SIFAT PUNOKAWAN TOKOH WAYANG

SIFAT PUNOKAWAN TOKOH WAYANG
Wayang, mungkin tidak asing lagi di telinga kita. kebudayaan asli Indonesia
yang merupakan ciptaan dari waliyullah Sunan Kalijaga. wayang diciptakan
Sunan Kalijaga sebagai metode dakwah islam agar dekat dengan kehidupan
masyarakat terdahulu terutama Punokawan, pasti sudah banyak yang tahu
tentang keempat tokoh ini
Berikut ini saya akan menampilkan beberapa sosok wayang yang mungkin
banyak dikenal oleh masyarakat indonesia.
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)

Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya.
Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka
Jayabaya, Semar digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah
Jawa yang telah hidup lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar
tiada lain adalah Ki Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar
penasehat spiritual Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara
nyata dan tidak nyata, tapi jika melihat tanda-tandanya orang yang
menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah Semar dalam konteks Sabdapalon
dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya manusia Jawa.
Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir kembali
setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran kepada

momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya
kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para
satria momongannya Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur
dirumat. Selain menjadi penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan
juru selamat/pelindung tatkala para satria momongannya dalam keadaan
bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang
Begawan, namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah
Semar juga dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki
Lurah Semar mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus,
tidak munafik, tidak pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu
riang. Keadaan mentalnya sangat matang, tidak kagetan dan tidak
gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air tenang yang menghanyutkan, di balik
ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan, ketajaman batin, kaya
pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar menggambarkan

figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga kebenaran
dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki
Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka,
naya adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa

Semar memiliki watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan
seorang figur yang memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar
hawa nafsu. Semareka den prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar
supaya batinnya selalu awas. Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya
dari gejolak api atau nafsu negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati
sajroning urip (berani mati di dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi
kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan cara mematikan hawa nafsu negatif.
Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam sikap watak wantun kita
sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah emosi, tenang dan
berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak lupa diri jika dipuji,
sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.

Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah
perlambang “laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai
kebulatan tekad. Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolonggilig. Merupakan suatu tekad bulat yang selalu mengarahkan setiap
perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan hanya untuk netepi
kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita, kesedihan,
nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng
merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:

Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng
selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila
tidak berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam
melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng

yang tidak sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas
dan hati-hati dalam menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar
manusia yang penuh dengan kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai
bicara, kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan
sikapnya serba salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian
Nala Gareng banyak memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan.
Inilah kelebihan Nala Gareng, yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan
negosiasi dan mencari relasi, sehingga Nala Gareng sering berperan sebagai

juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk negosiasi. Justru dengan
banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala Gareng sering terhindar
dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong

Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki
Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya
panjang, la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek.
Hidung, telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan
gegabah menilai, karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek
secara fisik tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini
merupakan pralambang akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya,
artinya Petruk tidak grusah-grusuh (gegabah) dalam bertindak, ia akan
menghitung secara cermat untung rugi, atau resiko akan suatu rencana dan
perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong Bolong, menggambarkan
bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya bak samodra,
hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang
disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat
sedang berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah

senyum dengan penuh ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan
kesedihannya sendiri di hadapan para kesatria bendharanya. Sehingga
kehadiran petruk benar-benar membangkitkan semangat dan kebahagiaan
tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup Ki Lurah Petruk adalah
kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani kehidupan. Bersama
semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria Pandhawa
Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran
dan keadilan.

4. Bagong

Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah bayangan Semar.
Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk mengasuh para kesatria
yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman. Permohonan Semar dikabulkan Hyang
Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri.
Setelah bayangan Semar menjadi manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka
diberi nama Bagong. Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak
lugu dan teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan
menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika menghadapi situasi
yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah Bagong seperti orang dungu.

Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh, selalu beruntung dan disayang tuantuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di
hati para kesatria. Istilahnya bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni
berada dalam jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
itulah sifat sifat Punokawan, semoga kita dapat mengambil hikmah dibalik sifat sifat
bijaksananya...
amin