Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

(1)

PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DILUAR GOLONGAN YANG DIATUR DALAM LAMPIRAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

TESIS

OLEH

FAHRI RAHMADHANI 127005144

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

JUDUL TESIS : PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DILUAR GOLONGAN YANG DIATUR DALAM LAMPIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

NAMA : FAHRI RAHMADHANI

NIM : 127005144

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum ) Ketua

( Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum ) ( Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.A )

Anggota Anggota

Ketua Program Studi Dekan


(3)

Telah diuji pada

Tanggal : 24 Januari 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum

2. Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.A 3.


(4)

PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI LUAR GOLONGAN YANG DI ATUR DALAM LAMPIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum1 Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum2

Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.A3 Fahri Rahmadhani4

Hasil peneleitian menunjukkan produk hukum nasional tentang tindak pidana Narkotika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Metilon memiliki struktur kimia yang mirip dengan ekstasi namun memiliki dampak yang lebih dahsyat bahkan tidak dapat digunakan sama sekali untuk medis maupun kosmetik. Penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon dapat dilakukan dengan cara melakukan penemuan hukum lewat jalan penafsiran (interpretasi). Metode penafsiran dilakukan secara

ABSTRAK

Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana dewasa ini adalah Tindak Pidana Narkotika. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 serta untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum normative (yuridis normatif) dan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriktif analitis.

1

Ketua Komisi Pembimbing

2

Dosen Pembimbing Kedua

3

Dosen Pembimbing Ketiga

4


(5)

sistematis, doktriner, teleologis serta ekstensif. Namun demikian, penafsiran harus tetap dilakukan secara limitatif. Hambatan-hambatan dalam penuntutan tindak pidana narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat ditinjau dari faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sebaiknya Menteri Kesehatan segera menerbitkan peraturan terkait dengan perubahan atas Golongan Narkotika dan para penegak hukum dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum harus berani melakukan terobosan terkait metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) karena dengan melakukan penafsiran senyawa turunan tersebut secara yuridis dapat disamakan dengan katinona yang terdaftar dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(6)

PROSECUTION ON CRIMINAL ACT IN NARCOTICS ABUSE OUTSIDE THE CLASSIFICATION STIPULATED IN THE

APPENDIX OF LAW NO 35/2009 ON NARCOTICS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum5 Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.A.6

Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A.7 Fahri Rahmadhani8

The result of the research showed that the national legal products on criminal act in narcotics were stipulated in Law No. 9/1976 on Narcotics, Law No. 22/1997 on Narcotics, and Law No. 35/2009 on Narcotics. Methylene has chemical structure which resembles ecstasy, but it has great impact; it cannot even be used for medical and cosmetics. The enforcement of criminal law on methylene abuse can be done by legal finding through interpretation. Interpretation method is done in systematical, doctrinaire, teleological, and extensive way. However, interpretation should be done limitedly. The obstacles in prosecuting criminal act in narcotics outside the classification stipulated in Law No. 35/2009 can be viewed from the factors of law,

ABSTRACT

Law is a social engineering. In order to enforce legal function as a means of social engineering, a law should be transparent toward social dynamics in society. One of the legal fields which is closely related to social life is criminal law. One of the types of crime which is fully concerned by criminal jurisprudence today is criminal act in narcotics. The development in science and technology has caused criminal act in narcotics to be difficult to handle such as the new type of narcotics, Methylene (3,4 Methylenedioxy Metkatinon) which has recently been talked about since Raffi Ahmad case came to the fore; it is not registered in the Appendix of Law No. 35/2009 on Narcotics.

The objective of the research was to find out legal provisions, laws, and regulations on narcotics which exists in Indonesia, to find out the prosecution on criminal act in narcotics abuse outside the classification stipulated in Law No. 35/2009, and to find out the obstacles in the prosecution on criminal act in narcotics outside the classification stipulated in Law No. 35/2009. The research used judicial normative and descriptive analytic method.

5

Chairperson of Advisory Commission

6

Second Advisor

7

Third Advisor

8

Student of Magistrate in Jurisprudence Study Program of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara


(7)

law enforcement, facility and infrastructure in enforcing law, society, and culture. It is recommended that the Minister of Health issue a regulation on the amendment of the Narcotics Classification. Law enforcement, particularly public prosecutors, should dare to make a breakthrough in the case of methylene (3,4 Methylenedioxy Metkatinon) because by interpreting this derivative compound judicially, it can be made similar to cathinone in the list of the Appendix of Law No. 35/2009 on Narcotics.

Key words : Prosecution, Judicial Interpretation, Methylene.


(8)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kekuatan dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat, dalam memperoleh gelar Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Adapun judul dari tesis ini adalah “PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI LUAR GOLONGAN YANG DI ATUR DALAM LAMPIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA”. Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, karena terbatasnya kemampuan dan pengetahuan dalam penulisan Tesis ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hari, diharapkan saran dan kritik yang konstruktif dalam menunjang kesempurnaan Tesis ini.

Secara khusus ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayahanda Suhatril, ST dan Ibunda tercinta Siti Rahmawati yang telah banyak memberi bantuan baik moril maupun materil sehingga perkuliahan ini dapat berjalan dengan lancar. Terimakasih juga buat Istri tercinta Rahmi Thovani Kaban, SE, anak-anakku tersayang Dinda Danira dan Farah Shafiqa yang penuh perhatian dan kasih sayangnya telah memberikan semangat dan dukungannya serta mertuaku yang kusayangi Ir.Ng. Kaban,dan Drg. Yusniarti Ginting yang selalu mendukung dalam penyelesaian tesis ini. .


(9)

Dalam menyelesaikan tesis ini penulis tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik berupa moril maupun materil. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada para pihak:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Suhaidi, SH.,MH, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang memberikan bimbingan, perhatian, dorongan yang sangat berguna dalam penyelesaian tesis ini.

4. Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum, Selaku Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan Tesis ini.

5. Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.A, Selaku Pembimbing III yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam penulisan Tesis ini.

6. Seluruh Staf Pengajar di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan dalam mengikuti perkuliahan melalui ilmu pengetahuan yang diajarkan.

7. Para staf dan pegawai di Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Kepala Cabang Kejaksaan Negeri Pancur Batu, Wuriadhi Paramita, SH. MH yang telah memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.


(10)

9. Sahabat-sahabatku Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Kelas Ekonomi yaitu Sanda (ketua kelas), Bapak Terkelin, Bapak Mangiring (setiap tahapan ada), abangda Goprera (opung), abangda Jasael (yang Mulia), abangda Rismaidi, abangda Rosyid, Agnes dan abangda Leo yang memberikan inspirasi untuk judul Tesis ini.

10. Serta ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Akhir kata kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.

Medan, Januari 2015 Penulis


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Fahri Rahmadhani

Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 19 Juni 1984 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Penidikan : - Lulus SD Negeri 060985 Medan tahun 1996 - Lulus SMP Negeri 28 Medan tahun1999 - Lulus SMA Angkasa Medan, tahun 2002

- Lulus S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2007

- Sedang menjalani Studi S-2 Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tahun 2012 sampai dengan sekarang.

Pekerjaan : - CPNS di Kejaksaan Negeri Stabat Tahun 2008 s/d 2009

- PNS di Kejaksaan Negeri Stabat Tahun 2009 s/d 2010

- Jaksa Fungsional di Cabang Kejaksaan Negeri Tarutung Di Siborongborong Tahun 2010 s/d 2013


(12)

- Jaksa Fungsional di Cabang Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam Di Pancur Batu Tahun 2013 s/d 2014 - KAUR Tata Usaha dan Teknis di Cabang Kejaksaan

Negeri Lubuk Pakam Di Pancur Batu Tahun 2014 s/d sekarang


(13)

DAFTAR ISI

ABSTRAK …..………..… i

ABSTRACT …..………..…. iii

KATA PENGANTAR …..……… iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP……….……. viii

DAFTAR ISI ……….. ix

BAB I : PENDAHULUAN ……….. …… 1

A.Latar Belakang ……….. 1

B.Rumusan Masalah ……… 12

C.Tujuan Penelitian ……….. 13

D.Manfaat Penelitian ………... 13

E. Keaslian Penulisan ………... 14

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ………. 15

1. Kerangka Teori ………. 15

2. Kerangka Konseptual ……… 18

G.Metode penelitian ……….. 20

1. Jenis Penelitian ………. 21

2. Sumber Data ………. 22

3. Teknik Pengumpulan Data ………. 24


(14)

BAB II: PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

A.Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika …….. 28 a.1 Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika ………. 31 a.2 Kebijakan Hukum Pidana terkait Sanski, Pemidanaan

dan pemberatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika. ………..………. ……. 36 B.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika …. 40

b.1 Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika ……..………. 47 b.2 Kebijakan Hukum Pidana terkait Sanksi dan Pemberatan

dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997

Tentang Narkotika. ………….…………..……….……. 51 C.Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika …. 53

c.1 Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ……..………. 54 c.2 Kebijakan Hukum Pidana terkait Sanksi dan Pemberatan

dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

Tentang Narkotika. ………….………..……….…….. 58 D.Perbandingan antara Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997


(15)

dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 …………... 60 BAB III : PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DILUAR GOLONGAN YANG DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

A. Peroses Penuntutan Tindak Pidana oleh Jaksa Penuntut Umu … 69 B. Analisis Terhadap Struktur Kimia dan Dampak Penyalahgunaan

Senyawa Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) ………….. 79 C. Narkotika Jenis Katinon dalam Perspektif Asas Legalitas ….... 83 D. Penuntutan Tindak Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalah

Guna Narkotika Jenis Metilon ……….….. 96 BAB IV : HAMBATAN-HAMBATAN TERHADAP PENUNTUTAN TINDAK

PIDANA NARKOTIKA DILUAR GOLONGAN YANG DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

A. Faktor Hukum ………. 108 B. Faktor Penegak Hukum ………... 113 C. Faktor Sarana dan Fasilitas Dalam Penegakan Hukum ….….. 124 D. Faktor Masyarakat ……….. 125 E. Faktor Kebudayaan ……….. 127 BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ……….. 131 B. Saran ………. 132 DAFTAR PUSTAKA ……… 134


(16)

PENUNTUTAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI LUAR GOLONGAN YANG DI ATUR DALAM LAMPIRAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG

NARKOTIKA

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH.,M.Hum1 Dr. Mahmud Mulyadi, SH.,M.Hum2

Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.A3 Fahri Rahmadhani4

Hasil peneleitian menunjukkan produk hukum nasional tentang tindak pidana Narkotika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 09 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Metilon memiliki struktur kimia yang mirip dengan ekstasi namun memiliki dampak yang lebih dahsyat bahkan tidak dapat digunakan sama sekali untuk medis maupun kosmetik. Penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon dapat dilakukan dengan cara melakukan penemuan hukum lewat jalan penafsiran (interpretasi). Metode penafsiran dilakukan secara

ABSTRAK

Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana dewasa ini adalah Tindak Pidana Narkotika. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia dan untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 serta untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009. Penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum normative (yuridis normatif) dan sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriktif analitis.

1

Ketua Komisi Pembimbing

2

Dosen Pembimbing Kedua

3

Dosen Pembimbing Ketiga

4


(17)

sistematis, doktriner, teleologis serta ekstensif. Namun demikian, penafsiran harus tetap dilakukan secara limitatif. Hambatan-hambatan dalam penuntutan tindak pidana narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat ditinjau dari faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas dalam penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Sebaiknya Menteri Kesehatan segera menerbitkan peraturan terkait dengan perubahan atas Golongan Narkotika dan para penegak hukum dalam hal ini Jaksa Penuntut Umum harus berani melakukan terobosan terkait metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) karena dengan melakukan penafsiran senyawa turunan tersebut secara yuridis dapat disamakan dengan katinona yang terdaftar dalam Lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.


(18)

PROSECUTION ON CRIMINAL ACT IN NARCOTICS ABUSE OUTSIDE THE CLASSIFICATION STIPULATED IN THE

APPENDIX OF LAW NO 35/2009 ON NARCOTICS

Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH., M.Hum5 Dr. Mahmud Mulyadi, SH., M.A.6

Dr. Edy Ikhsan, SH., M.A.7 Fahri Rahmadhani8

The result of the research showed that the national legal products on criminal act in narcotics were stipulated in Law No. 9/1976 on Narcotics, Law No. 22/1997 on Narcotics, and Law No. 35/2009 on Narcotics. Methylene has chemical structure which resembles ecstasy, but it has great impact; it cannot even be used for medical and cosmetics. The enforcement of criminal law on methylene abuse can be done by legal finding through interpretation. Interpretation method is done in systematical, doctrinaire, teleological, and extensive way. However, interpretation should be done limitedly. The obstacles in prosecuting criminal act in narcotics outside the classification stipulated in Law No. 35/2009 can be viewed from the factors of law,

ABSTRACT

Law is a social engineering. In order to enforce legal function as a means of social engineering, a law should be transparent toward social dynamics in society. One of the legal fields which is closely related to social life is criminal law. One of the types of crime which is fully concerned by criminal jurisprudence today is criminal act in narcotics. The development in science and technology has caused criminal act in narcotics to be difficult to handle such as the new type of narcotics, Methylene (3,4 Methylenedioxy Metkatinon) which has recently been talked about since Raffi Ahmad case came to the fore; it is not registered in the Appendix of Law No. 35/2009 on Narcotics.

The objective of the research was to find out legal provisions, laws, and regulations on narcotics which exists in Indonesia, to find out the prosecution on criminal act in narcotics abuse outside the classification stipulated in Law No. 35/2009, and to find out the obstacles in the prosecution on criminal act in narcotics outside the classification stipulated in Law No. 35/2009. The research used judicial normative and descriptive analytic method.

5

Chairperson of Advisory Commission

6

Second Advisor

7

Third Advisor

8

Student of Magistrate in Jurisprudence Study Program of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara


(19)

law enforcement, facility and infrastructure in enforcing law, society, and culture. It is recommended that the Minister of Health issue a regulation on the amendment of the Narcotics Classification. Law enforcement, particularly public prosecutors, should dare to make a breakthrough in the case of methylene (3,4 Methylenedioxy Metkatinon) because by interpreting this derivative compound judicially, it can be made similar to cathinone in the list of the Appendix of Law No. 35/2009 on Narcotics.

Key words : Prosecution, Judicial Interpretation, Methylene.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolut dan final melainkan sangat bergantung pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu dan bukan hukum. Menghadapkan manusia kepada hukum mendorong kita melakukan pilihan yang rumit, tetapi pada hakikatnya teori-teori hukum yang ada berakar pada kedua faktor tersebut. Semakin suatu teori bergeser ke faktor hukum, semakin menganggap hukum sesuatu yang mutlak, otonom dan final. Semakin bergeser kemanusiaan, semakin teori itu ingin memberikan ruang kepada faktor manusia.9

Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Hal ini berarti hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.10

Hukum bersifat terbuka berarti hukum harus selalu peka dan berinteraksi dengan lingkungan sosial sehingga terjadi pertukaran informasi antara hukum dengan lingkungan sosial tersebut. Dengan demikian, disamping hukum merupakan suatu Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat.

9

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif (Penjelajahan Suatu Gagasan), Newsletter No. 59 Bulan Desember 2004, (Jakarta, Yayasan Pusat Pengkajian Hukum, 2004), hlm.1.

10


(21)

institusi normatif yang memberikan pengaruhnya terhadap lingkungannya, ia juga menerima pengaruh serta dampak dari lingkungannya tersebut.11

Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hukum seringkali tertinggal dari kejadian sosial dalam masyarakat. Tertinggalnya hukum dari dinamika masyarakat juga dinyatakan oleh R.Soeroso melalui uraiannya tentang pekerjaan pembuatan undang-undang yang meliputi 2 (dua) aspek yaitu :12

- Pembuat undang-undang hanya menerapkan aturan-aturan umum saja: pertimbangan - pertimbangan tentang hal konkret diserahkan kepada hakim.

- Pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial yang timbul di kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah undang-undang itu.

Ketertinggalan hukum dari kejadian yang timbul dalam masyarakat akan menimbulkan suatu kesenjangan. Kesenjangan tersebut lama-kelamaan akan mempengaruhi tingkah laku dan kesadaran hukum anggota-anggota masyarakat. Kesenjangan tersebut akan mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat, yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan.13

11

Ibid, hlm.189.

12

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hlm.110

13

Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm.192

Keadaan tersebut tentu bertentangan dengan gagasan Von Savigny (1799-1861) salah seorang pemuka ilmu sejarah hukum yang menyatakan


(22)

bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat

(volkgeist).14

Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum pidana modern yaitu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.

Ketertinggalan hukum (terutama hukum tertulis) terhadap perubahan sosial masyarakat merupakan masalah yang harus disikapi secara serius oleh setiap

stakeholders di bidang hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban masyarakat. Secara sederhana dapat kita tarik analogi, kalau hukum tidak dapat beradaptasi seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana mungkin hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat.

15

14

Jusmadi Sikumbang, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012), hlm.203

15

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm 12

Uraian yang dikemukakan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hukum pidana harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial Kejahatan dalam hal ini tidak boleh dimaknai begitu sempit sebatas rumusan delik yang tercantum dalam buku kedua KUHP ataupun delik yang tercantum dalam keseluruhan perundang-undangan pidana di Indonesia melainkan lebih mendasar sebagai suatu masalah sosial. Karena sebenarnya saat terjadi kejahatan, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat terganggu yang selanjtunya menimbulkan gap ataupun kekacauan


(23)

dalam tatanan sosial masyarakat. Penerapan hukum pidana seyogyanya harus dapat memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang rusak akibat kejahatan tersebut.

Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politic criminal) dilakukan dengan menggunakan sarana “penal” (hukum pidana), maka “kebijakan hukum pidana” (“penal policy”), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapinya tujuan dari kebijakan sosial itu berupa “social welfare”

dan “social defence”.16

Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana dewasa ini adalah Tindak Pidana Narkotika. Narkotika semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat saat ini serta dapat pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa.17

Oleh karena itu tindak pidana narkotika terbilang cukup unik karena apabila narkotika digunakan dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter psikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, namun di sisi

16

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, cet. 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.75

17

Moh.Taufik Makarao, Suhasril, Moh.Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 200), hlm.19


(24)

lain apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan dan kerusakan mental bahkan fisik sipenyalahguna. Bahaya dan akibat dari penyalahgunaan narkotika tersebut dapat bersifat bahaya pribadi bagi si pemakai dan dapat pula berupa bahaya sosial terhadap masyarakat atau lingkungan. Yang bersipat pribadi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) sifat, yaitu secara khusus dan secara umum, secara umum dapat menimbulkan pengaruh dan efek-efek terhadap tubuh sipemakai dengan gejala-gejala sebagai berikut:18

1. Euphoria; suatu rangsangan kegembiraan yang tidak sesuai dengan kenyataan dan kondisi badan si pemakai (biasanya efek ini masih dalam penggunaan narkotika dalam dosis yang tidak begitu banyak).

2. Delirium: suatu keadaan dimana pemakai narkotika mengalami menurunnya kesadaran dan timbulnya kegelisahan yang dapat menimbulkan gangguan terhadap gerakan anggota tubuh si pemakai (biasanya pemakaian dosis lebih banyak daripada keadaan euphoria).

3. Halusinasi; adalah suatu keadaan dimana si pemakai narkotika mengalami “khayalan” misalnya melihat, mendengar yang tidak ada pada kenyataannya.

4. Weakness; kelamahan yang dialami fisik atau psychis/kedua-keduanya. 5. Drowsiness; kesadaran merosot.

18

Ibid, hlm 49-50

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Narkotika pasal 1 berbunyi bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun


(25)

semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Jumlah pelaku penyalahgunaan narkotika meningkat setiap tahunnya. Dalam sebuah berita Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Anang Iskandar, mengatakan di dunia ada 315 juta orang usia produktif atau berumur 15 sampai 65 tahun yang menjadi pengguna narkoba. Hal ini berdasarkan data dari UNODC, yaitu organisasi dunia yang menangani masalah narkoba dan kriminal, sementara, di Indonesia sendiri angka penyalahgunaan narkoba mencapai 2,2 persen atau 4,2 juta orang pada tahun 2011. Mereka terdiri dari pengguna coba pakai, teratur pakai, dan pecandu.19

Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menjadi permasalahan yang sangat memprihatinkan, karena berdampak pada berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang batas sosial, ekonomi, usia ataupun tingkat pendidikan.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Berbagai modus operandi serta varian narkotika jenis baru bermunculan dan menjadi tantangan bagi hukum pidana yang merupakan ultimum remedium terhadap tindak pidana narkotika.


(26)

Narkotika. Pakar Farmasi-Kimia Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Mufti Djusnir mengungkapkan methylone, turunan dari zat chatinone yang dibuat secara sintetis, memiliki efek stimulan dan psikoaktif yang lebih berbahaya daripada

chatinone yang didapat dari tanaman Khat. Bahkan, efek farmakologinya bisa menyebabkan kematian bagi pengguna zat tersebut dalam dosis yang berlebihan.20

Permasalahan yang fundamental terkait dengan metilon adalah Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental atau sering juga disebut Civil Law yang menitikberatkan pada kodifikasi peraturan perundang-undangan ataupun hukum positif. Dalam konteks hukum pidana dalam sistem hukum eropa kontinental, karakteristik utama hukum pidana terletak dalam “asas legalitas” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas tersebut umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi “ Nullum delictum Nula Poena Sine Previa Legi Poenalle”. Eddie O.S Hiariej mencoba menterjemahkan asas ini ke dalam bahasa Indonesia yaitu:

“Tiada Perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan”.21

20

http://meiwarian.blogspot.com/2013/02/efek-narkoba-jenis-methylenedioxymethyl.html. diakses pada tanggal 30 Agustus 2014 Pukul 07.10 WIB

21

Eddy O.S.Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm.19

Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan asas legalitas ini sebenarnya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan persamaan hak warga negara dari


(27)

kesewenang-wenangan pemerintah. Karena itu, dampak konkrit dari asas legalitas adalah hukum pidana di Indonesia sangat berpatokan dan bergantung kepada peraturan perundang-undangan ataupun hukum tertulis. Maka untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika haruslah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai payung hukum terhadap pengaturan narkotika di Indonesia.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Uraian pasal tersebut secara tegas menyatakan bahwa yang tergolong narkotika hanyalah yang terdaftar dalam undang-undang tersebut dan yang tidak terdaftar bukanlah narkotika secara yuridis. Dengan demikian apabila kita memandang secara sempit dari perspektif asas legalitas maka metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana yang karena bukan merupakan narkotika sebagaimana dimaksud dan terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas merupakan hal yang krusial mengingat betapa pesatnya perkembangan


(28)

dan perubahan dalam masyarakat dengan aneka kejahatannya. Apalagi hukum tertulis itu sendiri cenderung kaku dan sulit melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.22 Kekakuan tersebut dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang tidak mampu beradaptasi dan mengakomodir bahaya penyalahgunaan metilon yang berpotensi menimbulkan dampak negatif narkotika pada umumnya.

Keberadaan mengenai metilon kian dilematis mengingat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharamkan para hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.23 Konsekuensinya, para penegak hukum untuk aktif dan tidak boleh menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi dan mengganggu tatanan sosial dalam masyarakat dengan dalih belum ada hukumnya. Demikian halnya terhadap metilon yang tidak dimasukkan dalam daftar narkotika dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kekosongan hukum tersebut tidak bisa dijadikan alasan absennya kebijakan hukum pidana terhadap Metilon

22

Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hlm 191

23

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

Pada umumnya dalam menanggapi kekosongan hukum sebagaimana yang terjadi terhadap katinon tersebut, ilmu hukum mengenal istilah penemuan hukum

(Rechtsvinding) yang lazim dipraktekkan oleh para penegak hukum. Menurut Sudikno Mertukusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh


(29)

hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan. hukum umum pada peristiwa konkret.24

Dalam penemuan hukum tersebut juga terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu sumber hukum dan kedua adalah fakta.25 Maka dalam melakukan penemuan hukum untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap fakta yaitu“penyalahgunaan metilon” sangat penting mencari sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan bahan referensi para penegak hukum dalam melakukan penemuan hukum tersebut.

Mengenai sumber hukum G.W Paton mengemukakan sebagai berikut :

The term sources of law has many meanings and is frequent causes of error unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular text ( Ada banyak arti dari istilah sumber hukum dan sering kali menjadi sebab terjadinya kekeliruan-kekeliruan terkecuali jika kita teliti dengan seksama arti-arti yang khusus yang diberikan terhadap istilah tersebut yang terdapat di dalam suatu teks tertentu).26

24

Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hlm 56

25 ibid 26

Syahruddin Husein, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Kelompok studi Hukum dan Masyarakat, 1998), hlm.52

Uraian menurut Paton tersebut telah menjelaskan bahwa tidak ada pengertian resmi dari sumber hukum yang menyebabkan sering terjadinya kekeliruan baik dalam dunia teori maupun praktik hukum. Sebelum melakukan penemuan hukum maka haruslah dipahami apa sebenarnya sumber hukum yang diakui secara umum dalam dunia teori maupun praktik hukum.


(30)

Achmad Ali mencoba merumuskan sumber hukum lebih sederhana yaitu : Sumber hukum adalah tempat dimana kita menemukan hukum namun adakalanya sumber hukum sekaligus merupakan hukum seperti keputusan hakim.27

1.

Beritik tolak dari pandangan tersebut maka dalam ilmu hukum sendiri dikenal lima sumber hukum sebaga tempat dimana kita menemukan hukum yaitu:

2.

Undang-Undang

3.

Kebiasaan/adat

4.

Traktat ( Perjanjian)

5.

Jurisprudensi Doktrina.

Melihat sumber-sumber hukum yang dikemukakan di atas, maka dalam kasus metilon, tidak dapat digunakan hanya satu sumber hukum yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana. Hukum terhadap metilon masih harus dicari dan ditemukan dari sumber-sumber hukum lainnya.

Metilon sebenarnya tidaklah sama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Katinona yang merupakan senyawa induk dari metilon telah termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

27

Liza Erwina, Pengantar Ilmu Hukum ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012), hlm.125

Dalam sebuah berita saksi ahli kimia farmasi Badan Narkotika Nasional Mufti Djusnir mengatakan Katinona merupakan struktur dasar molekul yang memiliki gugus samping. Jika gugus-gugus tersebut


(31)

diubah, maka muncul turunannya dengan efek yang lebih dahsyat. Salah satunya adalah Methylon, dalam istilah kimia memiliki kekuatan +4 atau lebih kuat dari turunan Katinona lainnya.28

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana narkotika berdasarkan pada undang-undang yang pernah berlaku di Indonesia?

Berdasarkan pada uraian diatas penulis mencoba untuk membahas tentang “Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika di Luar Golongan Yang di Atur Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal diatas maka penulis mengemukakan rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

2. Apakah dapat dilakukan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009?

3. Apa yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009?

28

http://showbiz.metrotvnews.com/read/2013/01/31/127535/bahaya-zat-methylon-di-barang-bukti-kasus-raffi diakses pada tanggal 30 Agustus 2014 Pukul 07.45 WIB


(32)

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang diuraikan diatas maka penelitian ini bertujuan menelaah hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan tentang narkotika yang pernah berlaku di Indonesia .

2. Untuk mengetahui penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009

3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kendala terhadap penuntutan tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah manfaat kepada semua pihak baik secara akedemis, teoritis terlebih secara prkatis, setidaknya manfaat tersebut adalah

1. Secara Teoritis

Secara teoritis akan memberikan sumbangan pemikiran pada ilmu hukum pidana.

2. Secara Praktis

Bagi peneliti, sebagai wadah mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan teori yang telah dipelajari selama kuliah dan penelitian ini diharapkan juga


(33)

bermanfaat bagi kalangan aparat penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim dan advokat.

E. Keaslian Penulisan.

Kejujuran intelektual adalah sesuatu yang dituntut dalam dunia akademik karena itulah duplikasi atau plagiat terhadap karya intelektualitas orang lain secara tidak sah adalah perbuatan yang nista. Penelitian ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran peneliti secara pribadi dengan melihat perkembangan pelaku Tindak Pidana Narkotia khususnya “penuntutan terhadap pelaku tindak pidana penyalahguna narkotika diluar golongan yang diatur dalam lampiran undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika”. Guna menghindari duplikasi terhadap karya dan permasalahan yang sama, maka sebelumnya telah dilakukan penelusuran diperpustakaan Universitas Sumatera Utara. Hasil penelurusan dimaksud ternyata tidak menemukan judul penelitian/tesis yang memiliki kesamaan atau kemiripan judul dan substansi permasalahan yang sama sebagaimana penelitian ini.

Berdasarkan penelurusan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara tidak ditemukan satupun Judul Tesis terdahulu yang membahas seputar “Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Narkotika Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan Yang Diatur Dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika”.


(34)

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teori

Teori dalam penelitian ilmiah adalah sebuah kemestian karena merupakan inti dari penelitian ilmiah dimaksud. 29 Teori secara bahasa adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi. Kata

teori berasal dari kata theoria yang artinya pandagan dan wawasan.30 Kerangka teoritis dalam penulisan karya ilmiah hukum mempunyai 4 (empat) ciri, yaitu (a) teori-teori hukum, (b) asas-asas hukum, (c) doktrin hukum dan (d) ulasan pakar hukum berdasarkan pembidangan kekhususannya.31

Rumusan diatas, mengandung 3 (tiga) hal, pertama, teori merupakan seperangkat proposisi yang terdiri atas variabel-variabel yang terdefenisikan dan saling berhubungan. Kedua, teori menyusun antar hubungan seperangkat variabel dan dengan demikian merupakan suatu pandangan sistematis mengenai fenomena-fenomena yang dideskripsikan oleh variabel-variabel itu. Akhirnya, suatu teori

Teori merupakan tujuan akhir dari ilmu pengetahuan. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena batasan dan sifat hakikat suatu teori adalah “….seperangkat konstruk (konsep), batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjalankan dan memprediksi gejala-gejala itu”.

29

Muktar Fajar & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 92.

30

Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Edisi Revisi, cet-VI (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012), hlm. 4.

31


(35)

menjelaskan fenomena. Penjelasan itu diajukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu yang berkaitan dengan variabel-variabel tertentu lainnya.32

Penelitian dalam pembahasan tesis ini menggunakan teori penafsiran ekstensif. Penafsiran secara umum lebih dipahami sebagai “proses, perbuatan, cara menafsirkan; upaya untuk menjelaskan arti sesuatu yang kurang jelas” 33 atau “kesan, pandangan, pendapat, tafsiran.”34 Dalam bidang hukum definisi “penafsiran” menurut

Black’s Law Dictionary “the art or process of discovering and ascertaining the meaning of a statute, will, contract, or other written document. The discovery and representation of the true meaning of any signs used to convey ideas.”35

32

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 42-43

33

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta, Balai Pustaka, 1989), hlm 882

34

Ajarotni, et. al (ed.). Tesaurus Bidang Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, (Jakarta, 2008), hlm, 73

35

, Henry Campbell Black. Black’s Law Dictionary Deluxe: Definitions of Terms and Phrases of American and English Jurisprudence: Ancient and Modern, Sixth Edition, (Amerika, St. Paul Minn. West Publishing, 1990) , hlm 817

Menunjukkan pemahaman arti penting “penafsiran” bukan sebatas cara atau perbuatan tetapi suatu keahlian/seni untuk mendapatkan makna yang benar dari suatu dokumen hukum. Metode penafsiran ektensif merupakan salah satu metode penafsiran di antara bermacam-macam metode penafsiran yang ada. Van Bemmelen mengemukakan ada 10 metode interpretasi: De textuale interpretatie; Intentionele interpretatie; Principiele interpretatie; Rationele interpretatie; Morele interpretatie; Comparatieve interpretatie; Analogische interpretatie; Legislative interpretatie;


(36)

Historische interpretatie; dan Evolutieve interpretative (interprestasi gramatikal, interprestasi disengaja, interprestasi prinsipil, interprestasi rasional, interprestasi moral, interprestasi komparatif, penafsiran analogi, interprestasi legislative, interprestasi historis dan interprestasi evolusi).36

Asas legalitas yang tercantum didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dirumuskan didalam bahasa latin : “nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali” yang dapat disalin kedalam bahasa Indonesia kata demi kata dengan “ “tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Adanya asas tersebut didalam KUHP Indonesia merupakan dilema, karena memang dilihat dari segi yang satu digambarkan oleh Utrecht tentang hukum adat yang masih hidup dan tidak mungkin dikodifikasikan seluruhnya karena perbedaan antara adat berbagai suku bangsa, tetapi dilihat dari segi yang lain, yaitu kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perlakuan yang tidak wajar dan tidak adil dari penguasa dan hakim sehingga diperlukan adanya asas itu.

Dari kesepuluh metode interpretasi itu, penafsiran ekstensif termasuk di dalam Pincipiele Interpretatie karena melakukan kegiatan pemahaman terhadap ketentuan hukum yang ada dengan tetap mendasarkan diri pada prinsip-prinsip yang ada di dalam ketentuan itu.

37

Hazewinkel-Suringa mengatakan bahwa penerapan analogi itu relatif, karena ditolak penciptaan hukum pidana baru oleh hakim pidana dengan sarana analogi,

36

A. Zainal Abidin. Farid, Hukum Pidana I, Cet. I, (Jakarta, Sinar Grafika Offset,1995) hlm, 38

37

Andi Hamzah, Pengantar Azas-azas Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008), hlm.43.


(37)

tetapi tidak keberatan jika hakim menciptakan hukum baru in bonam partem (dengan itikad yang baik). Kadang-kadang pembuat undang-undang sendiri menciptakan analogi.38

2. Kerangka Konseptual

Bentuk analogi yang bagaimana sebenarnmya yang dilarang, dapat dikutip pendapat Vos, yang mengatakan bahwa penerapan analogi tidak diizinkan setidak-tidaknya dalam hal yang dengan analogi diciptakan delik-delik baru dan bertentangan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP. Dengan penerapan undang-undang secara analogi diartikan penerapan ketentuan dalam hal pembuat undang-undang belum memikirkan atau tidak dapat memikirkan tetapi alasan penerapan ketentuan pidana sama dengan kejadian yang diatur dengan ketentuan itu. Dapat dikatakan bahwa perbedaan antara penerapan analogi dan interpretasi ekstensif merupakan dua jalur tetapi satu hasil. Dapat dilihat pada interpretasi “barang” yang tercantum dalam delik pencurian disamakan dengan “aliran listrik” menurut arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921, W. 10728, N.J.1921,564.

Kerangka konseptual adalah penggambaran antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti dan/atau diuraikan dalam karya ilmiah.39

38

Ibid, hlm.44

39

Zainuddin Ali, Op Cit, hlm 79

Landasan konseptual ini dibuat untuk menghindari pemahaman dan penafsiran yang keliru dan memberikan arahan dalam


(38)

penelitian, maka dengan ini dirasa perlu untuk memberikan beberapa konsep yang berhubungan dengan judul penelitian ini, yaitu:

a. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.40

b. Penuntut Umum adalah jaksa yang yang diberi wewenang oleh ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakakan penetapan hakim.41

c. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kepengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.42

d. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.43

40

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

41

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

42

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

43


(39)

e. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.44

f. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus-menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.45

g. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum46

G. Metode Penelitian

Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sedudah, diatas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatau cara.47 Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran penelitian dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.48

44

Pasal 1 angka 13 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika

45

Pasal 1 angka 14 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika

46

Pasal 1 angka 15 Undang-Undang nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika

47

Johny Ibrahim, Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang, Bayumedia Publishing, 2011), hlm. 25-26.

48

Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris,(Jakarta: Indonesia, Hillco, 1990), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hlm.106

Sedangkan penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kostruksi, yang dilakukan secara


(40)

metodologis, sistematis dan konsisten.49 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.50 Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut , untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang bersangkutan.51

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian hukum

normative (yuridis normatif). Penelitian hukum adalah suatu peroses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin guna menjawab isu hukum yang dihadapi.

Berdasarkan uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa metode penelitian adalah sebuah upaya yang dilakukan berdasarkan metode tertentu secara ilmiah berkaitan dengan analisa dan konstruksi, guna memahami, menganalisis, memecahkan suatu masalah dan mencari kebenaran

1. Jenis dan Sifat Penelitian.

52

49

Soerjono Soekanto, Pengantar Peneletiaan Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Pres-UI Press, 1986), (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hlm.42

50

Soerjono Soekanto II, Op. Cit, hlm 43. Bandingkan dengan Bambang Waluyo, Penelitian

Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Garafika, 1996), hlm. 6

51 Ibid 52

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 35.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan


(41)

perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).53

Penelitian hukum yang normatif menggunakan data sekunder, yang terdiri atas (1) bahan hukum primer, (2) bahan hukum sekunder, (3) sereta bahan hukum tersier.

Penelitian hukum normative disebut juga penelitian hukum doktrinal. Penelitian Hukum Doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis didalam peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat deskriktif analitis. Menurut Whitney, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interprestasi yang tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu. Deskriptif analitis berarti bahwa penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaannya, serta menganalisa fakta secara cermat tentang penggunaan peraturan perundang-undangan.

2. Sumber Data

54

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersipat autoriatif artinya mempunyai otoritas.55

53

Mukti Fajar &Yulianto Achmad, Op Cit, hlm.34.

54

Muslan Abdurahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang:UMM Press, 2009), hlm. 127.

Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan dan peraturan yang relevan dengan penelitian yaitu :


(42)

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP);

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971);

4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988);

5) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; 6) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 7) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

8) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks. c. (Textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer),56

semua publikasi tentnag hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi,57termasuk skripsi, tesis dan disertasi hukum dan jurna-jurnal hukum.58

55

Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, hlm. 141.

56

Johnny Ibrahim, Op Cit, hlm.241-242.

57

Peter Mahmud Marzuki, Loc.Cit. 58


(43)

d. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penejelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder seperti kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data.

Pengumpulan data adalah prosedur sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan. Masalah memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data. Banyak masalah yang dirumuskan tidak akan bisa terpecahkan karena metode untuk memperoleh data yang digunakan tidak memungkinkan.59

Studi kepustakaan merupakan metode tunggal yang dipergunakan dalam penelitian hukum normatif.

Penelitian ini menggunakan Penelitian Hukum Normatif, oleh karena itu teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.

60

Secara singkat studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:

Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya adalah menunjukkan jalan pemecahan permasalahan penelitian. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka peneliti akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.

61

59

Moh.Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indoneisa, 2003), hlm.174.

60

Ibid, hlm.17.

61

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.112-113.


(44)

1. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan.

2. Mendapat metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan.

3. Sebagai sumber data sekunder.

4. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya.

5. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan.

6. Memperkaya ide-ide baru.

7. Mengetahui siapa saja peneliti lain dibidang yang sama dean siapa pemakai hasilnya.

4. Analisis Data

Analisa data adalah peroses penyederhanaan data kedalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.62

62

Masri Singarimbun dan Sofian Efendi, Metode Penelitian Survai, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm.263.

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaidah hukum dan kemudian kontruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal kedalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut. Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan


(45)

perundang-udangan, putusan-putusan pengadilan dan dianalisis berdasarkan kualitatif, yaitu dengan melakukan:

1. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut.

2. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan.

3. Menemukan hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan kemudian diolah. 4. Menjelaskan dan menguraikan berbagai hubungan diantara berbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatf. Sehingga menggungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.

Analisa data kualitatif ini adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan menemukan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.63

Bahan hukum yang telah diinventarisasi dan diidentifikasi kemudian dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan tahapan berfikir sistematis guna menemukan jawaban atas permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mendasarkan pada teori-teori hukum yang pada akhirnya akan

63

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, 2006), hlm.248


(46)

memberikan hasil yang signifikan dan bermakna kedalam bentuk sebuah paparan yang nyata.


(47)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA.

A.Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Tahun 1976 merupakan titik penting dalam sejarah pengaturan hukum terhadap narkotika di Indonesia. Karena pada tahun ini Indonesia mulai memiliki undang-undang, yang merupakan pembaharuan hukum tentang narkotika yang telah diproses dan diolah sesuai dengan tuntutan dan kondisi masa kini mengenai pengaturan penggunaan narkotika dan ketentuan-ketentuan pertanggungjawaban dan penetapan pidana bagi siapa saja yang menyalahgunakan narkotika. Dengan kata lain tahun 1976 merupakan tahun penting bagi hukum narkotika Indonesia dengan fakta kelahiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika yang mulai berlaku sejak tanggal 26 Juli 1976

Pada undang-undang narkotika ini terkandung warna hukum pidana sebagai alat untuk prevensi umum dalam rangka penanggulangan narkotika di Indonesia. Hai ini logis mengingat bahwa perjalanan dan perjuangan untuk mendapatkan undang-undang narkotika nasional ini dipengaruhi kuat oleh gangguan dan ancaman penyalahgunaan narkotika di Indonesia yang semakin merajalela dengan sasaran korban para remaja, sehingga penyalahgunaan narkotika ditempatkan sebagai masalah nasional yang perlu mendapatkan penanganan yang serius. Mengapa Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ini penting artinya bagi penanggulangan


(48)

penyalahgunaan narkotika di Indonesia, terutama apabila dikaji dari segi hukum dan perundangan, memerlukan jawab yang bersifat pemaparan undang-undang yang berlaku sebelum dan ketentuan yang berpengaruh dalam mempersiapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976. Di samping itu penting pula untuk diungkapkan faktor-faktor non hukum yang mendorong ditertibkannya undang-undang narkotika.64

Ketidakpuasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama. Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan manusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan

64


(49)

akibat sampingan dari penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merupakan pengganti dari peraturan tentang narkotika zaman Belanda yaitu Verdovende Midellen Ordonantie Stbl 1927 Nomor: 28 jo No.53. Hal-hal yang menjadi pertimbangan dibentuknya undang-undang ini adalah sehubungan dengan perkembangan lalu-lintas dan alat-alat perhubungan dan pengangkutan modern yang menyebabkan cepatnya penyebaran dan pemasukan narkotika ke Indonesia.65 Perkembangan di bidang farmasi yang sangat pesat juga membuat Verdovende Midellen Ordonantie tidak efektif lagi dalam menanggulangi tindak pidana narkotika.

a.

Yang dimaksud dengan narkotika menurut angka 1 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 yang jenis-jenisnya disebut pada angka 2 sampai dengan 13 mengandung unsur-unsur :

b.

Garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokaina;

c.

Bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebut yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai Narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan seperti Morfina dan Kokaina;

65

Hari Sasangka, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan praktii serta penyuluh masalah narkoba (Bandung : Mandar Maju, 2003) hlm.165


(50)

tersebut diatas.

Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 secara umum dapat digambarkan sebagai berikut66

a) Mengatur jenis-jenis narkotika yang lebih terinci. :

b) Pidananya juga sepadan dengan jenis-jenis narkotika tersebut

c) Mengatur pelayanan tentang kesehatan untuk pecandu dan rehabilitasinya

d) Mengatur semua kegiatan yang menyangkut narkotika yakni penanaman, peracikan, produksi, perdagangan, lalu lintas pengangkutan serta penggunanaan narkotika.

e) Acara pidananya bersifat khusus.

f) Pemberian premi bagi mereka yang berjasa dalam pembongkaran kejahatan narkotika.

g) Mengatur kerjasama internasional di bidang penanggulangan narkotika. h) Materi pidananya banyak yang menyimpang dari KUHP.

i) Ancaman Pidana lebih berat

A.1. Kebijakan Kriminalisasi dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika

Kebijakan Kriminalisasi merupakan menetapkan perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana dalam suatu aturan

perundang-66


(51)

undangan.67

Teguh Prasetyo menyatakan bahwa dalam hal kebijakan kriminalisasi menggunakan saran penal (hukum pidana) menyangkut 2 (dua) pokok pemikiran yaitu masalah penentuan:

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika mengatur berbagai jenis tindak pidana yang merupakan kebijakan kriminalisasi sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana dalam menanggulangi Tindak Pidana Narkotika.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika telah mengatur beberapa jenis narkotika baru yang sebelumnya belum diatur dalam Verdovende Midellen Ordonantie. Pengaturan narkotika jenis baru tersebut tentu berdampak pada variasi formula tindak pidana di dalam undang-undang Nomor 9 Tahun 1976. Perkembangan teknologi serta transportasi yang merupakan latar belakang dari pembentukan undang-undang ini tentu berdampak banyak terhadap formula kriminalisasi di dalamnya.

68

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan; 2) Sanksi apa yang sebaiknya dikenakan kepada si pelanggar

Kebijakan kriminalisasi terkait tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja. ( Pasal 23 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1);

67

Teguh Prasetyo, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, (Bandung : Nusa Media, 2011 ) hlm.133

68


(52)

2) Perbuatan secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika ( Pasal 23 ayat 2 dan Pasal 36 ayat 2) ;

3) Perbuatan secara tanpa hak memiliki, menyimpan untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika ( Pasal 23 ayat 3 dan Pasal 36 ayat 3) ; 4) Perbuatan secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito

narkotika. ( Pasal 23 ayat 4 dan Pasal 36 ayat 4 );

5) Perbuatan secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika ( Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 36 ayat 5 ) ; 6) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika terhadap orang lain atau

memberikan narkotika untuk digunakan orang lain ( Pasal 23 ayat 6 dan Pasal 36 ayat 6 );

7) Perbuatan secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri (Pasal 23 ayat 7 dan Pasal 36 ayat 7 );

8) Kelalaian menyebabkan dilanggarnya ketentuan tersebut dalam Pasal 23 ayat ( 1 ) diatas tanah atau tempat miliknya atau yang dikuasainya;

9) Perbuatan Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976;

10) Perbuatan Penggunaan dan pemberian narkotika oleh dokter, kecuali untuk pengobatan ( Pasal 24 dan Pasal 40 ) ;


(53)

11) Perbuatan Pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang tidak melaksanakan kewajiban menurut Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 42 ) ;

12) Lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan yang menanam tanaman Papaver, Koka dan Ganja yang tidak melaksanakan kewajiban membuat laporan yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ( Pasal 42);

13) Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 ( Pasal 43) ;

14) Perbuatan menghalangi proses penyidikan, penuntutan dan peradilan narkotika (Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 ).

15) Perbuatan tidak melaporkan adanya narkotika yang tidak sah kepada pihak yang berwajib ( Pasal 48 ).

16) Semua tindak pidana dalam Undang-Undang ini dikualifikasikan sebagai kejahatan kecuali Pasal 47 mengenai saksi yang membocorkan identitas pelapor dianggap sebagai delik pelanggaran ( Pasal 50 ).

Secara keseluruhan dalam kriminalisasi perbuatan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika sudah cukup baik. Kelemahan utama dalam hal kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang ini adalah mengenai terlalu sempit dan sederhananya pengertian narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Hal ini menyebabkan


(54)

Undang-Undang ini kurang efektif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang menghasilkan berbagai narkotika jenis baru. Celah ini sangat rentan untuk disalahgunakan para pelaku kejahatan untuk memasarkan secara bebas berbagai jenis narkotika yang belum diatur dalam Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Undang-Undang seharusnya memberikan pengertian yang tidak terlalu kaku terhadap Narkotika agar lebih efektif terhadap kemunculan berbagai jenis narkotika jenis baru dengan tetap memperhatikan faktor : keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Kesederhanaan perumusan defenisi narkotika dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 juga berakibat kurang proporsionalnya sanksi pidana dengan dampak ataupun manfaat suatu jenis narkotika. Penggolongan narkotika ke dalam berbagai golongan yang didasarkan pada manfaat dan dampak yang ditimbulkan sangat efektif dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.

Kelemahan lain dalam kriminalisasi perbuatan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 adalah lemahnya pengaturan terhadap tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan transnasional yang terorganisir serta pencucian uang hasil tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini terkesan cenderung mengatur mengenai pengawasan terhadap peredaran narkotika di dalam negeri dan kurang antisipatif terhadap perdagangan narkotika yang bersifat transnasional serta terorganisir. Latar belakang perkembangan teknologi dan sarana transportasi yang menjadi salah satu pertimbangan dibentuknya undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika


(55)

seharusnya menjadi dasar yang cukup untuk mengkriminalisasikan berbagai tindak pidana terkait perdagangan narkotika yang bersifat transnasional dan terorganisir.

A.2. Kebijakan Hukum Pidana Terkait Sanksi, Pemidanaan, Dan Pemberatan Dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Tentang Narkotika.

Secara defenitif, Hukum Pidana dapat dibagi ke dalam Ius Poenale dan Ius puniendi. Ius Puniendi merupakan segi subjektif yang berarti hak untuk menjatuhkan pidana.69 Sedangkan Ius Poenale secara sederhana di defenisikan oleh oleh Zainal Abidin Farid sebagai sejumlah peraturan hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.70 Defenisi tersebut menyatakan bahwa ada keharusan dengan mengancamkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya, sehingga dapat dikatakan bahwa sanksi pidana merupakan unsur yang sangat esensialnya dalam hukum pidana. Betapa pentingnya sanksi pidana juga dapat dilihat dari pendapat Herbet L.Packer berikut mengenai sanksi pidana:71

a. Sanksi Pidana sangatlah diperlukan, kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang tanpa pidana;

69

Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.5

70

Zainal Abidin, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm.1

71

Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, (Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004) hlm.9


(56)

b. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya;

c. Sanksi Pidana suatu kertika merupakan “ penjamin utama atau terbaik “ dan suatu ketika merupakan “ pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secarasembarangan dan secara paksa.

Sanksi pidana dirumuskan secara limitatif dalam Pasal 10 Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yaitu:72

72

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm 17

a. Pidana Pokok yaitu: 1. pidana mati; 2. pidana penjara; 3. pidana kurungan; 4. pidana denda; 5. pidana tutupan.

b. pencabutan hak-hak tertentu;

1. perampasan barang-barang tertentu; 2. pengumuman putusan hakim.

Meskipun demikian, dalam kajian hukum pidana tidak hanya dikenal berupa sanksi pidana (straf) tetapi juga sanksi tindakan (maatregel). Untuk memberdakan antara sanksi pidana dengan maatregel dapat dipakai pendapat Roeslah Saleh berikut sebagai pedoman:


(57)

Dalam banyak hal batas antara pidana dan tindakan secara teoritis sukar ditentukan dengan pasti, karena pidana sendiri pun dalam banyak hal juga mengandung pikiran-pikiran untuk melindungi dan memperbaiki. Tetapi secara praktis tidak ada kesukaran, karena apa yang disebut dalam Pasal 10 KUHP adalah pidana, sedangkan yang lain daripada itu adalah tindakan (maatregel), misalnya: pendidikan paksa, seperti terjadi pada anak-anak yang diserahkan kepada pemerintah untuk dididik di dalam lembaga pendidikan paksa, ditempatkannya seseorang di dalam rumah sakit jiwa dengan perintah karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh karena ada pertumbuhan yang cacat pada jiwanya atau gangguan penyakit. 73

1. Jenis Pidana yang digunakan adalah : pidana mati, penjara, kurungan, denda, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika juga mengatur mengenai sanksi yang diancamkan terhadap tindak pidana. Sanksi tersebut bertujuan untuk memaksimalkan peranan Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dalam menanggulangi tindak pidana Narkotika. Adapun kebijakan hukum pidana terkait sanksi dan pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika adalah sebagai berikut :

2. Pidana terberat yaitu pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidara penjara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (Iima puluh juta rupiah) diancamkan terhadap tindak pidana membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika, mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar

73

Mohammad Eka Putra, dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 9


(58)

narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (4) dan (5) sedangkan pidana teringan yaitu berupa 1 (satu) tahun kurungan diancamkan terhadap tindak pidana saksi yang membuka identitas pelapor tindak pidana narkotika yang diatur dalam Pasal 47 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 1976.

3. Mayoritas ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika merumuskan dua ( 2 ) jenis pidana pokok yaitu pidana penjara dan pidana denda secara kumulatif.

4. Pengenaan sanksi tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika ( pelaku yang melanggar pasal 36 ayat ( 7 ) ) dan sanksi tindakan berupa pengusiran dan larangan memasuki wilayah negara Indonesia bagi warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang narkotika telah menggunakan double track system

yang mengkombinasikan antara sanksi pidana dengan sanksi tindakan.

5. Percobaan ( poging ) melakukan tindak pidana narkotika diancam dengan sanksi yang sama dengan tindak pidana narkotika. Hal ini merupakan kekhususan dari aturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengurangi sanksi 1/3 terhadap percobaan ( poging ).

6. Ancaman Sanksi Pidana diperberat 1/3 dengan batasan maksimum 20 (dua puluh) tahun bagi pelaku yang membujuk anak dibawah umur melakukan tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat (1) sampai dengan ayat ( 7 ) .

7. Ancaman sanksi pidana penjara diperberat 1/3 tanpa batasan maksimum serta untuk pidana denda dikalikan 2 ( dua ) bagi pelaku yang melakukan pengulangan


(59)

( recidive ) terhadap tindak pidana yang diatur dalam pasal 36 ayat ( 1 ) sampai dengan ayat ( 7 ).

8. Pencabutan hak terhadap importir, pabrik farmasi, pedagang besar farmasi, apotik, rumah sakit, dokter, lembaga ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan, Nakhoda, kapten penerbang atau pengemudi sebagimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 sampai dengan 6 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

B.Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Dalam perkembangannya ternyata Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika tidak juga bisa meredam ataupun memberantas peredaran gelap narkotika secara signifikan, bahkan sasaran peredaran gelap narkoba telah memasuki seluruh aspek dan lapisan masyarakat. Predaran narkotika tidak hanya pada orang-orang yang mengalami broken home atau yang gemar dalam kehidupan malam, tetapi telah merambah kepada mahasiswa, pelajar, bahkan tidak sedikit kalangan eksekutif maupun businessman telah terjangkit narkotika.

Kejahatan-kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisasi secara mantap, rapi dan sangat rahasia.74

74

Hari Sasangka, Op Cit, hlm 166

Selain itu, Indonesia juga sudah terikat pada ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 07 Tahun


(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Abidin Zainal, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2007

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009

Ali Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 ______, Filsafat Hukum, (Jakarta Sinar Grafika, 2010.

Allot Antony, The Limit of Law, London Butterworth & Co., 1980

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008

Arief, Barda Nawawi Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, cet. 2, Jakarta: Kencana, 2008

Asshiddiqie Jimly , Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2010

Chand Hari, Modern Jurisprudence, Kuala Lumpur, International Law Book Services, 1994

Chazawi Adami, Kejahatan terhadap Harta Benda, Malang: Bayumedia, 2004

Darmodiharjo Darji dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum (Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia) Cet, VI, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006

Dirdjosisworo Dr. Soedjono,, Hukum Narkotika Indonesia, Bandung, Alumni, Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan: USU Press, 2010

Ekaputra, Mohammad, dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan pengaturannya menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010


(2)

Erwina Liza, Pengantar Ilmu Hukum Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012

Fajar Muktar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010

Hamzah, Andi, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008

Hiariej Eddy O.S., Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga, 2009

Husein, Syahruddin, Pengantar Ilmu Hukum, Medan: Kelompok studi Hukum dan Masyarakat, 1998

Ibrahim,Johny Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang, Bayumedia Publishing, 2011

Lamintang, P.A.F. Dasar-dasar untuk mempelajari Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia, Cet. III, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1997.

Makarao, Moh.Taufik, Suhasril, Moh.Zakky A.S, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009

Manan, Abdul, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Jakarta,Kencana Prenada Media Goup, 2009

Marzuki Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010

MD Moh.Mahfud dan Iman Syaukani dan A.Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2008

______, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2010

Mertokusumo, Sudikno, “Bab-bab Tentang Penemuan Hukum”, Yoyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993

Mertokusumo, Sudikno, Teori Hukum, Edisi Revisi, cet-VI Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2012

Moleong Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung. PT. Remaja Rosdakarya, 2006


(3)

Muchsin & Fadillah Putra, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang, Averroes Press, 2002

Muhammad, Abdul kadir, Etika Profesi Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2006 Muslan Abdurahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang:UMM Press,

2009

Nazir Moh., Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indoneisa, 2003

Packer Herbert, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California

Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994 Prasetyo, Teguh, Kriminalisasi Dalam Hukum Pidana, Bandung : Nusa Media, 2011 Rahardjo, Satjipto, “Ilmu Hukum”, Bandung : Alumni, 1986

______, Membedah Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas. 2007

______, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta, Genta Publishing, 2009

______, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, Kompas, 2010 ______, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010

______, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2011

Rasjidi, Lili, dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001

Sasangka, Hari, Narkotika dan psikotropika dalam Hukum Pidana untuk mahasiswa dan praktii serta penyuluh masalah narkoba Bandung : Mandar Maju, 2003 Sawer, Goeffrey, Law in Society, London, Clarendon Oxford University Press, 1965 Sikumbang Jusmadi, Mengenal Sosiologi dan Sosiologi Hukum, Medan: Pustaka

Bangsa Press, 2012


(4)

Siswanto S, , Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta, Rineka Cipta, 2012

Soekanto Soerjono, Pengantar Peneletiaan Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Pres-UI Press, 1986

______, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Jakarta: Indonesia, Hillco, 1990

______, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004

______, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, 2011

Soeroso R., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2001

Sugandhi, R, KUHP dan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1981

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003

Supramono, Gatot Hukum Narkoba Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2007

S Siswanto., Politik Hukum Pidana dalam Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009), Jakarta: Rineka Cipta, 2012

Tahir H. Heri, Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Yogyakarta, Laksbang, 2010

Tanya, Bernard L., dan Yoan N. Simanjutak dan Markus Y. Hage, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta, Genta Publishing, 2010

Tongat, Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia, Malang: Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2004

Thaib, Dahlan dan Jazim Hamidi dan Ni.matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 1999


(5)

Wibowo, Basuki Rekso, Penemuan, Penafsiran dan Penciptaan Hukum oleh Hakim berkaitan dengan Jurisprudensi sebagai Pedoman Penerapan Hukum bagi Pengadilan, Yuridika, 1996

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP).

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia (KUHAP). Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971).

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988).

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Internet


(6)

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat, Suatu Sumbangan Pemikiran,

Mahardian Rahmadi, Katinon dan Produk Turunannya,

Pengaruh metilon terhadap sistem syaraf,

Jumat tanggal 18 Desember 2014 pukul 11.30 wib.

diakses hari


Dokumen yang terkait

Peranan Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33 230 74

Kebijakan Rehabilitasi Terhadap Penyalahguna Narkotika Pada Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

1 20 140

EFEKTIVITAS PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG TINDAK PIDANA NARKOTIKA Efektivitas Penerapan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Kota Surakarta).

0 3 11

PENJATUHAN PIDANA PENJARA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA NARKOTIKA YANG DIKUALIFIKASIKAN SEBAGAI PENYALAHGUNA NARKOTIKA TANPA DILAKUKAN REHABILITASI DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009.

0 0 1

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PENETAPAN SANKSI PIDANA DENDA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.

0 0 1

undang undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika

0 0 92

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA BERDASARKAN PADA UNDANG-UNDANG YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA. A. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur

0 0 41

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 27

Penuntutan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahguna Narkotika Diluar Golongan yang Diatur dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

0 0 15

JURNAL ILMIAH TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA JENIS BARU YANG BELUM DIATUR DALAM UNDANG-UNDANG NO 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

0 0 16