2
dilakukan di kelas X-1 SMA Muhammadiyah 3 Surakarta pada semester I tahun pelajaran 20092010. Subjek penelitian adalah seluruh siswa kelas
X-1 SMA Muhammadiyah 3 Surakarta pada semester I tahun pelajaran 20092010 yang terdiri dari 20 siswa. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa: 1 Penggunaan metode pembelajaran scaffolding dengan teknik pengkalimatan dan penandaan dapat meningkatkan dampak produk dalam
pembelajaran ketrampilan membaca puisi. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya tingkat ketuntasan dan prestasi belajar membaca puisi pada
siswa; 2 Penggunaan metode pembelajaran scaffolding dengan teknik pengkalimatan dan penandaan dapat meningkatkan dampak proses
pembelajaran ketrampilan membaca puisi pada siswa kelas X-1 SMA Muhammadiyah 3 Surakarta Tahun Pelajaran 20092010. Hal ini dapat
diketahui dari semakin meningkatnya skor rata-rata minat belajar siswa dan semakin baik kategori minat belajar siswa pada setiap siklus tindakan.
Kata kunci: ketrampilan membaca puisi, scaffolding.
I. LATAR BELAKANG
Salah satu materi dalam pembelajaran sastra di SMA adalah apresiasi puisi. Apresiasi puisi merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengajaran
bahasa dan sastra Indonesia di SMA. Namun, kenyataan di lapangan, kegiatan ini sering menemui berbagai kendala, baik dari pihak guru maupun siswa. Guru yang
tidak menyukai sastra cenderung menghindari pembelajaran apresiasi puisi ini. Kalau pun mau mengajarkan, mereka akan mengajarkannya dengan sepintas lalu,
dengan cara ala kadarnya, sehingga tidak menarik dan terasa sangat membosankan.
Sebagai salah satu bentuk sastra, puisi sangat berbeda dengan prosa. Ada unsur kebebasan dan permainan simbolik kata yang melebihi karya sastra prosa. Semua
terwujud hanya melalui kata-kata yang mungkin memiliki maksud dan mungkin juga tidak. Pada saat ide penyair muncul akan lahirlah untaian kata-kata indah
yang memiliki maksud. Kadang pula untaian kata tersebut muncul secara tiba-tiba dan menimbulkan keindahan bunyi yang luar biasa tanpa ada pretensi ataupun
maksud dari untaian kata yang tercipta. Hasilnya kadang permainan simbolik dan bentuk tersebut melahirkan nuansa misteri yang sangat menarik untuk dikaji.
Pembelajaran Sastra masih dipandang sebelah mata baik oleh guru maupun siswa. Hal ini menyebabkan pembelajaran sastra menjadi tidak menarik dan
membosankan. Guru sering dituding sebagai penyebab pembelajaran sastra yang gagal. Padahal pembelajaran sastra di sekolah tidak bisa kita anggap sebagi materi
tambahan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Sastra menjadi jembatan bagi
3
guru dan siswa untuk menemukan realita kehidupan sesungguhnya melalui kajian- kajian karya sastra.
Hal yang sama juga tidak jauh berbeda dengan kondisi siswa di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta. Sebagian besar siswa di SMA Muhammadiyah 3
Surakarta dapat dikatakan cukup rendah dalam memahami karya sastra. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya nilai yang mereka peroleh dalam pemahaman
sastra. Di antara beberapa kelas paralel yang ada, siswa di kelas X 1 merupakan kelas dengan rata-rata kemampuan pemahaman sastra yang terendah.
Rendahnya kemampuan dalam memahami sastra pada siswa, ditunjukkan dengan rendahnya tingkat ketuntasan belajar siswa. Hasil tes akhir semester I pada tahun
pelajaran 20092010 untuk siswa kelas X 1 menunjukkan bahwa dari 20 siswa yang ada, baru sekitar 11 atau 55,00 siswa yang memperoleh nilai di atas
Kriteria Ketuntasan Minimum KKM sebesar 65. Hal ini berarti bahwa sekitar 9 orang siswa atau 45,00 harus mengikuti pembelajaran remedial.
Hasil pengamatan awal terhadap kelas-kelas pelajaran bahasa Indonesia di SMA Muhammadiyah 3 Surakarta menunjukkan bahwa kelas-kelas pembelajaran
bahasa Indonesia tampak monoton. siswa-siswa kurang diberi ruang dan waktu yang memadai untuk mempraktekkan dan menggunakan bahasa Indonesia yang
mereka pelajari dalam berwacana. Mereka pada umumnya hanya menjawab dan mengerjakan tugas-tugas bahasa secara sepotong-sepotong. Sangat jarang siswa
dilatih membuat tugas mengarang atau tugas-tugas kewacanaan lainnya untuk mengutarakan pikiran dan penalaran mereka, baik individu maupun kelompok
sebagai praktek wacana dalam tindakan sosial. Pengelolaan pembelajaran pun tampak statis. Akibatnya, banyak pembelajar yang menganggap enteng pelajaran
bahasa Indonesia. Mereka kurang serius mengikuti pelajaran. Bahkan, sering dijumpai pembelajar yang bersifat antipati.
Terkait dengan pembelajaran sastra, salah satu materi yang diajarkan kepada siswa adalah puisi. Pemahaman terhadap karya sastra berupa puisi relatif lebih
sulit dibandingkan dengan pemahaman terhadap bentuk-bentuk lain dari karya sastra. Hal ini dikarenakan dalam puisi digunakan kata-kata yang berupa kata
kiasan sehingga memerlukan upaya lain berupa paraphrasing dalam pemahamannya.
Berangkat dari pemikiran ini, peneliti mencoba untuk melakukan kajian terhadap penggunaan metode pembelajaran dengan bantuan scaffolding dalam
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Materi pembelajaran yang digunakan adalah puisi, dengan kajian berupa apresiasi dan membaca.
Penelitian yang dilakukan oleh Henriono Nugroho 2007 dengan judul “Reader’s Socio Cultural Context in the Interpretation of the Poem” mengkaji tentang
4
konteks sosiokultural pembaca dalam apresiasi puisi. Kajian dilakukan dengan menggunakan analisis sistem semiotik. Sistem semiotik suatu karya verbal
berkaitan dengan verbalisasi expression artikulasi simbolik symbolic articulation dan tema theme content. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
secara umum sistem semiotika puisi saling berkaitan satu sama lain. Hal ini dijelaskan oleh Henriono di bawah ini, Hasan, 1985:
“Generally three strata of the semiotic system of the poem are related to one another. At the stratum of verbalization subject matter the second
order field is produced by the main lexical chain of participant, process and circumstance in the sense that the process is the linguistically
automatized meaning produced by the experiential semantics. Thus subject matter is the meaning of linguistically automatized meanings. At the
stratum of symbolic articulation”
Penelitian lain tentang pembelajaran puisi dilakukan oleh Weisner 2004 dengan judul ”What Can Education Learn from the Arts about the Practice of
Education?”. Weisner mengkaji tentang keterkaitan antara karya sastra dengan pelaksanaan pembelajaran. Menurut pendapat Weisner 2004:1 dikatakan bahwa
karya seni yang dikembangkan sebagai suatu sumber pembelajaran “… are considered, at best, a fall back position, a court of last resort, something you
retreat to when there is no science to provide guidance. It is widely believed that no field seeking professional respectability can depend on such an undependable
source”. Menurut Weisner suatu karya seni yang dikembangkan sebagai sumber pembelajaran akan sangat baik apabila tidak dibatasi pada batasan-batasan ilmiah.
Kajian lain yang berkaitan dengan penggunaan karya sastra dalam pembelajaran bahasa dilakukan oleh Murat Hismanoglu 2005 dengan judul “Teaching English
Through Literature”. Hismanoglu mengkaji penggunaan sastra untuk mengajarkan bahasa Inggris dalam konteks pendidikan di Turki. Penggunaan
karya sastra dalam pengajaran bahasa mencakup “basic language skills i.e. reading, writing, listening and speaking and language areas i.e. vocabulary,
grammar and pronunciation” Hismanoglu, 2005: 1.
Hasil penelitian yang dilakukan Hismanoglu menyimpulkan bahwa karya sastra dan pengajaran bahasa diuntungkan oleh berbagai genre dalam karya sastra seperti
puisi, cerita pendek, drama, dan novel sehingga sangat mendukung dalam pembelajaran bahasa dalam konteks pembelajaran bahasa asing.
Penelitian yang dilakukan oleh Van der Stuyf 2008 yang berjudul “Scaffolding as a Teaching Strategy” membahas mengenai penggunaan metode Scaffolding
dalam pembelajaran. Menurut Van der Stuyf, strategi scaffolding merupakan pengembangan dari teori Vigotsky tentang zone of proximal development ZPD.
Menurut Vigotsky seperti dikutip oleh Van der Stuyf 2008: 3 dikatakan bahwa
5
“…theorized that learning occurs through participation in social or culturally embedded experiences.”
Berdasarkan pengertian tersebut, pembelajaran sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial yang berlangsung dalam konteks yang bermakna. Interaksi sosial anak-anak
dengan orang dewasa yang mempunyai pengetahuan lebih banyak secara signifikan akan membantu cara berpikir mereka dan cara mereka melakukan
interpretasi terhadap situasi. Interaksi tersebut akan membantu anak untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang konsep yang sedang dipelajari.
Dalam penelitian ini, ada 2 tujuan yang ingin dicapai. Pertama, untuk meningkatkan minat belajar siswa dalam pembelajaran bahasa dan sastra
Indonesia kompetensi membaca puisi. Kedua, untuk meningkatkan ketrampilan mengapresiasi puisi pada siswa kelas X 1 Semester II SMA Muhammadiyah 3
Surakarta tahun pelajaran 20092010 melalui penggunaan metode pembelajaran kontekstual dengan strategi scaffolding.
Ada dua hipotesis tindakan yang dirumuskan dalam penelitian ini. maka dapat dirumuskan 2 hipotesis tindakan. Pertama, penggunaan metode pembelajaran
kontekstual dengan strategi scaffolding dapat meningkatkan minat belajar siswa dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Kedua, penggunaan metode
pembelajaran kontekstual dengan strategi scaffolding dapat meningkatkan ketrampilan mengapresiasi puisi pada siswa kelas X-1 Semester II SMA
Muhammadiyah 3 Surakarta tahun pelajaran 20092010.
2. METODOLOGI