Determinan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung

(1)

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Oleh

DIAN MAYA SARI 117032068/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN MAYA SARI 117032068/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Judul Tesis : DETERMINAN KEJADIAN DEMAM

BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

Nama Mahasiswa : Dian Maya Sari Nomor Induk Mahasiswa : 117032068

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

Tanggal Lulus : 22 Juli 2013

(drh. Hiswani, M.Kes) Anggota

(Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H) Ketua

Dekan


(4)

Telah diuji

Pada tanggal : 22 Juli 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H Anggota : 1. drh. Hiswani, M.Kes

2. drh. Rasmaliah, M.Kes 3. Drs. Jemadi, M.Kes


(5)

PERNYATAAN

DETERMINAN KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN MEDAN TEMBUNG

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2013 Penulis

Dian Maya Sari 117032068/IKM


(6)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang belum ada antivirus khusus untuk membasmi virus penyebabnya. DBD disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya berupa demam, perdarahan, dan syok. Menurut WHO (2010), DBD endemik di Asia Tenggara. Sejak 1968-2010, WHO mencatat Indonesia dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Kota Medan merupakan wilayah dengan kejadian DBD yang cukup tinggi setiap tahun dan tahun 2011 mencapai 2.384 kasus (IR=113/100.000 penduduk). Tahun 2011 dan 2012, kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung masing-masing sebanyak 152 dan 60 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung. Metode penelitian adalah analitik observasional dengan desain case control. Sampel penelitian sebanyak 86 orang kasus dan 86 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat mengggunakan uji Chi-Square, dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang merupakan determinan kejadian DBD adalah keberadaan jentik, tata rumah, non TPA, tanaman hias/tumbuhan, membersihkan TPA, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan menggunakan anti nyamuk/repellent. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah non TPA.

Disarankan kepada masyarakat agar mau dan mampu melakukan reuse,

reduse, dan recycle terhadap barang-barang bekas; Puskesmas Sering dan Mandala tetap mempertahankan bahkan meningkatkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui kegiatan penyuluhan, 3M Plus, dan Jumat Bersih.


(7)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease without special antivirus to stamp out the virus causing it. DHF is spread by dengue virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus. The symptoms are fever, bleeding, and shock. According to WHO (2010), DHF is endemic in Southeast Asia and Indonesia was noted as a country with the highest case of DHF from 1968 to 2010. The City of Medan is an area with the adequately high DHF case annualy and in 2011 it had 2,384 cases (IR = 113/100.000 persons). In 2011 and 2012, the case of DHF in Medan Tembung Subdistrict was 152 and 60 respectively.

The purpose of this analytical observational study with case control design was to analyze the determinants influencing the incidence of DHF in Medan Tembung Subdistrict. The sample for this study were 86 persons for case group and 86 persons for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-Square test, and multivariate analysis with Multiple Logistic Regression test.

The result of bivariate analysis showed that the variables playing a role as the determinants influencing the incidence of DHF were the presence of mosquito larvae, house layout, non Garbage Dump Site, ornamental plants/vegetation, cleaning Garbage Dump Site, hanging clothes, sleeping habits, and using repellent. The result of multivariate analysis showed that the most influencing variable on the incident of DHF was non Garbage Dump Site.

The community members are suggested to be willing and able to reuse, reduse, and recycle their used goods. Puskesmas Sering and Puskesmas Mandala maintain and even improve the DHF mosquito breeding place eradication program through extension, 3M Plus, and Clean Friday activities.


(8)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah serta Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul “Determinan

Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Medan Tembung”. Penyusunan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan Pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi).

Penulis menyadari begitu banyak mendapat dukungan, bimbingan, bantuan, dan kemudahan dari berbagai pihak sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Untuk itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimaksih kepada berbagai pihak.

Terkhusus, ucapan terimakasih yang tulus dan ikhlas kepada kedua orangtua tercinta Ayahanda H. Mukhtar Siregar S.H dan Ibunda Dra. Hj. Asnawiah yang telah membesarkan dengan penuh pengorbanan, hati yang ikhlas, serta selalu memberikan doa, semangat, dukungan moril dan materi bagi penulis dalam menyelesaikan seluruh jenjang pendidikan.

Terimakasih kepada keluarga tercinta, Abangda Zainuddin Siregar S.P, Yan Indra Siregar S.Pd, M.Pd, Irwansyah Siregar S.Pd, M.Pd serta Kakanda Sari Purnamawaty Siregar S.Pd, Endang Triwahyuni S.P, Ila Yusnita S.Pd, dan Mawar


(9)

Nuri S.Pd atas segala doa dan dukungan yang telah diberikan. Terimakasih pula penulis sampaikan kepada Dimas Septi Bima Sakti, S.H atas kesetiaan, bantuan, doa, dan dukungan yang telah diberikan. Semoga kita semua selalu bersama dalam suka dan duka.

Dengan ketulusan hati, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, semoga sehat, bahagia, dan selalu dalam lindungan Tuhan kepada Prof. dr. Sori Muda Sarumpaet, M.P.H dan drh. Hiswani, M.Kes selaku komisi pembimbing yang dengan sabar dan tulus telah banyak memberikan perhatian, dukungan, pengertian, dan pengarahan sejak awal hingga terselesaikannya tesis ini.

Terima kasih tiada terkira juga penulis sampaikan dengan tulus kepada drh. Rasmaliah, M.Kes dan Drs. Jemadi, M.Kes selaku komisi penguji yang telah memberi masukan dan arahan sehingga dapat meningkatkan kesempurnaan tesis ini.

Disamping itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM & H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu


(10)

4. drg. Hj. Usma Polita Nasutinon, M.Kes selaku Kepala Dinas Kesehatan Kota Medan yang telah memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari Dinas Kesehatan yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

5. dr. Hj. Rosita Nurjannah selaku Kepala Puskesmas Sering yang telah memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari Puskesmas Sering yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

6. dr. H. Erwin Hakim Lubis selaku Kepala Puskesmas Mandala yang telah

memberikan izin bagi penulis untuk memperoleh data dari Puskesmas Mandala yang diperlukan sehubungan dengan tesis ini.

7. H. Khairuddin Burhan Lubis, S.E selaku Camat Medan Tembung yang telah memberikan izin bagi penulis untuk melakukan penelitian di Kecamatan Medan Tembung.

8. Seluruh dosen dan pegawai di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Semoga ilmu pengetahuan dan bantuan yang diberikan selama penulis belajar menjadi amal ibadah dan mendapat balasan dari Allah SWT.

9. Rekan-rekan mahasiswa di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara khususnya Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi.

Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada para sahabat terkasih atas persahabatan, perhatian, bantuan, doa, dan dukungan penuh yang telah diberikan. Semoga persahabatan kita terus terjalin.


(11)

Akhirnya kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materi, penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat-Nya.

Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam tesis ini masih jauh dari sempurna dan memiliki banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Medan, Juli 2013 Penulis

Dian Maya Sari 117032068/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Dian Maya Sari, lahir pada tanggal 19 Maret 1988 di Medan, beragama Islam, dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak H. Mukhtar Siregar, S.H dan Ibu Dra. Hj. Asnawiah. Belum menikah dan sekarang menetap di Jalan Tegal Sari Dusun VI/Anggrek Desa Laut Dendang Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang.

Pendidikan formal penulis dimulai dari pendidikan di Sekolah Dasar (SD) Swasta Tamansiswa Medan pada tahun 1994 dan diselesaikan pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 12 Medan pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Medan pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara pada tahun 2006 dan diselesaikan pada tahun 2010, Strata Dua (S2) di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dengan Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi tahun 2011 sampai dengan saat ini.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 8

1.3 Tujuan Penelitian... 8

1.3.1 Tujuan Umum ... 8

1.3.2 Tujuan Khusus ... 8

1.4 Hipotesis ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 10

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)... 11

2.1.1 Definisi Penyakit DBD ... 11

2.1.2 Etiologi ... 12

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi ... 12

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik ... 14

2.1.5 Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD ... 17

2.2 Vektor Penular Penyakit DBD ... 19

2.2.1 Morfologi dan Metamorfosa Nyamuk Aedes aegypti ... 20

2.2.2 Bionomik Vektor ... 24

2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor ... 26

2.3 Epdemiologi Penyakit DBD ... 30

2.3.1 Distribusi Penyakit DBD ... 30

2.3.2 Determinan Penyakit DBD ... 36

2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD ... 39

2.4.1 Manajemen Lingkungan ... 39

2.4.2 Pengendalian Biologis ... 41

2.4.3 Pengendalian Kimiawi ... 42

2.4.4 Partisipasi Masyarakat ... 43


(14)

2.4.6 Peraturan Perundangan ... 44

2.5 Landasan Teori ... 45

2.6 Kerangka Konsep ... 49

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 50

3.1 Jenis Penelitian ... 50

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 51

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 51

3.2.2 Waktu Penelitian ... 51

3.3 Populasi dan Sampel... 51

3.3.1 Populasi ... 51

3.3.2 Sampel ... 52

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 55

3.4.1 Data Primer ... 55

3.4.2 Data Sekunder ... 56

3.5 Variabel dan Definisi Operasional ... 56

3.5.1 Variabel Penelitian ... 56

3.5.2 Definisi Operasional ... 57

3.6 Metode Pengukuran ... 59

3.7 Metode Analisis Data ... 60

3.7.1 Analisis Univariat ... 60

3.7.2 Analisis Bivariat ... 61

3.7.3 Analisis Multivariat... 62

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 63

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 63

4.2 Analisis Univariat ... 64

4.3 Analisis Bivariat ... 66

4.3.1 Keberadaan Jentik ... 66

4.3.2 Faktor Lingkungan ... 68

4.3.3 Faktor Kebiasaan ... 72

4.4 Analisis Multivariat ... 76

4.5 Population Attributable Risk... 79

BAB 5. PEMBAHASAN ... 81

5.1 Distribusi Proporsi Karakteristik Subjek Studi ... 81

5.2 Hubungan Keberadaan Jentik dengan Kejadian DBD ... 82

5.3 Faktor Lingkungan ... 84

5.3.1 Hubungan Tata Rumah dengan Kejadian DBD... 85

5.3.2 Hubungan Keberadaan TPA dengan Kejadian DBD ... 86

5.3.3 Hubungan Keberadaan Non TPA dengan Kejadian DBD ... 87


(15)

5.3.4 Hubungan Keberadaan TPA Alami dengan Kejadian

DBD ... 88

5.3.5 Hubungan Keberadaan Kawat Kasa pada Ventilasi dengan Kejadian DBD... 89

5.3.6 Hubungan Keberadaan Tanaman Hias/Tumbuhan dengan Kejadian DBD ... 91

5.4 Faktor Kebiasaan ... 92

5.4.1 Hubungan Kebiasaan Membersihkan / Menguras TPA dengan Kejadian DBD... 93

5.4.2 Hubungan Kebiasaan Menutup TPA dengan Kejadian DBD ... 94

5.4.3 Hubungan Kebiasaan Menabur Bubuk Abate dengan Kejadian DBD ... 96

5.4.4 Hubungan Kebiasaan Menggantung Pakaian dengan Kejadian DBD ... 97

5.4.5 Hubungan Kebiasaan Tidur dengan Kejadian DBD ... 99

5.4.6 Hubungan Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk/ Repellent dengan Kejadian DBD ... 101

5.5 Faktor yang Paling Dominan ... 102

5.6 Keterbatasan Penelitian ... 104

BAB 6. KESIMPULAN ... 106

6.1 Kesimpulan ... 106

6.2 Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 108 LAMPIRAN


(16)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Cara Ukur, Alat Ukur, Skala Ukur, dan Katagori Masing-Masing

Variabel Penelitian... 59 3.2. Rancangan Tabel Analisis Biavariat ... 61

4.1. Distribusi Proporsi Karakteristik Subjek Studi di Kecamatan

Medan Tembung ... 65 4.2. Tabulasi Silang antara Keberadaan Jentik dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 67 4.3. Tabulasi Silang antara Faktor Lingkungan dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 68 4.4. Tabulasi Silang antara Faktor Kebiasaan dan Kejadian DBD di

Kecamatan Medan Tembung... 72 4.5. Hasil Akhir Uji Regresi Logistik Ganda Pengaruh Variabel Tata

Rumah, Non TPA, Tanaman Hias/Tumbuhan, Tidur Siang, dan Menggunakan Anti Nyamuk/Repellent terhadap Kejadian DBD


(17)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Siklus Penularan DBD ... 17

2.2. Nyamuk Aedes aegypti ... 20

2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti ... 21

2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993- 2009 ... 31

2.5. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968 – 2009 ... 35

2.6. Model Klasik Kausasi Segitiga Epidemiologi... 46

2.7. Kerangka Konsep Penelitian ... 49


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Tabel dan Grafik Jumlah Kasus DBD di Kecamatan Medan

Tembung Bulan Januari 2012 - April 2013... 113

2. Pernyataan Kesediaan Menjadi Responden ... 114

3. Kuesioner Penelitian ... 115

4. Jadwal Penelitian ... 120

5. Master Data ... 121

6. Output Analisis Univariat ... 127

7. Output Analisis Bivariat... 130

8. Output Analisis Multivariat ... 150

9. Perhitungan House Index dan Container Index ... 163

10. Surat Izin Penelitian dari Program Studi S2 IKM USU Medan ... 164

11. Surat Izin Penelitian dari Kecamatan Medan Tembung ... 165


(19)

ABSTRAK

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit menular yang belum ada antivirus khusus untuk membasmi virus penyebabnya. DBD disebabkan oleh virus dengue melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejalanya berupa demam, perdarahan, dan syok. Menurut WHO (2010), DBD endemik di Asia Tenggara. Sejak 1968-2010, WHO mencatat Indonesia dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Kota Medan merupakan wilayah dengan kejadian DBD yang cukup tinggi setiap tahun dan tahun 2011 mencapai 2.384 kasus (IR=113/100.000 penduduk). Tahun 2011 dan 2012, kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung masing-masing sebanyak 152 dan 60 kasus.

Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung. Metode penelitian adalah analitik observasional dengan desain case control. Sampel penelitian sebanyak 86 orang kasus dan 86 orang kontrol. Pengumpulan data melalui wawancara dan observasi yang berpedoman pada kuesioner. Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat mengggunakan uji Chi-Square, dan multivariat menggunakan uji Regresi Logistik Berganda.

Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang merupakan determinan kejadian DBD adalah keberadaan jentik, tata rumah, non TPA, tanaman hias/tumbuhan, membersihkan TPA, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan menggunakan anti nyamuk/repellent. Hasil analisis multivariat menunjukkan variabel yang paling berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah non TPA.

Disarankan kepada masyarakat agar mau dan mampu melakukan reuse,

reduse, dan recycle terhadap barang-barang bekas; Puskesmas Sering dan Mandala tetap mempertahankan bahkan meningkatkan program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) DBD melalui kegiatan penyuluhan, 3M Plus, dan Jumat Bersih.


(20)

ABSTRACT

Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is a contagious disease without special antivirus to stamp out the virus causing it. DHF is spread by dengue virus through the bites of Aedes aegypti and Aedes albopictus. The symptoms are fever, bleeding, and shock. According to WHO (2010), DHF is endemic in Southeast Asia and Indonesia was noted as a country with the highest case of DHF from 1968 to 2010. The City of Medan is an area with the adequately high DHF case annualy and in 2011 it had 2,384 cases (IR = 113/100.000 persons). In 2011 and 2012, the case of DHF in Medan Tembung Subdistrict was 152 and 60 respectively.

The purpose of this analytical observational study with case control design was to analyze the determinants influencing the incidence of DHF in Medan Tembung Subdistrict. The sample for this study were 86 persons for case group and 86 persons for control group. The data for this study were obtained through observation and questionnaire-based interview. The data obtained were analyzed through univariate analysis, bivariate analysis with Chi-Square test, and multivariate analysis with Multiple Logistic Regression test.

The result of bivariate analysis showed that the variables playing a role as the determinants influencing the incidence of DHF were the presence of mosquito larvae, house layout, non Garbage Dump Site, ornamental plants/vegetation, cleaning Garbage Dump Site, hanging clothes, sleeping habits, and using repellent. The result of multivariate analysis showed that the most influencing variable on the incident of DHF was non Garbage Dump Site.

The community members are suggested to be willing and able to reuse, reduse, and recycle their used goods. Puskesmas Sering and Puskesmas Mandala maintain and even improve the DHF mosquito breeding place eradication program through extension, 3M Plus, and Clean Friday activities.


(21)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal tersebut, Program Pemberantasan Penyakit menitikberatkan kegiatannya pada upaya mencegah berjangkitnya penyakit, menurunkan angka kesakitan dan kematian, serta mengurangi akibat buruk dari penyakit menular maupun tidak menular (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever

(DHF) yang dapat bermanifestasi sebagai Dengue Shock Syndrome (DSS) merupakan salah satu jenis penyakit menular tidak langsung. Sampai saat ini, belum ada antivirus khusus untuk membasmi virus Dengue. Pengobatan penyakit hanya mengandalkan pemberian cairan dan tambahan darah (Nadesul, 2004).

Infeksi virus Dengue telah ada sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pada masa itu, infeksi virus

Dengue di Asia Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian. Tetapi sejak tahun 1952, di Filipina, infeksi virus Dengue

menimbulkan penyakit dengan manifestasi klinis berat dengan gejala-gejala panas, perdarahan akut, dan shok. Ditemukan 58 anak mengalami gejala yang sama bahkan


(22)

28 diantaranya meninggal (CFR = 48,28%). Beberapa tahun kemudian, penyakit ini mulai merambah ke beberapa negara Asia, seperti Thailand tahun 1958, Vietnam Utara tahun 1958, Singapura tahun 1960, Laos tahun 1962, dan India tahun 1963 (Depkes RI, 2004a).

Menurut World Health Organization (WHO), DBD merupakan kejadian endemik di banyak negara di wilayah Asia Tenggara yang berarti bahwa kasus DBD terjadi setiap tahun meskipun ada variasi yang signifikan antar negara. Sampai dengan tahun 2010, Republik Demokratik Rakyat Korea adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak memiliki laporan penderita DBD pribumi.

Jumlah kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2010 di negara-negara kawasan Asia Tenggara antara lain : Bangladesh terjadi 76 kasus (Incidence Rate/IR = 0,05 per 100.000 penduduk dan Case Fatality Rate/CFR = 0,00%); Bhutan terjadi 16 kasus (IR = 2,29 per 100.000 penduduk dan CFR = 12,50%); India terjadi 9.357 kasus (IR = 0,79 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,31%); Maldives terjadi 550 kasus (IR = 180,33 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Myanmar terjadi 11.704 kasus (IR = 21,92 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,82%); Nepal terjadi 2 kasus (IR = 0,01 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,00%); Sri Lanka terjadi 27.142 kasus (IR = 131,12 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,77%); Thailand terjadi 57.948 kasus (IR = 85,09 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,12%); dan Timor Leste terjadi 473 kasus (IR = 39,42 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,21%) (WHO, 2011).


(23)

Di Indonesia penyakit DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 berupa KLB di Jakarta dan Surabaya, tercatat 54 kasus dengan 24 kematian (CFR = 41,5%). Sejak saat itu, penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah hingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia telah terjangkit penyakit DBD (Depkes RI, 2007).

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501 Tahun 2010 menyebutkan bahwa penyakit DBD merupakan salah satu jenis penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan menyebabkan malapetaka bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam SK Menteri Kesehatan Nomor 1457 Tahun 2003 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota, DBD merupakan salah satu penyakit menular yang dicantumkan sebagai masalah yang wajib menjadi prioritas oleh daerah.

Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara (Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Indonesia (Ditjen PP&PL Kemenkes RI), pada tahun 2005 terjadi 80.837 kasus (IR = 43,38 per 100.000 penduduk dan CFR = 1,36%); tahun 2006 terjadi 104.656 kasus (IR = 52,48 per 100.000 penduduk dan CFR = 1,04%); tahun 2007 terjadi 140.000 kasus (IR = 71,78 per 100.000 penduduk dan CFR = 1,01%); tahun 2008 terjadi 137.469 kasus (IR = 59,02 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,86%); tahun 2009 terjadi 154.855 kasus (IR = 68,22 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,89%); dan tahun 2010 terjadi 156.086 kasus (IR = 65,70 per 100.000 penduduk dan CFR = 0,87%).


(24)

Pada tahun 2011, lima propinsi di Indonesia dengan jumlah kasus DBD tertinggi adalah : Jawa Timur dengan jumlah kasus sebesar 3.152 kasus (IR = 8,32 per 100.000 penduduk); Jawa Tengah dengan jumlah kasus sebesar 2.345 kasus (IR = 7,14 per 100.000 penduduk); Sumatera Utara dengan jumlah kasus sebesar 2.066 kasus (IR = 15,88 per 100.000 penduduk); DKI Jakarta dengan jumlah kasus sebesar 1.954 kasus (IR = 23,18 per 100.000 penduduk); dan Bali dengan jumlah kasus sebesar 1.949 kasus (IR = 56,16 per 100.000 penduduk) (Kemenkes RI, 2012).

Di propinsi Sumatera Utara sendiri, penyakit DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah sebagai KLB dengan angka kesakitan dan kematian yang relatif tinggi. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Sumatera Utara, terdapat 8 daerah endemis DBD di wilayah Propinsi Sumatera Utara, yaitu; Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Asahan, Kota Tebing Tinggi, Kota Pematang Siantar, dan Kabupaten Karo. Angka kejadian DBD di Propinsi Sumatera Utara terus meningkat. Pada tahun 2005 terjadi 3.790 kasus dengan kematian 68 orang (CFR = 1,8%), tahun 2006 terjadi 2.222 kasus dengan kematian 34 orang (CFR = 1,5%), tahun 2007 terjadi 4.427 kasus dengan kematian 41 orang (CFR = 1%), tahun 2008 terjadi 4.401 kasus dengan kematian 50 orang (CFR = 1,1%), tahun 2009 terjadi 4.705 kasus dengan kematian 58 orang (CFR = 1,2%), tahun 2010 terjadi 8.889 kasus dengan kematian 87 orang (CFR=1%), dan tahun 2011 terjadi 5.987 kasus dengan kematian 78 orang (CFR=1,3%).

Kota Medan sebagai Ibu kota propinsi Sumatera Utara adalah salah satu wilayah yang angka kejadian DBD-nya cukup tinggi setiap tahun. Kecamatan yang


(25)

ada di Kota Medan semuanya sudah merupakan daerah endemis DBD. Pada tahun 2011, Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Helvetia, Medan Tembung, Medan Amplas, Medan Kota, Medan Johor, Medan Marelan, Medan Barat, dan Medan Deli merupakan 10 kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan (Dinkes Kota Medan, 2012).

Adapun angka kejadian DBD di Kota Medan yang telah dirilis oleh Dinkes Kota Medan dari tahun ke tahun adalah sebagai berikut; tahun 2002 sebanyak 212 kasus dengan kematian 2 orang (CFR = 0,9%), tahun 2003 sebanyak 594 kasus dengan kematian 9 orang (CFR = 1,5%), tahun 2004 sebanyak 742 kasus dengan kematian 61 orang (CFR = 8,2%). Lonjakan kasus yang menonjol (KLB) terjadi pada tahun 2005 yaitu sebanyak 1.960 kasus dengan kematian 24 orang (CFR = 1,2%), tahun 2006 sebanyak 1.378 kasus dengan kematian 21 orang (CFR = 1,5%), tahun 2007 sebanyak 1.917 kasus dengan kematian 17 orang (CFR = 0,9%), tahun 2008 sebanyak 1.545 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,9%), dan tahun 2009 sebanyak 1.940 kasus dengan kematian 14 orang (CFR = 0,7%).

Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman yang stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan air (TPA)/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih. Nyamuk Aedes aegypti lebih banyak ditemukan berkembangbiak di tempat-tempat penampungan air buatan antara lain bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung, kaleng bekas, ban bekas, dan sejenisnya di dalam rumah.


(26)

Sementara itu, Aedes albopictus lebih banyak ditemukan di penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu, dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan (Sukowati, 2010).

Beberapa faktor etiologik yang ditemukan berhubungan dengan penyakit DBD adalah faktor host (umur, jenis kelamin, mobilitas), faktor lingkungan (kepadatan rumah, adanya tempat perindukan nyamuk, tempat peristirahatan nyamuk, kepadatan nyamuk, angka bebas jentik, curah hujan), serta faktor perilaku (pola tidur dan kegiatan pemberantasan sarang nyamuk) (Wahyono dkk, 2010). Curah hujan yang tinggi saat musim penghujan misalnya, dapat menimbulkan banjir dan genangan air di suatu wadah/media yang menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti cekungan di pagar bambu, pepohonan, kaleng bekas, ban bekas, atap atau talang rumah) (Kemenkes RI, 2010).

Penelitian Roose (2008) menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah variabel pendidikan, pekerjaan, jarak rumah, TPA bukan untuk keperluan sehari-hari, TPA alami, dan tanaman hias/pekarangan serta dari hasil analisis multivariat diketahui bahwa variabel yang paling dominan berhubungan dengan kejadian DBD adalah variabel mobilisasi (p=0,000; mOR=20,90). Sementara itu, hasil penelitian Sitio (2008) menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian DBD adalah kebiasaan menggunakan anti nyamuk di siang hari (p=0,026; OR=4,343) dan kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai (p=0,018; OR=5,500).


(27)

Kecamatan Medan Tembung memiliki kondisi lingkungan yang berisiko untuk berjangkitnya penyakit DBD karena banyak terdapat TPA, Non TPA, dan TPA alami di sekitar pemukiman masyarakat sehingga dapat menjadi tempat bagi perindukan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu, kecamatan ini mempunyai jumlah penduduk dan pemukiman yang padat sehingga akan meningkatkan risiko penularan DBD. Kecamatan ini juga termasuk daerah semi perkotaan sehingga karakteristik lingkungannya masih banyak terdapat kebun/tumbuh-tumbuhan yang dapat menjadi habitat bagi nyamuk Aedes albopictus sebagai vektor sekunder bagi penularan DBD.

Kecamatan Medan Tembung merupakan salah satu kecamatan yang menjadi daerah endemis DBD di kota Medan dan temasuk dalam kriteria Rawan I berdasarkan stratifikasi daerah DBD yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). Sejak 5 tahun terakhir, kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung cukup tinggi dan masuk ke dalam 10 kecamatan dengan kasus DBD tertinggi di kota Medan. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Medan, pada tahun 2011, jumlah kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 152 kasus yang menjadikan kecamatan ini berada pada peringkat keempat dari sepuluh kecamatan dengan kasus DBD terbanyak di kota Medan. Pada tahun 2012, jumlah kasus DBD di Kecamatan Medan Tembung mencapai 60 kasus. Meskipun jumlahnya menurun, hal ini tetap perlu diwaspadai mengingat DBD merupakan penyakit endemik yang cepat menimbulkan kematian jika tidak segera ditangani dengan


(28)

tepat. Selain itu, tingginya angka kesakitan penyakit ini akan menimbulkan kerugian ekonomi baik bagi keluarga penderita maupun negara.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi kasus DBD yang cukup tinggi setiap tahunnya, khususnya di Kecamatan Medan Tembung yang telah menjadi daerah endemis DBD. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian epidemiologi analitik terhadap determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung dan diharapkan dapat menjadi informasi bagi masyarakat, khusunya pengelola program dalam rangka menanggulangi masalah ini.

1.2 Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah : “Determinan apa saja yang memengaruhi

kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung?” 1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Menganalisis determinan yang memengaruhi kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

1.3.2 Tujuan Khusus

a) Mendeskripsikan karakteristik subjek studi berdasarkan umur, jenis kelamin,


(29)

b) Mengamati keberadaan jentik nyamuk yang mengindikasikan adanya vektor DBD di Kecamatan Medan Tembung serta menghitung besarnya House Index

dan Container Index.

c) Mengetahui apakah keberadaan jentik merupakan determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

d) Mengetahui apakah faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air, bukan tempat penampungan air, tempat penampungan air alami, kawat kasa pada ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) merupakan determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

e) Mengetahui apakah faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) merupakan determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

f) Mengetahui besarnya risiko masing-masing determinan terhadap kejadian DBD

di Kecamatan Medan Tembung.

1.4 Hipotesis

a) Ada pengaruh keberadaan jentik terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan

Tembung.

b) Ada pengaruh faktor lingkungan (tata rumah, tempat penampungan air, bukan


(30)

ventilasi, dan tanaman hias/tumbuhan) terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

c) Ada pengaruh faktor kebiasaan (membersihkan tempat penampungan air, menutup tempat penampungan air, menabur bubuk abate, menggantung pakaian, kebiasaan tidur, dan pemakaian obat anti nyamuk/repellent) terhadap kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Bagi Puskesmas dan Dinas Kesehatan Setempat

Memberikan informasi mengenai determinan kejadian DBD di Kecamatan Medan Tembung sehingga pengambil keputusan dapat menyusun rencana dan strategi yang efektif dalam penanggulangan kasus DBD.

1.5.2 Bagi Masyarakat

Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.

1.5.3 Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai sumber informasi mengenai determinan kejadian DBD sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan kepustakaan dalam pengembangan keilmuan.

1.5.4 Bagi Peneliti Selanjtnya

Sebagai sumber informasi dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan penyakit DBD.


(31)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1 Definisi Penyakit DBD

Penyakit DBD adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue

dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian, serta sering menimbulkan wabah. Jika nyamuk menggigit orang dengan demam berdarah, virus

dengue masuk ke tubuh nyamuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk, virus berkembang biak dan menyebar ke seluruh bagian tubuh nyamuk dan sebagian besar berada di kelenjar liur. Selanjutnya ketika nyamuk menggigit orang lain, air liur bersama virus dengue dilepaskan terlebih dahulu agar darah yang akan dihisap tidak membeku, dan pada saat inilah virus dengue ditularkan ke orang lain (Soegijanto, 2006).

Demam Dengue (Dengue Fever) adalah penyakit febris - virus akut, seringkali ditandai dengan sakit kepala, nyeri tulang atau sendi dan otot, ruam, dan leukopenia sebagai gejalanya sedangkan penyakit DBD (Dengue Haemoragick Fever/DHF) ditandai dengan empat gejala klinis utama, yaitu demam tinggi, fenomena haemoragi, sering dengan hepatomegali, dan pada kasus berat disertai tanda-tanda kegagalan sirkulasi. Pasien ini dapat mengalami syok yang diakibatkan oleh kebocoran plasma.


(32)

Syok ini disebut Dengue Shock Syndrome (DSS) dan sering menyebabkan fatal (WHO, 1999).

2.1.2 Etiologi

DBD disebabkan oleh virus dengue yang temasuk kelompok B Arthropoda borne virus (Arboviroses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae,dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 (Soedarto, 2010).

Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe yang lain tersebut. Dengan kata lain, infeksi oleh satu serotipe virus dengue menimbulkan imunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut, tetapi tidak ada ”cross protective

terhadap serotipe virus yang lain (Soegijanto, 2006).

Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya. Keempat serotipe virus dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinis yang berat. Serotipe DEN-3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imun rendah dengan tingkat penyebaran yang tinggi (Depkes RI, 2004a).

2.1.3 Patogenesis dan Patofisiologi

Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ hepar, nodus


(33)

limfaticus, sumsum tulang, serta paru-paru. Sel-sel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran darah, virus tesebut akan difagosit oleh sel monosit perifer (Soegijanto, 2006).

Virus dengue mampu bertahan hidup dan mengadakan multiplikasi di dalam sel. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus, genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen antara maupun komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan virus dengue terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto, 2006).

Menurut Gubler dalam Soegijanto (2006), patofisiologi primer DBD dan DSS adalah peningkatan akut permebilitas vaskuler yang mengarah ke kebocoran plasma ke dalam ruang ekstravaskuler sehingga menimbulkan hemokonsentrasi dan penurunan tekanan darah. Volume plasma menurun lebih dari 20% pada kasus-kasus berat, hal ini didukung penemuan post-mortem meliputi efusi serosa, efusi pleura, hemokonsentrasi, dan hipoproteinemi. Perubahan hemostasis pada DBD dan DSS melibatkan 3 faktor yaitu perubahan vaskuler, trombositopeni, dan kelainan koagulasi. Hampir semua penderita DBD mengalami peningkatan fragilitas vaskuler dan trombositopeni, serta banyak di antara penderita menunjukkan koagulogram yang abnormal.

Pada autopsi, semua pasien yang telah meninggal karena DBD menunjukkan suatu tingkatan hemoragi. Berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada kulit dan jaringan subkutan, pada mukosa saluran gastrointestinal, jantung, serta hati. Efusi


(34)

serosa dengan kandungan protein tinggi umumnya terdapat pada rongga pleural dan abdomen (WHO, 2004).

2.1.4 Tanda dan Gejala Klinik

Menurut Soegijanto (2006), gejala klinik utama pada DBD adalah demam dan manifestasi perdarahan. Untuk menegakkan diagnosis klinis DBD, WHO dalam Soegijanto (2006) menentukan beberapa patokan gejala klinis dan laboratorium meliputi :

a) Gejala Klinis :

- Demam mendadak yang berlangsusng selama 2-7 hari - Manifestasi perdarahan

o Uji torniquet positif

o Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis, epistaksis,

perdarahan gusi, hematemesis, melena - Hepatomegali

- Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg) atau nadi tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah

b) Laboratorium

- Trombositopeni (< 100.000 sel/ml) - Hemokonsentrasi (kenaikan Ht ≥ 20%)

Bila patokan hemokonsentrasi dan trombositopeni menurut kriteria WHO dipakai secara murni maka banyak penderita DBD yang tidak terjaring dan luput dari


(35)

pengawasan. Untuk mengantisipasi hal ini, Kelompok Kerja DBD sepakat jumlah trombosit < 150.000 sel/ml sebagai batas tombositopeni.

Selain patokan trombositopeni dan hemokonsentrasi, diagnosis laboratoris DBD juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan serologis. Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada penderita yang terjadi setelah infeksi. Pemeriksaan serologis terdiri dari (Depkes RI, 2007) :

a) HI (Haemaglutination Inhibition)

Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai gold standard. Namun pemeriksaan ini memerlukan dua sampel darah (serum) dimana spesimen kedua harus diambil pada fase konvalensen (penyembuhan) sehingga tidak dapat memberikan hasil yang cepat. Konfirmasi serologi tergantung pada kenaikan titer yang jelas (4 kali atau lebih) antibodi spesifik dari sampel serum antara fase akut dan fase konvalensen.

b) ELISA (IgM/IgG)

Infeksi dengue dapat dibedakan dengan menentukan rasio limit antibodi dengue

IgM terhadap IgG. Uji antibodi dengue IgM dan IgG dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasilnya lebih cepat didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test dengan prinsip pemeriksaan ELISA.


(36)

WHO dalam Soegijanto (2006) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) tingkat, yaitu sebagai berikut:

- Derajat I : Demam dan tourniquet positif.

- Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya di kulit dan atau pendarahan lain.

- Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali, dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (< 20 mmHg), atau hipotensi disertai ekstremitas dingin dan gelisah.

- Derajat IV : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali, dan ditemukan gejala renjatan hebat (nadi tak teraba dan tekanan darah tak terukur).

Dalam pelaksanaan sehari-hari diagnosis DBD dapat ditegakkan jika didapatkan demam, manifestasi perdarahan, trombositopeni, dan hemokonsentrasi atau tanda-tanda kebocoran plasma lainnya seperti efusi pleura, ascites, dan hipoalbuminemi. Adanya renjatan disertai Ht yang tinggi dan trombostopeni menyokong diagnosis DBD atau DSS (Soegijanto, 2006).


(37)

2.1.5 Siklus Penularan dan Penyebaran Penyakit DBD

Gambar 2.1. Siklus Penularan DBD Sumber : Depkes RI, 2007

Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus

dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus (Depkes RI, 2004a).

Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat menghisap darah dari seseorang yang sedang berada pada tahap demam akut (viraemia). Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik selama 8 sampai 10 hari, kelenjar ludah Aedes

akan menjadi terinfeksi dan virusnya akan ditularkan ketika nyamuk menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke dalam luka gigitan pada tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi instrinsik selama 3-14 hari (rata-rata selama 4-6 hari) timbul gejala awal penyakit secara mendadak yang ditandai dengan demam, pusing, myalgia (nyeri otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala non spesifik seperti


(38)

nausea (mual-mual), muntah, dan rash (ruam pada kulit). Viraemia biasanya muncul pada saat atau persis sebelum gejala awal penyakit tampak dan berlangsung selama kurang lebih 5 hari setelah dimulainya penyakit. Saat-saat tersebut merupakan masa kritis dimana penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk yang berperan dalam siklus penularan (WHO, 2004).

Lebih jelasnya Depkes RI (2007) menjelaskan mekanisme penularan penyakit DBD dan tempat potensial penularannya sebagai berikut :

a) Mekanisme Penularan DBD

Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue merupakan sumber penular DBD. Virus dengue berada dalam darah selama 4-7 hari. Bila penderita DBD digigit nyamuk penular maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk, termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut siap untuk menularkan kepada orang lain (masa inkubasi ekstrinsik). Virus ini akan berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Oleh karena itu, nyamuk Aedes yang telah menghisap virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi karena setiap kali nyamuk menusuk (menggigit) sebelum menghisap darah, ia akan mengeluarkan air liur melalui alat tusuknya (proboscis) agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersamaan dengan air liur tersebut virus dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.


(39)

b) Tempat Potensial bagi Penularan DBD

Penularan DBD dapat terjadi di semua tempat yang terdapat nyamuk penularnya. Beberapa tempat yang paling potensial untuk terjadinya penularan DBD adalah :

- Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan/endemis).

- Tempat-tempat umum yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang datang dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya pertukaran beberapa tipe virus dengue yang cukup besar, seperti sekolah, RS/Puskesmas dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, serta tempat umum lainnya (hotel, pertokoan, pasar, restoran, tempat ibadah, dan lain-lain).

- Pemukiman baru di pinggir kota. Penduduk pada lokasi ini umumnya barasal dari berbagai wilayah maka ada kemungkinan diantaranya terdapat penderita yang membawa tipe virus dengue yang berbeda dari masing-masing lokasi.

2.2 Vektor Penular Penyakit DBD

Virus dengue ditularkan dari satu orang ke orang lain oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomyia. Aedes aegypti merupakan vektor epidemik yang paling penting sedangkan spesies lain seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, anggota kelompok Aedes scutellaris, dan Aedes niveus diputuskan sebagai vektor sekunder. Walaupun mereka merupakan vektor bagi virus dengue, epidemi yang ditimbulkan tidak separah yang diakibatkan oleh Aedes aegypti (WHO, 2004).


(40)

2.2.1 Morfologi dan Metamorfosa Nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.2. Nyamuk Aedes aegypti Sumber : http://pedulidbd.com/tag/aedes-aegypti

Nyamuk Aedes aegypti disebut black-white mosquito karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih keperakan di atas dasar hitam. Di Indonesia, nyamuk ini sering disebut sebagai salah satu dari nyamuk-nyamuk rumah (WHO, 2004).

Dalam siklus hidupnya, nyamuk Aedes aegypti dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu telur, larva/jentik, pupa, dan dewasa sehingga termasuk dalam metamorfosis sempurna (WHO, 2004).

Telur nyamuk Aedes aegypti di dalam air dengan suhu 20-40oC akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Pada kondisi optimum, larva berkembang menjadi pupa dalam waktu 4-9 hari, kemudian pupa berkembang menjadi nyamuk dewasa dalam waktu 2-3 hari. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan telur, larva,


(41)

pupa, dan nyamuk dewasa memerlukan waktu kurang lebih 7-14 hari (Soegijanto, 2006).

Gambar berikut menunjukkan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

Gambar 2.3. Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti Sumber : Depkes RI, 2007

a) Telur

Telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk elips atau oval memanjang, warna hitam, ukuran 0,5-0,8 mm, permukaan poligonal, tidak memiliki alat pelampung, dan diletakkan satu persatu pada benda-benda yang terapung atau pada dinding bagian dalam tempat penampungan air (TPA) yang berbatasan langsung dengan permukaan air. Dari telur yang dilepas, sebanyak 85% melekat di dinding TPA sedangkan 15% lainnya jatuh ke permukaan air.

b) Larva/Jentik

Larva/jentik nyamuk Aedes aegypti berbentuk memanjang tanpa kaki dengan bulu-bulu sederhana yang tersusun bilateral simetris. Larva ini dalam pertumbuhan


(42)

dan perkembangannya mengalami 4 kali pergantian kulit (ecdysis) dan larva yang terbentuk berturut-turut disebut larva instar I, II, III, dan IV. Larva instar I tubuhnya sangat kecil, warna transparan, panjang 1-2 mm, duri-duri (spinae) pada dada (thorax) belum begitu jelas, dan corong pernapasan (siphon) belum menghitam. Larva instar II bertambah besar, ukuran 2,5-3,9 mm, duri dada belum jelas, dan corong pernapasan sudah berwarna hitam. Larva nstar IV telah lengkap struktur anatominya dan tubuh dapat dibagi menjadi kepala (chepal), dada (thorax), dan perut (abdomen).

Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk, sepasang antena tanpa duri-duri, dan alat-alat mulut tipe pengunyah (chewing). Bagian dada tampak paling besar dan terdapat bulu-bulu yang simetris. Perut tersusun atas 8 ruas, ruas perut ke-8 memiliki alat untuk bernapas yang disebut corong pernapasan. Corong pernapasan tanpa duri-duri, berwarna hitam, dan ada seberkas bulu-bulu. Ruas ke-8 juga dilengkapi dengan seberkas bulu-bulu sikat (brush) di bagian ventral dan gigi-gigi sisir (comb) yang berjumlah 15-19 gigi yang tersusun dalam 1 baris. Larva ini tubuhnya langsing dan bergerak sangat lincah, bersifat fotaksis negatif, dan waktu istirahat membentuk sudut hampir tegak lurus dengan bidang permukaan air.

c) Pupa

Pupa nyamuk Aedes aegypti bentuk tubuhnya bengkok dengan bagian kepala-dada (cephalothorax) lebih besar dibandingkan dengan bagian perutnya sehingga

tampak seperti tanda baca “koma”. Pada bagian punggung (dorsal) dada terdapat alat bernapas seperti terompet. Pada ruas perut ke-8 terdapat sepasang alat pengunyah


(43)

yang berguna untuk berenang. Alat pegunyah tersebut berjumbai panjang. Pupa adalah bentuk tidak makan, tampak gerakannya lebih lincah bila dibandingkan dengan larva. Waktu istirahat, posisi pupa sejajar dengan bidang permukaan air. d) Nyamuk Dewasa

Tubuh nyamuk Aedes aegypti dewasa tersusun atas tiga bagian yaitu kepala, dada, dan perut. Pada bagian kepala terdapat sepasang mata majemuk dan antena yang berbulu. Bagian mulut nyamuk betina merupakan tipe penususk-pengisap (piercing-sucking) dan termasuk lebih menyukai manusia (anthropophagus) sedangkan nyamuk jantan bagian mulutnya lebih lemah sehingga tidak mampu menembus kulit manusia karena itu tergolong lebih menyukai tumbuhan (phytophagus).

Dada nyamuk ini terdiri dari 3 ruas yaitu porothorax, mesothorax, dan

metathorax. Setiap ruas dada memiliki sepasang kaki yang terdiri dari femur (paha),

tibia (betis), dan tarsus (tampak). Pada ruas-ruas kaki ada gelang-gelang putih tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada gelang putih. Pada bagian dada juga terdapat sepasang sayap tanpa noda-noda hitam. Pada bagian punggung (mesontum) ada gambaran garis-garis putih yang dapat dipakai untuk membedakan dengan jenis lain. Gambaran punggung nyamuk Aedes aegypti berupa sepasang garis lengkung putih pada tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Perut terdiri dari 8 ruas dan pada ruas-ruas tersebut terdapat bintik-bintik putih. Waktu istirahat, posisi tubuh nyamuk sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapinya.


(44)

2.2.2 Bionomik Vektor

Menurut Sitio (2008), pengetahuan tentang bionomik vektor sangat diperlukan dalam perencanaan pengendalian vektor. Bionomik vektor meliputi tempat perindukan (breeding habit), kebiasaan menggigit (feeding habit), kebiasaan istirahat (resting habit), jarak terbang, dan lama hidup.

a) Tempat Perindukan (Breeding Places)

Tempat perindukan yang paling potensial adalah TPA yang digunakan sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi, bak WC, ember, dan sejenisnya. Tempat perindukan tambahan disebut non-TPA, seperti tempat minum hewan, barang bekas, vas bunga, perangkap semut, dan lainnya sedangkan TPA alamiah seperti lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal pohon pisang, potongan bambu, dan lainnya. Nyamuk Aedes aegypti lebih tertarik meletakkan telurnya pada TPA berair yang berwarna gelap, paling menyukai warna hitam, terbuka lebar, dan terutama terletak di tempat-tempat yang terlindung dari sinar matahari langsung (Soegijanto, 2006).

b) Kebiasaan Menggigit (Feeding Habit)

Berdasarkan pendapat Soegijanto (2006) dan WHO (2004) dapat disimpulkan bahwa nyamuk Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya; sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit dan menghisap darah, yaitu antara pukul 08.00-12.00 dan 15.00-17.00; jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang dan perilaku ini semakin memperbesar efisiensi penyebaran epidemi.


(45)

c) Kebiasaan Istirahat (Resting Habit)

Nyamuk Aedes aegypti palingsuka beristirahat di tempat yang gelap, lembab, dan tersembunyi di dalam rumah atau bangunan, termasuk kamar tidur, kamar mandi, kamar kecil, maupun dapur. Dapat juga ditemukan di luar rumah, di tumbuhan, atau di tempat terlindung lainnya. Di dalam ruangan, permukaan istirahat yang disukainya adalah di bawah furnitur, benda yang tergantung seperti baju dan korden, serta di dinding (WHO, 2004).

d) Jarak Terbang

Menurut Sitio (2008) yang mengutip pernyataan Chapman, pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat mencari mangsa dan selanjutnya ke tempat untuk beristirahat ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk. Pada waktu terbang nyamuk memerlukan oksigen lebih banyak sehingga penguapan air dari tubuh nyamuk menjadi lebih besar. Untuk mempertahankan cadangan air di dalam tubuh dari penguapan maka jarak terbang nyamuk menjadi terbatas. Aktifitas dan jarak terbang nyamuk dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu: faktor eksternal dan faktor internal. Eksternal meliputi kondisi luar tubuh nyamuk seperti kecepatan angin, temperatur, kelembaban, dan cahaya. Adapun faktor internal meliputi suhu tubuh nyamuk, keadaan energi, dan perkembangan otot nyamuk. Meskipun Aedes aeegypti kuat terbang tetapi tidak pergi jauh-jauh karena tiga macam kebutuhannya yaitu tempat perindukan, tempat mendapatkan darah, dan tempat istirahat ada dalam satu rumah. Keadaan tersebut yang menyebabkan Aedes aegypti bersifat lebih aktif di dalam rumah (endofilik). Apabila ditemukan nyamuk dewasa pada jarak terbang mencapai 2


(46)

km dari tempat perindukannya, hal tersebut disebabkan oleh pengaruh angin atau terbawa alat transportasi.

e) Lama Hidup

Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya 8 hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, risiko penyebaran virus semakin besar. Dengan demikian, diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengkaji survival alami Aedes aegypti dalam berbagai kondisi lingkungan (WHO, 2004).

2.2.3 Pengamatan Kepadatan Populasi Vektor

Untuk mengetahui kepadatan vektor disuatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei meliputi survei nyamuk, survei jentik, dan survei perangkap telur.

a) Survei Nyamuk

Sampling vektor nyamuk dewasa dapat memberikan data yang berharga untuk mengetahui kecenderungan populasi musiman, dinamika penularan, risiko penularan, dan evaluasi terhadap usaha pemberantasan nyamuk. Beberapa cara untuk survei nyamuk dewasa antara lain (Depkes RI, 2007) :

- Landing Bitting Collection

Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam atau diluar rumah masing-masing 20 menit per rumah. Angka hasil tangkapan dengan menggunakan jaring tangan atau aspirator saat nyamuk melekat atau hinggap pada umpan disebut landing bitting rate (LBR).


(47)

- Resting Collection

Pada periode inaktif, nyamuk dewasa istirahat di dalam rumah terutama di kamar tidur dan di tempat yang gelap seperti tempat gantungan pakaian dan tempat-tempat terlindung. Jumlah nyamuk dewasa yang tertangkap istirahat dengan aspirator per rumah disebut resting rate.

b) Survei Jentik

Survei jentik dilakukan dengan cara pemeriksaan terhadap semua tempat air di dalam dan di luar rumah dari 100 (seratus) rumah yang diperiksa di suatu daerah dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik. Dalam pelaksanaan survei ada dua metode yang meliputi (Depkes RI, 2007) :

b.1) Metode Single Larva

Metode ini dilakukan dengan mengambil satu jentik di setiap tempat genangan air yang ditemukan ada jentiknya untuk dilakukan identifikasi lebih lanjut jenis jentiknya.

b.2) Metode Visual

Metode ini dilakukan dengan melihat ada atau tidaknya jentik di setiap tempat genangan air tanpa melakukan pengambilan jentik. Dalam program pemberantasan


(48)

penyakit DBD, survei jentik yang biasa digunakan adalah cara visual dan ukuran yang dipakai untuk mengetahui kepadatan jentik yaitu :

- Angka Bebas Jentik (ABJ) : persentase pemeriksaan jentik yang dilakukan di semua desa/kelurahan setiap 3 bulan oleh petugas Puskesmas pada rumah-rumah penduduk yang diperiksa secara acak.

- House Index (HI) : presentase rumah yang ditemukan jentik terhadap seluruh

rumah yang diperiksa.

- Container Index (CI) : presentase antara kontainer yang ditemukan jentik terhadap seluruh kontainer yang diperiksa.

- Breteau Index (BI) : jumlah kontainer positif perseratus rumah yang diperiksa.

Angka Bebas Jentik dan House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu daerah. Tidak ada teori yang pasti yang menyebutkan Angka Bebas Jentik dan House Index yang dipakai sebagai standard. Hanya saja, berdasarkan kesepakatan ditetapkan House Index minimal 1%, yang berarti persentase rumah yang diperiksa jentiknya positif tidak boleh melebihi 1% atau 99%


(49)

rumah yang diperiksa jentiknya harus negatif. Ukuran tersebut digunakan sebagai indikator keberhasilan pengendalian nyamuk penularan DBD (Depkes RI, 2007). c) Survei Perangkap Telur

Menurut Ditjen PP&PL (2007), survei telur menggunakan ovitrap yaitu berupa potongan bambu atau kontainer lain yang mudah diperoleh (bekas kaleng susu dicat hitam, gelas plastik, tempurung kelapa atau lainnya) yang diberi air dan diberi lubang ±1 cm dari tepi atas untuk menggantung ovitrap pada paku dan untuk mencegah air agar tidak meluap. Kemudian ovitrap diberi padel yang berupa potongan bambu atau kain yang berwarna gelap sebagai tempat meletakkan telur bagi nyamuk. Jumlah pemasangan ovitrap pada setiap rumah adalah 2 buah, 1 buah dipasang di dalam rumah dan 1 buah lagi dipasang di luar rumah. Jumlah ovitrap yang dipasang minimal 160 buah di 80 rumah. Pengamatan ada atau tidak adanya telur dilakukan seminggu sekali dengan cara pemeriksaan adanya telur di padel atau bisa juga dengan pemeriksaan adanya jentik di dalam ovitrap. Pada waktu pemeriksaan padel, air di dalam ovitrap dibuang dan diganti air baru. Bila air tidak diganti maka jentik yang ada akan menetas menjadi nyamuk.


(50)

2.3 Epidemiologi Penyakit DBD 2.3.1 Distribusi Penyakit DBD a) Orang (Person)

Umur adalah salah satu faktor yang memengaruhi kepekaan terhadap infeksi virus dengue. Pada awal epidemi di Filipina, Thailand, Indonesia, dan Malaysia penyakit DBD kebanyakan menyerang anak-anak dan 95% kasus yang dilaporkan berumur < 15 tahun. Walaupun demikian, berbagai negara melaporkan bahwa kasus-kasus dewasa meningkat selama terjadi KLB (Soegijanto, 2006).

Berdasarkan Kemenkes (2010), kasus DBD per kelompok umur di Indonesia mengalami pergeseran dari tahun 1993-2009. Dari tahun 1993-1998 kelompok umur terbesar kasus DBD adalah kelompok umur < 15 tahun sedangkan tahun 1999-2009

kelompok umur terbesar kasus DBD cenderung pada kelompok umur ≥ 15 tahun. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini :


(51)

Gambar 2.4. Proporsi Kasus DBD Berdasarkan Kelompok Umur Tahun 1993-2009

Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009

Sejauh ini tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD dikaitkan dengan perbedaan jenis kelamin (gender). Di Filipina dilaporkan bahwa rasio antar jenis kelamin adalah 1:1. Di Thailand tidak ditemukan perbedaan kerentanan terhadap serangan DBD antara laki-laki dan perempuan meskipun ditemukan angka kematian yang lebih tinggi pada anak perempuan, tetapi perbedaan angka tersebut tidak signifikan (Kusriastuti dalam Duma, 2007).

Distribusi kasus berdasarkan jenis kelamin di Indonesia pada tahun 2008 menunjukkan bahwa proporsi penderita laki-laki dan perempuan hampir sama. Jumlah penderita berjenis kelamin laki-laki adalah 10.463 orang (53,78%) dan perempuan berjumlah 8.991 orang (46,23%). Hal ini menunjukkan bahwa risiko terkena DBD untuk laki-laki dan perempuan hampir sama, tidak tergantung jenis kelamin (Ditjen PP&PL, 2008).


(52)

Singapura dan Malaysia pernah mencatat adanya perbedaan angka kejadian infeksi di antara kelompok etnik. Kelompok penduduk Cina banyak terserang DBD dari pada yang lain. Penemuan ini dijumpai pada awal epidemi (Soegijanto, 2006).

Mobilitas penduduk juga memegang peranan penting pada transmisi penularan infeksi virus dengue. Salah satu faktor yang memengaruhi penyebaran epidemi dari Queensland ke New South Wales pada tahun 1942 adalah perpindahan personil militer dan angkatan udara karena jalur transportasi yang mereka lewati merupakan jalur penyebaran virus dengue (Sutaryo, 2005).

b)Tempat (Place)

Penyakit akibat infeksi virus dengue ditemukan tersebar luas di berbagai negara terutama di negara tropik dan subtropik yang terletak antara 30º Lintang Utara dan 40º Lintang Selatan seperti Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Caribbean dengan tingkat kejadian sekitar 50-100 juta kasus setiap tahunnya (Djunaedi dalam Duma, 2007). Data dari seluruh dunia menunjukkan bahwa Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya (Kemenkes RI, 2010).

Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan ketinggian 1.000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang rendah, siklus perkembangan Aedes aegypti menjadi tidak sempurna (Depkes RI, 2004b). Namun, pernah dilaporkan dilaporkan pada ketinggian 2.121 meter di India, pada 2.200 meter di Kolombia yang suhu rata-rata tahunannya adalah 17oC, dan pada ketinggian 2.400 meter di Eritrea (WHO, 1999).


(53)

Dibandingkan dengan daerah pedesaan, nyamuk Aedes aegypti memang lebih banyak di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena habitat perindukan nyamuk adalah air yang relatif bersih, yaitu penampungan air untuk keperluan sehari-hari, barang-barang bekas sepeti botol, ban, kaleng, plastik, dan sebagainya yang merupakan lingkungan buatan manusia terutama di kota-kota. Namun, dengan semakin majunya mobilisasi manusia dan pesatnya transportasi, nyamuk juga berimigrasi sampai ke daerah pedesaan. Selain itu, di daerah pedesaan memang banyak terdapat nyamuk Aedes albopictus (nyamuk kebun) yang juga dapat menularkan virus dengue (Nadesul, 2004).

Di India misalnya, Aedes aegypti merupakan vektor di perkotaan dan populasinya berubah-ubah sesuai dengan curah hujan dan kebiasaan penyimpanan air. Di negara-negara Asia Tenggara yang curah hujan tahunannya lebih dari 2000 mm, menjadikan populasi Aedes aegypti lebih stabil di perkotaan, semi perkotaan, dan pedesaan. Adanya kebiasaan penyimpanan air secara tradisional di Indonesia dan Thailand menyebabkan kepadatan populasi nyamuk di daerah semi perkotaan lebih besar dibandingkan dengan daerah perkotaan. Di Singapura, indeks Aedes aegypti

paling tinggi ditemukan di perumahan kumuh (Ditjen PP&PL dalam Sukamto, 2007). Di Thailand, wabah DBD pertama terjadi di Bangkok dalam pola siklus 2 tahun, kemudian selanjutnya dalam siklus yang tidak teratur dengan area penyebaran penyakit di seluruh negeri. DBD kemudian menjadi endemik di banyak kota besar di Thailand dan akhirnya menyebar ke kota-kota kecil dan desa-desa selama periode epidemik. Pola serupa terlihat di Indonesia, Myanmar, dan Vietnam (WHO, 1999).


(54)

Di Indonesia, DBD pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968. Sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24 orang diantaranya meninggal dunia (CFR = 41,5%). Sejak saat itu, penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia. Persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD mengalami peningkatan. Dari 2 provinsi dan 2 kota pada tahun 1968, menjadi 32 provinsi (97%) dan 382 kabupaten/kota (77%) yang endemis pada tahun 2009 (Kemenkes RI, 2010).

c) Waktu (Time)

Selama abad ke-18, 19, dan awal abad ke-20 epidemi penyakit yang menyerupai dengue tercatat menyerang seluruh dunia, baik di wilayah tropis maupun di beberapa wilayah beriklim sedang. KLB penyakit dengue serupa dengan DBD yang dicatat pertama kali terjadi di Australia tahun 1897. Penyakit perdarahan serupa juga berhasil dicatat pada tahun 1928 saat terjadi epidemi di Yunani dan kemudian di Taiwan tahun 1931. Epidemi DBD pertama yang berhasil dipastikan, dicatat di Filipina tahun 1953-1954. Selama 20 tahun terakhir terjadi peningkatan yang tajam pada insidensi dan penyebaran penyakit secara geografis. Di beberapa negara Asia Tenggara saat ini, epidemi terjadi setiap tahun (WHO, 2004).

Awal KLB DBD terjadi setiap lima tahun. Selanjutnya mengalami perubahan menjadi tiga tahun, dua tahun, dan akhirnya setiap tahun diikuti dengan adanya kecenderungan peningkatan infeksi virus dengue pada bulan-bulan tetentu (Soegijanto, 2006).

Terhitung sejak tahun 1968 hingga tahun 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. CFR pada


(55)

tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009. Meskipun CFR menurun tetapi bila dilihat angka absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat (Kemenkes RI, 2010). Hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini :

Gambar 2.5. Jumlah Absolut Kematian DBD dan Angka Kematian di Indonesia Tahun 1968 – 2009

Sumber : Ditjen PP&PL Depkes RI, 2009

Di daerah yang sangat endemik di negara Filipina, Thailand, Myanmar, Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Vietnam, musim epidemik terjadi saat musim hujan. Banyaknya penderita sesuai dengan keadaan curah hujan yang hampir setiap tahun terjadi. Kejadian luar biasa terjadi bulan Mei yang mencapai puncaknya pada bulan Juli dan Agustus, menurun pada bulan Oktober. Namun, pada musim epidemik


(56)

akhir-akhir ini ditemukan kasus DBD di awal bulan Januari. Di Indonesia, epidemik dimulai sesudah bulan September, dan mencapai puncaknya sekitar bulan Desember (Soegijanto, 2006).

2.3.2 Determinan Penyakit DBD

Timbulnya suatu penyakit, termasuk penyakit DBD dapat diterangkan melalui konsep segitiga epidemiologi, yaitu adanya faktor pejamu (host), penyebab (agent), dan lingkungan (environment).

a) Pejamu (Host)

Host merupakan manusia yang peka terhadap infeksi virus dengue. Menurut Sari dalam T. Azizah (2010), faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusiaantara lain golongan umur, pendidikan, penghasilan, suku bangsa, kepadatan penduduk, mobilitas penduduk, tingkat kerentanan, perilaku hidup bersih dan sehat, serta perkumpulan yang ada di masyarakat.

Golongan umur akan memengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit. Lebih banyak golongan umur < 15 tahun berarti kelompok yang rentan untuk sakit DBD akan lebih besar. Sementara itu, pendidikan akan memengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pencegahan/pemberantasan yang dilakukan sedangkan penghasilan akan memengaruhi kunjungan untuk berobat ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit. Tiap suku bangsa mempunyai kebiasaannya masing-masing sehingga hal ini juga memengaruhi penularan DBD.

Bila di suatu rumah terdapat nyamuk penular maka akan berpotensi menularkan penyakit pada orang yang tinggal di rumah tersebut, orang-orang di


(57)

rumah sekitarnya, atau orang-orang yang berkunjung ke rumah tersebut yang berada dalam jarak terbang nyamuk. Lebih padat penduduk akan lebih mudah untuk terjadi penularan DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat lain.

Kekuatan dalam tubuh individu tidak sama dalam menghadapi suatu penyakit, ada yang mudah kena penyakit dan ada yang tahan terhadap penyakit. Oleh karena itu, kerentanan terhadap penyakit akan berbeda pada tiap individu. Melalui perilaku hidup bersih dan sehat akan mengurangi risiko penularan penyakit DBD. Perkumpulan yang ada dimasyarakat juga bisa digunakan untuk sarana Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM).

b)Penyebab (Agent)

Agent penyebab penyakit DBD adalah virus dengue yang termasuk kelompok

B-Arthropod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus

Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu ; DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Infeksi salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain. Di Indonesia, pengamatan virus dengue yang dilakukan di beberapa rumah sakit menunjukkan bahwa keempat serotipe ditemukan dan bersirkulasi sepanjang tahun. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak menunjukkan manifestasi klinik yang berat (Depkes RI, 2004a).


(58)

c) Lingkungan (Environment)

Sukamto (2007) memaparkan determinan lingkungan (environment) antara lain sebagai berikut:

c.1) Lingkungan Fisik, yang terkait antara lain : macam tempat penampungan air, ketinggian tempat, hari hujan, kecepatan angin, suhu udara, tata guna tanah, pestisida yang digunakan, dan kelembaban udara.

Tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti dibedakan berdasarkan bahan tempat penampungan air (logam, plastik, porselin, fiberglass, semen, tembikar, dan lain lain), warna tempat penampungan air (putih, hijau, coklat, dan lain-lain), letak tempat penampungan air (di dalam rumah atau di luar rumah), penutup tempat penampungan air (ada atau tidak ada), pencahayaan pada tempat penampungan air (terang atau gelap), dan sebagainya. Di tempat dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti.

Curah hujan menambah genangan air sebagai tempat perindukan, menambah kelembaban udara terutama untuk daerah pantai. Banyaknya hari hujan akan memengaruhi kelembaban udara. Kecepatan angin juga memengaruhi suhu udara dan pelaksanaan pemberantasan vektor dengan cara fogging. Suhu udara memengaruhi perkembangan virus di tubuh nyamuk. Tata guna tanah menentukan jarak dari rumah ke rumah. Pestisida yang digunakan memengaruhi kerentanan nyamuk. Kelembaban udara memengaruhi umur nyamuk.


(59)

c.2) Lingkungan Biologi

Pada lingkungan biologi, yang memengaruhi penularan penyakit DBD terutama adalah banyaknya tanaman hias dan tanaman pekarangan. Bila banyak tanaman hias dan tanaman pekarangan, berarti akan menambah tempat yang disenangi nyamuk untuk beristirahat. Pada tempat-tempat yang demikian, akan memperpanjang umur nyamuk dan penularan mungkin terjadi sepanjang tahun di tempat tersebut.

2.4 Pencegahan dan Pengendalian DBD

Cara memotong rantai penularan penyakit DBD masih dengan cara membasmi vektor karena belum ditemukannya vaksin atau obat yang dapat membunuh virus dengue. Cara yang tepat guna adalah dengan membasmi jentik nyamuk yang ada di tempat perkembangbiakannya (Nadesul, 2004).

Menurut Sukowati (2010), beberapa metode pengendalian vektor yang telah banyak diketahui dan digunakan oleh program pengendalian DBD di tingkat pusat dan di daerah yaitu manajemen lingkungan, pengendalian biologis, pengendalian kimiawi, partisipasi masyarakat, perlindungan individu, dan peraturan perundangan.

2.4.1 Manajemen Lingkungan

Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan untuk mengurangi bahkan menghilangkan habitat perkembangbiakan vektor sehingga akan mengurangi kepadatan populasi. Manajemen lingkungan hanya akan berhasil dengan


(60)

baik jika dilakukan oleh masyarakat, lintas sektor, para pemegang kebijakan, dan lembaga swadaya masyarakat melalui program kemitraan (Sukowati, 2010).

WHO pada tahun 1982 telah menetapkan 3 jenis Manajemen Lingkungan yaitu :

a) Modifikasi Lingkungan, yaitu pengubahan fisik habitat larva yang tahan lama. b) Manipulasi Lingkungan, yaitu pengubahan sementara habitat vektor yang

memerlukan pengaturan wadah yang penting dan tidak penting serta manajemen atau pemusnahan tempat perkembangbiakan alami nyamuk.

c) Perubahan Habitasi atau perilaku vektor, yaitu upaya untuk mengurangi kontak antara manusia dan vektor.

Program pengendalian nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan di Kuba dan Panama di awal abad ke-20 didasarkan terutama pada manajemen lingkungan. Aktivitas semacam itu tetap dapat diterapkan pada tempat dengan penyakit dengue

bersifat endemik (WHO, 2004).

Aspek manajemen lingkungan menyangkut empat bidang yaitu planning, organizing, actuating, dan controlling. Dalam penelitian Widiyanto (2007) di Kabupaten Banyumas, keempat bidang tersebut direduksi menjadi 3 bagian yaitu program (pembentukan dan pelaksanaan program kerja); regulasi; dan teknis operasional yang terdiri dari pemeriksaan jentik berkala (PJB), penyuluhan, fogging, penyelidikan epidemiologi, dan abatisasi. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa masih ditemukannya warga yang positif mengalami DBD disebabkan karena kegiatan berupa sosialisasi dan advokasi program kesehatan masih pada tingkat


(61)

Propinsi dan Kabupaten/Kota, sementara di tingkat Puskesmas masih belum efektif. Padahal Puskesmas merupakan ujung tombak dari pelaksanaan program kesehatan masyarakat.

2.4.2 Pengendalian Biologis

Pengendalian secara Biologis merupakan upaya pemanfaatan agent biologi untuk pengendalian vektor DBD. Beberapa agen biologis yang sudah digunakan dan terbukti mampu mengendalikan populasi larva vektor DBD adalah dari kelompok predator, seperti bakteri, cyclop (Copepoda), dan ikan pemakan jentik (Sukowati, 2010).

Bakteri Bacillus thuringiensis serotipe H-14 (Bt.H-14) dinilai efektif untuk mengendalikan nyamuk. Bakteri tersebut tidak memengaruhi sepesies lain. Bt.H-14 didapati sangat efektif terhadap Anopheles stephensi dan Aedes aegypti. Terdapat berbagai formula produk Bt.H-14 yang diproduksi oleh beberapa perusahaan besar untuk mengendalikan vektor nyamuk. Produk tersebut meliputi bubuk yang dilarutkan dan berbagai formula yang bereaksi lambat seperti briket, tablet, dan butiran. Saat ini diharapkan adanya perkembangan lebih lanjut dari formula yang lambat reaksinya. Bt.H-14 memiliki tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia dan mulai dikembangkan sebagai bahan pengendali nyamuk dalam wadah penampungan air di rumah (Suroso dalam Sukamto, 2007).

Catatan tentang peranan pemangsa jenis Copepod cruistaceans (sejenis ketam laut) dibuat antara tahun 1930-1950. Namun, evaluasi ilmiahnya dilakukan hanya di tahun 1980 di Tahiti, French Polynesia, ditemukan bahwa Mesocyclops aspericornis


(62)

dapat memengaruhi 99,3% tingkat kematian larva Aedes (stegommyia) dan 1,9 % terhadap larva Culex quinquefasciatus dan Toxorhynchities amboinensis. Pelepasan predator ini di Queensland bagian Utara dan Selatan, serta Thailand menunjukkan hasil yang beragam. Namun, di Vietnam hasilnya lebih sukses karena mampu memberantas Aedes aegypti di satu desa. Walaupun faktor kelangkaan bahan pangan serta melakukan pembersihan wadah secara teratur dapat mencegah kelangsungan hidup Copepods. Mereka cocok untuk wadah besar yang tidak dibersihkan secara teratur seperti tangki beton, drum besar, atau ban. Mereka juga dapat digunakan bersamaan dengan Bt.H-14. Copepods berperan dalam pengendalian vektor dengue, akan tetapi masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap kemungkinan penggunannya (WHO, 2004).

Ikan Larvivorus (Gambusia affinis dan Poecilia reticulata) telah banyak digunakan untuk mengendalikan jentik Aedes aegypti di tempat penyimpanan air yang besar di banyak negara di Asia Tenggara. Kemampuan dan efisiensi dari tindakan pengendalian ini tergantung pada jenis penampungan airnya (Suroso dalam Sukamto, 2007).

2.4.3 Pengendalian Kimiawi

Pengendalian secara kimiawi masih paling populer baik bagi program pengendalian DBD dan masyarakat. Penggunaan insektisida dalam pengendalian vektor DBD bagaikan pisau bermata dua, artinya bisa menguntungkan sekaligus merugikan. Jika insektisida digunakan secara tepat sasaran, tepat dosis, tepat waktu


(63)

dan cakupan akan mampu mengendalikan vektor dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan organisme yang bukan sasaran (Sukowati, 2010).

Penggunaan insektisida dalam jangka tertentu secara terus menerus akan menimbulkan resistensi vektor. Insektisida untuk pengendalian DBD harus digunakan dengan bijak dan merupakan senjata pamungkas (WHO, 2004).

2.4.4 Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran, dan upaya dalam memberikan pemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat, bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3M Plus atau PSN dilingkungan mereka. Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trade mark bagi program pengendalian DBD. Namun, karena masyarakat kita sangat heterogen dalam tingkat pendidikan, pemahaman, dan latar belakang, kegiatan ini belum mampu mandiri dalam pelaksanaannya (Sukowati, 2010).

Mengingat kenyataan tersebut maka penyuluhan tentang vektor dan metode pengendaliannya masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat secara berkesinambungan. Penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa peran dari pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti pendidikan, agama, LSM, dan lain-lain. Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalam program pemberdayaan peran serta masyarakat.


(1)

Block 1: Method = Enter

V ariables not in the Equation

15.126 1 .000

24.905 1 .000

6.035 1 .014

6.878 1 .009

4.531 1 .033

47.792 5 .000

Tata NTPA Tbhn Tdr Anti Variables Overall Statistics Step 0

Score df Sig.

Om nibus Tests of Model Coefficients

53.902 5 .000

53.902 5 .000

53.902 5 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summ ary

184.540a .269 .359

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. a.

Classification Tablea

56 30 65.1

19 67 77.9

71.5 Observed Kontrol Kasus Kejadian DBD Overall Percentage Step 1 Kontrol Kasus

Kejadian DBD Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.


(2)

Variables in the Equation

1.204 .379 10.072 1 .002 3.333 1.585 7.011

1.612 .379 18.074 1 .000 5.012 2.384 10.539

.744 .371 4.025 1 .045 2.104 1.017 4.352

.946 .384 6.070 1 .014 2.576 1.214 5.470

1.422 .542 6.891 1 .009 4.144 1.434 11.976

-3.491 .696 25.127 1 .000 .030

Tata NTPA Tbhn Tdr Anti Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Tata, NTPA, Tbhn, Tdr, Anti. a.


(3)

PERHITUNGAN

HOUSE INDEX

DAN

CONTAINER INDEX

a)

House Index

(HI)

-

Pada Kelompok Kasus

-

Pada Kelompok Kontrol

b)

Container Index

(CI)

-

Pada Kelompok Kasus

-

Pada Kelompok Kontrol


(4)

(5)

(6)