Jenis dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah
JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN
ANDAM DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
SKRIPSI
FATMAYANTI TANJUNG 070805010
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2014
(2)
JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM
DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
FATMAYANTI TANJUNG 070805010
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
PENGHARGAAN
Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kapada Allah SWT yang telah memberikan anugerahNya sehingga dengan izinNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Biologi pada Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan.
Adapun judul skripsi ini adalah Jenis Dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Pada Feses Sapi Di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan Dan Kecamatan Andam Dewi Kabupaten Tapanuli Tengah.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Arlen H.J. M.Si Selaku dosen pembimbing I dan bapak Drs. Nursal M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi, waktu, dan perhatian yang besar saat penulis memulai dalam penyusunan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Masitta Tanjung S.Si, M.Si selaku penguji I dan Ibu Dra. Suci Rahayu M.Si selaku penguji II yang telah bersedia memberikan bimbingan arahan dan waktu kepada penulis untuk menyempurnakan skripsi ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala Alexander Barus M.Sc selaku penasehat akademik yang telah banyak membimbing penulis selama masa pendidikan. Ibu Nursahara Pasaribu M.Sc dan Bapak Drs. Kiki Nurtjahja M.Sc selaku ketua dan sekretaris Departemen Biologi, dan seluruh staf dosen Departemen Biologi FMIPA USU yang telah mendidik dalam perkuliahan.
Terimakasih penulis ucapkan yang sebesar-besarnya kepada Laboratorium Parasitologi, Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, beserta staf yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik, kepada bapak-bapak yang berada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan bapak yang berada ditempat pemotongan Andam dewi terimakasih atas waktu dan bantuannya dalam pengambilan sampel.
Kedua orangtuaku tercinta (Fahmi Tanjung dan Bisma Warni Tanjung), terimakasih atas segala pengorbanan, doa, cinta, kasih sayang serta air mata kesabaran yang telah kalian berdua berikan sehingga menjadi motivasi dan semangat yang luar biasa bagi penulis untuk terus berjuang menyelesaikan skripsi ini, suami dan putriku tercinta (Arion hartanto Mahulae dan Alyathul Khadijah) terimakasih karena selalu menemani, memberikan semangat dan cinta kasih kepada penulis, adik-adikku tersayang (Zulham, Ema, Fitri, Hijrah, Yustika, Aida, Sri, Ela, dan Fandy), terimakasih juga atas segala cinta, kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, serta doa yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata.
Kepada teman-temanku Biologi 2007 Eka, Umi, Astri, Risma, Risa, Ria Windi, Ayu, Putri, Dina, linda, adik-adik biologi Netty, Gunawan, Mela, Inur, Riana, Frissy, Zuana, Siska, Afni, Fika, Nurul, Yuli, Mei, yang telah memberikan support dan
(4)
motivasi serta kritikan yang membangun sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari skripsi ini masih banyak kesalahan, dan kekurangannya sehingga penulis berharap kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya dengan segala syukur, penulis mengharapkan semoga kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Medan, Agustus 2014
(5)
DAFTAR ISI
halaman
Persetujuan ii
Penghargaan iii
Abstrak iv
Daftar Isi v
Daftar Tabel vi
Daftar Lampiran vii
Bab 1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Permasalahan 3
1.3 Tujuan Penelitian 3
1.4 Manfaat penelitian 3
Bab 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Klasifikasi Sapi 4
2.2 Budidaya Sapi Potong 4
2.3 Penyakit Pada Sapi 5
2.4 Jenis Cacing Parasit Pada Sapi 6
2.5 Penularan atau Penyebaran Penyakit 8
2.6 Pengendalian atau Pencegahan 9
Bab 3 Bahan dan Metode
3.1 Waktu dan Tempat 11
3.2 Bahan dan Alat-alat 11
3.3 Metode Penelitian 11
3.4 Prosedur Penelitian 12
3.5 Analisis Data 13
Bab 4 Hasil dan Pembahasan
4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing Endoparasit 14 4.2 Jumlah dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit 16 4.3 Persentase Jumlah Jenis Endoparasit 18
4.4 Data Berat Badan Sapi 20
Bab 5 Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 22
5.2 Saran 22
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel Judul halaman
4.1 Jenis dan Tingkat Infeksi Endoparasit yang Ditemukan pada Feses Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Medan dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi
14
4.2 Persentase Jumlah Jenis Endoparasit RPH Medan dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi
16 4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Cacing Endoparasit Di RPH
Medan Dan Beberapa Tempat Pemotongan Di Kecamatan Andam Dewi
18
4.4 Data Berat Badan Sapi yang Di Potong Di RPH Medan Dan Kecamatan Andam Dewi, serta Hubungannya dengan Tingkat Infeksi
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul halaman
1 Skema Kerja 26
2 Klasifikasi Jenis Endoparasit 27
3 Tabel Indikator Parasit 28
(8)
JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM
DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH ABSTRAK
Penelitian jenis dan tingkat infeksi cacing endoparasit dilakukan dengan menggunakan metode purposive random untuk pengambilan sampel feses di lapangan dan metode sedimentasi, untuk penentuan jumlah dan jenis di laboratorium. Hasil pengamatan 150 feses dari 25ekor sapi pada RPH Medan dan 25 ekor sapi pada beberapa tempat pemotongan sapi, didapatkan tujuh jenis cacing endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., lima jenis di beberapa tempat pemotongan Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., Tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH medan dikategorikan ringan, jumlah telur parasit yang ditemukan 1-120 butir dengan persentase tertinggi Haemonchus sp. 5,12%, Chabertia sp. 0,68 %, Bunostomum sp. 0,4 %, Cooperia sp. 0,16 %, dan terendah Paramphistomum sp. 0,04 %, sedangkan tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, jumlah telur parasit yang ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%. .
(9)
TYPE AND INFEKCTION OF HELMINTH ENDOPARASIT IN FESES COW IN THE RPH MEDAN AND RPH SUB DSTRICT ANDAM DEWI, DISTRICT
TAPANULI TENGAH ABSTRACT
Research the type and level of endoparasitic helminth infections carried out by using the method of purposive random sampling feces in the field, and sedimentation method, for the determination of the number and type of laboratory. Of 150 observations obtained seven kinds of cow feces endoparasitic helminths, five types in Medan RPH is Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., five types in RPH Andam Dewi is Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., Endoparasitic helminth infection rate in field RPH categorized as mild, the number of parasite eggs 1-127 grains with the highest percentage of Haemonchus sp. 5.12%, Chabertia sp. 0.68%, Bunostomum sp. 0.4%, Cooperia sp. 0.16%, the lowest and Paramphistomum sp. 0.04%, while the rate of endoparasitic helminth infections in RPH Andam Dewi classified as severe, the number of parasite eggs 2-5020 grains with the highest percentage of 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0.48%, Fasciola sp., 0.28% , Haemonchus sp. 0.2%, and the lowest type of Cooperia sp. 0.08%.
(10)
JENIS DAN TINGKAT INFEKSI CACING ENDOPARASIT PADA FESES SAPI DI RUMAH POTONG HEWAN (RPH) MEDAN DAN KECAMATAN ANDAM
DEWI KABUPATEN TAPANULI TENGAH ABSTRAK
Penelitian jenis dan tingkat infeksi cacing endoparasit dilakukan dengan menggunakan metode purposive random untuk pengambilan sampel feses di lapangan dan metode sedimentasi, untuk penentuan jumlah dan jenis di laboratorium. Hasil pengamatan 150 feses dari 25ekor sapi pada RPH Medan dan 25 ekor sapi pada beberapa tempat pemotongan sapi, didapatkan tujuh jenis cacing endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., lima jenis di beberapa tempat pemotongan Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistomum sp., Tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH medan dikategorikan ringan, jumlah telur parasit yang ditemukan 1-120 butir dengan persentase tertinggi Haemonchus sp. 5,12%, Chabertia sp. 0,68 %, Bunostomum sp. 0,4 %, Cooperia sp. 0,16 %, dan terendah Paramphistomum sp. 0,04 %, sedangkan tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, jumlah telur parasit yang ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%. .
(11)
TYPE AND INFEKCTION OF HELMINTH ENDOPARASIT IN FESES COW IN THE RPH MEDAN AND RPH SUB DSTRICT ANDAM DEWI, DISTRICT
TAPANULI TENGAH ABSTRACT
Research the type and level of endoparasitic helminth infections carried out by using the method of purposive random sampling feces in the field, and sedimentation method, for the determination of the number and type of laboratory. Of 150 observations obtained seven kinds of cow feces endoparasitic helminths, five types in Medan RPH is Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., five types in RPH Andam Dewi is Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., and Paramphistomum sp., Endoparasitic helminth infection rate in field RPH categorized as mild, the number of parasite eggs 1-127 grains with the highest percentage of Haemonchus sp. 5.12%, Chabertia sp. 0.68%, Bunostomum sp. 0.4%, Cooperia sp. 0.16%, the lowest and Paramphistomum sp. 0.04%, while the rate of endoparasitic helminth infections in RPH Andam Dewi classified as severe, the number of parasite eggs 2-5020 grains with the highest percentage of 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0.48%, Fasciola sp., 0.28% , Haemonchus sp. 0.2%, and the lowest type of Cooperia sp. 0.08%.
(12)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk dan pendapatan perkapita dalam masyarakat Indonesia berpengaruh terhadap kebutuhan akan sandang, pangan dan papan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat memiliki kesadaran akan gizi, diantaranya yang berasal dari ternak, sehingga terjadi peningkatan permintaan produk-produk peternakan. Salah satu diantaranya adalah daging sapi. Kebutuhan akan daging sapi untuk konsumsi penduduk Indonesia semakin meningkat setiap tahun sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk, tetapi dilain pihak pengadaan daging sapi setiap saat mengalami penurunan yang disebabkan oleh gangguan penyakit (Iskandar, 2007).
Menurut Dewi et al., (2011), gangguan penyakit pada ternak merupakan salah satu hambatan yang dihadapi dalam pengembangan peternakan, diantara sekian banyak penyakit hewan di Indonesia, penyakit parasit masih kurang mendapatkan perhatian dari para peternak. Penyakit parasit biasanya tidak mengakibatkan kematian ternak, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan berat badan dan daya produktivitas hewan. Diantara penyakit parasit yang sangat merugikan adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing. Hasan (1970) menjelaskan bahwa, pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung.
Menurut Subronto & Tjhajati (2001) dalam Sugama & Suyasa (2011), gejala umum dari hewan yang terinfeksi cacing antara lain adalah badan lemah, bulu kusam, dan gangguan pertumbuhan yang berlangsung lama. Kehadiran parasit cacing bisa diketahui melalui pemeriksaan feses untuk mengetahui keberadaan telur cacing. Perubahan populasi cacing dalam perut sapi dapat diketahui dengan menghitung total telur per gram feses (EGP) secara rutin.
(13)
Beberapa faktor yang menyebabkan sapi terinfeksi parasit cacing antara lain hijauan yang masih berembun serta tercemar vektor pembawa cacing, kondisi kebersihan kandang yang tidak diperhatikan oleh peternak sehingga kotoran dari sapi tersebut mencemari pakan, dan pemeliharaan sapi dengan sistem gembala yang merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak (Levine, 1994). Selanjutnya Harmindah (2001) menjelaskan bahwa, peternak kecil menggunakan sistem semi intensif dengan membiarkan ternak mencari makan sendiri bahkan ada yang sama sekali tidak dikandangkan sehingga sangat mudah terinfeksi oleh vektor pembawa cacing dan terkontaminasi telur cacing.
Menurut Tantri et al., (2013), hasil pengamatan terhadap feses sapi di RPH Pontianak menunjukkan bahwa dari 80 sampel yang diambil seluruhnya telah terinfeksi telur cacing parasit. Menurut Harminda (2011), berdasarkan hasil penelitian 147 sampel feses sapi di Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang, dimana 141 ekor sapi pesisir positif teinfeksi parasit cacing Neoascaris vitulorum dengan tingkat prevalensi sebesar 96 % dan tingkat keparahan infestasi dikategorikan ringan yaitu jumlah telur cacin <499 telur per gram feses sapi.
Sapi-sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan pada umumnya dirawat secara intensif, dimana sapi-sapi tersebut dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak, serta sangat memperhatikan kondisi lingkungan dan kesehatan ternak. Tempat Pemotongan Tradisional Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah merupakan peternakan tradisional, dimana sapi-sapi dibiarkan mencari makan sendiri, bahkan ada yang tidak dikandangkan. Adanya perbedaan tingkat infeksi parasit cacing yang terdapat pada sapi di Rumah Pemotongan Hewan (RTH) Medan dan Tempat Pemotongan Tradisional Andam Dewi. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang “Jumlah dan Jenis Cacing Endoparasit pada Feses Sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah”.
(14)
I.2 Permasalahan
Hambatan dalam pengembangan peternakan, khususnya peternakan sapi yang disebabkan oleh cacing parasit perlu mendapat perhatian yang cukup besar, namun sampai saat ini belum diketahui bagaimana jenis dan tingkat keparahan infeksi cacing parasit antara sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dengan sapi masyarakat peternak yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah berdasarkan total telur per gram feses.
I.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a) Mengetahui jenis-jenis parasit cacing yang terdapat pada sapi yang ada di RPH Medan dan di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.
b) Membandingkan tingkat infeksi dari parasit cacing yang ada di Rumah Potong Hewan Medan dan yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah dengan menghitung banyaknya jumlah telur cacing yang terdapat pada feses sapi.
I.4 Hipotesa
Sapi yang ada di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Sapi yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah terinfeksi parasit cacing dan terdapat perbedaan tingkat infeksi parasit cacing antara sapi di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dengan sapi yang ada di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.
I.5 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini untuk memberikan informasi bagi instansi yang terkait mengenai infeksi yang disebabkan endoparasit yang terdapat pada sapi yang ada di RPH Medan dan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.
(15)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Sapi
Penggolongan sapi ke dalam suatu Genera berdasarkan pada persamaan karakteristik yang dimilikinya. Karakteristik yang dimiliki tersebut akan diturunkan ke generasi berikutnya. Menurut Kindersley (2010), sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :
Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mamalia Ordo : Artiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos Spesies : Bos sp.
2.2 Budidaya Sapi Potong
Sapi potong merupakan sapi yang dipelihara dengan tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong biasa disebut juga sebagai sapi pedaging. Ciri-ciri sapi pedaging biasanya memiliki tubuh besar, dengan kualitas daging maksimum, laju pertumbuhan cepat, dan efisiensi pakan yang tinggi (Santosa, 1995). Abidin (2006) menambahkan, sapi potong adalah jenis sapi khusus yang dipelihara untuk digemukkan.
Teknik budidayaya sapi bertujuan untuk mendapatkan ternak yang bermutu tinggi, mempunyai daya adaptasi yang baik, dan tahan terhadap penyakit tertentu, melalui seleksi, pemilihan bibit dan perkawinan. Manajemen yang dilakukan meliputi cara pemeliharaan ternak, misalnya bagaimana membersihkan kandang, pengaturan perkandangan, melakukan rekording, peremajaan, penjagaan kesehatan, dan pemberian
(16)
pakan yang berkualitas dengan jumlah pemberian sesuai kebutuhan ternak. Manajemen tersebut merupakan salah satu aspek yang penting dalam menunjang keberhasilan usaha peternakan (Haryanti, 2009).
Sistem pemeliharaan sapi potong dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu sistem pemeliharaan ekstensif, semi intensif dan intensif. Sistem ekstensif adalah semua aktivitas dilakukan di padang penggembalaan. Sistem semi intensif adalah memelihara sapi untuk digemukkan dengan cara digembalakan dan pakan disediakan oleh peternak, atau gabungan dari sistem ekstensif dan intensif. Sementara sistem intensif adalah sapi-sapi dikandangkan dan seluruh pakan disediakan oleh peternak (Susilorini, 2008).
Kebutuhan pakan merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi ternak, karena sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, pertumbuhan, produksi dan reproduksi. Pakan yang baik adalah pakan dengan kualitas dan kuantitas yang memadai, seperti energi, protein, lemak, mineral dan juga vitamin. Semuanya dibutuhkan dalam jumlah yang tepat serta seimbang, sehingga bisa menghasilkan produk daging berkualitas dan berkuantitas tinggi (Sugeng, 1998).
Menurut Munadi (2011), salah satu hambatan dalam pengembangan peternakan adalah persoalan penyakit. Penyakit merupakan faktor yang berpengaruh langsung terhadap kehidupan ternak, serta dapat menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup besar.
2.3 Penyakit Pada Sapi
Arifin dan Soedarmono (1982) mengatakan, bahwa salah satu penyakit ternak yang cukup merugikan adalah penyakit parasit cacing, penyakit ini berbeda dengan penyakit ternak yang disebabkan oleh virus dan bakteri, karena kerugian ekonomis yang disebabkan oleh virus dan bakteri dapat diketahui dengan mudah melalui kematian ternak. Pada penyakit parasit cacing kerugian utamanya adalah gangguan pertumbuhan, turunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, dan gangguan metabolisme.
(17)
Pada umumnya masyarakat peternak tidak memperhatikan masalah penyakit cacing, karena penyakit tersebut jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung (Hasan, 1970). Kasus kecacingan pada ternak sapi hampir menyerang seluruh ternak sapi di belahan dunia termasuk Indonesia. Berdasarkan survei di beberapa pasar hewan di Indonesia menunjukkan bahwa 90% ternak sapi dan kerbau terinfeksi parasit cacing diantaranya cacing hati (Fasciola spp.), cacing gelang (Neoascaris vitulorum), dan cacing lambung (Haemonchus contortus) (Erwin et al, 2010).
2.4Jenis Cacing Parasit Pada Sapi a). Cacing Hati (Fasciola spp.)
Cacing hati (Fasciola spp.) merupakan cacing daun yang besar dan lebar, bertubuh pipih. Penghisapnya berdekatan satu sama lain, telurnya berkulit tipis dan mempunyai operculum (Levine, 1990). Selanjutnya Martindah et al., (2005) dalam Dewi et al., (2011) menjelaskan bahwa, Fasciola yang menyerang ternak pada umumnya adalah Fasciola hepatica dan Fasciola gigantica. F. hepatica biasanya ditemukan di daerah empat musim atau subtropis, seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia, dan New Zealand, sedangkan F. gigantica umumnya ditemukan di negara tropis dan subtropis, seperti India, Indonesia, jepang, Filipina, Malaysia, dan Kemboja. Di Indonesia F. gigantica lebih sering ditemukan pada sapi dan kerbau daripada domba atau kambing dengan sebaran yang luas terutama di lahan-lahan basah.
Menurut Levin (1990), hospes dari Fasciola spp. adalah siput dari genus Lymnaea dan metaserkaria (larva infektif cacing hati) yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Dewi et al., (2011) menambahkan, ternak terinfeksi cacing Fasciola spp. karena memakan hijaun yang mengandung metaserkaria. Sekitar 16 minggu kemudian cacing tumbuh menjadi dewasa dan tinggal di saluran empedu. Cacing dewasa memproduksi telur yang keluar bersama feses. Pada kondisi yang cocok telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium.
(18)
b). Cacing Pita (Taenia saginata )
Ciri dari cacing pita (T. saginata) memiliki ukuran sangat besar, panjang, terdiri dari kepala (skoleks), leher, dan stobila yang tersusun dari proglotid. Telur berbentuk bulat, berukuran 30-40 x 20-30 mikron, memiliki dinding tebal bergaris radier, dan berisi embrio heksakan, sedangkan skoleks berukuran 1-2 milimeter dan memiliki empat batil isap. Pada cacing dewasa panjang badan dapat mencapai 4-12 cm, jumlah proglotid antara 1000-2000 buah, terdiri atas proglotid immature-mature dan gravid (Ongowaluyo, 2001).
Menurut Kusumamiharja (1995), cacing pita ini melekat pada rumput bersama dengan feses, kemudian ternak sapi memakan rumput yang telah terkontaminasi oleh cacing pita tersebut, telur yang tertelan, dicerna dan embrio heksakan menetas. Embrio heksakan di saluran pencernaan ternak menembus dinding usus, masuk kesaluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah, serta masuk ke jaringan ikat sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing pita, peristiwa ini terjadi setelah 12-15 minggu.
c). Cacing Lambung (Haemonchus contortus)
Cacing ini merupakan genus nematoda yang paling penting pada domba dan sapi. cacing jantan mempunyai panjang 10-20 mm dan berdiameter 400 mikron, sedangkan betina memiliki panjang 18-30 mm dengan diameter 500 mikron dengan telur berukuran 62-90 x 39-50 mikron. Haemonchus contortus merupakan cacing lambung yang besar yang biasanya disebut cacing barberpole, cacing lambung berpilin, atau cacing kawat pada ruminansia. Cacing ini terdapat pada abomasum domba, kambing, sapi, dan ruminansia lain (Levine, 1990).
Menurut Reinecke (1983) Selain ketiga jenis parasit diatas jenis parasit lain yang sering menginfeksi sapi adalah Paramphistomum spp. pada rumen, reticulum, abomasum, Trichostrongylus axei, di abomasums, Bunostomum phlebotomum, Cooperia spp, Strongyloides papillol, Toxocara vitolorum, Trichostrongylus
(19)
colubriformis, di usus kecil, Trichuris spp. pada Caecum, Oesophagostomum radiatum di colon, Setaria labiato papillosa di ruang Abdomen.
2.5Penularan atau Penyebaran Penyakit
Pengetahuan penularan atau penyebaran penyakit akan membantu mengatasi kejadian penyakit secara menyeluruh. Tidak hanya mengobati penyakit secara individual pada ternak, namun juga dapat memutus siklus agen penyakit atau memutus jalur penularan serta melakukan pencegahan-pencegahan agar penyakit tidak semakin meluas (Hayes, 1987).
Menurut Raphaela (2006), penyakit pada ternak secara umum terdiri dari penyakit infeksius dan penyakit non infeksius. Penyakit infeksius adalah penyakit yang disebabkan oleh agen-agen infeksi. Agen-agen infeksi penyebab penyakit antara lain virus, bakteri, mikal, parasit, sedangkan penyakit non infeksius adalah penyakit yang disebabkan selain agen infeksi misalnya akibat defisiensi nutrisi, defisiensi vitamin, defisiensi mineral, keracunan, pakan. Lokasi lesi akibat penyakit non infeksius ini bisa bersifat lokal ataupun sistemik.
Penyebab terjadinya penularan infeksi parasit cacing pada sapi sangat ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya adalah kebersihan kandang, areal pengembalaan, tempat mencari makan, dan pemahaman peternak dalam pemeliharaan kesehatan ternaknya (Onggowaluyo, 2001). Suweta (1985) menambahkan, perkembangan telur endoparasit diluar tubuh ternak sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan seperti adanya genangan air, kehadiran siput sebagai inang, perantara di sekitar kandang, dan juga faktor lainnya seperti cuaca. Harmida (2011) menambahkan, pemeliharaan sapi dengan sistem gembala juga merupakan peluang besar bagi cacing untuk berkembang biak.
Menurut Sudardjat (1991), pengaruh lingkungan di daerah tropis memungkinkan perkembangan parasit cacing, karena berbagai faktor yang mendukungnya kehidupan parasit diantaranya adalah kehangatan dan kelembaban tubuh hospes, serta nutrisi
(20)
makanan di dalam tubuh hospes yang mempengaruhi pertumbuhan parasit. Menurut Santosa (2003), faktor lingkungan yang kotor menjadi sumber berbagai penyakit sehingga kondisi hewan menurun. Pada keadaan ini parasit yang semula tidak berbahaya pada hewan menjadi berbahaya karena faktor kondisi tersebut.
2.6Pengendalian atau Pencegahan
Efektifitas pengendalian suatu penyakit sangat tergantung pada ketepatan dan kesempurnaan pelaksanaan tindakannya, dalam hal ini yang meliputi kesempurnaan tindakan adalah pemberantasan parasit di dalam tubuh hospes melalui pengobatan, pemberantasan siput hospes secara fisik, kimia, dan biologi, dan kesempurnaan tindakan penyelamatan ternak dari kemungkinan adanya infeksi cacing parasit (Suweta, 1985).
Apabila tindakan pengobatan akan dilaksanakan, sebaiknya dikaitkan dengan saat terdapatnya penyebaran telur, metasekaria, dan siput secara meluas. Dalam hal ini perlu dilaksanakan pengobatan sebanyak tiga kali setahun yaitu:
a. Pada permulaan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh ternak selama musim kemarau.
b. Pada pertengahan musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan untuk mengurangi infeksi siput oleh mirasidia.
c. Pada akhir musim hujan untuk membasmi cacing yang diperoleh selama musim hujan, dan mengurangi pencemaran lapangan oleh telur cacing dimusim kemarau (Boray, 1966).
Pemberantasan siput hospes intermedier dapat dilaksanakan dengan cara:
a. Fisik, dengan mengeringkan lahan berair, yang pengairannya tidak diperlukan lagi.
b. Kimia dengan mollusida. Penggunaan mollusida harus berhati-hati karena dapat merusak lingkungan hidup lainnya. Dalam hal ini dianjurkan penggunaan dalam pengenceran 1 : 50.000 atau sebanyak-banyaknya 10-30 kg/ha
c. Biologis, dengan melepaskan itik untuk memakan siput hospes intermadier (Kendall, 1960).
(21)
Dalam usaha pencegahan untuk menyelamatkan ternak dari kemungkinan infeksi endoparasit secara operasional pada tingkat peternak antara lain:
a. Perlu dihindari pengembalaan ditempat-tempat yang tergenang air atau pernah tergenang air dalam waktu yang cukup lama.
b. Tidak menyabit rumput yang pernah tergenang air. Dalam keadaan terpaksa boleh menyabit rerumputan yang berada jauh diatas permukaan air.
c. Mengeringkan tempat-tempat pergenang air yang tidak perlukan (Suweta, 1985).
(22)
BAB 3
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan, dan pada beberapa tempat pemotongan di Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, serta di Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah feses sapi, air kran, dan es batu, sedangkan alat-alat yang digunakan sarung tangan plastik, pinset, masker, tabung low centrifuge, centrifuge, timbangan, pipet tetes, objek gelas, butir kaca, saringan mess 60, batang pengaduk, aspirator, mikroskop, termos, plastik dan karet.
3.3 Metode Penelitian
Metode Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan Metode Deskriptif dengan cara pengambilan sampel menggunakan Purpossive Random artinya penentuan daerah penelitian didasarkan atas pemilihan yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Suin, 1989). Sampel diambil dari Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi,Kabupaten Tapanuli Tengah.
(23)
3.4 Prosedur Penelitian Di lapangan
Di lapangan feses diambil pada saat pemotongan, kemudian dimasukkan ke dalam plastik, diikat dengan karet gelang, diberi label, diambil 25 feses dari 25 sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan 25 feses dari 25 sapi di beberapa tempat pemotongan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah, sampel yang telah diambil dibawa ke Laboratorium Parasitologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan.
Di laboratorium
Sampel di laboratorium diambil satu gram feses, kemudian dimasukkan ke dalam tabung centrifuge (Tabung A) 50 ml, ditambahkan 10 ml air kran, di kocok sampai homogen, sampel yang telah homogen dimasukkan ke dalam tabung centrifuge (Tabung B) yang telah diisi tiga gram butir kaca, sampel dimasukkan melalui saringan ukuran 60-90 wire mest, sisa sampel yang di Tabung A di bilas dengan air, kemudian air bilasan dimasukkan ke dalam Tabung B sampai suspensi sebatas leher tabung, dibiarkan selama lima menit sampai terjadi suspensi, setelah lima menit di letakkan Tabung B ke dalam rotator dan putar lima kali pada kecepatan 10 detik per rotasi, setelah diputar di buang supernatan dengan aspirator,di tambahkan lagi air sebanyak 50 ml, di aduk dan diamkan selama lima menit, kemudian dimasukkan kembali ke dalam rotator, diputar sebanyak lima putaran, di tuang supernatan, diamkan lima menit untuk di sedimentasi, setelah lima menit di buang supernatan dan tinggalkan ±2 ml dari endapan, di letakkan seluruh endapan di atas slide kaca dengan menggunakan pipet tetes, kemudian di letakan di bawah mikroskop, diamati jenis endoparasit dan dihitung jumlah telur. Perlakuan yang sama dilakukan pada semua sampel yang diambil dengan tiga kali pengulangan untuk masing-masing sampel, sehingga sampel yang diuji menjadi 75 sampel untuk satu lokasi dan jumlah keseluruhan menjadi 150 sampel (Taira, 1985).
(24)
3.5 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian diidentifikasi jenis telur cacing endoparasit yang menginfeksi sapi berdasarkan ciri spesifik telur, dihitung banyaknya telur yang didapat dengan pengamatan langsung, kemudian pembacaan hasil dilihat dari lampiran metode uji sehingga dapat dikelempokkan tingkat infeksi cacing endoparasit tersebut berat atau ringannya infeksi dapat dilihat pada (lampiran 3), dan untuk menentukan persentase jumlah telur cacing endoparasit digunakan rumus : Jumlah telur
(25)
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Jenis-Jenis Telur Cacing Endoparasit Yang Ditemukan Pada Sapi
Berdasarkan hasil pengamatan 150 sampel feses sapi dari Rumah Potong Hewan (RPH) Medan dan Kecamatan Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah yang dilakukan di Laboratorium Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner Regional I Medan, didapatkan jenis-jenis endoparasit yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Jenis Telur Cacing Endoparasit Yang Ditemukan Pada Feses Sapi Dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Medan Dan Di Kecamatan Andam Dewi.
No Jenis Endoparasit RPH-M RPH-A
1 Bunostomum sp. √ -
2 Chabertia sp. √ -
3 Cooperia sp. √ √
4 Dicrocoelium sp. - √
5 Fasciola sp. - √
(26)
7 Paramphistomum sp. √ √
Jumlah 5 5
Keterangan : RPH-M = Rumah Pemotongan Hewan, RPH-A = Rumah Pemotongan
Hewan Andam Dewi, (√) = Ada, (-) = Tidak Ada
Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa jenis endoparasit yang ditemukan di RPH Medan berjumlah lima jenis yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp, Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp., selanjutnya di RPH Andam Dewi juga terdapat lima jenis endoparasit yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp. Tiga jenis endoparasit ditemukan pada ke dua lokasi adalah Cooperia sp., Haemonchus sp., dan Paramphistomum sp.
Jenis Fasciola sp. dan Dicrocoelium sp. hanya ditemukan di RPH Andam Dewi, larva cacing ini biasanya terdapat di daerah persawahan yang banyak mengandung siput air. Siput merupakan inang perantara yang menginfeksi ternak. Berdasarkan pengamatan di lapangan ternak-ternak yang berada di RPH Andam Dewi dirawat secara ekstensif, ternak dilepaskan di padang rumput dan daerah persawahan, sehingga sangat besar kemungkinan ternak terinfeksi kedua jenis cacing tersebut. Menurut Dewi et al (2012), jenis Fasciola sp. menginfeksi ternak setelah ternak memakan rumput yang berada dipersawahan atau meminum air sungai, karena biasanya metaserkaria dari jenis ini sering menempel pada rumput yang tumbuh liar atau berada di dalam air yang mengandung siput sebagai inang.
(27)
Jenis cacing Bunostomum sp. dan Chabertia sp. hanya ditemukan di RPH medan, jenis ini dapat menginfeksi ternak secara langsung tanpa melalui inang perantara, biasanya ternak terinfeksi dari kotoran dalam kandang yang belum dibersihkan atau dari bekas air minum yang terdapat di kandang yang diminum oleh ternak, kemudian menginfeksi ternak tersebut. Meskipun ternak yang berada di RPH Medan dirawat secara intensif, jika kebersihan kandang kurang terawat, maka bisa saja terinfeksi oleh kedua cacing endoparasit ini, tetapi tingkat infeksi kedua cacing tersebut pada ternak di RPH Medan tergolong rendah, sehingga tidak membahayakan.
Cacing Cooperia sp. biasanya ditemukan di dalam usus kecil, daur hidupnya mirip dengan nematoda lainya, dimana cacing tersebut mengeluarkan telurnya dari tubuh hospes melalui feses dan di alam bebas berkembang dibawah pengaruh kelembaban, suhu dan oksigen yang cukup. Menurut Sugama & Suyasa (2011), cacing Cooperia sp. juga merupakan cacing giling atau nematoda, bentuknya kecil yang warnanya kemerah-merahan, dapat ditemukan di dalam usus kecil berbagai ruminansia, terutama sapi.
Ternak yang berada di RPH Andam Dewi dan RPH Medan sebagian besar di beri pakan rumput, dimana rumput atau tumbuhan merupakan media penularan cacing endoparasit, sehingga ternak memiliki kemungkinan yang besar terinfeksi oleh cacing Parampistomum sp., dimana cacing ini biasanya terdapat di lambung, penularannya melalui rumput atau tumbuhan yang mengandung metaserkaria.
(28)
Tabel 4.2. Persentase Jumlah Jenis Endoparasit RPH Medan Dan Beberapa Tempat Pemotongan Andam Dewi
No Jenis Endoparasit
RPH-M RPH-A
jumlah
(butir) presentase Keterangan
jumlah
(butir) Persentase Keterangan
1 Bunostomum sp. 10 0,4 % ringan - - -
2 Chabertia sp. 13 0,68 % ringan - - -
3 Cooperia sp. 4 0,16 % ringan 2 0.08 % Ringan
4 Dicrocoelium sp. - - - 12 0,48 % Ringan
5 Fasciola sp. - - - 7 0,28 % Ringan
6 Haemonchus sp. 127 5,12 % ringan 5 0,2 % Ringan
7
Paramphistomum
sp. 1 0,04 % ringan 5.020 100 % Berat Keterangan: RPH-M : Rumah Potong Hewan Medan, RPH-A : Rumah Potong
Andam Dewi, Jumlah sapi: 25 ekor.
Tabel 4.2 dapat dilihat hasil pengamatan 75 sampel feses dari 25 ekor sapi di RPH Medan 5,12 % terinfeksi Haemonchus sp., 0,68 % terinfeksi Chabertia sp., 0,4 % terinfeksi Bunostomum sp., 0,16 % Cooperia sp., dan 0,04 % terinfeksi, sedangkan di RPH Andam Dewi 100 % sapi terinfeksi Paramphistomum sp., 0,48 % terinfeksi Dicrocolium sp., 0,28 % terinfeksi Fasciola sp., 0,2 % Haemonchus sp., 0,08 % terinfeksi Cooperia sp.
(29)
Di RPH Andam Dewi tingkat infeksi tergolong berat, dari hasil pengamatan 75 feses dari 25 ekor sapi, 100 % feses terinfeksi cacing jenis Paramphistomum sp. berdasarkan pengamatan di lapangan sapi yang berada di RPH Andam Dewi dibiarkan bebas berkeliaran untuk merumput, dimana larva cacing Paramphistomum sp. penyebarannya melalui rumput atau tumbuhan yang mengandung metaserkaria. Menurut Noble dan Noble (1989) dalam Sugama dan Suyasa (2011), cacing Paramphistomum sp. merupakan jenis cacing trematoda yang predileksinya di lambung ruminansia, siklus hidupnya mirip dengan Fasciola sp., dengan induk semang siput genus Lymnea, dan Planarbis. Hewan terinfeksi jika makan metaserkaria yang ada pada rumput atau tumbuhan.
Dalam penelitian Suyasa dan Sugama (2011) menyatakan, dari beberapa hasil penelitian terdahulu tingkat prevalensi cacing Paramphistomum sp. pada sapi Bali di Bali cukup tinggi dari penelitian Brahmajaya et al., (1981), prevalensi Paramphistomum sp. mencapai 100%, Suaryana et al., (1984), sebanyak 61,36 %, sedangkan Neker (1997), sekitar 88 %. Hal ini dikarenakan cara perawatan ternak, dimana perawatan masih dilakukan secara ekstensif, sapi-sapi di gembalakan di padang rumput, bahkan tidak dikandangkan, sehingga resiko tinggi terinfeksi cacing parasit. Menurut Tantri et al., (2013), pemeliharaan secara ekstensif menyebabkan sapi dapat terinfeksi larva cacing di padang gembala, sedangkan pemeliharaan secara intensif dapat mengurangi resiko infeksi karena pakan ternak diberikan di dalam kandang.
Di RPH Medan jumlah terbanyak terdapat pada jenis Haemonchus sp., sebanyak 127 butir dengan persentase 5,12%, jenis ini biasanya optimal berkembang pada temperatur yang relatif tinggi, jika dibandingkan dengan Andam Dewi temperatur Medan lebih tinggi. Menurut Levine (1977), penyakit Haemonchosis yang disebabkan oleh cacing Haemonchus sp., merupakan suatu penyakit ternak yang menyerang ternak di daerah-daerah beriklim panas, serta optimal berkembang pada temperatur tinggi. Meskipun jenis ini memiliki
(30)
persentase tertinggi di RPH Medan, tetapi tingkat infeksinya masih tergolong ringan.
Sebagian besar endoparasit yang menginfeksi sapi di RPH Medan dan RPH Andam Dewi dari Kelas Nematoda yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., dan Haemonchus sp., dan dari Kelas Trematoda yaitu Dicrocoelium sp., Fasciola sp., dan Paramphistomum sp., Menurut Tantri et al., (2013), parasit Nematoda umumnya menyerang hewan ternak.
(31)
4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Telur Cacing Endoparasit
Keparahan tingkat infeksi dapat dilihat berdasarkan jumlah telur yang ditemukan pada satu gram feses sapi, jumlah dan tingkat infeksi endoparasit dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel. 4.3 Jumlah Dan Tingkat Infeksi Telur Cacing Endoparasit Di RPH Medan Dan Beberapa Tempat Pemotongan Andam Dewi
Feses Sapi Jenis Endoparasit
RPH-M RPH-A
Jumlah
Tingkat Infeksi
Jumlah
Tingkat Infeksi
Berat Ringan Berat Ringan
1 Haemonchus sp. 1 - √ - - - Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 297 √ - 2 Paramphistomum sp. - - - 39 √ - 3 Paramphistomum sp. - - - 551 √ - 4 Haemonchus sp. 1 - √ - - - Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. 1 - √ 36 √ - 5 Paramphistomum sp. - - - 7 - √
6 Chabertia sp. 2 - √ - - -
Cooperia sp. 3 - √ - - -
Haemonchus sp. - - - 3 - √ Paramphistomum sp. - - - 40 √ -
(32)
7 Cooperia sp. 1 - √ - - - Haemonchus sp. 5 - √ - - - 8 Paramphistomum sp. - - - 25 - √
9 Fasciola sp - - - 4 - √
Haemonchus sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 21 - √ 10 Bunostonum sp. 3 - √ - - - Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 4 - √ 11 Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 16 - √
12 Cooperia sp. - - - 2 - √
Paramphistomum sp. - - - 55 √ - 13 Paramphistomum sp. - - - 25 - √ 14 Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 14 - √ 15 Haemonchus sp. - - - 2 - √ Paramphistomum sp. - - - 9 - √
16 Chabertia sp. 3 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 35 √ - 17 Bunostonum sp. 3 - √ - - - Chabertia sp. 1 - √ - - - Paramphistomum sp. - - - 603 √ - 18 Bunostonum sp. 3 - √ - - -
Chabertia sp. 1 - √ - -
Paramphistomum sp. - - - 11 - √ 19 Bunostonum sp. 1 - √ - - -
(33)
Ket : (√) : Ditemukan, (-) : Tidak ditemukan
Tabel 4.3 Dapat dilihat bahwa sapi yang berada di RPH Medan mengalami tingkat infeksi yang ringan, kecuali pada sapi ke-23 yang terinfeksi berat oleh endoparasi jenis Haemonchus sp. dengan jumlah telur 120 butir, dan sekitar 14 ekor sapi yang berada di RPH Andam Dewi terinfeksi berat oleh cacing Paramphistomum sp., yaitu pada sapi ke-22 dengan jumlah telur 1111 butir, diikuti sapi ke-25 sekitar 628 butir telur, sapi ke-17 sekitar 603 butir telur, sapi ke-21 sekitar 565 butir telur, sapi ke-3 sekitar 551 butir telur, sapi ke-24 sekitar 507 butir telur, sapi ke-20 sekitar 384 butir telur, sapi ke-21 sekitar 55 butir telur, sapi ke-6 sekitar 40 butir telur, sapi 2 sekitar 39 butir telur, sapi 4 sekitar 36 butir telur, sapi ke-16 sekitar 35 butir telur dan pada sapi ke-23 sekitar 32 butir telur.
Jumlah tersebut dapat dilihat tingkat infeksi endoparasit pada sapi di RPH medan tergolong ringan, dan tidak membahayakan, karena persentase jumlah jenis endoparasit sedikit, hal ini dikarenakan sapi-sapi yang terdapat di RPH Medan merupakan sapi-sapi Import berkualitas tinggi dan dengan perawatan intensif, dimana pakan ternak diberikan di dalam kandang, sehingga resiko sapi terinfeksi
Paramphistomum sp. - - - 5 - √ 20 Paramphistomum sp. - - - 384 √ -
21 Dicrocolium - - - 8 - √
Paramphistomum sp. - - - 565 √ - 22 Paramphistomum sp. - - - 1111 √ - 23 Dicrocolium sp. - - - 4 - √ Paramphistomum sp. - - - 32 √ - Haemonchus sp. 120 √ - - - -
24 Fasciola sp. - - - 3 - √
Paramphistomum sp. - - - 507
√
-
25 Paramphistomum sp. - - - 628 √ -
Feses
Sapi Jenis Endoparasit
RPH-M RPH-A
Jumlah
Tingkat Infeksi
Jumlah
Tingkat Infeksi Berat Ringan Berat Ringan
(34)
parasit bisa dikurangi. Penyebaran parasit biasanya melalui pakan yang terinfeksi larva cacing.
Di RPH Andam Dewi tingkat infeksi tergolong berat, hal ini dikarenakan sapi yang terdapat di tempat tersebut di biarkan bebas mencari makan di padang rumput dan tidak di tempatkan di kandang, sehingga besar resiko sapi terinfeksi oleh cacing parasit, karena pada umumnya cacing parasit menginfeksi ternak melaui induk semang perantara yang biasanya berada pada rumput di padang rumput atau daerah persawahan.
4.4 Data Berat Badan Sapi
Berat badan Sapi merupakan dampak langsung yang dapat diamati pada sapi yang diduga terinfeksi endoparasit. Sapi yang dipotong di RPH Medan dan Kecamatan Andam Dewi berumur 3-4 tahun, meskipun dengan umur yang sama memiliki perbedaan berat badan yang sangat berbeda (tabel 4.4).
Tabel 4.4. Data Berat Badan Sapi yang Di potong Di RPH Medan Dan Kecamatan Andam Dewi, serta Hubungannya dengan Tingkat Infeksi.
Sapi (S) Berat Badan Sapi (Kg) dan Tingkat Infeksi
RPH-M Tinkat Infeksi RPH-A Tingkat Infeksi
1 457 Ringan 123 Berat
2 553 Ringan 145 Berat
3 489 Ringan 172 Berat
4 502 Ringan 180 Berat
5 505 Ringan 175 Ringan
6 504 Ringan 150 Berat
7 532 Ringan 165 Ringan
(35)
9 516 Ringan 143 Ringan
10 443 Ringan 159 Ringan
11 521 ringan 163 Berat
12 572 ringan 171 Berat
13 544 ringan 158 Ringan
14 524 ringan 149 Ringan
15 553 ringan 188 Ringan
16 564 ringan 177 Berat
17 521 ringan 168 Berat
18 611 ringan 156 Ringan
19 561 ringan 153 Ringan
20 546 ringan 182 Berat
21 548 ringan 145 Berat
22 431 ringan 159 Berat
23 525 berat 164 Berat
24 501 ringan 171 Berat
25 489 ringan 139 Berat
Berat rata-rata 521,52 174,6
Keterangan : RPH-M = Rumah Pemotongan Hewan Medan, RPH-A = Rumah Pemotongan Hewan
Andam Dewi, S = Sapi.
Tabel 4.4 dapat dilihat perbandingan berat badan sapi di RPH Medan dan Di Kecamatan Andam Dewi, dengan umur yang hampir sama tetapi berat badan yang sangat berbeda, rata-rata berat sapi di RPH Medan 521,52 kg, sedangkan rata-rata berat badan sapi di RPH Andam Dewi 174,6 kg. Hal ini mungkin dikarenakan pakan yang dikonsumsi dan cara pemeliharaan. Sapi yang berada di RPH Medan di beri pakan dan di pelihara secara intensif, sedangkan yang berada di RPH
(36)
Andam Dewi di biarkan mencari makan sendiri dengan sistem gembala, sehingga resiko terkena parasit dan dampak kekurangan nutrisi tinggi.
Tabel 4.1 dapat dilihat persentase sapi terinfeksi endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, 100 % sapi terinfeksi cacing Paramphistomum sp., ini menunjukkan bahwa sapi yang berada di RPH Andam Dewi tidak sehat atau memiliki kondisi kesehatan yang kurang baik, sedangkan di RPH Medan tingkat infeksi tergolong rendah atau ringan, ini menunjukkan bahwa sapi yang berada di RPH Medan memiliki kondisi kesehatan yang baik. Dampak infeksi cacing endoparasit belum berdampak kematian langsung, tetapi penurunan produktivitas ternak, seperti penurunan berat badan dan gangguan pertumbuhan, bila tidak ditangani lebih lanjut maka akan menyebabkan kematian. Menurut Dewi et al., (2012), Penyakit parasit biasanya tidak menyebabkan kematian langsung, namun menyebabkan kerugian yang sangat besar berupa penurunan produktivitas dan berat badan ternak.
Selain cacing parasit ada beberapa faktor yang mempengaruhi berat badan sapi, misalnya kecukupan pakan dimana pakan merupakan sumber energi utama untuk pertumbuhan, maka semakin baik mutu dan jumlah pakan yang diberikan semakin besar tenaga yang ditimbulkan dan semakin besar energi yang tersimpan dalam bentuk daging, faktor lain yang mempengaruhi berat badan adalah infeksi penyakit yang disebabkan oleh virus dan bakteri (Suryana, 2009).
(37)
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a. Dari hasil pengamatan 150 feses dari 25 ekor sapi di RPH Medan dan 25 sapi dari beberapa tempat pemotongan Andam Dewi didapatkan tujuh jenis telur endoparasit, lima jenis di RPH Medan yaitu Bunostomum sp., Chabertia sp., Cooperia sp., Haemonchus sp., serta Paramphistamum sp., dan lima jenis di RPH Andam Dewi yaitu Cooperia sp., Dicrocoelium sp., Fasciola sp., Haemonchus sp., serta Paramphistamum sp.
b. Tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH medan dikategorikan ringan, jumlah telur parasit ditemukan 1-120 butir dengan persentase tertinggi Haemonchus sp. 5,12%, Chabertia sp. 0,68 %, Bunostomum sp. 0,4 %, Cooperia sp. 0,16 %, dan terendah Paramphistomum sp. 0,04 %, sedangkan tingkat infeksi cacing endoparasit di RPH Andam Dewi tergolong berat, jumlah telur parasit
(38)
ditemukan 2-5.020 butir dengan persentase tertinggi 100% Paramphistomum sp., Dicrocoelium sp., 0,48 %, Fasciola sp., 0,28 %, Haemonchus sp. 0,2 %, Cooperia sp. 0,08 % dan terendah jenis Cooperia sp. 0,08%.
5.2 Saran
Diharapkan ada tindak lanjutan dari instansi terkait untuk mengurangi cacing endoparasit yang menginfeksi sapi dan melakukan tindakan pencegahan terhadap sapi-sapi yang berada di RPH Medan dan RPH Andam Dewi, Kabupaten Tapanuli Tengah.
(39)
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agro Media Pustaka. Jakarta. hlm. 28.
Arifin, C. dan Soedarmono. 1982. Parasit Ternak dan Cara Penanggulangannya. P.T. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 45.
Boray, J.C. 1966. Studies on Relative Susceptibility of Some Lymnaeids to Infection With Fasciola Gigantica and on the Adaptation of Fasciola spp. Ann Trop. Med. Parasitol. 60: 114-124.
Dewi, A. P. Eni. F. Edi. S. 2012. Kejadian Infeksi Cacing Hati (Fasciola spp) Pada Sapi Potong Di Kabupaten Kebumen Tahun 2012. Buletin Laboratorium Veteriner Jogyakarta. Vol 12.
Erwin, N. Mustaka, K. dan Indah, R. 2010. Identitas Telur Cacing Parasit Usus pada Ternak Sapi (Bos sp.) dan Kerbau (Bubalus sp.) di Rumah Potong Hewan Palembang. Jurnal Penelitian Sains. FMIPA Universitas Sriwijaya. hlm.1-3.
Haryanti, N. W. 2009. Kualitas Pakan dan Kecukupan Nutrisi Sapi Simental di Peternakan Mitra Tani Andini, Kelurahan Gunung Jati Kota Semarang. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. hlm. 1
Harmidah, H. D. 2011. Infestasi Parasit Cacing Neoascaris vitolorum Pada Ternak Sapi Pesisir Kecamatan Lubuk Kilangan Kota Padang. Skripsi S1 Peternakan. Fakultas Peternakan UNAND. Padang: Tidak dipublikasikan. hlm. 3.
Hasan, U. M. 1970. Dasar-Dasar Metereologi Pertanian Bagian 2. P.T. Soeroengan. Jakarta. hlm. 45.
Hayes, M. H. 1987. Veterinary Notes for Horse Owners. Stanley Paul. London. page. 9
Iskandar, T. 2007. Gambaran Agen Parasit Pada Ternak sapi Potong Di Salah Satu Peternakan Di Sukabumi. Balai Besar Peternakan Veteriner. Bogor Kendall, S.B. 1965. Relationship between the Species of Fasciola and Their
Muscular Host. In: Advance in Parasitology. Vol 3. (Ben Dawes Ed) Academic Press. London. page. 59.
Kindersley, D. 2010. Ensikopedia Dunia Hewan 2. Penerbit Lantera Abadi. Jakarta. hlm. 224.
(40)
Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. hlm. 7.
Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta. hlm. 3-5Aspect of Infectious Diseases. Levine, N.D. 1977. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada
Unversity Press, Yogyakarta.
Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Dan Kaitannya Dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong Yang Disemblih Di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks- Keresidenan Banyumas. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman. Puwokerto.
Onggowaluyo, J. S. 2001, Parasitologi medik I (Helminthologi): Pendekatan Aspek Identifikasi, diagnosis, Dan Kliniik, EGC, Jakarta. hlm. 162.
Reinecke, R.K. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworth Publishers (Pty) Ltd., Pretoria. page. 54.
Raphaela, W. 2006. Mitotoksin : Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan Residunya Dalam Preoduk Ternak Serta Pengendaliannya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Vol. 16 (3): 116.
Santosa,U.,2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak sapi, Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 23.
Sudardjat, S. 1990. Epidemiologi Penyakit Hewan. Jilid 1. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. hlm. 29.
Sugama, N. Suyasa. N. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.
Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Pusat Antar Universitas (PAU) Bidang Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Bina Usaha. Bandung. hlm. 12 Sugeng, Y. B. 1989. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 25. Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi
Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan.
Susilorini, E. T. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 9
(41)
Suweta, I. G. P. Kerugian Ekonomi Oleh Cacing Hati Pada Sapi. Penerbit Alumni. Bandung. hlm. 1-64
Taira, N. 1985. Siering Technique With The Glass Beads Layer For Detection And Quantitation Of Fasciola Eggs In. Cattle Feases. JARQ-Vol 18. No. 4 Tantri, N. Tri. R. S. Siti. K. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Parasit Pada Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Probiont. Vol 2 (2) : 102-10
(42)
Lampiran 1. Skema Kerja
Dimasukkan ke dalam plastik
Diikat dengan karet gelang
Diberi label
Diambil 1 gram dimasukkan ke dalam tabung Centrifuge 50 ml
Ditambahkan 10 ml air kran
Dikocok sampai homogen
Dimasukkan ke dalam tabung centrifuge yang telah
diisi tiga gram butir kaca
Dimasukkan melalui saringan ukuran 60-90 wire mest
Sisa sampel ditabung pertama dibilas dengan air
dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai batas leher tabung
Ditunggu 5 menit
Diputar dengan rotator sebanyak 5 putaran
Dibuang supernatant dengan aspirator
Ditambahkan air sebanyak 50 ml
Diaduk dan didiamkan selama 5 menit
Dimasukkan ke dalam rotator diputar sebanyak 5 kali putaran
Diamkan 5 menit untuk disedimentasi
Dibuang supernatant
Ditinggalkan ±2 ml endapan
Diletakkan di slide kaca
Diamati dibawah mikroskop
Feses sapi
Feses dalam plastik
Tabung centrifuge B Tabung centrifuge A
(43)
Lampiran 2. Klasifikasi Jenis Endoparasit
Bunostomum sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina Famili : Ancylostomatidae Genus : Bunotomum Spesies : Bunostomum sp.
Chabertia sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae Genus : Chabertia
Spesies : Chabertia sp.
Dicrocolium sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Famili : Dicrocoeliidae Genus : Dicrocolium Spesies : Dicrocolium sp.
Fasciola sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Trematoda Ordo : Digenea Famili : Fasciolidae Genus : Fasciola Spesies : Fasciola sp.
Cooperia sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae Genus : Cooperia
Spesies : Cooperia sp.
Haemonchus sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae Genus : Haemonchus Spesies : Haemonchus sp.
Paramphistomum sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Famili : Paramphistomatidae Genus : Paramphistomum Spesies : Paramphistomum sp. 1. 3. 2. 4. 7. 6. 5.
(44)
Lampiran 3. Gambar Jenis Telur Cacing Endoparasit Dengan Perbesaran 10x10
Bunostomum sp. Chabertia sp.
(45)
Fasciola sp. Haemonchus sp.
(1)
Kusumamihardja S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan ternak dan Hewan Piaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB, Bogor. hlm. 7.
Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada Unversity Press, Yogyakarta. hlm. 3-5Aspect of Infectious Diseases. Levine, N.D. 1977. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada
Unversity Press, Yogyakarta.
Munadi. 2011. Tingkat Infeksi Cacing Hati Dan Kaitannya Dengan Kerugian Ekonomi Sapi Potong Yang Disemblih Di Rumah Potong Hewan Wilayah Eks- Keresidenan Banyumas. Fakultas Peternakan Universitas Jendral Soedirman. Puwokerto.
Onggowaluyo, J. S. 2001, Parasitologi medik I (Helminthologi): Pendekatan Aspek Identifikasi, diagnosis, Dan Kliniik, EGC, Jakarta. hlm. 162.
Reinecke, R.K. 1983. Veterinary Helminthology. Butterworth Publishers (Pty) Ltd., Pretoria. page. 54.
Raphaela, W. 2006. Mitotoksin : Pengaruh Terhadap Kesehatan Ternak dan Residunya Dalam Preoduk Ternak Serta Pengendaliannya. Balai Penelitian Veteriner. Bogor. Vol. 16 (3): 116.
Santosa,U.,2003. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak sapi, Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 23.
Sudardjat, S. 1990. Epidemiologi Penyakit Hewan. Jilid 1. Direktorat Bina Kesehatan Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. hlm. 29.
Sugama, N. Suyasa. N. 2011. Keragaan Infeksi Parasit Gastrointestinal Pada Sapi Bali Model Kandang Simantri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Bali.
Suin, N.M. 1989. Ekologi Hewan Tanah. Pusat Antar Universitas (PAU) Bidang Ilmu Hayati Institut Teknologi Bandung. Bina Usaha. Bandung. hlm. 12 Sugeng, Y. B. 1989. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. Hlm 25. Suryana. 2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi
Agribisnis Dengan Pola Kemitraan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan. Kalimantan Selatan.
Susilorini, E. T. 2008. Budi Daya 22 Ternak Potensial. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 9
(2)
Suweta, I. G. P. Kerugian Ekonomi Oleh Cacing Hati Pada Sapi. Penerbit Alumni. Bandung. hlm. 1-64
Taira, N. 1985. Siering Technique With The Glass Beads Layer For Detection And Quantitation Of Fasciola Eggs In. Cattle Feases. JARQ-Vol 18. No. 4 Tantri, N. Tri. R. S. Siti. K. 2013. Prevalensi dan Intensitas Telur Parasit Pada Feses Sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pontianak Kalimantan Barat. Jurnal Probiont. Vol 2 (2) : 102-10
(3)
Lampiran 1. Skema Kerja
Dimasukkan ke dalam plastik Diikat dengan karet gelang Diberi label
Diambil 1 gram dimasukkan ke dalam tabung Centrifuge 50 ml Ditambahkan 10 ml air kran
Dikocok sampai homogen
Dimasukkan ke dalam tabung centrifuge yang telah diisi tiga gram butir kaca
Dimasukkan melalui saringan ukuran 60-90 wire mest Sisa sampel ditabung pertama dibilas dengan air
dimasukkan ke dalam tabung centrifuge sampai batas leher tabung Ditunggu 5 menit
Diputar dengan rotator sebanyak 5 putaran Dibuang supernatant dengan aspirator
Ditambahkan air sebanyak 50 ml Diaduk dan didiamkan selama 5 menit
Dimasukkan ke dalam rotator diputar sebanyak 5 kali putaran Diamkan 5 menit untuk disedimentasi
Dibuang supernatant
Ditinggalkan ±2 ml endapan
Diletakkan di slide kaca Diamati dibawah mikroskop
Feses sapi
Feses dalam plastik
Tabung centrifuge B Tabung centrifuge A
(4)
Lampiran 2. Klasifikasi Jenis Endoparasit
Bunostomum sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Ancylostomatidae
Genus : Bunotomum
Spesies : Bunostomum sp.
Chabertia sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae
Genus : Chabertia
Spesies : Chabertia sp.
Dicrocolium sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Famili : Dicrocoeliidae
Genus : Dicrocolium
Spesies : Dicrocolium sp.
Fasciola sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola sp. Cooperia sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae
Genus : Cooperia
Spesies : Cooperia sp.
Haemonchus sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylina
Famili : Trichortrongylidae
Genus : Haemonchus
Spesies : Haemonchus sp.
Paramphistomum sp.
Kingdom : Animalia
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Trematoda
Ordo : Digenea
Famili : Paramphistomatidae
Genus : Paramphistomum
Spesies : Paramphistomum sp.
1. 3. 2. 4. 7. 6. 5.
(5)
Lampiran 3. Gambar Jenis Telur Cacing Endoparasit Dengan Perbesaran 10x10
Bunostomum sp. Chabertia sp.
(6)
Fasciola sp. Haemonchus sp.