Kewenangan Penyidik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yang Dikaitkan dengan Rahasia Bank

(1)

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG YANG DIKAITKAN DENGAN RAHASIA

BANK

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana

OLEH :

YESNITA GRACE TRE SITOMPUL

070200020

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

KETUA DEPARTEMEN

MUHAMMAD HAMDAN,S.H.,M.HUM NIP:195703261986011001

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr.Madiasa Ablisar,S.H.,M.S Edi Yunara,S.H.,M.Hum NIP:196104081986011002 NIP:196012221986031003


(2)

ABSTRAK

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN YANG DIKAITKAN DENGAN RAHASIA BANK

Y.Grace Tre Sitompul* Madiasa Ablisar**

Edi Yunara***

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang timbul seiring perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana pencucian uang. Disatu sisi kerahasiaan bank dalam melindungi nasabahnya ,dianggap merupakan faktor yang dapat proses penyidikan yang dilakukan penyidik terhadap tindak pidana pencucian uang.

Dalam melaksanakan penyidikan,terdapat beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan rahasia bank di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan,bagaimana kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia dan kerjasama internasional antara penyidik Indonesia dengan lembaga penyedia jasa keuangan negara lain,kemudian badan-badan apa saja yang berwenang dalam tindak pidana pencucian uang

Tujuan penulisan ini untuk mengkaji pengaturan rahasia bank dalam sistem hukum perbankan nasional dan mengkaji kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang serta mengkaji penyidik dalam menerobos rahasia bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.serta mengkaji penyidik dalam menerobos rahasia bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif dengan pendekatan yuridis yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan tersier.

Berdasarkan hasil penulisan didapatkan bahwa Kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang terkadang masih dibatasi oleh ketidakpahaman penyidik untuk menerobos rahasia bank yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dan harus menunggu ijin dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan dalam Pencucian uang terdapat pihak-pihak yang sangat berperan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut,bukan hanya Kepolisian melainkan pihal Kejaksaaan,KPK,BNN dan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sangat diperlukan dalam memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Beserta masih adanya Konvensi maupun Treaty kerjasama internasional yang belum diratifikasi terkait dengan pencucian uang maka kerjasama internasional di bidang kejahatan lintas negara khususnya pencucian uang. .


(3)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB 1: PENDAHULUAN

A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C.Manfaat Penulisan ... 5

D.Tujuan Penulisan ... 6

E.Tinjauan Pustaka ... 6

1.Pengertian Kewenangan ... 7

2.Pengertian Penyidik ... ..8

3.Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 9

4.Pengertian Bahasia bank ...12

F.Metode Penulisan...12

G.Sistematika Penulisan...15

BAB II: PENGATURAN RAHASIA BANK DI INDONESIA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA A.Sejarah Perkembangan Perbankan di Indonesia ...17

B.Bentuk-bentuk Bank di Indonesia ...18

C.Pengaturan Rahasia Perbankan Indonesia ...19

1.Undang-undang BI No.6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia...32

2.Undang-undang Perbankan No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan ...36


(4)

3.Undang-Undang 21 tahun 2008

Tentang Perbankan Syariah...37

4.Peraturan Bank Indonesia nomor 2/19/PBI/2000 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank...40

BAB III: BADAN-BADAN PENYIDIK YANG BERWENANG DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN DI INDONESIA A.Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia ... 42

B.Peran Kejaksaaan dalam kepentingan penuntutan ...45

C.Peran Komisi Pemberantasan Korupsi ...47

D.Peran Badan Narkotika Nasional ...48

E.Peran Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia ... 48

BAB IV: KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA A.Wewenang dan Kewajiban Penyidik dalam KUHAP... 52

B. Tugas dan Fungsi Penyidik dalam Tindak Pidana Khusus...54

C.Tugas dan Wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ... 64

D.Bentuk kerjasama Internasional antara Penyidik dengan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan ... 78

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan ...82

B.Saran ...83


(5)

ABSTRAK

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN YANG DIKAITKAN DENGAN RAHASIA BANK

Y.Grace Tre Sitompul* Madiasa Ablisar**

Edi Yunara***

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang timbul seiring perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memanfaatkan sistem keuangan termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana pencucian uang. Disatu sisi kerahasiaan bank dalam melindungi nasabahnya ,dianggap merupakan faktor yang dapat proses penyidikan yang dilakukan penyidik terhadap tindak pidana pencucian uang.

Dalam melaksanakan penyidikan,terdapat beberapa permasalahan yaitu bagaimana pengaturan rahasia bank di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan,bagaimana kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia dan kerjasama internasional antara penyidik Indonesia dengan lembaga penyedia jasa keuangan negara lain,kemudian badan-badan apa saja yang berwenang dalam tindak pidana pencucian uang

Tujuan penulisan ini untuk mengkaji pengaturan rahasia bank dalam sistem hukum perbankan nasional dan mengkaji kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang serta mengkaji penyidik dalam menerobos rahasia bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.serta mengkaji penyidik dalam menerobos rahasia bank berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif dengan pendekatan yuridis yang terdiri dari bahan hukum sekunder dan tersier.

Berdasarkan hasil penulisan didapatkan bahwa Kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang terkadang masih dibatasi oleh ketidakpahaman penyidik untuk menerobos rahasia bank yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, dan harus menunggu ijin dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan dan dalam Pencucian uang terdapat pihak-pihak yang sangat berperan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana tersebut,bukan hanya Kepolisian melainkan pihal Kejaksaaan,KPK,BNN dan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sangat diperlukan dalam memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Beserta masih adanya Konvensi maupun Treaty kerjasama internasional yang belum diratifikasi terkait dengan pencucian uang maka kerjasama internasional di bidang kejahatan lintas negara khususnya pencucian uang. .


(6)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dibidang komunikasi telah menyebabkan terintegrasinya sistem keuangan termasuk sistem perbankan yang menawarkan mekanisme lalu lintas antar negara yang dapat dilakukan dalam waktu yang sangat singkat. Keadaan ini disamping mempunyai dampak positif juga membawa dampak negatif bagi kehidupan masyarakat, yaitu dengan semakin meningkatnya tindak pidana berskala nasional maupun internasioanal dengan memanfaatkan sistem keuangan , termasuk sistem perbankan untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul dana hasil tindak pidana (money laundry).

Sistem kerahasiaan bank yang dianut suatu negara salah satu faktor untuk melakukan pencucian uang. Semakin ketat sistem kerahasiaan perbankan suatu negara maka semakin sering dipergunakan sebagai sarana melakukan pencucian uang. Swiss dan Austria tergolong menerapkan ketentuan perbankan secara ketat. Tidak heran penyimpanan dari banyak negara termasuk negarawan korup menggunakan jasa bank kedua bank tersebut sebagai tempat persembunyian uang kotornya.


(7)

Salah satu faktor pendukung kepercayaan nasabah pada bank adalah ketentuan rahasia bank,yaitu ketentuan mengatur kerahasiaan data keuangan nasabah. Dasar hukum ketentuan bank diatur dalam undang-undang no.7 tahun 1992 tentang perbankan yang diubah dengan undang-undang no.10 tahun 1998. Ketentuan rahasia bank diatur dalam bab vii dan bab viii pasal 40, pasal 45 , pasal 47 dan pasal 47a undang-undang no.10 tahun 1998.

Kerahasiaan ini untuk menjaga privasi nasabah dan keamanan dana dari kemungkinan dimanfaatkan pihak tidak berhak dengan cara-cara canggih melalui komputer dan identitas si pemilik dana. Bank sangat memahami perlunya menjaga kerahasiaan bank sehingga menciptakan sistem pengawasan yang baik sesuai dengan kemampuan bank bersangkutan.1

Rahasia bank adalah seluruh data dan informasi mengenai sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari orang dan badan yang diketahui bank karena kegiatan usahanya.

Masyarakat akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari bank ada jaminan,bahwa pengetahuna bank tentang simpanan dan keuangan nasabah tidak akan disalah gunakan. Dengan ketentuan tersebut ditegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank. Namun disisi lain ketentuan rahasia bank menimbulkan benturan kepentingan misalnya

      

  1 

Adrian.Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti, 2008)       halaman 212. 


(8)

berkaitan dengan pemberantasan kriminal seperti kejahatan pencucian uang (money laundry).

Berkenaan dengan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (money laundry) kepolisian mempunyai peran krusial dan strategis, hal ini disebabkan kepolisian merupakan garda terdepan dalam penegakana hukum dan mempunyai wewenang melakukan penyelidaikan. Terlebih di era globalisasi dimana dinamika dan cara melakukan kejahatan berkembang begitu canggih. Pola-pola kejahatan yang dulu dilakukan secara fisik kini berubah melalui menggunakan akal pikiran,kelicikan,kepandaian.bentuk kejahatan tersebut lazim dikenal dengan kejahatan kerah putih (white collar cime )seperti kejahatan pencucian uang (money laundry).

Sehubungan dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu, kepolisian republik Indonesia bertugas melakukan penyidikan yang dilaksanakan oleh penyidik/ penyidik pembantu pada fungsi intelijen dalam bidang keamanan maupun fungsi operasional kepolisian Republik Indonesia lainnya yang diberi wewenang melakukan penyidikan serta melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap pejabat pegawai negeri sipil. Pasal 74 UU No.8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang berbunyi “ Penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundangan kecuali ketentuan lain menurut undang-undang ini”.


(9)

Penyidikan yang dilakukan terhadap dugaan tindak pidana pencucian uang (money laundry) terkadang menemui hambatan seperti harus memberitahu dahulu pusat pelaporan analisis transaksi keuangan tentang adanya aliran dana mencurigakan. Hal ini memakan waktu sangat lama sampai ada balasan dari pusat pelaporan analisis transaksi keuangan. Hal tersebut disebabkan karena pusat pelaporan analisis transaksi keuangan tidak berkedudukan di daerah dan hanya di pusat (jakarta).

Berkenaan dengan tugas penyidikan,polisi harus memperoleh alat bukti alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkakpkan di persidangan dan untuk perkara penncucian uang bukan hal mudah apalagi harus dikaitkan dengan kejahatan asalnya. Polisi harus menemukan fakta untuk dibuktikan jaksa yang meliputi unsur subjektif dan unsur objektif. Kedua unsur tersebut berkaitan dengan unsur terdakwa “mengetahui bahwa dana tersebut berasal dari hasil kejahatan” dan “terdakwa mengetahui tentang atau maksud untuk untuk melakukan transaksi”.

Penyidikan tindak pidana berawal dari terjadi suatu peristiwa yang diketahui atau disampaikan kepada penyidik, melalui adanya:

1.Informasi

2.Laporan atau laporan polisi

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasar undang-undang kepada Pejabat yang berwenang tentang telahatau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Sedangkan laporan


(10)

polisi yaitu laporan tertulis yang dibuat oleh Petugas Kepolisian Republik Indonesia tentang adanya pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang bahwa akan , sedang atau telah terjadi peristiwa pidana.2

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah:

a. Bagaimana pengaturan rahasia bank di Indonesia dalam peraturan Perundang-undangan Indonesia

b. Badan-badan Penyidik apa saja yang berwenang dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

c. Bagaimana kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia dan bentuk kerjasama internasional antara penyidik Indonesia dengan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan di Negara lain

C.Manfaat Penulisan

Penulisan ini diharapkan memberi manfaat sebagai berikut:       

  2  Muhammad Yusuf, et. al. 

Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak 

Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program, 

2001) halaman 481.   


(11)

a. secara teoritis penulisan ini diharapkan dapat memberi masukan dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana khususnya terutama menyangkut tindak pidana pencucian uang

b. Secara praktis hasil penulisan ini diharapkan dapat dijadikan alat penyebarluasan informasi kepada masyarakat ,mahasiswa fakultas hukum dan penegak hukum khususnya bagi pihak kepolisian dalammemberantas dan menangani tindak pidana pencucian uang.

D.Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah:

1. Mengetahui pengaturan rahasia bank dalam sistem hukum perbankan nasional.

2. Mengetahui kewenangan penyidik dalam tindak pidana pencucian uang di Indonesia dan bentuk kerjasama internasional antara penyidik Indonesia dengan Lembaga Penyedia Jasa Keuangan di Negara lain

3. Mengetahui Badan-badan Penyidik apa saja yang berwenang dalam Tindak Pidana Pencucian Uang

E.Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam melakukan penulisan ini ada baiknya diberikan batasan-batasan yang dapat dijadikan pedoman dalam proses pengumpulan data. Kerangka konsep dalam penulisan ini adalah


(12)

Kewenangan,Penyidik,Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang,dan Rahasia Bank.

1.Pengertian Kewenangan

Pengertian Kewenangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Kekuasaan membuat keputusan memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang lain. Secara pengertian bebas Kewenangan adalah Hak seorang Individu untuk melakukan suatu tindakan dengan batas-batas tertentu dan diakui oleh individu lain dalam suatu kelompok tertentu. Terdapat 3 sumber kewenangan yaitu:

a. Sumber Atribusi yaitu pemberian kewenangan pada badan atau lembaga/pejabat negara tertentu baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk undang-undang. Sebagai contoh :Atribusi kekuasaan Presiden dan DPR untuk membentuk undang-undang

b. Sumber Delegasi yaitu penyerahan atau pelimpahan kewenangan dari badan/lembaga pejabat tata usaha negara dengan konsekuensi tanggung jawab beralih pada penerima delegasi

c. Sumber mandat yaitu pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab masih dipegang oleh si pemberi mandat.


(13)

1. Louis A. Allen “Wewenang adalah sejumlah kekuasaan (powers) dan hak (rights) yang didelegasikan pada suatu jabatan”

2. Drs. Malayu S.P Hasibuan “wewenang adalah kekuasaan yang sah dan legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.

3. R.C Davis “wewenang adalah hak yang cukup yang memungkinkan seseorang dapat menyelesaikan suatu tugas kewajiban tertentu”.

4. G.R Terry “wewenang adalah kekuasaan resmi dan kekuasaan pejabat untuk pihak lain, supaya bertindak dan taat kepada pihak yang memiliki wewenang itu”.

2.Pengertian Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tetentu yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.3

1. Penyidik adalah:

a. Pejabat polisi NegaraRepublik Indonesia;

b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

      

  3 


(14)

2. Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimadsud ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.4

Menurut de Pinto,Penyidik adalah Pejabat-Pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.

3.Pengertian Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana dipakai sebagai pengganti kata Straftbaar feit. Menurut Moeljatno,tindak pidana adalah keadaan yang dibuat seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan ,dan perbuatan itu menunjuk baik pada akibatnya maupun yang meninggalkan akibat.5 Sedang kan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah

segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.6 Melihat apa yang dimaksud, maka

pembentuk undang-undang sekarang sudah konsisten dalam pemakaian istilah tindak pidana. Akan tetapi para sarjana hukum pidana mempertahankan istilah yang dipilihnya sendiri. Adapun pendapat itu diketemukan oleh : Moelyatno, D. Simons, Van Hamel, WPJ. Pompe, JE. Jonker dan Soedarto yang dalam uraiannya adalah sebagai berikut:

1) Moelyatno

         4 Pasal 6 KUHAP 

  5 Moeljatno,

Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, 

(Yogyakarta:Bina Aksara,1983), Halaman 10. 

  6 

Pasal 1 ayat (1) Undang‐Undang RI No.8 tahun 2010  tentang Pencegahan dan  Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang  


(15)

Perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Unsur-unsur tindak pidana :

a) Perbuatan manusia

b) Memenuhi rumusan undang-undang c) Bersifat melawan hukum7

2) Simons

Strafbaar Feit adalah kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Unsur-unsur tindak pidana: a) Unsur Obyektif : Perbuatan orang, Akibat yang kelihatan dari perbuatan

itu Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu

b) Unsur Subyektif : Orang yang mampu bertanggung jawab, Adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

3) Van Hamel

Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke Gedraging) orang yang dirumuskan dalam WET yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Unsur-unsur tindak

pidana:

         7 Moelyatno,


(16)

a) Perbuatan Manusia

b) Yang dirumuskan dalam Undang-Undang c) Dilakukan dengan kesalahan

d) Patut dipidana

4) W.P.J. Pompe

Pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi yang bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-Undang. Menurut Teori : Strafbaar Feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum. Menurut Undang-Undang / Hukum Positif Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.8

5) J.E. Jonkers

Mengenai tindak pidana ada 2 (dua) pengertian yaitu dalam arti pendek dan arti panjang. Arti Pendek, Staafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang dapat diancam pidana oleh Undang-Undang. Arti Panjang, Strafbaar Feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan.

6) VOS

Staafbaar Feit adalah suatu kelakukan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Undang-Undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang       

  8 Bambang Purnomo,

Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)


(17)

dengan ancaman pidana. Beliau menyebut Staafbaar Feit dengan istilah tindak pidana, dengan unsur-unsur sebagai berikut :

a) Perbuatan yang memenuhi rumusan Undang-Undang. b) Bersifat melawan hukum.

c) Dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab dengan kesalahan (Sculd) baik dalam bentuk kesengajaan (Dolus) maupun kealpaan (Culpa) dan tidak ada alasan pemaaf.9

Sarah N. Welling mengemukakan Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagai proses yang dilakukan oleh seseorang menyembunyikan keberadaaan, sumber ilegal atau aplikasi ilegal dari pendapatan dan kemudian menyamarkan pendapatan itu menjadi sah. Senada dengan pendapat dari Sarah, Pamela H. Bucy mengemukakan pengertian pencucian uang sebagai penyembunyian keberadaaan, sifat, atau sumber ilegal, pergerakan, atau kepemilikan uang demi alasan apapun.

4.Pengertian Rahasia Bank

Rahasia Bank menurut pasal 1 angka (28) Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Rahasia Perbankan adalah: “Segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpanan dana dan simpanannya.

         9 Prof Soedarto, SH,

Hukum Pidana I Fakultas Hukum,(Semarang : Undip,1990)


(18)

F. Metode Penulisan

Metode penulisan yag digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan permasalahan yang diangkat di dalamnya. Dengan demikian penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian doktrinal karena penelitian ini dilakukan dengn cara menganalisa hukum yang tertulis dari bahan pustaka atau data sekunder yang lebih dikenal dengan nama dan bahan acuan dalam bidang hukum atau bahan rujukan bidang hukum 2) Sumber Data

Penyusunan skripsi ini didasarkan kepada kajian data yang diperoleh dari tinjauan kepustakaan ,data-data yang telah didapat dari kajian kepustakaan akan dibagi tiga menjadi 3 (tiga) jenis data,yaitu:

a. Data Primer

Bahan yang memiliki otoritas hukum,misalnya: Undang-undang yang terkait. Undang-undang yang dipakai antara lain :

a) Undang-undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang


(19)

b) Undang-undang Nomor 6 tahun 2009 tentang Bank Indonesia

c) Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan d) Undang-Undang RI No.28 tahun 2007 tentang perubahan

atas Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan

e) undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika f) Undang-Undang RI No.30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi

g) Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

b. Data Sekunder

Bahan yang dikaji dengan berdasarkan kepada buku-buku,harian elektronik maupun literatur yang mempunyai relevansi dengan masalah yang dikaji dalam penulisan skripsi ini.

c. Data Tersier

Bahan yang didapat dengan melakukan penelitian terhadap berita-berita terkini dan bahan dari internet.


(20)

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan di dalam penulisan ini adalah “penelitian kepustakaan” yaitu penulisan yang dilakukan dengan cara pengumpulan Literatur dengan sumber daya berupa bahan hukum primer ataupun bahan hukum sekunder yang ada hubungannya dengan permasalahan yang dibahs dalam skripsi ini.

4. Analisis data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode analisis deskriptif yang mengkaji data-data yang sudah ada berdasarkan tinjauan kepustakaan.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dibahas megenai: latar belakang,rumusan masalah,manfaat penulisan,tujuan penulisan,tinjauan pustaka,metode penelitian dan sistematika penelitian

BAB II :PENGATURAN RAHASIA BANK DI INDONESIA DALAM

SISTEM HUKUM PERBANKAN NASIONAL

Pada bab ini akan dibahas mengenai sejarah perkembangan perbankan di Indonesia,bentuk-bentuk bank di Indonesia,sistem hukum perbankan di Indonesia


(21)

BAB III :KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

Pada bab ini akan dibahas mengenai tugas dan fungsi penyidik dalam tindak pidana khusus,wewenang dan kewajiban penyidik dalam KUHAP,tugas dan wewenang Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan,bentuk kerjasama internasional anatara penyidik dengan lembaga Penyedia Jasa Keuangan negara lain

BAB IV :BADAN-BADAN PENYIDIK YANG BERWENANG DALAM

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Daaam bab ini akan dibahas mengenai peran kepolisian RI,kejaksaan,KPK,BNN,dan direktorat jenderal pajak beserta direktorat jenderal bea dan cukai

BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN


(22)

BAB II

PENGATURAN RAHASIA BANK DALAM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA

A.Sejarah Perkembangan Perbankan di Indonesia

Perbankan Indonesia telah memiliki rangkaian sejarah yang cukup panjang. Sejak masa pemerintahan kolonial telah banyak berdiri bank-bank asing baik dari negara Belanda maupun negara asing lainnya serta beberapa bank lokal. Bahkan pada masa pergerakan nasional juga muncul beberapa bank yang bernuansa sangat nasional. Memasuki masa kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia mulai mendirikan bank-bank pemerintah seperti Bank Negara Indonesia (BNI) , Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Industri Negara (BIN), dan Bank Tabungan Pos,selain bank-bank pemerintah,pada masa itu juga telah beroperasi beberapa bank swasta nasional,bank-bank asing (termasuk DJB),Lumbung Desa,bank desa, dan yayasan kredit. Seluruh bank tersebut terus berkembang hingga masa-masa selanjutnya. Berdirinya Bank Indonesia pada 1 juli 1953 telah membuka fase baru dalam tata perbankan Indonesia,khususnya dalam hal pengawasan bank. Sebelum berdirinya BI pada tahun 1953 , belum ada lembaga yang melakukan fungsi pengawasan bank. Hingga kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/1955, ditetapkan Bank Indonesia atas nama Dewan Moneter melaksanakan pengawasan terhadap semua Bank umum dan Bank Tabungan yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1968 diterbitkan undang-undang Bank Sentral yang mengatur kedudukan dan tugas Bank Indonesia sebagai


(23)

Bank Sentral ,terpisah dari bank-bank lain yang melakukan fungsi komersial. Selain menjalankan tugas pokok ,Bank Indonesia juga bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup.

B. Bentuk-bentuk Hukum Bank di Indonesia

Undang-undang Perbankan membedakan secara tegas bentuk hukum untuk Bank Umum, bentuk hukum untuk Bank Perkreditan Rakyat,dan bentuk dari kantor perwakilan dan kantor cabang yang berkedudukan di luar negeri10,berdasarkan ketentuan terakhir ,yakni pasal 21 undang-undang No.10

tahun 1998 bentuk hukum bank umum adalah: 1. Perseroan Terbatas

2. Koperasi

3. Perusahaan daerah.

Sementara itu untuk Bank Perkreditan Rakyat yang diatur dalam pasal 21 ayat (2) adalah Perusahaan daerah,koperasi,perseroan terbatas,dan bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Dan bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri adalah mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya sebagaimana ditentukan oleh pasal 21 ayat(3).

         10 


(24)

Dari apa yang diuraikan di atas,menunjukkan bahwa bentuk hukum dari Bank Perkreditan Rakyat lebih banyak daripada bentuk hukum untuk Bank Umum. Perbedaan yang substansial adalah adanya peluang untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dalam bentuk lain sebagaimana dimadsud pasal 21 ayat (2). Dalam penjelasan pasal 21 ayat (2) huruf d dikatakan ketentuan ini dimadsudkan untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan lembaga perbankan yang lebih kecil dari Bank Perkreditan Rakyat , seperti bank desa,lumbung desa,badan kredit desa, dan lembaga-lembaga lainnya sebagaimana dimadsud dalam pasal 58 undang No.10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang no.7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Dalam pasal 58 undang-undang Perbankan ditentukan bahwa,Bank desa,Lumbung Desa,Bank Pasar,Bank Pegawai,Lumbung Pitih Nagari (LPN),Lembaga Perkreditan Desa (LPD),Badan Kredit Desa (BKD),Badan Kredit Kecamatan (BKK),Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK),Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK),Badan Karya Produksi Desa (BKPD) dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu diberikan status sebagai Bank Perkreditan Rakyat berdasarkan undang-undang dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

C.Pengaturan Rahasia Perbankan di Indonesia

Berkaitan dengan rahasia bank sudah sejak lama menjadi isu krusial yang tak kunjung habis diperdebatkan oleh para ekonom,praktisi hukum,politikus ,kalangan akademisi masyarakat intelektual lainnya di Indonesia. Rahasia bank


(25)

menjadi penting karena merupakan tonggak bagi kehidupan perbankan sebagai lembaga kepercayaan . hanya saja, kehangatan dari pembahasan masalah rahasia bank mengalami pasang surut dan hasilnya masih pada tataran konseptual. Sekalipun ketentuan rahasia bank telah diatur dalam undang-undang perbankan,namun substansinya belum menyentuh titik keseimbangan antara berbagai kepentingan yang ada, sehingga format ideal tentang ketentuan rahasia bank yang diinginkan di Indonesia masih terus mencari bentuknya.

Berbagai kepentingan secara langsung maupun tidak langsung telah mempengaruhi kebijakan tenytang Kerahasiaan yang ada, begitu juga peran eksternal (arus globalisasi), ketentuan rahasia bank harus dapat menyelaraskan dengan ketentuan rahasia bank di negara lain, sehingga peraturan di Indonesia jangan sampai tidak compatible”. Hal ini mengingat produk dan jasa perbankan banyak yang serupa dan memiliki aspek internasional,seperti deposito,transfer,kredit,bank garansi,letter of credit (LC) yang apat dilakukan secara lintas batas negara (cross border trade). Artinya bank dan nasabah yang melakukan transaksi dapat tinggal di negara yang berbeda. Begitu juga transaksi perbankan seringkali terjadi antara bank-bank yang terletak pada negara yang berlainan. Keadaan ini menimbulkan suatu kebutuhan adanya harmonisasi, bukan saja atas produk dan jasa perbankan tetapi juga ketentuan yang mengatur transaksi tersebut. Harmonisasi ketentuan tersebut diharapkan menguntungkan bank dan nasabah agar lebih memudahkan tugas pembinaan dan pengawasan bank serta kelancaran transaksi perdagangan dan pembayaran internasional.


(26)

Permasalahan kerahasiaan bank seringkali dianggap sebagai alat untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu atau untuk menutup praktek manipulasi yang mugkin terjadi,termasuk kolusi antara pejabat bank denan nasabah debitur . walaupun masalah masalah menyangkut kerahasiaan banj cukup berat ,namun untuk menghapuskan undang-undang kerahasiaan bank sangat tidak mungkin ,sebab tanpa kerahasiaan bank ,seluruh sistem perbankan aka mengalami kehancuran.11 Kerahasiaan hubungan antara bank dan nasabah merupakan

konsekuensi logis dari karakter usaha bank sebagai lembaga kepercayaan. Hubungan bersifat rahasia bukan istimewa. Hubungan bersifat rahasia yang dimadsud adalah suatu hal biasa dan lazim dalam dunia perbankan . dalam batas tertentu,kerahasiaan memang diperlukan untuk kelangsungan bank,tetapi kerahasiaan bank tidak bersifat mutlak. Untuk kepentingan penyidikan rahasia bank dapat dibuka melalui ketentuan yang sudah ada.

Selain ketentuan rahasia bank ,dalam sistem perbankan biasanya terdapat ketentuan yang menetapkan bahwa laporan yang diberikan bank kepada otoritas pengawas dan hasil pemeriksaan bank bersifat rahasia dan karena itu tidak diumumkan ke publik bahkan apabila otoritas pengawas bank melakukan tindakan pembinaan terhadap bank,lazimnya tertutup dan dirahasiakan ,dengan alasan untuk kepentingan bank sendiri dan sistem secara keseluruhan

Selain istilah kerahasiaan bank ,dikenal juga istilah Rahasia jabatan (profesional secrecy) dalam hal ini adalah rahasia jabatan yang harus dipegang       

  11 

Yunus Husein,Negeri Sang Pencuci Uang, (Bandung: Pustaka Juanda Tiga Lima,2010)      Halaman.52 


(27)

teguh Gubernur,Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan pegawai Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Pasal 71 ayat (1) berbunyi:

“Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur, dan pegawai Bank Indonesia, atau pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Bank Indonesia,untuk melakukan suatu tugas tertentu yang memberikan keterangan dan data lainnya yang bersifat rahasia yang diperoleh karena jabatannya secara melawan hukum ,diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1

(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun ,serta denda sekurang- kurangnya Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah)....”

Prakteknya hubungan antara rahasia bank dan rahasia jabatan sering dicampur adukan,seperti sering terdengarpernyataan dari sementara bahwa Bank Indonesia tidak mungkin memberikan kasus-kasus perbankan ,karena menyangkut rahasia bank. Tetapi sebenarnya untuk Bank Indonesia tidak terkena ketentuan rahasia bank,tetapi rahasia jabatan. Adanya rahasia bank dan rahasia jabatan kadang kala menghambat keterbukaan informasi mengenai nasabah dan perbankan kepada masyarakat. Terlebih pasal 30 ayat (1) undang-undang no. 10 tahun 2008 mengatur bahwa keterangan tentang bank yang diperoleh Bank Indonesia tidak diumumkan dan bersifat rahasia.

Ketentuan rahasia bank dan rahasia jabatan yang ketat dari satu sisi dapat dianggap menghambat mekanisme pasar ,karena informasi yang tersedia bagi masyarakat atau pelaku pasar sangat sedikit dan sulit diperoleh. Selain dengan adanya ketentuan rahasia bank dan rahasia jabatan seringkali sangat sulit bagi pihak luar bank atau masyarakat mengetaui proses pengambilan keputusan


(28)

mengenai bidang perbankan. Kondisi ini didukung budaya kerja Indonesia yang tertutup terhadap pihak luar. Dalam berbagai kesempatan ,beberapa lembaga atau instansi pemerintah dan penegak hukum berpendapat bahwa ketentuan rahasia bank dan rahasia jabatan sering dijadikan dalih Bank Indonesia atau suatu bank untuk tidak memberikan informasi sebenarnya. Akhirnya timbul kesan ketentuan rahasia bank dan rahasia jabatan menghambat keterbukaan di bidang perbankan.

Adrian Sutedi berpendapat,Kerahasiaan adalah salah satu unsur yang merupakan sumber kekuasaan birokrasi ,selain monopoli informasi ,keahlian dan status sosial yang tinggi.12 Salah satu timbulnya masalah dalam industri

perbankan termasuk Indonesia,menurut International Monetary Fund, adalah karena kurang transparannya industri perbankan Indonesia. Sehubungan itu,salah satu usaha perbankan yang diusulkan International Monetary Fund terhadap Indonesia adalah menerapkan Good Coorporate Governance pada industri perbankan,agar menjadi lebih transparan, antara lain dengan mengumumkan laporan keuangan bank secara lebih transparan pada media massa setiap 3 bulan sekali. Laporan ini disebut laporan keuangan publikasi yang berlaku untuk bank umum. Laporan keuangan publikasi adalah laporan keuangan interim (Laporan keuangan akhir bulan) dan tahunan,terdiri dari neraca,laporan komitmen,dan kontijensi (suatu keadaan yang masih diliputi oleh ketidakpastian mengenai kemungkinan diperolehnya laba atau rugi oleh suatu perusahaan),perhitungan laba rugi dan laba di tahan serta informasi lain meliputi komposisi pemegang saham,       

  12 


(29)

susunan pengurus,dan jumlah kredit bank kepada pihak terkait.13 Informasi

tersebut,diperlukan nasabah atau konsumen sebagai salah satu sarana yang bermanfaat bagi nasabah yang menjalankan,mengambil keputusan,atau melakukan disiplin pasar bagi bank yang dianggap kurang baik. Disiplin pasar dapat memaksa bank untuk memperbaiki dirinya misalnya mengubah komposisi pemegang saham dan meningkatkan pelayanan. Keterbukaan di bidang perbankan salah satu supplement (pelengkap) di dalam tugas pengawasan bank. Dengan semakin berperannya nasabah dalam mekanisme pasar,maka tugas pembinaan bank dapat menjadi lebih ringan ,sehingga Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dapat memusatkan perhatian pada tugas utamanya untuk menjaga stabilitas nilai rupiah.

Berdasarkan prakteknya ada empat alasan utama mengapa ketentuan rahasia bank diperlukan. Pertama, untuk meyakinkan dan menenangkan nasabah ketika menyerahkan keterangan pribadinya yang bersifat rahasia kepada bank yang mempunyai hubungan kontraktual dengannya. Penyerahan keterangan dan dokument bersifat rahasia sudah tentu untuk keuntungan kedua belah pihak. Bank tidak dapat menjalankan tugas dan usahanya (juga untuk kepentingan nasabah) apabila nasabah tidak menyediakan keterangan yang diperlukan.

Kedua, untuk kepentingan bank yang dalam usahanya memerlukan kepercayaan dari nasabah yang menyimpan uang di bank. Agar nasabah mau menyimpan uang       

  13 

Edi Setiadi dan Rena Yulia,Hukum Pidana Ekonomi ,(Yogyakarta:Graha Ilmu,2010)        halaman 147 


(30)

di bank, maka rahasia pribadi tentang penyimpan dan simpanannya harus dirahasiakan.

Ketiga, pengaturan rahasia bank di dalam undang dasar atau undang-undang suatu negara biasanya didasarkan pola berfikir yaitu adanya negara/pemerintah yang berkuasa di satu pihak dan adanya rakyat yang tunduk pada pemerintah atau negara. Pengaturan tersebut terutama dimadsudkan untuk membatasi campur tangan negara/pemerintah pada kehidupan pribadi setiap anggota masyarakat.

Keempat,ketentuan rahasia bank diperlukan untuk mencegah terjadinya penyitaan sewenang-wenang. Misalnya seorang investor asing pada suatu negara yang kebijakannya sering berubah-ubah atau seorang pengarang yang membangkang dari penguasa di negaranya yang ingin mengamankan hasil-hasil dari tulisannya,sehingga tidak disita oleh negara.

Banyak pihak sepakat bahwa masalah rahasia bank cukup penting,karena kerahasiaan merupakan jiwa dan roh dari sistem perbankan. Dengan adanya rahasia bank ,nasabah penyimpan dana akan dilindungi informasi dan data mengenai dirinya dan simpanan yang dimilikinya. Dengan adanya perlindungan ini,masyarakat akan bersedia menyimpan dan mempercayakan uangnya di bank, karena percaya bahwa bank akan memelihara kerahasiaan mengenai dirinya dan simpanannya.

Pentingnya peranan perbankan dalam suatu sistem keuangan dan perekonomian suatu negara,maka masalah rahasia bank menjadi semakin penting.


(31)

Teori bank kontenporer menjelaskan bahwa fungsi sistem perbankan dapat dibedakan atastiga hal,yakni menyediakan akses bagi suatu sistem pembayaran,transformasi dan memonitor debitur. Sedangkan menurut undang-undang perbankan fungsi perbankan adalah sebagai perantara keuangan ,yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat. Fungsi perbankan sebagaimana disebutkan di dalam undang-undang tersebut dikenal dengan nama perantara keuangan.. fungs perantara keuangan dapat disamakan dengan fungsi melakukan transformasi aset. Dengan demikian sistem perbankan secara umum sangat penting peranannya dalam perekonomian suatu negara, bukan saja karena peranannya sebagai perantara keuangan dan sebagai pelaku dalam sistem pembayaran,tetapi juga karenna peranan perbankan sebagai sarana untuk pelaksanaan/transmisi kebijakan moneter yang dilakukan pemerintah dan Bank Sentral.

Program restrukturasi perbankan setidak-tidaknya terdapat dua hal berkaitan dengan rahasia bank,yaitu penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan terciptanya Good Coorporate Governance. Oleh sebab itu, tanpa mengubah ketentuan rahasia bank akan sangat sulit untuk menyelesaikan aset bermasalah dan menciptakan Good Coorporate Governance.

Ketentuan reahasia bank meliputi seluruh nasabah baik penyimpan dana maupun nasabah debitur sebagaimana diatur dalam undang-undang No.7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan undang-undang No.10 tahun 1998, sehingga rahasia bank hanya meliputi nasabah penyimpan dan simpanannya, walau demikian,keterangan mengenai debitur dan keuangan tetap dirahasiakan


(32)

bank berdasarkan perjanjian antara nasabah dan bank. Disamping itu, dilakukan penyempurnaan mengenai ketentuan tentang laporan keuangan tahunan dan laporan keuangan publikasi yang memungkinkan bank menjadi lebih transaparan dibandingkan sebelumnya, misalnya bank diwajibkan mengumumkan kreditnya kepda pihak terkait dengan bank.

Sebenarnya dalam era deregulasi perbankan yang sudah dimulai sejak tanggal 1 juni 1983,telah berkembang pemikiran bahwa ketentuan rahasia bank perlu diperlonggar sepanjang menyangkut kepentingan umum untuk mengetahui bank mna yang baik dalam menjalankan usahanya,sehingga masyarakat akan semakin hati-hati dalam penempatan dananya dan semakin percaya pada sistem perbankan. Mekanisme pasar juga turut mengawasi dunia perbankan. Tanpa transparansi,akan sulit dilakukan suatu Good Coorporate Governance dan market discipline oleh nasabah bank terhadap banknya. Market discipline dipandang penting,kartena usaha perbankan banyak menggunakan dana masyarakat,sehingga masyarakat perlu turut mengawasinya. Jika transaksi ekonomi berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi publik,misalnya dana pensiun di perbankan yang akan diinvestasikan, maka prosesnya haarus transaparan, atau setidak-tidaknya bisa dipertanggungjawabkan kepada publik yang memiliki dana tersebut, mengingat dampak kerugian usaha bank akan ditanggung oleh pemilik dana dan bukan orang lain.

Transparansi semacam ini sesuai dengan tuntutan demokrasi ekonomi,agar masyarakat dapat memperoleh informasi tentang hal tertentu yang diperlukannya dalam melakukan keputusan untuk menginvestasikan uangnya. Disamping


(33)

itu,transparansi atau publikasi laporan keuangan perlu dilakukan,karena adanya penguasaan informatika berbeda anatar bank dan nasabah,serta untuk tetap menjaga terjadinya persaingan yang sempurna dipasar. Untuk Indonesia hal ini menjadi sangat penting,karena indonesia belum terdapat Lembaga Penjamin Simpanan seperti asuransi deposito atau dana bersama,walaupun pada saat ini untuk sementara sudah ada program penjaminan bagi kewajiban bank yang dilakukan berdasarkan Keputusan Presoden Nomor 26 dan Nomor 193 tahun 1998 tentang jaminan terhadp Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat.

Dikemukakan sebelumnya,disamping adanya pihak yang menghendaki transparansi,terdapat juga pihak lain yang menginginkan adanya kerahasiaan yang tetap seperti sedia kala,terutama dengan alasan untuk kelangsungan hidup sistem perbankan. Dalam era globalisasi ini dengan adanya kemajuan teknologi informasi dan komputer, telah mengakibatkan terjadinya “global market” pada sektor keuangan. Dalam global market,dana bebas bergerak dari satu negara kenegara lain. Apabila nasabah kurang percaya pada sistem perbakan nasional atau pada ketentuan rahasia bank di negaranya,maka hal ini dapat mendorong nasabah untuk memindahkan penyimpanan dananya ke bank lain di luar negeri. Hal ini mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya kekuatan yang produktif dar suatu negara. Oleh sebab itu, ketentuan rahasia bank perlu dipertimbangkan untuk tetap ketat.

Ketatnya rahasia bank selain berdampak positif seperti diuraikan diatas,juga dapat berdampak negatif. Misalnya ketentuan rahasia bank suatu negara sangat ketat dan luas ruang lingkupnya, maka hal ini menjadi lahan


(34)

menarik untuk,melakukan pemutihan uang hasil kejahatan (money laundering). Ketatnya ketentuan rahasia bank dapat menghambat tugas DPR didalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dan dapat menyulitkan bagi penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa suatu sistem sulit untuk berjalan baik, apabila ketentuan rahasia bank terlalu ketat. Dikhawarirkan rahasia bank yang ketat,pelaku kejahatan akan mudah bersembunyi dan pungutan pajak tidak akan berhasil dengan baik.

Suatu ideal dalam pengaturan suatu ketentuan rahasia bank adalah sebagaimana mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi nasabah, kepentingan perbankan dan kepentingan umum. Apabila dikatakan bahwa perlunya ketentuan rahsia bank adalah dalam rangka memelihara kepentingan umum, yaitu kepentingan nasabah dan bank, namun disisi lain terdapat kepentingan umum untuk membuka rahasia bank, misalnya untuk pemberanasana tindak pidana yang hasilnya seringkali disimpan di bank. Dengan demikian yang terpenting adalah bagaimana menciptakan adanya keseimbangan antara kepentingan umum yang satu dengan yang lainnya.

Diseluruh negara terdapat kecenderungan bahwa ketentuan rahasia bank bersifat tidak mutlak. Artinya rahasia bank tetap dapat diterobosdengan beberapa alasan atau pengecualian yang diatur secara limitatif dalam peraturan atau putusan yang bervariasi anatar satu negara dengan negara lain. Alasan-alasan tersebut:

1. Untuk kepentingan perpajakan


(35)

3. Dalam hubungan perdata antara bank dengan nasabahnya 4. Dalam rangka tukar menukar informasi antar bank 5. Adanya persetujuan nasabah

6. Adanya ketentuan lain yang mewajibkan membuka rahasia bank 7. Adanya kewajiban untuk mencegah terjadi tindak pidana 8. Adanya panggilan atau penggeledahan oleh pemerintah

  Berkaitan dalam hal ini, salah satu permasalahan yang muncul adalah mengenai ruang lingkup rahasia bank, apakah hanya meliputi simpanan masyarakat atu meliputi pinjaman yang diberikan bank. Disamping itu, timbul tuduhan bahwa ketentuan rahasia bank yang terlalu luas dapat dipakai sebagai tempat berlindung bagi debitur-debitur bermasalah. Berkaitan dengan hal ini dipertanyakan kembali filosofi ketentuan rahasia bank,apakah untuk melindungi masyarakat yang memiliki dana atau untuk melindungi bank yang melakukan penghimpunan dana. 

Banyak sekali diantara permasalahan tersebut belum terjawab secara mmuasakan oleh ketentuan rahasia bankdalam undang-undang perbankan. Dalam menangani kasus-kasus menyangkut rahasia bank seringkali pihak penyidik,penuntut umum dan pengadilan meminta keterangan ahli dari Bank Indonesia sebagai lembaga yang bertanggung jawaban dalam pembinaan dan pengawasan bank. Masalah lain belum terjawab dengan tuntas apakah ketentuan rahasia bank berlaku untuk mantan nasabah,mantan komisaris,mantan direktur,


(36)

atau mantan pegawai bank. Karena dalam hal ini telah muncul suatu gejala yang menarik, yaitu terdapat kecenderungan nasabah nakal untuk menyerang balik bank dengan tuduhan melanggar ketentuan rahasia bank. Misalnya nasabah kredit macet mengadukan bank bank secara pidana dengan tuduhan melanggar ketentuan rahasia bank,karena bank dalam menagih/menegur bank, bank juga memberikan tembusan surat tagihan/teguran kepada pihak yang memberi referensi atau rekomendasi. Sementara secara perdata ada nasabah yang menggugat banknya atas dasar perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata),karena dituduh membocorkan rahasia bank yang menimbulkan kerugian bagi nasabahnya.

Hal lain yang belum diatur secara memadai dalam konteks ketentuan rahasia bank adalah menyangkut penyitaan/pemblokiran rekening dalam perkara pidana. Selama ini pengaturan masalah penyitaan dan pemblokiran rekening nasabah belum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tetapi hanya didasarkan pada Surat Edaran Bank Indonesia yang meneruskan surat/instruksi dari Panglima Angkatan Kepolisian dan Jaksa Agung kepda jajarannya. Dalam Surat Edaran tersebut,pemblokiran rekening dilakukan berdasarkan Surat Perintah Penyitaan. Kemudian pada tanggal 6 November 1997 dikeluarkan Keputusan Bersama Jaksa Agung Republik Indonesia. Dalam pasal 5 keputusan bersama tersebut dinyatakan,bahwa dalam hal penyidik menerima laporan adanya suatu rekening yang diduga menampung dana yang berasal dari tindak pidana ,maka tindakan pemblokiran oleh penyidik dilakukan dengan tembusan surat permintaan pemblokiran kepada Bank Indonesia. Selanjutnya


(37)

masalah pemblokiran ini diatur secara singkat dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

1.Undang-Undang No.6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia

Peranan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral di Indonesia adalah sebagai Pengawas dan Pembina bagi Bank-bank lain untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, mengenai pengawasan dan pembinaan diatur dalam Undang No.23 tahun 1999 jo. Undang-undang No.3 Tahun 2004 jo.Undang-Undang-undang No.6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia,dalam hal pengawasan Bank Sentral melakukannya secara langsung maupun tidak langsung ,menurut undang-undang Bank Indonesia yang dimadsud degan pengawasan langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang disertai dengan tindakan perbaikan. Sedangkan yang dimadsud dengan pengawasan tidak langsung terutama dalam ketentuan pasal 29 undang-undang Perbankan,yaitu sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (1):

“Pembinaan dan pengawasan bank dilakukan oleh Bank Indonesia” Pasal 29 Ayat (2):

“Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal,kualitas aset,kualitas manajemen,likuiditas,rentabilitas,solvabilitas,dan aspek lain yang


(38)

berhubungan dengan usaha bank,dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian”

Pasal 29 ayat (3):

“Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya,bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”

Pasal 29 ayat (4):

“Untuk kepentingan nasabah,bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank”

Pasal 29 ayat (5):

“Ketentuan yang wajib dipenuhi oleh bank sebagaimana dimadsud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Dalam bagian penjelasan dari ketentuan Pasal 29 ayat (1),(2),dan (3) diatas,di kemukakan bahwa yang dimadsud dengan pembinaan dalam ayat (1) adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang menyangkut aspek kelembagaan ,kepemilikan ,kepengurusan,kegiatan


(39)

usaha,pelaporan serta aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional bank. Informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimadsudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjadi adanya transparansi dalam dunia perbankan . Informasi tersebut dapat memuat keadaan bank,termasuk kecukupan modal dan kualitas aset. Sedangkan dalam penjelasan dari ketentuan pasal 29 ayat (5) dikemukakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia anatara lain:

1.Ruang lingkup pembinaan dan pengawasan; 2.Kriteria penilaian tingkat kesehatan;

3.Prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan; 4.Pedoman pemberian informasi kepada nasabah.

Dalam rangka pembinaan dan pengawasan bank tersebut diatas,pasal 30 Undang-undang Perbankan menyatakan bahwa:

Pasal 30 ayat (1):

“Bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia,segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.


(40)

Pasal 30 ayat (2):

“Bank atas permintaan Bank Indonesia wajib memberikan kesempatan bagii pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya,serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank yang bersangkutan”

Pasal 30 ayat (3):

“Keterangan tentang bank yang diperoleh berdasarkan ketentuan sebagaimana dimadsud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak diumumkan dan bersifat rahasia “

Berdasarkan ketentuan diatas dapat dikemukakan bahwa kewajiban penyampaian keterangan dan penjelasan yang berkaitan dengan kegiatan usaha suatu bank Kepada Bank Indonesia diperlukan mengingat keterangan tersebut dibutuhkan untuk memantau keadaan suatu bank dalam rangka melindungi dana masyarakat menjaga keberadaan lembaga perbankan, serta menemukan informasi mengenai adanya penyimpangan yang berindikasi terjadinya tindak pidana,khususnya mengenai tinda pidana pencucian uang. Walaupun informasi tersebut bersifat rahasia, Bank Indonesia menurut pasal 42 ayat (1) undang-undang No.10 tahun 1998 tentang Perbankan menentukan bahwa:

“Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,Pimpinan Bank Indonesiadapat memberikan ijin kepada polisi,jaksa,atau


(41)

hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank”

Jelaslah disini bahwa Bank Indonesia sebagai Bank sentral diantara bank-bank lainnya mempunyai kewenangan untuk memberikan informasi kepada pihak penyidik apabila berkaitan mengenai adanya tindak pidana yang menyangkut bidang Perbankan. Walaupun kerahasiaan bank adalah suatu hal yang penting sekali dalam hal menjaga kerahasiaan dari orang-orang yang mepercayakan uangnya kepada bank.

2. Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Tentang Perbankan

Menurut ketentuan apsal 1 angka 16 UU No. 7 tahun 1992,yang dimadsud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lainnya darinasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Berkaitan dengan itu,ketentuan pasal 40 ayat(1) menentukan bahwa bank dilarang memberikan keterangan yang dicatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hal-hal lain dari nasabahnya,yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan,kecuali dalam hal sebagaimana dimadsud dalam pasal 41,pasal 42, pasal 43, dan pasal 44.

Berdasarkan ketentuan diatas,dapat dikemukakan bahwa makna yang terkandung didalam pengertian rahasia bank adalah larangan-larangan bagi perbankan untuk memberi keterangan atau informasi kepada siapa pun juga mengenai keadaan keuangan dan hal-hal lainnya, untuk kepentingan nasabah maupun untuk kepentingan dari bank itu sendiri. Selanjutnya ketentuan pasal 1


(42)

angka 16 tersebut diubah menjadi pasal 1 angka 28 UU No. 10 tahun 1998,yang mengemukakan bahwa yang dimadsud dengan yrahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Sedangkan pasal 40 ayat (1) UU No.10 tahun 1998,yang mengemukakan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya,kecuali dalam hal sebagaimana dimadsud dalam pasal 41,41A,pasal 42,pasal 43,pasal 44 dan pasal 44 A.

Berdasarkan ketentuan diatas,menunjukkan bahwa pengertian dan ruang lingkup mengenai rahasia bank yang diatur dalam UU No.10 tahun 1992 dan UU No.10 tahun 1998 adalah berbeda. Dalam UU No. 7 tahun 1992 ketentuan rahsia bank lebih luas,karena berlaku bagi setiap nasabah dengan tidak membedakan antara nasabah penyimpan dan nasabah peminjam. Sedangkan ketentuan rahasia bank yang ditentukan dalam UU No. 10 tahun 1998 lebih sempit karena hanya berlaku bagi nasabah penyimpan dan simpanannya saja.

3.Undang-Undang 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

Hubungan antara bank dengan nasabahnya tidaklah sebatas hubungan kontraktual biasa,tapi dalam hubungan tersebut terdapata pula kewajiban bagi bank untuk tidak membuka rahasia dari nasabahnya kepada pihak lain manapun kecuali jika ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku14

         14 

Adrian Sutedi,Hukum dan Perbankan suatu tinjauan Pencucian Uang,merger,likuidasi 


(43)

Menurut pasal 1 angka 14 Undang-Undang Perbankan Syariah, yang dimadsud dengan rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan megenai nasabah penyimpan dan simpanannya serta nasabah investor dan investasinya. Dari pengertian yang diberikan pasal 1 ayat 14 dan pasal lainnya,dapat ditarik unsur-unsur dari rahasia bank itu sendiri antara lain:

1. Rahasia Bank tersebut dengan keterangan mengenai nasabah penyimpasn dan simpanannya

2. Hal tersebut wajib dirahasiakan oleh bank,kecuali termasuk ke dalam kategori berdasarkan prosedur peraturan, peraturan perundang-undangan dan yang berlaku

3. Pihak yang dilarang membuka rahasia bank adalah bank itu sendiri dan/atau pihak terafiliasi15.yang dimadsaud pihak terafiliasi antara lain:

a. Komisaris,Direksi,atau Kuasanya,Pejabat,dan Karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS b. Pihak yang memberikan jasanya kepada bank syariah atau

UUS,antara lain Dewan Pengawas Syariah,Akuntan Publik,Penilai,Konsultan Hukum; dan atau

c. Pihak yang menurut penilaian bank Indonesia serta mempengaruhi pengelolaan bank syariah atau UUS,baik langsung maupun tidak       

  15 


(44)

langsung ,antara lain pengendali bank,pemegang saham dan keluarganya,keluarga komisaris dan keluarga direksi.

Beberapa pengaturan mengenai rahasia bank dalam UU Perbankan Syariah yang agak berlainan dengan UU Perbankan konvensional, antara lain:

1) Tidak diaturnya pengecualian rahasia bank untuk kepentingan piutang yang sudah diserahkan kepada BUPLN/PUPN, seperti halnya yang diatur dalam UU Perbankan konvensional. Dengandemikian pengecualian rahasia bank yang dapat dimintakan izinnya ke BI terbatas hanyauntuk kepentingan perpajakan, dan kepentingan peradilanndalam perkara pidana. Disamping itu terdapat pengecualian lainnya yang tidak memerlukan izin dari BI, yaitu dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antar bank, dan atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, serta bagi ahli waris yang sah dalam hal nasabah telah meninggal dunia.

2) Pengaturan mengenai penyidik diperluas, tidak hanya terbatas pada jaksa atau polisi, tetapi berlaku juga bagi penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan UU (Pasal 43).Dengan demikian para penyidik di luar polisi atau jaksa dapat meminta keterangan mengenai rahasia bank, namun permintaan tersebut tetap diajukan oleh pimpinan instansi/departemen atau setingkat menteri. Hal tersebut menunjukkan sikap masih dipertahankannya sifat kerahasiaan bank, walaupun diperluas kepada


(45)

penyidik diluar polisi atau jaksa, tetapi hanya tingkat pimpinan instansi/departemen yang dapat mengajukan permintaan izin dimaksud.

4.Peraturan Bank Indonesia nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank

Ketentuan mengenai rahasia bank diatur dalam UU Perbankan dan kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Ijin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Berdasarkan ketentuan tersebut ,pada prinsipnya setiap bank dan afiliasinya wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Sedangkan keterangan mengenai nasabah selain sebagai nasabah penyimpan, tidak wajib dirahasiakan.

Terhadap rahasia bank dapat disimpangi dengan izin terlebih dahulu dari pimpinan Bank Indonesia untuk kepentingan perpajakan,penyelesaian piutang oleh BUPN/PUPLN dan kepentingan peradilan perkara pidana dimana status nasabah penyimpan yamg akan dibuka rahasia bank harus tersangka atau terdakwa. Terhadap rahasia bank dapat juga disimpangi tanpa ijin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia yakni untuk kepentingan perkara perdata antara bank dengan nasabahnya,tukar menukar informasi antar bank,atas permintaan/persetujuan dari nasabah dan untuk kepentingan ahli waris yang sah. Dalam hal diperlukan pemblokiran dan atau penyitaan simpanan atas nama seorang nasabah penyimpan yang telah dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa oleh pihak aparat penegak hukum,berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan,berdasarkan ketentuan pasal 12 ayat (1) PBI Rahasia


(46)

bank,dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tanpa memerlukan ijin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia. Namun demikian untuk memperoleh keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan nasabah yang diblokir dan atau disita pada bank, menurut Pasal 12 ayat (2) PBI Rahasia bank ,tetap berlaku ketentuan mengenai pembukaan Rahasia Bank dimana memerlukan ijin terlebih dahulu dari Pimpinan Bank Indonesia.


(47)

BAB III

BADAN-BADAN PENYIDIK YANG BERWENANG DALAM

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

A.Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satu institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selain dalam KUHAP, kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik untuk mengungkap tindak pidana, ditegaskan kembali dalam Pasal 1 angka 8 dan 9, dan Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan: melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewenangan polisi sebagai penyelidik dan penyidik tersebut adalah sebagai bentuk perwujudan terhadap tugas pokok kepolisian sebagai yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- kepolisian sebagai yang tercantum dalam Pasal 13 Undang- Undang No. 2 Tahun 2002, yaitu untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Jika dikaitkan dengan UU TPPU yang baru, terdapat perubahan yang mendasar terkait penyidikan yaitu diberikannya wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (lazimnya Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPNS) di bawah koordinasi PPATK untuk melakukan


(48)

penyidikan TPPU yang berkaitan dengan tindak pidana asalnya (misalnya tindak pidana kepabeanan).

Pemberian wewenang kepada penyidik tindak pidana asal (PPNS) sudah tentu berpotensi menimbulkan permasalahan tersendiri, karena pihak-pihak yang diduga melakukan tindak pidana akan berhadapan dengan begitu banyak petugas. Padahal kita tahu bahwa sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam menerapkan sistem administrasi yang bersinergi. Khusus untuk institusi kepolisian, maka dalam upaya mengungkap TPPU, polisi harus memperoleh alat bukti yang akan diajukan pada jaksa untuk selanjutnya diungkapkan di persidangan, namun hal ini tidak mudah untuk dilaksanakan karena dihadapkan pada berbagai kendala,di antaranya:

1. Kompleksitas perkara sering memerlukan pengetahuan yang komprehensif. Sebagai contoh dalam kasus TPPU yang melibatkan institusi perbankan, maka selain harus mengatahui dan memahami pengetahuan di bidang pidana, aparat penegak hukum juga harus mengetahui dan memahami pengetahuan di bidang keuangan dan lalu lintas moneter. Dalam hal ini seringkali dibutuhkan bantuan dari pihak yang ahli untuk dimintai pendapatnya sebagai saksi ahli.

2. Tindak pidana TPPU pada umumnya melibatkan sekelompok orang yang saling menikmati keuntungan dari tindak pidana tersebut, sehingga pelaku saling bekerja sama untuk menutupi perbuatan mereka. Hal ini menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengungkap bukti-bukti yang ada.


(49)

3. Waktu terjadinya tindak pidana TPPU umumnya baru terungkap setelah tenggang waktu yang cukup lama. Hal ini menyulitkan pengumpulan atau merekonstruksi keberaadaan bukti-bukti yang sudah terlanjur dihilangkan atau dimusnahkan. Disamping itu para saksi atau tersangka yang sudah terlanjur pindah ketempat lain juga berperan untuk menghambat proses pemeriksaan;

4. Kemajuan dibidang teknologi informasi memungkinkan TPPU terjadi melampaui batas kedaulatan suatu Negara, sehingga dalam praktiknya sering menimbulkan kesulitan untuk mengungkapkannya, dikarenakan: a. Perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan Negara-negara dimana

pelaku TPPU atau uang hasil tindak pidana TPPU itu berada.

b. Belum adanya perjanjian ekstradisi atau perjanjian kerjasama bantuan di bidang hukum (mutual legal assistance in criminal metters) antara Indonesia dengan dengan negara-negara dimana pelaku TPPU atau uang hasil TPPU itu berada.

c. Pemeriksaan tersangka dan saksi yang berada diluar negeri. Sebagai sarana untuk mengungkapkan suatu tindak pidana, setiap pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi oleh penyidik harus dibuat dalam format Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Hal tersebut tidak terlalu sulit apabila penyidik dapat berhadapan, bertatap muka dan berkomunikasi secara langsung dengan tersangka dan para saksi. Akan tetapi kondisi tersebut tidak mudah diwujudkan dalam hal pemeriksaan tersangka dan saksi tindak pidana TPPU yang berada di luar yurisdiksi negara Indonesia


(50)

d. Tidak adanya upaya paksa yang dapat dilakukan apabila saksi yang berada di luar negeri tidak mau datang ke Indonesia untuk memberikan keterangan. Selain itu tidak ada kejelasan siapa yang berkewajiban bertanggung jawab terhadap biaya transportasi, akomodasi bagi saksi yang berasal dari luar negeri.

e. Untuk mengajukan permohonan bantuan pembekuan dan pemblokiran rekening bank yang berada luar negeri diperlukan adanya lampiran berupa surat perintah pemblokiran yang dikeluarkan oleh pengadilan (court order).

f. Permintaan bantuan untuk melakukan penggeledahan dan penyitaan kepada negara lain harus dilampiri dengan surat perintah penggeledahan dan penyitaan dari pengadilan (court order). Selain itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan masyaratkan harus dibuatnya suatu berita acara. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak ada di negara lain. Dengan demikian apakah barang bukti yang diperoleh dari hasil pelaksanaan penggeledahan dan penyitaan di luar negeri tersebut dapat dinyatakan sah sebagai alat bukti di hadapan pengadilan Indonesia.

B. Peran Kejaksaan dalam Kepentingan Penuntutan

Bahwa kewenangan melakukan penyelidikan terhadap atau untuk Tindak Pidana,bagi Penyidik Kejaksaan didasarkan pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Selanjutnya dasar


(51)

hukum untuk melaksanakan Penyidikan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari Tindak Pidana yang penyidikannya ditangani oleh Penyidik Kejaksaan merujuk pada Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan selebihnya mengacu pada KUHAP.

Penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang peradilan serta pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap terhadap tindak pidana sebagaimana yang dimadsud dalam Undang-Undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.16

(1) Dibidang pidana,kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang: a. Melakukan Penuntutan;

b. Melaksanakan Penetapan Hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat,putusan pidana pengawasan,dan keputusan lepas bersyarat; Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang

d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik

      

  16 Pasal 68 UndangUndang RI No. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan  Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 


(52)

C. Peran Komisi Pemberantasan Korupsi

Bahwa kewenangan melakukan penyelidikan terhadap atau untuk Tindak Pidana Korupsi,bgi penyidik KPK didasarkan pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tenyang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selanjutnya dasar hukum untuk melaksanakan Penyidikan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari tindak pidana korupsi yang penyidikannya ditangani oleh Penyidik KPK merujuk pada Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Tentang Pemberantsan Tindak Pidana Korupsi dan selebihnya mengacu pada KUHAP.

Penyidikan,penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan yang telah mempperoleh kekuatan hukum tetap terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimadsud dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.17

Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan,penyidikan,dan penuntutan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana juga bagi penyelidik,penyidik, dan penuntut, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi.18

      

  17 Pasal 68 UndangUndang RI No. 8 tahun 2010 Tentang Pencegahan dan  Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 

  18 

Pasal 38(1) Undang‐Undang RI No.30  tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Korupsi 


(53)

Ketentuan sebagaimana dimadsud dalam pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak berlaku bagi Penyidik tindak pidana korupsi sebagaimana sitentukan dalam undang-undang ini19

D. Peran Badan Narkotika Nasional

Bahwa kewenangan melakukan penyelidikan terhadap atau untuk tindak pidana narkotika,bagi penyidik BNN didasarkan pada pasal 71 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Selanjutnya dasar hukum untuk melaksanakan Penyidikan untuk Tindak Pidana Pencucian Uang yang bersal dari Tindak Pidana Narkotika yang Penyidikannya ditangani oleh Penyidik BNN merujuk pada undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dan selebihnya mengacu pada KUHAP.

E. Peran Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Pasal 74 UU PPTPPU menyebutkan bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pasal ini dapat dipahami bahwa penyidikan TPPU yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana perpajakan menjadi kewenangan dari penyidik pajak (PPNS DJP) saja, tidak bisa diintervensi oleh penyidik yang lain misalnya penyidik polisi atau jaksa penyidik. Di sinilah letak pentingnya dan fungsi vital yang dimiliki oleh DJP dalam pemberantasan TPPU.       

  19 

Pasal 38(2) Undang‐Undang RI No.30  tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan  Korupsi 


(54)

Dalam UU PPTPPU disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penyidik tindak pidana asal” adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Kemudian pasal 75 menyebutkan dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya TPPU dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan TPPU dan memberitahukannya kepada PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan). Ketentuan ini memberikan dasar legitimasi bagi penyidik pajak ketika melakukan penyidikan tindak pidana perpajakan untuk secara sekaligus menggabungkannya dengan penyidikan TPPU apabila memang ditemukan indikasi/kemungkinan bahwa WP yang disidik tersebut melakukan TPPU.

Uraian di atas memberikan “PR” (pekerjaan rumah) bagi penyidik pajak untuk memikirkan bagaimana caranya agar ketika melakukan penyidikan tindak

pidana perpajakan juga berusaha untuk mencari/menemukan

indikasi/kemungkinan adanya TPPU yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Dengan kata lain, mindset penyidik pajak bukan hanya melulu dan terfokus pada proses penyidikan tindak pidana perpajakan semata-mata tetapi juga diarahkan pada ruang lingkup TPPU.


(55)

Walaupun tata cara penyidikan TPPU sudah diatur dalam UU PPTPPU, alangkah lebih baik juga dituangkan secara lebih detil dan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan mengenai taca cara pemeriksaan bukti permulaan TPPU, sebagai pendamping Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Selanjutnya, hal ini bisa dipakai sebagai pedoman dan arahan bagi penyidik pajak dalam mendukung pelaksanaan penyidikan TPPU.

Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.20 Pada ayat ini diatur

wewenang Pejabat Pegawai Negari Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak sebagai penyidik termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan barang tersebut dapat dilakukan,baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak termasuk rekening bank,piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak,Penanggung Pajak dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka.21

      

  20 Pasal 44 UndangUndang RI No.28 tahun 2007 tentang perubahan atas Undang Undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan  

  21 Penjelasan pasal 44 UndangUndang RI No.28 tahun 2007 tentang perubahan atas  Undang‐Undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan.   


(56)

Sedangkan penyidikan dalam Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia bahwa kewenangan melakukan penyelidikan terhadap atau untuk Tindak Pidana Kepabeanan dan Cukai, bagi penyidik Bea dan Cukai didasarkan pada pasal 63 Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang cukai dan pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Selanjutnya dasar hukum untuk melaksanakan penyidikan untuk tindak pidana pencucian uang yang bersal dari tindak pidana Kepabeanan dan Cukai merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai dan Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan dan selebihnya mengacu pada KUHAP.

Penyidikan,penuntutan,dan pemeriksaan di sidang pengadilan seta pelaksanaan penuntutan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimadsud dalam undang-undang ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.


(57)

BAB IV

KEWENANGAN PENYIDIK DALAM TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

A. Wewenang dan Kewajiban Penyidik dalam KUHAP

  Pada tanggal 31 Desember 1981, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mulai diberlakukan. Dengan berlakunya KUHAP ini, segala ketentuan mengenai acara pidana yang termuat dalam HIR dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembar Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Negara Nomor 81) tentang tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan,kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, beserta seluruh peraturan pelaksanaannya, sepanjang mengenai hukum acara pidana dinyatakan tidak berlaku lagi. KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung bangsa Indonesia di bidang hukum acara pidana karena semua hak-hak tersangka atau terdakwa sebagai syarat tegaknya hukum dalam suatu negara telah diatur di dalamnya. Berdasarkan KUHAP, sistem peradilan di Indonesia terdiri dari berbagai unsur yaitu Kepolisian, Kejaksaan,Pengadilan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparta penegak hukum. Semua unsur ini saling terkait dan menentukan dalam pelaksanaan penegakan hukum acara pidana di Indonesia. Penegakan Hukum menurut KUHAP sebenarnya merupakan usaha yang sistematis, karena adanya unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan dalam satu kesatuan meskipun tetap ada batasan-batasan tertentu antara setiap unsur,seperti


(58)

pembatasan wewenang dan tugas. Proses penyelesaian suatu perkara pidana berdasarkan KUHAP dibagi ke dalam4 (empat) tahap yaitu:22

1. Penyelidikan 2. Penangkapan 3. Penahanan

4. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Wewenang dan kewajiban penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP yang berbunyi:

a. Karena kewajibannya mempunyai wewenang:

1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana

2) Mencari keterangan dan barang bukti

3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa identitas tanda pengenal diri.

4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab b. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:

1) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan , penyitaan.

         22 Romli Atmasasmita (B),


(1)

Padahal seharusnya penyidik bisa melakukan penyelidikan terlebih dahulu dan tidak perlu menunggu laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, dan adanya konvensi dan treaty yang belum diratifikasi hal itu akan berpengaruh pada penerapannya di Indonesia,selain akan merugikan posisi Indonesia di kancah internasional, Indonesia juga akan mengalami kesulitan dalam permintaan bantuan hukum timbal balik dengan negara-negara ASEAN. Selain itu Indonesia dinilai oleh negara lain tidak “kooperatif” dalam penanganan tindak pidana tertentu.

3) Peningkatan kerjasama antar instansi yang terkait dengan Tindak Pidana Pencucian Uang saling membutuhkan database (basis data) untuk

kepentingan pelaksanaan tugas instansi lain,namun akses terhadap database instansi lain dapat dilakukan atas dasar permintaan yang sebelumnya didahului dengan Memorandum of Understanding (MoU)

dirasakan cukup membutuhkan waktu yang lama. Sehingga efektivitas ketersediaan informasi belum maksimal,dan masih terdapat instansi yang belum menerapkan pengelolaan database secara elektronisasi dan

tersentralisasi.

B. Saran

1. Meningkatkan kepatuhan Penyedia Jasa Keuangan dalam Menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang apada akhirnya memudahkan Penyedia Jasa Keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan kepada PPATK


(2)

2. Meratifikasi Konvensi maupun Treaty kerjasama internasional pada tindak Pidana Pencucian Uang,dengan meratifikasi Konvensi maupun Treaty yang terkait dengan pencucian uang maka kerjasama internasional di bidang kejahatan lintas negara khususnya pencucian uang dapat ditingkatkan.

3. Diharapkan pensosialisasian Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang lebih intens dilakukan,sehingga modus tindak pidana pencucian uang dapat dideteksi lebih awal serta menerapkan pengelolaan database secara

elektronisasi dan tersentralisasi dengan mempertimbangkan msemakin kompleks dan cepatnya informasi yang didapat maupun yang beredar.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Atmasasmita,Romli. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Cet.-1, (Bandung:

Binacipta,1983).

Chatamarrasjid,HukumPerbankan Nasional Indonesia Jakarta: Prenada

Media,2005).

Edi Setiadi dan Rena Yulia,Hukum Pidana Ekonomi ,(Yogyakarta:Graha

Ilmu,2010)

Husein,Yunus.Negeri Sang Pencuci Uang, (Bandung: Pustaka Juanda Tiga

Lima,2010)

Mulyadi,Lilik.Hukum Acara Pidana, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,2007)

Moeljatno,Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Yogyakarta:Bina Aksara,1983)

---, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara, 1987)

Pramono,Bambang. Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985)

Soedarto, SH, Hukum Pidana I Fakultas Hukum, (Semarang : Undip,1990)

Sutan Remy Sjahdeini,Seluk-Beluk Pencucian Uang,(Jakarta: Grafiti Press,2007)

Sutedi,Adrian.Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung:PT.Citra Aditya Bakti,

2008)

---, Hukum dan Perbankan suatu tinjauan Pencucian Uang,merger,likuidasi dan kepailitan,(Jakarta:Sinar Grafika,2008),halaman 5

Yustiavandana,Ivan.,Tindak PidanaPencucian Uang di PasarModal, (Bogor:


(4)

Yusuf et. al. Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National Legal

Reform Program, 2001).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Undang-Undang Nomor 6 tahun 2009 tentang Bank Indonesia Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Bank Syariah

Undang-Undang RI No.28 tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-Undang No.6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika

Undang-Undang RI No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

SURAT KEPUTUSAN

:

SKEP Kabareskrim No.Pol: SKEP/82/XII/2006/BARESKRIM/tanggal 15 Desember 2006

WEBSITE dan IKTISAR:

Sudiharsa,Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang,tulisan dalam


(5)

http://sudiharsa.wordpress.com/2007/06/20/penanganan-tindak-pidana-pencucian-http://www.komisikepolisianindonesia.com, di akses pada hari kamis 04 mei 2012 Pompe,Sebastian.,Ikhtisar Ketentuan Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,Jakarta:The Indonesian Netherlands National Legal


(6)