Efektifitas Bahan Kumur Berbasis Minyak Atsiri Buah Kapulaga (Amomum cardamomum L) Terhadap Penurunan Gas Volatile Sulfur Compound (VSC) Pada Subjek Halitosis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, masalah bau mulut atau halitosis telah mendapat perhatian di
kalangan profesi kesehatan, khususnya kesehatan gigi, dan juga masyarakat awam
(Burton, et al., 2006).Bau mulut bisa dialami oleh semua orang, dan bisa timbul tanpa
disadari. Apabila keadaan ini tidak segera ditangani, maka dapat mengurangi
kelancaran berkomunikasi, rasa rendah diri, menimbulkan rasa malu bagi penderita,
kesulitan berinteraksi sosial, hilangnya rasa percaya diri, dan bagi orang yang tidak
menyadari bau mulut akan mengganggu orang di sekitarnya, sehingga dapat
berdampak luas pada pekerjaan maupun kehidupan pribadinya (Lenton, et al., 2001;
Nachnani, 2008; Ellis, 2009; Trudie, 2011).
Halitosis menempati urutan ketiga penyebab seseorang mengunjungi dokter
gigi setelah penyakit gigi dan masalah estetis gigi. Hal ini menunjukkan bahwa
gangguan bau mulut sangat mengganggu kehidupan pribadi, sehingga perlu menjadi
perhatian para ahli (Loesche 2002; cit Pintauli & Hamada, 2008).
Halitosis berasal dari
bahasa latin, yaitu “halitus” yang berarti nafas
dan”osis” yang berarti keadaan. Jadi halitosis merupakan keadaan bau mulut, yang
umumnya digunakan untuk menunjukan bau nafas yang tidak sedap. Halitosis disebut
juga “mouth odor”, “bad breath”, “oral malodor”, “fetor oris”, dan “fetor ex ore”.
Senyawa gas yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya halitosis adalah
Volatile Sulfur Compound (VSC) (Elias & Ferriani, 2006; Walter, 2011; Anoop
Kapoor, et al., 2011).
Gas VSC merupakan hasil produksi aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam
mulut berupa senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap, sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain di sekitarnya (Tsai, et al.,
2007). Dalam aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob akan bereaksi dengan
protein-protein yang ada. Protein di dalam mulut berasal dari sisa-sisa makanan yang
Universitas Sumatera Utara
2
mengandung protein, sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun
sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut.Di samping itu, di dalam saliva
sendiri terdapat substrat yang mengandung protein (Rayman & Almas, 2008; Riggio,
2008; Kapoor, et al., 2011).
Tonzetich dari University of British Columbia, Canada (1995), yang pertama
sekali berhasil menemukan bahwa senyawa gas VSC yang berperan terhadap
timbulnya halitosis yaitu hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH) dan
dimethyl mercaptan (CH3)2S. Ketiga senyawa gas VSC tersebut jumlahnya cukup
banyak dan sangat mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau (Amano, 2002;
Tsai, 2007; Kapoor, et al, 2011).
Sampai saat ini, informasi tentang halitosis belum begitu banyak karena
penelitian epidemiologinya masih sangat terbatas. Di Jepang pernah dilakukan
penelitian pada 2.672 subjek dengan mengukur konsentrasi gas VSC, hasilnya
menunjukkan 6-23% subjek menderita halitosis dengan rerata 75 ppb (“parts per
billion”) gas VSC keluar dari mulut subjek tersebut selama satu hari. Dari survei
pengukuran kadar gas VSC di Kelurahan Tebet Jakarta, ditemukan sampai mencapai
105 ppb (cit Pintauli & Hamada, 2008).
Beberapa penelitian deskriptif epidemiologi tentang halitosis melaporkan
bahwa dari 270 orang dewasa di Amerika ditemukan prevalensi halitosis 31% (Che.
et al., 1996).Frexinos, et al., (1998) juga melaporkan di Perancis, dari 4.815 subjek
hasilnya menunjukkan 22% menderita halitosis. (Skin, et al., 2009) melakukan
penelitian deskriptif epidemiologi tentang halitosis di Bern, Switzerland pada 419
orang dewasa, dan diperoleh prevalensi halitosis dengan pengukuran organoleptik
skor >3 sebanyak 11,5%. Prevalensi gas VSC dengan kadar>75 ppb sebanyak 28%
(Rosing&Loesche, 2011). Di Cina, diadakan pengukuran skor halitosis dengan alat
halimeter. Dari 2000 orang usia 15 – 64 tahun sebanyak 27% menderita halitosis
berat (Ellis, 2009).
Halitosis disebabkan faktor ekstra dan intra oral, namun ±90% halitosis
bersumber dari rongga mulut.Oleh karena itu, sewajarnya dokter gigi memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
3
hal ini pada waktu melakukan perawatan gigi di klinik.(Trudie, 2011).Hanya sebagian
kecil halitosis yang bukan disebabkan oleh faktor atau sumber di luar rongga
mulut.Di dalam rongga mulut banyak terdapat mikroorganisme yang membentuk
flora normal mulut.Di samping itu, di dalam mulut manusia juga terdapat gigi geligi
yang juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya halitosis seperti kebersihan dan
kesehatannya, selain itu susunan dan jaringan periodonsiumnya (Djaya, 2000).
Sejak zaman dahulu cara mengatasi bau mulut ini sudah diketahui,
Hippocrates (1550 SM), menyarankan agar berkumur dengan cairan rempah dan
anggur, sedangkan pengobatan lain dengan mengunyah biji lada (bangsa Talmud),
dan parsley (bangsa Italia). Namun untuk saat ini yang tersedia di pasaran adalah obat
kumur yang mengandung bahan sintesis kimia seperti klorheksidin, sedangkan yang
berasal dari tumbuhan tradisional terutama yang efektif terhadap bau mulut ini masih
jarang dijumpai (cit Pintauli & Hamada, 2008).
Banyak obat kumur ataupun produk penyegar nafas dijual di pasar bebas,
kebanyakan produk ini berusaha mengendalikan halitosis dengan cara mengurangi
bau yang ada. Obat kumur dengan aroma yang enak dan wangi, namun hal ini hanya
berlangsung singkat, sebaliknya keadaan mulut malah dirasakan bertambah bau
setelah penyegar itu habis (Sabulal, 2006).Begitu pula halnya dengan pemakaian obat
kumur yang mengandung bahan antibakteri, dapat mengurangi halitosis dengan cara
mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri. Penggunaan bahan ini
juga biasanya efektif untuk sementara waktu saja (Rosing dan Loesche 2011). Obat
kumur berbahan baku asli Indonesia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hanya
berbahan baku sirih tapi yang berasal dari kapulaga sampai saat ini belum pernah ada
publikasinya maupun berada di pasaran.
Obat kumur kebanyakan bersifat antiseptik, oleh karena itu bahan tersebut
dapat menekan pertumbuhan semua bakteri di dalam mulut, padahal bakteri yang ada
merupakan flora normal mulut. Obat kumur yang beredar di pasaran juga
mengandung alkohol dengan kadar yang berbeda-beda, sifat alkohol dapat
mempengaruhi jaringan lunak, mulut menjadi kering sehingga permeabilitasnya
Universitas Sumatera Utara
4
berubah dan dapat meningkatkan sekresi protein keluar jaringan. Obat kumur yang
kebanyakan beredar di pasaran tidak mempunyai pengaruh terhadap gas VSC yang
timbul dalam rongga mulut.Efek antiseptiknya dalam membunuh bakteri juga hanya
bertahan sebentar sehingga kurang berperan untuk mengurangi nafas tak sedap untuk
jangka panjang (Djaya, 2000; Roldan, Herrera & Sanz, 2003).
Pada saat ini, beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang pengaruh
berkumur dengan obat kumur yang mengandung antiseptik untuk mengatasi halitosis
(Rosenberg, et al., 2000).Mereka meneliti pengaruh berkumur sepanjang hari dengan
obat kumur yang mengandung dua fase minyak dan air dibandingkan dengan
Listerine® dan plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkumur dengan dua
fase minyak dan air, khlorheksidine terjadi penurunan kadar H2S yang bermakna
dibandingkan
berkumur
dengan
plasebo.
Namun
demikian,
khlorheksidine
mempunyai efek samping seperti terjadinya perubahan warna (diskolorasi) pada gigi,
mengganggu rasa pengecap dan kadang timbul iritasi pada mukosa mulut.
Keuntungan berkumur dengan dua fase minyak: air relatif mengikat bakteri dan tidak
mempunyai dampak negatif seperti dehidrasi, adiksi, iritasi pada mukosa mulut
(Rosenberg, 2000; Roldan, Sanz, 2003; Nachnani, 2008).
Tanaman kapulaga (Amomum cardamomum) dapat berkhasiat sebagai
penghilang bau mulut. Kapulaga atau nama lainnnya Amomum Cardamomum Solad
ex Maton, atau Elletaria cardamomum maton, termasuk familia Zingiberaceae,
mempunyai ciri-ciri berupa rumput tahunan dengan tinggi mencapai
1,5 meter.
Tumbuh bergerombol, batang semu, berupa daun tunggal, bunga majemuk dan
berbentuk bongkol di pangkal.Bagian yang digunakan adalah buahnya yang
berbentuk bulat, berlekuk dan berwarna putih.Biasanya buah kapulaga digunakan
sebagai bumbu pengharum masakan (Mailina, 2007).
Kapulaga
kaya
kandungan
kimia,
antara
lain
“terpinol”,
“alfaborneol”,“betakamper”, protein, gula, lemak dan silikat.Kapulaga memiliki rasa
agak pahit dan hangat (Mailina, 2007).Hasil penelitian menunjukkan
kapulaga
memiliki aroma sedap sehingga orang Inggris menganggapnya sebagai grains of
Universitas Sumatera Utara
5
paradise. Aroma sedap ini berasal dari kandungan minyak atsiri yang mengandung
lima zat utama, yaitu “borneol” yang berbau kamper, “alfa-terpinilasetat” yang
harum jeruk pettigrain, “limonen” harum jeruk keprok, “alfa terpinen” yang harum
jeruk sitrun dan “cineol” yang menghangatkan. Manfaat kapulaga selain sebagai
pengharum masakan juga dapat sebagai obat pengencer dahak (ekpektoran),
analgesik (penghilang rasa sakit), dan menghilangkan bau mulut (Mailina, 2007).
Di Timur Tengah, kapulaga adalah rempah yang telah digunakan berabadabad oleh masyarakat Timur Tengah. Rempah ini dikunyah seperti tembakau dan
digunakan dalam obat kumur, sabun dan shampoo.“Cineol” kandungan tertinggi
yang terdapat pada kapulaga merupakan antibakteri yang dapat membunuh bakteri
dan mengurangi bau mulut.Rasanya sedikit pedas, namun jika dijadikan obat kumur
terasa sejuk.Bahkan kapulaga ini biasanya digunakan dalam pembuatan pepermint
buatan (Handayani, 2008).
Brotosoetarno (2009) melakukan penelitian terhadap khasiat antimikroba
minyak atsiri buah kapulaga dalam upaya mengatasi halitosis melalui uji
eksperimental laboratorik yaitu uji bakteriologik dengan hasil pada konsentrasi 30%
minyak atsiri buah kapulaga dapat menghambat bakteri Bacteroides melaninogenicus
dan pada kadar 60% akan membunuhnya, sedangkan pada kadar 40% akan
menghambat pertumbuhan species bakteri Porphyromonas gingivalis dan kadar
bunuh bakteri 80%. Hasil penelitian membuktikan bahwa kapulaga bersifat
antimikroba dan aman.Buah kapulaga pada penelitian tersebut diperoleh langsung
dari pasar tradisional dan hal itu tidak memenuhi persyaratan penelitian bahan obat
tradisional yang harus mengikuti parameter standar mutu dan mempunyai identitas
farmasi yang jelas (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinis Obat Tradisional, 2000).
Aktivitas antibakteri dari beberapa spesies kapulaga juga telah dibuktikan oleh
beberapa peneliti terutama terhadap beberapa spesies bakteri oral dan bakteri patogen
lain seperti Salmonella typhi, Escherichia coli, Klebsiella, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus. Hasilnya memperlihatkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap uji bakteri tersebut.Selain itu, ada juga peneliti yang melakukan uji anti
Universitas Sumatera Utara
6
fungi minyak atsiri buah kapulaga terhadap beberapa jenis jamur dan terbukti bahwa
minyak atsiri buah kapulaga dapat menghambat pertumbuhan jamur yang diuji (Arora
& Kaur, 2007; Nachnani, 2008).
Dalam Undang Undang No 381 tahun 2007 tentang Kebijakan Obat
Tradisional, tercantum bahwa sumber daya alam bahan obat merupakan aset nasional
yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya.
Indonesia sebagai suatu negara dengan wilayah yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi, potensi sumber data tumbuhan yang ada
merupakan aset dengan nilai keunggulannya untuk menjadi komoditi yang
kompetitif.
Mengacu kepada Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal
1 ayat 9 bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pasal 47 ayat 3
menyatakan bahwa pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk
digunakan
dalam
masyarakat.Peraturan
mewujudkan
derajat
Menteri
No.760/MENKES/PER/IX/1992
kesehatan
Kesehatan
tentang
Fitofarmaka
yang
optimal
Republik
menyebutkan
bagi
Indonesia
bahwa
Fitofarmaka adalah sediaan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri atas simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi
persyaratan yang berlaku.Untuk penjabaran lebih lanjut dari peraturan ini telah
diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No
HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004, tentang Pokok Pengelompokan dan
Penandaan obat alam Indonesia. Dalam keputusan Kepala Badan POM yang
dimaksud Obat Bahan Alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di
Indonesia berdasar cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
pembuktian khasiat (Depkes, 2000).
Universitas Sumatera Utara
7
Penelitian dan pengembangan obat tradisional bertujuan untuk menunjang
pembangunan dibidang obat tradisional yang bermutu tinggi dan aman serta memiliki
khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas untuk
pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan
formal.Beberapa hasil penelitian obat tradisional ataupun tanaman obat telah dibuat
dan diproduksi serta digunakan pada fasilitas pelayanan tradisional.Obat yang
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan aman,
bermanfaat dan sudah terstandarisasi.Bukti persyaratan yang diperlukan harus
berdasarkan data yang sahih (Depkes, 2000).
Apa yang diuraikan di atas menjadi dasar tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
menghasilkan sediaan obat kumur minyak atisiri buah kapulaga yang dapat
dimanfatkan dengan aman dan berguna bagi masyarakat untuk mengatasi halitosis.
Penelitian ini akan dilakukan di pondok pesantren Raudhatul Hasanah Medan dengan
pertimbangan akan lebih mudah untuk mengontrol perlakuan dan subjek akan
mendapat diet yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan, dapat dirumuskan
permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah minyak atsiri buah kapulaga mempunyai pengaruh terhadap
aktivitas antibakteri yang dominan menjadi penyebab halitosis?
2. Apakah minyak atsiri buah kapulaga dapat dibuat menjadi sediaan obat
kumur herbal terstandar?
3. Pada konsentrasi berapa minyak atsiri buah kapulaga mempunyai Kadar
Hambat Minimal & Kadar Bunuh Minimal terhadap bakteri yang dominan menjadi
penyebab halitosis?
4. Apakah sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang diuji secara
klinis pada subjek halitosis memberikan efek penurunan kadar gas H2S, CH3SH, dan
(CH3)2S?
Universitas Sumatera Utara
8
5. Apakah sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang diuji secara
klinis pada subjek halitosis memberikan efek penurunan kadar gas VSC dibandingkan
obat kumur Listerine® dan plasebo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menghasilkan sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang
dapat dimanfaatkan dengan aman, dan berguna bagi masyarakat untuk mengatasi
keluhan Halitosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mendapatkan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga terstandar.
2. Untuk membuktikan bahwa pada konsentrasi tertentu minyak atsiri buah
kapulaga dapat menghambat atau membunuh bakteri yang dominan menjadi
penyebab halitosis.
3. Untuk menjelaskan rerata penurunan kadar gas H2S, CH3SH dan
(CH3)2S.
4. Untuk
menjelaskan
rerata
penurunan
kadar
gas
VSC
dengan
menggunakan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga.
5. Untuk membandingkan efektifitas obat kumur minyak atsiri buah
kapulaga, obat kumur Listerine®, dan plasebo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bahwa
berkumur minyak atsiri buah kapulaga dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan
kadar gas VSC pada subjek halitosis.
Universitas Sumatera Utara
9
1.4.2 Manfaat Metodologis
Penelitian ini diharapkan merupakan suatu metode baru yang dapat
membuktikan efektifitas dari zat aktif pada minyak atsiri buah kapulaga sebagai obat
kumur dari bahan tradisional yang mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan obat
kumur kimiawi dalam menurunkan kadar gas VSC pada subjek halitosis.
1.4.3 Manfaat Aplikatif
1. Bagi masyarakat khususnya penderita halitosis, untuk membantu
mengurangi keluhan bau mulut dengan memakai obat kumur yang berasal dari bahan
alami dengan hasil yang efektif dan aman digunakan.Bagi para petani dapat
menambah lahan baru sebagai sumber penghasilan dengan membudidayakan tanaman
kapulaga ini.
2. Bagi perguruan tinggi diharapkan dapat terus mengembangkan penelitian
tentang manfaat bahan-bahan alami untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut
khususnya di bidang Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat.
3. Bagi pengelola program dapat dijadikan masukan untuk program
penyuluhan tentang manfaat bahan alami sebagai pilihan terapi mengatasi masalah
bau mulut dipandang dari segi aman dan murah.
1.5 Orisinalitas
Sejauh ini belum ada penelitian yang dapat membuktikan khasiat obat kumur
dari bahan alami untuk mengatasi masalah halitosis.Brotosoetarno (2009), meneliti
tentang aktivitas antimikroba minyak atsiri buah kapulaga lokal (Amomum
cardamomum L) dalam upaya mengatasi bau mulut (halitosis), namun penelitian ini
hanya sebatas penelitian eksperimental laboratorik yaitu uji bakteriologis dan uji
toksisitas
akut.Penelitian
Brotosoetarno
ini
memiliki
beberapa
kelemahan.Diantaranya, bahan buah kapulaga tidak melalui seleksi yang benar,
karena diperoleh dari pasar tradisional yang tidak diketahui asal usul tanaman
Universitas Sumatera Utara
10
tersebut.Kemudian tidak dijelaskan apakah tanaman kapulaga tersebut terpapar
pestisida atau tidak sedangkan persyaratan sebuah penelitian bahan obat tradisional
adalah harus mengikuti parameter standar mutu yang mempunyai identitas farmasi
yang jelas (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinis Obat Tradisional, 2000).Selain
penelitian tersebut juga masih terbatas pada hewan coba.Agar suatu bahan tanaman
dapat digunakan di masyarakat luas untuk pengobatan penyakit, maka penelitian
perlu dilakukan sampai tahap uji klinis. Oleh karena itu, penelitian uji klinis tentang
efektifitas berkumur minyak atsiri buah kapulaga (Amomum cardamomum L) dalam
menurunkan kadar gas VSC pada subjek halitosis masih diperlukan dan masih
bersifat orisinal.
1.6 Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
1. Ditemukannya sediaan obat kumur dari herbal yang efektif dan aman untuk
digunakan mengatasi masalah halitosis.
2. Sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga 0,5% dapat membunuh
Porphyromonas gingivalis bakteri yang dominan penyebab halitosis.
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, masalah bau mulut atau halitosis telah mendapat perhatian di
kalangan profesi kesehatan, khususnya kesehatan gigi, dan juga masyarakat awam
(Burton, et al., 2006).Bau mulut bisa dialami oleh semua orang, dan bisa timbul tanpa
disadari. Apabila keadaan ini tidak segera ditangani, maka dapat mengurangi
kelancaran berkomunikasi, rasa rendah diri, menimbulkan rasa malu bagi penderita,
kesulitan berinteraksi sosial, hilangnya rasa percaya diri, dan bagi orang yang tidak
menyadari bau mulut akan mengganggu orang di sekitarnya, sehingga dapat
berdampak luas pada pekerjaan maupun kehidupan pribadinya (Lenton, et al., 2001;
Nachnani, 2008; Ellis, 2009; Trudie, 2011).
Halitosis menempati urutan ketiga penyebab seseorang mengunjungi dokter
gigi setelah penyakit gigi dan masalah estetis gigi. Hal ini menunjukkan bahwa
gangguan bau mulut sangat mengganggu kehidupan pribadi, sehingga perlu menjadi
perhatian para ahli (Loesche 2002; cit Pintauli & Hamada, 2008).
Halitosis berasal dari
bahasa latin, yaitu “halitus” yang berarti nafas
dan”osis” yang berarti keadaan. Jadi halitosis merupakan keadaan bau mulut, yang
umumnya digunakan untuk menunjukan bau nafas yang tidak sedap. Halitosis disebut
juga “mouth odor”, “bad breath”, “oral malodor”, “fetor oris”, dan “fetor ex ore”.
Senyawa gas yang paling bertanggung jawab terhadap timbulnya halitosis adalah
Volatile Sulfur Compound (VSC) (Elias & Ferriani, 2006; Walter, 2011; Anoop
Kapoor, et al., 2011).
Gas VSC merupakan hasil produksi aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam
mulut berupa senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap, sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain di sekitarnya (Tsai, et al.,
2007). Dalam aktivitasnya di dalam mulut, bakteri anaerob akan bereaksi dengan
protein-protein yang ada. Protein di dalam mulut berasal dari sisa-sisa makanan yang
Universitas Sumatera Utara
2
mengandung protein, sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun
sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut.Di samping itu, di dalam saliva
sendiri terdapat substrat yang mengandung protein (Rayman & Almas, 2008; Riggio,
2008; Kapoor, et al., 2011).
Tonzetich dari University of British Columbia, Canada (1995), yang pertama
sekali berhasil menemukan bahwa senyawa gas VSC yang berperan terhadap
timbulnya halitosis yaitu hidrogen sulfida (H2S), methyl mercaptan (CH3SH) dan
dimethyl mercaptan (CH3)2S. Ketiga senyawa gas VSC tersebut jumlahnya cukup
banyak dan sangat mudah sekali menguap sehingga menimbulkan bau (Amano, 2002;
Tsai, 2007; Kapoor, et al, 2011).
Sampai saat ini, informasi tentang halitosis belum begitu banyak karena
penelitian epidemiologinya masih sangat terbatas. Di Jepang pernah dilakukan
penelitian pada 2.672 subjek dengan mengukur konsentrasi gas VSC, hasilnya
menunjukkan 6-23% subjek menderita halitosis dengan rerata 75 ppb (“parts per
billion”) gas VSC keluar dari mulut subjek tersebut selama satu hari. Dari survei
pengukuran kadar gas VSC di Kelurahan Tebet Jakarta, ditemukan sampai mencapai
105 ppb (cit Pintauli & Hamada, 2008).
Beberapa penelitian deskriptif epidemiologi tentang halitosis melaporkan
bahwa dari 270 orang dewasa di Amerika ditemukan prevalensi halitosis 31% (Che.
et al., 1996).Frexinos, et al., (1998) juga melaporkan di Perancis, dari 4.815 subjek
hasilnya menunjukkan 22% menderita halitosis. (Skin, et al., 2009) melakukan
penelitian deskriptif epidemiologi tentang halitosis di Bern, Switzerland pada 419
orang dewasa, dan diperoleh prevalensi halitosis dengan pengukuran organoleptik
skor >3 sebanyak 11,5%. Prevalensi gas VSC dengan kadar>75 ppb sebanyak 28%
(Rosing&Loesche, 2011). Di Cina, diadakan pengukuran skor halitosis dengan alat
halimeter. Dari 2000 orang usia 15 – 64 tahun sebanyak 27% menderita halitosis
berat (Ellis, 2009).
Halitosis disebabkan faktor ekstra dan intra oral, namun ±90% halitosis
bersumber dari rongga mulut.Oleh karena itu, sewajarnya dokter gigi memperhatikan
Universitas Sumatera Utara
3
hal ini pada waktu melakukan perawatan gigi di klinik.(Trudie, 2011).Hanya sebagian
kecil halitosis yang bukan disebabkan oleh faktor atau sumber di luar rongga
mulut.Di dalam rongga mulut banyak terdapat mikroorganisme yang membentuk
flora normal mulut.Di samping itu, di dalam mulut manusia juga terdapat gigi geligi
yang juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya halitosis seperti kebersihan dan
kesehatannya, selain itu susunan dan jaringan periodonsiumnya (Djaya, 2000).
Sejak zaman dahulu cara mengatasi bau mulut ini sudah diketahui,
Hippocrates (1550 SM), menyarankan agar berkumur dengan cairan rempah dan
anggur, sedangkan pengobatan lain dengan mengunyah biji lada (bangsa Talmud),
dan parsley (bangsa Italia). Namun untuk saat ini yang tersedia di pasaran adalah obat
kumur yang mengandung bahan sintesis kimia seperti klorheksidin, sedangkan yang
berasal dari tumbuhan tradisional terutama yang efektif terhadap bau mulut ini masih
jarang dijumpai (cit Pintauli & Hamada, 2008).
Banyak obat kumur ataupun produk penyegar nafas dijual di pasar bebas,
kebanyakan produk ini berusaha mengendalikan halitosis dengan cara mengurangi
bau yang ada. Obat kumur dengan aroma yang enak dan wangi, namun hal ini hanya
berlangsung singkat, sebaliknya keadaan mulut malah dirasakan bertambah bau
setelah penyegar itu habis (Sabulal, 2006).Begitu pula halnya dengan pemakaian obat
kumur yang mengandung bahan antibakteri, dapat mengurangi halitosis dengan cara
mengurangi jumlah bakteri serta menghambat aktivitas bakteri. Penggunaan bahan ini
juga biasanya efektif untuk sementara waktu saja (Rosing dan Loesche 2011). Obat
kumur berbahan baku asli Indonesia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hanya
berbahan baku sirih tapi yang berasal dari kapulaga sampai saat ini belum pernah ada
publikasinya maupun berada di pasaran.
Obat kumur kebanyakan bersifat antiseptik, oleh karena itu bahan tersebut
dapat menekan pertumbuhan semua bakteri di dalam mulut, padahal bakteri yang ada
merupakan flora normal mulut. Obat kumur yang beredar di pasaran juga
mengandung alkohol dengan kadar yang berbeda-beda, sifat alkohol dapat
mempengaruhi jaringan lunak, mulut menjadi kering sehingga permeabilitasnya
Universitas Sumatera Utara
4
berubah dan dapat meningkatkan sekresi protein keluar jaringan. Obat kumur yang
kebanyakan beredar di pasaran tidak mempunyai pengaruh terhadap gas VSC yang
timbul dalam rongga mulut.Efek antiseptiknya dalam membunuh bakteri juga hanya
bertahan sebentar sehingga kurang berperan untuk mengurangi nafas tak sedap untuk
jangka panjang (Djaya, 2000; Roldan, Herrera & Sanz, 2003).
Pada saat ini, beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang pengaruh
berkumur dengan obat kumur yang mengandung antiseptik untuk mengatasi halitosis
(Rosenberg, et al., 2000).Mereka meneliti pengaruh berkumur sepanjang hari dengan
obat kumur yang mengandung dua fase minyak dan air dibandingkan dengan
Listerine® dan plasebo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkumur dengan dua
fase minyak dan air, khlorheksidine terjadi penurunan kadar H2S yang bermakna
dibandingkan
berkumur
dengan
plasebo.
Namun
demikian,
khlorheksidine
mempunyai efek samping seperti terjadinya perubahan warna (diskolorasi) pada gigi,
mengganggu rasa pengecap dan kadang timbul iritasi pada mukosa mulut.
Keuntungan berkumur dengan dua fase minyak: air relatif mengikat bakteri dan tidak
mempunyai dampak negatif seperti dehidrasi, adiksi, iritasi pada mukosa mulut
(Rosenberg, 2000; Roldan, Sanz, 2003; Nachnani, 2008).
Tanaman kapulaga (Amomum cardamomum) dapat berkhasiat sebagai
penghilang bau mulut. Kapulaga atau nama lainnnya Amomum Cardamomum Solad
ex Maton, atau Elletaria cardamomum maton, termasuk familia Zingiberaceae,
mempunyai ciri-ciri berupa rumput tahunan dengan tinggi mencapai
1,5 meter.
Tumbuh bergerombol, batang semu, berupa daun tunggal, bunga majemuk dan
berbentuk bongkol di pangkal.Bagian yang digunakan adalah buahnya yang
berbentuk bulat, berlekuk dan berwarna putih.Biasanya buah kapulaga digunakan
sebagai bumbu pengharum masakan (Mailina, 2007).
Kapulaga
kaya
kandungan
kimia,
antara
lain
“terpinol”,
“alfaborneol”,“betakamper”, protein, gula, lemak dan silikat.Kapulaga memiliki rasa
agak pahit dan hangat (Mailina, 2007).Hasil penelitian menunjukkan
kapulaga
memiliki aroma sedap sehingga orang Inggris menganggapnya sebagai grains of
Universitas Sumatera Utara
5
paradise. Aroma sedap ini berasal dari kandungan minyak atsiri yang mengandung
lima zat utama, yaitu “borneol” yang berbau kamper, “alfa-terpinilasetat” yang
harum jeruk pettigrain, “limonen” harum jeruk keprok, “alfa terpinen” yang harum
jeruk sitrun dan “cineol” yang menghangatkan. Manfaat kapulaga selain sebagai
pengharum masakan juga dapat sebagai obat pengencer dahak (ekpektoran),
analgesik (penghilang rasa sakit), dan menghilangkan bau mulut (Mailina, 2007).
Di Timur Tengah, kapulaga adalah rempah yang telah digunakan berabadabad oleh masyarakat Timur Tengah. Rempah ini dikunyah seperti tembakau dan
digunakan dalam obat kumur, sabun dan shampoo.“Cineol” kandungan tertinggi
yang terdapat pada kapulaga merupakan antibakteri yang dapat membunuh bakteri
dan mengurangi bau mulut.Rasanya sedikit pedas, namun jika dijadikan obat kumur
terasa sejuk.Bahkan kapulaga ini biasanya digunakan dalam pembuatan pepermint
buatan (Handayani, 2008).
Brotosoetarno (2009) melakukan penelitian terhadap khasiat antimikroba
minyak atsiri buah kapulaga dalam upaya mengatasi halitosis melalui uji
eksperimental laboratorik yaitu uji bakteriologik dengan hasil pada konsentrasi 30%
minyak atsiri buah kapulaga dapat menghambat bakteri Bacteroides melaninogenicus
dan pada kadar 60% akan membunuhnya, sedangkan pada kadar 40% akan
menghambat pertumbuhan species bakteri Porphyromonas gingivalis dan kadar
bunuh bakteri 80%. Hasil penelitian membuktikan bahwa kapulaga bersifat
antimikroba dan aman.Buah kapulaga pada penelitian tersebut diperoleh langsung
dari pasar tradisional dan hal itu tidak memenuhi persyaratan penelitian bahan obat
tradisional yang harus mengikuti parameter standar mutu dan mempunyai identitas
farmasi yang jelas (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinis Obat Tradisional, 2000).
Aktivitas antibakteri dari beberapa spesies kapulaga juga telah dibuktikan oleh
beberapa peneliti terutama terhadap beberapa spesies bakteri oral dan bakteri patogen
lain seperti Salmonella typhi, Escherichia coli, Klebsiella, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus. Hasilnya memperlihatkan adanya aktivitas antibakteri
terhadap uji bakteri tersebut.Selain itu, ada juga peneliti yang melakukan uji anti
Universitas Sumatera Utara
6
fungi minyak atsiri buah kapulaga terhadap beberapa jenis jamur dan terbukti bahwa
minyak atsiri buah kapulaga dapat menghambat pertumbuhan jamur yang diuji (Arora
& Kaur, 2007; Nachnani, 2008).
Dalam Undang Undang No 381 tahun 2007 tentang Kebijakan Obat
Tradisional, tercantum bahwa sumber daya alam bahan obat merupakan aset nasional
yang perlu terus digali, diteliti, dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya.
Indonesia sebagai suatu negara dengan wilayah yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati yang tinggi, potensi sumber data tumbuhan yang ada
merupakan aset dengan nilai keunggulannya untuk menjadi komoditi yang
kompetitif.
Mengacu kepada Undang Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal
1 ayat 9 bahwa obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari
bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan
dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Pasal 47 ayat 3
menyatakan bahwa pengobatan tradisional yang sudah dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya perlu terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk
digunakan
dalam
masyarakat.Peraturan
mewujudkan
derajat
Menteri
No.760/MENKES/PER/IX/1992
kesehatan
Kesehatan
tentang
Fitofarmaka
yang
optimal
Republik
menyebutkan
bagi
Indonesia
bahwa
Fitofarmaka adalah sediaan obat tradisional yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya, bahan bakunya terdiri atas simplisia atau sediaan galenik yang memenuhi
persyaratan yang berlaku.Untuk penjabaran lebih lanjut dari peraturan ini telah
diterbitkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No
HK.00.05.4.2411 tanggal 17 Mei 2004, tentang Pokok Pengelompokan dan
Penandaan obat alam Indonesia. Dalam keputusan Kepala Badan POM yang
dimaksud Obat Bahan Alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di
Indonesia berdasar cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
pembuktian khasiat (Depkes, 2000).
Universitas Sumatera Utara
7
Penelitian dan pengembangan obat tradisional bertujuan untuk menunjang
pembangunan dibidang obat tradisional yang bermutu tinggi dan aman serta memiliki
khasiat nyata yang teruji secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas untuk
pengobatan sendiri oleh masyarakat maupun digunakan dalam pelayanan kesehatan
formal.Beberapa hasil penelitian obat tradisional ataupun tanaman obat telah dibuat
dan diproduksi serta digunakan pada fasilitas pelayanan tradisional.Obat yang
digunakan pada fasilitas pelayanan kesehatan harus memenuhi persyaratan aman,
bermanfaat dan sudah terstandarisasi.Bukti persyaratan yang diperlukan harus
berdasarkan data yang sahih (Depkes, 2000).
Apa yang diuraikan di atas menjadi dasar tujuan dari penelitian ini yaitu untuk
menghasilkan sediaan obat kumur minyak atisiri buah kapulaga yang dapat
dimanfatkan dengan aman dan berguna bagi masyarakat untuk mengatasi halitosis.
Penelitian ini akan dilakukan di pondok pesantren Raudhatul Hasanah Medan dengan
pertimbangan akan lebih mudah untuk mengontrol perlakuan dan subjek akan
mendapat diet yang sama.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang sudah diuraikan, dapat dirumuskan
permasalahan yang dituangkan sebagai pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah minyak atsiri buah kapulaga mempunyai pengaruh terhadap
aktivitas antibakteri yang dominan menjadi penyebab halitosis?
2. Apakah minyak atsiri buah kapulaga dapat dibuat menjadi sediaan obat
kumur herbal terstandar?
3. Pada konsentrasi berapa minyak atsiri buah kapulaga mempunyai Kadar
Hambat Minimal & Kadar Bunuh Minimal terhadap bakteri yang dominan menjadi
penyebab halitosis?
4. Apakah sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang diuji secara
klinis pada subjek halitosis memberikan efek penurunan kadar gas H2S, CH3SH, dan
(CH3)2S?
Universitas Sumatera Utara
8
5. Apakah sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang diuji secara
klinis pada subjek halitosis memberikan efek penurunan kadar gas VSC dibandingkan
obat kumur Listerine® dan plasebo?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk menghasilkan sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga yang
dapat dimanfaatkan dengan aman, dan berguna bagi masyarakat untuk mengatasi
keluhan Halitosis.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mendapatkan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga terstandar.
2. Untuk membuktikan bahwa pada konsentrasi tertentu minyak atsiri buah
kapulaga dapat menghambat atau membunuh bakteri yang dominan menjadi
penyebab halitosis.
3. Untuk menjelaskan rerata penurunan kadar gas H2S, CH3SH dan
(CH3)2S.
4. Untuk
menjelaskan
rerata
penurunan
kadar
gas
VSC
dengan
menggunakan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga.
5. Untuk membandingkan efektifitas obat kumur minyak atsiri buah
kapulaga, obat kumur Listerine®, dan plasebo.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan baru bahwa
berkumur minyak atsiri buah kapulaga dengan konsentrasi tertentu dapat menurunkan
kadar gas VSC pada subjek halitosis.
Universitas Sumatera Utara
9
1.4.2 Manfaat Metodologis
Penelitian ini diharapkan merupakan suatu metode baru yang dapat
membuktikan efektifitas dari zat aktif pada minyak atsiri buah kapulaga sebagai obat
kumur dari bahan tradisional yang mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan obat
kumur kimiawi dalam menurunkan kadar gas VSC pada subjek halitosis.
1.4.3 Manfaat Aplikatif
1. Bagi masyarakat khususnya penderita halitosis, untuk membantu
mengurangi keluhan bau mulut dengan memakai obat kumur yang berasal dari bahan
alami dengan hasil yang efektif dan aman digunakan.Bagi para petani dapat
menambah lahan baru sebagai sumber penghasilan dengan membudidayakan tanaman
kapulaga ini.
2. Bagi perguruan tinggi diharapkan dapat terus mengembangkan penelitian
tentang manfaat bahan-bahan alami untuk meningkatkan kesehatan gigi dan mulut
khususnya di bidang Ilmu Kesehatan Gigi Masyarakat.
3. Bagi pengelola program dapat dijadikan masukan untuk program
penyuluhan tentang manfaat bahan alami sebagai pilihan terapi mengatasi masalah
bau mulut dipandang dari segi aman dan murah.
1.5 Orisinalitas
Sejauh ini belum ada penelitian yang dapat membuktikan khasiat obat kumur
dari bahan alami untuk mengatasi masalah halitosis.Brotosoetarno (2009), meneliti
tentang aktivitas antimikroba minyak atsiri buah kapulaga lokal (Amomum
cardamomum L) dalam upaya mengatasi bau mulut (halitosis), namun penelitian ini
hanya sebatas penelitian eksperimental laboratorik yaitu uji bakteriologis dan uji
toksisitas
akut.Penelitian
Brotosoetarno
ini
memiliki
beberapa
kelemahan.Diantaranya, bahan buah kapulaga tidak melalui seleksi yang benar,
karena diperoleh dari pasar tradisional yang tidak diketahui asal usul tanaman
Universitas Sumatera Utara
10
tersebut.Kemudian tidak dijelaskan apakah tanaman kapulaga tersebut terpapar
pestisida atau tidak sedangkan persyaratan sebuah penelitian bahan obat tradisional
adalah harus mengikuti parameter standar mutu yang mempunyai identitas farmasi
yang jelas (Pedoman Pelaksanaan Uji Klinis Obat Tradisional, 2000).Selain
penelitian tersebut juga masih terbatas pada hewan coba.Agar suatu bahan tanaman
dapat digunakan di masyarakat luas untuk pengobatan penyakit, maka penelitian
perlu dilakukan sampai tahap uji klinis. Oleh karena itu, penelitian uji klinis tentang
efektifitas berkumur minyak atsiri buah kapulaga (Amomum cardamomum L) dalam
menurunkan kadar gas VSC pada subjek halitosis masih diperlukan dan masih
bersifat orisinal.
1.6 Potensi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
1. Ditemukannya sediaan obat kumur dari herbal yang efektif dan aman untuk
digunakan mengatasi masalah halitosis.
2. Sediaan obat kumur minyak atsiri buah kapulaga 0,5% dapat membunuh
Porphyromonas gingivalis bakteri yang dominan penyebab halitosis.
Universitas Sumatera Utara