PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENAMBANGAN LIAR(TERBUKA) DI DALAM KAWASAN HUTAN LINDUNG

(1)

ABSTRAK

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENAMBANGAN LIAR(TERBUKA) DI DALAM KAWASAN

HUTAN LINDUNG

(studi kasus di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pesawaran)

BENNY YANANDA

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Karena dalam mendukung Pembangunan Nasional, hutan merupakan aset yang sangat penting. Sebab hutan memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi sosial budaya maupun ekonomi. Mengingat pentingnya hutan sebagai salah satu modal pembangunan, maka hutan dikuasai oleh Negara. Hal ini sesuai dengan landasan konstitusional yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 41 th 1999 tentang kehutanan, menyatakan bahwa “semua hutan di wilayah RI termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana penambangan liar (terbuka) di dalam kawasan hutan lindung serta apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah; pendekatan masalah secara normative dan empiris. Sumber data, yaitu sumber data sekunder dan primer. Prosedur pengumpulan data sekunder adalah dengan cara membaca, mencatat dan mengutip bahan-bahan dari buku-buku, literatur-literatur dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan permasalahan. Prosedur pengumpulan data primer, adalah dengan caraobservasi dan wawancara secara terstruktur terhadap responden, dalam hal ini adalah pejabat yang berwenang di kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Pesawaran. Pengolahan data yang dilakukan dengan editing, klasifikasi disusun secara sistematis, yang pada akhirnya dianalisis secara kualitatif untuk pengambilan suatu kesimpulan dan saran.

Hasil dari penelitian di lapangan dan pembahasan berhubung dengan permasalahan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

penerapan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana penambangan liar (terbuka) di dalam kawasan hutan lindung dikaitkan dengan ancaman pidana pada Pasal 78 ayat (6) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.


(2)

Bahwa yang menjadi faktor pendukung dalam penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung, adalah adanya informasi atau laporan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran di bidang kehutanan, adanya upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran, adanya PPNS khusus di bidang kehutanan serta adanya kerjasama antara instansi vertikal juga adanya alat bukti fisik dan pengakuan tersangka.

Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah pelaku pelanggaran tidak diketemukan, kurangnya tenaga PPNS pada Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran, kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kurangnya sarana dan prasarana pendukung seperti Komputer, mesin tik serta tidak adanya ruang tahanan.


(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya. Karena dalam mendukung Pembangunan Nasional, hutan merupakan aset yang sangat penting. Sebab hutan memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi sosial budaya maupun ekonomi.

Mengingat pentingnya hutan sebagai salah satu modal pembangunan, maka hutan dikuasai oleh Negara. Hal ini sesuai dengan landasan konstitusional yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kemudian, hal tersebut di atas dipertegas lagi dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang RI No. 41 th 1999 tentang kehutanan, bahwa : “semua hutan di wilayah RI termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.


(4)

Penguasaan hutan serta kekayaan lain di dalam hutan oleh Negara sebagaimana disebutkan dalam penjelasan umum Undang-Undang RI No. 41 Th 1999 tentang kehutanan, adalah bukan merupakan kepemilikan, akan tetapi wewenang untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan dan hasil hutan, mengubah status kawasan hutan, hubungan hukum antara orang dengan hutan serta kekuatan hukum mengenai kehutanan. Untuk memperoleh manfaat bagi kesejahteraan rakyat, pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat dan karakteristik dari hutan yang bersangkutan, sehingga tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi.

Pemanfaatan hutan maupun hasil hutan yang dilakukan baik perorangan maupun perusahaan harus mendapatkan izin dari Pemerintah. Pemberian izin dari Pemerintah menurut penjelasan Undang-Undang RI No. 41 th 1999 tentang kehutanan dapat berupa pemberian izin pemanfaatan kawasan, izin pemanfaatan lingkungan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu dan izin pemungutan kayu dan bukan kayu.

Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) menurut ketentuan Pasal 1 butir 53 menurut Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/KPTS-H/2003, adalah merupakan dokumen resmi yang diresmikan, yang ditertibkan pejabat yang berwenang digunakan dalam pengangkutan, penguasaan dan kepemilikan hasil hutan dan sebagai alat bukti legalitas hasil hutan. Meskipun telah ditentukan bahwa setiap penguasaan dan pengangkutan hasil hutan harus disertai dokumen


(5)

3

dan perizinan yang sah atau lengkap, akan tetapi masih ditemukan pelanggaran– pelanggaran sebagaimana yang telah terjadi di wilayah Hukum di Kantor Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pesawaran. Telah ditemukan kasus penambangan degan pola penambangan terbuka di dalam kawasan hutan lindung, tanpa izin dari pejabat yang berwenang.

Kasus seperti yang disebutkan di atas, adalah melanggar ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan, yang isinya: “setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri”. Di dalam penjelasan 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan di atas, disebutkan bahwa:

a. yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di darat, perairan atau dari udara dengan maksud untuk membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan galian.

b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah segala penyelidikan geologi pertambangan untuk menentukan lebih teliti dan seksama adanya bahan galian dan sifat letaknya.

c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

Pada penjelasan Pasal 38 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa: “pada prinsipnya di dalam kawasan hutan tidak dapat dilakukan pola penambangan terbuka. Pola penambangan terbuka dimungkinkan


(6)

dapat dilakukan di kawasan hutan produksi dengan kehutanan khusus secara selektif.

Bahwasanya di dalam Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang kehutanan disebutkan bahwa apabila seseorang atau badan perusahaan melanggar Pasal 38 ayat (4) jo pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan, maka yang bersangkutan di ancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Tehadap kasus-kasus tersebut di atas, apabila dibiarkan terus-menerus maka bukan tidak mungkin akan diulang kembali oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan harus benar-benar diterapkan. Dengan demikian, pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di bidang kehutanan baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan-badan usaha dimasa yang akan datang tidak akan terjadi lagi dan kelestarian hutan betul-betul dapat dijaga, mengingat peruntukannya sebagai salah satu penjaga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia.

Dari apa yang telah diutarakan di atas, untuk mengetahui lebih jauh tentang pelanggaran di bidang kehutanan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 50 ayat (3) huruf g serta pelaksanaan atau penerapan ancaman hukuman sebagaimana dimaksud dan disebutkan dalam ketentuan dalam Pasal 78 ayat (6) Undang-Undang RI No. 41 th 1999 tentang kehutanan, penulis memandang perlu untuk melakukan penelitian yang dituangkan di dalam penulisan yang berjudul


(7)

5

“Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan Liar (Terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung (Studi kasus di Dinas Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Pesawaran)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan.

Dari uraian di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimanakah penerapan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana penambangan

liar (terbuka) di dalam kawasan hutan lindung?

b. Apakah yang menjadi faktor pendukung dan penghambat penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung?

2. Ruang Lingkup Penelitian a. Ruang lingkup pembahasan

Terbatas pada penerapan sanksi pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana penambangan liar (terbuka) di dalam kawasan hutan sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 38 ayat(4) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang RI No. 41 th 1999 tentang kehutanan.

b. Ruang lingkup lokasi penelitian

Sedangkan ruang lingkup penelitian adalah terbatas pada pelanggaran kehutanan yang terjadi di wilayah hutan lindung register 20 Gunung Bundar Pematang Kubuato, Kabupaten pesawaran pada tahun 2009.


(8)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap Tindak Pidana pelaku penambangan liar (terbuka) di dalam kawasan hutan lindung.

b. Untuk mengetahui yang menjadi faktor pendukung dan penghambat penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung.

2. Kegunaan Penelitian a. Secara Teoritis

Sebagai sumbangan pemikiran serta informasi bagi pembaca di bidang Hukum, khususnya mengenai pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan kehutanan pada Pasal 50 ayat (3) huruf g. Di samping itu, untuk menambah pengetahuan dan memperluas cakrawala khususnya yang berkaitan dengan Tindak Pidana di bidang kehutanan.

b. Secara Praktis

Sebagai salah satu syarat bagi penulis dalam rangka menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, guna memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Ilmu Hukum dan sebagai tolak ukur keberhasilan proses belajar mengajar serta dapat digunakan sebagai evaluasi bagi pihak akademik juga sebagai referensi bagi mahasiswa dalam penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan studi yang dibahas.


(9)

7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teroritis

Menurut Soerjono Soekanto ( 1986 : 125 ), “Kerangka Teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (1986 : 56) pengertian pidana, yaitu “Tindak Pidana adalah merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau Pelanggaran Pidana yang merugikan kepentingan hukum”.

Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa (The criminal sanction is the best available device are have for dealing with gross and immediate harm and threats of harm) Herbert L. Packer (1968)

Menurut sudarto (1977 : 83) bahwa pada umumnya hukum mengenal tiga sistem sanksi yang dapat digunakan oleh para pejabat hukum yang bersangkutan, yaitu sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administratif, dan sistem sanksi hukum pidana


(10)

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti. (Soerjono Soekanto 1986:126).

Dalam menghubungkan antara konsep-konsep yang hendak diteliti agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran, maka akan dijelaskan tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu antara lain:

a. Penerapan adalah menjelaskan berkaitan dengan apakah aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut.

b. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (1)

c. Hutan adalah merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan alam berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (2)


(11)

9

d. Hasil Hutan adalah benda-benda hayati yang berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, selain tumbuh-tumbuhan dan satwa liar. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (13)

e. Tindak Pidana adalah merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau Pelanggaran Pidana yang merugikan kepentingan hukum (Wirjono Prodjodikoro (1986 : 56).

h. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

E. Sistematika Penulisan

Dalam rangka untuk memudahkan dan memahami penulisan ini dan agar sesuai dengan ketentuan yang ada, maka sistematika penulisan disusun sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang, tujuan penulisan, kerangka teoritis, kerangka konseptual, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan ini

II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini merupakan tinjauan pustaka umum tentang pengertian hutan dan penguasaan hasil hutan. Pada bab ini bersifat teoritis yang nantinya akan berguna bagi analisa data bab IV


(12)

III METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas metode-metode yang akan digunakan oleh penulis yaitu pendekatan masalah, sumber dan jenis data serta analisa data. Bab ini merupakan langkah yang digunakan dalam mencari data dan mendapatkan data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab inti yang berisikan bahasan yang memaparkan tentang hasil di lapangan, wawancara maupun dokumen yang mendukung pembahasan.

V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan juga beberapa saran dari penulis serta lampiran yang berhubungan dengan tulisan ini.


(13)

V. PENUTUP A. Kesimpulan

1. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penambangan liar di dalam kawasan hutan lindung register 20 Pematang Kubuato dikenakan pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (3) hurf g Jo Pasal 78 ayat (6) dan (15) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 dan 56 KUHPidana dengan ancaman pidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

2. Faktor Pendukung penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung, adalah adanya informasi atau laporan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran di bidang kehutanan, adanya upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran, adanya PPNS khusus di bidang kehutanan serta adanya kerjasama antara instansi vertikal juga adanya alat bukti fisik dan pengakuan tersangka.

Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah pelaku pelanggaran tidak diketemukan, kurangnya tenaga PPNS pada Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran, kurangnya kesadaran hukum masyarakat, kurangnya sarana dan


(14)

prasarana pendukung seperti Komputer, mesin tik serta tidak adanya ruang tahanan.

B. Saran

1. Sebaiknya dalam penerapan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pihak Dinas Kehutanan meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait terutama dengan pihak Kepolisian dalam mencari dan menemukan pelaku pelanggaran di bidang kehutanan, sehingga setiap terjadi pelanggaran di bidang kehutanan dapat diambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Sebaiknya untuk mempercepat dan mendukung penyelesaian kasus di bidang kehutanan pada kabupaten Pesawaran, perlu penambahan tenaga PPNS minimal 2 (dua) orang, dikarenakan tenaga yang sangat kurang dibandingkan dengan kasus yang terjadi. Di samping itu perlu penambahan sarana dan prasarana pendukung seperti Komputer, mesin tik, alat tulis kantor, mobil patroli dan pembuatan ruang tahanan.

3. Sebaiknya pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kepada masyarakat, guna meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di bidang kehutanan.


(1)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teroritis

Menurut Soerjono Soekanto ( 1986 : 125 ), “Kerangka Teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil-hasil pemikiran kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi social yang dianggap relevan”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro (1986 : 56) pengertian pidana, yaitu “Tindak Pidana adalah merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau Pelanggaran Pidana yang merugikan kepentingan hukum”.

Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara cermat dan manusiawi; ia merupakan pengancam apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa (The criminal sanction is the best available device are have for dealing with gross and immediate harm and threats of harm) Herbert L. Packer (1968)

Menurut sudarto (1977 : 83) bahwa pada umumnya hukum mengenal tiga sistem sanksi yang dapat digunakan oleh para pejabat hukum yang bersangkutan, yaitu sistem sanksi hukum perdata, sistem sanksi hukum administratif, dan sistem sanksi hukum pidana


(2)

8

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti. (Soerjono Soekanto 1986:126).

Dalam menghubungkan antara konsep-konsep yang hendak diteliti agar tidak menimbulkan kesalahan penafsiran, maka akan dijelaskan tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu antara lain:

a. Penerapan adalah menjelaskan berkaitan dengan apakah aturan-aturan yang ada di dalam Undang-Undang RI Nomor 41 th 1999 tentang Kehutanan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam peraturan tersebut.

b. Kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (1)

c. Hutan adalah merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan alam berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (2)


(3)

d. Hasil Hutan adalah benda-benda hayati yang berupa hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu, selain tumbuh-tumbuhan dan satwa liar. (Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal I Ayat (13)

e. Tindak Pidana adalah merupakan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dengan melakukan suatu kejahatan atau Pelanggaran Pidana yang merugikan kepentingan hukum (Wirjono Prodjodikoro (1986 : 56).

h. Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan instansi kehutanan pusat dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

E. Sistematika Penulisan

Dalam rangka untuk memudahkan dan memahami penulisan ini dan agar sesuai dengan ketentuan yang ada, maka sistematika penulisan disusun sebagai berikut:

I PENDAHULUAN

Merupakan bab yang memuat latar belakang, tujuan penulisan, kerangka teoritis, kerangka konseptual, metode penelitian dan diakhiri dengan sistematika penulisan ini


(4)

10

III METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dibahas metode-metode yang akan digunakan oleh penulis yaitu pendekatan masalah, sumber dan jenis data serta analisa data. Bab ini merupakan langkah yang digunakan dalam mencari data dan mendapatkan data.

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan bab inti yang berisikan bahasan yang memaparkan tentang hasil di lapangan, wawancara maupun dokumen yang mendukung pembahasan.

V PENUTUP

Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini yang berisikan kesimpulan dari hasil pembahasan dan juga beberapa saran dari penulis serta lampiran yang berhubungan dengan tulisan ini.


(5)

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana penambangan liar di dalam kawasan hutan lindung register 20 Pematang Kubuato dikenakan pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (3) hurf g Jo Pasal 78 ayat (6) dan (15) Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Jo Pasal 55 dan 56 KUHPidana dengan ancaman pidana pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).

2. Faktor Pendukung penerapan sanksi pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penambangan liar (terbuka) di Dalam Kawasan Hutan Lindung, adalah adanya informasi atau laporan dari masyarakat tentang adanya pelanggaran di bidang kehutanan, adanya upaya peningkatan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran, adanya PPNS khusus di bidang kehutanan serta adanya kerjasama antara instansi vertikal juga adanya alat bukti fisik dan pengakuan tersangka.


(6)

53

prasarana pendukung seperti Komputer, mesin tik serta tidak adanya ruang tahanan.

B. Saran

1. Sebaiknya dalam penerapan Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pihak Dinas Kehutanan meningkatkan kerjasama dengan pihak terkait terutama dengan pihak Kepolisian dalam mencari dan menemukan pelaku pelanggaran di bidang kehutanan, sehingga setiap terjadi pelanggaran di bidang kehutanan dapat diambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

2. Sebaiknya untuk mempercepat dan mendukung penyelesaian kasus di bidang kehutanan pada kabupaten Pesawaran, perlu penambahan tenaga PPNS minimal 2 (dua) orang, dikarenakan tenaga yang sangat kurang dibandingkan dengan kasus yang terjadi. Di samping itu perlu penambahan sarana dan prasarana pendukung seperti Komputer, mesin tik, alat tulis kantor, mobil patroli dan pembuatan ruang tahanan.

3. Sebaiknya pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Pesawaran mensosialisasikan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan kepada masyarakat, guna meningkatkan kesadaran hukum masyarakat di bidang kehutanan.


Dokumen yang terkait

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

4 89 158

Analisis Kriminologi Tentang Pmberantasan Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Mahasiswa Kepolisian Di Desa Gunung Sitoli

0 54 69

SKRIPSI TINJAUAN MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA.

0 3 11

PENDAHULUAN TINJAUAN MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA.

0 2 13

PENUTUP TINJAUAN MENGENAI PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA.

0 3 5

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 5 19

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMERKOSAAN TERHADAP ANAK YANG MASIH DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Terhadap Anak Yang Masih Di Bawah Umur (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

0 6 12

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Yang Dilakukan Oleh Anak Di Bawah Umur.

4 20 19

SKRIPSI PENERAPAN SANKSI PIDANA MINIMUM KHUSUS PADA PELAKU Penerapan sanksi Pidana Minimum Khusus Pada Pelaku Tindak Pidana Korupsi.

0 6 13

DISERTASI SANKSI PIDANA MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI

0 0 22