ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSIKAL GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWINAN MANDAILING DI KOTA MEDAN S KRIPS I S ARJANA DIKERJAKAN OL MAHYAR S OPYAN PANE NIM: 080707002 UNIVERS ITAS S UMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEMEN ETNOMUS IKOLOGI MED AN 2013

ANALISIS FUNGSI DAN STRUKTUR MUSI KAL GORDANG SAMBILAN DALAM UPACARA ADAT PERKAWI NAN MANDAILING DI KOTA MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN OL MAHYAR S OPYAN PANE NIM: 080707002

Pembimbing I,

Pembimbing II,

Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D.

Drs. Fadlin, M .A.

NIP 196512211991031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU M edan, untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI M EDAN 2013

PENGES AHAN

DITERIM A OLEH: Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya< Universitas Sumatera Utara, M edan

Pada Tanggal : Hari

Fakultas Ilmu Budaya USU, Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M .A. NIP

Panitia Ujian:

Tanda Tangan

1. Drs, M uhammad Takari, M .A., Ph.D

2. Dra. Heristina Dewi, M .Pd. 3.Drs. Bebas Sembiring, M .Si. 4.Drs. Setia Dermawan Purba, M .Si. 5.Drs. Kumalo Tarigan, M .Si.

DISETUJUI OLEH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUM ATERA UTARA DEPARTEM EN ETNOMUSIKOLOGI KETUA,

Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.

NIP 196512211991031001

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas rahmad dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul Analisis Fungsional dan struktur Musikal Gordang Sambilan dalam Upacara Adat Perkawinan pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan .

Tugas Akhir ini dikerjakan demi memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana Seni dari jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini bukanlah tujuan akhir dari belajar karena belajar adalah sesuatu yang t idak terbatas.

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua saya. Ayahanda Saimurtama Pane dan Amidar yang telah memberikan kasih saying dan kepercayaan kepada saya dengan tulus hati serta tiada hentinya memberikan perhatian dan dorongan demi selesainya studi anaknya.. juga kepada semua saudara saya, adinda Agusyahputra Pane, adinda Tin Aprizal Ananda Pane, adinda Siti Rahma Pane, adinda Nuraida, dan saudara-saudara lainnya yang telah memberikan bantuan moril dan materil dalam menyelesaikan studi saya ini.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. M uhammad Takari, M .Hum., Ph.D. selaku ketua Jurusan Etnomusikologi sekaligus yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Bapak Drs. Fadlin M .A yang membimbing penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Segenap para dosen di Jurusan Etnomusikologi yang turut membantu proses penyelesaian tugas akhir ini.

4. Seluruh informan termasuk Bapak Ridwan Amanah Nst sebagai narasumber penulis yang telah banyak membantu untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan tugas akhir ini.

5. Seluruh stambuk 2008 jurusan Etnomusikologi yang membantu saya dengan dukungan motivasi sehingga saya bisa menyelesaikan tugas akhir ini.

6. Semua pihak yang telah membantu saya dan tidak dapat saya sebutkan satu- persatu. Penulis menyadari skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna, oleh sebab itu penulis mengaharapkan sekali masukan-masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun dan membaca, sehingga mengarah kepada kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu etnomusikologi.

M edan,

2013

M ahyar Sopyan Pane

NIM : 080707002

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kebudayaan adalah segala sesuatu yang dapat dipikirkan, dikerjakan, dan diterapkan oleh manusia. Budaya suatu suku bangsa merupakan suatu penampakan identitas diri dari suku bangsa tersebut. Suatu suku bangsa dapat dikenal oleh dunia apabila suatu suku bangsa tersebut sanggup memperkenalkan identitas dirinya kewat budayanya yang khas (Parlaungan 1997:4).Salah satu dari sekian banyaknya kebudayaan yang ada di Indonesia adalah kebudayaan masyarakat M andailing yang terletak di Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Etnik M andailing adalah orang yang berasal dari M andailing secara turun menurun dimanapun ia bertempat tinggal. M andailing terdapat di Sumatera Utara yang terletak di Kabupaten M andailing Natal.

M andailing dibagi dua walaupun adatnya sama, yaitu M andailing Godang dan M andailing Julu. M andailing Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sehepeng sebelah utara Panyabungan sampai M aga disebelah selatan serta didaerah Batang Natal sampai M uarasoma dan M uara Parlampungan disebelah barat. Sedangkan daerah M andailing Julu didominasikan oleh marga Lubis yang wilayahnya dari Laru dan Tambangan disebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang di sebelah Selatan.

Etnik M andailing memiliki alat musik kesenian yang menjadi ciri khas kebudayaan M andailing yang bernama Gordang Sambilan. Gordang sambilan adalah seperangkat alat musik sakral yang terdiri dari Sembilan buah gendang yang berukuran besar. Adapun penamaan dari Sembilan gordang tersebut mulai dari yang terbesar sampai terkecil selalu berbeda-beda pada suatu daerah tetapi bentuknya sama, seperti di daerah pakantan, huta pungkut dan tamiang

Untuk memperjelas perbedaan nama-nama Gordang Sambilan (dari yang besar sampai yang kecil) dapat dilihat table berikut:

Tabel 1. Perbedaan Nama M aisng-masing Gordang dalam Ensambel Gordang Sambilan di Wilayah Budaya M andailing

Tamiang gordang Gordang 1

Penamaan

Pakantan

Huta Pungkut

Jangat siangkaan Gordang 2

Jangat

Jangat siangkaan

Jangat silitonga Gordang 3

Jangat

Jangat silitonga

Jangat sianggian Gordang 4

Hudong-Kudong

Jangat sianggian

Pangoloi Gordang 5

Hudong-Kudong

Pangoloi

Pangoloi Gordang 6

Padua

Pangoloi

Paniga Gordang 7

Padua

Paniga

Paniga Gordang 8

Patolu

Paniga

Hudong-Kudong Gordang 9

Patolu

Hudong-Kudong

Enek-Enek

Hudong-Kudong

Eneng-Eneng

Permainan gordang sambilan pada upacara adat masyarakat M andailing tidak terlepas dari pemain ensambel musik yang dimainkan secara bersamaan sesuai pola yang berlaku bagi masyarakat M andailing. Adapun jumlah pemain gordang sambilan yaitu terdiri dari 11 (sebelas) para pemusik meliputi, (1) satu orang pemain sarune, (2) lima orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan dua buah jangat atau disebut panjangati, (b) satu orang memainkan hudong-kudong, (c) satu orang memainkan dua buah paduai, (d) satu orang memainkan dua buah patolu dan, (e) seorang memainkan enek-enek, (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan atau gong panolongi dan panduai dan, (5) satu orang memainkan pamulosi, (6) satu orang memainkan gong doal dan, (7) satu orang memainkan tali sasayak . Formasi ini terdapat di daerah Pakantan.

Sedangkan diwilayah Huta Pungkut dan Tamiang jumlah pemain pemusiknya adalah 9 (sembilan) yang terdiri dari (1) satu orang pemain sarune, (2) empat orang memainkan gordang sambilan dengan pembagian, (a) satu orang memainkan tiga buah jangat yaitu jangat siangkaan, jangat silitonga, jangat sianggian , (b) satu orang memainkan duah buah pangoloi, (c) satu orang memainkan duah buah paniga, (d) satu orang memainkan duah buah hudong- kudong , (3) satu orang memainkan ogung boru dan ogung jantan, (4) satu orang memainkan mongmongan, (5) satu orang memainkan talempong, dan (6) satu orang memainkan tawak-tawak. (Rithaony Hutajulu dan Irwansyah Harahap 2004:31-32). Namun dalam pembahasan ini, penulis lebih mengarah kepada daerah Pakantan.

M asyarakat M andailing menerapkan adat-istiadatnya dengan disebut “markoum marsisolkot” artinya terdiri dari kelompok yang berlainan marga rangkul-merangkul atau harus bersatu padu seia sekata menjadi satu. Dikemudian M asyarakat M andailing menerapkan adat-istiadatnya dengan disebut “markoum marsisolkot” artinya terdiri dari kelompok yang berlainan marga rangkul-merangkul atau harus bersatu padu seia sekata menjadi satu. Dikemudian

Ketiga kelompok yang berlainan marga itu yaitu suhut dan kahangginya, mora dan anak boru. Yang dimaksud Suhut dan Kahangginya adalah kita sendiri dengan saudara-saudara kita baik yang terdiri dari satu ibu dan satu bapak atau tidak tetapi haruslah dari kelompok yang satu marga. Mora adalah dari kelompok tempat pengambilan anak gadis dalam perkawinan atau orang tua dan saudara- saudara dari pihak istri kita. Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis kita dalam perkawinan atau pihak orang-orang tua dan saudara-saudara dari suami anak-anak gadis kita (kelompok dari menantu).

Bentuk-bentuk acara gordang sambilan menurut sifat penggunaan terdiri dari upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru sedangkan upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara kematian. Namun pada praktek penyelenggaraannya gordang sambilan di Kota M edan lebih digunakan pada sifat upacara siriaon (suka cita) hal ini disebabkan karena bentuk upacara siriaon (sukacita) merupakan bentuk upacara yang paling lazim diselenggarakan, penggunaan pada upacara siluluton (dukacita) tidak lagi dilakukan karena bentuk penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. pada upacara siriaon (suka cita) yang masih dilakukan sampai saat ini di Kota M edan adalah upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru. Dari bentuk upacara ini hanya upacara perkawinan saja Bentuk-bentuk acara gordang sambilan menurut sifat penggunaan terdiri dari upacara siriaon (suka cita) yaitu upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru sedangkan upacara siluluton (duka cita) yaitu upacara kematian. Namun pada praktek penyelenggaraannya gordang sambilan di Kota M edan lebih digunakan pada sifat upacara siriaon (suka cita) hal ini disebabkan karena bentuk upacara siriaon (sukacita) merupakan bentuk upacara yang paling lazim diselenggarakan, penggunaan pada upacara siluluton (dukacita) tidak lagi dilakukan karena bentuk penyelenggaraan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. pada upacara siriaon (suka cita) yang masih dilakukan sampai saat ini di Kota M edan adalah upacara perkawinan, penyambutan tamu, dan memasuki rumah baru. Dari bentuk upacara ini hanya upacara perkawinan saja

Dalam upacara perkawinan, Gordang Sambilan dimainkan disaat penyambut pengantin, tamu dan selesai pemberian gelar adat kepada pengantin laki-laki itupun setelah diberi izin melalui markobar (musyawarah) kemudian dipukulnya gondang dua (gondang boru) yang sebagai tanda bahwa upacara sudah resmi dibuka dan gordang sambilan sudah di pindahkan dari bagas/sopo gondang (rumah gondang), barulah Gordang Sambilan bisa dimainkan setelah disantani (tepung tawari) dan untuk meninggung (pemukul pertama gordang) adalah raja panusunan (Raja yang tertinggi di huta) kemudian diserahkan kepada pemain gordang untuk memainkannya. Dan pada saat di hari puncaknya pesta atau hari akhirnya pesta pernikahan selesai dimana acara margondang pun dihentikan, maka disimpan kembali dengan terlebih dahulu disoda sebaimana dengan menyantan gondang. Biasanya pada saat dimainkan Gordang Sambilan diikuti dengan tari sarama (tarian yang menghormati roh nenek moyang) dengan kesurupan.

Pada upacara perkawinan masyarakat M andailing, gordang sambilan identik dengan kemapanan seseorang melaksanakan upacara perkawinan tersebut. Keluarga yang mengadakan upacara adat menggunakan gordang sambilan termasuk keluarga yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam mengadakan Gordang Sambilan menggunakan anggaran yang besar mulai dari mengadakan peralatan adat (paragek atau pago-pago) dihalaman seperti bendera adat, payung adat yang diberi rumbai, pedang, langit-langit, rompayan dan Pada upacara perkawinan masyarakat M andailing, gordang sambilan identik dengan kemapanan seseorang melaksanakan upacara perkawinan tersebut. Keluarga yang mengadakan upacara adat menggunakan gordang sambilan termasuk keluarga yang bisa dikatakan orang yang mempunyai harta yang lebih karena dalam mengadakan Gordang Sambilan menggunakan anggaran yang besar mulai dari mengadakan peralatan adat (paragek atau pago-pago) dihalaman seperti bendera adat, payung adat yang diberi rumbai, pedang, langit-langit, rompayan dan

Pada upacara horja godang (pesta besar atau biasanya disebut pesta perkawinan), seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur di sembelih sebagai syarat untuk mengadakan Gordang Sambilan, meskipun untuk mangampeon gondang (menempatkan gordang pada rumah gendang yang disebut bagas gordang ) dalam upacara perkawinan tersebut itupun harus meminta izin kepada raja pasunan bulung. M eminta izin tersebut dengan menyurdu burangir kepada raja. Pasunan bulung adalah seorang ahli dan penguasa dalam adat istiadat M andailing. Keizinan dapat diperoleh dari hasil musyawarah adat yang di sebut markobar (wawancara Ibrahim Lubis)

Gordang Sambilan adalah alat musik yang bersifat sebagai pembawa rit me yang berulang-ulang. Dalam segi musikal, Gordang Sambilan mempunya pola rit me yang dimana penentu patokannya terhadap ritme gordang sambilan adalah Patolu yang dipukul dua kali dalam set iap empat ketuk dengan pukulan yang konstan, sedangkan enek-enek (paling kecil), padua (setelah patolu), hodong- kudong sebagai pengisi ritme dan jangat (paling besar) berfungsi sebagai variasinya dari empat gordang tersebut.

Adapun fungsi gordang sambilan pada adat horja siriaon (perkawinan) yang dikemukakan oleh Bapak Ridwan Amanah Nst adalah sebagai bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau toko adat M andailing, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada Adapun fungsi gordang sambilan pada adat horja siriaon (perkawinan) yang dikemukakan oleh Bapak Ridwan Amanah Nst adalah sebagai bentuk pengumuman kepada masyarakat mengenai proses perkawinan yang dilaksanakan selain itu juga berfungsi sebagai media pertemuan antar pemuka atau toko adat M andailing, sebagai simbol pengesahan bahwa telah dilakukannya pengangkatan gelar ataupun pembuatan hukum adat, dan sebagai tanda sekaligus pemberitahuan kepada

Berdasarkan penelitian ini penulis mengamati tentang Upacara Perkawinan Adat M andailing yang diadakan di Kota M edan, upacara ini berlangsung selama dua hari satu malam. Dan upacara perkawinan pada jaman dulu upacara ini berlangsung selama 7 hari dan bahkan ada yang sampai 1 bulan, tetapi p ada saat sekarang ini upacara perkawinan biasanya di laksanakan selama dua hari satu malam, karena memerlukan biaya yang cukup besar dalam upacara yang cukup lama.(Wawancara Bpk Ridwan Amanah Nst)

Berdasarkan penjelasan diatas maka penulis merasa dalam pengkajian tentang ensambel musik yang di gunakan pada pesta perkawinan masyarakat M andailing yaitu gordang sembilan penting untuk di kaji dan ditulis dalam sebuah tulisan atau di jadikan bahan skripsi dalam bentuk ilmiah dengan Judul “Analisis

Fungsi Dan S truktur Musikal Gordang S ambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.”

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas penulis membatasi pokok permasalahan karena keterbatasan waktu dan kemampuan akademis. Pokok permasalahan yang akan di bahas dalam tulisan ini ialah:

1. Bagaimana fungsi gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada M asyarakat M andailing di Kota M edan?

2. Bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam Upacara Perkawinan pada M ayarakat M andailing di Kota M edan?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

a. M engetahui bagaimana fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.

b. M engetahui bagaimana struktur musikal gordang sambilan dalam perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.

c. Sebagai dokumentasi tentang Kebudayaan M andailing dan dapat menjadi masukan di Departemen Etnomusikologi.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. M emberi pengetahuan dan informasi kepada masyarakat luas bagaimana fungsi gordang sambilan dala upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.

b. Dapat mengerti dan mengetahui bagaimana proses permainan gordang sambilan dalam perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan.

c. Dengan membaca skripsi ini di harapkan masyarakat di Kota M edan khususnya kebudayaan M andailing dapat mengetahui lebih dalam mengenai penggunaan gordang dalam upacara perkawinan pada masyarakat M andailing di Kota M edan..

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep ialah pengertian abstrak dari sejumlah konsepsi – konsepsi atau pengertian, pendapat atau paham yang telah ada dalam pikiran ( Koentjaraningrat 1985 : 10 ). Dalam penulisan ini yang di maksud dengan fungsi yaitu kegunaan dari suatu hal yang dilaksanakan, dan pengertian dari guna adalah manfaat dari suatu benda atau pekerjaan yang dilakukan ( Kamus Lengkap Bahasa Indonesia : 1997 ).

Sebagai landasan berpikir dalam pembahsan skripsi ini maka penulis melandaskan kepada pemahaman yang dikemukan oleh Allan P. M erriam (1964:63) tentang konsep musik.

Konsep musik gordang sambilan yaitu ada Sembilan buah gendang yang masing-masing memiliki diameter yang saling berbeda namun dalam penggunaan selalu digunakan serentak. Selain dari penggunaannya, tiap -tiap gordang tersebut memiliki penamaan yang juga berbeda.

Gordang sambilan adalah jenis alat musik sakral yang berbentuk sangat besar dan panjang yang dimainkan untuk sesuatu hal bisa menjadi s imbol, ataupun pengesahan terhadap sesuatu didalam sebuah upacara adat dalam pertunjukannya tidak hanya berdiri sendiri namun diikuti dengan alat-alat musik lain yang disebut dengan ensambel gordang sambilan (Ridawan Amanah nst).

Koentjaraningrat ( 2000:90 ) mengatakan bahwa di pandang dari sudut kebudayaan manusia maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya. karena menurut pegertian Koentjaraningrat ( 2000:90 ) mengatakan bahwa di pandang dari sudut kebudayaan manusia maka perkawinan merupakan pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya. karena menurut pegertian

M enurut Poerwadarminta (1986) mengatakan bahwa upacara merupakan suata hal dalam melakukan perbuatan yang tentu menurut adat kebiasaan atau menurut agama. Upacara perkawinan bukan saja penting bagi manusia tetapi juga merupakan suatu peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dari arwah para leluhurnya.

Perkawinan bagi masyarakat M andailing merupakan salah satu bentuk pelaksanaan upacara sakral yang dilakukan. Dalam perkawinan masyarakat mandailing harus sesuaikan dengan Dalihan Na Tolu yanga artinya tiga tungku.

1.4.2 Teori

Dalam mendeskripsikan komponen-komponen upacara ritual penulis mengacu kepada Koentjaraningrat (1985:243) yaitu mengemukakan pengertian upacara suatu kelakuan keagamaan yang dilaksanakan menurut tata kelakuan yang baku sesuai dengan komponen keagamaan. Komponen keagamaan itu dapat dilihat dari tempat upacara, saat dan waktu upacara dilaksanakan, benda – benda atau alat upacara, dan orang yang melaksanakan dan pemimpin upacara.

Pendapat M alinowski mengenai teori fungsionalisme adalah berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam masyarakat manusia berfungsi untuk memuaskan suatu rangkaian hasrat naluri akan kebutuhan hidup dari makhluk manusia (Basic Human Needs ). Dengan demikian, unsur kesenian misalnya mempunyai fungsi guna memuaskan hasrat naluri manusia akan keindahan; unsur system pengetahuan untuk memuaskan hasrat naluri manusia untuk tahu.

Untuk melihat fungsi Gordang Sambilan maka penulis menggunakan pendapat yang dikemukakan oleh Alan P. M arriam bahwa ada 10 fungsi musik yang telah di ungkapkan, tetapi tidak semua yang telah diungkapkan tersebut berlaku untuk seluruh kebudayaan yang ada di dunia.

Untuk mengklasifikasikan alat musik penulis gordang sambilan, penulis menggunakan pendekatan yang di tawarkan oleh Curt Sach dan Erich M . von Hornbostel membagi kedalam empat kelompok, yaitu (1) idiophone; (2) membrabofhone; (3) cordofhone; (4) aerofhone. Selanjutnya Curt Sach membagi lagi klafikasi membranofhone kedalam Sembilan bentuk, yaitu “cylindrical drums”, “barrel drums”, “hourglass drums”, “footed drums”, “goblet drums”, “kettle drums”, “handle drums” dan “frame drums” (Sach, 1914). Dengan memperhatikan kesembilan bentuk alat musik di atas, penulis lebih terfokus pada klasifikasi membranophone dalam bentuk long drum karena gordang sambilan bentuknya panjang dan besar.

Koentjaraningrat (1969) mengatakan 7 unsur-unsur kebudayaan ini di kenal dengan istilah yaitu: (1) system peralatan hidup; (2) system mata pencaharian; (3) system kemasyarakatan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) system pengetahuan; dan (7) religi.

M enurut Alan P. M arriam ( 1964:209-226 ) mengungkapkan bahwa terdapat bebera fungsi musik yaitu diungkapkan namun tidak semua berlaku untuk seluruh suku bangsa yang ada di dunia. Adapun fungsi musik yang diungkapkan oleh Alan P. M arriam adalah : (1) Fungsi Pengungkapan Emosional, (2) Fungsi Penghayatan Estetis, (3) Fungsi Hiburan, (4) Fungsi Komunikasi, (5) Fungsi Perlambangan (syimbolic representation), (6) Fungsi Reaksi Jasmani, (7) Fungsi yang Berkaitan dengan Norma-norma Sosial, (8) Fungsi Pegesahan Lembaga Sosial dan Upacara

Agama, (9) Fungsi Kesinambungan Kebudayaan, (10) Fungsi Pengintegrasian M asyarakat.

Teori musikal untuk mengkaji rit me ini penulis gunakan teori deskripsi rit me yang digunakan Fadlin (1988) Beliau menulis skripsi yang bertajuk Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumatera Timur . Skripsi Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, M edan. Dalam skripsi ini Fadlin menggunakan sistem anomatopeik gendang ronggeng, dan kemudian menuliskan pola-pola rit me dalam rentak senandung, mak inang, dan lagu dua. Selanjutnya Fadlin menganalisis pola-pola itu dengan pendekatan etnomusikologis, dengan cara memilah-milahkannya menjadi mot if dan nilai-nilai not yang digunakan, dan kemudian mentabelkannya.

1.5 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengacu kepada metode penelitian kualitatif (Kirk dan M iller,1990) yang mengatakan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasan sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya dan peristilahannya.

Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuj melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnumusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field word ) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Dan M erriam (1964) juga mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat Nettl (1964) mengatakan ada dua hal yang ensensial untuj melakukan aktivitas penelitian dalam disiplin etnumusikologi, yaitu pekerjaan lapangan (field word ) dan pekerjaan laboratorium (dest work). Dan M erriam (1964) juga mengatakan pendapat bahwa Etnomusikologi adalah disiplin lapangan dan disiplin laboratorium, yakni data yang di kumpulkan dari lapangan oleh penyidik pada akhirnya di analisis di laboratorium, dan dari hasil kedua metode menjadi pusat

1.5.1 S tudi Kepustakaan

Sebagai kerangka dalam landasan berpikir yang di lakukan oleh si penulis yaitu berdasarkan studi perpustakaan untuk mencari data-data pendukung yang di perlukan dengan tujuan untuk menambah sumber-sumber bacaan yang berupa buku, skripsi, makalah budaya, dan paper. Kemudian mencari teori- teori yang dapat digunakan sebagai acuan dalam membahas tulisan ini dan memperoleh pengaturan awal mengenai apa yang diteliti. Studi perpustakaan ini bertujuan untuk mencari informasi dan menambah data-data yang di butuhkan dalam penulisan, penyusuaian dan pengamatan yang sudah ada mengenai objek penelitian dilapangan.

Dalam hal ini penulis mempelajari buku-buku tentang upacara adat mandailing dan gordang sambilan guna mempermudah si penulis untuk penelitian.

1.5.2 Kerja Lapangan

Dalam kerja lapangan (field word) penulis melakukan pengamatan dan mengumpulkan data-data informasi dengan menentukan lokasi penelitian ditempat pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan di Kota M edan serta melakukan wawancara dengan beberapa yang mengetahui lebih dalam mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan adat mandailing.

Dalam pelaksanaan Pesta Upacara Perkawinan berlangsung, penulis melakukan dengan mencatat dan merekam tahapan yang terjadi pada pesta tersebut. Guna mempermuda untuk menyusun data dengan maksimal mengenai Fungsi dan Struktur M usikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Perkawinan Pada M asyarakat M andailing itu sendiri.

1.5.2.1 Wawancara

Adapun teknik wawancara yang di lakukan penulis ialah melakukan dengan tiga cara yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1990) yaitu (1) wawancara berfokus (focus interview), (2) wawancara bebas (free interview), (3) wawancara sambil lalu (casual interview). Yang di maksud dengan wawancara berfokus adalah pertanyaan yang selalu berpusat kepada pokok permaslahan, sementara wawancara bebas ialah pertanyaan yang selalu beralih dari satu pokok permasalahan ke pokok permasalahan yang lain. Sedangkan wawancara sambil lalu hanya untuk menambah atau melengkapi data yang lain.

Dalam wawancara ini penulis melakukan wawancara kepada informan yang ahli mengenai fungsi gordang sambilan dalam upacara perkawinan pada masyarakat mandaling di medan. Guna memperoleh data yang secara tepat. Dan menggunakan perekam camera digital merk Samsung agar penulis mendapat data dari informan secara akurat.

1.5.2.2 Observasi

Observasi dilakukan untuk memperoleh data yang tidak dapat melakukan dengan wawancara, yaitu dengan melihat dan mengamati semua yang terjadi selama upacara perkawinan adat mandailing itu berlangsung.

Bright (1989 : 77) mengemukakan bahwa observasi adalah suatu metode yang dipakai di samping wawancara. M etode abservasi ini berguna untuk mempererat antara penulis dengan informan sehingga penulis dapat mengenal lebih dekat dengan informan.

1.5.2.3 Kerja Laboratorium

Setelah memperoleh dan terkumpulnya semua data dari lapangan dan studi kepustakaan akan diolah dilaboratorium, dan penulis menganalisis seleksi ulang dengan data-data yang terkumpul, kemudian penulis menyusun menjadi sebagai bahan penulisan. selanjutnya penulis mengevaluasi ulang guna untuk memperoleh hasil yang akurat berdasarkan fakta-fakta yang di dapat di lapangan. Dari h asil keseluruhan data-data hasil evaluasi ulang akan disusun secara sistematis dengan menjadi suatu bentuk laporan kerja menjadi skripsi.

BAB II MAS YARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN

2.1 Geografis Kota Medan

Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di propinsi Sumatera Utara, Kedudukan, fungsi dan peranan Kota M edan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai Ibukota Propinsi Sumatera Utara, Kota M edan sering digunakan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah.

Secara geografis, Kota M edan memiliki kedudukan strategis sebab berbatasan langsung dengan Selat M alaka di bagian Utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota atau negara yang lebih maju seperti Pulau Penang M alaysia. Demikian juga secara demografis Kota M edan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota M edan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.

0 0 0 0 Letak geografis Kota M edan adalah 3 30 – 3 43 LU, dan 98 35’-98 44’ BT. Luas Kota M edan saat ini adalah ± 265,10 km 2 . Kota M edan memilki

perbatasan yaitu : - Sebelah Utara berbatasan dengan Selat M alaka - Sebelah Selatan berbatasan dengan kecamatan Deli Tua dan Pancur

(Kabupaten Deli Serdang)

- Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli Serdang), dan - Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Percut Sei Tuan dan Tanjung M orawa (Kabupaten Deli Serdang) Adapun kecamatan yang terletak di Kota M edan yaitu Kecamtatan M edan Helvetia, Kecamatan M edan Barat, Kecamatan M edan Petisah, Kecamatan M edan Perjuangan, Kecamatan M edan Tembung, Kecamatan M edan Area, Kecamatan M edan M aimun, Kecamatan M edan Polonia, Kecamatan M edan Selayang, Kecamatan M edan Tuntungan, Kecamatan M edan Johor, Kecamatan M edan Amplas, Kecamatan M edan Denai, Kecamatan M edan Baru, Bandar Udara Polonia. Secara geografsi M edan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, M andailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota M edan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.

2.1.1 Demografi

Kota M edan terdiri dari beberapa etnis yang mendiaminya namun ada beberapa suku yang lebih dominan dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan suku atau etnis-etnis lain yaitu : M elayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, M andailing-Angkola,), Nias dan Tionghoa.

Penduduk Kota M edan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota M edan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota M edan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi Penduduk Kota M edan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota M edan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota M edan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi

Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural. M enurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.

Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah

Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk M edan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria. Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian M edan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota M edan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota M edan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda. Kondisi Kota M edan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis, (BPS Kota M edan).

2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas

Pada identifikasi Kelurhan Sitirejo I Kecamatan M edan Amplas ini merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu masyarakat M andailing yang tinggal dan menetap di Kota M edan.

Secara geografis Kelurahan Sitirejo I M edan Amplas dengan batas-batas sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan

M edan Kota.  Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan Medan

Amplas.  Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan

Kota.  Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan

M edan M aimun. Dan adapun Luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian

sebagai berikut: Luas Pemukiman : 0, 39 km2, luas pekarangan : 0. 2 km2, luas perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya : 0, 2 km2 . Dapat diketahui total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari 5377 jiwa penduduk laki-laki dan 5897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di

17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.

2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing Di Kota Medan

Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan penelitian ini juga memperlihatkan karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan, adapun karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa jauh masyarakat M andailing di Kota M edan dalam memandang dan melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.

Karakter M andailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1) karekter masyarakat M andailing yang masih memegang adat budaya M andailing sesuai dengan adat M andailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya Karakter M andailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1) karekter masyarakat M andailing yang masih memegang adat budaya M andailing sesuai dengan adat M andailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya

Adapun indukator yang dapat menuntun penelitian ini untuk mendapatkan setidaknya gambaran umum mengenai kebudayaan M andailing yang tinggal di berbagai wilayah di Kota M edan mengenai karakteristik masyarakatnya, adapun indikator karakteristik masyarakat M andailing di Kota M edan sebagai berikut : linguistik, sosial dan budaya. Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa M andailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya penggunaan bahasa daerah dapat member sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat M andailing pada daerah penelitian ini, sedangkan indikator sosial adalah indikator yang berusaha menangkap perilaku, cara pandang masyarakat M andailing di Kota M edan seperti apakah mereka masih menggunakan dan melakukan adat budaya M andailing di Kota M edan. Indikator ketiga adalah budaya, indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya yaitu linguistik dan sosial.

M elalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat M andailing diberbagai lokasi penelitian di Kota M edan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini :

Pada daerah M edan M aimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat M andailing di lokasi ini memiliki karakteristik masyarakat M andailing yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungannya sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan Pada daerah M edan M aimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat M andailing di lokasi ini memiliki karakteristik masyarakat M andailing yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungannya sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan

M edan Denai, karakteristik masyarakat M andailing yang menjadi bagian masyarakat daerah tersebut adalah karakteristik masyarakat yang memegang adat budaya M andailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka dalam lingkungan kehidupannya, salah satunya terlihat pada tindakan mereka yang selalu didasarkan ;pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari daerah asal mereka, hal ini disebabkan pada daerah ini masyarakat M andailing mendominasi pada daerah tersebut.

2.3 Asal Usul Orang Mandailing

M asyarakat M andailing yang mendiami kota M edan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah M andailing. M asyarakat M andailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. M enelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah M andailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta tertulis, seperti prasasti – prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggung jawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul

M asyarakat M andailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah M adailing dan masyarakatnya. M emungkinkan bahwa Wilayah M andailing pada zaman Kerajaan M ajapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan M ajapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M ). dimana salah satu syairnya disebut nama M andailing. Adapun syair tersebut yaitu Lwir ning nusa pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat// Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan M ajapahit ke M alayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, M uara Tebu, Darmasraya. M inangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, M andailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama M andailing sudah terlukis pada syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut diatas. (M hd. Arbain Lubis Ha 11-24)

M enurut ulasan dari seorang tokoh sejahrawan Z.Pangaduan Lubis. Dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU M edan dalam bukunya “Kisah Asal Usul M andailing”, (Tahun 1986 hal 4-6), mengatakan selanjutnya bahwa didalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata : disitulah (ditanah M andailing) bertamasya si boru deakparujar. Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di tanah M andailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Dan menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah

Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi diatas lautan. Tonggo- Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu.

Dada M euraxa mengatakan didalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Sumatera” (974 hal 349) menyatakan bahwa M andailing ada yang menduga berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa M inangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang Hilang . Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama M andailing berasal dari perkataan “M undahilang” yang berarti “M unda yang M engungsi”. Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa M unda yang berada di India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria, menurut Prof.Dr.Slamet M ulyana menjelaskan dalam bukunya “Asal Bangsa dan Bahasa Indonesia” (1964 hal:140) mengatakan sebagai berikut : sebelum kedatangan Bangsa Aria, Bangsa M unda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa M unda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM .

Pada waktu perpindahan bangsa M unda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera. Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan M andailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi

Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya M angaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama M andailing berasal dari perkataan “M andala Holing”. Pada zaman dahulu kala M andala Holing adalah sebuah kerjaan yang Didalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya M angaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama M andailing berasal dari perkataan “M andala Holing”. Pada zaman dahulu kala M andala Holing adalah sebuah kerjaan yang

M asyarakat M andailing digolongkan kedalam kelompok Proto M elayu (M elayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak/Dairi. Yang persamaan itu bisa dilihat pada Bahasa dan Adat Istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di Wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM . Dan dari cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa Nenek M oyang Suku – Suku bangsa termasuk rumpun Proto M elayu. (Emilkam Tambunan, 1982 :33).

Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada M euraxa, Emilkam Tambunan, Prof.Dr. Slamet M ulyana sudah tersusun didalam buku Z. Pangaduan Lubis berjudul “Kisah Asal Usul M andailing” (1986 hal 6-10) Dengan pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan metode-metode yang abash kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama M andailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali nama M andailing yang harum semenjak dari seribu yang silam.

2.4 Sistem Religi dan Agama

Pada masa sekarang ini M asyarakat M andailing umumnya masih menganut Agama Islam dan hanya sedikit Agama Kristen, tetapi Nenek M oyang mereka sebelum masuknya Agama Islam maupun Kristen masih mempercayai dengan Animisme atau dikenal dengan pele begu (suatu pemujian terhadap Roh Nenek M oyang). Ajaran relegi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan-kekuatan gahib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Rotonga 1997:10)

Didalam pelaksanaan Upacara Ritual (animisme), dipimpin oleh seorang yang sudah ahli dan bukan orang sembarangan. Dan orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa - doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek M oyang mempercayai peantaraan si baso dengan Roh Nenek M oyang dapat turun ke bumi dengan menurunkan pemberian berkah atau sebaliknya.

Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak Agama Islam masuk ke M andailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari M inangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam yang keras. M ereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka Adat M andailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke A gama Islam akan dibunuh atau akan menjadi budak kepada Kaum Padri. Lama kelamaan M asyarakat M andailing menerima agama islam, dan akhirnya agama islam menjadi berkembang di seluruh daerah M andailing.

Setalah M asyarakat M andailing memeluk Agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena A gama Islam melarang Setalah M asyarakat M andailing memeluk Agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena A gama Islam melarang

Sekitar tahun 1839 A gama Kristen mulai masuk ke daerah M andailing yang dibawa oleh para Pendeta-Pendeta. M asyarakat M andailing tidak banyak yang menganut Agama Kristen dikarenakan telah terlebih dahulu menganut agama islam. sehingga yang menganut Agama Kristen sangat sedikit, dan kebanyakan yang menganut Agama KRISTEN adalah orang – orang pendatang dari luar daerah M andailing yang menetap di M andailing.

2.5 Bahasa

Bahasa M andailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak M andailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah M andailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis M andailing. M enurut H. Pandapotan Nasution,SH (2005 hal 14-15). Dalam bukunya mengungkapkan dengan sesuai pemakainya Bahasa mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu :

- Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat) - Bahasa andung (bahasa waktu bersedih) - Bahasa parkapur (bahasa ketika dihutan) - Bahasa na biaso (bahasa sehari - hari) - Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar)

Pertuturan Bahasa M andailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam Upacara Peradatan, Arisan, Perkumpulan Keluarga, atau Perkumpulan Keluarga lainnya.

2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing

Sistem kekerabatan adat istiadat M andailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan “Markoum Marsisolkot”, adat istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak – pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna “markaoum” adalah berkaum atau famili dekat, meskipun ia dari orang yang juah atau or ang yang tidak perna dikenal. Sedangkan “marsisolkot” artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu Nenek M oyang.

Adat Istiadat Markoum Masrsisolkot di M andailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarkatnya baik dalam Upacara Siriaon (upacara suka cita) ataupun Upacara Siluluton (upacara duka cita). Dimana dikatakan bahwa adat istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga Adat yaitu (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan hapantunon.

- Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar , jika dilanggar akan dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat.