Analisis Skeletal Analisis Gigi

2.2.1 Analisis Skeletal

Para antopologi menggunakan garis horizontal Frankfort untuk menghubungkan strukstur kraniofasial ketika mempelajari skeletal wajah. Namun pada sefalometri lateral, titik porion dan orbital tidak mudah untuk di identifikasi. Oleh karena itu Steiner menggunakan dasar tengkorak anterior Sella ke Nasion sebagai garis referensi, dimana nantinya akan dikaitkan dengan titik A atau titik B. Keuntungan dengan menggunakan garis ini adalah garis ini hanya bergerak dalam jumlah minimal setiap kali kepala ini menyimpang dari posisi profil yang benar. 10,11 Gambar 4. Sudut SNA a Ideal b Protrusif c Retrusif. 10 Universitas Sumatera Utara Gambar 5. Analisis skeletal Sudut SNB a Ideal b Protrusif c Retrusif. 10 Titik A dan titik B dianggap sebagai batas anterior dan basis apikal rahang atas dan rahang bawah. Besar konveksitas wajah diketahui dengan mengukur besar sudut SNA dan SNB Gambar 4 dan Gambar 5. Nilai rata-rata untuk SNA adalah 82 ˚± 2˚, apabila lebih besar dari 84˚ disebut profil wajah cembung protrusif dan bila nilai SNA lebih kecil dari 80 ˚ disebut profil wajah cekung retrusif. Begitu pula untuk penilaian SNB, nilai rata-rata untuk penilaian SNB adalah 80 ˚± 2˚, apabila lebih besar daripada 82 ˚ disebut profil wajah cembung protrusif dan bila nilai SNA lebih kecil dari 78 ˚ disebut profil wajah cekung retrusif. Steiner tidak hanya memperharikan nilai SNA dan SNB, karena nilai tersebut hanya menunjukkan apakah wajah mengalami protrusif dan retrusif, tetapi Steiner juga memperhatikan perbedaan sudut antara SNA dan SNB atau sudut ANB Gambar 6. Sudut ANB memberikan gambaran umum tentang perbedaan anteroposterior dari rahang ke apikal basis mandibula. Rata-rata sudut ANB ini adalah 2 ˚, apabila nilai AN B lebih besar dari 2˚ Universitas Sumatera Utara maka disebut kelas II skeletal dan apabila lebih kecil dari 2 ˚ disebut kelas III skeletal. 10,17 Gambar 6. Pengukuran Sudut ANB a SNA b SNB c ANB. 10

2.1.2 Analisis Gigi

Inklinasi gigi insisivus dalam perawatan ortodonti, yaitu pada penentuan diagnosis dan evaluasi hasil perawatan, merupakan salah satu faktor yang selalu dipertimbangkan dalam menetapkan estetika wajah pasien. Inklinasi gigi insisivus sentral ditetapkan melalui pengukuran derajat kemiringanangulasi gigi pada sefalogram lateral melalui analisis sefalometri. 8 Universitas Sumatera Utara Gambar 7. Perpotongan sumbu insisivus maksila dengan garis NA. 10 Untuk posisi gigi insisivus maksila menurut analisis Steiner, garis NA dihubungkan sedemikian rupa dengan gigi insisivus rahang atas, lalu kecendrungan aksial gigi dihitung. Maka nilai ideal untuk titik mahkota insisivus paling anterior didepan garis NA adalah 4 mm dengan kecendrungan aksial gigi ideal adalah 22 ˚. Untuk gigi insisivus bawah, nilai ideal untuk titik mahkota insisivus bawah anterior didepan garis NB adalah 4 mm dengan kecendrungan aksial gigi ideal adalah 25 ˚. Daerah dagu juga dievaluasi, karena dagu berkontribusi dengan garis wajah. Idealnya jarak antara garis NB ke titik terluar dagu adalah 4 mm. 10 Universitas Sumatera Utara Gambar 8. Perpotongan sumbu insisivus mandibula dengan garis NB. 10 Perpotongan sumbu insisivus atas dan bawah membentuk sudut interinsisal, besar rata-rata untuk sudut interinsisal adalah 130 ˚ Gambar 9, Sudut yang lebih besar menggambarkan letak insisivus yang lebih tegak retrusif dan sudut yang lebih kecil berarti insisivus lebih maju protrusif. 11 Sudut interinsisal berkaitan dengan kontak insisivus yang dihubungkan dengan kedalaman overbite. Inklinasi gigi insisivus atas yang retrusif menyebabkan sudut interinsisal menjadi lebih besar. Besarnya sudut interinsisal akan mempengaruhi kontak antara gigi insisivus atas dan bawah. 10,19 Universitas Sumatera Utara Gambar 9. Sudut Interinsisal

2.2.3 Analisis Jaringan Lunak

Dokumen yang terkait

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

3 18 64

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

2 9 64

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

0 0 13

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

0 0 2

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

0 0 5

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

0 0 17

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu Chapter III VI

0 1 15

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

1 4 3

Hubungan Sudut Interinsisal Dengan Profil Jaringan Lunak Wajah Menurut Analisis Holdaway Pada Mahasiswa FKG USU Ras Campuran Proto Dengan Deutro-Melayu

0 0 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Sefalometri - Hubungan Sudut Interinsial dengan Jaringan Lunak Wajah Berdasarkan Analisis Steiner pada Mahasiswa FKG USU Ras Deutro Melayu

0 0 13