Perkawinan Satu Marga Dalam Adat Mandailing di Desa Huta Pungkut Persepektif Hukum Islam

PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT
MANDAILING DI DESA HUTA PUNGKUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S. Sy)

Oleh:

ERLIYANTI LUBIS

1110044100050

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M


i

ABSTRAK
Erliyanti Lubis. NIM 1110044100050. Pernikahan Satu Marga dalam
Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum Islam. Program
Studi Hukum Keluarga Islam, Konsenterasi Peradilan Agama, Fakultas Syari’ah
dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1435/2014 M.
.
Studi ini menjelaskan tentang perkawinan satu marga dalam perspektif
hukum Islam. Pertanyaan penting adalah apa yang mendasari perkawinan satu
marga itu dilarang di adat Mandailing. Dalam hukum adat di Mandailing desa
Huta Pungkut perkawinan satu marga itu dianggap masih satu darah atau satu
keterunan yang sama. Oleh karena itu disini penulis ingin mengetahui penyebab
tidak boleh menikah dengan satu marga di desa Huta Pungkut.
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara
mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan untuk
mendapatkan informasi yang akurat tentang objek yang menjadi penelitian
penulis, penelitian ini juga dilakukan dengan menggunakan pendekatan normatif
sosiologis. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan skunder, dan
teknik pengumpulan data dengan cara observasi dan wawancara.

Jika dilihat dari segi hukum Islam, baik didalam kitab-kitab fiqh, undangudang perkawinan dan kompilasi hukum Islam tidak ada sebuah aturan yang
mengatur tentang perkawinan satu marga. UU hanya mengatur tentang sah atau
tidaknya perkawinan dilihat dari segi agama dan catatan sipil (syarat dan rukun)
perkawinan. Sedangkan dalam adat Mandailing perkawinan itu dilarang karena
dianggap masih satu keturunan yang sama (sedarah), untuk menjaga hubungan
kekerabatan dan tutur Mandailing yang sudah ada sejak dahulu yang disebut
dengan Dalian Na Tolu.
Kata Kunci

: Pernikahan Adat dalam Perspektif Hukum Islam

Pembimbing

: Hotnida Nasution,M.Ag

Daftra Pustaka

: Tahun 1918 sampai dengan tahun 2013

KATA PENGANTAR


‫بس اه الر حمن الر حي‬
‫الحمد اه ر الع لمين و الصا و السا ع ى اشرف اا ن ي ء و المس ين و ع ى اله و صح ه اجمين‬
Berkat rahmat dan ‘inayah Allah SWT, sebagai Dzat yang maha indah dan
terpuji, dimana segala pujian dijagad raya ini dipersembahkan untuk-Nya, takkan
pernah terasa cukup untuk mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih atas
segala rahmat dan cinta yang diberikan kepada hamba-Nya.
Salam sejahtera semoga senantiasa tercurahkan kepada Baginda Nabi kita
Muhammad SAW yang menjadi panutan bagi ummat Islam, yang selalu
dinantikan syafaatnya dihari pembalasan.
Tiada untaian kata yang pantas untuk disenandungkan, selain rasa syukur
yang tiada terhingga yang menunjukkan betapa Allah telah memberikan rasa kasih
sayang-Nya kepada penulis dengan memberikan kekuatan fisik, psikis, dan ilmu
pengetahuan untuk dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pernikahan Satu
Marga dalam Adat Mandailing Di desa Huta Pungkut Perspektif Hukum
Islam”.
Penulis sangat menyadari selesainya penulisan skripsi ini tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak, baik itu berupa semangat, tukar pikiran maupun berupa
finansial, sehingga penulisan ini selesai. Adapun penulis tidak dapat melukiskan
dengan untaian kata-kata, ungkapan apa yang pantas penulis haturkan kepada

mereka. Penulis hanya bisa mengucapkan terima kasih kepada:

vi

1. Dr. H. JM. Muslimin, MA., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.

Kamarusdiana, S. Ag, MH., sebagai Ketua Program studi Ahwal alsyahsiyyah, yang telah membimbing dan memberikan pelayanannya
kepada penulis. Kepada ibu Sri Hidayati, M. Ag, sebagai Sekertaris
Jurusan terimakasih atas pelayanan dan bantuannya kepada penulis

3.

Hotnida Nasution, M. Ag yang telah membimbing penulis selama
melakukan penulisan skripsi sampai dapat diselesaikan dengan hasil yang
cukup memuaskan.

4. Dr. Abdul Halim, M.Ag dan Dr. Hj. Mesraini, M.Ag, yang telah menguji
penulis dalam ujian skripsi ini, dan telah memberikan saran, arahan dan

masukan untuk kesempurnaan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu dosen yang penulis hormati, yang telah memberikan tenaga
dan pikirannya, untuk memndidik penulis agar kelak menjadi manusia
yang berguna di dunia dan di akhirat, semoga do’a dan didikannya
menjadi berkah dan dapat menuntun penulis untuk memasuki kehidupan
yang lebih baik.
6. Pegawai Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah
memberikan bahan-bahan yang menjadikan referinsi dalam penulisan
skripsi ini.
7. Ayah dan mama yang senantiasa mendorong, membimbing, mendidik
penulis dan beramat berjasa, arif mendidik , tiada hentinya mendoakan

vii

anaknya agar menjadi manusia yang berguna. Serta kedua adik-adikku
Khusaimah Lubis, Zainul Abidin Lubis yang selalu memberikan semangat
dan doa kepada penulis.
8. Tulang (om) Soleh, Suardi,Sahril dan seluruh keluarga besar dari ayah dan
mama yang telah memberikan semangat, pinansial kepada penulis agar

biasa menyelesaikan skripsi dengan baik, terima kasih kepada Bou Maida
yang sudah membantu penulis untuk melakukan observasi, dan Uwa yang
telah memberikan ternsportasi untuk penulis.
9. Teman-teman

Jurusan

Peradilan

Agama

angkatan

2010,

Sahro

Batubara,S.Sy, Abiyati A.N, S.Sy, Ema Pratwi, S.Sy, Ratih, Aulia, Lulu,
Syoraya N, dan teman yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang selalu
menjadi guru, teman berdiskusi, Neneng, Naiya, Irfan, Yudis teman

seperjuangan dalam sidang skripsi, semoga apa yang menjadi cita-cita kita
akan tercapai. Untuk teman-teman KKN BETA angkatan 2010.
10. Bapak Kepala Desa Muara Saladi (Naja Muddin) yang telah memberikan
izin dan kemudahan kepada penulis, Kepala Desa Huta Pungkut (Koji)
yang menjadi objek penelitian dan sensus penduduk, ustadz Yayah Lubis
(tokoh ulama), Sultan Baringin Lubis (tokoh adat), terima kasih atas
bantuan dan telah memberikan waktu dan pikirannya buat penulis,
sehingga penelitian ini berjalan dengan lancar.
11. Teman-teman MA Asshiddiqiyah angkatan 2010 Kebon jeruk, Eli, Dede,
Iin, Muti, Chulay, Yuli, dan yang lain terima kasih atas doa dan samangat
dan dukungan dari kalian, teman-teman ODOJ 1315 yang selalu

viii

memberikan doa dan semangat, serta sahabat- sahabat yang tak bisa
disebutkan satu-persatu yang akan menjadi guru, teman satu ide dan satu
perjuangan.
Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini,
penulis berdoa semoga Allah SWT, senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahNya. Harapan terakhir penulis skripsi ini bermanfaat buat pengembangan ilmu
pengetahuan.

Jakarta, 20 Desember 2014

Penulis

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL .....................................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ..........................................

ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI .....................................................

iii


LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................

iv

ABSTRAK ................................................................................................

v

KATA PENGANTAR ...............................................................................

vi

DAFTAR ISI ..............................................................................................

x

BAB I

BAB II


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................

1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................

9

C. Tujuan Penelitian .................................................................

9

D. Study Review.......................................................................

10

E. Metode Penelitian ................................................................

12


F. Sistematika Penulisan ..........................................................

15

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan ..........................

17

B. Syarat dan Rukun Pernikahan .............................................

29

C. Tujuan Perkawinan ..............................................................

43

BAB III SEJARAH DAN POTRET DESA HUTA PUNGKUT
A. Kondisi Geografis dan Sosial masyarakat desa Huta Pungkut

x

48

a. Sejarah singkat kerajaan Huta Pungkut ..........................

48

b. Secara Geografis .............................................................

56

c. Sosial Desa Huta Pungkut ..............................................

59

B. Agama dan Tinggat Pendidikan Masyarakat desa Huta
Pungkut ................................................................................

60

C. Tata Cara Perkawinan yang berlaku di desa Huta Pungkut

62

a. Pengertian Adat ..............................................................

62

b. Perkawinan Adat Mandailing .........................................

64

c. Perkawinan Masyarakat Desa Huta Pungkut ..................

72

BAB IV PERKAWINAN SATU MARGA DALAM ADAT
MANDAILING DI DESA HUTA PUNGKUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM
A. Asal-usul Marga dalam Adat Mandailing ...........................

77

B. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan Ulama
dan Tokoh Adat desa Huta Pungkut ....................................

80

C. Larangan Perkawinan Satu Marga Menurut Pandangan

BAB V

Hukum Islam .......................................................................

89

D. Analisis Penulis ...................................................................

99

PENUTUP
A. Kesimpulan ..........................................................................

103

B. Saran ....................................................................................

104

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

106

LAMPIRAN-LAMPIRAN

xi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Peraturan yang melarang perkawinan dalam satu marga. Bongbong:
pagar atau penghalang yang tak boleh dilewati. Bagi masyarakat semarga,
berlaku ketentuan “Si sada anak, si sada boru”. Maksudnya, mempunyai
hak bersama atas putra dan putri. Pelanggaran terhadap hukum tersebut
akan membawa risiko yang berat, bahkan dapat mengakibatkan lahirnya
marga baru1.
Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan di atas, maka dalam hidup
persekutuan atau pergaulan semarga, telah digariskan sikap tingkah laku
yang harus dianut, yang disebut dengan ungkapan “Manat mardongan
tubu”. Maksudnya, haruslah berhati-hati serta teliti dalam kehidupan
saudara semarga2.
Fungsi marga adalah sebagai landasan pokok dalam masyarakat
Batak, mengenai seluruh jenis hubungan antara pribadi dengan pribadi,
pribadi dengan golongan, golongan dengan golongan , dan lain-lain.
Misalnya, dalam adat pergaulan sehari-hari, dalam adat parsabutuhaon,
parhulahulaon, dan parboruon (hubungan kekerabatan dalam masyarakat

1

http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, di akses pada
tanggal 13 mai 2014, pukul 13:06.
2
http://gondang.blogspot.com/2012/11/agama-adat-mandailing.html, di akses pada
tanggal 13 mai 2014, pukul 13:06.

1

2

Dalihan Na Tolu), adat hukum, milik, kesusilaan, pemerintahan, dan
sebagainya.
Perkawinan semarga (namariboto) dianggap sebagai perkawinan
sedarah, dan perkawinan itu tidak sah dan tidak diadatkan. Perkawinan
semarga adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang bermarga sama (lubis dengan lubis ataupun marga yang lain dengan
marga yang sama dengannya). Adat istiadat merupakan jati diri
masyarakat Huta Pungkut. Setiap masyarakat wajib berbuat atau bertindak
sesuasi dengan aturan adat yang didasarkan oleh dailan na tolu termasuk
dalam penyenggaraan upacara adat seperti acara kelahiran, perkawinan,
kematian dan selainnya3.
Dalam suku Mandailing (halak hita) menganut patrilineal, yaitu
mengikuti keturunan sebelum bapak atau orang tua lelakinya, oleh karena
itu hanya laki-laki saja yang menyambung marga bapaknya dan bukan
marga dari pihak ibunya, maka nama-nama marga atau clan nama-nama
suku mandailing, baik pria dan wanita suku mandailing memakai marga
berasal dari nama marga bapaknya (orang tua laki). Bagi wanita suku
Mandailing yang bermarga tetap memakai marga bapaknya (orangtua laki)
dan tidak memakai marga suaminya setelah menikah4.
Orang Mandailing sebagi penganut garis keturunan partrilineal
yang menempatkan anaknya yang laki-laki sebagai tumpuan (dalian)

3

http://hojotmarluga.wordpress.com/dalihan-na-tolu-dan-budaya-kerja/, di akses pada
tanggal 9 April 2014, pukul 22:18.
4
Nasution, H. Pandapotan, SH, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman,
Penerbit Forkala Prov. Sumatera Utara, 2005.

3

harapan untuk meneruskan keturunannya dikemudian hari. Dengan
perkataan lain secara filosofis orang mandailing memandang atau memberi
nilai budaya terhadap anaknya yang laki-laki (dalian) sebagai tumpuan
bagi kelestarian eksistensinya parallel dengan ini Dalian Na Tolu (DNT)
masyarakat Mandailing dalam bereksistensi. Orang Mandailing menganut
adat eksogami marga artinya seorang laki-laki Mandailing pantang kawin
dengan

perempuan dari “marga”5sendiri. Adapun perkawinan yang

dianjurkan dalam masyarakat batak pada umunnya ialah “manyunduti”6
tanpa terkecuali masyarakat mandailing.
Perkawinan dalam kehidupan manusia sesuatu yang dianggap
sakral. Di mana perkawinan menjadi pertalian yang legal untuk mengikat
hubungan antara dua insan yang berlaian jenis. Sebab, dengan cara inilah
diharapkan proses regenerasi manusia dimuka bumi ini akan terus
berlanjut dan berkesinambungan. Hal ini sesuai dengan tujuan perkawinan
yaitu memperoleh keturunan yang syah7. Dan tujuan lain dari perkawinan
yang

merupakan

hak

dan

kewajiban

bersama

suami-istri

ialah

terpenuhinya kebutuhan biologis atua seks.
Naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, yang selamanya
menuntut adanya jalan keluar, menuntut adanya solusi yang jitu untuk
5

Marga pada haikatnya adalah nama cikal bakal suatu kelompok kerabat dalam suku
Batak, baik Karo, Toba, Angkola dan Mandailing, yang berdasarkan garis keturuan ayah atau lakilaki nama ciakla bakal itu diwariskan secara turun menurun.
6
Melakukan perkawinan berulang searah dari satu bibit, pihak penerima boru (dara)
dianjurkan dan dikehendaki untuk tetap mengambil dara dari pemberi dara (mora). Ideal sifatnya
jika seorang pria adapat menikah dengan anak perempuan yang orang tuanya kakak atau adik
(tulang) ibu dari calon mempelai pria.
7
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan (Undangundang No.1 Tahun 1974, tentang Perkawinan), cet ke-4, (Yogyakarta: Liberti, 1999), h.12.

4

mengatasinya. Apabila jalan keluar tidak dapat memuaskannya, maka
banyaklah manusia yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos
jalan yang sesat (jahat). Maka Perwakinan merupakan jalan alami dan
biologis yang paling baik dan sesuai yntuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks in8i. Sesuai dengan firman Allah dalam surat ar-Rum yang
mempunya makna atau arti sebagi berikut:

         

          
 

“dan diantara tanda-tanda kekuasaan -Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tentram kepadanya, dan menjadikannya diantaramu rasa kasih
dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.(al-Rum:21)
Selanjutnya dalam hadist juga dijelaskan sebagi berikut:
Yang artinya: “Rosulullah SAW bersabda: “ hai para pemuda!
Siapa saja kamu yang sudah sanggup kawin, maka hendaklah dia
menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih memejamkan pandangan
(mata) dan lebih (dapat) memelihara kemaluan, dan siapa yang belum
(tidak) mampu, maka hendaklah dia berpuasa,karena puasa itu adalah
obat (pengekang) bagimya” 9(HR. Muslim)

8
9

h.1018.

Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 69.
Abi Husein Muslim Ibnu Hajjaj, Shaheh Mulsim, Jilid 2, (Kairo: Dar al-Ihya,1918),

5

Islam mendorong untuk membentuk keluarga.

Islam mengajak

manusia untuk hidup dalam naungan keluarga, karena keluarga seperti
gambaran kecil dalam kehidupan stabil yang menjadi pemenuhuan
keinginan manusia, tanpa menghilangkan kebutuhannya.
Kehidupan manusia secara individu berada dalam putaran
kehidupan dengan berbagai arah yang menyatu dengannya. Karena
sesungguhnya fitrah kebutuhan manusia mengajak untuk menuju keluarga
sehingga mencapai kerindangan dalam tabiat kehidupan. Bahwasanya
tiadalah kehidupan yang dihadapi dengan kesungguhan oleh pribadi yang
kecil. Bahkan telah membutuhkan unsur-unsur kekuatan, memperhatikan
pada tempat-tempat berkumpul, tolong-menolong dalam menanggung
beban, menghadapi kesulitan, dari segenap kebutuhan aturan keluarga10.
Disisi lain perkawinan bertujuan besar dan asasi sebagai sarana
untuk melanggengkan kelangsungan ras manusia dan membangun
peradapan dunia, sehingga terbentuklah sebuah keluarga yang sakinah
mawaddh warahmah sebagai cerminan yang terbentuknya sebuah
masyarakat yang madani.
Selain itu perkawinan merupakan salah satu kebutuhan jasmani dan
rohani yang sudah menjadi sunnatullah, bahwa dua manusia dengan jenis
kelamin yang berbeda yang saling mengenal satu sama lain dan setuju
untuk melangsungkan hidup bersama, disyari’atkannya perkawinan ialah
untuk menjaga keturunan serta mencapai hidup yang lebih terang.
10

Ali Yusuf As- Subki, Fiqh Keluarga Pedoman Berkeluarga dalam Islam, (Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2010), h. 23-24.

6

Perkawinan merupakan pertemuan teratur antara laki-laki dan
perempuan dibawah satu atap untuk membangun cita-cita bersama yang
disebut kehidupan berumah tangga demi memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tertentu baik yang bersifat biologis, social, ekonomi dan budaya bagi
keduanya secara bersama-sama, dan bagi masyarakat dimana mereka
hidup serta bagi kemanusiaan secara keseluruhan.
Selain itu pula perkawinan bertujuan besar dalam membina akhlak
manusia dari perilaku penyimpangan yang menyalahi agama. Bila seorang
sudah mampu untuk melangsungkan perkawinan, maka sangat dianjurkan
untuk nikah, apabila dikhawatirkan terjerumus kepada hal-hal yang
melanggar agama.
Sedangkan dalam hukum adat, perkawinan tidak semata-mata
berarti suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk
maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum
yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan dari pihak
suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya kekerabatan yang rukun
dan damai11.
Selain agama, negara juga memberikan perhatian yang serius
terhadap perkawinan, hal ini dapat dilihat dalam undang-undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan di dalam KHI (Kompilasi Hukum
Islam) juga menjelaskan tentang perkawinan. Besarnya perhatian agama
11

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT. Citra Aditya Bakti,
1990), h.70.

7

dan negara terhadap perkawinan di Indonesia ini adalah untuk tercapainya
keluarga yang sakinah, mawaddah karena dari keluarga inilah lahir
masyarakat yang madani dan menjadi sebuah bangsa yang besar dan
berperadaban yang baik.
Meski demikian agama dan negara telah memberikan perhatian
secara rinci dalam hal perkawinan baik itu dalam hal syarat-syarat yang
harus dipenuhi, sampai hal-hal yang dilarang dalam perkawinan. Yang
dituliskan atau tertera dalam al-Qur’an al-Hadits atau yang terdapat dalam
kitab-kitab fiqh, maupun dalam UU perkawinan dan KHI. Adapun
demikian, dalam praktek pelaksanaannya perkawinan tidak selamanya
lepas dari pengaruh kebudayaan dimana perkawinan itu dilaksanankan. Di
Mandailing Natal misalnya, walaupun daerah ini tergolong masyarakat
yang sangat religious dalam mengamalkan ajaran Islam, bahkan diberi
julukan srambi Mekkahnya Sumatra Utara12 . Akan tetapi dalam praktek
perkawinan masih berbaur dengan adat istiadat yang memang sudah ada
dan tertanam dalam jiwa masyarakatnya.
Praktek perkawinan di Mandailing Natal memang masih tegolong
unik, bila dibandingkan dengan praktek perkawinan di daerah lain di
Indonesia. Misalnya saja tradisi “mamodomi boru” (menemani calon istri),
artinya ada seorang gadis dari pihak keluarga perempuan yang menemani

12

Basyral Hamdi Harahap, Madina yang Madani, (Jakarta: PT. Metro Pos,2004), h. 277.

8

calon istri tersebut tidur dirumah calon suami sebelum dilangsungkan
perkawinan, hal tersebut dilakukan agar menghindari terjadinya fitnah13.
Adapun tradisi mengaririt boru dalam adat Mandailing, yaitu
menjajaki guna memperoleh informasi apakah seorang gadis telah
menerima pinangan atau telah dijodohkan dengan orang lain14. Di dalam
adat Mandailing dilarangnya perkawinan satu marga, bagi orang yang
melakukan atau melarang hokum adat ini maka akan dikenakan hukuman
dan perkawinannya di batalkan dengan perceraian.
Sedangkan dalam literature fiqh klasik dan konterporer dan dalam
KHI, tidak ditemukan adanya larangan bagi perkawinan seorang laki-laki
perempuan yang satu marga dengannya, disini tidak dikenal dengan
adanya perkawinan satu marga atau kawin sumbang. Karena hal ini
hanyalah praktek perkawinan yang menggunakan hukum adat istiadat.
Sehingga muncul sesuatu persoalan apakah perkawinan tersebut syah atau
tidak bila dilaksanakan.
Dari permasalahan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian
yang akan ditungkan dalam bentuk karya ilmiah, untuk itu permasalahan
ini akan diangkat sebagai kajian skripsi yang berjudul “(Pernikahan Satu
Marga dalam Adat Mandailing Di Desa Huta Pungkut Perspektif
Hukum Islam)”.

Musor Lubis Tobing dan Mr. Tanjung, “Mamodomi Boru” artikel di akses pada tanggal
25 Oktober 2013 dari http://www.panyabungan.pagetl/Adat-mandailing.htm.
14
Pandapotan Nasution, Uraian Singkat Adat Mandailing, Serta Tata Cara
Perkawinannya, (Jakarta: Widya Press, 1994), h. 56.
13

9

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Perumusan Masalah
Pertanyan utama penelitian adalah apa yang menjadi alasan dasar
dari larangan perkawinan satu marga dalam adat masyarakat di desa
Huta Pungkut. Oleh karena itu pertanyan penelitian ini adalah:
1) Bagaimana tradisi perkawinan dalam adat Mandailing di Desa Huta
Pungkut?
2) Bagaimana kawin semarga dalam perspektif hukum Islam ?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan
penelitian ini adalah:
1) Untuk mengetahui alasan apa yang mendasari larangan perkawinan
satu marga dalam masyarakat adat Mandailing di desa Huta Pungkut
2) Untuk dapat mengetahui bagaimana gambaran tradisi perkawinan
dalam adat Mandailing di desa Huta Pungkut .
3) Untuk mengetahui bagaimna perkawinan semarga dalam perspektif
hukum Islam.
Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari
hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagi berikut:
a.

Secara akademis
Diharapkan dapat memperkaya hazanah keilmuan bagi peneliti,
untuk dapat dikembangkan kemudian, apalagi dalam kajian hukum
adat. Dan diharapkan juga dapat memberikan masukan bagi

10

perkembangan penelitian-penelitian yang tema dan kajian yang
hampir sama dengan yang dilakukan oleh penulis ini.
b.

Secara praktis
Diharapkan dapat memberikan pencerahan buat masyarakat
Mandailing khususnya dan batak pada umumnya terhadap persoalan
perkawinan satu marga. Dan dapat memberikan kontribusi khazanah
bagi lembaga-lembaga yang menengani masalah perkawinan agar
lebih merujuk pada aturan-aturan yang ditetapkan agama.

D. Riview Research
Permasalahan seputar perkawinan dalam adat masyarakat akhirakhir mulai sering dijadikan

bahan perbincanagan dan perdebat yang

menarik untuk disimak. Setelah sekian lama adat sebagai penghalang
pernikahan dua insan yang saling mencintai. Namun, setelah masyarkat
terbangun dari mimpi panjangnya, bermunculan tulisan-tulisan baik yang
mendukung maupun yang menolak eksistensinya serta membicarakan dan
mengupas peran adat dengan segala deminsi yang melingkupinya.
Namun dari sekian banyak tulisan yang penulis temukan baik
berupa buku artikel, makalah, maupun skripsi, tulisan yang relevan dengan
penelitian ini adalah:
Hilman Hadikusuma, dalam bukunya Hukum Perkawinan Adat, di
dalam bukunya dia memuat tentang perkawinan adat batak, adat batak
yang dibahasnya terkesan bahwa penulis menyamakan adat perkawinan
dalam masyarakat batak secara keseluruhan, baik batak Toba maupun

11

batak Mandailing, padahal diantara kedua adat terdapat perbedaan yang
signifikan15.
Perbedaan yang mendasar antara Hilman Hadikusuma dengan
penelitian ini dalah penelitian in mencoba mendalami dalam Pernikahan
satu marga dalam adat masyarakat Mandailing dalam Perspektif Hukum
Islam.
Rahmat Hidayat yang kemudian dituangkannya dalam bentu
Skripsi yang berjudul “Perkawinan satu suku dalam masyarakat
Minangkabau menurut pandanagan Hukum Islam (Studi kasus Kecamatan
Banuhampu Sumatra Barat)”.
Dari hasil penelitian penulis menyatakan bahw afalsafah hidup
orang minang yang dikenal dengan adat basandi syara’: syara’ basandi
kitabullah, namun tidak sejalan dengan realita di lapangan, adat masih
dominan dalam menentukan pasangan hidup16.
Tulisan diatas memiliki relevansi dengan penelitian ini, karena
objek kajian kedua penelitian ini tampaknya ditemukan kesamaan, yaitu
pengertian satu suku pada masyarakat Minang dengan semarga pada
masyarakat Mandailing.
Dapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian ynag
dilakukannya adalah dari segi adatnya, adat yang berlaku pada masyarakat

15

Pernyataan di atas berdasarkan hasil analisi penulis terhadap isi buku yang ditulisnya,
dan untuk lebih jelasnya baca : Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 1990), h.105-108.
16
Rahmat Hidayat, perkawinan satu suku dalam masyarakat Minangkabau menurut
pandangan hokum Islam (Studi kasusu kecamatan Bnauhampu Sumatra Barat), skripsi,(Jakarta:
UIN Syarif Hidayatullah, 2007), h. 68.

12

Mandailing tidak sama dengan adat yang diterapkan pada masyarakat
Minang itu bias dilihat dari berbagai aspek, dengan perbedaan kedua adat
tersebut secara otomatis kaitannya dengan hokum Islam pun akan berbeda.
E. Metode penelitian
1) Jenis penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis peneltian
lapangan (fielder search), yatiu mengumpulkan data-data dengan cara
langsung turun ke lapangan untuk mendaptakan informasi yang akurat
tentang objek yang menjadi penelitian penulis, penelitian ini juga
dilakukan dengan menggunakan pendekatan metode kualitatif
deskriptif.
2) Sumber Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data berupa
data primer dan data skunder. Adapun sumber data primer dalam
penelitian ini diperoleh dari wawancara dengan tokoh masyarakat
(Kepala Desa, Tokoh Adat, Tokoh Agama) dan masyarakat desa
Tanah Godang Mandailing Natal, dan dokmen-dokumen yang berupa
undang-undang, UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, KHI,
serta dokumrn non Undang-undang, misalnya sensus penduduk, dan
lain-lain.
Di dalam penelitian hukum, digunakan pula data skunder yang
memiliki kekuatan mengikat ke dalam, berupa buku-buku, makalah

13

seminar, jurnal-jurnal laporan penelitian, artikel, majalah dan koran17,
yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
3) Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengupukan data untuk memahami realitas yang
ada serta untuk

lebih memfokuskan penelitian ini, penulis

menggunakan beberapa metode yang dapat memberikan informasi dan
data-data yang maksimal:
a)

Wawancara: yaitu dalam penelitian ini penulis menggunakan
wawancara tertutup dan terbuka terhadap tokoh adat, tokoh agama
dan sebagaian anggota masyarakat serta pemerintah pihak
pemerintahan.

b) Observasi: dalam pengumpulan data ini peneliti menggunakan
observasi partisipasi (participant observation) yaitu metode
pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data
penelitian melaui pengamatan dan pengindraan dimana observer
atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.
c)

Dokumen:

Dalam

penelitian

ini

penulis menggumpulkan

sejumlah besar informasi atau data tersimpan dalam bahan yang
berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data dapat berbentuk
surat-surat, catatan harian, data tersimpan di website, dan lain-lain
dan sebgainya.

17

Peter Muhammad Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Prenada Media Group,
2008), h.155.

14

4) Metode Analisi Data
Dalam menganalisi data yang telah terhimpun, penulis
menggunakan beberapa metode yaitu:
a)

Metode induktif, yaitu pengambilan data yang dimuali dari
kesimpulam atau fakta-fakta khusus menuju kepada kesimpulan
yang bersifat umum18. Dimana menganalisa data yang bersifat
khusus kemudian ditarik kesimpulan secara umum,oleh karena itu
dalam penelitian sebagaian isi dari skripsi ini, penulis perdasarkan
literature tentang konsep ekfektivitas hokum Islam terhadap
perkawinan satu marga di Mandailing, kemudian dari temuan
tersebut dilakukan analisa atau kesimpulam secara umum.

b) Metode deduktif, yaitu metode yang dipakai dengan menarik
fakta atau kesimpulan yang bersifat umum, untuk dijadikan fakta
atau kesimpulan umum yang bersifat khusus19.
c)

Metode

komparatif,

yaitu

metode

perbandingan,

bahwa

penyidikan deskriptif yang berusaha mencari dan memecahkan
melalui analisa tentang perhubungan-perhubungan sebab akibat
yakni yang meneliti fakta tertentu yang berhubungan dengan
situasi atau fenomena yang diselidiki dan membandingkan
dengan yang lain, adapun penyelidikan ini persifat komparatif20.

18

Nana Sudjana, Tuntunan Penyusunan Karya Ilmiah, (Bandung: Sinar baru
aldesindo,2003), cet 7, h. 7.
19
Sutrisno Hadi, Metodelogi Resreach, (Jakarta: PT. Moyo Segoro Agung, 2007), h. 26.
20
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode dan Teknik,
(Bandung: Tarsito,1994), Edisi VII, h.143.

15

d) Analisis Reflektif, yaitu kombinasi yang kuat antara berfikir
dedukatif dan indukatif atau dengan mendialogkan data teoritik
dan data empiric secara bolak balik kritis21.

Dalam metode

analisis ini akan memecahkan masalah dengan pengumpulan datadata dan inforamsi untuk dibandingkan kekurangan dan kelebihan
dari setiap literature atau alternative tersebut. Sehingga pada
penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.
F. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam skripsi ini bisa berurutan, maka akan
penulis sistematisir sedemikian rupa,hingga menjadi beberapa bagian yang
mempunyai kaitan dan saling melengkapi serta membentuk satu kesatuan
yang utuh da nada garis besarnya. Pembahasan skripsi ini diklasifikasikan
menjadi 5 bab, yaitu:
Pada Bab Pertama Pendahuluan memuat: Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Metodologi
Penelitian, Study Review, dan terakhir adalah Sistematika Penulisan.
Bab Kedua Hukum Perkawinan Di Indonesia . Bab ini penulis akan
membahas secara umum tentang: Pengertian Perkawinan, Hukum
Perkawinan, Syarat dan Rukun Perkawinan, Larangan Perkawinan, Tujuan
Perkawinan, dan Hikamh Perkawinan.
Bab Ketiga Potret Masyarakat Desa Huta Pungkut. Membahas
tentang: Kondisi geografis dan sosial di desa Huta Pungkut , agama dan

21

Hadeli , Metode Penelitian, (Padang: Baitul Hikmah, 2001), h. 19.

16

tingkat Pendidikan masyarakat, serta tata cara perkawinan yang berlaku di
adat Mandailing pada desa Huta Pungkut.
Bab Keempat asal usul marga dalam masyarakat Mandailing yang
dilihat dari Nasab dalam fiqh yang mendasari larangan perkawinan satu
marga di adat Mandailing: Pandangan Masyarakat, Ulama dan Tokoh
Adat: pandangan Hukum Islam, serta analisis penulis tentang keduanya.
Bab Kelima Penutup. Memuat tentang kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Pengertian dan Dasar Hukum Perkawinan
a.

Pengertian Perkawinan
Perkawinan atau Pernikahan dalam literature Fiqh bahasa Arab
disebut dengan dua kata, yaitu nikah (‫كا ح‬Ğ) dan zawaj (‫اج‬Ĥæ).1
Prof.muhammad Amin Suma dalam bukunya, sebagaimana beliau
mengutip dari pendapat Abdur Rahman al-Jaziri menjelaskan , bahwa
kata “kawin” paling tidak didekati dari tiga aspek pengertian, yakni
makna lughawi (etimologis), makna ushuli (syari‟i) dan makna fiqh
(hukum). Namun dari pembahasan ini hanya ingin mencabarkan
pengertian “kawin” dengan menggunakan paling tidak dua dari tiga
pendekatan tersebut diatas, yakni dari sudut pandan lughawi dan
makna fiqh (hukum).2 Adapun pendekatan dengan makna ushuli yang
menitikberatkan pembahasannya pada filsafat hukum Islam tidak
menjadi pembahsan dalam tulisan ini, demi untuk mempersingkat
penulisan.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia,3 perkawinan berasal dari
kata “kawin” yang menurut bahasa artinya membentuk keluarga
dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.

1

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h. 35.
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004), h. 41.
3
Dep Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 456.

17

18

Sedangkan dalam kamus istilah fiqh dijelaskan bahwa nikah adalah
suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara laki-laki dan
perempuan yang bukan mahram.4
Secara terminologi, nikah didefinisikan sebagai ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan perempuan sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal.5 Pengertian lain dari nikah sendiri adalah suatu perjanjian atau
aqad (ijab dan qabul) antara seorang laki-laki dan perempuan untuk
menghalalkan hubungan badaniah sebagaimana suami istri yang sah
mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh
syariat Islam.
Secara bahasa nikah itu “bergabung” (ę‫)ض‬, “hubungan
kelamin” (‫ء‬øĤ) dan juga “akad” (‫)عقد‬. Adanya dua kemungkinnan arti
ini karena kata nikah yang terdapat dalam al-Qur‟an memang
mengandung arti tersebut.6 Kata nikah yang bermakna hubungan
kelamin terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat230:

             

            
    

4

M. Abdul Mujieb, dan Mabruri Tholhah, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka
Firdaus, 1994), h.249.
5
Asruron Ni‟am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:
Graha Pramuda, Juni 2008), cet. ke-1, h.3.
6
Mualifah Sahlany, Perkawinan dan Problematikanya, (Yogyakarta: Sumbangsi Offset,
1991), cet. ke-1, hal. 1.

19

Artinya: “kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak
yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga
Dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu
menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami
pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat
akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum
Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetaui”7
Dari ayat tersebut mengandung arti “hubungan kelamin” dan
bukan hanya sekedar akad nikah karena ada petunjuk dari hadits Nabi
bahwa setelah akad nikah dengan laki-laki kedua perempuan itu
belum boleh dinikahi oleh mantan suaminya kecuali suami yang
kedua telah merasa nikmatnya hubungan kelamin dengan perempuan
tersebut.
Adapun dalam al-Qur‟an terdapat kata nikah dengan arti
akad, seperti firman Allah dalam suratan-Nisa‟ ayat 22:

            

    

Artinya: “dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah
dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.
Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan
seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)”8
Ayat di atas seolah ingin menegaskan bahwa hakikat dari
perkawinan itu adalah akadnya. Asalkan saja seorang ayah sudah
melangsungkan

akad

pernikahan

dengan

seorang perempuan,

sekalipun belum pernah disetubuhi, maka tidak ada kebolehan bagi
anak-anaknya untuk menikahi perempuan tersebut.

7
8

Al-Quran Al-karim, Surat al-Baqarah ayat 230.
Al-Quran Al-karim, Surat an-Nisa‟ ayat 22.

20

Meskipun dalam arti terminologis terdapat beberapa definisi
yang berbeda, tetapi saling melengkapi satu sama lainya. Perbedaan
ini disebabkan oleh perbedaan dalam sudut pandang dikalangan para
ulama. Salah satu diantaranya adalah:

‫اة‬åě‫تاع ال‬ě‫ است‬ĕ‫ح‬Ĥ ‫اة‬åě‫ با ل‬ĕ‫ ج‬å‫تاع ال‬ě‫يد ملك است‬ċ‫ الشارع لي‬ġ‫ ضع‬Ĥ ‫عقد‬
ĕ‫ج‬å‫بال‬
Artinya: “Akad yang ditetapkan syara’ untuk membolehkan
bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
9
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”
Di kalangan para ulama Syafi‟iyah definisi yang dipakai
adalah:

‫يج‬ç‫ الت‬Ĥ‫كاح ا‬Ğ ‫ظ اا‬ċ‫ء بل‬ø‫ ا باحة الو‬ĝě÷‫عقد يت‬
Artinya: “Akad atau perjanjian yang mengandung maksud
membolehkan hubungan kelamin dengan mengunakan lafaz na-ka-ha
atau za-wa-ja”10
Definisi perkawinan dari golongan Syafi‟iyah sebagaimana
yang disebutkan di hadits di atas melihat kepada hakikat dari akad itu
bila hubungan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya
yaitu bolehnya bergaul, sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung
di antara keduanya tidak ada kebolehan.
Hampir berdekatan dengan ini dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah, yaitu:

‫تعة قصدا‬ě‫يد ملك ا ل‬ċ‫عقد ي‬
9

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), h. 8.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 37.
10

21

Artinya: “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada
seorang laki-laki menikmati kesenangan dengan seorang perempuan
secara sengaja”11
Dalam definisi lain dari perkawinan Muhammad Abu Ishrah,
yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat:

Č‫ حقو‬ĝ‫ا م‬ě‫يحد ما لكيه‬Ĥ ‫ا‬ě‫ه‬ĞĤ‫تعا‬Ĥ ‫اة‬åě‫ال‬Ĥ ĕ‫ج‬å‫ ال‬ĝ‫ة بي‬å‫ العش‬ĕ‫يد ح‬ċ‫عقد ي‬
Ì‫ا‬É‫اج‬Ĥ ĝ‫ م‬ġ‫ما علي‬Ĥ
Artinya: “Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara laki-laki dan
perempuan dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas hak
bagi pemiliknya serta memenuhi kewajiban bagi masing-masing”
Dari defenisi ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum,
yaitu adanya saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan
mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong.
Definisi lainya yang dijelaskan oleh Muhammad Abu Zahrah
dalam bukunya al-Akhwal al-Syakhsiyyah, sebagai berikut:

‫ع‬Ĥå‫ش‬ě‫ ال‬ġ‫ على الوج‬å‫ بااخ‬ĝ‫ العاقدي‬ĝ‫ م‬ĕ‫تا ع ك‬ě‫ است‬ĕ‫يد ح‬ċ‫عقد ي‬

Artinya: “Akad yang berfungsi untuk membolehkan bersenangsenang (berhubungan badan) antara dua orang yang berakad dengan
cara yang disyariatkan”12
Maksud dari makna dua orang yang berakad disini adalah
antara calon suami dengan calon istrinya.
Dari Defenisi-defenisi yang di ungkapkan para ulama
terdahulu sebagaimana yang terlihat dalam kitab-kitab fiqh klasik
yang tertulis

di atas begitu pendek dan sederhana hanya

mengemukakan hakikat utama dari suatu perkawinan, yaitu kebolehan
11

Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, jilid 9, (Damaskus: Dar al-Fikr,
2007), hal. 6514.
12
Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah,(Qaharih: Dar al-Fikr, 2005), h. 19.

22

melakukan hubungan kelamin setelah terjadi akad perkawinan itu.13
Oleh karena itu ulama kontemporer mencoba memperluas jangkauan
defenisi ataupun pengertian perkawinan, misalnya defenisi yang
diberikan oleh Dr. Ahmad Ghundur dalam bukunya al-Ahwal alSyakhsiyah fi al-Tasyri’ al-Islamiy,14 yang berbunyi: “Akad yang
membolehkan bergaul antara lai-laki dengan perempuan dalam
tuntutan naluri kemanusian dalam kehidupan, dan menjadikan untuk
kedua belah pihak secara timbal balik hak dan kewajiban”.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan
bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah: “Pernikahan yaitu
akad yang kuat atau mitsaqan galizan untuk mentaati perintah Allah
dan melaksankannya merupakan ibadah”. Sedangkan dalam Bab
Ketentuan Umum pada pasal 1 huruf c disebutkan bahwa akad ialah
rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan
oleh mempelai pria atau wakilnya serta di saksikan oleh dua orang
saksi.
Sedangkan di dalam UU No. 1 Tahun 1974 seperti yang
berbunyi dalam pasal 1 ayat 2 perkawinan didefenisikan sebagai:15
“Ikatan lahir dan batim seorang pria dengan seorang wanita sebagai

13

Ibid.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 39.
15
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia,
(Jakarat: Prenada Media, 2004), h. 42.
14

23

suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah tangga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”16.
Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah
karena Negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila
pertama,

sampai

disini

tegas

dinyatakan

bahwa

perkawinan

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian.
Disini juga tidak hanya dari segi hukum formal, tapi juga dilihat dari
sifat social sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga.17
Dari semua perumusan defenisi perkawinan diatas, ada
beberapa hal yang harus diperhatikan:
1.

Digunakannya kata “seorang pria dengan seorang wanita”,
disini dijelaskan bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis
kelamin yang berbeda.

2.

Ungkapan “sebagai suami istri” maksudnya adalah bertemunya
dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga, bukan
hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3.

Disini juga mempunyai defenisi yang bertujuan perkawinan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang
menafikan perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam
perkawinan mut’ah dan tahlil.

16

Kamarusdiana dan Jaenal Arifin, Perbandingan Hukum Perdata, (Ciputat: UIN Jakarat
Press,2007), h. 4.
17
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia,
(Jakarat: Prenada Media, 2004), h. 42.

24

4.

Penyebutan

“berdasarkan

Ketuhanan

Yang

Maha

Esa”

menunjukkan bahwa bagi Islam perkawinan adalah peristiwa
agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.18
Jadi dari semua penjelasan diatas bisa disimpulkan bahwa
perkawinan itu adalah “suatu akad yang membolehkan hubungan
suami istri untuk membangun keluarga yang sakinah,mawaddah,
kekal dan diridhoi Allah SWT”
b.

Dasar Hukum Perkawinan
Melihat dari hakikat perkawinan itu merupakan akad yang
membolehkan laki-laki dengan perempuan melakukan sesuatu yang
sebelumnya tidak dibolehkan, maka dapat dikatakan bahwa hukum
asal dari perkawinan adalah boleh atau mubah. Namun melihat kepada
sifatnya sebagai sunnah Allah dan sunnah Rasul, tentu tidak sematamata dikatakan bahwa hukum asal dari perkawinan itu mubah.19
Perkawinan merupakan suatu hal yang diperintahkan dan
dianjurkan oleh syara‟ yang sekaligus merupakan sunnah Rasulullah
saw, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh al-Imam alBukhari dan Muslim, dari anas20, yang berbunyi:

‫د اه‬ě‫ ح‬ę‫سل‬Ĥ ġ‫ص ىلى اه علي‬Éğ‫ ال‬Ĝ‫ ا‬ġğ‫ ما لك رضى اه ع‬ĝ‫س ب‬Ğ‫ ا‬ĝ‫ ع‬Ĥ
ĝě‫ ف‬, ‫ساء‬ğ‫ج ال‬Ĥç‫ات‬Ĥ å‫افط‬Ĥ Ę‫ اىو‬Ę‫ا‬Ğ‫ا‬Ĥ ,‫ا اىلى‬Ğ‫ص ا‬ğ‫ لك‬:Ĕ‫قا‬Ĥ ġ‫ى علي‬ğ‫اث‬Ĥ
.‫ص‬ğ‫تص فليس م‬ğ‫ س‬ĝ‫رغب ع‬

18

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 40.
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh dan Undangundang Perkawinan, h. 43.
20
Hafidz bin Hajar al- „Asqalani, Buluq al-Maram,(ttp. : Syirkah al-Nur Asiya, t.t.), h.
200-201.

25

Hadist diatas seirama dengan firman Allah dalam surat ArRum ayat 2121 :

            
          

Artinya: “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
Dari hadist dan ayat di atas, perintah dan anjuran untuk
menikah tertulis dengan sangat jelas, bahkan dalam hadist tersebut
tertulis bahwa siapa yang membenci sunnahku maka ia bukanlah
umatku. Dengan demikian, hukum asaldari perkawinan adalah mubah
tetapi melaksanakannya adalah sunnah22 dan agama Islam sangat
menganjurkannya, karena perkawinan itu mempunyai banyak manfaat
dan menolak madharat bagi yang melaksanakannya. Bahkan Islam
juga menganjurkan agar umatnya saling membantu dalam mencari
jodoh sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nur ayat 32:

        

          

21

Al-Quran al-Karim, Surat Ar-Rum (30), ayat: 21.
Sunnah dalam hal ini berarti ucapan, perbuatan, serta ketetapan-ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Dengan demikian, Sunnah dilihat dari tiga sisi dan esensinya yaitu sunnah
Qauliayah, sunnah Fi’iliyah, dan sunnah Taqririyah, (Lihat: Muhammad Abu Zahrah, Usul Fiqih,
Penerjemah: Saefullah Ma‟shum,(Jakarta: Pustaka Firdaus, 199), cet. ke-4, h. 149.
22

26

Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba
sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurniaNya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui”.23
Golongan ulama yang berbeda pendapat dengan jumhur
ulama itu adalah golongan Zhahiriyah yang mengatkan hukum
perkawinan bagi orang yang mampu melakukan hubungan kelamin
dan biaya perkawinan adalah wajib atau fardu. Dasar dari pendapat
golongan Zhahiriyah ini adalah perintah Allah dan Rasul mengandung
kaidah setiap sighat “amar” itu menunjukkan wajib secara mutlak,
yakni satu kali menikah untuk seumur hidup walaupun yang
bersangkutan impoten.
Ulama Syafi‟iyah secara rinci menyatakan hukum perkawinan
itu dengan melihat keadaan orang-orang tertentu, yaitu sebagai
berikut:
a. Sunnah bagi orang-orang yang berkeinginan untuk nikah, telah
pantas nikah dan dia telah mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan.
b. Makruh bagi orang yang belum pantas nikah, belum punya
keinginan untuk nikah, perbekalan untuk pernkawinan juga belum
ada. Begitu pula bagi dia yang mempunyai perlengkapan untuk
perkawinan, namun fisiknya cacat, seperti impoten, berpenyakitan
tetap, tua bangka dan kekurangan fisik lain-lainnya.
23

Al-Quran al-Karim, Surat an-Nur ayat 32.

27

Sedangkan

ulama

Hanafiyah

menambahkan

hukum

perkawinan secara khusus bagi keadaan dan orang tertentu sebagai
berikut:
a. Wajib

bagi

orang-orang

yang

sudah

pantas

untuk

nikah,berkeinginan untuk nikah dan memiliki perlengkapan untuk
nikah, ia takut terjerumus berbuat zina kalau ia tidak nikah.
b. Makruh bagi orang yang dasarnya mampu melakukan perkawinan
namun ia merasa akan berbuat curang dalam perkawinannya itu.
Ulama lain menambahkan hukum perkawinan selain pendapat
Syafi‟iyyah dan Hanafiyah sebagaimana berikut ini:
a. Haram bagi orang-orang yang tidak akan dapat memenuhi
ketentuan syara’ untuk melakukkan perkawinan atau ia yakin
perkawinan itu tidak akan mencapai tujuan syara’ dan ak