Universitas Kristen Maranatha
untuk meneliti lebih lanjut mengenai gambaran tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka peneliti ingin memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness pada pejabat gerejawi di
Gereja “X” di Kota Bogor.
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1 Maksud
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai tipe forgiveness
pada pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor. 1.3.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran lebih lanjut mengenai tipe forgiveness yang cenderung digunakan, yaitu tipe decisional
forgiveness, emotional forgiveness atau decisional dan emotional forgiveness oleh pejabat gerejawi di Gereja “X” di Kota Bogor.
1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis
1. Memberikan informasi mengenai forgiveness bagi ilmu psikologi, secara
khusus untuk psikologi positif yang berkaitan dengan keagamaan. 2.
Memperdalam pengetahuan mengenai forgiveness khususnya dalam bidang keagamaan.
Universitas Kristen Maranatha
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada pejabat gerejawi mengenai tipe forgiveness
yang lebih baik digunakan dan pengaruhnya terhadap pelayanan di gereja.
2. Memberikan informasi kepada pihak gereja yang berkaitan dengan para
pejabat gerejawi mengenai forgiveness agar dapat mengadakan kegiatan yang
dapat mewujudkan forgiveness.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pejabat gerejawi adalah seseorang yang menduduki posisi dan fungsi khusus dalam pelayanan yang ada di gereja, yang bermula dari panggilan Allah
melalui Kristus oleh kuasa Roh Kudus melalui gereja. Menurut buku Tata Gereja di Gereja “X” tahun 2008, pejabat gerejawi terdiri atas Penatua, Penatua Khusus
dan Pendeta yang biasa juga dikenal sebagai Majelis Jemaat, lalu Majelis Jemaat diberi wewenang untuk membentuk badan-badan pembantu.
Dalam menjalankan tugasnya menjadi seorang pejabat gerejawi, merupakan suatu kepuasan dan kesenangan ketika pelayanannya mendapatkan
respon yang positif dari jemaat maupun pejabat gerejawi lainnya. Selain respon positif, tidak menutup kemungkinan pejabat gerejawi menghadapi konflik dengan
sesama anggota pejabat gerejawi ataupun dengan jemaat. Konflik yang biasanya terjadi antara lain disebabkan karena senioritas, pengkritikan, kesalahpahaman,
mempertahankan pendapat, saling melempar tugas dan tanggung jawab serta tidak setuju dengan keputusan yang sudah diambil. Seorang pejabat gerejawi dituntut
untuk mampu belajar memaafkan forgiveness kepada orang yang pernah
Universitas Kristen Maranatha
menyakitinya karena para pejabat gerejawi harus menunjukkan sikap hidup yang dapat menjadi teladan bagi jemaat dan sesama pejabat gerejawi.
Forgiveness adalah motivasi untuk mengurangi penghindaran dan penarikan dari seseorang yang telah menyakiti kita, serta kemarahan, keinginan
dan desakan untuk membalas terhadap orang itu. Worthington, 1997, dalam Dimensions of Forgiveness. Forgiveness juga memiliki dua tipe, yaitu decisional
forgiveness dan emotional forgiveness. Decisional forgiveness melibatkan niat untuk
melakukan perubahan
perilaku terhadap
pelaku dengan
cara memperlakukan pelaku sebagai orang yang bernilai dan tidak balas dendam.
Emotional forgiveness melibatkan penggantian emosi negatif yang dirasakan korban terhadap pelaku dengan emosi positif seperti empati, simpati, iba dan
kasih sayang yang biasanya tergantung pada jenis hubungan dengan pelaku. Menurut Worthington, seseorang dapat memiliki kedua tipe forgiveness, yaitu
decisional dan emotional forgiveness, yang membedakan hanya derajat yang muncul dalam peristiwa tertentu. Maka dari itu, sangat memungkinkan bahwa
pejabat gerejawi memiliki kedua tipe forgiveness. Seorang pejabat gerejawi yang menggunakan decisional forgiveness akan
mengubah perilakunya kepada pelaku, seperti kembali bertegur sapa setiap bertemu, saling menanyakan kabar, kembali berbincang-bincang satu sama lain
dan bekerjasama dalam pelayanan bersama, namun tidak menutup kemungkinan di dalam hati masih tersimpan kekesalan. Dalam tipe ini, pejabat gerejawi
memunculkan niat prososial kepada pelaku dan menghambat munculnya niat untuk menyakiti pelaku atau balas dendam. Pejabat gerejawi menggunakan
Universitas Kristen Maranatha
emotional forgiveness akan mengganti kekesalan, kemarahan dan kekecewaannya dengan empati, simpati dan kasih sayang. Mereka akan kembali menjalin
hubungan yang baik seperti sebelum mereka berkonflik. Mereka akan menghadirkan emosi positif kepada pelaku dan secara perlahan namun pasti akan
menghilangkan emosi negatif. Pejabat gerejawi yang memunculkan kedua tipe forgiveness akan menunjukkan perubahan perilaku kepada pelaku sekaligus emosi
negatif yang dirasakan akibat peristiwa yang menyakitkan sudah berubah menjadi emosi positif.
Decisional forgiveness erat kaitannya dengan aspek kognitif, karena niat yang ditunjukkan oleh pejabat gerejawi untuk memaafkan pelaku akan terlihat
dimasa depan. Secara rasional, pejabat gerejawi tidak lagi memikirkan untuk membalas dendam dan berusaha untuk menghargai pelaku. Dalam emotional
forgiveness, aspek yang sangat berkaitan adalah emosi, karena respon emosi yang ditunjukkan untuk mewujudkan forgiveness. Respon emosi tersebut muncul
karena pejabat gerejawi merasakan adanya perubahan emosi negatif, seperti kecewa, marah dan dendam, dan mengganti dengan emosi positif, seperti empati,
simpati, dan kasih sayang, yang berorientasi pada pelaku. Menurut Worthington dalam Dimensions of Forgiveness, 1998 terdapat
beberapa faktor yang memengaruhi seseorang untuk mewujudkan forgiveness, yaitu sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik
peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan personal dan faktor kepribadian. Dalam sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, pejabat
gerejawi yang mampu melakukan empati akan memahami apa yang ada dalam
Universitas Kristen Maranatha
diri orang yang pernah menyakitinya. Ia akan menganggap bahwa kesalahan tersebut mungkin juga terjadi pada dirinya karena mengetahui bahwa semua orang
mungkin berbuat salah. Semakin rendah hati dan mampu berempati maka pejabat gerejawi akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness
Selain sikap rendah hati dan kemampuan untuk melakukan empati, karakteristik peristiwa yang menyakitkan pun menjadi faktor yang dapat
memengaruhi seseorang dalam memberikan maaf. Faktor ini berkaitan dengan persepsi pejabat gerejawi terhadap peristiwa yang dihadapinya. Permintaan maaf
dari pelaku yang disertai dengan perilaku sangat menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif pejabat gerejawi yang tersakiti terhadap pelaku.
Semakin menyakitkan persepsi dari pejabat gerejawi mengenai peristiwa tersebut maka menentukan tingkat hukuman bagi pelaku, harga ganti ruginya bahkan
sampai memutuskan untuk tidak memaafkan pelaku. Pejabat gerejawi yang terus berpikir bahwa peristiwa tersebut sangat menyakitkan maka mereka akan semakin
sulit mewujudkan emotional forgiveness. Faktor kualitas hubungan antara pejabat gerejawi dan pelaku juga menjadi
berpengaruh pada tipe forgiveness. Pejabat gerejawi di gereja “X” sangat
memungkinkan untuk memaafkan pelaku yang masih memiliki hubungan yang dekat, seperti masih memiliki hubungan keluarga atau persahabatan. Pejabat
gerejawi yang memiliki hubungan yang sangat dekat dan sering berkomunikasi serta menjalin hubungan yang positif sebelum terjadi peristiwa menyakitkan akan
membantu dalam mewujudkan emotional forgiveness pada pejabat gerejawi.
Universitas Kristen Maranatha
Faktor yang terakhir yang dapat memengaruhi forgiveness adalah kepribadian. Menurut teori kepribadian The Big Five yang menguraikan dalam
sebuah akronim OCEAN menjabarkan mengenai pengaruh tiap tipe pada forgiveness. Tipe openness yaitu seseorang yang melihat pengalaman baru dan
menerima pengalaman tersebut, memiliki kaitan dengan pejabat gerejawi yang memiliki konflik dengan pejabat gerejawi lainnya dan tidak akan kesulitan
mewujudkan sampai pada emotional forgiveness. Semakin openness maka akan semakin mudah untuk mewujudkan emotional forgiveness. Pada tipe
conscientiousness, yaitu seseorang yang memperhatikan tanggung jawab, kewajiban dan detil. Setiap pejabat gerejawi yang menyadari tanggung jawab dan
tugas yang dipertanggungjawabkan tidak hanya kepada gereja tetapi juga kepada Tuhan akan mempermudah mereka mewujudkan emotional forgiveness. Tipe
extraversion, dimana seseorang yang memiliki tipe ini akan mudah berinteraksi dengan orang lain dan mengeluarkan apa yang ada pada dirinya. Pejabat gerejawi
yang memiliki tipe ini tidak akan menemukan kesulitan dalam mewujudkan emotional forgiveness. Pejabat gerejawi dengan tipe agreeableness, yaitu
seseorang yang bergaul dengan baik, tidak membiarkan situasi sulit dan tantangan, dan menekan kemarahan, akan mudah mewujudkan decisional
forgiveness. Terakhir, tipe neuroticism, pejabat gerejawi dengan tipe kepribadian ini memiliki emosi yang labil dan reaktif. Tipe ini akan kesulitan untuk
mewujudkan decisional forgiveness dan akan sangat sulit mewujudkan emotional forgiveness.
Universitas Kristen Maranatha
Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran
1.6 Asumsi