Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan)

13

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan membawa sejumlah hak dasar
yang disebut sebagai Hak Asasi Manusia. Jika ada hak yang bersifat fundamental,
tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, keutuhan jasmani (hak atas rasa aman),
dan kebebasan. Ketiga hak ini pada dasarnya merupakan hak dasar yang tidak
dapat dihilangkan dan dikurangi dari setiap manusia dalam keadaan apapun dan
oleh siapapun. 1
Hak atas keamanan pribadi merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh
saksi dan korban dalam Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
perubahan atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 (selanjutnya disebut UU
Perlindungan Saksi dan Korban). Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara
pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan
menentukan kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki
kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim. Hal ini
memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang
sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun

oleh masyarakat pemerhati hukum. Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya
diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana
saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil.
1

http://karyamusisiamatiran.blogspot.co.id/2013/06/Perlindungan Hukum Terhadap
Saksi-dan.html (diakses tanggal 21 Oktober 2015).

Universitas Sumatera Utara

14

Jika dihubungkan dengan Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut UU HAM, hak atas keamanan
pribadi merupakan salah satu kategori dalam hak atas rasa aman. Perlindungan
hak atas keamanan pribadi yang dibutuhkan oleh saksi dan korban dalam proses
peradilan pidana adalah rasa aman yang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30
UU HAM pada saat memberikan kesaksiannya selama proses peradilan. Pada
dasarnya hak atas rasa aman memang berkaitan dengan tidak adanya gangguan
dan rasa takut. Singkatnya, hak tersebut berkaitan erat dengan ketentraman dan

ketenangan yang selayaknya yang dimiliki oleh setiap manusia dalam menjalani
kehidupannya dalam masyarakat.
Perlindungan hukum merupakan suatu bentuk pelayanan yang wajib
diberikan oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman kepada setiap warga
masyarakat. Berdasarkan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya UUD 1945) bahwa negara bertanggungjawab atas
perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan suatu hal yang sangat penting,
seperti diuraikan dalam Pasal 28I ayat (4) Undang - Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi : “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah".
Penambahan Pasal 28G, yang masuk dalam bab tentang HAM memang
dilakukan untuk penyelarasan, karena sebelumnya UU HAM telah mencantumkan
berbagai hak asasi manusia, yang salah satunya adalah hak untuk tidak
diganggung tempat kediamannya (Pasal 31). Penjelasan Pasal 31 UU HAM

Universitas Sumatera Utara

15


menyatakan bahwa kata “tidak boleh diganggu” berkaitan dengan kehidupan
pribadi di dalam tempat kediamannya. Jadi, penjelasan pasal ini menyiratkan
bahwa ruang lingkup hak ini sangat sempit. Sebaliknya, ketika kita membaca
rumusan Pasal 31 akan diperoleh kesimpulan yang berbeda, yaitu fokus perhatian
tidak semata-mata tertuju pada kehidupan pribadi, tetapi pada tempat kediaman
dan rasa aman yang harus dimiliki oleh setiap orang. Sebagai salah satu contoh
sebagai salah satu ketentuan hukum yang memberikan perlindungan pada hak ini
adalah Pasal 167 KUHP yang menjelaskan secara tegas mengancam dengan
hukuman penjara selama - lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp. 4500,-, bila orang tanpa hak masuk dengan paksa kedalam rumah, ruang
tertutup dan tidak segera pergi ketika diminta pergi oleh yang berhak atau atas
nama orang yang berhak. Bahkan, hukuman untuk kejahatan yang biasa disebut
dengan pelanggaran hak kebebasan rumah tangga (huisvredebruik) ini dapat
diperberat menjadi pidana penjara satu tahun empat bulan bila pelaku
mengeluarkan

ancaman atau

memakai


daya

upaya

yang

menakutkan.

Ketentuan Pasal 167 KUHP ini sejalan dengan makna ketentuan Pasal 31 ayat (2)
UU HAM, yang hanya memperbolehkan seseorang memasuki kediaman atau
rumah tanpa seizin orang yang mendiaminya bila telah ditentukan oleh undang undang.
Apabila dikaji dari fungsi atau tujuan Hukum Pidana, fungsi dari Hukum
Pidana berkaitan dengan fungsi hukum pada umumnya yang merupakan bagian
dari hukum pada umumnya yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
menyelenggarakan tata tertib dalam masyarakat. Sedangkan dari tujuannya untuk

Universitas Sumatera Utara

16


menegakkan tertib hukum, melindungi masyarakat serta memberikan rasa takut
untuk melakukan perbuatan pidana dan mendidik orang yang melakukan
perbuatan pidana sehingga menjadi orang yang lebih baik lagi. Untuk itu
perlindungan hukum terhadap setiap masyarakat sangat penting dan apabila
perlindungan hukum ditiadakan maka kemungkinan dari perbuatan yang dilarang
akan menghambat atau menghalangi cita - cita bangsa Indonesia, yaitu masyarakat
adil dan makmur, sehingga akan menjadi bahaya bagi keselamatan masyarakat.
Pandangan di atas sangatlah wajar apabila beranjak dari pandangan bahwa
hukum pidana adalah hukum sanksi, sebab dengan bertumpu pada sanksi itulah
hukum pidana difungsikan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan keadilan,
akan tetapi dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu
mengedepankan hak - hak tersangka/terdakwa, sementara hak - hak korban
diabaikan.
Pembunuhan berencana, diatur dalam Pasal 340 KUHP yang rumusannya
sebagai berikut:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu
menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan rencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama 20 tahun.”


Universitas Sumatera Utara

17

Makna dari unsur-unsur pasal di atas tidak diterangkan secara jelas dalam
perundang-undangan. Mengenai unsur “dengan rencana lebih dahulu”, sejauh ini
yang menjadi perbincangan hanya terfokus pada tiga syarat yaitu: 2
1.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat suasana tidak
tergesa - gesa atau tiba - tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang
tinggi.

2.

Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksanaan kehendak. Dalam tenggang waktu itu masih tampak adanya
hubungan pengambilan putusan kehendak dengan pelaksanaan pembunuhan.
Ada waktu yang cukup untuk memikirkan cara dan alat yang digunakan
dalam pelaksanaannya.


3.

Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Maksudnya
suasana hati saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana yang
tergesa - gesa, amarah yang tinggi, rasa takut yang berlebihan dan lain
sebagainya
Keberadaan seorang saksi sangat mempengaruhi berjalannya sebuah

peradilan. Saksi akan menjadi jalan keluar untuk memecahkan masalah yang
sedang dihadapi. Dan seorang saksi juga merupakan seorang yang sentral karena
dari ia keterangan didapat. Dalam kenyataan seorang tersangka juga dapat
dijadikan seorang saksi, namun dengan syarat tersangka yang dijadikan saksi
bukan tersangka utama. 3 Jika dalam suatu pembunuhan berencana terdapat korban

2

. Adami Chazawi, 2010, Kejahatan terhadap Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo,
Jakarta, Halaman 82-84.
3

. Bakhri Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian dalam Praktik Peradilan Pidana, Total
Media, Yogyakarta, Halaman 60.

Universitas Sumatera Utara

18

yang bukan sasaran yang telah direncanakan lebih dahulu maka pembunuhan
terhadap korban tersebut tidak dapat dikatakan sebagai rangkaian dari
pembunuhan berencana. 4

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak
pidana pembunuhan berencana?
2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak
pidana pembunuhan berencana?
3. Bagaimanakah hambatan dan upaya pemberian perlindungan hukum
terhadap saksi dalam perkara tindak pidana pembunuhan berencana?


C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan penulisan
Suatu penulisan harus memiliki tujuan yang jelas dan pasti agar penelitian
tersebut memiliki arahan dan pedoman yang pasti. Tujuan penelitian pada
prinsipnya mengungkapkan apa yang hendak dicapai oleh si penulis
sebagai solusi atas permasalahan yang dihadapi.

5

4

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta, Halaman 189.
5
Soerjono Soekanto, 2006. Pengantar Penelitian Hukum, cetakan III, UI-Presss,
Jakarta, Halaman 29.

Universitas Sumatera Utara


19

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
a. Untuk mengetahui pengaturan perlindungan hukum terhadap saksi
dalam tindak pidana pembunuhan berencana.
b. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam
tindak pidana pembunuhan berencana.
c. Untuk mengetahui hambatan dan upaya pemberian perlindungan
hukum terhadap saksi dalam perkara tindak pidana pembunuhan
berencana.

2. Manfaat Penulisan
a. Manfaat teoritis
Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum
pidana, khususnya yang berkaitan dengan ketentuan hukum pidana
berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak
pidana pembunuhan berencana.
b. Manfaat praktik
Dapat


memberikan

manfaat

sebagai

bahan

referensi

demi

perkembangan ilmu pengetahuan, serta sebagai informasi dalam
melakukan penelitian, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan
perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana pembunuhan
berencana.

Universitas Sumatera Utara

20

D. Keaslian Penulisan
Sepanjang yang ditelusuri dan diketahui oleh penulis, di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang
Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan
Berencana belum pernah dilakukan sebelumnya.
Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di Perpustakaan Departemen Hukum
Pidana, dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari
permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat
dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil
pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori - teori hukum yang berlaku
maupun doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan
permasalahan yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
skripsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan
1. Peraturan perlindungan hukum
Perlindungan merupakan suatu aspek yang penting yang harus dimiliki
oleh setiap warga masyarakat. Dalam Pasal 1 butir 6 UU Perlindungan Saksi dan
Korban menyebutkan bahwa Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak
dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau

Universitas Sumatera Utara

21

Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan
ketentuan undang - undang ini. Perlindungan yang diberikan pada korban atau
saksi dapat diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau
pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif dari aparat penegak hukum,
aparat keamanan dan atau dari permohonan yang disampaikan oleh korban. 6
Dengan adanya perlindungan hukum dari Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban (LPSK), penjaminan atas rasa aman terhadap saksi dan korban pun
menjadi semakin kuat. Bentuk perlindungan hukum lain yang dapat diberikan
kepada korban adalah melalui pemberian kompensasi, retribusi, dan rehabilitasi
sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008
tentang Pemberian Kompensasi, Retribusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan
Korban.
2. Bentuk perlindungan hukum
Saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, rentan sekali
mendapatkan acaman yang membahayakan diri, keluarga maupun harta bendanya
yang bisa saja mempengaruhi keterangan di persidangan. Dengan adaya ancaman
yang ditujukan terhadap saksi dan korban, maka sudah sepatutnya saksi dan
korban mendapatakan perlindungan.
Bentuk perlindungan hukum terhadap saksi sebagaimana yang diatur
diluar KUHAP dalam Bab II Pasal 5 Undang – Undang RI Nomor 31 Tahun 2014
menyebutkan :

6

. Muhadar, 2010, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana,
PMN, Surabaya, Halaman 69.

Universitas Sumatera Utara

22

1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
2. Memberikan Keterangan tanpa Tekanan
3. Mendapat Penerjemah
4. Bebas dari Pertanyaan yang Menjerat
5. Informasi Perkembangan Kasus
6. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
7. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan
8. Dirahasiakan identitasnya
9. Mendapat identitas baru
10. Mendapat tempat kediaman sementara
11. Mendapat tempat kediaman baru
12. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
13. Mendapat nasihat hukum
14. Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu
perlindungan berakhir
15. Mendapat pendampingan
3. Hambatan dan upaya perlindungan hukum
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai sebuah
lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dalam menjalankan tugas
dan kewenangannya menemui hambatan - hambatan yang dapat membuat kerja
dari LPSK tidak berjalan. Hambatan itu dapat dilihat dari masalah kewenangan

Universitas Sumatera Utara

23

dari LPSK yaitu minimnya mandate dan kewenangan dari LPSK, termasuk
kewenangan anggota LPSK dan tidak adanya aturan yang mengatur masalah
delegasi kewenangan antar pemimpin dan anggota lembaga. Selain itu LPSK juga
terbentur dengan masalah “conflict of interest” dengan instansi-instansi terkait
karena belum adanya pola kerjasama antar lembaga. Kemudian terkait dengan
permasalahan internal yang terjadi di tubuh LPSK ini dapat terjadi karena syarat
keanggotaan didasarkan pada keterwakilan (representasi) lembaga lainnya
sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemandirian dan keprofesionalan
LPSK.
Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem
peradilan pidana untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tujuan - tujuan tersebut,
dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku
tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam
jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai
kesejahteraan sosial. 7
Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan
pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum
kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani factor - faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

7

. M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal

aman 49.

Universitas Sumatera Utara

24

F. Metode Penelitian
Untuk memperoleh dan membahas data dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode - metode sebagai berikut:
1. Spesifikasi Penelitian
Peneliti menggunakan penelitian hukum normatif atau doktriner yang juga
disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena lebih banyak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan.
Pelaksanaan penelitian normatif pada penulisan ini menggunakan penelitian
terhadap sinkronisasi hukum yaitu penyelarasan dan penyerasian berbagai
peraturan berbagai peraturan perundang – undangan yang terkait dengan peraturan
perundang – undangan yang telah ada dan yang sedang disusun yang mengatur
suatu bidang tertentu.
2. Metode Pendekatan
Metode Pendekatan ini menggunakan jenis metode hukum normatif
dengan cara melalukan penelitian terhadap pustaka yang menggunakan sumber
data sekunder. Selain itu untuk mendukung data penulis juga menggunakan
metode penelitian hukum empiris. Metode ini dilakukan dengan melalukan
wawancara kepada advokat yang pernah menangani kasus yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap saksi.

8

3. Alat Pengumpul Data
Alat Pengumpul data ini terdiri dari 2 yaitu bahan data primer dan bahan
data sekunder. Penulisan skripsi ini menggunakan jenis data sekunder yaitu bahan
8

. Ediwarman, 2015, Monograf Metodologi Penelitian Hukum (Panduan Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi), PT. Sofmedia, Medan, Halaman 25.

Universitas Sumatera Utara

25

pustaka yang berisikan informasi tentang bahan primer. Sumber data sekunder ini
mencakup data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan
studi dokumentasi yang terdiri atas :
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan tulisan yang berisikan peraturan
perundangan yang terdiri dari :
1) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana.
2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana Nomor 8 Tahun 1981.
3) Undang – Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor
13 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang – Undang Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang diperoleh dari
buku, jurnal hukum, artikel, koran, seminar, dokumen yang diperoleh dari
internet serta literatur-literatur hukum pidana terutama yang berkaitan
dengan saksi dan juga makalah – makalah terdahulu yang berkaitan
dengan perlindungan hukum terhadap saksi dalam tindak pidana
pembunuhan berencana.
c. Bahan Hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep – konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain lain.
4. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan prosedur pengambilan dan
pengumpulan data melalui metode library research (studi kepustakaan) dan

Universitas Sumatera Utara

26

didukung oleh penelitian empiris. 9 Metode library research yaitu mempelajari
dan menganalisa secara sistematis buku-buku, surat kabar, internet, peraturan
perundang-undangan dan bahan - bahan lain yang berhubungan dengan materi
yang akan dibahas dalam skripsi ini.
5. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kualitatif yang bertujuan
bahwa peneliti ingin menganalisis memberikan gambaran atau pemaparan atas
subjek dan objek penelitian yang dilakukan. 10 Disini peneliti tidak melakukan
justifikasi terhadap penelitian tersebut.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini akan dianalisa dengan
menggunakan metode normatif kualitatif dengan logika induktif yaitu berfikir
dengan hal - hal yang khusus menuju hal yang umum dengan menggunakan
perangkat interpretasi dan kontruksi hukum yang bersifat komparatif, artinya
penelitian ini digolongkan sebagai penelitian normatif yang dilengkapi dengan
perbandingan penelitian data-data sekunder.

9

Ibid, Halaman 126.
Ibid, Halaman 127

10

Universitas Sumatera Utara