuk tidak membawa anggotanya yang

terkena DBD karena penyakit ini akan menimbulkan kematian yang sangat cepat
jika penderitanya tidak segera dibawa ke rumah sakit.
Perilaku keluarga yang dimaksud dalam pencegahan DBD adalah
keterlibatan semua anggota keluarga baik tanggung jawab secara mental dan
emosional. Pengelolaan sarana yang diadakan agar tetap terjamin dan terpelihara
sehingga tidak menjadi tempat perkembangbiakkan vektor penyakit DBD.
Maironah (2005) dan Yatim (2001) mengatakan bahwa dalam melakukan
pencegahan DBD keluarga perlu melakukan beberapa metode yang tepat
diantaranya:
1. Lingkungan, metode ini digunakan untuk mengendalikan perkembangbiakan
nyamuk tersebut antara lain dengan gerakan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN), memakai pakaian dengan lengan panjang untuk menghindari gigitan
nyamuk penyebab DBD, menghindari tidur siang, menggunakan kelambu saat
tidur, merapikan pakaian kotor yang bergantungan dibalik pintu.
2. Biologi, pencegahan DBD dengan metode biologi antara lain keluarga dapat
memelihara ikan pemakan jentik jika di rumah mereka terdapat kolam.
3. Kimiawi, cara pencegahan DBD dengan menggunakan metode kimiawi antara
lain

keluarga

dapat

memberikan

bubuk

abate

pada

tempat-tempat

penampungan air dengan dosis takaran 1 gram bubuk abate untuk 10 liter air
dan keluaraga dapat juga melakukan pengasapan atau fogging dan
menggunakan obat nyamuk (obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot dan
lotion anti nyamuk).

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa cara yang paling efektif yang dapat
dilakukan

keluarga

untuk

pencegahan

DBD

adalah

dengan

kegiatan

pemberantasan sarang nyamuk yaitu menguras, menutup dan mengubur serta
tindakan lainnya seperti memberikan bubuk abate, memasang obat nyamuk,
melakukan pemeriksaan jentik berkala (Yatim, 2001).

F. Peran Perawat Komunitas dalam Pencegahan Demam Berdarah Dengue
1. Pengertian Keperawatan Komunitas
Menurut WHO (1959, dalam Mahyudin, 2009), keperawatan
komunitas adalah bidang perawatan khusus yang merupakan gabungan
keterampilan ilmu keperawatan, ilmu kesehatan masyarakat dan bantuan
sosial, sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat secara
keseluruhan guna meningkatkan kesehatan, penyempurnaan kondisi sosial,
perbaikan lingkungan fisik, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan bahaya
yang lebih besar, ditujukan kepada individu, keluarga, yang mempunyai
masalah dimana hal itu mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.
Keperawatan kesehatan komunitas adalah pelayanan keperawatan
profesional yang ditujukan kepada masyarakat dengan pendekatan pada
kelompok resiko tinggi, dalam upaya pencapaian derajat kesehatan yang
optimal melalui pencegahan penyakit dan peningkatan kesehatan dengan
menjamin keterjangkauan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dan
melibatkan klien sebagai mitra dalam perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi pelayanan keperawatan (Spradley, 1985; Logan and Dawkin, 1987

dalam Mahyudin 2009).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perawatan
kesehatan komunitas adalah suatu bidang dalam ilmu keperawatan yang
merupakan keterpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat
dengan dukungan peran serta masyarakat, serta mengutamakan pelayanan
promotif dan preventif secara berkesinambungan dengan tanpa mengabaikan
pelayanan kuratif dan rehabilitatif, secara menyeluruh dan terpadu ditujukan
kesatuan yang utuh melalui proses keperawatan untuk ikut meningkatkan
fungsi kehidupan manusia secara optimal.

2. Peran Perawat Komunitas dalam Pencegahan DBD
a) Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Sasaran pencegahan primer dapat ditujukan pada faktor penyebab
terjadinya DBD, lingkungan serta faktor pejamu. Pencegahan primer yang
dapat dilakukan oleh seorang perawat komunitas adalah dengan cara
memberikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang pencegahan
penyakit DBD. Tujuan dari pencegahan primer adalah agar tidak terjadi
penyakit DBD di masyarakat.
b) Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)
Peran perawat komunitas dalam pencegahan sekunder adalah
melakukan diagnosis dini pada penderita DBD dan memberikan
pengobatan yang tepat kepada penderita DBD agar dapat dicegah
meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah DBD dan agar

tidak timbul komplikasi pada penderita yang ditimbulkan oleh penyebab
DBD.
c) Pencegahan Tersier (Tertiary Prevention)
Peran perawat komunitas dalam pencegahan tersier adalah
mencegah bertambah parahnya suatu penyakit, dan mencegah penderita
DBD mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian. Perawat
juga berperan dalam proses rehabilitasi untuk mencegah terjadinya efek
samping dari proses penyembuhan penyakit DBD.

G. Penelitian Terkait
1. Penelitian yang dilakukan oleh Dadang Fitrajaya tahun 2002 dengan judul
penelitian “Pengetahuan dan Sikap Masyarakat Kelurahan Tanjung Hulu
Terhadap PSN DBD Tahun 2002”. Penelitian ini menghasilkan bahwa
masyarakat yang melaksanakan program PSN DBD sebesar 71,3% dan
masyarakat yang tidak melakukan PSN DBD sebanyak 28,7%.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Wirawan Sakti tahun 2004 dengan judul
penelitian “Gambaran perilaku PSN DBD Kepala Keluarga di Kecamatan
Curup Kabupaten Lebong Tahun 2004”. Dari hasil penelitian diketahui
sebanyak 55,5% perilaku kepala keluarga terhadap PSN DBD termasuk
kedalam kategori baik dan sebanyak 44,5% perilaku kepala keluarga terhadap
PSN DBD termasuk kategori kurang baik.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Siti Marlina tahun 2007 dengan judul
penelitian “Perilaku Keluarga terhadap Usaha Pencegahan Penyakit DBD di

Lingkungan Rumah di Desa Suka Makmur Kecamatan Delitua Tahun 2007”.
Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat perilaku responden terhadap usaha
pencegahan penyakit DBD mayoritas baik (78%), kategori sedang (21 %), dan
buruk (1,0%)
H. Kerangka Teori
Gambar 2.2. Kerangka teori berdasarkan Green (1980), Bloom (1987), Depkes RI
(2007), Hurlock (1998)
Faktor Predisposisi:
- Pengetahuan
- Sikap
- Praktek
- Karakteristik individu
- Tradisi dan kepercayaan
Faktor Pemungkin:
- Ketersedian sarana dan
prasarana
- Tempat pembuangan
sampah
- Puskesmas
- Rumah sakit
Faktor Penguat:
Contoh perilaku dari
tokoh masyarakat, adanya
peraturan, surat
keputusan.

Perilaku keluarga
untuk tindakan
pencegahan DBD

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

A. Kerangka Konsep
Sesuai

dengan

tujuan

penelitian

yang

bersifat

deskriptif

atau

menggambarkan variabel yang akan diteliti yaitu tingkat pengetahuan, sikap, dan
praktek keluarga terhadap pencegahan DBD, maka kerangka konsep pada
penelitian ini adalah:
Gambar 3.1. Kerangka konsep penelitian tentang tingkat pengetahuan, sikap, dan
praktek keluarga tentang pencegahan DBD di RW 09 Kelurahan Kramatpela Jakarta
Selatan Tahun 2009
Variabel:
a. Karakteristik individu:
- Umur
- Pendidikan
- Pekerjaan
b. Pengetahuan responden mengenai DBD
- Penyebab
- Bionomik vektor
- Tanda dan gejala
- Pengobatan
- Pencegahan
c. Sikap responden mengenai pencegahan DBD
- Kecenderungan untuk melakukan gerakan
pencegahan 3M (menguras, menutup,
mengubur) di tempat yang menjadi sarana
perkembangbiakan vektor DBD
d. Praktek responden tentang pencegahan DBD
- Menguras
- Menutup
- Mengubur
- Menaburkan bubuk abate
- Menggunakan kelambu
- Memelihara ikan pemakan jentik

B. Definisi Operasional
Variabel
Pengetahuan

Sikap

Praktek

Definisi
Operasional
Pengetahuan yang
dimaksud dalam
penelitian ini
adalah keluarga
mengetahui
tentang penyakit
DBD meliputi
penyebab,
bionomik vektor,
tanda dan gejala,
pengobatan serta
pencegahan
penyakit demam
berdarah dengue
Sikap yang
dimaksud dalam
penelitian ini
adalah
kecenderungan
keluarga untuk
melakukan
tindakan
pencegahan DBD
seperti melakukan
gerakan 3M
(menutup,
menguras dan
mengubur)
tempat-tempat
yang dapat
menjadi sarana
perkembangbiaka
n vektor DBD
Aktifitas keluarga
dalam upaya
pencegahan
terhadap demam
berdarah dengue
seperti melakukan
gerakan 3M+
yaitu menutup,
menguras,
mengubur serta
menaburkan
bubuk abate,
menggunakan
kelambu pada
waktu tidur,
memasang obat

Cara Ukur

Alat Ukur

Hasil Ukur

Skala
Ukur
Ordinal

Wawancara

Kuisioner
B1-B10

1. Pengetahuan
tinggi jika total
nilai 7-10
2. Pengetahuan
sedang jika
total nilai 4-6
3. Pengetahuan
rendah jika
total nilai 0-3

Wawancara

Kuisioner
C1-C10

1. Sikap negatif
jika total skor
kurang dari
nilai median
(

Dokumen yang terkait

Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung

18 122 186

Tingkat Pengetahuan Masyarakat tentang Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil

0 49 53

Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD)

0 34 10

Hubungan pengetahuan masyarakat terhadap praktik pencegahan demam berdarah dengue pada masyarakat di rw 022 Kelurahan Pamulang Barat

0 4 129

Hubungan Pengetahuan Masyarakat Terhadap Praktik Pencegahan Demam Berdarah Dengue Pada Masyarakat di RW 022 kelurahan Pamulang Barat

2 15 129

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN KEPALA KELUARGA DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE Hubungan Tingkat Pengetahuan Kepala Keluarga Dengan Perilaku Pencegahan Demam Berdarah Dengue Di Desa Sendangmulyo Kabupaten Blora.

0 5 13

Tingkat pengetahuan, sikap, dan tindakan masyarakat mengenai pencegahan penyakit demam berdarah dengue di kelurahan aur kuning bukittinggi.

0 1 74

(ABSTRAK) HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP KEPALA KELUARGA TENTANG DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DENGAN PERILAKU PEMBERANTASAN SARANG NYAMUK DEMAM BERDARAH DENGUE (PSN DBD) DI RW I KELURAHAN MEDONO KECAMATAN PEKALONGAN BARAT KOTA PEKALONGAN.

1 1 3

Hubungan antara Pengetahuan dan Sikap Kepala Keluarga tentang Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan Perilaku Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN DBD) Di RW I, Kelurahan Medono, Kecamatan Pekalongan Barat, Kota Pekalongan.

0 0 109

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU IBU RUMAH TANGGA DALAM PENCEGAHAN DEMAM BERDARAH DENGUE DI KELURAHAN KUTOWINANGUN, SALATIGA

0 0 14