Mandailing Shakai Ni okure Uning-Uningan

(1)

MANDAILING SHAKAI NI OKERU UNING –

UNINGAN

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

AHMAD AGUS HARAHAP

NIM 052203045

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN

2009


(2)

MANDAILING SHAKAI NI OKERU UNING –

UNINGAN

KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

AHMAD AGUS HARAHAP

NIM 052203045

Pembimbing, Pembaca,

Eman Kusdiyana, M.Hum

NIP 131763365 NIP 131662152

Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum

Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA

PROGRAM STUDI D3 BAHASA JEPANG

MEDAN


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Bahasa Jepang Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum. NIP 131662152


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada

Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. NIP 132098531

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan. S.S., M. Hum ( )

2. Eman Kusdiyana, M. Hum ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya yang berjudul “MANDAILING SHAKAI NI OKERU UNING-UNINGAN”.

Meskipun banyak kesulitan dalam menulis kertas karya ini karena pengetahuan penulis yang masih terbatas, tetapi berkat bimbingan, bantuan dan pengarahan dari berbagai pihak, terutama dari orang tua penulis, maka penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu penulis dalam menyelesaikan kertas karya ini, terutama kepada:

1. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Bahasa Jepang D3 Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Eman Kusdiyana, M.Hum selaku Dosen Pembimbing yang dengan ikhlas meluangkan waktunya untuk memberi bimbingan dan pengarahan kepada penulis sehingga kertas karya ini dapat diselesaikan

4. Ibu Adriana Hasibuan, S.S, M.Hum selaku Dosen Pembaca 5. Bapak Yuddi Adrian, M.A, selaku Dosen Wali

6. Seluruh staf Pengajar Jurusan Program Studi Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.


(6)

7. Teristimewa kepada kedua orang tua dan keluarga yang telah banyak memberikan dukungan dan doa. Ayahanda P. Harahap dan juga ibunda Latifah Hanum Siregar dan juga kakak saya tercinta Linda Herawati Harahap, Diana Armayanti Harahap dan Leli Fitriani Harahap.

8. Teman-teman terdekat saya Ratih, Mpok, Eddy, Ray, August, AshTree, Amie, LiVe, Dorny dan juga seluruh teman di stambuk ’05 khususnya teman-teman yang mengejar wisuda di bulan Januari 2009. Terima kasih saya ucapkan atas bantuan, dan dukunganya karena telah saling mengingatkan untuk segera menyelesaikan kertas karya masing-masing. Maaf karena saya tidak dapat wisuda bersama kalian.

9. Ayu, Yanti, Icha dan juga teman-teman yang telah wisuda di bulan April 2009. Terima kasih atas toleransinya dan juga kebersamaanya. Saya juga ucapkan beribu maaf karena tidak dapat menepati janji untuk wisuda bersama kalian.

10.Semua pihak yang terkait dan tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah membantu saya sampai menyelesaikan kertas karya ini.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juni 2009 Penulis

NIM : 052203045 AHMAD AGUS HARAHAP


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI… ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING ... 3

2.1 Lokasi ... 3

2.2 Penduduk ... 4

2.3 Religi ... 4

BAB III UNING-UNINGAN DALAM MASYARAKAT MANDAILING...6

3.1 Pengertian Uning-uningan ... 6

3.2 Jenis Uning-Uningan ... 6

3.3 Penggunaan Uning-Uningan ... 8

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 10

4.1 Kesimpulan ... 10

4.2 Saran ... 10


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Batak adalah salah satu suku yang ada di Indonesia yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Namun Batak sendiri memiliki sub-suku salah satu diantaranya adalah Mandailing

Sebagai salah satu sub-suku Batak, Mandailing memiliki ciri khas tersendiri dari sub-suku Batak yang lainnya, walaupun ciri khas tersebut hampir sama dengan ciri khas adat-istiadat sub-suku Batak yang lain karena berasal dari satu rumpun.

Ironisnya dalam era globalisasi sekarang ini bangsa Indonesia cenderung melupakan keanekaragaman ciri khas yang ada di tanah airnya karena terpengaruh oleh derasnya kebudayaan barat yang masuk ke Negara ini. Sebagai contohnya, sebagian dari masyarakat Mandailing zaman sekarang sudah kehilangan minat dan perhatian terhadap akar kebudayaannya, misalnya saja Uning-Uningan yang merupakan warisan dari nenek moyang. Untuk itulah penulis tertarik mengambil judul “Uning-Uningan Dalam Masyarakat Mandailing.”


(9)

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut:

5 Untuk menambah informasi tentang kebudayaan nasional khususnya adat-istiadat masyarakat Mandailing yaitu tentang pengertian Uning-Uningan.

6 Untuk menambah wawasan bagi penulis dan pembaca tentang peranan Uning-Uningan dalam masyarakat Mandailing.

7 Untuk menginformasikan pentingnya nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam adat-istiadat masyarakat Mandailing khususnya dalam pelaksaan Uning-Uningan.

1.3 Batasan Masalah

Kertas karya ini hanya membahas tentang uning-uningan yaitu alat musik atau bunyi-bunyian yang merupakan ciri khas adat Mandailing. Selain itu disertai sedikit informasi tentang masyarakat Mandailing itu sendiri.

1.4 Metode Penulisan

Metode penulisan kertas karya ini, penulis menggunakan suatu metode untuk mengumpulkan data dengan membaca yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Selanjutnya data yang terkumpul kemudian didistribusikan ke sub bab yang ada dalam kertas karya ini.


(10)

BAB II

GAMBARAN UMUM

MASYARAKAT MANDAILING

2.1 Lokasi

Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.

Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di tengah pulau Sumatera. Kabupaten Mandailing Natal berbatasan dengan:

3 Angkola di sebelah utara 4 Pesisir di sebelah barat

5 Minangkabau di sebelah selatan 6 Padanglawas di sebelah timur

Secara geografis Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0010’ – 1050’ Lintang Utara dan 98050’ – 100010’ Bujur Timur. Ketinggian 0 – 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal adalah kira-kira 6.620,70 km2.


(11)

2.2 Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal tahun 2007 yakni 417.590 jiwa. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.

Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan sistem Dalihan Na Tolu atau tiga tumpuan. Artinya mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora(kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara).

Penduduk Mandailing Natal sangat terikat dan percaya dengan susunan dari bawah hingga atas yang berdasarkan dari latar belakang kemasyarakatan. Orang-orang sangat hormat kepada pendiri silsilah dan jabatan. Daerah Mandailing Natal mempunyai majelis sendiri, pemimpin yang dipilih berdasarkan dari warisan nenek moyang mereka. Pemimpin berkewajiban memimpin organisasi yang menyusun dan memimpin acara-acara tradisional dan mendirikan hukum-hukum yang berhubungan dengan warisan, pewarisan dan perkawinan.

2.3 Religi

Orang Mandailing hampir 100% penganut agama Islam. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris sebagian besar di antara mereka hanya memakai hukum Islam.


(12)

dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksanaan agama, maka adat itu harus dikesampingkan.


(13)

BAB III

UNING-UNINGAN DALAM

MASYARAKAT MANDAILING

3.1 Pengertian Uning-uningan

Uning-uningan adalah alat musik atau bunyi-bunyian yang terdapat dalam adat Mandailing. Orang Mandailing mempunyai ungkapan yang berbunyi uning-uningan ni ompunta na parjolo sundut i. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun. Jika uning-uningan dibunyikan biasanya dibarengi dengan tor-tor atau tarian adat.

3.2 Jenis Uning-Uningan

Adapun jenis uning-uningan yang paling sering dibunyikan pada saat acara adat adalah sebagai berikut:

a. Gondang Tunggu-tunggu Dua

Gondang tunggu-tunggu dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk

barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Gondang tunggu-tunggu dua ini

dibunyikan cukup dipukul dengan tangan. Gondang tunggu-tunggu dua juga sering disebut dengan gondang boru, gondang dua atau gondang topap.


(14)

b. Gordang Sambilan

Sesuai dengan namanya. Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang yang ukurannya lebih besar dari gondang tunggu-tunggu dua. Ukuran gordang sambilan panjang dan besarnya berbeda satu dengan yang lainnya. Garis penampang yang paling besar skitar 60 cm.

Gordang sambilan terbuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang dengan menggunakan pemukul khusus yang terbuat dari kayu. Tabung resonansi dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan gendang dari gordang sambilan ini mempunyai klasifikasi sesuai dengan besar kecilnya. Yang paling besar disebut dengan jangat, sedangkan yang memukulnya disebut pajangati. Gendang yang ukurannya dipertengahan disebut dengan

panigai dan udong-kudong, lalu yang paling kecil disebut dengan tepe-tepe.

c. Ogung (gong)

Ogung dibunyikan mengikuti irama gondang tunggu-tunggu dua maupun gordang sambilan. Ogung ini terdiri dari dua jenis yaitu jantan dan betina yang dibunyikan secara bergantian.

Selain itu ada juga ogung yang lebih besar dan suaranya lebih bergaung. Jenis ogung ini biasanya digantung di beranda rumah Raja Panusunan atau Raja Pamusuk (bagas godang) yang dibunyikan untuk menyambut tamu yang dihromati sebagai pemberitahuan atau untuk memberitahukan ada kabar yang tidak baik atau marabahaya.


(15)

3.3 Penggunaan Uning-uningan

Gondang tunggu-tunggu dua dan gordang sambilan dibunyikan pada saat pesta adat. Jika gordang sambilan dibunyikan untuk memeriahkan pesta, sedangkan gondang tunggu-tunggu dua dibunyikan sekaligus untuk mengiringi tor-tor atau pada arak-arakan penganten dan juga moncak atau pencak silat.

Gordang sambilan maupun gondang tunggu-tunggu dua baru dapat dibunyikan pada horja siriaon atau acara pernikahan tradisional, jika sudah dipenuhi persyaratan adat dan memotong seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur.

Sebelum agama Islam berkembang di Mandailing, dahulunya gordang sambilan juga digunakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai cara untuk memanggil roh-roh yang disebut paturun sibaso atau pasusur begu untuk meminta petunjuk atau nasehat atas penyebab bencana yang terjadi, misalnya wabah penyakit menular dan bencana alam. Cara memukulnya dengan suatu upacara khusus dan irama khusus pula. Melalui perantara medium yang disebut sibaso dan seorang datu yang merupakan tokoh supranatural sebagai pemimpin ritual tersebut melakukan komunikasi dengan sibaso

untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu gordang sambilan dapat digunakan untuk meminta hujan turun ketika terjadi kekeringan yang cukup parah, dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.

Oleh karena tujuan memanggil sibaso bertentangan dengan agama Islam, maka membunyikan gordang sambilan tidak boleh bertentangan dengan tujuan membunyikannya, yaitu untuk memeriahkan upacara-upacara siriaon atau upacara perkawinan.


(16)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

4 Orang Mandailing berpendapat adat tidak boleh bertentangan dengan agama. 5 Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat

etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.

6 Uning-uningan merupakan seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun.

7 Uning-uningan biasanya dibarengi dengan tor-tor.

8 Uning-uningan atau bunyi-bunyian ini tidak boleh setiap saat dibunyikan. 9 Uning-uningan hanya dapat dibunyikan pada saat acara adat tertentu.

10 Gordang sambilan dapat digunakan untuk memanggil roh-roh yang disebut

paturun sibaso atau pasusur begu.

4.2 Saran

11.Sebagai generasi muda bangsa Indonesia kita harus lebih memperdalam pengetahuan kita tentang adat-isitadat yang ada di sekitar kita agar tidak hilang tergerus oleh modernisasi.

12.Kita harus merawat dan melestarikan peninggalan dari kebudayaan-kebudayaan zaman dahulu seperti uning-uningan atau alat musik khas Mandailing agar generasi penerus dapat mengetahui dan mempelajari asal-muasal sejarah adat-istiadatnya.


(17)

13.Sebaiknya kita tidak hanya mempelajari kebudayaan-kebudayaan baru tapi juga jangan melupakan kebudayaan yang telah diwariskan nenek moyang kita karena kebudayaan dari nenek moyang kita adalah ciri khas bangsa Indonesia.


(18)

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan

Zaman. Forkala Sumut. Medan.

Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna. 1993.

Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.


(1)

BAB III

UNING-UNINGAN DALAM

MASYARAKAT MANDAILING

3.1 Pengertian Uning-uningan

Uning-uningan adalah alat musik atau bunyi-bunyian yang terdapat dalam adat Mandailing. Orang Mandailing mempunyai ungkapan yang berbunyi uning-uningan ni ompunta na parjolo sundut i. Artinya, seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun. Jika uning-uningan dibunyikan biasanya dibarengi dengan tor-tor atau tarian adat.

3.2 Jenis Uning-Uningan

Adapun jenis uning-uningan yang paling sering dibunyikan pada saat acara adat adalah sebagai berikut:

a. Gondang Tunggu-tunggu Dua

Gondang tunggu-tunggu dua terdiri dari dua buah gendang dua sisi berbentuk

barrel yang masing-masing dimainkan oleh satu orang. Gondang tunggu-tunggu dua ini

dibunyikan cukup dipukul dengan tangan. Gondang tunggu-tunggu dua juga sering disebut dengan gondang boru, gondang dua atau gondang topap.


(2)

b. Gordang Sambilan

Sesuai dengan namanya. Gordang Sambilan terdiri dari sembilan buah gendang yang ukurannya lebih besar dari gondang tunggu-tunggu dua. Ukuran gordang sambilan panjang dan besarnya berbeda satu dengan yang lainnya. Garis penampang yang paling besar skitar 60 cm.

Gordang sambilan terbuat dari kayu ingul dan dimainkan oleh empat orang dengan menggunakan pemukul khusus yang terbuat dari kayu. Tabung resonansi dibuat dengan cara melobangi kayu, dan salah satu ujung lobangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membran yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.

Kesembilan gendang dari gordang sambilan ini mempunyai klasifikasi sesuai dengan besar kecilnya. Yang paling besar disebut dengan jangat, sedangkan yang memukulnya disebut pajangati. Gendang yang ukurannya dipertengahan disebut dengan

panigai dan udong-kudong, lalu yang paling kecil disebut dengan tepe-tepe.

c. Ogung (gong)

Ogung dibunyikan mengikuti irama gondang tunggu-tunggu dua maupun gordang sambilan. Ogung ini terdiri dari dua jenis yaitu jantan dan betina yang dibunyikan secara bergantian.

Selain itu ada juga ogung yang lebih besar dan suaranya lebih bergaung. Jenis ogung ini biasanya digantung di beranda rumah Raja Panusunan atau Raja Pamusuk (bagas godang) yang dibunyikan untuk menyambut tamu yang dihromati sebagai pemberitahuan atau untuk memberitahukan ada kabar yang tidak baik atau marabahaya.


(3)

3.3 Penggunaan Uning-uningan

Gondang tunggu-tunggu dua dan gordang sambilan dibunyikan pada saat pesta adat. Jika gordang sambilan dibunyikan untuk memeriahkan pesta, sedangkan gondang tunggu-tunggu dua dibunyikan sekaligus untuk mengiringi tor-tor atau pada arak-arakan penganten dan juga moncak atau pencak silat.

Gordang sambilan maupun gondang tunggu-tunggu dua baru dapat dibunyikan pada horja siriaon atau acara pernikahan tradisional, jika sudah dipenuhi persyaratan adat dan memotong seekor kerbau jantan yang sudah cukup umur.

Sebelum agama Islam berkembang di Mandailing, dahulunya gordang sambilan juga digunakan oleh nenek moyang orang Mandailing sebagai cara untuk memanggil roh-roh yang disebut paturun sibaso atau pasusur begu untuk meminta petunjuk atau nasehat atas penyebab bencana yang terjadi, misalnya wabah penyakit menular dan bencana alam. Cara memukulnya dengan suatu upacara khusus dan irama khusus pula. Melalui perantara medium yang disebut sibaso dan seorang datu yang merupakan tokoh supranatural sebagai pemimpin ritual tersebut melakukan komunikasi dengan sibaso

untuk mengetahui penyebab bencana sekaligus solusinya. Selain itu gordang sambilan dapat digunakan untuk meminta hujan turun ketika terjadi kekeringan yang cukup parah, dengan maksud agar aktivitas pertanian dan kehidupan masyarakat dapat pulih kembali.

Oleh karena tujuan memanggil sibaso bertentangan dengan agama Islam, maka membunyikan gordang sambilan tidak boleh bertentangan dengan tujuan membunyikannya, yaitu untuk memeriahkan upacara-upacara siriaon atau upacara perkawinan.


(4)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

4 Orang Mandailing berpendapat adat tidak boleh bertentangan dengan agama. 5 Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat

etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.

6 Uning-uningan merupakan seni musik dari para leluhur, yang diwariskan secara turun-temurun.

7 Uning-uningan biasanya dibarengi dengan tor-tor.

8 Uning-uningan atau bunyi-bunyian ini tidak boleh setiap saat dibunyikan. 9 Uning-uningan hanya dapat dibunyikan pada saat acara adat tertentu.

10 Gordang sambilan dapat digunakan untuk memanggil roh-roh yang disebut

paturun sibaso atau pasusur begu.

4.2 Saran

11.Sebagai generasi muda bangsa Indonesia kita harus lebih memperdalam pengetahuan kita tentang adat-isitadat yang ada di sekitar kita agar tidak hilang tergerus oleh modernisasi.

12.Kita harus merawat dan melestarikan peninggalan dari kebudayaan-kebudayaan zaman dahulu seperti uning-uningan atau alat musik khas Mandailing agar generasi penerus dapat mengetahui dan mempelajari asal-muasal sejarah adat-istiadatnya.


(5)

13.Sebaiknya kita tidak hanya mempelajari kebudayaan-kebudayaan baru tapi juga jangan melupakan kebudayaan yang telah diwariskan nenek moyang kita karena kebudayaan dari nenek moyang kita adalah ciri khas bangsa Indonesia.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Forkala Sumut. Medan.

Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anakboruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.