Bab XVII Administrasi Negara

BAB XVII
ADMINISTRASI NEGARA.
1. Hingga berapa djauh rentjana-rentjana pembangunan sosial dan
ekonomi kita akan berhasil didalam penjusunan dan pelaksanaannja, dalam instansi terachir ditentukan oleh tingkat kemampuan
dan mutu alat-alat penjelenggaranja.
Ini berarti bahwa perbaikan seluruh aparatur pemerintahan,
dimana segenap tjabang-tjabangnja baik setjara langsung maupun
setjara tidak langsung mengambil bagian masing-masing, dan penjederhanaan prosedur-prosedur administratifnja, perlulah sedemikian
rupa sehingga dapat diperoleh suatu aparat jang disamping fungsifungsi lain jang lazim sebagai pemberi berbagai djasa kepada
masjarakat, chusus memenuhi sjarat-sjarat sebagai alat penjusun
dan pelaksana rentjana pembangunan tersebut diatas.
Kenjataan bahwa tugas ini harus dilakukan bersamaan dengan
usaha mengubah suatu aparatur djadjahan mendjadi suatu aparatur
negara merdeka lengkap dengan masalah-masalahnja, pula didalam
suatu masa penuh dengan perubahan-perubahan sosial ekonomi jang
serba tjepat, sekali-kali tidaklah mempermudah tugas diatas itu.
2. Oleh karena luasnja persoalan jang dihadapi itu, maka
R.P.L.T. jang pertama ini dalam bidang Administrasi Pemerintahan
membatasi diri dengan menundjuk kepada empat persoalan pokok
dan beberapa tindakan sebagai pangkal permulaan pemetjahannja.
Persoalan-persoalan pokok itu ialah:

(a) Menjusun dan menjelenggarakan anggaran belandja.
(b) Mentjapai pembatasan tugas antara fungsi-fungsi pemerintahan
jang tegas.
(c) Menjusun pemerintahan swatantra (otonomi) jang seluasluasnja.
(d) Mempertinggi effisiensi corps pegawai negeri jang tjakap dan
djudjur.
3. Suatu kedjadian penting jang harus ditjatat disini ialah berlangsungnja Musjawarah Nasional Pembangunan (MUNAP) pada
tanggal 25 Nopember—4 Desember 1957.
427

Munap ini dapat dipandang sebagai kelandjutan dari pada Rapat
Penguasa Militer pada tanggal 27-29 April 1957 dan tanggal
17-19 Djuni 1957 dan Musjawarah Nasional (MUNAS) pada tanggal
10-16 September 1957. Keputusan-keputusan Munap sedjauh
mungkin telah diperhitungkan didalam Nota Tambahan terhadap
Undang-undang Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1956 — 1960.
4. Didalam Nota Tambahan itu diterangkan pada Bab 19
Administrasi pemerintahan (hal. 19) bahwa, pada dasarnja tidak
ada perbedaan didalam penempatan masalah pokok dalam lapangan
administrasi negara sebagaimana dilihat oleh Musjawarah Nasional

Pembangunan dan didalam Rentjana Pembangunan Lima Tahun.
Demikian pula halnja dengan penelaahan berbagai segi administrasi
dan perumusan tudjuand-tudjuan dan kebidjaksanaan-kebidjaksanaan.
Boleh dikatakan bahwa sifatnja saling memperlengkap, saling
menutupi atau saling mengisi.
5. Maka untuk praktisnja penilaian kemadjuan-kemadjuan jang
tertjapai didalam bidang administrasi pemerintahan, dibawah ini
akan dilakukan menurut urutan pokok-pokok seperti tertjantum
dalam Bab 19 Nota Tambahan.
B. Hal melaksanakan hasil-hasil Musjawarah Nasional I
Panitia I.
Setelah berachirnja MUNAP telah dibentuk tiga Panitia ad-hoc
Pemerintah, diantaranja Panitia ad-hoc I Urusan Umum dan Pemerintahan. Sepandjang mengenai hasil-hasil Munas Panitia I, pendapat-pendapat Panitia ad-hoc I ini didjadikan pegangan dalam
pelaksanaannja.
Pendapat-pendapat ini adalah sedjalan pula dengan Rentjana
Lima Tahun.
Umum:
1. Perihal keputusan-keputusan Konperensi Penguasa Militer
(tanggal 27-29 April 1957) chusus mengenai segi otonomi dapat
dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

a. Hal djumlah dan urutan susunan tingkatan daerah.
Didalam buku Garis-garis Besar Rentjana Pembangunan Lima
Tahun 1956-1960, disinggung pula kenjataan adanja maksud untuk
membentuk berbagai propinsi jang baru. Dan pembentukan propinsi
memang dapat memberikan rangka untuk melaksanakan perkembangan daerah sesuai dengan keinginan-keinginan penduduk didaerah itu.
428

Akan tetapi persoalan ini perlu dipertimbangkan masak-masak
dengan menindjaunja dari pelbagai sudut, pada umumnja dengan
memperhatikan segala faktor jang dapat mempengaruhi madjumundurnja daerah dan penduduknja.
Diantaranja faktor-faktor jang terpenting ialah hasrat murni
rakjat dan sistim jang dapat dibiajai oleh Negara. Tetapi didalam
kenjataan tidak selamanja tertjapai keputusan jang mentjerminkan
suatu perseimbangan diantara faktor-faktor jang perlu diperhitungkan itu.
Hal ini akan djelas apabila diperhatikan adanja dan penjebaran
Daerah-daerah Swatantra tingkat I dan II jang telah terbentuk.
Pembentukan Daerah Swatantra tingkat III belum dapat dilaksanakan dalam waktu jang singkat oleh karena perlu terlebih
dahulu diadakan perubahan I.G.O. dan I.G.O.B. sehingga memungkinkan desa dan daerah jang setingkat berkembang menudju kearah
otonomi seperti jang dikehendaki.
Rantjangan Undang-undang perubahan I.G.O. dan I.G.O.B. kini

sudah siap untuk dibahas oleh Dewan Menteri.
b. Hal pembentukan Daerah-daerah tingkat I di Sulawesi, Maluku dan Nusa-Tenggara.
(1) Mengenai daerah Sulawesi dapat dikemukakan bahwa rantjang-an Undangundang pembentukan Daerah-daerah tingkat I Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara telah disampaikan kepada
Dewan Perwakilan Rakjat bersamaan dengan rantjangan Undang-undang
tentang pemben-tukan Daerah-daerah tingkat II di Sulawesi.
(2) Mengenai daerah Maluku dapat diterangkan bahwa Undang-undang Darurat
No. 22 tahun 1957 tentang pembentukan Daerah Swatantra tingkat I Maluku
(L.N. tahun 1957 No. 79) kini sudah ditetapkan sebagai Undang-undang
dengan Undang-undang No. 20 tahun 1958 (L.N. tahun 1958 No. 61).
Sedangkan Undang-undang Darurat No. 23 tahun 1957 tentang pembentuk-an
daerah-daerah Swatantra tingkat II dalam wilajah daerah Swatantra tingkat I
Maluku (L.N. tahun 1957 No. 80), kini sudah ditetapkan mendjadi Undangundang dengan Undang-undang No. 60 tahun 1958 (L.N. tahun 1958 No.
111).
(3) Mengenai daerah Nusa-Tenggara kini sudah berlaku Undang-undang No. 64
tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah tingkat I Bali, NusaTenggara Barat dan Nusa-Tenggara Timur (L.N. No. 115 tahun 1958). Pun
pula Undang-undang No. 69

429


tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah tingkat II
dalam wilajah Daerah-daerah tingkat I Bali, Nusa-Tenggara
Barat dan Nusa-Tenggara Timur (L.N. tahun 1958 No. 122).
c. Hal kedudukan Kepala Daerah dan pengawasan pelaksanaan
otonomi oleh Pemerintah Pusat.
Konsepsi Pemerintah seperti jang disinggung oleh Panitia ad-hoc
mengenai masalah ini ialah jang termuat didalam Surat Putusan
Menteri Dalam Negeri tanggal 5 Desember 1957 No. Pam. 10/2/18
jang menetapkan:
(1) Pedoman untuk dipergunakan datum pemetjahan masalah
Pamong Pradja dalam masa peralihan mendjelang realisasi
sepenuhnja Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah tahun 1956 (Undang-undang No. 1 tahun 1957).
(2) Instruksi tentang hubungan antara Pemerintah Pusat, Menteri
Dalam Negeri chususnja, Pamong Pradja dan Pemerintah
Daerah.
(3) Instruksi tentang tugas Pemerintah Daerah dan kedudukan
Kepala Daerah.
Perihal kedudukan Kepala Daerah diatur didalam Instruksi sub
(3) diatas jang pada pokoknja menjatakan:
(a) bahwa Kepala Daerah itu adalah sepenuhnja alat Daerah, jang

dalam penjelenggaraan pemerintahan Daerah selalu bertindak
kolegial, jaitu bersama-sama anggauta-anggauta D.P.D. lainnja
dan bertanggung-djawab setjara kolegial terhadap D.P.R.D.
tentang penjelenggaraan tugasnja;
(h) bahwa dengan demikian kedudukan Kepala Daerah menurut
Undang-undang No. 1 tahun 1957 sangat berlainan dari kedudukan Kepala Daerah menurut Undang-undang Pokok Pemerintahan Daerah jang lama (Undang-undang No. 22/1948 dan
Undang-undang N.I.T. No. 44/1950).
Manumit sistim lama, Kepala Daerah adalah pedjabat Pemerintah Pusat jang disamping tugas-tugas Swatantra, djuga menjelenggarakan tugas-tugas dalam bidang Pemerintahan Pusat.
Dalam sistim Undang-undang No. 1 tahun 1957 Kepala Daerah
adalah alat Pemerintah Daerah sepenuhnja, sedang aktipitet
Kepala Daerah tersebut tergantung dari pada kedudukannja
sebagai Ketua D.P.D. dan pembagian pekerdjaan setjara intern
antara anggauta-anggauta Dewan Pemerintah Daerah.
Perihal pengawasan pelaksanaan otonomi oleh Pemerintah Pusat
diatur didalam Instruksi sub (2) diatas jang pada pokoknja menjatakan:

430

(a) bahwa pengawasan terhadap Daerah Swatantra tingkat I
didjalankan oleh Menteri Dalam Negeri jang selandjutnja

menjerahkan kekuasaan kepada para Gubernur (pedjabat
Kementerian Dalam Negeri jang ditundjuk oleh Menteri Dalam
Negeri bagi Kotapradja Djakarta-Raya dan Kepala atau Wakil
Kepala Daerah Istimewa sebagai Wakil Pemerintah Pusat bagi
Daerah Istimewa Jogjakarta) (lihat pasal 64 dan 68 Undangundang No. 1 tahun 1957);
(b) bahwa pengawasan terhadap Daerah tingkat II didjalankan
atas nama Menteri Dalam Negeri oleh para Gubernur (bagi
Daerah Istimewa Jogjakarta oleh Kepala atau Wakil Kepala
Daerah Istimewa sebagai penguasa jang ditundjuk oleh Menteri
Dalam Negeri (lihat pasal 65, 66 dan 67 Undang-undang No. 1
tahun 1957).
Dalam mendjalankan tugasnja ini para Gubernur dibantu oleh
para Residen dan para Residen pada gilirannja oleh para Bupati
jang diperbantukan kepadanja (bagi Daerah Istimewa Jogjakarta, Kepala Daerah dibantu oleh para Bupati Pamong
Pradja).
d. Hal isi otonomi.
Dengan maksud terutama untuk menjiapkan rantjangan-rantjangan Peraturan-peraturan Pemerintah tentang pelbagai urusan dari
masing-masing Kementerian jang akan diserahkan kepada Daerahdaerah otonom dengan mengusahakan keseragaman sebanjak mungkin dalam hal itu, telah dibentuk suatu Panitia Interdepartemental.
Penjerahan sebagian Urusan Pemerintah Pusat kepada Daerah
Otonom dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia

No. 434/P.M./1957 tanggal 28 Nopember 1957.
Setelah selesai dengan tugasnja Panitia tersebut telah dibubarkan
pada tanggal 9 Desember 1958. Kemudian dengan surat keputusan
jang sama (Rep. P.M. No. 601/PM/1958) telah dibentuk pula
Panitia Interdepartemental untuk mengurus soal-soal jang berhubungan dengan pelaksanaan Peraturan-peraturan Pemerintah
tentang penjerahan beberapa urusan Pemerintah Pusat kepada
Daerah Otonom.
Telah siap pula Rantjangan Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan dan Tugas Dewan Otonomi dan Desentralisasi. Dewan
ini jang terdiri atas beberapa orang Menteri dan Anggauta D.P.R.
dan diketuai oleh Perdana Menteri, mempunjai tugas untuk memberikan pertimbangan kepada Dewan Menteri dengan maksud
melantjarkan penjerahan urusan-urusan Pusat kepada Daerah dan
menjempurnakan pelaksanaan otonomi.

431

Selandjutnja dengan (Rantjangan) Undang-undang tentang penjerahan tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam bidang Pemerintahan
Umum, perbantuan pegawai negeri dan penjerahan keuangannja
kepada Pemerintah Daerah, pada azasnja semua tugas kewadjiban,
kekuasaan dan kewenangan Pamong Pradja ketjuali beberapa soal
jang tetap ditangan Pemerintah Pusat dengan sekaligus diserahkan

kepada Pemerintah Daerah.
Achirnja dengan adanja ajat 1 pasal 31 Undang-undang No. 1
tahun 1957 jang menjatakan bahwa urusan rumah-tangga Daerah
diatur oleh Pemerintah Daerah, segala urusan jang tidak atau belum
diatur oleh Pemerintah Pusat atau Daerah tingkat atasan dapat
diatur oleh Daerah. Tetapi apabila sesuatu urusan berdasarkan kepentingan umum diatur oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah
Daerah tingkat atasan, maka peraturan Daerah jang mengatur
urusan itu dengan sendirinja berhenti berlaku.
Dengan ini terdjamin kesempatan sepenuhnja bagi Daerah mengisi otonominja dengan memperkembangkan sepenuhnja inisiatif dan
kemampuannja.
e. Hal pertimbangan keuangan.
Berdasarkan P.P. No. 5 tahun 1957 tentang Panitia Negara
Perimbangan Keuangan (L.N. No. 12 tahun 1957), telah diangkat
dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 196 tahun 1957
tanggal 4 Oktober 1957, anggauta-anggauta Panitia Negara Perimbangan Keuangan.
Dewasa Panitia tersebut sedang membahas setjara integral
Undang-undang No. 32 tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan
dan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1958 tentang Penetapan
Persentasi dari penerimaan beberapa padjak Negara untuk daerah,
dan pada waktunja hasil pembahasan tersebut akan diadjukan kepada Dewan Menteri untuk mendapat penetapannja.

f. Hal sjarat-sjarat keanggautaan D.P.R.D. dan D.P.D.
Sebagaimana telah diadjukan oleh Panitia ad-hoc, melihat keadaan, belum waktunja kiranja untuk memperberat sjarat-sjarat keanggautaan tersebut, biarpun tak dapat disangkal bahwa usaha-usaha
Pemerintah Daerah akan berdjalan lebih lantjar apabila para
anggauta D.P.R.D. dan D.P.D. memenuhi sjarat-sjarat jang lebih
tinggi.
g. Hal kedudukan Pamong Pradja.
Sebagaimana telah disebutkan, dengan surat putusan Menteri
Dalam Negeri tanggal 5 Desember 1957 No. Pem. 10/2/18 antara
lain telah ditetapkan pula pedoman pelaksanaan kebidjaksanaan
432

RANGKA ORGANISASI PEMBANGUNAN MASJARAKAT DESA

PEDJABAT-PEDJABAT P.M.D.
400a

dalam menjelesaikan djabatan-djabatan Pamong Pradja jang berarti
penegasan mengenai kedudukan Pamong Pradja menurut Konsepsi
Pemerintah.
Sebagai dasar-dasar pokok jang ditudju jang berarti realisasi

sepenuhnja Undang-undang No. 1 tahun 1957 ialah:
(1) Didaerah hanja ada satu Pemerintah Daerah.
Bentuk Pemerintah Daerah adalah Dewan (Dewan Perwakilan
Rakjat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah).
(2) Didaerah tidak ada wakil/pedjabat Pemerintah Pusat jang
mempunjai wewenang umum (bestuur) sebagaimana lazim melekat pada pedjabat Pamong Pradja sekarang.
Sebelum ini terlaksana sepenuhnja harus dilampaui suatu masa
peralihan jang lamanja tidak dapat dipastikan dan untuk mana
ditentukan tiga fase. Tiga fase itu singkatnja ialah:
Fase pertama:
Fase penjerahan tugas-tugas pemerintahan umum jang lazim
dikerdjakan oleh pedjabat-pedjabat Pamong Pradja dari Pemerintah Pusat pada Pemerintah Daerah.
Fase kedua:
Setelah semua kewenangan dibidang pemerintahan umum jang
wadjar dimiliki oleh Pemerintah Daerah selesai diserahkan,
maka organisasi penjelenggaraan kewenangan-kewenangan ini
dapat disempurnakan misalnja dalam bentuk djawatan daerah
tersendiri.
Fase ketiga:
Setelah fase pertama dan kedua laku, maka tibalah fase stabilisasi dari pada kewenangan-kewenangan jang telah tegas-tegas
diperintji apa jang mutlak merupakan kewenangan-kewenangan Daerah dan apa jang merupakan sisa jang sewadjarnja ada
dalam tangan pedjabat Pusat.
Sesudah tiga fase tersebut diatas lampau, tiga bidang tugas jang
ada dalam tangan seorang pedjabat Pusat akan dibagikan kepada
pedjabat-pedjabat Pusat lainnja, sehingga hilanglah kedudukan
Pamong Pradja sama sekali. Maka sebagai suatu tindakan dalam
fase pertama jang berarti penjesuaian kedudukan Pamong Pradja
pada keadaan baru ialah keluarnja Rantjangan Undang-undang
tentang penjerahan tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam bidangbidang pemerintahan umum, perbantuan pegawai negeri dan penjerahan keuangannja, kepada Pemerintah Daerah.
433
528/B (28)

Dengan Undang-undang ini maka seperti disebutkan pada sub d
diatas, pada azasnja semua tugas kewadjiban, kekuasaan dan kewenangan Pamong Pradja ketjuali beberapa soal jang tetap ditangan
Pemerintah Pusat dengan sekaligus diserahkan kepada Pemerintah
Daerah. Jang diketjualikan itu adalah tugas kewadjiban, kekuasaan
dan kewenangan mengurus ketertiban dan keamanan umum, koordinasi antara Djawatan-djawatan Pemerintah Pusat didaerah dan
antara djawatan-djawatan tersebut dengan Pemerintah Daerah serta
mengenai pengawasan atas djalannja pemerintahan daerah.
Perlu ditjatat bahwa reaksi hebat telah timbul mula-mula dari
para pedjabat pimpinan Pamong Pradja setelah diputuskan oleh
Munas „bahwa sesudah berlakunja Undang-undang No. 1 tahun 1957
Corps Pamong Pradja adalah alat Pemerintah Pusat jang diperbantukan kepada daerah otonom, sambil mendjalankan pekerdjaan
Pemerintah Pusat jang belum diserahkan kepada daerah-daerah itu”.
Kulminasi reaksi tersebut terdjadi dengan diadjukannja Keputusan Presidium S.S.K.D.N. sesudah dilangsungkan suatu Seminar
Pamong Pradja dan Presidium S.S.K.D.N. di Surakarta pada tanggal
16, 17 dan 18 Maret 1958.
Setelah mempertimbangkan bahwa:
(1) Undang-undang Dasar Sementara belum tjukup mengatur
pokok-pokok tentang Pemerintahan Daerah, sehingga tidak
dapat mendjamin stabiliteit dan kelantjaran Pemerintahan
Daerah.
(2) Undang-undang No. 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah serta peraturan-peraturan pelaksanaannja ternjata menimbulkan kekatjauan-kekatjauan dalam masjarakat dan kegelisahan dikalangan Corps Pamong Pradja, diadjukan usul-usul
jang pada pokoknja menghendaki:
(a) Supaja peraturan-peraturan pokok tentang Pemerintahan
Daerah lebih luas ditjantumkan dalam Undang-undang
Dasar jang baharu.
(b) Supaja Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakjat menindjau pasal-pasal dalam Undang-undang No. 1/1957 jang
mengatur kedudukan Kepala Daerah.
(c) Supaja Pemerintah mentjabut kembali rentjana Undangundang tentang penjerahan tugas-tugas Pemerintah Pusat
dalam bidang pemerintahan umum, perbantuan Pegawai
Negeri dan penjerahan keuangannja kepada Pemerintah
Daerah.
(d) Supaja J.M. Menteri Dalam Negeri menindjau kembali
Surat keputusannja tertanggal 5 Describer 1957 No. Pem.

434

10/2/18, terutama tentang diperbantukannja Bupati dan
Walikota pada Residen.
(e) Supaja dalam merentjanakan tindakan-tindakan jang mengenai ke Pamong Pradjaan S.S.K.D.N. diminta pendapatnja.
(f) Supaja pedjabat Pamong Pradja jang tertinggi didaerah
diikut-sertakan dalam Staf Penguasa Perang atau Staf
Pelaksana Penguasa Perang.
Hal kedudukan daerah-daerah Swapradja.
Sebagaimana ditegaskan oleh Panitia ad-hoc dalam menghadapi
persoalan Swapradja Pemerintah berpegang teguh pada ketentuan,
tertjantum dalam pasal 2 ajat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1957,
jaitu bahwa sesuatu daerah Swapradja dapat didjadikan Daerah
Istimewa atau Daerah biasa.
h. Hal pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1957.
Pada tingkat sekarang, dua tahun sesudah diundangkannja
Undang-undang No. 1 tahun 1957, dapatlah dikatakan bahwa sebagian besar peraturan-peraturan pelaksanaannja jang bersifat pokok
telah dikeluarkan.
Hal pembentukan Daerah-daerah.
Sebagaimana diterangkan oleh Panitia ad-hoc, menurut ketentuan
dalam pasal 3 Undang-undang No. 1 tahun 1957 pembentukan
sesuatu Daerah harus dilakukan dengan Undang-undang. Ketentuan
jang termuat dalam pasal 31 dengan sendirinja tidak dapat mengubah tjara pembentukan, tetapi ketentuan ini bersifat penting,
karena penambahan urusan-urusan daerah dapat dilakukan dengan
Peraturan Pemerintah.
i. Hal-hal „efficiency” dalam organisasi Pemerintahan Daerah.
Sebagaimana dikemukakan oleh Panitia ad-hoc, soal ini akan
mendapat perhatian terus-menerus.
Diinsafi bahwa usaha mempertinggi efficiensi dalam organisasi
Pemerintahan Daerah ini memerlukan program-program pelaksanaan tertentu jang merupakan . tidak semata-mata urusan Pemerintah
Pusat sadja, bahkan terutama akan mendjadi tanggung-djawab
Pemerintah-pemerintah Daerah.
Achirnja perihal suatu masalah jang bersifat prinsipil ialah
masalah larangan bagi semua golongan pegawai untuk mendjadi
anggauta partai politik, telah dinjatakan oleh Panitia ad-hoc bahwa
larangan dimaksud dapat diadakan terhadap alat-alat negara, jang
435

dalam mendjalankan tugasnja dipersendjatai. Tegasnja, larangan
itu dapat diadakan bagi anggauta-anggauta ketenteraan dan kepolisian.
Bagi pedjabat-pedjabat Pamong Pradja, baik jang merupakan alatalat Pemerintah Pusat, maupun alat Pemerintah Daerah, begitupun
para Kepala Kampung atau Lurah, jang tentu mempunjai pengaruh
berdasarkan kewibawaannja sebagai pendjabat jang mengepalai
suatu daerah pemerintahan tidak perlu diadakan larangan untuk
mendjadi anggauta partai politik tetapi tjukup kiranja diadakan
larangan untuk mendjadi anggauta jang aktip bekerdja untuk partai.
Larangan bagi pendjabat-pendjabat Pamong Pradja dapat pula
diadakan terhadap para Hakim dan Djaksa dan pendjabat-pendjabat
terhadap mana larangan itu dianggap perlu.
Dalam hubungan dengan dan didalam rangka usaha Pemerintah
untuk menegakkan disiplin kerdja bagi para pegawai negeri, sebagai
permulaan rangkaian tindakan, oleh Pemerintah pada bulan tahun
1958, telah dilakukan registrasi keanggautaan Partai/Organisasi
Politik atau Serikat Sekerdja/Buruh dari pada pegawai negeri
golongan F.
Masalah ini adalah sedemikian fundamentilnja sehingga memerlukan pemikiran jang mendalam sekali, oleh karena langsung mengenai hubungan antara pemerintahan (e.g. pembangunan) dan
demokrasi (c.q. pertumbuhan kepartaian). Soalnja ialah menemukan
tjara-tjara jang tepat untuk mendjadikan korps pegawai negeri
politis tidak memihak-mihak dan objektif tetapi dengan tidak
berarti merosot mendjadi politis steril dan netral, melainkan tetap
penuh perhatian dan pengertian bagi kepentingan umum dan perkembangan penghidupan politik, tanpa tersangkut dalam pertentangan-pertentangan politik jang mungkin terdjadi.
Sekianlah mengenai Keputusan-keputusan Konperensi Penguasa
Militer (tanggal 27-29 April 1957) chusus mengenai segi otonomi.
Melandjutkan penilaian kemadjuan-kemadjuan jang tertjapai
didalam bidang pemberian otonomi, maka dengan tetap mengikuti
urutan hasil-hasil Munas Panitia I dapatlah dikemukakan hal-hal
sebagai berikut:
j. Mengenai keputusan Munas agar supaja diberikan penegasan
bahwa D.P.R.D. adalah suatu badan legislatif dan D.P.D. satu badan
eksekutif, sebagaimana dikemukakan oleh Panitia ad-hoc telah diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri.
Hal ini ternjata pula dari pada lampiran C surat putusan Menteri
Dalam Negeri tanggal 5 Desember 1957 No. Pen. 10/2/18 „Instruksi
tentang tugas Pemerintah Daerah dan Kedudukan kepala Daerah”
436

dimana antara lain dikatakan bahwa „Dewan Perwakilan Rakjat
Daerah terutama mendjalankan . kekuasaan legislatif, sedangkan
Dewan Pemerintah Daerah terutama mendjalankan kekuasaan
eksekutif.
k. Mengenai kedudukan Pamong Pradja dalam hubungan dengan
pelaksanaan Undang-undang No. 1/1957, telah diuraikan pada
sub d diatas.
1. Mengenai hal kebidjaksanaan dalam urusan kepolisian, maka
seperti telah disinggung pada sub d diatas, salah satu diantara
tiga urusan Pamong Pradja jang diketjualikan dari pada penjerahan kepada Pemerintah Daerah, ialah pengurusan ketertiban
dan keamanan umum. Sudah barang tentu hal ini harus diartikan sepandjang mengenai lapangan kepentingan nasional, oleh
karena Pemerintah Daerah akan memiliki pula kewenangankewenangan dibidang ini jang sifatnja sesuai dengan tanggung
djawab sedaerah. Tetapi Pemerintah berpendirian pada tingkat
dewasa ini seraja menunggu adanja Undang-undang kepolisian
adalah bidjaksana untuk berpegang pada (Rantjangan) Undangundang tentang penjerahan tugas-tugas Pemerintah Pusat dalam
bidang pemerintahan umum, perbantuan pegawai negeri dan
penjerahan keuangannja, kepada Pemerintah Daerah.
Pemerintahan.
m. Pada taraf pelaksanaan otonomi dewasa ini dapat disaksikan
bahwa kesempatan seluas-luasnja diberikan kepada tenaga-tenaga
Daerah jang sanggup dan tjakap untuk memegang pimpinan dalam
pemerintahan dan djabatan-djabatan didaerah. Seiring dengan ini
ialah bahwa berbagai kursus jang diselenggarakan oleh kementeriankementerian atjapkali menetapkan bahwa sedjumlah dari siswasiswanja harus terdiri atas orang-orang dari Daerah.
Tetapi seperti djuga telah disinggung dalam Nota Tambahan
(halaman 22 diatas), perlu pula bahwa Pemerintah-pemerintah
Daerah setjara sistimatis menjelenggarakan pendidikan kader untuk
mendjalankan pemerintahannja, baik untuk pekerdjaan-pekerdjaan
administratif maupun teknis.
n. Mengenai pembuatan peraturan-peraturan baru jang lebih
sederhana tetapi lebih effektif untuk mendjamin kelantjaran prosedur administratif, Panitia ad-hoc berpendapat bahwa untuk usaha
djangka pandjang usaha-usaha Lembaga Administrasi Negara perlu
digerakkan. Dibawah nanti akan diuraikan lebih landjut tentang
usaha-usaha jang telah dilakukan oleh Lembaga tersebut. Pada
umumnja dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi memberikan
dasar jang kuat untuk tindakan-tindakan chusus dengan tudjuan
mengurangi tjara-tjara penjelesaian jang birokratis.
437

o. Sementara menantikan selesainja Peraturan Pemerintah
tentang mempertinggi efficiency susunan kementerian-kementerian
dan bagian-bagiannja jang akan memperbaharui ataupun menggantikan P.P. No. 20 tahun 1952 tentang susunan dan pimpinan
Kementerian-kementerian Republik Indonesia (L.N. tahun 1952
No. 26) dan jang berhubungan erat sekali dengan Undang-undang
Pokok kepegawaian, jang akan mentjerminkan azas-azas dan garisgaris kebidjaksanaan politik kepegawaian jang ingin kita laksanakan,
maka penjederhanaan organisasi Kementerian-kementerian dan
Djawatan terutama masih diserahkan kepada kebidjaksanaan
masing-masing Kementerian.
p. Demikian pula halnja dengan masalah penegakan disiplin
pegawai jang menurut pendapat Panitia ad-hoc harus diusahakan
oleh tiap-tiap Kementerian.
q. Suatu langkah kearah melandjutkan usaha-usaha dalam
lapangan peremadjaan alat-alat negara ialah ditetapkannja Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1958 tentang Peremadjaan alatalat Negara jang menegaskan bahwa pegawai tetap atau sementara
jang telah berusia 55 tahun dan telah berhak atas pensiun, diberhentikan dari djabatan Negeri/djabatannja dengan hak atas pensiun,
dalam waktu satu tahun setelah mereka mentjapai usia 55 tahun.
r. Oleh Kepala Staf Angkatan Darat selaku Penguasa Militer
telah dikeluarkan Peraturan No. P.R.T.-P.M.-06/1957 tentang Pemberantasan korupsi. Dengan peraturan ini ditetapkan suatu tatakerdja jang dapat melantjarkan usaha-usaha memberantas apa jang
dinamakan korupsi.
Harta-benda seseorang jang disangka, didakwa atau sepatutnja
dapat disangka melakukan korupsi, harus ditilik oleh PembantuPenilik Harta Benda jang terdiri dari tiga orang anggauta Staf
Penguasa Militer atau orang lain jang ditundjuk oleh Penguasa
Militer. Disamping itu para Pembantu Penilik Harta Benda ditetapkan pula sebagai opsporingsambtenaar tetapi chusus terhadap tindak
pidana korupsi dan lagi diberi wewenang untuk memasuki tiap
rumah dan tempat, djuga meskipun jang berhak mengadjukan
keberatan untuk keperluan peniliki harta benda.
Sebelum peraturan Penguasa Militer ini dikeluarkan telah ada
3 rantjangan Undang-undang anti korupsi atau pemberantasan
korupsi, jaitu:

(1) Rentjana Undang-undang tindak pidana korupsi dan tentang
pengusutan, penuntutan dan peradilannja atau Rentjana Undang-undang anti korupsi konsepsi H. Siradjuddin Abbas
sewaktu Kabinet Burhanuddin Harahap.
438

(2) Rentjana Undang-undang Darurat tentang peradilan pidana
chusus dan penilikan harta Benda konsepsi Kedjaksaan Agung
berdasarkan idee Angkatan Darat.
(3) Rentjana Undang-undang anti korupsi konsepsi Prof. Mr. Moeljatno Menteri Kehakiman dalam kabinet Ali-Rum-Idham.
Suatu Rantjangan Undang-undang Anti Korupsi sekarang telah
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakjat untuk dibahas.
Perimbangan Keuangan.
Perihal perimbangan keuangan ini telah diterangkan pada sub e
pelaksanaan Keputusan-keputusan Penguasa Militer diatas.
P e n j e r a h a n D j a w a t a n Ve r t i k a l .
Perihal penjerahan Djawatan Vertikal inipun tjukup ditundjuk
kepada keterangan-keterangan pada pelaksanaan keputusan-keputusan Penguasa Militer diatas, chusus sub d.
Pembagian
wilajah
negara
Republik
Indonesia.
Perihal pembagian wilajah negara Republik Indonesia pun telah
diuraikan pada sub a.
C. Hal-hal memperintji, mempertugas dan memperluas soal-soal
pokok dalam Bab 19 Garis Besar Rentjana Lima Tahun (1956-1960)
dengan:
1. Penjusunan Undang-undang dan/atau peraturan-peraturan
Pemerintah tentang:
a. Djumlah, organisasi dan koordinasi Kementerian-kementerian,
Djawatan-djawatan sampai ketingkat Swatantra I, II dan III.
Haruslah ditjatat kenjataan bahwa sungguhpun Panitya Negara
untuk menjelidiki Organisasi Kementerian-kementerian (PANOK) telah menjampaikan laporannja pada tanggal 26 April 1954
hingga sekarang belum djuga diambil sesuatu keputusan
mengenai laporan itu. Dapat dikemukakan sebagai sebab terutama tidak adanja suatu badan Pemerintah jang chusus didjadikan pusat kegiatan menudju ke penjempurnaan aparatur
pemerintahan serta administrasinja, jang setjara tetap dan
sepenuhnja bertanggung djawab atas pekerdjaan-pekerdjaan
penampungan dan kelandjutan terhadap laporan-laporan seperti
laporan PANOK itu.
Dewasa ini dengan adanja Lembaga Administrasi Negara sebagai
badan termaksud, jang antara lain djuga telah diserahi tugas
untuk mempeladjari laporan PANOK dengan maksud supaja atas
dasar laporan tersebut disiapkan suatu rantjangan peraturan
439

tentang mempertinggi efficiency susunan kementerian-kementerian dan bagian-bagiannja, harapan bertambah besar bahwa
tidak lama lagi P.P. No, 20 tahun 1952 tentang susunan dan
pimpinan Kementerian-kementerian Republik Indonesia akan
dapat dilengkapi atau diganti dengan peraturan jang lebih memenuhi kebutuhan.
b. Kepegawaian, termasuk peradilan pegawai.
Segera setelah terbentuk dengan keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 130 tanggal 21 Djuni 1958, Panitya Negara Perantjang Undang-undang Kepegawaian mulai menjiapkan rantjangan Undang-undang jang sangat penting artinja karena akan
mentjerminkan azas-azas dan garis-garis kebidjaksanaan politik
kepegawaian jang ingin kita laksanakan.
Pun pula selain dapat memuat ketentuan-ketentuan pokok
tentang pengurusan kesedjahteraan pegawai dalam arti seluasluasnja serta kepastian hukum bagi para pegawai, dapat mengatur djuga tindakan-tindakan untuk mendjamin bahwa segenap
aparatur pemerintahan semata-mata terdiri dari tenaga-tenaga
jang bermutu.
Sesuai dengan dan atas dasar Undang-undang Pokok tersebut
diatas itulah setingkat demi setingkat akan dapat dibangunkan
suatu peradilan pegawai atau administratif jang lengkap.
c. Perbendaharaan dan anggaran belandja jang lebih sesuai, termasuk Undang-undang Perusahaan Negara.
Perihal hasil pekerdjaan Panitya Interdepartemental Penjusun
Undang-undang Perbendaharaan, Pemerintah telah memberikan
kesanggupannja kepada Dewan Perwakilan Rakjat untuk berusaha menjampaikan Rantjangan Undang-undang Pokok Perbendaharaan pada pertengahan tahun 1959, bersama-sama dengan
rantjangan Undang-undang tersendiri jang mengatur kedudukan,
susunan dan tugas Dewan Pengawas Keuangan.
2. Pemeliharaan dan usaha meninggikan mutu dari pada petugaspetugas Pemerintah dengan beberapa tindakan.
Suatu langkah penting ialah berdirinja Lembaga Administrasi
Negara langsung dibawah Perdana Menteri, jang sudah mulai melaksanakan tugasnja pada tanggal 1 Djuni 1958. Hingga achir tahun
1958 telah dapat diselenggarakan dengan memuaskan latihan-latihan
sebagai berikut:
a. Latihan Djabatan Orientasi Umum (bagi para akademisi dan
semi-akademi muda jang baru bekerdja pada dinas pemerintahan).
440

b.
c.

Latihan Djabatan Pimpinan Penjelenggaraan Pengangkutan.
Latihan Djabatan Pimpinan Kearsipan Negara (bagi para
pegawai jang bekerdja dalam lapangan kearsipan).
d. Kursus Lurah (bagi para Lurah dalam daerah Kotapradja Djakarta Raya).
e. Latihan Djawatan Pengawasan Keuangan (bagi para Petugas
Pengawas Keuangan Negara).
f. Latihan Djabatan Hubungan Masjarakkat (bagi para Petugas
Hubungan Masjarakat).
Selandjutnja telah diselenggarakan pula suatu „Seminar Efficiensi Kerdja dalam Dinas Pemerintah” jang dihadiri oleh para
Sekretaris-sekretaris Kementerian-kementerian/Kepala-kepala Djawatan dan Wakil-wakil Universitas.
3. Penempatan dan penertiban/alokasi dan realokasi/tenagatenaga kerdja administratif dan kedjuruan sesuai dengan kebutuhan
djawatan dan masjarakat daerah-daerah.
Hal ini telah mulai dilaksanakan berhubung setiap kali suatu
Peraturan Pemerintah tentang penjerahan hak-hak kepada daerahdaerah Swatantra diputuskan, dibuka pula kemungkinan untuk pada
umumnja menjerahkan pegawai-pegawai Negara untuk diangkat
mendjadi pegawai Pemerintah Daerah atau memperbantukan
pegawai-pegawai Negara untuk dipekerdjakan kepada Pemerintah
Daerah jang bersangkutan.
Akan tetapi pekerdjaan ini hanja mungkin berhasil apabila dilakukan didalam rangka usaha mempertinggi effisiensi susunan
kementerian-kementerian dan bagian-bagian (lihat sub 1a) diatas
jang perlu dikoordinir dengan usaha mempertinggi mutu organisasi
Pemerintahan Daerah.
4. Normalisasi dan standarisasi dari pada alat-alat perlengkapan
Djawatan-djawatan untuk mentjapai effisiensi, penjederhanaan dan
penghematan.
Mengenai hal ini belumlah nampak sesuatu kemadjuan jang berarti.
5. Diadakannja djaminan-djaminan sosial jang lajak jang mengenai makanan, pakaian dan perumahan bagi para petugas disamping itu supaja diusahakan adanja penghargaan kepada semua petugas Negara jang telah melakukan tugasnja dengan sebaik-baiknja
dan dapat dipudji.
Djustru oleh karena Kantor Urusan Pegawai berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 32 tahun 1950 dan surat keputusan Perdana
Menteri No: 30/PM/1951 tanggal 7 April 1951, terutama bergerak
441

dalam lapangan kepegawaian sepandjang mengenai urusan kesedjahteraannja, maka berbagai djaminan sosial diperoleh pegawai negeri
berdasarkan peraturan-peraturan jang umumnja dimuat didalam
penerbitan tahunan „Peraturan-peraturan dan Pengumuman-pengumuman mengenai kedudukan pegawai negeri”.
6. Mempergiat, menjempurnakan dari melaksanakan segala tindakan dan peraturan-peraturan jang sampai sekarang sudah ada
dan masih terbengkalai (diantaranja putusan-putusan PANOK dan
P.P. No. 30/1957 tentang Lembaga Administrasi Negara).
Dalam hal ini sudah nampak beberapa kemadjuan, chusus tentang
putusan-putusan PANOK dan P.P. No. 30/1957 tentang Lembaga
Administrasi Negara seperti ternjata pada sub 1a dan 2 diatas.
D. Anggaran Belandja dan Administrasinja.
1. Struktur dan administrasi anggaran belandja Negara merupakan faktor-faktor jang sangat penting bagi kelantjaran pelaksanaan
suatu rentjana pembangunan djangka pandjang. Hubungan antara
anggaran belandja dan rentjana pembangunan djangka pandjang jang
terpenting ialah soal sinkronesasi, jaitu soal bagaimana rentjana
pembangunan itu dilaksanakan tahun per tahunnja, berapa besarnja
biaja jang disediakan didalam anggaran belandja, dan bagaimana
rentjana pembangunan itu disesuaikan dengan kebidjaksanaan
umum dari Pemerintah didalam sesuatu tahun.
Dari segi rentjana pembangunan, pelaksanaan projek-projek
membutuhkan adanja pembiajaan jang tidak terputus-putus, dalam
djumlah jang tjukup dan jang dikeluarkan tepat pada waktu dibutuhkannja.
Disamping itu pelaksanaan projek-projek pembangunan mengakibatkan ditjiptakannja kontrak-kontrak — dengan luar negeri
maupun dalam negeri — jang dalam banjak hal akan membawakan
beban pada anggaran belandja dimasa berikutnja, jaitu pada waktu
pembajarannja harus dilaksanakan.
Sebaliknja anggaran belandja Pemerintah, jang telah disusun
dengan mendasarkan pada perkiraan Akan besarnja penerimaan
negara, mempunjai batas-batas tertentu.
2. Untuk mempeladjari kemungkinan-kemungkinan jang ada
pada struktur dan administrasi anggaran belandja Indonesia, maka
pada tahun 1957 telah didatangkan ahli p.B.B., Dr. Stanislaw
Kirkor, jang dalam bulan September 1957 telah mengemukakan
pendapat-pendapatnja didalam suatu laporan: “Report on the
budgetary techniques necessary for economic development planning
and the administration in Indonesia”.
442

3. Satu kelemahan jang dikemukakan oleh Dr. S. Kirkor ialah
belum pernah didapatnja pertanggungan djawab tentang uang jang telah
dipergunakan oleh Pemerintah, meskipun fs. 116 dari U.U.D.S. Republik
Indonesia memuat ketentuan itu. Ketjuali suatu ichtisar jang summir
jang dikeluarkan oleh Kem. Keuangan, jaitu jang mengenai djumlah
pengeluaran tiap-tiap Kementerian, bahan-bahan keterangan jang
terperintji tidak pernah diprodusir. Sebaliknja angka-angka jang tjukup
terperintji mengenai penerimaan Negara bisa dibuat dan dikeluarkan
oleh Kementerian Keuangan. Keku-rangan ini dengan sendirinja
merupakan suatu kelemahan jang serius jang menjukarkan penjusunan
analisa ekonomi serta pem-buatan rentjana-rentjana dan kebidjaksanaan
pada umumnja.
4. Salah satu sebab dari kekurangan ini ialah tidak adanja
mekanisasi dalam administrasi anggaran belandja dipusat. Dengan
sangat luasnja pekerdjaan administrasi di Kementerian Keuangan,
karena luasnja pekerdjaan aparat-aparat Negara, maka pekerdjaanpekerdjaan itu sudah barang tentu bertumpuk-tumpuk dan tidak
mungkin dikedjar, djika tidak mempergunakan alat-alat mekanis seperti
mesin-mesin Hollorith, jang kebetulan ada djuga di Indo-nesia dan
mungkin sekali dipergunakan oleh beberapa instansi Pemerintah
bersama.
Lain dari pada itu perlu djuga disusun sistim pemberitaan dari
Kas-kas Negeri Daerah ke Pusat, supaja setjepat mungkin dapat
diketahui pengeluaran-pengeluaran jang njata dan untuk keperluankeperluan apa uang itu dikeluarkan.
5. Saran jang penting dalam laporan Dr. S. Kirkor, djustru
berhubungan dengan pembiajaan projek-projek pembangunan, ialah
supaja dibentuk suatu Fonds chusus, jang dinamakan "Capital
Expenditure Funds" (sudah tentu fonds ini dibentuk setelah D.P.R.
menjetudjui Rentjana). Ketjuali itu oleh Dr. S. Kirkor dirasakan perlu
pembentukan suatu Fonds lagi untuk pengeluaran-pengeluaran jang tidak
termasuk investasi-investasi baru, tetapi merupakan pengeluaranpengeluaran modal jang penting, seperti perbaikan djalan-djalan jang
rusak, perbaikan saluran-saluran pengairan, pangkalan-pangkalan,
pelabuhan-pelabuhan dan sebagainja. Untuk keperluan itu disarankan
pembentukan apa jang dinamakan "Public Works Maintenance Funds".
Rekening dari Fonds-fonds ini hendaknja diadakan di Bank Indonesia dan Bank Indonesia jang akan meng-administrasikan segala
pengeluaran dan penerimaan jang berkenaan dengan projek-projek
pembangunan ini. Tiap-tiap Kementerian jang mempunjai projek
pembangunan hendaknja mempunjai rekeningnja sendiri, jang
dapat dipergunakan sendiri atau setelah ada persetudjuan Kementerian Keuangan.
443

Pembentukan Fonds-fonds chusus demikian tidak perlu merobah
ketentuan-ketentuan dalam I.C.W., karena telah pula dipraktekkan
untuk keperluan-keperluan lain, seperti Counterpart Fund.
Bisa diharapkan bahwa pembentukan Fonds-fonds itu akan mendjamin kelantjaran pembiajaan projek-projek, baik projek-projek
chusus maupun projek-projek Kementerian dan dari pertanggungan
djawabnja dapat dilihat, baik oleh pendjabat-pendjabat Kementerian
maupun oleh pendjabat-pendjabat evaluasi, maupun oleh Dewan
Pengawas Keuangan dan D.P.R., kelandjutan atau kematjetan
projek-projek pembangunan.
F. Keadaan Perang.
1. Oleh karena sangat mempengaruhi djalannja administrasi negara,
tidak akan lengkap rasanja penilaian ini tanpa menjinggung keadaan perang
jang telah dinjatakan dengan keputusan Presiden R.I. No. 225 tahun 1957
tanggal 17 Desember 1957 dan jang disah-kan dengan Undang-undang No.
79 tahun 1957 untuk seluruh wilajah Negara R.I.
2. Sedjumlah besar peraturan-peraturan untuk melakukan ke-kuasaankekuasaan istimewa jang diberikan oleh Undang-undang Keadaan Bahaja
1957, telah dikeluarkan oleh Dewan Menteri/Per-dana Menteri, para Kepala
Staf Angkatan selaku Penguasa Perang Pusat masing-masing atas wilajah
kekuasaannja dan para Penguasa Perang Daerah, jang tidak selamanja
menundjukkan adanja pemba-tasan wewenang atau koordinasi jang baik.
3. Perpandjangan dengan djangka waktu satu tahun lagi dari pada
keadaan perang tersebut berhubung situasi keamanan seluruh Negara
dengan mengingat akan faktor-faktor baik dalam maupun luar negeri,
belum djuga mengizinkan penghapusan keadaan perang sekalipun setjara
„partieel”.
4. Dalam pada itu oleh Pemerintah diakui bahwa disamping kemadjuankemadjuan jang telah tertjapai, telah terdjadi exces-exees sedjak keadaan
perang berlaku dan djuga bahwa masih banjak hal jang dapat dan harus
dikerdjakan untuk penjempurnaan pengaturan dan pelaksanaan wewenangwewenang dalam rangka keadaan perang serta penjempurnaan pengawasan
atas pelaksanaan wewenang-wewenang tersebut. Penting ialah
pernjataannja bahwa wewenang-wewenang Penguasa Perang sebenarnja
adalah upaja darurat (noodmiddel) dan karenanja hendaknja
diselenggarakan setjara terbatas sedjauh mungkin, dalam arti „sekedar
seperlunja sadja”. Maka setiap penjalah-gunaan kekuasaan, lebih-lebih
dalam keadaan perang dan dalam rangka keadaan perang, baik jang
dilakukan
444

dengan sengadja maupun jang tidak dengan sengadja, harus
diberantas.
5. Berhubung dengan hal-hal tersebut diatas direntjanakan
beberapa usaha perbaikan sebagai berikut:
a. mengadakan penegasan dan ketegasan lebih landjut mengenai hal-hal
jang boleh dilakukan oleh para Penguasa Perang dan mengenai hal-hal
jang sejogjanja tidak ditjampur-tangani oleh para Penguasa Perang;
b. menjempurnakan organisasi penjelenggaraan kekuasaan-kekuasa-an
dalam rangka Undang-undang Keadaan Bahaja dan organisasi
penjelenggaraan pengawasan atas pelaksanaan kekuasaan-kekua-saan
tersebut;
c. mengadakan ketegasan-ketegasan jang lebih djauh dari pada jang
sudah-sudah terhadap penjalah-gunaan kekuasaan-kekuasa-an, baik
dengan djalan repressif maupun dengan djalan preventif;
d. mengadjukan pada waktunja usul-usul perubahan dalam Undangundang Keadaan Bahaja 1957, sehingga dapat diharapkan bahwa
praktek pelaksanaan Undang-undang tersebut akan lebih sesuai dengan
alam kenegaraan hukum kita.

445