Sanksi Perzinaan Di Masyarakat Adat Batak Toba Dalam Persepektif Hukum Islam

(1)

Skripsi ini diajukan kepada Fakultas Syariah Dan Hukum untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SRI ULFA HANDAYANI SARAGIH 1111043200011

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1436 H / 2015 M


(2)

(3)

(4)

(5)

Sri Ulfa Handayani Saragih, NIM 1111043200011, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum Konsentrasi Perbandingan Hukum, judul skripsi Sanksi Perzinaan Di Masyarakat Adat Batak Toba Dalam Perspektif Hukum Islam, tebal skripsi 81 halaman. Tahun buku yang dijadikan rujukan dalam skripsi tercatat dari tahun 1981-2013.

Pada dasarnya hukum adat mempunyai akar nilai yang kuat terhadap tingkah laku sosial dan pola budaya masyarakat. Sehingga dalam prakteknya, masyarakat lebih cenderung menggunakan hukum adat dalam menyelesaikan perkara serta dijadikan pedoman dan materi norma dalam mengatur hubungan hukum. Negara indonesia yang terdiri dari berbagai macam adat istiadat sangat terlihat keberadaan bahwa hukum adat dan hukum pidana adat masih hidup di masing-masing daerahnya. Didaerah sumatera utara khususnya pada adat batak toba hukum pidana adat masih digunakan oleh masyarakat setempat dalam penyelesaian masalah tindak pidana perzinaan. Masalah perzinaan dalam masyarakat adat Batak Toba merupakan suatu bentuk pelanggaran yang berat dan akan diberikan sanksi. Pelaku zina yang belum menikah maka akan dinikahkan, apabila sipemuda menolak untuk dinikahkan atau pihak keluarga parboru

(perempuan) menolak pernikahan maka sipemuda harus memberikan piso kepada

Parboru itu sebagai bentuk penyucian (Pangurasion) untuk membesarkan hati Parboru, bagi pelaku zina laki-laki yang sudah menikah dengan perempuan yang belum menikah maka silaki-laki harus meminta maaf kepada keluarga perempuan dihadapan istri dan keluarganya yang mana siistri harus menyiapkan hidangan untuk acara tersebut serta silaki-laki harus membayar denda kepada orangtua siperempuan, sedangkan pelaku zina laki-laki yang sudah menikah dengan perempuan yang sudah menikah maka suami dari perempuan itu mempunyai hak untuk membunuh laki-laki yang berzina dengan istrinya. Walaupun dalam hukum positif yang berlaku diindonesia pelaku zina tidak akan dikenai sanksi pidana tanpa adanya delik aduan dari pihak yang merasa dirugikan, namun pemberian sanksi perzinaan ini tetap diberlakukan di masyarakat adat batak toba karena masyarakat adat batak toba sangat menentang keberadaan pelaku zina dan memegang teguh hukum adat.


(6)

ِمْيِحَرلا ِنََْْرلا ِه ِمْسِب

Segala puji bagi Allah subhanahu wa ta’ala yang senantiasa memberikan kenikmatan dan kemudahan kepada penulis sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul SANKSI PERZINAAN DI MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada nabi muhammad shallallahu „alaihi wa sallam. Meskipun di awal-awal penulis menemukan beberapa kendala dalam menyelesaikan karya tulis ini namun pada akhirnya penulis mampu untuk menyelesaikannya dengan berkat dorongan dari banyak pihak yang ikut pula membantu dalam proses penyelesaian karya tulis ini.

Rasa hormat dan untaian terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah berperan dalam membantu menyelesaikan karya tulis ini. Terlebih, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Yth Dr. Asep Saepudin Jahar MA , selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Yth Fahmi Muhammad Ahmadi, M.si. ketua program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Siti Hannah S.Ag, Ma. Sekretaris program studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Yth Dr.Alfitrah SH.,M.Hum selaku pembimbing I dan Hj. Ummu Hannah Yusuf Saumin,MA selaku pembimbing II. Disela-sela kesibukan beliau dengan ikhlas


(7)

4. Yth Dr.H.Muhammad Taufiqi.,S.Ag.,MA selaku penguji I dan Drs.H.A.Basiq Djalil.,SH.MH selaku penguji II yang banyak memberikan kritik dan masukan sehingga penulis bisa lebih memperbaiki skripsi ini.

5. Pimpinan perpustakan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan. 6. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum terimakasih atas kuliah-kuliah yang

diberikan sehingga menumbuhkan kesadaran intelektual dan ideologi islam. 7. Terimakasih khusus yang tak terhingga untuk mamaku tersayang Yth Junita

Hasibuan. S.Pdi dan ayahku Yth Ahmad Jais Saragih, yang telah memberikan banyak pengorbanan kepada penulis , tetesan keringatan dan air mata dan doa-doa serta bimbingan beliau yang menjadikan penyemangan buat penulis. Saya ucapkan terimakasih sedalam-dalamnya kepada mama dan ayah semoga selalu dalam lindungan Allah SWT.

8. Kepada keluarga besarku yang selalu memberikan semangat dan dukungan, khususnya kakakku Sri Wardani Saragih. Amk , adikku Muhammad Sazali Saragih, dan Nindya Ahmad Saragih.

9. Teman-teman dikelas Perbandingan Hukum 2011 Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang sama-sama berjuang menuntut ilmu, semoga kita selalu diberikan kelancaran dalam menuju kesuksesan. Aamiin Ya Rabb. 10.Teman-teman Himpunan Mahasiswa Labuhan Batu (HIMLAB) dan Komunitas


(8)

Pada akhirnya semoga Allah SWT memberikan kelancaran dan meridhoi segala amal perbuatan kita. Penulis sadar bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu sumbangan saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan semoga skripsi ini dapat lebih sempurna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin ya rabb.

Wa billahi at-taufiq wa al-hidayah.

Jakarta, September 2015

Penyusun

Sri Ulfa Handayani Saragih 1111043200011


(9)

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PENYATAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 13

1. Pembatasan masalah ... 13

2. Rumusan masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Kegunaan Penelitian ... 14

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ... 15

F. Metode Penelitian ... 17

G. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II PERZINAAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA A. Keadaan Sosial Masyarakat Adat Batak Toba ... 19

1. Perkawinan ... 25

2. Delik Adat ... 28

3. Agama ... 30

B. Defenisi Perzinaan ... 31


(10)

BAB III PERZINAAN MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Perzinaan ... 44

B. Pengertian Sanksi ... 52

C. Unsur Perzinaan Dan Akibat Hukumnya ... 54

D. Macam-macam Sanksi ... 57

E. Sanksi Perzinaan ... 60

BAB IV ANALISA SANKSI PERZINAAN DALAM HUKUM ADAT BATAK MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM. A. Sanksi Perzinaan Dalam Hukum Adat Batak Toba ... 66

B. Sanksi Perzinaan Menurut Hukum Islam ... 69

C. Analisa Sanksi Perzinaan Dalam Hukum Adat Batak Menurut Perspektif Hukum Islam ... 72

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ... 76

B. SARAN ... 78


(11)

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masyarakat merupakan suatu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi satu sama lain menurut sistem adat tertentu, yang sifatnya terus menerus dan terikat dengan rasa identitas bersama. Kesatuan hidup manusia itu ada yang ikatannya bersifat tradisional menurut susunan (struktur) yang turun temurun dan ada ada pula ikatannya yang sudah maju atau modern yang terbentuk dalam organisasi perkumpulan yang teratur.Sama pula halnya dengan rasa identitas bersama diantara para anggota masyarakat itu ada yang berdasarkan pada ikatan kekerabatan, ikatan ketetanggaan dan ikatan kekaryaan.1

Perilaku kekerabatan ini dapat dilihat dari sikap tindak warga masyarakat kekerabatan, yang dapat dibedakan yaitu antara kekerabatan dari garis keturunan bapak (patrilinial), kekerabatan dari garis keturunan ibu (matrilinial), atau kekerabatan dari garis keturunan kedua orangtua (parental, bilateral).Kekerabatan bukan saja berdasarkan pada keturunan semata, adapula kekerabatan yang berdasarkan pada ikatan perkawinan.Maka bisa kita lihat bentuk perkawinan ini dengan pembayaran jujur, perkawinan semanda atau perkawinan bebas.

Didalam masyarakat kekerabatan itu tidak dikenal pula batasan dalam ruang lingkup tempat kediaman, jadi perilaku hubungan interaksi diantara warga kerabat yang satu dan yang lain dalam satu kesatuan kerabatan tidak ada batas


(12)

wilayahnya. Batasnya itu hanya dapat diukur dari akrab tidaknya hubungan yang berlaku diantara warga adat yang satu dengan warga adat yang lain pula.

Pada masa kemajuan tekhnologi hubungan untuk saat ini jarak tempat sudah menjadi pendek, sehingga kemungkinan diadakan hubungan dan pertemuan antara kepala adat atau kepala kerabat dengan kerabat lainnya yang jauh tempat tinggalnya tidak menjadi halangan lagi.Sehingga hukum adat yang berlaku dalam batas kampung halaman dapat diterapkan pula didaerah perantauan. Kecuali warga yang bersangkutan tidak lagi memanfaatkan atau memakai hukum adat tersebut.Sedangkan perilaku ketetanggan dapat dilihat dari perilaku warga masyarakat ketetanggan, menurut tempat kediaman dipedukuhan, kampung dan desa atau kesatuan dari beberapa kampung yang dulunya disebut mukim, kuria, nagari, marga, negorei dan sebagainya atau lebih luas dari suatu daerah budaya yang sama.

Dengan adanya tempat kediaman bukan berarti ditempat itu dominan dengan penduduk asli, tetapi merupakan tempat kediaman yang penduduknya merupakan campuran antar suku bangsa, misalnya saja di perumnas (perumahan umum nasional), perkampungan perusahaan perkebunan, perindustrian dan lain-lain.Untuk masyarakat ketetanggaan ini terbatas ruang lingkup hubungannya untuk tempat kediaman, jadi hanya yang berdekatan rumah atau atau berdekatan tempat kediaman atau dari satu daerah kediaman saja. Dimana hubungan interaksi antara anggota masyarakat dalam ketetanggan ini dipengaruhi oleh perilaku pergaulan sehari. Biasanya hubungan didesa-desa pedalaman lebih akrab dibandingkan dengan desa-desa yang telah dipengaruhi budaya kota. Dipedesaan


(13)

masih terlihat pula budaya tolong menolongnya itu dengan bentuk gotong-royongnya , sedangkan di perkotaan budaya tolong menolong itu lebih banyak bersifat kebendaan, bantuan biaya keuangan, sedangkan untuk pengerahan tenaga seperti dipedesaan sangat kecil kemungkinannya karena di lingkungan perkotaan masyarakatnya lebih bersifat heterogen, bercampur baur antara golongan masyarakat yang berbeda kedudukannya. Biasanya kelanggengan hubungan diantara anggota yang bertetangga tergantung pada lamanya keluarga atau seseorang itu menetap disuatu daerah. Anggota masyarakat yang telah tinggal bertetanggaan lebih lama akan merasakan tetangganya itu lebih daripada kerabatnya sendiri.

Namun, kekerabatan itu akan luntur pula apabila nantinya terjadi perpindahan tempat kediaman. Sedangkan untuk perilaku kekaryaan dapat pula dilihat dari kelompok warga masyarakat kekaryaan, menurut bidang karyanya, kegiatan usahanya, misalnya dalam ikatan organisasi perkumpulan; ikatan pekerjaan yang sama dikantor yang sama atau perusahaan yang sama, ikatan golongan kepentingan yang sama dimesjid , pengajian dan sebagainya, termasuk pula dalam kegiatan-kegiatan politik. Masyarakat kekaryaan ini bukan hanya terdapat diperkotaan saja, tetapi ada juga dipedesaan.Dimana untuk batasan ruang lingkup hubungan keanggotaanya hanya pada kekaryaan itu saja, jadi apabila anggotanya itu meninggalkan kekaryaannya itu maka luntur pula hubungan kekaryaannya itu.Kekaryaan ini bisa pula disebut dengan perkumpulan atau organisasi seperti halnya koperasi.


(14)

Apabila ada perselisihan atau sengketa yang terjadi dalam suatu keluarga atau kerabat tentunya seseorang ini akan mencari jalan penyelesaian dengan para anggota kerabatnya, dengan kepala kerabat atau kepala adat, sehingga keluarga yang tadinya tidak seimbang karena ada perselisihan dapat kembali tenang dan damai. Apabila ada perselisihan didalam bertetangga maka cara penyelesaiannya adalah pendamaian dengan kerabat dan tetangga atau meminta bantuan padakepala kampung, kepala desa pula, sedangkan perselisihan didalam organisasi perkumpulan maka penyelesaiannya adalah dengan perantaraan teman sekarya, seorganisasi, seagama dan lain-lain.

Persekutuan hukum adat di Indonesia mempunyai bentuk dan nama yang berbeda-beda, namun dari berbagai bentuk yang berbeda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk pokok yaitu persekutuan hukum adat kekerabatan yang terdiri dari tiga bentuk kerukunan, yaitu rukun keluarga, rukun kerabat, dan rukun suku; untuk persekutuan hukum adat ketetanggaan terdiri dari tiga bentuk kerukunan, yaitu rukun tetangga, rukun kampung, dan rukun desa. Dan yang terakhir adalah bentuk persekutuan hukum adat keorganisasian yang terdiri dari tiga bentuk kerukunan juga yaitu, rukun kumpulan, rukun organisasi, dan rukun golongan.2

Pada dasarnya, manusia senantiasa berinteraksi atau melakukan hubungan interpersonal karena kebutuhan akan inklusi, kontrol dan afektif. Pengalaman berinteraksi inilah yang nantinya akan menghasilkan sistem nilai, yaitu konsep

2


(15)

abstrak mengenai apa yang buruk dan apa yang baik yang nantinya akan berpengaruh pada pola pikir manusia yang akan dibentuk menjadi sikap manusia, yakni kecenderungan untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap manusia, benda atau keadaan tertentu. Dari sikap manusia ini nanti lahir pula perilaku yang kemudian menjadi pola perilaku yang apabila diabstrakkan akan menjadi norma atau kaedah yang merupakan patokan tentang perilaku yang pantas. Norma ini pulalah yang nantinya akan mengatur interaksi antar manusia atau hubungan interpersonal.3

Dalam penulisan proposal ini, penulis memfokuskan pada kehidupan masyarakat adat batak, khususnya adat Batak Toba. Didalam kehidupan bermasyarakat di batak toba hubungan kekerabatan biasanya disebut dengan

Dalihan Na Tolu (tungku nan tiga).4 Dimana dalihan na tolu ini merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan kekerabatan darah dan perkawinan. Penamaan dan perumusan pihak-pihak yang merupakan dalihan na tolu ini adalah orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang-orang kakek yang sama dan yang benar-benar merayakan upacara kekerabatan secara bersama-sama pula, bukan hanya dari sekedar klasifikasi marga.

Didalam lingkungan kelompok keluarga kecil peraturan yang pertama dan yang paling utama adalah yang dinyatakan oleh suatu pengadilan hundulan,

“semoga setiap orang sejahtera”. Inilah yang disebut dengan adat “parsaripeon”

3

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Rajawali 1981 Jakarta), h.79

4J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba ,(LKIS Yogyakarta, 2004, Yogyakarta), h. x


(16)

(peraturan yang harus diperhatikan oleh semua anggota keluarga),yang merupakan aturan untuk mencegah terjadinya garis hukum yang tajam didalam kelompok keluarga ini.5

Didalam sistem hukum adat sekalipun, segala tindakan yang bertentangan dengan peraturan adat merupakan tindakan ilegal; hukum adat mengenal pula upaya-upaya untuk memulihkan hukum jika hukum itu diperkosa (dilanggar).6Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan untuk memperbaiki kembali hukum didalam ruang lingkup pidana dengan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut didalam ruang lingkup perdata.Berhubungan dengan hal itu, didalam sistem hukum adat sendiri tidak ada perbedaan acara dalam hal penuntutan dalam ruang lingkup pidana maupun perdata.Dan biasanya apabila terjadi suatu pelanggaran maka petugasakan mengambil tindakan kongkrit untuk membetulkan hukum yang dilanggar itu.Dimana yang menjadi petugas hukum disini biasanya adalah kepala adat.

Didalam peradilan adat, para hakim adat biasanya memberlakukan hukum adat itu secara materiil maupun formal.Mereka tidak terikat pada suatu peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan peradilan tersebut. Dimana cara pelaksanaannya adalah dengan cara musyawarah dan mufakat atas dasar kekeluargaan dan kerukunan kekerabatan atau kerukunan ketetanggaan.

5

J.C.Vergouwen, Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba ,(LKIS Yogyakarta, 2004, Yogyakarta), h.186

6

Iman Sudiyat, Hukum Adat Seketsa Asas,(Liberty Yogyakarta, 1981,Yogyakarta), h.175


(17)

Persidangan biasanya dilakukan bukan untuk mewujudkan suatu keputusan melainkan untuk mencari jalan penyelesaian sepakat, seia-sekata karena saling pengertian.Apabila para pihak dapat menerima penyelesaian yang disetujui bersama maka itu pulalah yang menjadi putusannya.Pada masyarakat hukum adat batak yang bersendikan genealogis patrilinial yaitu garis kebapakan, maka yang menjadi anggota majelis hakim adat adalah petua-petua adat menurut garis keturunan laki-laki.

Tidak seperti halnya didalam penjatuhan hukuman menurut KUHP,hakim adat hanya dapat menetapkan hukuman adat yang sederhana saja, misalnya bersifat reaksi adat terhadap pelanggaran yang telah terjadi, berupa peringatan, teguran, pemberian ampun atau maaf, kewajiban menyelenggarakan upacara sedekah, selamatan, membersihkan kerabat atau bersih desa atau yang lebih berat adalah hukuman buang, disingkirkan atau diusir dari kampung halaman. Tetapi dengan penjatuhan hukuman seperti ini tidak memberikan efek jera sama sekali terhadap pelaku.

Bagaimana pula halnya dengan perbuatan zina.Zina juga merupakan delik yang terutama melanggar kepentingan hukum seseorang selaku suami.Karena perbuatan zina itu maka kesucian masyarakat terganggu pula. Di tanah batak toba harus diselenggarakan upacara pembersihan masyarakat yang disebut dengan “pangurasion”(penyucian)7 , karena perbuatan zina itu menimbulkan upaya pertahanan (raksi adat) dari pihak atau kerabat atau suami yang terhina. Bahkan

7


(18)

apabila pelakunya belum menikah, si pemuda hanya memberikan piso kepada

parboru sebagai bentuk penyucian (pangurasion) untuk menyenangkan hatinya apabila si pemuda tidak mau menikahi parboru ini atau orangtua dari parboru tidak mengizinkan untuk dilaksanakan pernikahan.Jadi, tidak ada efek jera yang diberikan dari petua adat kepada pelaku zina, hingga nantinya pelaku bisa saja melakukan tindakan tersebut berulang-ulang. Bukankah sanksi hukum diberlakukan agar si pelanggar hukum mendapatkan efek jera dan tidak akan berbuat pada pelanggaran yang sama?

Di dalam hukum adat Batak Toba, keberadaan pasangan perzinahan sangat ditentang. Perbuatan tercela tersebut dianggap menyalahi norma-norma yang ada khususnya norma kesopanan dan kesusilaan. Hidup bersama secara terbuka dan tidak sah sebagai suami istri (marbagas roha-roha) tidak dikenal dikalangan pemuda dan tidak selaras dengan hubungan gadis dengan parborunya.Namun, hal seperti itu banyak terjadi dikawasan yang disiplin hukum dan adat istiadatnya lemah, yaitu diantara orang yang sudah tua dan sudah pernah kawin.Ini adalah pelanggaran terhadap adat(sala tu adat) dan pantas dituntut dan dihukum oleh penguasa.8

Pada hukum adat Batak Toba sendiri dikenal sebagai daerah atau suku yang sangat tegas dalam memberikan sanksi sehingga seseorang yang melanggar peraturan harus berpikir dua kali lipat. Begitu pun dengan perzinahan, adanya perzinahan yang terjadi di suku adat Batak Toba akan dikenai sanksi adat. Apabila

8


(19)

ada yang melakukan praktik perzinahan di daerah teritorial mereka maka langkah yang pasti akan ditempuh adalah dinikahkan. Namun sebelum dinikahkan para pelanggar aturan yakni pasangan perzinahan akan diberikan sanksi. Apapun dan siapapun yang melanggar aturan pasti akan mendapatkan balasannya. Bahkan hal yang belum diatur pada hukum positif pun telah ada pengaturannya pada hukum adat yang salah satunya adalah pengaturan tentang hukuman bagi pasangan perzinahan yakni dimana seorang pasangan yang melakukan hubungan hidup layaknya suami istri diluar pernikahan secara sah.

Di masyarakat adat Batak Toba memberikan sanksi yang tegas untuk pelaku perzinahan, tetapi sanksi yang diberikan itu tidak memberikan efek jera sama sekali. Sebenarnya mengenai perzinahan diindonesia sudah diatur didalam KUHP pada pasal 284 KUHP. Dalam pasal 284, zina hanyalah zina yang pelakunya sudah terikat dengan akad nikah, yaitu kasus perselingkuhan yang terjadi dalam delik aduan, sehingga disamping KUHP tidak mengenal istilah zina

ghairu muhsan (belum menikah), didalamnya juga mengandung pengertian bahwa selama para pelaku suami atau istri yang merasa aman dengan delik perzinahan yang dilakukan pasangannya, maka pelaku tidak dapat dituntut karena tidak diadukan pula oleh pihak yang merasa dirugikan.9

Muhammad Abduh Malik mengemukakan bahwa:

“Apabila seorang laki-laki yang mempunyai istri melakukan hubungan seksual (bersetubuh) dengan perempuan lain tetapi istri tidak keberatan, maka KUHP tidak akan diberlakukan terhadap suami. Begitupula sebaliknya, apabila seorang perempuan yang telah mempunyai suami


(20)

bersetubuh dengan laki-laki lain tetapi sisuami tidak keberatan, maka siistri juga tidak akan dikenai hukuman oleh KUHP.”

Jadi, apabila suami tidak keberatan istrinya berselingkuh (berzina) dengan lak-laki lain atau siistri tidak keberatan suaminya berselingkuh (berzina) dengan perempuan lain dengan motif hawa nafsu, imbalan materiil, atau lainnya ; maka perbuatan zina tersebut bukan perbuatan buruk yang (perlu) dilarang dalam KUHP.

Apabila suami merasa malu mengadukan istrinya atau istri merasa malu mengadukan suaminya yang melakukan perselingkuhan kepada aparat penegak hukum, maka sudah barang tentu perbuatan zina tersebut tidak akan diproses. Dengan demikian, perbuatan zina yang dilakukan seorang suami atau istri dapan berjalan terus. Jadi, berarti pasal 284 KUHP ini tidak akan berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat, dan bahkan memberi peluang.10

Lain halnya dengan RUU KUHP yang baru yang sudah mulai memberikan sanksi bagi pelaku zina. Hanya saja tetap masih sama dengan KUHP yang lama yaitu dalam RUU KUHP delik zina dan kumpul kebo hanya masuk dalam delik aduan sehingga kerangka hukum bagi pelaku zina dan kumpul kebo kurang begitu kuat dan tidak dijelaskan pula secara rinci tentang kriteria delik zina dan kumpul kebo, serta unsur yang ada dalam delik tersebut.

Misalnya dalam memberikan hukuman bagi pelaku maksimal lima tahun penjara dan dikenai denda sebesar Rp. 600.000 sesuai dengan ketentuan pasal 484

10

Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta: Bulan Bintang,2003), cet. Ke-1, h.191-192


(21)

nomor (1) huruf E RUU KUHP . kumpul kebo dimaksud dalam hal ini adalah pasangan laki-laki dan perempuan yang hidup serumah tanpa ada ikatan perkawinan. Selain itu Kumpul kebo merupakan istilah populer dimasyarakat untuk menyebut perbuatan hidup bersama diluar pernikahan yang sah. Didalam istilah asing, kumpul kebo dapat didentikkan dengan sebutan “samen leven”, living in non-matrimonialunion”, “conjugal union”, atau “cohabitation”.

Dengan adanya RUU KUHP mengenai tindak pidana kumpul kebo ini memunculkan kritik yang pro dan kontra diantara masyarakat.kritik dari pandangan kontra yaitu menyatakan bahwa dibanyak negara masalah susila tidak pernah dipersoalkan karena memang negara tidak berhak untuk mengurusi moral dan rasa kesusilaan masyarakat dan diaturnya masalah kumpul kebo berarti memasuki ranah kehidupan seks pribadi (individu). Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa apabila RUU KUHP ini lolos(antara lain dijadikannya kumpul kebo sebagai tindak pidana), maka akan membuka peluang potensi bagi terciptanya konflik horizontal.11Lain halnya dengan yang memberikan kritikan pro, kumpul kebo merupakan suatu realitas sosial dan memunculkan problem sosial tetapi tidak ada aturannya dan belum terjamah oleh hukum.Oleh karena itu, wajar jika kemudian diwadahi dalam peraturan yang lebih konkret. Dinyatakan pula bahwa, belum ada bukti bahwa pemberlakuan sanksi pidana bagi pelaku kumpul kebo akan tercipta konflik horizontal.selama ini pun dikampung-kampung

11

Pendapat dari Gayus, Suhardi, Hendardi, dan Thamrin Amal Tomagola (lihat KOMPAS, edisi 30/9/2003 dan 1/10/2003).


(22)

berlaku norma yang menolak pelanggaran moral seperti itu, sehingga pelakunya digerebek petugas Hansip dan warga yang merasa terganggu.12

Dengan hal tersebut diatas maka sangat mungkin akan terjadi perpecahan didalam suatu masyarakat. Oleh karena itu untuk menanggulangi dan mengantisipasi masyarakat perlu diperhatikan norma-norma atau peraturan hidup tertentu yang ada dan sifatnya memaksa.Karena aturan yang berisifat memaksa itu bertujuan untuk memelihara struktur-struktur sosial yang berlaku.

Dalam Islam sendiri, perzinahan merupakan salah satu kategori seksualitas yang tidak beradab karena telah keluar dari konsep islam itu sendiri. MenurutIslam seksualitas yang sah adalah seksualitas yang diridhoi oleh syariat Islam. Dengan demikian, perzinahan adalah bentuk lain dari penyimpangan seksual. Sehingga nantinya, para pelaku zina akan dikenkan sanksi baik itu pelaku zina muhsan (sudah menikah) maupun ghairu muhsan (belum menikah). Didalam Islam juga memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku zina itu sendiri bahkan bagi pelaku zina yang sudah menikah diberikan sanksi rajam sampai meninggal. Bagaimana pula efektifitasnya bagi pelaku zina yang beragama Islam di adat Batak Toba?.

Mengenai sanksi yang diberlakukan dalam hukum adat Batak Toba inilah penulis ingin mengangkat judul penelitian yaitu : “SANKSI PERZINAAN DI MASYARAKAT ADAT BATAK TOBA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM .

12


(23)

B. PEMBATASAN DAN RUMUSAN MASALAH 1. Pembatasan Masalah

Masyarakat adat batak toba menganut asas monogami dan tidak boleh berzina. Tapi pada kenyataannya masih banyak yang berpoligami dan berzina. Masalah tersebut penulis batasi pada hukum adat Batak Toba, perzinaan dalam masyarakat adat Batak Toba dan perzinaan dalam hukum Islam.

2. Rumusan Masalah

Dalam masyarakat adat Batak Toba, tidak boleh beristri lebih dari satu dan melakukan zina. Kenyataannya masih banyak yang beristri lebih dari satu dan melakukan zina. Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana sanksi perzinaan di Masyarakat Adat Batak Toba ? 2. Bagaimana sanksi perzinaan di Hukum Islam ?

3. Bagaimana sanksi perzinaan dalam hukum adat Batak toba dalam perspektif hukum Islam?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan mengenai sanksi perzinaan bagi pelaku zina di masyarakat Hukum Adat Batak Toba.

2. Untuk mendeskripsikan mengenai sanksi perzinaan dalam Hukum Islam. 3. Untuk menganalisis sanksi terhadap pelaku zina dalam Hukum Adat Batak


(24)

D. KEGUNAAN PENELITIAN

1. Untuk mengetahui sanksi dalam pelanggaran didalam Hukum Adat Batak Toba, khususnya untuk kasus pezinahan.

2. Untuk mengetahui analisis perbandingan hukum di dalam Hukum adat Batak Toba dan Hukum Islam.

3. Untuk dijadikan rujukan bagi peneliti selanjutnya dalam studi tentang perzinahan didalam hukum positif maupun hukum Adat di Indonesia. E. TINJAUAN KAJIAN TERDAHULU

Pada kajian terdahulu penulis menemukan beberapa judul yang berkaitan dengan skripsi yang penulis buat, antara lain:

1. “Delik Perzinahan Dalam Perspektif KUHP dan Hukum Pidana Islam”. Penulis Ishlah Farid, Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2011. Penulis skripsi ini menemukan bahwa jenis delik zina menurut hukum Islam adalah delik umum atau delik biasa bukan delik aduan. Siapa saja orang yang menyaksikan adanya perbuatan pidana perzinaan, asalkan ia atau mereka dapat menghadirkan empat orang saksi berkewajiban melaporkan perbuatan zina tersebut tanpa menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan (suami atau istri pelaku). Sedangkan tindak pidana perzinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) termasuk dalam kategori Delik Aduan Absolut (mutlak). Menurut hukum pidana Islam hal ini berarti pasal 284 KUHP tidak akan


(25)

berfungsi untuk mencegah terjadinya perbuatan zina dalam masyarakat dan bahkan memberi peluang maraknya perzinaan dalam masyarakat. 2. “Tinjauan Fikih Dan Hukum Positif Terhadap Zina Sebagai Alasan

Menikah”. Penulis Dede Saepuloh, Program Studi Perbandingan Mazhab Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. Penulis skripsi ini menemukan bahwa zina dijadikan alasan seseorang untuk melakukan perkawinan didorong dengan banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya, tidak adanya restu dari pihak orang tua untuk melakukan pernikahan secara sah, namun selain itu kurang kuatnya dasar pengetahuan agama dan moral masyarakat pada masa sekarang ini sehingga terjadi pernikahan karena zina. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pernikahan semacam ini sah dilakukan tetapi cara untuk mendapatkan restu dengan menzinahi telebih dahulu tetap tidak dibenarkan.

3. “Sanksi Hukum Terhadap Delik Overspel (Analisa Perbandingan Pasal 28 KUHP, Hukum Pidana Islam dan Qanun Aceh Tentang Delik Perzinahan). Penulis Yulva Nesri Wahyuni, Program Studi Perbandingan Mazhab Dan Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Syarif Hidayatullah Tahun 2012. Penulis skripsi ini menemukan bahwa, sanksi bagi pelaku

Overspelsama dengan sanksi hukum dalam KUHP yang diberlakukan untuk pelaku zina seperti hukuman cambuk, dipenjara, dan dikenakan denda atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku Overspeltersebut. Sedangkan dalam Hukum Pidana Islam pelaku Overspeldikenakan


(26)

hukuman rajam dan dera seratus kali. Dan Qanunaceh mengancam pelaku

Overspeldengan Hukuman Ta‟zir, yaitu cambuk paling banyak 9 kali dan paling sedikit 3 kali.

Dari uraian beberapa skripsi diatas, penulis yakin bahwa skripsi yang akan disusun oleh penulis tidak akan tumpang tindih karya tulisnya. Dimana dalam penulisan skripsi ini, penulis lebih menitik beratkan pada perzinaan dalam Hukum Adat Batak Toba.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis dan pendekatan penelitian

Dalam rangka memperoleh data yang akurat dan valid maka diperlukan metode yang representatif.Dalam hal ini, penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan umum yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif.Karena, pendekatan kualitatif merupakan pendekatan yang berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut sudut pandang subyek penelitian dan memungkinkan peneliti memahami gejala sebagaimana subyek mengalaminya, memfokuskan pada proses-proses yang terjadi dalam individu, serta lingkungannya sebagai satu kesatuan.Hal ini penting agar dapat diperoleh gambaran utuh dari penghayatan subyek terhadap keadaan yang dialaminya.Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.


(27)

Untuk memperoleh data dalam penelitian, maka penulis menerapkan tekhnik pengumpulan data dengan metode studi dokumentasi yaitu, penulis mengumpulkan data dengan menelusuri bahan pustaka baik dari buku, makalah, ataupun literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

BAB I : memuat tentang pendahuluan yang berisikan Latar Belakang Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : merupakan kajian teoritis mengenai masyarakat adat Batak Toba yang berisikan keadaan sosial masyarakat adat Batak Toba, perzinaan menurut hukum adat Batak Toba dan hukum Positif, macam-macam bentuk sanksi pidana menurut hukum adat Batak Toba dan hukum Islam, dan sanksi perzinaan di hukum adat Batak Toba.

BAB III :merupakan kajian teoritis mengenai hukum pidana Islam yang berisikan mengenai perzinaan menurut hukum Islam, sanksi pidana menurut hukum Islam, dan sanksi perzinaan dan unsur-unsur perzinaan

BAB IV :berisikan tentang analisis sanksi perzinahan di hukum adat Batak Toba menurut pandangan Hukum Islam.


(28)

BAB II

SANKSI PERZINAAN MENURUT HUKUM ADAT BATAK TOBA A. Keadaan Sosial Masyarakat Adat Batak Toba

Batak Toba adalah sub atau bagian dari suku bangsa Batak yang wilayahnya meliputi Balige, Porsea, Parsoburan, Laguboti, Ajibata, Uluan, Borbor, Lumban Julu, dan sekitarnya. Silindung, Samosir, dan Humbang bukanlah Toba. Karena 4 (empat) sub atau bagian suku bangsa Batak (Silindung_Samosir_Humbang_Toba) memiliki wilayah dan contoh marga yang berbeda. Pada Desember 2008, Keresidenan Tapanuli disatukan dalam Provinsi Sumatera Utara.Toba saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Toba Samosir yang beribukota di Balige.Kabupaten Toba Samosir dibentuk berdasarkan Undang-Undang No 12.Tahun 1998 tentang pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal, di Daerah Tingkat I Provinsi Sumatera Utara. Kabupaten Toba Samosir ini merupakan pemekaran dari Daerah Tingkat II Kabupaten Tapanuli Utara

Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup.Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (Genealogi) dan berdasarkan sosiologis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (Genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga.Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan.


(29)

Sistem kekerabatan dalam kehidupan masyarakat batak toba biasanya disebut dengan Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga).Dimana Dalihan Na Tolu ini merupakan suatu kerangka yang meliputi hubungan kekerabatan darah dan perkawinan. Penamaan dan perumusan pihak-pihak yang merupakan dalihan na tolu ini adalah orang-orang yang merupakan keturunan dari seorang kakek yang sama dan yang benar-benar merayakan upacara kekerabatan secara bersama-sama pula.

Dalam ruang lingkup kelompok kecil keluarga, peraturan pertama dan yang utama berlaku disana adalah apa yang dinyatakan oleh suatu pengadilan

Hundulan. “semoga setiap orang sejahtera”. Inilah yang kemudian disebut dengan

adat Parsaripeon (peraturan yang harus diperhatikan oleh semua anggota keluarga). Dengan adanya peraturan ini maka akan mencegah terjadinya ketajaman garis hukum dalam keluarga.

Jika terjadi perselisihan antar orang yang bersaudara atau antar anggota masyarakat, maka hakim yang akan berusaha memulihkan perpecahan dan yang bisa mengembalikan kerukunan yang terganggu tadi. Hakim yang mengetahuinya akan memutuskan persoalan melaluin kompromi, dan kedua belah pihak pun akan segera mereda. Namun, apabila tidak ada indikasi adanya keinginan untuk memperbaiki hubungan maka hakim akan mereka akan diundang untuk makan bersama atau makan bercampur (Mangan Indahan Sinaor) yang disering dilakukan para hakim jika ada perselisihan.


(30)

Dalam masyarakat Batak Toba yang garis keturunannya berdasarkan pada genealogis patrilinial yaitu garis keturunan dari pihak laki-laki atau bapak, maka yang menjadi anggota majelis hakim adalah petua-petua adat menurut garis keturunan laki-laki.Salah satu prinsip dasar hukum tradisinal adalah hukum itu tidak dapat diubah.Hukum itu diibaratkan seperti adat istiadatleluhur yang pertama kali lahir kedunia.Satu konsep yang memuja kearifan nenek moyang yang merumuskan hukum sekaligus mendukung otoritasnya, dimana pada masa itu hukum mendapat kesucian dari pada leluhur.

Prinsip seperti ini tidak berjalan lagi pada masa sekarang, walaupun pada waktu yang lampau masyarakat berpegang teguh pada prinsip ini. Karena pada akhirnya mereka berfikir bahwa apa yang diterapkan dilingkungan tempat tinggalnya berbeda pula dengan daerah lainnya. Umpama perbedaan itu diperlihatkan pada pribahasa berikut :

Muba tano, muba duhut-duhutna, Muba luat, muba uhumna,

Lain bumi, lain rumputnya, Lain daerah, lain pula hukumnya

Jadi, jelaslah bahwa hukum yang berlaku pada didaerah toba berbeda pula dengan daerah lainnya dan tidak boleh pula diberlakukan hukum Batak Toba di daerah lainnya apabila tidak sesuai.

Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan adat adalah ikatan sedarah dalam marga.Dimana marga artinya, misalnya Saragih, kesatuan adatnya adalah marga


(31)

Saragih dengan marga lainnya.Berhubung bahwa adat Batak atau tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.

Secara umum orang Batak Toba menyebut dirinya keturunan raja (anak ni raja). Karena itu mereka semua adalah raja. Namun yang dimaksud adalah raja dalam arti kehormatan. Memang dikenal juga raja yang dikaitkan dengan jabatan, walaupun setelah tidak memegang jabatan struktural itu, yang bersangkutan tetap dipanggil raja namun sudah dalam arti yang umum. Orang Batak Toba mengenal jenis kepemimpinan sebagai berikut :

1. Raja Huta, yakni pemimpin tertinggi di dalam satu huta atau kampung

pemukiman. Secara tradisi biasanya pendiri kampung dipilih rakyatnya menjadi Raja Huta. Kemudian ditentukan siapa yang menjadi raja pandua atau Raja kedua (wakil raja).

2. Raja Horja, yaitu Raja yang memimpin beberapa huta (kampung) yang

bergabung menjadi satu horja. Raja dipilih dari para Raja Huta yang bergabung dalam federasi Horja. Demikian juga wakilnya. De Boer

menyebutkan bahwa Raja Horja adalah kesatuan kolektif pemimpin horja yang bernama Raja Parjolo, Raja Partahidan Raja Pandapotan.

3. Raja Bius, yaitu Raja yang memimpin upacara di dalam satu

persekutuan bius.Raja bius dipilih dari setiap kumpulan Horja. Dinamakan juga Raja Pandapotan dipilih dalam satu rapat warga. Dia berkemampuan memimpin dan menyelenggarakan upacara keagamaan bersama raja


(32)

parbaringin. Bila dia menyelenggarakan pesta Bius, maka Raja-Raja Pandapotan yang lain diundang untuk berpartisipasi.

4. Raja Parbaringin yaitu terdiri dari empat orang yang dipilih anggota

masyarakat dari tiap-tiap bius marga dalam satu rapat khusus. Raja-raja ini merupakan pemimpin-pemimpin upacara kepercayaan keagamaan.

5. Raja Maropat (Toba), adalah para pemimpin yang secara struktural

dibentuk oleh Raja Sisingamangaraja XII, sebagai orang yang sangat dipercayainya dalam segala hal. Mereka berfungsi mewakili Raja Sisingamangaraja dalam pesta bius untuk minta hujan, melawan penyakit kolera atau cacar, maupun pesta taon atau mamele taon yang diselenggarakan sekali setahun saat panen perdana.

Upacara-upacara adat selalu dipimpin oleh orang yang dihunjuk secara demokratis oleh masing-masing pihak (Hasuhuton) yang terlibat adat. Penghunjukan pemimpin upacara adat yang dinamakan juga Raja Parhataatau

Raja Parsinabul (Parsinabung), dengan menanyakan semua keturunan nenek moyang (Marompu-Ompu) secara berurutan menurut senioritas dalam silsilah keturunan. Proses pemilihan pemimpin upacara pada adat kematian, perkawinan dan yang lain adalah sama.Tampaknya penamaan pemimpin di kalangan orang Batak Toba cenderung beragam. Hal ini bisa terjadi karena pemerintahan adat Batak Toba tidak sentralistis, tetapi otonomitis, atau desentralistis. Masing-masing wilayah punya kebiasaan penamaan kepemimpinan sendiri, sesuai dengan latar historis mereka masing-masing. Bahkan tampaknya pada setiap jenis kegiatan ditentukan para pemimpinnya dengan nama sendiri yang dihubungkan dengan


(33)

fungsinya. Misalnya ketika akan membahas pendirian satu perkampungan baru, maka akan hadir dalam rapat atau tonggo raja (sering juga dinamakan marria raja) yang diadakan khusus untuk tujuan itu, Raja Parjolo, Raja Patahi, Raja Huta dan Raja Namora. Mereka adalah pemimpin-pemimpin yang mendiskusikan pembangunan perkampungan baru itu secara musyawarah untuk bermufakat. Setiap hadirin berhak bicara (demokrasi) sesuai dengan jenjangnya. Bila tidak tercapai permufakatan, maka gagasan mendirikan kampung baru itu harus ditunda. Atau bila yang berencana kurang merasa puas, mereka akan mengulangi permohonannya pada kesempatan lain, atau membawanya ke tingkat Horja untuk dipertimbangkan13

Berdasarkan fakta di atas, maka pada masyarakat adat Batak Toba dalam hal pemilihan pemimpin mereka sudah mengenal sistem Demokrasi.Dengan demikian, berdasarkan pendapat Pospisil pendekatan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat adat Batak Toba ialah pendekatan Sosiometrik yang dimana pemimpin itu ditentukan dengan teknik pemilihan anggota dengan perhitungan puluhan. Pendekatan ini mencampuradukan cara pandang antara gejala kepemimpinan yang sedang berjalan (actual) dengan pandangan para anggota kelompok terhadap kepemimpinan itu14

Dengan pendekatan yang bersifat sosiometrik tersebut maka kedudukan yang diperoleh oleh pemimpin dalam adat Batak Toba merupakan kedudukan yang

13

Bungaran Antonius Simanjuntak, Demokrasi Batak Toba, Kepemimpinan, dan Perilaku Hubungan Sosial,http://www.simanjutak.or.id, accces 24 Desember 2013

14

Hilman Hadikusuma, Pengantar Antropologi Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004), h.98


(34)

bersifat achieved status yaitu kedudukan yang hanya dapat diperoleh dengan usaha15 dan bukan merupakan kedudukan social yang bersifat ascribed status

yaitu kedudukan social yang diperoleh dengan sendirinya. 1. Perkawinan

Proses perkawinan dalam adat kebudayaan Batak Toba menganut hukum

Eksogami(perkawinan di luar kelompok suku tertentu). Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba: orang tidak mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (Namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan galur suami di dalam garis lelaki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki.

Ada 2 (dua) ciri utama perkawinan ideal dalam masyarakat Batak-Toba, yakni:

1. Berdasarkan Rongkap Ni Tondi(jodoh) dari kedua mempelai; dan

2. Mengandaikan kedua mempelai memiliki Rongkap Ni Gabe(kebahagiaan,

kesejahteraan), dan demikian mereka akan dikaruniai banyak anak.

Sementara ketidakrukunan antara suami-isteri terjadi apabila Tondimereka tidak bisa lagi hidup rukun (So Olo Marrongkap Tondina) dan itu akan tampak di kemudian hari. Ketidakrukunan ini mungkin akan mengakibatkan terjadinya perceraian. Sebaliknya, sekali mereka sudah melahirkan anak, ikatan antar-pasangan akan semakin kuat dan ikatan cinta semakin kokoh. Hukum eksogami, sebagaimana telah disinggung di atas, bahkan sudah melekat dalam diri setiap

15


(35)

orang Batak Toba hingga sekarang.Maka, kiranya tidak mengherankan, apabila masih ada ketakutan untuk melanggarnya.

Yang termasuk pelanggaran, antara lain Na Tarboan-Boan Rohana(yang dikuasai oleh nafsu-keinginan), yakni orang yang menjalankan sumbang terhadap iboto (saudara perempuan dari anggota marga sendiri). Selain larangan

Marsumbang, hubungan lain yang tidak diperkenankan adalah

Marpadanpadan(kumpul kebo). Marsumbang baru dibolehkan jika perkawinan yang pernah diadakan di antara kedua kelompok tidak diulangi lagi selama beberapa generasi. Jika terjadi pelanggaran terhadap larangan itu, maka pendapat umum dan alat kekuasaan masyarakat akan diminta turun tangan. Ritusnya adalah sebagai berikut: Gondang Mangkuling, Babiat Tumale(gong bertalu-talu, harimau mengaum), artinya rakyat akan berkumpul untuk menangkap dan menghukum si pelaku. Peribahasa yang digunakan untuk semua tindakan yang melanggar susila adalah: “Manuan bulu di lapang-lapang ni babi; Mamungka na so uhum, mambahen na so jadi." (menanam bambu di tempat babi berlalu, tidak taat hukum dan menjalankan yang tabu)16.

Perkawinan yang dilakukan atas pelanggaran dinyatakan batal. Lelaki yang berbuat demikian, serta pihak parboru diwajibkan melakukan pertobatan (Manopoti/Pauli Uhum) atau dinyatakan di luar hukum (Dipaduru Di Ruar Ni Patik), dikucilkan dari kehidupan sosial sebagaimana yang ditentukan oleh adat. Ritusnya adalah sebagai berikut : Pihak-pihak yang melanggar harus mempersembahkan jamuan yang terdiri dari daging dan nasi (Manjuhuti

16

J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Lkis Yogyakarta, Yogyakarta, 2004), h.209.


(36)

Mangindahani). Kerbau atau sapi disembelih demi memperbaiki nama para kepala dan ketua yang tercemar karena kejadian itu. Makanan yang dihidangkan sekaligus merupakan pentahiran (pangurasion) terhadap tanah dan penghuninya17. Berdasarkan pendapat Posposil yang mengatakan bahwa hukum harus memenuhi empat syarat, yakni :

a. Attribute of authority.Atribut otoritas atau kekuasaan menentukan bahwa

aktifitas kebudayaan yang disebut hukum itu adalah keputusan melalui suatu mekanisme yang diberi wewenang dan kekuasaan dalam masyarakat. Keputusan-keuputusan itu memberi pemecahan terhadap ketegangan sosial yang disebabkan karena misalnya ada : (i) serangan terhadap diri individu; (ii) serangan-serangan terhadap hak orang lain; (iii) serangan-serangan-serangan-serangan terhadap pihak yang berkuasa; (iv) serangan-serangan terhadap keamanan umum.

b. Attribute of intention of universal application. Atribut ini menentukan

bahwa keputusan-keputusan dari pihak yang berkuasa itu harus dimaksudkan sebagai keputusan-keputusan yang mempunyai jangka waktu panjang dan harus dianggap berlaku juga terhadap peristiwa-peristiwa dalam masa yang akan datang. c. Attribute of obliogation. Atribut ini menentukan bahwa

keputusan-keputusan pemegang kuasa harus mengandung perumusan dari kewajiban pihak ke satu terhadap pihak kedua, tetapi juga hak dari pihak kedua harus dipenuhi oleh pihak kesatu. Didalam hal ini pihak kesatu dan kedua harus terdiri dari individu-individu yang hidup. Kalau keputusan tidak mengandung perumusan dari kewajiban maupun dari hak tadi, maka keputusan tak akan ada akibatnya dan

17

Wikipedia, Perkawinan Adat Batak Toba, http://wikipedia.com, acces 25 Desember 2013.


(37)

karena itu tidak akan merupakan keputusan hukum dan kalau pihak itu misalnya nenek moyang yang sudah meninggal, maka keputusan yang menentukan kewajiban pihak ke satu ke pihak kedua itu bukanlah hukum, melainkan suatu keputusan yang merumuskan suatu kewajiban keagamaan.

d. Attribute of sanction menentukan bahwa keputusan-keputasan dari pihak

berkuasa itu harus dikuatkan dengan sanksi dalam arti seluas-luasnya. Sanksi itu bisa berupa sanksi jasmaniah berupa hukuman tubuh dan deprivasi dari milik (yang misalnya amat dipentingkan dalam sistem-sistem hukum bangsa-bangsa Eropa), tetapi juga sanksi rohani seperti misalnya menimbulkan rasa takut, rasa malu, rasa dibenci dan sebagainya18 maka ritus-ritus yang di lakukan masyarakat Batak Toba terhadap pelanggaran na tarboan-boan rohana, marsumbang dan

marpadanpadan merupakan hukum adat karena dalam pelaksanaanya terdapat keterlibatan pemimpin (Authority), berlaku umum (Universal), bersifat

Obligationyang dimana masyarakat berhak untuk menangkap dan menuntut pelaku dan perlaku wajib untuk melakukan pertobatan(Manopoti/Pauli Uhum), serta adanya sanksi berupa Manjuhuti Mangindahani.

2. Delik adat

Mengenai hukum pelanggaran digunakan istilah Panguhumon Ta Angka Parsala, yang berarti hukum dalam hal mereka yang berbuat salah, pengadilan terhadap mereka serta hukuman yang dijatuhkan.Sala berarti kesalahan, perbuatan tercela, pelanggaran; Parsala(orang yang melakukan suatu kesalahan, orang yang melakukan pelanggaran).Istilah parsala agak luas penerapanya daripada


(38)

pengaloasi (orang yang menyalahi), karena mangaloasi (menyalahi) yang menyangkut peraturan dan tata tertib yang secara khusus diumumkan sebagai peraturan yang harus dipatuhi, sedangkan parsala dapat juga berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan, dalam arti yang lebih umum19.

Pada zaman dulu kejahatan berat akan dijatuhi hukuman mati atau hukuman penjara. Jika orang yang bersalah tidak mampu membayar denda, maka ia harus diserahkan kepada pihak ketiga atau yang kena cedera yang dapat menjualnya sebagai budak, atau membunuhnya dengan membiarkannya dimangsa oleh hewan buas. Nyawa diganti dengan nyawa (Hosa Ali Ni Hosa), itulah prinsip yang dipegang dalam hal pembunuhan atau penjagalan orang. Orang yang bersalah akan dipasung sambil menunggu keputusan yang dijatuhkan untuknya, hal ini dilakukan sebagai cara dari pihak yang dicederai untuk mendapat tebusan dari kerabat si pelanggar. Tetapi pada masa sekarang hal ini sudah tidak diberlakukan lagi.

Ada banyak tindakan yang termasuk sebagai pelanggaran dalam masyarakat adat Batak Toba, namun akan dibahas tentang tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba. Tindakan penculikan bagi masyarakat Batak Toba tidak hanya merugikan pihak terkait (keluarga korban) juga terhadap kepala dan ketentraman serta kedamaian di dalam masyarakat. Jika terjadi kasus penculikan, tiba-tiba akan terdengar hentak dan tepuk pada lantai batu seperti yang lazim pada suatu tarian, dan orang pun akan mengalir berduyun-duyun untuk memberi bantuan kepada yang empunya hajat. “Kendang bertalu-talu, harimau mengaum”

19


(39)

terdengar pada waktu seluruh wilayah dalam keadaan cemas begitu rupa sehingga semua orang berhimpun untuk memuntahkan perasaan hati. Oleh karena itu, selain pihak yang tersinggung harus menerima pemuasan, kepala jugaharus ikut serta ketika hukuman harus dijalani dengan cara menghidangkan nasi dan daging dan ketika denda dan sebagainya harus dibayar.

Berdasarkan fakta di atas bisa diketahui bahwa Panguhumon Ta Angka Parsalamerupakan hukum karena telah memenuhi 4 tanda hukum, yakni :Authority, Obligation, Universal, dan Sanction20dan memiliki budaya hukum yang bersifat partisipan.

3. Agama

Tanah batak dipengaruhi oleh beberapa agama, seperti Islam dan Protestan. Agama ini masuk pada Abad ke-19. Masyarakat Batak pada umumnya beragama kristen dan hanya sedikit yang memeluk agama Islam. Walaupun demikian masyarakat perdesaan suku Batak tetap mempertahankan agama aslinya.

Orang batak percaya bahwa, yang menciptakan alam semesta ini adalah

Debata(ompung) Mulajadi Na Bolon. Dia tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama sesuai tugasnya. Suku batak memiliki tiga konsep dalam masalah roh,

tondi, sahala, dan begu. Tondi adalah jiwa orang itu sendiri dan sekaligus juga merupakan kekeuatan. Sahala ialah jiwa kekuatan yang dimiliki oleh seseorang yang di dapati melalui pembelajaran. Begu ialah tondinya orang yang meninggal.

20


(40)

B. Pengertian Perzinaan

Bentuk perbuatan hubungan seksual yang dapat dikategorikan tindak pidana zina adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah. Didalam hukum positif hal ini diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada pasal 284, yaitu hubungan seksual atau persetubuhan di luar perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang kedua-duanya atau salah satunya masih terikat dalam perkawinan dengan orang lain.21

Menurut R.Soesilo zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya. Dalam hal ini persetubuhan dilakukan harus dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak.22

Dalam hukum positif terdapat istilah Fornication dan Adultery.Tokoh hukum positif Sue Titus Ried mendefinisikan Fornication sebagai hubungan seksual yang tidak sah antara dua orang yang masing-masing tidak terikat perkawinan.23 Sedangkan Adultery adalah hubungan seksual yang dilakukan antara dua orang yang apabila keduanya atau salah satunya terikat perkawinan dengan orang lain.24

21

Neng Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Diindonesia Ditinjau Dari Hukum Islam , (Jakarta:Kencana, 2010), h.65

22

R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), h.209

23

Djubaedah, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan Diindonesia, h.183

24


(41)

Selain itu, KUHP juga melarang hubungan seksual yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana zina, yaitu persetubuhan laki-laki dengan seorang perempuan yang sedang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. Hal ini sesuai dengan pasal 286 KUHP yang berbunyi :

“ Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Menurut pasal 287 KUHP , seseorang dapat dikategorikan sebagai pelaku zina, yaitu terhadap orang yang melakukan persetebuhan diluar perkawinan dengan seorang perempuan, yang belum berumur 15 tahun. Jika usia perempuan tersebut tidak jelas, maka dapat diketahuinya atau harus diduganya bahwa perempuan tersebut belum waktunya untuk dinikahi. Hukuman yang ditentukan dalam pasal 287 KUHP adalah pidana penjara paling lama 9 tahun.25

Pengertian yang ada didalam KUHP tentu berbeda dengan yang digunakan oleh masyarakat selama ini. Dimana setiap seorang laki-laki dan seorang perempuan yang melakukan persetubuhan diluar ikatan perkawinan yang sah, bisa didefenisikan sebagai tindakan zina tanpa harus dicari tahu lagi apakah laki-laki atau perempuan tersebut sedang berada dalam suatu ikatan perkawinan dengan perempuan atau laki-laki lain. Tentunya hal tersebut berbeda dengan konsep masyarakat indonesia yang religius. Dimana, setiap bentuk perzinan, baik telah terikat perkawinan ataupun belum, merupakan suatu perbuatan yang tabu yang melanggar nilai-nilai kesusilaan.Konsep masyarakat seperti ini tidak dapat berarti banyak jika hukum pidana nasional mendatang tidak mengakomodasi dalam ketentuannya.Para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai

25


(42)

penggunaan istilah pengganti dari zina atau Overspel ini.Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada pendapat yang menggunakan istilah zina, sedangkan pendapat lain menggunakan istilah “mukah” atau “gendak”. Hal ini tampak dalam terjemahan KUHP hasil karya dari Moelyatno, Andi hamzah, R.Soesilo.26

C. Pengertian Sanksi

Sanksi pada umumnya adalah alat pemaksa agar seorang mengerti mengenai norma-norma yang berlaku. Misalnya saja sanksi terhadap pelanggaran norma agama, dimana setiap pelanggar nantinya akan mendapatkan sanksi dineraka. Sanksi terhadap norma kesusilaan ialah, dikucilkan dari pergaulan masyarakat setempatnya. Sanksi terhadap pelanggaran norma kesopanan adalah ia akan mendapatkan perlakuan secara tidak terhormat dan lain sebagainya. Jadi, jelas bahwa sanksi terhadap ketiga kelompok norma tersebut tergantung kepada kesadaran perseorangan, sehingga fungsi alat pemaksa lebih bayak tergantung pada kata hati nurani seseorang.

Oleh karena itu, bagi orang yang tidak terlalu percaya kepada suatu ajaran agama, sering terjadi bahwa ia tidak mempunyai rasa penyesalan atau rasa tergugah, tidak peduli apakah ia akan dianggap baik oleh masyarakat dan tidak mau tahu pula mengenai sopan santun. Akibat dari perilaku tersebut maka akan banyak kepentingan-kepentingan dalam pergaulan hidup manusia kurang mendapatkan perlindungan. Mungkin malahan menjadi bentrokan-bentrokan yang lebih meluas diantara kepentingan-kepentingan.

26


(43)

Karenanya demi ketertiban umum, dirasakan perlu diadakan pengelompokan norma lain yang disebut pula dengan “norma hukum”. Pada norma hukum dikaitkan sanksi yang lebih mengikat sebagai alat pemaksa. Pelaksana “alat pemaksa” itu diserahkan kepada penguasa.

Perbedaan yang menonjol dari sanksi terhadap norma hukum dengan norma yang lainnya adalah sanksi terhadap norma hukum, diserahkan kepada penguasa, sedangkan terhadap norma lainnya tidak. Sanksi terhadap norma hukum berupa berupa hukuman yang dengan segera dapat dirasakan oleh pelanggar. Sedangkan untuk sanksi norma lainnya belum tentu dapat dirasakan oleh pelanggar.

1) Sanksi terhadap norma hukum

Hukum dibagi atas hukum publik dan hukum perdata yang masing-masing dapat dibagi-bagi lagi.Dari pembagian lanjutannya kita mengenal hukum tata negara, hukum administrasi negara atau disebut juga dengan hukum tata usaha negara, hukum pidana, hukum perdata, dan hukum dagang. Terhadap norma-norma hukum tersebut dikaitkan sanksi tertentu kepada norma hukum administrasi dikaitkan sanksi administrasi yang antara lain terdiri dari penundaan kenaikan pangkat, pemindahan tempat atau jabatan, pemberhentian, pemecatan dan lain sebagainya. Kepada norma hukum perdata dikaitkan sanksi ganti rugi, batalnya suatu perjanjian dan sebagainya, dan kepada norma hukum pidana dikaitkan sanksi pidana antara lain: pidana mati, pidana penjara,


(44)

pidana tutupan, pidana kurungan, pidana denda ditambah dengan pidana tambahan tertentu.

Tugas sanksi :

a) Merupakan alat pemaksa atau pendorong atau jaminan agar norma hukum bisa ditaati oleh setiap orang

b) Merupakan akibat hukum bagi seseorang yang melanggar norma hukum.

Dengan demikian sanksi dapat sekaligus merupakan alat preventif, dan dalam hal terjadi suatu pelanggaran norma, ia menjadi alat repressif.

2) Sanksi hukum pidana

Seyogyanya dengan adanya sanksi-sanksi terhadap norma-norma seperti yang telah disebut diatas, termasuk norma hukum, diharapkan sudah akan terjamin pentaatan terhadap norma-norma tersebut. Kenyataannya tidak selalu sesuai dengan pengharapan. Karenanya baik terhadap norma-norma yang sekiranya sudah pernah ada maupun kepada norma-norma yang tidak terdapat dalam kelompok norma tersebut, yang pelanggarannya dirasakan sebagai lebih bersifat merusak kepentingan umum, perlu diadakan sanksi yang lebih berat yang disebut sebagai sanksi pidana. Penentuan sanksi pidana didasarkan pada benar-benar diperlukan adanya alat pemaksa (pamungkas) tertinggi (ultimum remedium) untuk menjamin suatu


(45)

norma. Oleh karena itulah maka hukum pidana sering disebut sebagai benteng dari hukum (Het strafrecht is het citadel van het recht)27

Sanksi pidana dalam perundang-undangan kita adalah : pidanamati, pidana penjara, pidana tutupan, pidana kurungan, dan pidana denda sebagai pidana pokok. Disamping itu, jika perlu ada pidana tambahan yaitu : pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang atau atau pengumuman keputusan hakim. Ketentuan ini terdapat dalam pasal 10 KUHP dan undang-undang no.20 Tahun 1946. Selain daripada itu dikenal pula semacam sanksi berupa “tindakan perbaikan” (maatregel) yaitu apabila seorang anak yang belum cukup umur melakukan suatu tindakan pidana (tertentu), maka ia dapat dikembalikan kepada orang tuanya, atau diserahkan kepada pemerintah untuk dididik-paksa. Perlu diperhatikan bahwa pendidikan paksa terhadap anak-anak yang belum cukup umur sering dirasakan oleh anak itu sendiri, maupun oleh orang tua dari anak tersebut sebagai tindak lebih ringan dari pada sanksi pidana. Demikian juga jika ternyata seorang gila melakukan suatu tindak pidana, dapat diperintahkan supaya ia dimasukkan kedalam rumah sakit jiwa.

3) Sanksi ganda

Ada juga terdapat bahwa terhadap suatu norma hukum pidana dikaitkan dua macam sanksi, dimana salah satu sanksi bukan merupakan sanksi pidana. Pasal 284 KUHP mengatur mengenai

27


(46)

perzinaaan, dikaitkan dalam dua macam sanksi pidana, yaitu sanksi pidana berupa pidana penjara maksimum 9 bulan dan sanksi perdata berupa perceraian atau pisah meja makan dan tempat tidur.

Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan pemberian sanksi pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yaitu :

1) Pembalasan (Revenge)

seseorang yang telah menyebabkan kerusakan dan malapetaka pada orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpakan kepada orang lain.

2) Penghapusan dosa (Ekspiation)

Konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat religius yang bersumber dari Allah.

3) Menjerakan (Detern)

4) Memperbaiki sipelaku tindak pidana kejahatan (Rehabilitation Of The Criminal).

Pidana ini diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku si pelaku tindak pidana agar tidak mengulangi kejahatannya.

D. Macam-macam Sanksi

Pada umumnya sanksi merupakan alat pemaksa agar seseorang itu taat pada norma yang berlaku.28Sedangkan pidana yang merupakan terjemahan dari bahasa

28

P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindak pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatuhan, h. 98-99


(47)

Belanda yaitu “straf” yang berarti hukuman.Hanya saja ada sedikit perbedaan

antara istilah pidana dengan hukuman.Istilah umum untuk segala macam sanksi baik perdata, administratif, disiplin, dan pidana.Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkatian dengan hukum pidana.29

Dengan demikian, sanksi pidana dapat diartikan sebagai suatu alat pemaksa yang mengharuskan seseorang untuk mentaati norma-norma yang berlaku dalam masalah pidana .

Macam-macam sanksi dalam Hukum Adat Batak Toba adalah :

1. Penggantian kerugian materil dalam berbagai rupa misalnya saja seperti paksaan untuk menikahi gadis yang sudah dicemarkan

2. Pembayaran uang adat kepada orang yang tercederai berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani.

3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran aib.

4. Permintaan maaf atau penutup malu

5. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum 6. Hukuman mati atau hukuman badan.

Dalam Hukum Positif, macam-macam sanksi diatur dalam pasal 10 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“ pidana terdiri atas :

29


(48)

a. Pidana pokok : 1. Pidana mati

Pidana ini merupakan pidana yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat, misalnya saja pada pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP), pencurian dengan kekerasan (pasal 365 KUHP), dan pemberontakan yang diatur dalam pasal 124 KUHP.

2. Pidana penjara

Pidana ini mengenai pembatasan kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara atau kurungan. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi :

(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu (2) Pidana penjara selama waktu tertu paling pendek adalah satu

hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut

(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karen yang telah ditentukan dalam pasal 52 KUHP

(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

Ada beberapa sistem dalam pidana penjara, yaitu :

a. Pensylvanian system : terpidana menurut sistem ini dimasukkan dalam sel-sel tersendiri, ia tidak boleh menerima tamu baik dari luar maupun sesama narapidana, ia tidak boleh bekerja diluar sel satu-satunya pekerjaan


(49)

adalah membaca buku suci yang diberikan kepadanya. Karena pelaksanaannya dilakukan di sel-sel maka disebut juga cellulaire system

b. Auburn system : pada waktu malam ia dimasukkn dalam sel secara sendiri-sendiri, pada waktu siangnya diwajibkan bekerja dengan narapidana lainnya, tetapi tidak boleh saling berbicara diantara mereka, biasa disebut dengan silent system.

c. Progressive system : cara pelaksanaan pidana menurut sistem ini adalah bertahap, biasa disebut english/ ire system.30

3. Kurungan

Pidana kurungan ini lebih ringan pula dari pada pidana pejara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehannya membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya : tempat tidur, selimut, dan lain-lain. lamanya pidana kurungan ini telah ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :

(1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun

(2) Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a KUHP.


(50)

4. Denda

hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minum dua puluh sen, sedangkan jumlah maksimum tidak ada ketentuannya. Mengenai hukuman denda telah diatur dalam pasal 30 KUHP

b. Pidana tambahan :

1. Pencabutan hak-hak tertentu

Mengenai pencabutan hak-hak tertentu diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi :

(1) Hak si bersalah, yang boleh dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam undang-undang umum lainnya, adalah :

a. Menjabat segala jabatan atau jabatan tertentu b. Masuk balai tentara

c. Memilih dan boleh dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undang-undang umum

d. Menjadi penasehat atau wali, atau wa;I pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain yang bukan anaknya sendiri

e. Kekuasaan bapak, perwalian, dan pengampuan atas anaknya sendiri

f. Melakukan pekerjaan tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu

Karena suatu putusan perkara mengenai diri terpidana, maka barang yang dirampas itu adalah barang hasil kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini pun diatur dalam pasal 39 KUHP

3. Pengumuman putusan hakim

Hukuman tambahan yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk mengumumkan kepada khalayak ramai (umum) agar dengan demikian masyarakat umum lebih berhati-hati terhadap si terhukum. Biasanya ditentukan oleh hakim dalam surat kabar yang mana, atau berapa kali, yang semuanya atas biaya siterhukum.


(51)

Mengenai cara-cara menjalankan pengumuman putusan hakim dimuat dalam putusan (pasal 43 KUHP).

Selain itu ada juga pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat.Beberapa hal yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pidana tambahan ini (pasal 102 jo.pasal 5 ayat (2) rancangan KUHP) yaitu sebagai berikut :

1. Dalam putusan dapat ditetapkan pemenuhan adat setempat, utamanya jika tindak pidana yang dilakukan menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2. Kewajiban adat tersebut dianggap sebanding dengan pidana denda kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti jika kewajiban adat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana yang dapat berupa pidana ganti rugi.31

E. Sanksi Perzinaan

Dalam mayarakat Batak Toba, ada tiga macam bentuk pelaku zina dan berbeda pula bentuk sanksinya , yaitu :

a. Pelaku zina merupakan laki-laki yang sudah menikah yang berhubungan dengan perempuan yang masih perawan(mangunturi boru atau mangaroaroai32) namun dalam hal ini yang dikenai sanksi nantinya adalah pihak laki-laki karena laki-laki itulah yang sudah berbuat jahat pada perempuan atau gadis itu. Pihak yang bersalah atau laki-laki harus mengakui kesalahannya (manopati salana) dan memberikan selembar kain

ulos kepada perempuan atau gadis itu diatas ni indahan dohot juhut (pada waktu menyantap daging dan nasi), dimana pihak yang menyediakan hidangan itu adalah istri, ibu dan saudara perempuannya. Pada saat

31


(52)

menyantap hidangan tengah berlangsung, ia harus mengakui kesalahannya dan menyatakan jera (mondak jora) dihadapan tunangannya si perempuan (apabila sudah bertunangan), bapak atau saudara laki-lakinya dan para keluarga yang bersangkutan. Mereka ini mengambil bagian dalam hidangan, dan sejumlah uang sebagai pernyataan bahwasanya hak mereka juga ikut dilanggar.

b. Pelaku zina yang sudah beristri kemudian melakukan zina dengan istri orang lain (targombang atau terdege di pinggol ni dalam33).Maka sanksi yang didapatnya adalah suami dari wanita itu mempunyai hak untuk membunuh laki-laki itu. Sedangkan siistri tadi, apabila suaminya bersedia menerimanya kembali maka ia harus membayar sejumlah uang kepada suaminya yang mengandung makna bahwasanya istri (Parboru) telah menyerahkan dirinya dalam keadaan yang sudah bersih pula.

c. Hubungan seksual yang dilakukan antara orang muda, marmainan

(melacur), bertindak sebagai suami-istri sebelum kawin (marpadan - padan34). Sanksi bagi pelaku zina muda-mudi ini ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka pula. Biasanya pelaku ini akan segera dinikahkan. Tetapi, apabila pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan maka hukumannya lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pangurasion

(penyucian) dan menenangkan hati parboru dengn memberikannya piso.

33

Ibid , h.356

34


(53)

BAB III

SANKSI PERZINAAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian perzinaan

Zina menurut bahasa adalah “Bersetubuh dengan perempuan yang

haram”35

Didalam kitab Al- Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu disebutkan mengenai pengertian zina sebagai berikut :

ا

ٍدِحاَو ََْعَِِ ِعْرشلاَو ِةَغللا ِِْ ََِّزل

ِكْلُمْلا َِْْغ ِِ ِلُبُقْلا ِِ َةَأْرَمْلا ُلُجرلا َءَطَو َوُ َو :

ِتَهْ بُشَو

36

ِِ

Zina menurut bahasa dan istilah memiliki satu kesatuan makna, yaitu seorang laki – laki menyetubuhi seorang wanita melalui qubul tanpa adanya hak kepemilikan yang sah (Nikah).

Al- Jurjani mengungkapkan bahwa zina adalah

َا : ََِّزلَا

ٍلاَخ ٍلُبُ ق ِِ ُئْطَوْل

ٍةَهْ بُشَو ٍكْلُم ْنَع

37

memasukkan penis (zakar) ke dalam vagina (farj) bukan miliknya (bukan istrinya) dan tidak ada unsur syubhat atau kekeliruan.

35

Pengertian ini terdapat di dalam kamus Idris Marbawi, didalam kamus tersebut terdapat beberapa makna dari kalimat zina, namun menurut penulis, makna ini adalah makna yang paling tepat, silahkan lihat Kamus Idris Marbawi, juz 1 , h.270

36

Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu, juz 7, h.5349

37


(54)

Lebih lanjut sebagian ulama mazhab mendefenisikan zina menjadi defenisi yang lebih luas, hal ini dapat dilihat sebagaimana ungkapan ulama mazhab Hanafi sebagai berikut :

َو َق

ْد

َذ َك

َر

َلا

َ ِف ي

ُة

َ ت ْع

ِر ْي

ُم ًاف

َط

و

ُ ي ًا

َ ب

ُِّي

َض

َو ِبا

َط

ِّزلا

ََ

ْلا

ُم ْو

َج

َب

ِل ْل

َح

ِّد

َ ف ،

َق ُلا

ْو

ُ :ا

َو

ْلا َو

ْط

ُء

َْلا

َر ُما

ِِ

ُ ق ُب

ِل

ْلا

َم ْر َأ

ِة

َْلا

ي ِة

ْلا

ُم

ْش

َ ت َه

ِةا

ِِ

َح

َلا ِة

ِْاا

ْخ ِت

َي ِرا

ِِ

ََ

ِرا

ْلا

َع ْد

ِل

ِم ،

ْن

ِا ْل َ ت

َز َم

َأ

ْح

َك

ُما

ِْلا

ْس

َل

ُم

َلا ،

ِلا

َع

ْن

َح ِق

ْ ي َق

ِة

ْلا

ُم ْل

ِك

َو ،

َح ِق

ْ ي َق

ِة

ِّلا

َك

ِحا

،

َو َع

ْن

ُش ْ ب

َه ِة

ْلا

ُم ْل

ِك

َو ،

َع

ْن

ُش ْ ب

َه ِة

ِّلا

َك

ِحا

َو ،

َع

ْن

ُش ْ ب

َه ِة

ِْاا

ْش ِت

َب ِا

ِِ

َم ْ

و

ِض

ِع

ِْاا

ْش ِت

َب ِا

ِِ

ْلا

ُم ْل

ِك

َو

ِّلا

َك

ِحا

َِج

ْي

ًاع

38

.

Artinya :Ulama Hanafiyah telah menyebutkan pengertian zina secara jelas serta hal hal yang mewajibkan had atas pelakunya. Zina ialah memasukkan kemaluan laki laki ke faraj perempuan yang hidup, baligh dan berakal, tidak dalam kondisi dipaksa, dilakukan di Negara yang mengatur hukum zina, pelakunya mengetahui hukum islam, tidak ada ikatan pernikahan.

Berdasarkan defenisi diatas, secara tidak langsung ulama Hanafiyah mengungkapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi bagi pelaku zina sehingga dapat dijatuhkan hukuman had padanya. Dengan demikian jelaslah bahwa perbuatan zina pada hakikatnya adalah persetubuhan yang diharamkan, namun untuk menjatuhkan hukuman terhadap pelakunya haruslah dipenuhi beberapa syarat tertentu.

Ulama Malikiyah mendefinisikan zina dengan me-wa-thi-nya seorang laki-laki mukallaf terhadap faraj wanita yang bukan miliknya dilakukan dengan

sengaja.Ulama Syafi‟iyah mendefinisikan bahwa zina adalah memasukkan zakar

38


(55)

ke dalam faraj wanita yang haram dengan tidak subhat dan secara naluri memuaskan hawa nafsu. Sedangkan menurut ensiklopedi hukum Islam, zina adalah “ hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak atau belum diikat dalam perkawinan tanpa disertai unsur keraguan dalam hubungan seksual tersebut”.39

Secara etimologi zina berasal dari kata Bahasa Arab: ْْينْ ي-ىن , artinya:

“berhubungan badan” atau “bersetubuh”.40

Sedangkan secara terminologi bermakna: “hubungan seks (bersetubuh) di luar nikah (tanpa menikah)”. Zina juga bermakna: “hubungan seks (bersetubuh) yang tidak sah (menurut Islam)”41

Pengertian zina (انزلا) adalah persetubuhan antara pria dan wanita yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah menurut agama. Islam memandang perzinaan sebagai dosa besar yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat.Berzina dapat diibaratkan seperti memakai barang yang bukan menjadi hak miliknya. Menurut Ibnu Rusyd dalam bukunya Bidayatu‟l

Mujtahid, Zina adalah setiap pesetubuhan yang terjadi bukan karena pernikahan yang sah, bukan karena semu nikah, dan bukan pula karena pemilikan ( terhadap hamba).42

Hukum Islam memandang setiap hubungan kelamin yang dilakukan diluar pernikahan sebagai zina dan mengancamnya dengan hukuman, baik pelaku itu

39

Abdul Aziz Dahlan, et al, Ensiklopedi hukum islam, jilid 6, cet 1,( Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996), h.2026

40

Kamus al-Munawwir, 2002, h.588

41

Ibid, h.588

42


(1)

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada uraian sebelumnya penulis mengambil beberapa kesimpulan, yaitu :

1. Perzinaan dalam hukum adat Batak Toba adalah persetubuhan yang dilakukan laki-laki dan perempuan diluar perkawinan yang sah, baik itu pelakunya sudah menikah ataupun belum menikah.

Pelaku zina di adat batak toba dibagi menjadi 3 golongan, dimana sanksinya pun berbeda-beda pula, yaitu :

a. Pelaku zina merupakan laki-laki yang sudah menikah yang berhubungan dengan perempuan yang masih perawan(mangunturi boru atau mangaroaroai) namun dalam hal ini yang dikenai sanksi nantinya adalah pihak laki-laki karena laki-laki itulah yang sudah berbuat jahat pada perempuan atau gadis itu. Pihak yang bersalah atau laki-laki harus mengakui kesalahannya (manopati salana) dan memberikan selembar kain ulos kepada perempuan atau gadis itu diatas ni indahan dohot juhut (pada waktu menyantap daging dan nasi), dimana pihak yang menyediakan hidangan itu adalah istri, ibu dan saudara perempuannya. Pada saat menyantap hidangan tengah berlangsung, ia harus mengakui kesalahannya dan menyatakan jera (mondak jora) dihadapan


(2)

tunangannya si perempuan (apabila sudah bertunangan), bapak atau saudara laki-lakinya dan para keluarga yang bersangkutan. Mereka ini mengambil bagian dalam hidangan, dan sejumlah uang sebagai pernyataan bahwasanya hak mereka juga ikut dilanggar.

b. Pelaku zina yang sudah beristri kemudian melakukan zina dengan istri orang lain (targombang atau terdege di pinggol ni

dalam).maka sanksi yang didapatnya adalah suami dari wanita

itu mempunyai hak untuk membunuh laki-laki itu. Sedangkan siistri tadi, apabila suaminya bersedia menerimanya kembali maka ia harus membayar sejumlah uang kepada suaminya yang mengandung makna bahwasanya istri (parboru) telah menyerahkan dirinya dalam keadaan yang sudah bersih pula. c. Hubungan seksual yang dilakukan antara orang muda,

marmainan (melacur), bertindak sebagai suami-istri sebelum

kawin (marpadan - padan). Sanksi bagi pelaku zina muda-mudi ini ditentukan oleh keadaan dan hubungan antar mereka pula. Biasanya pelaku ini akan segera dinikahkan. Tetapi, apabila pemuda meninggalkan perempuan yang sudah digaulinya, atau jika orang tuanya tidak menghendaki perkawinan maka hukumannya lebih berat. Si pemuda wajib membayar ongkos pangurasion (penyucian) dan menenangkan hati parboru dengn memberikannya piso.


(3)

2. Analisa sanksi perzinaan dalam hukum adat Batak Toba menurut hukum Islam adalah cakupan hukum Islam lebih luas dibandingkan hukum adat, dimana pada perkara zina ini masuk dalam hal dosa yang memang bersumber secara langsung dari Allah SWT sedangkan hukum adat berkaitan dengan sanksi adat dan gejala sosial masyarakat setempat yang bersumberkan pada kepercayaan pada leluhur (tondi) terdahulu. Dan sanksi pada setiap hukum adat pun akan berbeda-beda pula disetiap wilayahnya. Dengan demikian hukum adat memiliki otoritas sanksi tergantung kesepakatan adat setempat yang berlaku. Berbeda pula halnya denganhukum Islam yang berlaku bagi umat muslim secara keseluruhan.

B. SARAN

1. Untuk lebih efektifnya pemberian sanksi diperlukan pula peranan penting dari pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Selain itu pembentukan sarana dan prasarana serta pengawasan terhadap masyarakat juga sangat penting mengingat perzinaan semakin marak karena memang pada dasarnya tidak ada sanksi yang berat untuk pelakunya sehingga tidak ada efek jera untuk pelakunya. Jadi sebaiknya sanksi yang diberikan harus lebih tegas lagikarena sanksi yang diberikan tidak relevan untuk masyarakat adat Batak Toba yang memang menjunjung norma susila dan tidak memberikan efek jera sama sekali.


(4)

2. masyarakat adat Batak Toba yang menganut asas Monogami. Tapi, bentuk sanksinya itu kurang tegas mengingat sanksinya hanya berupa peringatan dan denda sehingga tidak memberikan efek jera sama sekali terhadap pelaku. Maka sebaiknya bentuk sanksinya harus lebih ditegaskan agar pemberian sanksi itu memang ditujukan agar pelaku itu jera dan tidak akan mengulanginya lagi dan untuk pembelajaran juga bagi masyarakat agar tidak berani melakukan kesalahan dalam hal yang sama yaitu zina.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman al-juzairi, Al-Fiqh „Ala Madzahib Al-Arba‟ah, beirut: dar al-fikr, cet. Ke-1, jilid V, 1996

Abu al-hasan ali bin muhammad bin habib al-mawardi, Hawi Al-Kabir, beirut: dar al-fikr, jilid XVII, 1994

Abu al-mawabib abdul wahbab bin ahmad bin ali al-anshari al-sya‟rani,

Al-Mizan Al-Kubra, singapura:sulaiman mar‟i.

Al Faruk, Asadulloh Hukum Pidana Dalam Sistem Hukum Islam, Bogor, Ghalia Indonesia,2009

„Ali Al-Jurjani. Kitabu at-Ta‟rifat

Anis Ibrahim,etAl.Al-Mu‟jam Al-Wasith, Juz II, Dar Ihya‟ At-Turats Al-Arabiy, t.t.,

Arief Barda Nawawi, kebijakan hukum pidana Jakarta:kencana, 2011

At-Turmudzi, Sunan At-Turmudzi.Kitab hudud „an Rasulillah No 1343

Audah Abdul Qadir, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamiy, Dar Al-Kitab Al-„Araby, Beirut, t.t.

Az-Zuhaili Wahbah. Al-Fiqhu Al-Islami wa Adillatuhu Bada‟I Shana‟I

Bakr Abu bin Mas‟ud, Bada‟ius Shana‟i.

Dahlan Abdul Aziz, et al, Ensiklopedi hukum islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,1996, cet: I jilid 6

Djazuli A ,Fiqh Jinayah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,1997

Djubaedah Neng, Perzinaan Dalam Peraturan Perundang-Undangan


(6)

---, Pornografi & Pornografi Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta Timur: Penada Media, 2003

Gayus,P.A.F, Suhardi, Hendardi, dan Thamrin Amal Tomagola (lihat KOMPAS, edisi 30/9/2003

Hadikusuma Hilman, Antropologi Hukum Indonesia , Alumni Bandung 2010 ---, Hukum Ketatanegaraan Adat, Alumni Bandung 1981 ---, Pengantar Antropologi Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2004

Hakim Rahmat, Hukum Pidana Islam, Bandung: Cv. Pustaka Setia, 2000 Irfan M.Nurul, Masyrofah,.Fiqh Jinayah ,Jakarta: Amzah, 2013

Kamus al-Munawwir, 2002 Kamus Idris Marbawi

Kanter E.Y, S.R. Sianturi ,Asas-Asas Hukum Pidana Diindonesia Dan

Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, 2002

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008 Lamintang, P.A.F., Delik-Delik Khusus Tindak Pidana-Tindakpidana Melanggar

Norma-Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatuhan

Malik Muhammad Abduh, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Jakarta: Bulan Bintang,2003, cet. Ke-1

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT.Rineka Cipta, 2008

Muslich Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika,2005)cet ke-2

Muslich Ahmad Wardi, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih