Peningkatan Kebutuhan Perumahan Versus Keterbatasan

3 empat, dan lima milyar dibutuhkan hanya 33, 14, dan 13 tahun. Satu milyar berikutnya hanya membutuhkan waktu 11 tahun. Pada tahun 2015 PBB memprediksikan penduduk dunia berkisar antara tujuh milyar perkiraan rendah sampai 10 milyar perkiraan tinggi Kompas, 1996. Di Indonesia, ledakan penduduk terjadi mulai tahun 1970an. Pada tahun 1970 penduduk kota sekitar 30 juta atau 17,1 jumlah penduduk seluruh Indonesia. Meningkat sebanyak 22,4 pada tahun 1980, dan pada tahun 1990 telah mencapai 30,9 . Pada tahun 1980, terdapat delapan kota besar di Indonesia yang penduduknya lebih dari 500 ribu jiwa, termasuk kota di luar Jawa seperti Medan dan Ujung Pandang, selain lima kota di Jawa yaitu Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Malang. Pada tahun 2004, Bandung merupakan salah satu dari 5 kota besar di Indonesia yang memiliki penduduk lebih dari satu juta jiwa selain kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan Semarang. Pada studi ini, urbanisasi dan peningkatan jumlah penduduk di perkotaan merupakan titik berangkat permasalahan tentang berkehidupan secara vertikal dengan gaya hidup perkotaan.

1.1.2. Peningkatan Kebutuhan Perumahan Versus Keterbatasan

LahanRuang Kota Fenomena urbanisasi membawa konsekuensi pada tuntutan penyediaan ruang space kawasan perkotaan bagi penyediaan dan pembangunan prasarana infrastruktur dan utilitas serta sarana fasilitas dan amenitas kota. Secara kualitatif, fenomena urbanisasi diikuti oleh meningkatnya kebutuhan sekunder dan tersier hobi dan gaya hidup baru, seperti mall sampai 4 hypermarket, arena-arena hiburan dan olah raga, seperti sirkuit balap motormobil, arena menara bungge-jumping, sea-world, berbagai restoran dan cafe franchise semacam Mc Donald dan Hardrock Cafe, dan lainnya. Itu semua membutuhkan daya dukung ruang beserta infrastrukturnya, sehingga menimbulkan persaingan untuk okupasi dan pemanfaatan ruanglahan kota. Semua itu, beriringan dengan keharusan menyediakan lahan perumahan sebagai kebutuhan primer sebuah kota berpenduduk padat. Kebutuhan rumah dapat diperhitungkan dari 5 komponen, yaitu: 1 Jumlah unit rumah yang dibutuhkan untuk menurunkan kepadatan backlog; 2 Rumah yang harus segera diganti immediate replacement; 3 Rumah yang segera harus diganti sesuai dengan perencanaan normal replacement; 4 Rumah yang dibutuhkan karena pertambahan penduduk new households; dan 5 Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sejak tahun tahun sebelumnya fulfillment of housing deficit. Di Indonesia, pertambahan penduduk periode 1989-2000 adalah 42,8 juta 175,6 juta ke 218,4 juta. Rata-rata jumlah jiwaKK adalah 4,4, maka kebutuhan rumah selama 11 tahun adalah sebanyak 9,73 juta unit atau 884.545 unit pertahun dibulatkan menjadi 900.000 unit pertahun. Kebutuhan rumah untuk menutupi kekurangan rumah sebanyak 3 juta unit pada tahun 1989 termasuk kebutuhan rumah bagi rumahtangga yang selama ini tinggal bersama rumahtangga lain, akan dipenuhi selama 10 tahun sehingga kebutuhan rumah pertahun 300.000 unit. Kebutuhan rumah untuk mengganti rumah tua yang sudah tidak memenuhi standar karena umur bangunan mencapai 20 tahun; dari jumlah rumah 34 juta dan 5 akan rusak dalam 20 tahun, maka penggantian rumah pertahun adalah 1,7 juta unit. Dari tiga perhitungan itu terlihat bahwa kebutuhan rumah pertahun sampai dengan tahun 2000 adalah sebanyak 2,9 unit. Dari kebutuhan 2,9 unittahun tersebut, kebutuhan rumah di kawasan perkotaan sekitar 900.000 unit pertahun. Pemerintah hanya sanggup mentargetkan 10 dari kebutuhan rumah di kawasan perkotaan, yaitu 90.000 unit pertahun atau 450.000 unit perlima tahunan 330.000 unit akan dibangun oleh swasta dan 120.000 unit oleh Pemerintah. Artinya, jika angka pertumbuhan penduduk diterjemahkan kedalam kebutuhan akan shelter dalam hal ini, rumah di kota, ditambah dengan kebutuhan sarana dan prasarana, maka permasalahan yang harus ditanggulangi oleh pengelola kota adalah masalah efisiensi dan perlunya intensifikasi pemanfaatan lahan untuk pengadaan perumahan yang layak di kawasan perkotaan. Di kawasan perkotaan, lahan makin langka, karena itu harganya makin mahal, padahal kebutuhan perumahan meningkat; sehingga tanah pertanian dan perkebunan setiap tahun diambilterambil untuk perumahan sebanyak 7.000 ha per tahun, hal ini sekaligus dapat menyebabkan produksi bahan pangan menurun. Makin banyak perumahan; maka makin banyak pula membutuhkan sarana dan prasarana lingkungan; maka makin banyak lagi tanah pertanian dan perkebunan diambilterambil. Permasalahan tersebut ditambah lagi dengan masalah mahalnya harga tanahlahan, yang biasanya diikuti dengan masalah sengketa tanah, penyerobotan tanah, dan menjamurnya permukiman kumuh. 6 Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah dan tantangan kota berpenduduk padat sangatlah rumit dan dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti aspek spasial; sosial, ekonomi, politik, lingkungan kota, dan kultural. Dari aspek spasial, tantangan kota berpenduduk padat adalah dalam hal kelangkaan lahan untuk perumahanpermukiman, meluasnya ukuran kota, menjauhnya tempat kerja dengan tempat bermukim, meningkatnya arus ulang-alik dari pinggiran ke pusat kota, meningkatkan kemacetan lalu lintas, tidak efisiennya penyediaan infrastruktur, meningkatnya kawasan permukiman kumuh. Dari aspek sosial, tantangan kota yang disebutkan di atas akan menjadi ajang pembelajaran secara tidak langsung pada masyarakat tentang ketidak efisienan pemanfaatan ruang kota; menjadikan ajang pembelajaran secara tidak langsung akan kehidupan urban yang semakin individualistik dan menghilangkan rasa kebersamaan dalam kehidupan urban. Selain itu keterpaksaan menjalani kegiatan ulang-alik dari tempat tinggal ke tempat kerja akan menyebabkan dan menambah tingkat stress masyarakat. Dari aspek ekonomi, masyarakat terbebani oleh biaya transportasi yang bahkan dapat mencapai 60 dari seluruh penghasilan untuk keperluan ulang-alik, sehingga tidak ada kesempatan untuk menabung dan mempersiapkan biaya untuk kesejahteraan yang lebih baik untuk pendidikan bagi dirinya atau bagi keluarga dan putra-putrinya; atau untuk investasi di bidang lainnya. Waktu yang terbuang di perjalanan dari pinggiran ke pusat kota central business district-CBD menyebabkan menurunnya keefektifan produksi, karena jam kerja menjadi tidak efektif. Selain itu, infrastruktur, prasarana dan sarana kota 7 menjadi lebih boros dan tidak efisien, karena kota menjadi tidak kompak akibat kota terlalu melebar atau meluas. Secara politik, kota dengan kepadatan penduduk yang tinggi memberi tantangan dan ujian bagi pengelola atau pemerintah kota, dalam hal komitmen politiknya dalam: 1 mewujudkan kepedulian pemerintah untuk mengatasi permukiman kumuh, sebagai tempat hunian yang selain tidak layak dari segi kesehatan, kenyamanan, dan keindahan, tetapi juga memiliki peluang sebagai tempat terjadinya kriminalitas dan gangguan keamanan lainnya; 2 memberikan keadilan, dalam hal memberi kesempatan yang sama untuk tinggal di pusat kota bagi berbagai strata sosial-ekonomi penduduk kota; 3 mewujudkan efisiensi pegelolaan kota dalam peremajaan bagian kota sehingga tercapai the highest and the best use dari lahan yang diremajakan. Dari aspek lingkungan, kota dengan kepadatan yang tinggi memberi tantangan dalam hal semakin berkurangnya ruang terbuka kota, sehingga bidang resapan air tanah dan penyerapan polusi udara juga berkurang. Kepadatan yang tinggi mengakibatkan tidak tersedianya atau tidak tersisa lagi jarak antar bangunan, sehingga sirkulasi udara dan kebutuhan akan pencahayaan alami tidak dapat terpenuhi secara optimal. Selain itu secara visual, kawasan dengan kepadatan yang tinggi secara estetika memberikan kesan yang tidak baik.

1.1.3. Respon dan Sikap Pengelola Kota dalam Menjawab Tantangan Kota