Lampiran 2. Berdasarkan kategori Tomlinson 1986, vegetasi yang dijumpai tersebut terdiri atas major component: 10 jenis, minor component: 6 jenis, dan
mangal associate: 21 jenis. c. Kondisi seperti ini menjadikan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat
Timur Laut merupakan satu-satunya Suaka Margasatwa di Indonesia yang keseluruhan arealnya merupakan tipe ekosistem mangrove.
Dengan demikian, status kawasan ini sebagai Suaka Margasatwa sangat beralasan untuk dipertahankan.
3.2. Gangguan Kawasan
Sebelum ditetapkan menjadi Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, penduduk secara perorangan sudah mengambil kayu secara tidak sah
dan memanfaatkan lahan kawasan Suaka Margasatwa sebagai lahan tambak. Walaupun sejak tahun 1980 hutan mangrove di Karang Gading dan Langkat Timur
Laut ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa tetapi pengambilan kayu dan pemanfaatan lahan Suaka Margasatwa ini secara tidak sah masih terus berlangsung.
Pengambilan kayu dan pemanfaatan lahan yang ada pada awalnya dilakukan secara perorangan meningkat menjadi secara berkelompok dan lebih terorganisir.
Sejak tahun 1995 pelanggaran makin meningkat, perambahan sudah dilakukan, baik oleh berbagai macam koperasi maupun badan usaha swasta Perseroan Terbatas.
Hal ini hanya dapat dimungkinkan karena adanya kesalahan ataupun penyalahgunaan wewenang dari instansi pemerintah.
Gangguan utama terhadap kawasan Suaka Margasatwa yang sudah berlangsung cukup lama hingga saat ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
a. Okupasi lahan, baik oleh penduduk sekitar hutan maupun oleh mereka yang berada di luar hutan tetapi mempunyai modal kuat. Okupasi lahan ini
dimaksudkan untuk mengkonversi lahan mangrove menjadi tambak ikanudang dan lahan budidaya kebun kelapa sawit dan jenis tanaman lainnya.
Diperkirakan okupasi lahan di kawasan Suaka Margasatwa sudah mencapai 3.650 ha dengan lokasi dan perincian luas sebagai berikut:
1. Resort Karang Gading - Tambak
1400 ha - Kebun kelapa sawit
1200 ha - Lain-lain
250 ha 2. Resort Langkat Timur Laut I
- Kebun kelapa sawit dan sawah 600 ha 3. Resort Langkat Timur laut II
- Tambak 200 ha
Dengan demikian, secara kasar saat ini luas okupasi lahan oleh pihak lain di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut diperkirakan melebihi
3.650 ha. laju pengokupasian oleh berbagai pihak meningkat dengan tajam dalam beberapa tahun terakhir.
b. Penebangan pohon mangrove secara liar di kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut yang sudah berlangsung sejak lama dengan
dikeluarkannya izin pemberian HPHH Hak Pengusahaan Hasil Hutan. Sampai tahun 1994, nampaknya penebangan pohon mangrove dilakukan
dalam skala besar, baik oleh penduduk sekitar kawasan maupun di luar kawasan. Kayu berbagai jenis mangrove tersebut dipergunakan sebagai bahan
baku pembuatan arang pada kilang arang yang tumbuh menjamur di Sumatera Utara yang selanjutnya diekspor. Kantor Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Sumatera Utara 1998 melaporkan bahwa kilang arang yang
2002 digitized by USU digital library
3
terdapat disekitar kawasan tercatat 16 unit. Jumlah dapur dari ke-16 kilang arang tersebut adalah sebanyak 88 buah dengan kebutuhan kayu bakau 2000
batangdapur40 hari. Pada tahun 1994, Pemerintah Daerah setempat melarang beroperasinya
Kilang Arang dalam rangka menyelamatkan hutan mangrove di kawasan Suaka Margsatwa. Sejak itu, nampaknya penebangan liar pohon mangrove agak
berkurang. Namun saat ini, penebangan pohon mangrove masih dilakukan oleh penduduk sekitar kawasan.
Akibat penebangan pohon mangrove secara terus menerus, saat ini hampir semua areal hutan mangrove di Suaka Margasatwa di dominasi oleh vegetasi
mangrove tingkat semai seedling dan pancang sapling dengan tinggi sekitar 1 - 4 meter. hanya sedikit vegetasi mangrove di kawasan tersebut berada pada
tingkat tiang pole dan pohon tree berdiameter 10 cm ke atas. Bahkan dibeberapa lokasi ditemukan tempa-tempat yang sangat kurang permudaan
pohonnya.
Pada waktu survey lapangan melalui paluh-paluh selama 5 jam terlihat 15 perahu membawa potongan kayu bakau tebangan diameter 5 - 10 cm masing-
masing perahu membawa 1 - 2 m
3
kayu. Dengan perkataan lain, hutan mangrove di kawasan SM KGLTL berupa hutan mangrove muda tidak sempat
bertambah menjadi pohon yang besar. c. Pengambilan biota air yang tidak terkendali
Pengambilan biota air terutama ikan, udang, kepiting di dalam kawasan SM KGLTL, saat ini dinilai tidak terkendali. Di samping tidak terbatasnya
pengambilan biota air, baik lokasi maupun jumlahnya, juga cara-cara pengambilannya masih belum memperhatikan kelestariankonservasi. Sebagai
contoh, pemasangan ambai jaring yang dipasang pada tiang-tiang yang ditancap baik di muara maupun di batang sungai menutup lebih setengah lebar
muara dan lebar sungai. Hal ini berakibat buruk terhadap populasi ikan dan udang. Ikan dan udang yang akan mencari makan dan bertelur dari laut
sebagian besar terjaring, demikian pula benih-benih ikan dan udang yang akan menuju laut untuk pembesaran mengalami nasib yang sama.
d. Perburuan liar Perburuan liar terjadi dalam kawasan yang jauh dari pengawasan dengan
sasaran perburuan berupa satwa darat dan burung, baik burung endemik maupun migran. Peralatan yang dipakai dalam perburuan berupa jebakanjerat,
anjing pemburu, sumpit dan senapan angin Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Sumatera Utara, 1998.
3.3. Permasalahan