BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin pesat, memancing tiap individu baik aktor negara maupun masyarakat biasa dapat
mengetahui berita secara real time.
1
Beragam peristiwa yang terjadi mulai dari perang, krisis, pelanggaran hak asasi manusia HAM, bencana alam, hingga aksi
terorisme di seluruh dunia dapat diterima melalui pemberitaan media massa, baik surat kabar, internet, televisi TV maupun radio.
Teknologi informasi dengan bantuan satelit mampu memberikan tayangan suatu kejadian atau peristiwa secara langsung dari tempat kejadian, seakan-akan
media elektronik menjadikan pemirsa sebagai saksi mata terhadap setiap peristiwa yang ditayangkan.
2
Seperti Perang Teluk 1991, invasi AS ke Kosovo 1999, bahkan serangan teroris terhadap World Trade Center WTC dan gedung
Pentagon di Amerika Serikat 2001 dapat disaksikan oleh pemerhati berita dari
seluruh dunia. Dalam merespon kemajuan teknologi informasi, aktor kebijakan luar
negeri menjadikan teknologi informasi khususnya media massa masuk sebagai dimensi ke empat dalam hubungan antarnegara.
3
Teknologi informasi berada
1
Real Time adalah informasi yang dapat diperoleh dengan cepat melalui jaringan internet atau satelit dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini dapat dilihat pada saat Perang Teluk tahun
1991, yaitu baik Saddam Hussein maupun George W. H. Bush Bush senior sebagai aktor negara sama-sama menonton Cable News Network CNN untuk mengetahui perkembangan berita terbaru
di antara kedua negara tersebut. Lihat dalam Joseph S. Nye, Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History
, London: Harper Collins College Publisher, 1993, h. 184.
2
Ibid., h. 184.
3
Philip M. Taylor, global Communication International Affairs and The Media Since 1945
, London: Routledge, 1997 h. 20-34.
setelah diplomasi, interaksi ekonomi, dan militer. Dalam hubungan antarnegara tersebut, teknologi informasi dijadikan alat untuk mencapai kepentingan nasional,
yakni menjadikan media massa untuk menyampaikan pesan dan pandangannya terhadap suatu fenomena internasional melalui sudut pandang budaya negaranya.
Dengan dijadikannya teknologi informasi sebagai dimensi ke empat dalam hubungan antarnegara, maka hal ini menggambarkan bahwa informasi merupakan
alat sosialisasi kebijakan luar negeri.
4
Namun sosialisasi yang disampaikan oleh teknologi informasi merujuk pada pencitraan suatu negara yang sengaja dibangun
di negara lain yang pada umumnya menggunakan media massa. Hal ini dapat ditunjukkan dengan melihat mekanisme berita yang dikonstruksikan oleh media
massa, di mana jurnalis meliput dan mempublikasikan berita ke negara lain sebagai berita aktual untuk membangun citra bahkan ditujukan untuk mengubah
kebijakan suatu negara. Seperti halnya pada konflik Bosnia tahun 1992-1995, Presiden Bill Clinton
tidak menganggap penting masalah tersebut karena tidak mengancam kepentingan nasional Amerika Serikat.
5
Namun, gencarnya pemberitaan dari media massa mengenai pembantaian penduduk sipil Serbia, maka pemerintah mendapat
keyakinan untuk bertindak atas kasus yang terjadi.
4
Teknologi informasi memiliki tiga fungsi dalam komunikasi internasional: pertama, untuk mendinamisasikan hubungan yang terjalin antara dua negara atau lebih; kedua, untuk menghidari
konflik agar tidak terjadi kesalah fahaman; ketiga, untuk membantu kepentingan suatu negara dengan mendukung pelaksanaan politik luar negerinya. Dengan ketiga fungsi tersebut maka
informasi digolongkan sebagai aktor diplomasi jalur kedua second track diplomacy yang menggantikan diplomasi tradisional first track diplomacy. Dalam bab yang sama menjelaskan
bahwa diplomasi yang ada pada media massa digunakan untuk membanguncitra suatu negara di negara lain. Lihat dalam Teuku May Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional,
Bandung: IKAPI-PT Refika Aditama, 2005, h. 126-134.
5
Warren p. strobel, Senior Editor “The Media: Influencing Foreign Policy in the
Information Age”, U.S News and World Report, diakses pada 02 Agustus 2010 pkl. 03:03, dari
http:www.unconsulate.govwwwhforpol.html
Pada penulisan skripsi ini, penulis akan memfokuskan pembahasan pada negara Amerika Serikat. Dalam konteks Amerika Serikat, telah dijelaskan skema
sosialisasi kebijakan luar negerinya melalui laporan The US Advisory Commission on Public Diplomacy
pada bulan Maret 1995. Dalam laporan tersebut menjelaskan bahwa sosialisasi kebijakan luar negeri Amerika Serikat
menggunakan diplomasi publik secara berdampingan dengan diplomasi tradisional.
6
Dengan demikian, untuk mencapai kepentingan nasionalnya, maka pemerintah AS juga harus menyampaikan kebijakannya melalui media massa
yang dikonsumsi oleh masyarakat AS sendiri atau menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat internasional melalui media yang berada di negara lain. Hal
ini merupakan bentuk upaya pemerintah memahami bahwa publik juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi peristiwa dan keputusan.
Media massa sebagai alat sosialisasi antarnegara juga dapat memainkan peran dalam kepentingan nasional suatu negara.
7
Hal ini juga berkaitan dengan publikasi media yang diterima oleh negara lain untuk membantu kepentingan
negaranya. Dalam hubungan publikasi media massa mendukung kebijakan luar negeri suatu negara dapat diteliti dalam kasus invasi AS ke Irak tahun 2003.
Invasi AS ke Irak tahun 2003 yang menjadi fokus penelitian skripsi ini, merupakan realisasi kebijakan pemerintah AS sebagai respon terhadap aksi
terorisme Pasca-Tragedi 911.
8
Kebijakan tersebut merupakan tindakan kontroversial karena AS tidak dapat dukungan yang kuat dari data yang dimiliki
oleh United Nations Monitoring, Verification and Inspection Commission
6
Taylor, “Public Diplomacy in the 21st Century” dalam Global Communication International Affairs
, h. 82.
7
Rudy, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat Internasional, h, 127.
8
Dewi Fortuna Anwar, “Tatanan Dunia Baru”, Jurnal Demokrasi dan HAM Vol.3, No.2, Mei-September 2003, h. 8.