Keaslian Penulisan Tinjauan Kepustakaan

4. Manfaat Penulisan

1. Secara teoritis, kiranya kehadiran skripsi ini mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengembangan ilmu hukum pidana khususnya mengenai penegakan tindak pidana korupsi dalam kajian tentang kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan. Kiranya skripsi ini juga mampu memenuhi hasrat keingintahuan para pihak yang ingin ataupun sedang mendalami pengetahuan mengenai Penegakan tindak pidana korupsi, baik itu mahasiswa, akademisi, maupun masyarakat luas. 2. Secara praktis, manfaat dari skripsi ini dapat memberikan informasi hukum kepada semua kalangan, terutama dalam hal penegakan hukum tindak pidana korupsi, jika dikaitkan dengan kewenangan Komisi Pemberatasan Korupsi KPK dikaitkan dengan kewenangan kejaksaan, dan membandingankannya dengan beberapa negara di dunia serta memberikan masukan bagi para pengambil kebijakan di bidang penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi, dalam hal pembentukan dan penerapan undang-undang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi agar lebih baik di kemudian hari.

5. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui orisinalitas penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi berjudul Eksistensi Komisi Pemberatasan Korupsi KPK Dalam Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia Kajian Tentang Kewenangan Penuntutan yang dimiliki KPK dan Kejaksaan , penulis terlebih dahulu melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan 29 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara melalui surat tertanggal 12 Januari 2015 terlampir menyatakan tidak ada judul yang sama. Penulisan skripsi ini juga menelusuri berbagai judul karya ilmiah melalui media internet, dan sepanjang penelusuran yang penulis lakukan, belum ada penulis lain yang pernah mengangkat topik tersebut. Sekalipun ada, hal itu adalah diluar sepengetahuan dan tentu saja substansinya berbeda dengan substansi dalam skripsi ini. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran Penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori, dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

6. Tinjauan Kepustakaan

1. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi Istilah korupsi 30 berasal dari Bahasa Latin “corupptio”,”corrupption” Ing gris dan “coruuptie”Belanda, arti harfiahnya menunjuk pada perbuatan 29 Dalam penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan studi kepustakaan, perpustakaan merupakan lembaga yang paling banyak berperan dalam proses penelitian tersebut. http:bahasa.kemdiknas.go.idkbbiindex.php, diakses pada 11 maret 2015, pada pukul 20.00 WIB, Perpustakaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1 tempat, gedung, ruang yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku dsb; 2 koleksi buku, maajalah, dan bahan kepustakaan lainnya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan. 30 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictioanary, Six Edition, St.Paul Minesota : West Group, 1990 Korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan yang rusak, busuk, dan tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan. 31 Dalam pengertian lain, korupsi dapat diartikan sebagai berikut : Corupption exist individual illicity puts personal interest above those of the people and ideals he or she is pledged to serve. It comes in many forms and can renge from trivial to monumental. Corupptio can involve the misuse of policy instruments, tariffs, and credit, irrigation system and housing policie, the enforecement of laws and rules regarding public safety, the observance of contracts, and the repayment of loans or of simple procedures. It can occur in the private sector or public one of the often occurs in both simultaneously. It can be rare or widespread; in some developing countries, corruption has became systemic. Corupption can involve promises, threats, or both; can be initiated by a public servant or an interested client; can entail acts of omission or commission; can involeve illicit or licit services; can be inside or outside the public organization. The boundaries of corruption are hard to define and depend on local lwas customs. The first task of policy analysis is to disagggregat the type of corrupt and illicit behaviours in the situation at hand and look at concrete examples. Korupsi ada apabila seorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diatas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat bervariasi dari hal yag kecil sampai monumental. Korupsi dapat melibatkan penyalahgunan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, penegakan hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum, pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan prosedur yang sederhana. Hal itu dapat terjadi pada sektor swasta atau sektor public dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya; pada sejumlah negara yang sedang berkembang, korupsi telah menajdi sistemik. Korupsi dapar melibatkan janji; ancaman atau keduanya; dapat dimulai oleh seorang pegaawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan, dapat mencakup perbuatan tidak melakukan atau melakukan; dapat melibatkan pekerjaan yang sah maupun yang tidak sah; dapat di dalam atau diluar organisasi publik. Batasan-batasan korupsi yang sulit didefenisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan. Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan melihat pada contoh- contoh yang konkrit 32 . jabatannya atau karakternya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. 31 Sudarto, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia , Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1976 h.11 32 Kimberly Ann Elliot, Corruption and The Global Economy, terjemahan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, h.11. Dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang tindak pidana korupsi, yaitu berawal dari keluarnya Peraturan No. PRTPM 061957 tentang Pemberantasan Korupsi dan PRTPERPU0131958 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi dan Pemilikan Harta Benda dari Kepada Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat, kemudian secara berturut-turut mengalami perubahan 4 empat kali, yaitu : 1. Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi yang menjadi Undang-undang berdasarkan Undag-undang Nomor 24 Tahun 1961. 2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 3. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- undang Nomor 31 Tahun 1999. 33 Dalam pengertian yuridis, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2001, memberikan batasan yang dapat dipahami dari bunyi teks pasal-pasal, kemudian mengelompokkannya kedalam beberapa 33 Indrianto Seno Adji, Tindak Pidana Suap: Kearah Hukum Pidana yang Ekstensif, dalam Gagasan dan Pemikiran tentang Pembaharuan Hukum Nasional-Vol II Jakarta: Departemen Kehakiman dan HAM RI, 2003,h.5. rumusan delik 34 . Jika dilihat dari kedua Undang-undang diatas, dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara Pasal 2,3, Undang-undang Nomor 32 Tahun 1999. 2. Kelompok delik penyupan, baik aktif yang menyuap ataupun pasif yang menerima suap Pasal 5,11,12,12B Undang-udang Nomor 20 Tahun 2001 3. Kelompok delik penggelapan Pasal 8, 10 Undang-undang Nomo 20 Tahun 2001. 4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan Pasal 12e dan f Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. 5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborongan, leveransir, dan rekanan Pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. 35 2. Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. 36 Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya 34 Soejono Dirdjosisworo, Fungsi Perundang-undangan Pidana Penaggulangan Korupsi Di Indonesia , Bandung: Sinar Baru,2001, h.23 Dengan pengelompokan diatas penting artinya bagi apparat penegak hukum, dengan memahami hal tersebut diharapkan segala tindakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi kan terwujud, baik dalam bentuk pencegahan preventif maupun tindakan represif, pembetantasan korupsi tidak hanya memberikan efek jera deterrence effect bagi pelaku, tetapi juga berfingsi sebagai daya tangkal prevency effect 35 Chaerudin.dkk, op.cit.,h.4 36 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pasal 19 ayat 1 dibidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan. 37 Mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan R.I., Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme KKN. Di dalam UU Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan RI sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan 38 harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. 39 Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap provinsi. UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara Dominus Litis, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah 37 Ibid. Pasal 18 38 Hussein Alatas, Sosiologi Korupsi, Jakarta: LP3S, 1999, h.37, Penuntutan dalam artu luas merupakan penyerahan berkas perkara si tersangka kepada hakim dan sekaligus supaya diserahkan kepada sidang pengadilan ferwijzing naar de terechtizitting 39 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, op.cit., Pasal 2 ayat 2 suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana executive ambtenaar . Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang. 40 Kejaksaan dalam kurun waktu sebelum berdirinya negara Republik Indonesia, yaitu : 1. Kejaksaan di zaman sebelum penjajahan Diawali pada zaman kerajaan Hindu-Jawa khususnya pada zaman kerajaan Majapahit yang menunjukkan ada beberapa jabatan di negara tersebut yang dinamakan Dhyaksa Hakim Pengadilan, Adhyaksa Hakim Tertinggi, dan DarmaDhyaksa mempunyai tiga arti 41 : a. Pengawas tertinggi dari kerajaan suci. b. Pengawasan tertinggi dalam hal urusan kepercayaan c. Ketua pengadilan 2. Kejaksaan di zaman penjajahan a. Kejaksaan di zaman VOC b. Zaman pemerintahan Daendels 40 Ibid. Pasal 30 ayat 2 41 Kusumadi Poedjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Aksara, 1971, h.49 c. Zaman Rafless d. Zaman Hindia Belanda e. Zaman pemerintahan bala tentara pendudukan Jepang 3. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia merdeka Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang di perjelas oleh Peraturan Pemerintah PP No.21945 sejak berdirinya Kejaksaan RI secara Yuridis-Formal adalah bertepatan dengan saat mulai berdirinya negara RI ialah tanggal 17 Agustus 1945.Dengan demikian, maka perihal penempatan Kejaksaan dalam lingkungan Departemen Kehakiman yang diputuskan dalam rapat PPKI pada tanggal 19 Agustus 1945 cukup memiliki dasar. Istilah Kejaksaan secara resmi digunakan oleh UU pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 11942 yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.31942, No.21944 dan No.491944. Sejak tahun 1946 hingga tahun 1968 kantor Kejaksaan Agung tercatat lebih dari 6 kali berpindah tempat, terakhir pada tanggal 22 Juli 1968 dari Jalan Imam Bonjol 66 Jakarta ke gedungnya yang permanen di Jalan Sultan Hasanuddin No.1 Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Pada gedung yang baru ini peletakan batu pertamanya pada tanggal 10 November 1961 dilakukan oleh Jaksa Agung ke VI adalah Mr. Goenawan yang diresmikan pada tanggal 22 Juli 1968 oleh Jaksa Agung ke IX adalah Soegih Arto. 4. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia Serikat Di zaman Republik Indonesia Serikat, dari tanggal 29 Desember 1949 sampai 17 Agustus 1950. Untuk memenuhi ketentuan pasal 159 KRIS mengenai pengaturan pengadilan di lingkungan ketentaraan dikeluarkan UU Darurat No.61950 yang mulai berlaku tanggal 31 Maret 1950. Dilihat sepintas nampak bahwa UU No.51950 tidak banyak berbeda dengan PP No.371948 sebagaimana telah diubah dan ditambah yang pernah berlaku di negara RI. 42 5. Kejaksaan di zaman Republik Indonesia kesatuan Setelah dibubarkannya RIS dan berdirinya negara kesatuan tidak segera terjadi perubahan dalam peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang berlaku bagi penegakan hukum dan disiplin dalam lingkungan ketentaraan di zaman RIS. Dengan demikian maka kedudukan jaksa serta peranannya dalam badan-badan peradilan ketentaraan tidak berubah pula. Perubahan-perubahan baru terjadi pada tahun 1954 dan 1958 dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pengadilan ketentaraan dengan Undang-unangU No.291954 tentang pertahanan negara RI dan Undang-Undang Darurat No.11958. 6. Kejaksaan di zaman setelah dekrit Pada tanggal 22 Juli 1960, kabinet dalam rapatnya memutuskan bahwa kejaksaan menjadi departemen dan keputusan tersebut dituangkan dalam surat Keputusan Presiden RI tertanggal 1 Agustus 1960 No.2041960 yang berlaku sejak 22 Juli 1960. Dengan demikian tanggal 22 Juli ini merupakan pancangan tonggak sejarah yang mempunyai nilai penting bagi Kejaksaan, sebab bukan hanya secara formal dan material saja Kejaksaan menjadi departemen tersendiri, tetapi lebih jauh dari pada itu mempunyai dasar yang bernilai spiritual. 7. Kejaksaan di zaman orde baru 42 KPK, POLRI, dan Kejaksaan Sebagai Penegak Hukum Tindak Pidana Korupsihttp:ardhie.infowp-contentuploads200910KPK--POLRI--KEJAKSAAN, diakses pada tanggal 20 Desember 2014 pada pukul 23 WIB. Situasi dan kondisi nasional pada umumnya dan bidang penegakkan hukum pada khususnya telah banyak mengalami perubahan setelah diundangkannya Undang-undang U Pokok Kejaksaan tanggal 30 Juni 1961 43 , terutama setelah kelahiran orde baru pada tanggal 11 Maret 1966 dan khususnya setelah Sidang Umum IV MPRS, yang kemudian disusul dengan tersusunnya DPR pada tahun 1972, 1977 dan 1982 serta MPR pada tahun 1973, 1978 dan 1983. Melalui kerangka yang telah dipaparkan diatas merupakan perspektif dari lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia khususnya KPK dan Kejaksaan RI. Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 44 Pada masa awal Orde Baru, melalui pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan demokrasi yang terpusat ke istana. Pidato itu seakan memberi harapan besar seiring dengan dibentuknya Tim Pemberantasan Korupsi TPK, yang diketuai Jaksa Agung. Namun, ternyata ketidakseriusan TPK mulai dipertanyakan dan berujung pada kebijakan Soeharto 43 Daniel S.Lev, Hukum dan Politik Indonesai, Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta: LP3SE, 1990, h.6. 44 Romli Atmasasmita, Pembentukan Komisi Idependen Anti Korupsi: Paradigma Baru dalam Pemberantasan Koruspi , makalah yang disampaikan dalam sosialisasi persiapan Pembentukan Komisi Pemeberantasan Korupsi, Kerja Sama Bank Pembanguan Asia Departemen Kehakiman dan HAM RI, Bandung,2000, h.2 untuk menunjuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof Johannes, I.J. Kasimo, Mr Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dengan tugas utama membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. 45 Empat tokoh bersih ini jadi tanpa taji ketika hasil temuan atas kasus korupsi di Pertamina, misalnya, sama sekali tidak digubris oleh pemerintah. Lemahnya posisi komite ini pun menjadi alasan utama. Kemudian, ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Operasi Tertib Opstib dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Perselisihan pendapat mengenai metode pemberantasan korupsi yang bottom up atau top down di kalangan pemberantas korupsi itu sendiri cenderung semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Opstib pun hilang seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru 46 Di era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan mengeluarkan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara KPKPN, KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi TGPTPK melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK 45 Indriayanto Seno Haji, Problematika Korupsi dan Antisipasi Melalui Sistem Hukum Pidana: Media Hukum, Vol.2 No.8 tanggal 22 November 2003 Jakarta: Persatuan Jaksa RI, 2003, h.60 46 Ibid. h.65 akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999. Nasib serupa tapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK. 47 3. Sistem Peradilan Pidana dan Penegakan Hukum Romli Atmasasmita mengartikan sistem peradilan pidana 48 sebagai suatu istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penaggulangan kejahatan dengan menggunakan pendekatan sistem. 49 Sebagai sistem, peradilan pidana mengenal tiga pendekatan, yaitu pendekatan normatif 50 , administratif, dan sosial. 51 Pendekatan normatif memandang unsur aparatur penegakan hukum 47 Daniel S,Lev., op.cit.,h.10 48 Mardjono Reksodipoetra, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batasan-batasan toleransi ,Dalam Pidato Pengukuhan pada upacara Penerimaan Jabatan Gurubesar pada Fakultas Hukum di Indonesia, 30 Oktober 1993, Bahwa sistem peradilan pidana criminal justice system adalah suatu sistem masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. 49 Romli Atmassamita, Sistem Peradilan Pidana: Prespektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme , Bandung: Putra Abardin, 1996, h.14 50 Packer Herbert, The Limits of The Criminal Sanction –terjemahan Inggris : Stanford University Press, 1986 Packer membedakan pendekatan tersebut dalam dua medol yaitu crime control model dan due process model, pecker mengemukan bahwa, suatu pendekatan pragmatis atas pertanyaan mendasar mengenai tujuna baik dengan adanya hukum pidana memerlukan suatu penyelidikan secara umum tentang apakah suatu proses peidana merupakan suatu kendali sosial yang memili kecepatan tinggi atau rendah dan penyelidikan lanjut dan bersifat khusus mengenai kemampuannya untuk mengatasi perilaku anti-sosial, bertitik tolak dari kedua prasyaratan tersebut memerluka n suatu pemahaman mengenai “criminal process”. Satu-satunya cara untuk melaksanakan tugas tersebut adalah dengan mengabstraksikan kenyataan dan membangun sebuah model. Model yang hendak dibangun adalah: 1 yang memliki kegunaan sebagai indek dari suatu pilihan masa kini tetang bagaimana suatu sisem diimplementasikan 2 dan sebuah model yang terbentuk dari usaha untuk membedaka secara tajam hukum dalam buku teks dan mengungkapakan seakurat mungkin apa yang sedang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari, dan 3 sebuah model yang dapat dipergunakan untuk mengenali secara ekplisit pilihan nilai yang melandasi rincian suatu “criminal proses ”. bentuk model yang cocok untu mencapai ketiga hal tesebut adalah model-model normatif. Packer menegaslan bahwa aka nada lebih dari dua model saja. Kedua model tersebut merupakan antinomy yang normative dari lubuk trdalam hukum pidana. Kedua model tersebut, the due process model dan crime control model. 51 Ibid.h.17, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan, dan Advokat, sebagai institusi pelaksanaa peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan sistem peradila pidana, termasuk didalamnya adalah peraturan perundang-udangan itu sendiri. Pendekatan administratif memandang para aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi menajemen yang memiliki mekansime kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun bersifat vertikal sesuai dengan struktrur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, dalam artian proses dalam menjalankan fungsi masing-masing. Sedangkan pendekatan sosial memandang aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan sari suatu sistem sosial, sehingga masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari para aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya, diterjemahkan sebagai proses pengawasan terhadap jalannya proses penegakan hukum. Sebelum berlakunya KUHAP, sistem peradilan 52 pidana Indonesia dilandaskan pada Het Herzine Inlaands Reglement HIR stbld. 1941 nomor 44. Sejak Tahun 1981, namun dengan berlakunya KUHAP telah membawa perubahan yang fundamental baik secara konsepsional maupun implementasi terhadap tata cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia. 53 52 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan , Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h.9, Sistem peradilan pidana yang digariskan KUHAP KUHAP merupakan “sistem terpadu” integrated criminal justice system. Sistem terpadu tersebut diletakkan diatas landasan prinsip “diferensiasi fungsional” di antara aaprat penegak hukum sesuai dengan tahapan proses kewengangan yang diberikan Undang-undang kepada masing-masing, berdasarkan kerangka landasn yang dimaksud aktivis pelaksanan criminal justice sytem, merupakan fungsi gabungan collection of fuction dari: legislator, polisi, jaksa, pengadilan, dan penajara, serta badan yang berkaitan baik yang ada dilingkungan pemerintahan atau diluarnya. 53 Tolib Effendi, op.cit.,h.144 Melalui KUHAP, sistem peradilan yang dianut mengakibatkan adanya perubahan dalam cara berfikir, yang kemudian mengakibatkan perubahan dalam sikap dan cara bertindak para apparat penegak hukum secara menyeluruh. Perubahan cara berpikir ini memang sanga penting artinya, sebab kaitan dan konsekusensinya terhadap cara bersikap dan bertindak. Suatu Undang-undang yang secara konseptual baik, dan konstektual terkadang bukan hanya tidak efektif, tetapi sekaligus menjadi tidak memiliki nilai-nilai values yang dianggap baik dan adil, apabila tidak didukung oleh penghayatan yang baik atas nilai yang terkandung pada konsep Undang-undang yang dimaksud. 54 Sebutan KUHAP untuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana disebut bukan tanpa alasan. Sebutan kitab tidak ditujukan pada undang-undang melainkan ditujukan pada sifat kodifikasinya. Di dalam KUHAP secara lengkap meliputi pengertian keseluruhan acara pidana dari tingkat penyidikan sampai pelaksanan putusan hakim, bahkan sampai peninjauan kembali herzeining . 55 Hal ini dapat diartikan, bahwa keseluruhan proses dalam sistem peradilan pidana di Indonesia secara garis diatur dalam KUHAP melainkan juga diatur dalam Undang-undang yang lain di luar KUHAP yang berkaitan dengan proses sistem peradilan di Indonesia. Undang-Undang di luar KUHAP yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana di Indonesia 56 : 1. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ; 54 Hendrastanto Yudowidagdo, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana , Jakarta: Bina Aksara, 1987, h. 145 55 Pontang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Petusan Pengadilan dalam Perkara Pidana , Bandung: Alumni, 2005, h.145 56 Tolib Effendi, op.cit., h.146 2. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan; 3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat; 4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia; 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudusial 6. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; 7. Undang-undang Nomor 3 Tentang 2002 tentang Pertahanan Negara 8. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberanatsan Tindak Pidana Korupsi; 9. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan Militer; 10. Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak pidana Korupsi; 11. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun Barda Nawawi Arief menjelaskan makna Sistem Peradilan Pidana, pada dasarnya adalah identik dengan Sistem Penegakan Hukum, sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah terciptanya penegakan hukum law enforcement . Sedangkan Hulsman mengungkapkan bahwa Sistem Peradilan Pidana pada hakekatnya merupakan masalah sosial social problem , dengan alasan: 57 1. the criminal justice system inflicts suffering; sistem peradilan pidana menimbulkan penderitaan 57 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana , Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995, h.9 2. the criminal justice system does not work in term of its own declared aims; sistem peradilan pidana tidak dapat bekerja dari tujuan yang dinyatakannya sendiri 3. fundamental uncontrolability of criminal justice system; kelemahan dalam mengontrol prinsip dasar dari sistem peradilan pidana 4. criminal justice approach is fundamentally flawed. Pendekatan peradilan pidana secara fundamental cacat Komponen dari Sistem Peradilan Pidana menjadi 2 dua unsur besar, yaitu: 1. Unsur Primer, yang dalam pandangan akademis pada tingkat penal policy adalah Pembentuk Undang-Undang, yaitu Presiden bersama DPR. Penyusunan unsur primer ini didasarkan kepada pandangan bahwa bekerjanya Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung dengan bagaimana suatu negara menetapkan sistem hukum yang valid. Sistem hukum yang dianut suatu negara akan mewarnai bagaimana Pembentuk Undang-Undang melakukan perancangan peraturan perundang-undangan. 58 Peraturan perundang-undangan di suatu negara merupakan suatu bagian integral atau sub sistem dari suatu sistem hukum di negara tersebut. Sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara peraturan perundang-undangan tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari sistem hukum 58 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana, 2011, h. 2. Unsur Pembentuk Undang-Undang dimasukkan ke dalam komponen Sistem Peradilan Pidana, dalam ruang lingkup criminal policy, didasarkan kepada pendapat Nagel. Namun Nagel tidak memasukkan Kepolisian sebagai salah satu komponen Sistem Peradilan Pidana negara tersebut. 59 Oleh karena itu, pembentukan peraturan perundang- undangan mengenai Sistem Peradilan Pidana, sangat bergantung bagaimana Pembentuk Undang-Undang mengimplementasikan politik hukum Indonesia ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Bahwa sangat dimungkinkan adanya pengaruh sistem hukum negara lain dalam menjabarkan politik hukum ke dalam sebuah rancangan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut nampak pada penyusunan RKUHAP, dimana tim RKUHAP banyak melakukan kunjungan ke negara-negara lain, baik yang memiliki kesamaan sistem hukum maupun yang berbeda sistem hukumnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan pidana merupakan bagian dari kebijakan legislatif 60 hukum pidana penal policy menjadi salah satu syarat utama dalam membentuk pembangunan hukum nasional yang hanya dapat terwujud apabila didukung oleh cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Hans Kelsen yang menjelaskan bahwa pembentukan hukum adalah rangkaian awal dari penegakkan hukum yang sangat penting untuk 59 Setio Sapto Nugroho, Harmonisasi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 2014, http:jdih.ristek.go.id?q=systemfilesdokumentasi586130112.pdf., diunduh tanggal 12 Maret 2015, h. 1. 60 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010, h. 283, Menurut Jimly Asshiddiqie, sebagaimana mengutip pendapat dari Montesquieu, bahwa pembentukan hukum dilakukan oleh kekuasaan legislatif. Montesquieu membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan yaitu: kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif dan kekuasaan Yudikatif. Dimana kekuasaan Legislatif sebagai pembuat undang- undang, kekuasaan eksekutif yang melaksanakan undang-undang dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan menghakimi atau menyelesaikan sengketakonflik. Pembatasan kekuasaan pada tiga cabang kekuasaan diatas berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan. Dimana konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan negara ini adalah kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. diperhatikan. 61 Dalam praktek pembentukan hukum dikenal beberapa karakter diantaranya karakter-karakter yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD yaitu: 62 a. Proses pembentukan hukum partisifatitresponsif adalah pembentukan hukum yang memberikan peranan besar dan partisispasi penuh kelompok sosial atau individu didalam masyarakat Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan keolmpok sosial atau individu dalam masyarakat. Pembentukan hukum dengan partisipasi masyarakat akan mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Pembentukan hukum seperti ini dilakukan pada produk hukum yang responsifpopulistik. b. Pembentukan Hukum non partisipatif atau berlawanan dengan hukum responsif, adalah produk hukum ortodoks lebih tertutup terhadap tuntutan –tuntutan kelompok maupun individu-individu didalam masyarakat. Dalam pembuatan hukumnya peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Produk hukum konservatifortodokselitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, lebih mencerminkan keinginan pemerintah bersifat positivis-instrumentalis yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara. 63 61 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum dan Negara , Jakarta:BEE Media Indonesia,2007, h.163. 62 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia , Jakarta: LP3ES, 2006, h.25. 63 CFG. Sunarjati Hartono, Mencari Bentuk dan Sistem Hukum Perjanjian Nasional Kita , Bandung: Alumni, 1974, h. 57, Bahwa Setelah 17 Agustus 1945, idealnya politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional, artinya telah terjadi unifikasi hukum berlakunya satu 2. Unsur Sekunder Sub-System Unsur Sekunder ini lebih dikenal dalam berbagai literatur mengenai Sistem Peradilan dengan istilah “sub-sistem”. Secara umum, pada dasarnya institusi yang digolongkan ke dalam unsur kedua ini adalah: 1. Kepolisian; 2. Kejaksaan; 3. Pengadilan; dan 4. Lembaga Pemasyarakatan. Jika diperhatikan perkembangan perjalanan institusi-institusi aparatur penegak hukum, telah terjadi pengembangan guna memenuhi kebutuhan praktek akan penegakan hukum yang efektif dan efesien. Dimana, di dalam ranah kekuasaan penyidikan telah dikembangkan satu lembaga yang sejenis, yaitu Komisi Pemberantas Korupsi KPK, dan 1 satu institusi partikelir 64 , yaitu profesi Advokat. Namun demikian, berdasarkan pendapat Romli Atmasasmita, terkait dengan pandangannya bahwa pendekatan terhadap Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu sistem kemasyarakatan dari sudut pandang ilmu sosial, maka masyarakat dibebankan kewajiban untuk ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dari suatu Sistem Peradilan Pidana. 65 Maka bisa dikatakan bahwa Masyarakat harus diasumsikan sebagai suatu bagian dari sub-sistem dari Sistem Peradilan sistem hukum di seluruh wilayah Indonesia, karena sistem hukum nasional harus dibangun berdasarkan dan untuk memperkokoh sendi-sendi Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945. 64 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia http:kbbi.web.idpartikelir, diakses pada Tanggal 12 Maret 2015 pada pukul 12.00 WIB , yang dimaksud dengan „partikelir‟ adalah bukan untuk umum; bukan kepunyaan pemerintah; bukan milik dinas; swasta. 65 Romli Atmasasmita, op.cit., h.10 Pidana. Sehingga komponen yang termasuk ke dalam ruang lingkup sub-sistem pada Sistem Peradilan Pidana adalah: 1. AdvokatPenasehat Hukum 2. Kepolisian; 3. Komisi Pemberantasan Korupsi KPK 4. Kejaksaan; 5. Pengadilan; 6. Lembaga Pemasyarakatan; dan 7. Masyarakat. 8. Unsur Tertier supporting system Di dalam supporting system ini, memberikan gambaran bahwa kinerja dari sub- sistem tidak dapat berdiri sendiri. Lembaga-lembaga atau institusi pemerintahan yang lain pun memiliki peranan yang cukup strategis dalam memberikan masukan data-data penunjang bagi proses penegakan hukum di Indonesia. Secara garis besar, institusi penunjang dibagi ke dalam 2 dua kelompok, yaitu: 1. Lembaga Konvensional, dalam hal ini terdiri Kementerian, Non- Kementerian dan Pemerintah Daerah 2. Lembaga extra-Structure Ekstra Struktural Pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif secara administratif dan fungsional, justru memunculkan kerancuan dalam menjalankan amanah undang- undang. Walaupun memang di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Bab X mengatur tentang lembaga-lembaga yang terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu: 66 1. Penyelidikan dan Penyidikan; 2. Penuntutan; 3. Pelaksanaan Putusan; 4. Pemberian jasa hukum; dan 5. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Ada beberapa model yang melandasi Sistem Peradilan Pidana, Lilik Mulyadi mengutip pendapat dari Michael King 67 , dimana Beliau mengajukan 7 jenis model Sistem Peradilan Pidana 68 .Dalam pokok pembahasan ini, Penulis mencoba untuk menampilkan kesemua model tersebut, yaitu antara lain: 1. Crime Control Model Crime Control Model didasarkan pada sistem nilai yang mempresentasikan tindakan represif pada kejahatan sebagai fungsi yang paling penting dalam suatu Sistem Peradilan Pidana. 69 Menurut Crime Control Model , tujuan dari Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menekan kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana terhadap terdakwa dihukum. Untuk mencapai tujuannya 66 Lihat Pasal 38 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 67 Lilik Mulyadi, Menuju Sistem Peradilan Pidana Kontempor er Tanpa Berita Acara Pemeriksaan BAP dan Berita Acara Sidang BAS , Jakarta Utara, 2012 http:pn- kepanjen.go.idindex.php?option=com contenttask=viewid=169,diakses tanggal 11 Maret 2015 pada pukul 13.20 WIB. 68 Models of Criminal Justice,http:compass.port.ac.ukUoPfileca5197e4-09f7-4d83- 844b-323d9d2400781criminal_justice_IMSLRN.zippage_05.htm,diakses pada tanggal 5 April 2014 pada pukul 13.50 WIB.Herbert L. Packer mengidentifikasi dua model crime control modeal dan due process model yang paling abadi yang menawarkan penjelasan tentang bagaimana lembaga dan kebijakan dapat dibentuk dan mereka dapat berguna dapat dilihat sebagai ujung- ujung kontinum karena mereka menyajikan kontras pemikiran dan karakteristik. 69 Keith A. Findley, Toward A New Paradigm of Criminal Justice: How the Innocence Movement Merges Crime Control and Due Process , http: www.law.wisc.edumdfknm findley_new_paradigm-10-10-08.pdf, diakses pada tanggal 12 Maret 2015, h. 8. tersebut, maka Crime Control Model menyatakan bahwa perhatian utama haruslah ditujukan pada efisiensi 70 . Efesiensi ini adalah diatas segalanya. Efektif, dalam crime control 71 model akan diasumsi oleh hukum adalah bersalah, yang berarti memungkinkan pra-penghakiman bersalah dan akhirnya preventif dalam bentuk penahanan atau pemenjaraan untuk divonis pada tersangka tertentu. Bahkan, mengatakan bahwa jika pemerintah – yang diinvestasikan dengan kekuasaan publik – memulai penyelidikan menjadi individu tertentu dan sebagai akibatnya mereka memutuskan bahwa bukti yang cukup telah dikumpulkan untuk membawanya ke pengadilan, maka harus dianggap bahwa individu dalam hal ini bersalah, dan itu adalah tugas dari tersangkaterdakwa untuk menyangkal ini dan menyajikan bukti sebaliknya. Sehingga, Proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa kearah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah plead guilty . 72 2. Due Process Model Di dalam due process model , tidak ada temuan fakta yang sah sampai kasus tersebut disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh pengadilan yang adil, dan 70 Rusli Muhammad, Sistem P eradilan Pidana Indoensia , Yogyakarta: UII Press, 2011, h.43, Efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap pekerjaan harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Oleh karena itu, proses tidak boleh diganggu dengan sederetan upacara serimonial dan mengurangi sekecil mungkin adanya perlawanan dari pihak lain karena hal itu hanya menghambat penyelesaian perkara. 71 Ibid . h.44, Herbert L. Packer mengemukakan bahwa doktrin yang digunakan oleh crime control model adalah apa yang dikenal dengan nama presumption of guilt praduga bersalah. Dengan doktrin ini, maka crime control model menekankan pentingnya penegasan eksistensi kekuasaan dan penggunaan kekuasaan terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan, dan karenanya pelaksanaan penggunaan kekuasaan pada tangan aparat pemerintah polisi, jaksa dan hakim harus semaksimal mungkin meskipun harus mengorbankan Hak Asasi Manusia. 72 Romli Atmasasmita , Op.cit., h. 9. terdakwa telah memiliki kesempatan penuh untuk mendiskreditkan kasus terhadap dirinya. 73 Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang harus melalui suatu persidangan. 74 Menurut Romli Atmasasmita, Nilai- nilai yang mendasari Due Proses Model adalah: 75 1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi human error menyebabkan model ini menolak “ informal fact finding process ” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “ factual guild ” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “ formal adjudicative and adversary fact finding ”. Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak penuh untuk mengajukan pembelaannya. 2. Model ini menekankan pada pencegahan preventive measures dan menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan. 3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang sebagai coercive menekan, restricting membatasi dan merendahkan martabat manusia. 4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap kekuasaan. 5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum. 73 Keith A. Findley, Op.cit, hlm. 9. 74 Muhadar, Edi Abdullah dan Husni Thamrin, Perlindungan Saksi Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana , Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009, h. 249. 75 Romli Atmasasmita 1, Op.cit., h. 9-10 6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana. 3. Family Model Family Model adalah suatu Sistem Peradilan Pidana yang dipelopori oleh John Griffith, dimana beliau menegaskan sebagai berikut: 76 “ a defendant is not seen as an opponent but as an erring member of the family, whom the parent might reprove but ought no to reject ” pelaku tindak pidana tidak dipandang sebagai musuh masyarakat tetapi dipandang sebagai anggota keluarga yang harus dimarahi guna pengendalian control pribadinya tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan. 4. Medical Model Medical model 77 adalah sebuah pendekatan patologi yang bertujuan untuk mencari perawatan medis untuk gejala yang di diagnosis dan sindrom dan memperlakukan tubuh manusia sebagai mekanisme yang sangat kompleks. Bahwa satu dari pertimbangan masing-masing tingkat adalah bagaimana yang terbaik menghadapi para individu yang melanggar hukum guna mengurangi kejahatan yang dilakukan melalui pendekatan rehabilitasi. Para polisi memiliki kekuasan untuk 76 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Univ. Diponegoro, 1995, h. 16. 77 Medical Model Related to Probation Parole ”, http:www.ehow.com facts_6769661_medical-model-related-probation-parole.html, diakses pada 7 Maret 2015 pada pukul 03.00WIB, Meskipun medical model pada hukuman percobaan dan pembebasan bersyarat belum sepenuhnya ditinggalkan, namun pada populasi tertentu telah ditargetkan dengan sistem pengobatan yang tepat. memperingatkan pelanggar dan mengarahkan mereka kepada lembaga kerja sosial. 78 5. Bureaucratic Model Menekankan kejahatan harus dibongkar dan terdakwa diadili, ia harus dijatuhi hukuman dengan cepat, dan sedapat mungkin efisien. Keefektifan pelaksanaan hukum di pengadilan menjadi suatu perhatian utama. Jika terdakwa mengaku tidak bersalah dalam suatu proses peradilan, maka penuntut dan pembela berupaya untuk mengumpulkan bukti-bukti, memanggil saksi dan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan untuk keperluan pembuktian. 79 6. Just Deserts Model Sistem Peradilan Pidana dengan metode just desert model beranjak dari Teori Pemidanaan Just Desert yang dikemukakan oleh Andrew von Hirsch pada tahun 1976. Teori Pemidanaan Just Deserts menganjurkan bahwa hukuman harus proporsional dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. Para pendukung filsafat pemidanaan just deserts menekankan pentingnya proses hukum, penentuan hukuman, dan penghapusan diskresi peradilan dalam praktek peradilan pidana. 80 7. Integrated Criminal Justice System Model Nilai- nilai yang mendasari Intregrated Criminal Justice System Model atau Model Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah: 1. Menuntut adanya keselarasan hubungan antar subsistem secara administrasi. 78 Lilik Mulyadi, op.cit.,tidak ada halaman 79 Ibid. 80 Just Deserts Theory ”, http: www.sagepub.com hanserintro study materials reference ref3.1.pdf., diakses pada tanggal 10 April 2014 pada pukul 02.00WIB 2. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. 3. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan kepada hukum, dengan menjamin adanya adanya due procees dan perlakuan yang wajar bagi tersangka, terdakwa, terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 4. Menjaga hukum dan ketertiban. 81 Tujuan dari Sistem Peradilan pidana sebagai salah satu sarana dalam penanggulangan kejahatan antara lain: 82 1. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 2. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana 3. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

4. Metode Penelitian