Perlindungan Hukum Terhadap Saksi Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana (Studi Pengadilan Negeri Medan) Chapter III V

BAB III
BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM
TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

Saksi dan korban dalam mengungkapkan suatu tindak pidana, rentan sekali
mendapatkan acaman yang membahayakan diri, keluarga maupun harta bendanya
yang bisa saja mempengaruhi keterangan di persidangan. Dengan adaya ancaman
yang ditujukan terhadap saksi dan korban, maka sudah sepatutnya saksi dan
korban mendapatakan perlindungan.
Perlindungan saksi dan korban ini bertujuan memberikan rasa aman
terhadap saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam setiap proses
peradilan pidana. Perlindungan yang diberikan kepada diri saksi dan korban
tentunya berdasarkan asas - asas yang sesuai dengan undang - undang
Perlindungan Saksi dan korban yaitu :
1.

Penghargaan atas harkat dan martabat manusia

2.

Rasa aman


3.

Keadilan

4.

Tidak diskriminatif

5.

Kepastian hukum
Asas - asas tersebut harus dapat tercermin dan dapat diadopsi dalam isi

pasal-pasal Undang-undang Perlindungan Saksi dan korban tersebut, asas-asas
tersebut harus dapat dipegang ataupun dipatuhi. Hakikat dari asas-asas tersbut
memberi penghargaan atas harkat dan martabar manusia, karena saksi dan korban

24
Universitas Sumatera Utara


25

pada hakikatnya pun memiliki harkat dan martabat yang harus dilindungi dan
diperhatikan.
Pada prinsipnya perlindungan akan hak - hak seseorang sebagai saksi telah
diakomodasikan dalam KUHAP, tetapi mengingat jenis tindak pidana yang
semakin beragam dan menimbulkan efek atau akibat bagi keselamatan jiwa dari
saksi/korban atau keluarganya, sehingga ada hal - hal khusus yang diatur .
Perlindungan khusus bagi saksi atau pelapor diberikan Negara untuk
mengatasi kemungkinan ancaman yang sangat besar. Saksi pelapor tindak pidana
memerlukan perlindungan khusus karena tidak semuanya menghadapi ancaman.
Perlindungan khusus menurut Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat dalam Pasal 5. Perlindungan
khusus ini meliputi juga perlindungan terhadap harta kekayaan si pelapor bahkan
keluarganya. Perlindungan saksi yang diatur diluar KUHAP sebagaimana diatur
dalam Bab II Pasal 5 Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 2014
menyebutkan : 11
1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian

yang akan, sedang, atau telah diberikannya
KUHAP, tidak ada satu pasal pun yang secara khusus ditujukan untuk
memberikan perlindungan atas keselamatan dan keamanan saksi dan keluarganya.
Akan tetapi, beberapa pasal yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
terhadap keselamatan orang dapat didayagunakan (potensial) juga untuk
11

Undang - Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
terdapat dalam Pasal 5 ayat 1

Universitas Sumatera Utara

26

melindungi saksi, walaupun dengan ancaman pidana yang sama dengan apabila
ditujukan terhadap orang lain yang bukan saksi perkara pidana. Pasal - pasal
potensial dimaksud antara lain:
a. Pasal 170 KUHP, yang berbunyi:
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama
menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
a. Dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja
menghancurkan

barang

atau

jika

kekerasan

yang

digunakan

mengakibatkan luka - luka;
b. Dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan
mengakibatkan luka berat;

c. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan
mengakibatkan maut.
Konteks perlindungan terhadap saksi dalam pasal ini, baik secara preventif
maupun represif, dapat melindungi keselamatan saksi dan barang - barang
miliknya dari kejahatan kekerasan yang dilakukan dengan menggunakan tenaga
bersama, baik berkaitan dengan kesaksian yang akan, telah, atau mungkin akan
diberikannya atas suatu tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

27

2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan
dan dukungan keamanan
Keberadaan saksi dalam suatu proses persidangan sangatlah penting sebagai
salah satu pertimbangan dalam membantu proses perkara yang sedang berjalan di
persidangan. Keberadaan saksi tersebut menimbulkan tekanan tersendiri yang
mengakibatkan keterangan saksi memerlukan perlindungan dan dukungan
keamanan hingga proses perkara putus di persidangan. Keterangan saksi menjadi
salah satu cara majelis hakim, jaksa penuntut umum melihat dan menimbang serta

hakim yang memutuskan dapat bersikap adil dan bijaksana.
3. Memberikan Keterangan tanpa Tekanan
Salah satu aspek perlindungan hukum warga negara Indonesia adalah
kebebasan beraktifitas dan berbicara sesuai fakta kebenaran atas sesuatu serta
bertanggungjawab dihadapan hukum, sehingga hak dan kewajiban asasi manusia
dalam hidup dan kehidupan di muka bumi ini merupakan anugrah Tuhan Yang
Maha Esa, yang perwujudannya tidak dapat dihilangkan oleh dan sesama umat
manusia. 12 Tindak pidana kemanusiaan adalah seperangkat ketentuan peraturan
yang bertujuan untuk memberikan sanksi akibat tindakan hukum seseorang yang
terbukti telah menghapus dan mengurangi kepastian perlindungan serta penegakan
hak asasi manusia. Salah satu jenis tindak pidana kemanusiaan adalah
diskriminasi dan ancaman keamanan fisik maupun psykhologi atas diri dan
keluarga serta harta benda termasuk penghasilan terhadap Saksi dan Korban yang
terkait dengan keterangan yang sedang akan atau telah diberikan dalam
12

http://asa-keadilan.blogspot.co.id/2014/12/tindak-pidana-bidang-perlindungansaksi.html (diakses tanggal 13 Oktober 2015)

Universitas Sumatera Utara


28

pengungkapan kebenaran kasus pidana atau dalam proses Peradilan Pidana,
sebagaimana diatur dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 43, Undang - Undang
Nomor : 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Ketentuan
mana merupakan ketentuan yang bersifat operatif dan implementatif serta
korelatif kaitannya dengan Undang - Undang Nomor : 39 Tahun 1999 Tentang
Hak Asasi Manusia serta Undang - Undang lainnya yang meliputi tindak pidana
diskriminasi ras dan etnis serta tindak pidana perdagangan orang; sistim peradilan
pidana anak ;
Perlindungan dimaksud adalah segala upaya pemenuhan hak dan
pemberian Bantuan untuk memberikan rasa Aman kepada Saksi dan atau Korban,
yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (Pasal 1
angka 8, Undang - Undang Tentang Perlindungan Saksi dan Korban).
4. Mendapat Penerjemah
Pasal 167 RUU KUHAP dinyatakan bahwa Jika terdakwa atau saksi tidak
memahami atau tidak bisa berbahasa Indonesia, hakim ketua sidang menunjuk
seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan menerjemahkan dengan
benar semua yang harus diterjemahkan. Dengan catatan bahwa Dalam hal jika
seseorang tidak boleh menjadi saksi dalam suatu perkara, maka yang

bersangkutan dilarang menjadi juru bahasa dalam perkara itu.
Pasal 168 RUU KUHAP juga dinyatakan bahwa jika terdakwa atau saksi
bisu, tuli, atau tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat orang yang
pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi tersebut sebagai penerjemah. Namun
Jika terdakwa atau saksi bisu atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang

Universitas Sumatera Utara

29

menyampaikan semua pertanyaan atau teguran secara tertulis kepada terdakwa
atau saksi tersebut untuk diperintahkan menulis jawabannya dan selanjutnya
semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan.
Hak penerjemahan bagi saksi yang diatur diatas masih sangat terbatas,
RUU KUHAP hanya menegaskan bahwa Hak penerjemah bagi saksi korban
hanya di berikan terbatas dalam ruang - ruang persidangan. Padahal keterangan
saksi korban juga penting dalam tahap penyidikan atau pra penuntutan. Dalam
banyak kasus justru dalam tahap-tahap tersebut akses saksi korban atas
penerjemahan yang layak tidak diberikan oleh aparat penegak hukum. Demikian
pula akses saksi korban dalam Pasal 168 RUU KUHAP yang penekanannya

masih di ruang persidangan. Oleh karena itu rancangan KUHAP harus
memperluas akses penerjemah ini tidak hanya dalam ruang lingkup persidangan
namun juga dalam lingkup penyidikan atau pra penuntutan
5. Bebas dari Pertanyaan yang Menjerat
Pasal 155 RUU KUHAP dinyatakan bahwa Pertanyaan yang bersifat
menjerat dilarang diajukan kepada saksi atau ahli, atau kepada terdakwa. Dalam
penjelasan Pasal 155RUU KUHAP diterangkan bahwa yang dimaksud dengan
“pertanyaan yang bersifat menjerat” misalnya hakim dalam salah satu pertanyaan
menyebutkan suatu tindak pidana yang tidak diakui telah dilakukan oleh terdakwa
atau tidak dinyatakan oleh saksi, tetapi dianggap seolah - olah diakui atau
dinyatakan. Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan kepada
terdakwa ataupun kepada saksi.

Universitas Sumatera Utara

30

Ketentuan ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan terdakwa atau saksi
harus diberikan secara bebas di semua tingkat pemeriksaan. Dalam pemeriksaan
di sidang pengadilan hakim, penuntut umum, atau penasihat hukum tidak boleh

melakukan tekanan dengan cara apapun, misalnya dengan mengancam yang
mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan keterangan hal yang berbeda dari
hal yang dapat dianggap sebagai pernyataan pemikirannya yang bebas.
6. Informasi Perkembangan Kasus
Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan
proses penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami oleh korban,
pemberian informasi ini memegang peran yang sangat penting dalam upaya
menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian karena melalui informasi
inilah diharapkan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja kepolisian dapat
berjalan dengan baik.
7. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan
Seorang saksi dalam memberikan kesaksian harus mendapat informasi
mengenai putusan pengadilan.
8. Mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan
Pemberian informasi terhadap terpidana apabila warga binaan akan segera
bebas terhadap perkara yang sedang dijalani maka hak dari warga binaan
mengajukan Pembebasan bersyarat (PB) sebagai salah satu cara pengajuan masa
tahanan, sehingga warga binaan memerlukan penjamin sebagai salah satu syarat
dalam pengajuan Pembebasan bersyarat bilamana warga binaan tersebut
melakukan kembali tindak pidana di luar Lapas.


Universitas Sumatera Utara

31

9. Dirahasiakan identitasnya
Saksi dalam memberikan kesaksiannya identitasnya harus dirahasiakan
agar dalam memberikan kesaksiannya tidak mendapat tekanan dari pihak
manapun.
10. Mendapat identitas baru
Hak untuk mendapatkan identitas baru bagi saksi dan korban yang berada
dalam perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih sulit
direalisasikan. Meskipun hal ini diatur jelas dalam Pasal 5 Undang - Undang (UU)
No 31 Tahun 2014 Atas Perubahan UU No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, pengubahan identitas bukanlah perkara mudah, mengingat
budaya yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia.
11. Mendapat tempat kediaman sementara
Apabila keterangan saksi dirasa penting dalam membantu proses
persidangan maka saksi itu sendiri dapat mengajukan bantuan selama proses
persidangan tersebut berlangsung sebagai salah satu cara membatu Jaksa Penuntut
Umum dan Majelis Hakim dalam memutus perkara.
12. Mendapat tempat kediaman baru
Saat ini sekalipun LPSK telah ada, namun dalam praktiknya tidaklah
mudah. Memasukkan saksi atau saksi korban ke dalam program perlindungan
saksi sangat banyak kendalanya, hal ini dikarenakan masalah kesulitan kesediaan
dari saksi atau dari saksi korban untuk masuk ikut program perlindungan saksi
dari LPSK. Ketika seorang saksi atau korban menyatakan diri ikut masuk program
perlindungan, saksi/korban harus sepakat tentang persyaratan standard yang telah

Universitas Sumatera Utara

32

ditentapkan oleh Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam upaya
perlindungan saksi LPSK tersebut, saksi/korban harus bersedia memutuskan
hubungan dengan setiap orang yang dikenalnya jika keadaan menghendaki. Hal
ini sejalan dengan maksud di dalam pasal 30 ayat (2) huruf c UU No.31 Tahun
2014, dimana saksi atau korban yang berada dalam program perlindungan akan
dipindahkan ke tempat persembunyian yang benar-benar aman dan akan
memutuskan hubungan dengan siapapun sehingga tidak ada orang lain yang
mengenalnya, meskipun keluarga inti (suami, isteri dan anaknya) dimungkinkan
diikutsertakan dalam persembunyian. Pemutusan hubungan dengan orang lain,
sangat dimungkinkan bahkan termasuk memberikan saksi/korban beserta
keluarganya mendapat kehidupan baru dengan mengubah indentitas dan tempat
tinggal yang baru setelah mereka bersaksi di persidangan
Pemberian indentitas baru ini dimaksudkan agar pelaku kehilangan jejak
untuk tidak dapat mencelakakan saksi atau saksi korban pada saat / waktu pelaku
bebas dari hukuman penjara. Mengingat risiko atau konsekuensi yang lumayan
besar, maka sekalipun seorang saksi atau saksi korban telah menyatakan bersedia
masuk program perlindungan saksi, belum tentu setiap saksi atau saksi korban
bersedia untuk mengorbankan kehidupan yang sebesar itu, sehingga UU No.31
tahun 2014 dan lahirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
praktiknya akan mendapatkan kesulitan bahkan dilema dari para saksi dan/atau
saksi korban itu sendiri yang membuat LPSK kurang dapat menjalankan program
perlindungan saksi sesuai dengan maksud dan tujuan UU No.31 Tahun 2014
tersebut. Belum lagi hambatan yang datang dari kurangnya anggaran/dana

Universitas Sumatera Utara

33

perlindungan saksi yang tersedia, serta Sumber Daya Manusia yang ada di LPSK
yang karena lembaga tersebut masih baru tentu “belum profesional” dalam
menangani perlindungan saksi. Masalah lain yang mungkin dihadapi oleh LPSK
adalah menyangkut tekanan psikologis yang dirasakan saksi/korban yang ada
dalam perlindungannya sebagai akibat diputusnya hubungan saksi dengan pihak
lain, termasuk keluarga. Dan masih banyak lagi potensi yang menjadi kendala
bagi LPSK.
13. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
Restitusi dan Kompensasi merupakan yang istilah dalam penggunaannya
sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun, menurut Stephen Schafer,
perbedaan antara kedua istilah itu adalah kompensasi lebih bersifat keperdataan.
Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau
merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negera (the responsible
of society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan
pengadilan pidana dan dibayar oleh terpidana (the responsibility of the offender).
14. Mendapat nasihat hukum.
Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang
Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun
orang yang mewakilinya kepada LPSK.
a. LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau
Korban.
b. Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan
jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

34

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau
Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam
waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.
15. Memperoleh bantuan hidup sementara sampai balas waktu perlindungan
berakhir
Jika saksi dianggap sangat berkopeten dan keterangan saksi sangat
diperlukan maka saksi yang diajukan dalam proses persidangan tersebut harus lah
mendapatkan perlindungan dari awal persidang hingga perkara yang memerlukan
keterangan saksi putus dan memiliki kekuatan hukum tetap.
16. Mendapat pendampingan
Pendampingan dilakukan antara lain melalui pemantauan dan pengawasan
terhadap pemenuhan hak Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan. 13

13

. Ibid, Pasal 5 ayat 1

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HAMBATAN DAN UPAYA PEMBERIAN PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP SAKSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA
PEMBUNUHAN BERENCANA

A. Hambatan dalam mendapatkan Perlindungan Hukum Bagi Saksi
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban mencangkup seluruh hak - hak dan perlindungan saksi bagi korban
kejahatan. Penerapan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tidak terlepas dari
hambatan – hambatan karena disatu sisi memberikan perlindungan dan hak-hak
kepada saksi dan korban tetapi disisi lain kurang memperhatikan proses
pelaksanaan dari perlindungan saksi dan korban tersebut, seperti pengurangan
hukuman dan mendapat penghargaan. Adapun hambatan dalam mendapatkan
perlindungan hukum antara lain :
1. Internal
Perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta (Whistleblower) dalam
perkara Tindak Pidana pembunuhan pada paraktiknya di lapangan mendapat
banyak kendala dan hambatan. Tentunya kendala - kendala dan hambatan hambatan

tersebut

disebabkan

oleh

berbagai

macam

faktor,

sehingga

perlindungan hukum bagi saksi pengungkap fakta belum maksimal.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai lembaga yang
paling potensial dan mempunyai kewenangan untuk memberikan perlindungan
berdasarkan Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi

35
Universitas Sumatera Utara

36

dan Korban dinilai belum maksimal dan masih terdapat banyak kekurangan, baik
itu dari LPSK sendiri maupun undang-undang yang mengaturnya
Pembatasan tugas dan wewenang lembaga perlindungan saksi dan korban.
UU LPSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri. 14
Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang - undang ini, adalah sebuah
lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun. Oleh karena
idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak meletakkan
struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi pemerintah
(eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan, maupun
lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi
Pemberantasan Korupsi, dan komisi - komisi negara lainnya. UU PSK
menetapkan model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga yang telah
ada seperti : Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan pula bahwa lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries.
Pekerjaan LPSK tidak akan terlepas dari keberadaan beberapa lembaga
penegak hukum yang ada. Dari segi politik hal ini membutuhkan seni dan cara
penempatan yang baik agar bisa menempatkan diri pada posisi tersebut. Oleh
karena itu LPSK secara jelas harus membangun posisi kelembagaannya yang
berada diantara dua posisi kepentingan yakni kepentingan pertama yang
dimandatkan oleh UU PSK sebagai lembaga yang bersifat mandiri, dan memiliki
kepentingan kedua yakni untuk menjalankan program yang juga harus didukung

14

. Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan saksi dan

korban

Universitas Sumatera Utara

37

oleh instansi terkait yang dalam praktiknya nanti akan menimbulkan keterkaitan
kewenangan. 15
Faktor-faktor internal penghambat perlindungan hukum terhadap saksi
antara lain :
1. Definisi dan Status Saksi yang terbatas di dalam Undang - Undang Nomor 31
Tahun 2014
Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014 masih terdapat beberapa aturan
atau pasal-pasal yang belum memadai untuk memberikan jaminan perlindungan
kepada saksi. Diantaranya mengenai “definisi saksi” yang terbatas. Dalam
konteks “definisi saksi” yang terbatas tersebut, UU No. 31 Tahun 2014 juga (tidak
ada ditemukan/diatur) melupakan orang-orang yang memberikan bantuan kepada
aparat penegak hukum untuk keterangan dan membantu proses pemeriksaan
pidana yang berstatus ahli (orang yang memiliki keahlian khusus).
2. Inkonsistensi pasal - pasal di dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 2014
Di dalam UU No. 31 Tahun 2014 jangka waktu yang diberikan tidak
konsisten. Yang dimaksudkan dalam Perlindungan dalam UU ini adalah segala
upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga
lainnya sesuai dengan ketentuan undang - undang ini. Namun undang - undang ini
memberikan perlindungan pada saksi dan korban terbatas hanya dalam semua
tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Pasal ini akan
membatasi jangka waktu perlindungan karena pengertian tahap proses peradilan
15

. Supriyadi Widodo Edyono dkk, 2008, Pokok-Pokok Pikiran Penyusunan Cetak
Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, ICW, Jakarta, Halaman 5-8.

Universitas Sumatera Utara

38

pidana ini hanya mencakup tahap penyelidikan sampai dengan pemberian putusan
yang final, padahal dalam kondisi tertentu dimana kejahatan yang ada sifatnya
serius proteksi perlindungan saksi harus diberikan pula pada tahapan setelah
proses peradilan pidana. Lagi pula Pasal - pasal tersebut tidak konsisten bila
dikaitkan dengan Pasal 5 huruf f, huruf h, huruf i yang memberikan kepada saksi
hak untuk untuk mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, hak
mengetahui dalam hal terpidana di bebaskan dan hak identitas baru.
Hak - hak ini diberbagai negara dalam prakteknya justru diberikan setelah
kasus selesai di proses dalam peradilan pidana, bahkan untuk perlindungan
dengan cara penggantian identitas maupun relokasi yang permanen bagi saksi,
tahapan pemberiannya seharusnya menjangkau waktu yang sangat lama atau
diberikan secara permanen (seumur hidup). 16
3. Lembaga Perlindungan Saksi dan korban (LPSK) yang belum memiliki
perwakilan di daerah dan kurangnya sosialisasi
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) masih memiliki
beberapa kekurangan sehingga belum maksimal dalam menjalankan tugasnya.
Diantaranya yaitu lembaga tersebut yang hanya berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik Indonesia. LPSK tidak memiliki perwakilan di daerah - daerah, hal
tersebut menyulitkan LPSK dalam menjangkau daerah - daerah lain mengingat
wilayah Negara Indonesia yang sangat luas.

16

. Supriyadi Widodo Eddyono, 2006, Undang - Undang Perlindungan Saksi Belum
Progresif, Koalisi Perlindungan Saksi dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat,
Jakarta, Halaman 3.

Universitas Sumatera Utara

39

Pasal 29 UU nomor 31 Tahun 2014 menjelaskan permohonan
perlindungan ke LPSK di lakukan secara tertulis atas inisiatif sendiri maupun
pejabat yang berwenang. Pasal tersebut tentunya menyulitkan dan membebani
bagi para saksi yang berada di luar Jakarta, karena jarak yang terlampau jauh dan
terkadang saksi juga belum mengetahui mekanisme bersurat ke LPSK karena
kurangnya sosialisasi dan eksistensi dari lembaga tersebut. Tentang pihak yang
dapat meminta perlindungan juga menjadi kendala, selama ini permohonan hanya
dapat dilakukan atas inisiatif saksi itu sendiri maupun pejabat yang berwenang,
seharusnya permohonan dapat diminta oleh keluarga atau pihak yang mengenal
saksi.
4. Belum Adanya Mekanisme “Perlindungan Sementara bagi Saksi dalam
Kondisi Darurat
Berkaitan dengan tata cara pemberian perlindungan saksi, UU ini sengaja
tidak memasukkan mekanisme perlindungan sementara terhadap saksi dalam
kondisi mendesak seperti yang telah dipraktekkan lembaga perlindungan saksi di
berbagai Negara argumentasinya mungkin karena jangka waktu putusan
pemberian perlindungan oleh LPSK cukup pendek yakni 7 hari, maka tidak
diperlukan perlindungan yang mendesak. Mekanisme perlindungan mendesak ini
sangatlah penting, karena kadangkala dalam sebuah kasus, baik intimidasi dan
ancaman kadangkala diberikan secara cepat sesaat seorang saksi akan
memberikan informasi ke aparat hukum. Oleh karena itu diperlukan mekanisme

Universitas Sumatera Utara

40

yang cepat (diluar cara-cara biasa) untuk melindungi saksi - saksi dalam kondisi
seperti ini. 17
5. Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
UU PSK secara tegas menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang
mandiri. Kemandirian LPSK yang dimaksud oleh undang - undang ini, adalah
sebuah lembaga yang independen tanpa campur tangan dari pihak manapun. Oleh
karena idealnya sebuah lembaga yang mandiri inilah maka UU PSK tidak
meletakkan struktur LPSK berada di bawah institusi manapun, baik itu instansi
pemerintah (eksekutif) misalnya kepolisian, kejaksaan, departemen pemerintahan,
maupun lembaga independen lainnya seperti Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan komisi - komisi negara lainnya.
UU LPSK menetapkan model lembaga ini hampir sarna dengan berbagai lembaga
yang telah ada seperti : Komnas HAM, KPK, PPATK dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan pula bahwa lembaga tersebut merupakan sebuah state auxiliaries.
UU No 31 Tahun 2014 dalam ketentuan umumnya telah menyatakan
bahwa Lembaga Perlindungan Saksidan Korban, LPSK, adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak - hak lain
kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang - Undang.
Namun UU LPSK tidak merinci tugas dan kewenangan dari LPSK tersebut lebih
lanjut 18

17

. Supriyadi Widodo Eddyono, 2006, Undang - Undang Perlindungan Saksi Belum
Progresif, Koalisi Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta,
Halaman 20.
18
. Undang - Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 31 Tahun 2014
Pasal 12

Universitas Sumatera Utara

41

6. Ketidaksepahaman Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dengan Pihak Pihak Terkait
Pasal 36 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2006 berbunyi, “dalam melaksanakan
pemberian perlindungan dan bantuan LPSK dapat bekerjasama dengan instansi
terkait yang berwenang”. Hal ini menjelaskan bahwa masalah dalam melakukan
perlindungan saksi dapat terlaksana secara efektif jika ada kerjasama yang baik
antar instansi terkait yang berwenang antar instansi terkait yang berwenang. 19
dengan LPSK. Kerjasama ini diperlukan karena tidak mungkin LPSK berjalan
sendiri dalam melindungi saksi sementara beberapa pihak ada yang menginginkan
agar LPSK tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya.
Seiring berjalannya waktu LPSK dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan. Banyak hal yang terjadi
sehingga menimbulkan masalah di dalam segala kegiatan LPSK dalam
melindungi saksi terutama saksi dalam tindak pidana korupsi. Salah satu masalah
yang terjadi adalah timbulnya ketidaksepahaman antara LPSK dengan pihak pihak terkait yang berwenang. Hal ini tentu akan menghambat tugas paling utama
dari LPSK yaitu melindungi saksi dan atau korban.
Salah satu pihak yang sangat ingin agar LPSK tumpul adalah pihak dari
terdakwa itu sendiri. Ini dikarenakan terdakwalah yang sering melakukan
intimidasi dan teror kepada saksi agar tindak pidana yang dilakukan oleh nya
tidak dapat terbukti. Hal ini wajar mengingat sudah sangat sering kita melihat
bahwa terdakwa yang melakukan tindak pidana dibebaskan karena keterangan

19

. UU LPSK Nomor 31 Tahun 2014 Pasal 13

Universitas Sumatera Utara

42

saksi tidak memberatkan atau sama sekali sengaja sudah diatur oleh terdakwa itu
sendiri agar saksi bungkam di pengadilan setelah sebelumnya mengancam saksi.
7. Permasalahan Internal Kelembagaan LPSK
UU LPSK menyatakan LPSK terdiri atas, Pimpinan dan Anggota.20
Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota
yang dipilih dari dan oleh anggota LPSK Mengenai tata cara pemilihan Pimpinan
LPSK akan diatur dengan peraturan internal LPSK nantinya. Sedangkan masa
jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK ditetapkan oleh UU selama 5 (lima) tahun
dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sarna, hanya untuk 1
(satu) kali masa jabatan berikutnya. Undang - Undang, anggota dari LPSK terdiri
atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai
pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum
dan hak asasi manusia. UU LPSK juga telah menetapkan siapa saja (representasi)
yang berhak menjadi anggota dari lembaga ini yakni representasi dari : kepolisian,
kejaksaan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Komnas HAM, advokat,
akademisi atau lembaga swadaya masyarakat.
Hal ini diperkuat dengan Marthin Simangunsong, meskipun ada Undang –
Undang Perlindungan Saksi dan Korban belum dapat menampung keinginan dan
menjalankan Undang – Undang itu secara menyeluruh karena sampai saat ini
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban hanya terdapat di Jakarta sehingga di
daerah – daerah lain yang membutuhkan perlindungan kurang mendapatkan
perlindungan hukum. Apabila terhadap pembunuhan berencana, saksi takut

20

. Pasal 16 UU No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Universitas Sumatera Utara

43

mendapatkan ancaman dari si pelaku ataupun pihak terdekat dari si pelaku dalam
memberikan keterangan atas kesaksiannya. Bisa juga polisi menyudutkan saksi
sehingga saksi takut memberikan keterangannya di depan persidangan. Masalah
yang biasanya timbul terjadi yaitu adanya sumber anggaran dan sumber daya
manusia yang minim sehingga perlindungan hukum yang diatur dalam Undang –
Undang perlindungan saksi dan korban kurang efektif dalam penerapannya. 21

2. Eksternal
Pengertian saksi yang telah dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,
yang dimaksud dengan saksi adalah “orang yang dapat memberikan keterangan
guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Pasal 5 ayat (2) menyebutkan bahwa : “Hak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.” Pasal 5 ayat (2) hanya memberikan hak
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada saksi dan/atau korban tindak
pidana dalam kasus - kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Di sini yang
dimaksud dengan kasus - kasus tertentu sebagaimana penjelasan pasal demi pasal
antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak

21

. Hasil wawancara dengan Marthin Simangunsong, selaku Advokat 4 Juni 2016.

Universitas Sumatera Utara

44

pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi
dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Menurut Marthin Simangunsong, Hambatan eksternal dalam perlindungan
saksi disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1. Masih rendahnya tingkat pendidikan
2. Faktor ekonomi
3. Rasa takut bertemu dengan penyidik atau Polisi
4. Tidak mengetahui adanya undang - undang perlindungan saksi
5. Adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu22

B. Upaya Perlindungan Hukum terhadap saksi dalam Perkara Tindak
Pidana Pembunuhan Berencana
1. Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau criminal policy merupakan usaha
yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka terehadap kejahatan. Sebagai
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) kebijakan
penggulangan kejahatan harus mampu menempatkan setiap komponen sistem
hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif untuk menanggulangi kejahatan,
termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau memberikan
partisipasi yang aktif dalam penanggulangan .kejahatan. Oleh karena itu kebijakan

22

. Ibid.

Universitas Sumatera Utara

45

penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan
menyeluruh sebagai respon terhadap kejahatan. 23
Kebijakan penal atau sering disebut politik hukum pidana merupakan
upaya menentukan kearah mana pemberlakuan hukum pidana Indonesia masa
yang akan datang dengan melihat penegakannya saat ini. Hal ini berkaitan dengan
konseptualitas hukum pidana yang paling baik untuk diterapkan. 24 Usaha dan
kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya
tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, juga merupakan
bagian dari usaha penegakan hukum, khususnya penegakan hukum pidana.
Disamping itu, usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang undang hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha mencapai kesejahteraan
masyarakat (sosial walfare). Dua masalah sentral dalam kebijakan criminal
dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan
antara lain : 25
1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana,
2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar
Kebijakan kriminal tidak dapat dilepaskan sama sekali dari masalah nilai,
terlebih bagi bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan garis kebijakan
pembangunan nasionalnya bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia
23

. Adami Chazawi, 2000, Kejahatan Tubuh dan Nyawa, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Halaman 46.
24
. Mahmud Mulyadi, 2008, Criminal Policy, Pustaka Bangsa Perss, Medan,
Halaman 66.
25
. Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditiya
Bakti, Bandung, Halaman 21.

Universitas Sumatera Utara

46

seutuhnya. Penggunaan sanksi pidana, tidak hanya berarti bahwa pidana yang
dikenakan pada sipelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang
beradab, tetapi harus dapat membangkitkan kesadaran si pelanggar akan nilai nilai kemanusiaan dan nilai pergaulan hidup masyarakat.
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal atau hukum pidana
lebih menitik beratkan pada sifat refresif yaitu berupa pemberantasan atau
penumpasan sesudah kejahatan terjadi. Upaya ini dilakukan apabila preventif atau
upaya pencegahan belum mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan. Upaya
penal yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kekerasan baik dilaporkan
masyarakat maupun temuan kepolisian akan dilakukan tindakan tegas atau
penegakan hukum secara tuntas dengan tujuan agar para pelaku menjadi sadar dan
jera untuk berbuat kembali. Selain itu menjatuhkan hukuman yang maksimal yang
sesuai dengan ketentuan KUHPidana kepada pelaku pembunuhan. Kebijakan
hukum yang dapat dijatuhkan bagi para pelaku pembunuhan mengacu pada
KUHPidana yang disesuaikan dengan pasal-pasal pembunuhan terhadap jiwa
orang berdasarkan perbuatan pelaku dengan korban dalam pembuktian kasus
disesuaikan dengan pembuktian kasus sesuai dengan pembuktian KUHPidana.
Kebijakan hukum yang dapat dijatuhkan pada kasus pembunuhan yang
akan diterima adalah hukuman pidana maksimal berbagai pertimbangan, juga
mengaju pada Pasal 338 KUHPidana. Namun dalam penerapannya diharapkan
bersifat selektif, hati - hati dann berotientasi juga pada perlindungan/kepentingan
individu (pelaku tindak pidana).

Universitas Sumatera Utara

47

Penggunaan upaya hukum, termasuk hukum pidana, sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum. Disamping itu karena tujuannya adalah untuk mencapai
kesejateraan masyarakat pada umumnya, maka kebijakan penegakan hukum
itupun termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.26
Kebijakan dengan menggunakan sarana penal, yaitu menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materill, hukum pidana
formil maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui sistem
peradilan pidana untuk mencapai tujuan - tujuan tertentu. Tujuan - tujuan tersebut,
dalam jangka pendek adalah resosialisasi (memasyarakatkan kembali) pelaku
tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam
jangka panjang yang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai
kesejahteraan sosial. 27
Menurut Sudarto, kebijakan kriminal merupakan “suatu usaha yang
rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Kebijakan atau upaya
penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Tujuan dari politik kriminal adalah “perlindungan
masyarakat

untuk

mencapai

kesejahteraan

masyarakat”.

Dalam

upaya

26

. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori - teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung, Halaman 148.
27
. M. Hamdan, 1997, Politik Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Hal
aman 49.

Universitas Sumatera Utara

48

penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan dalam
arti, yaitu:
a. Ada keterpaduan (intergralitas) antara politik kriminal dan politik sosial;
b. Ada keterpaduan (intergralitas) antara upaya penanggulangan kejahatan
dengan “penal” dan “non penal”
Kebijakan hukum pidana pada hakikatnya merupakan usaha untuk
mewujudkan peraturan perundang - undangan pidana agar sesuai dengan keadaan
pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius constituendum).
Namun, kebijakan hukum pidana identik dengan penal reform dalam arti sempit,
karena sebagai suatu system hukum pidana terdiri dari budaya (cultural), stuktur
(structur), dan substansi (substansive) hukum. Karena undang - undang
merupakan bagian dari substansi hukum, pembaharuan hukum pidana, disamping
memperbaharui perundang - undangan juga mencakup pembaharuan ide dasar dan
ilmu hukum pidana.
Menurut Marc Ancel, penal policy merupakan ilmu sekaligus seni yang
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik. Peraturan hukum positif diartikan sebagai peraturan perundang - undangan
hukum pidana. Usaha dan kebijakan membuat peraturan hukum pidana yang baik,
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana bagian dari politik kriminal. Dengan
kata lain, dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana identik dengan

Universitas Sumatera Utara

49

pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana. 28 Dalam
rangka melindungi dan menciptakan kesejahteraan masyarakat, hukum pidana
mempunyai posisi sentral untuk menyelesaikan konflik (kejahatan) yang terjadi.
Masyarakat Indonesia yang heterogen, baik horizontal (suku, agama, ras) maupun
vertical (perbedaan kekayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi), pada hakikatnya
dapat menjadi faktor kriminogen, terutama jika terjadi ketidakadilan dan
diskriminasi dalam menangani masyarakat. Dengan demikian, hukum pidana
menjadi penting perannya, sekarang dan di masa mendatang, bagi masyarakat
sebagai control social untuk mencegah timbulnya disorder, khususnya sebagai
pengendali kejahatan.
Kebijakan penal dalam UU PSK ini dirumuskan dalam Bab V mulai Pasal
37 sampai Pasal 43. Kebijakan penal dalam UU PSK ini dimulai dengan Pasal 37
(1) yang mengancam pidana kepada setiap orang yang memaksakan kehendaknya
baik menggunakan kekerasan maupun cara - cara tertentu, yang menyebabkan
Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d, (a. hak memperoleh perlindungan atas
keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang
berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; d. hak
mendapat penerjemah) sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan
kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
28

. Barda Nawawi Arief, 2008, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyususnan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, Halaman 1.

Universitas Sumatera Utara

50

banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pada ayat (2)-nya disebutkan,
apabila pemaksaan kehendak itu menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau
Korban, maka pelaku diancam dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun
dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00
(delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Sementara itu, apabila pemaksaan kehendak itu mengakibatkan matinya
Saksi dan/atau Korban (ayat 3), maka pelaku dipidana dengan pidana penjara
paling singkat
5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp.
80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Sementara itu, Pasal 38, mengancam setiap orang yang menghalang halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh
perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a
dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Tujuan dari Pasal 38 ini memiliki kemiripan dengan Pasal 37, akan tetapi
tidak harus ada unsur akibat pada saksi dan/atau korban, baik berupa luka, luka
berat, atau kematian, sehingga Pasal 38 ini relatif lebih fleksibel dan berjangkauan
luas. Untuk menjamin supaya saksi dan/atau korban atau keluarganya kehilangan

Universitas Sumatera Utara

51

pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang
benar dalam proses peradilan, maka Pasal 39 mengancam pidana setiap orang
yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 80.000.000,00 (delapan puluh juta
rupiah) dan palingbanyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Ketentuan yang demikian diharapkan akan menjadi warning, supaya
seseorang tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan hilangnya
pekerjaan saksi dan/atau korban atau keluarganya karena memberikan kesaksian
perkara pidana, walaupun ini sangat potensial dilakukan oleh mereka yang punya
posisi kuat dalam lingkungan kerja atau masyarakat (power full). Dengan
demikian saksi dan/atau korban tidak akan khawatir kehilangan pekerjaan karena
akan, sedang, atau telah berkontribusi dalam menegakkan hukum pidana dengan
menjadi bersedia menjadi saksi. Untuk memberikan perlindungan bagi saksi
dan/atau korban dari kemungkinan dirugikan atau dikuranginya hak-hak saksi, hal
mana justru sangat potensial dilakukan oleh aparat penegak hukum, maka Pasal
40 mengancam setiap orang yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya
hak - hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6,
atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang
benar dalam proses peradilan, di pidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Salah satu bentuk perlindungan kepada saksi dan/korban

Universitas Sumatera Utara

52

adalah dengan

merahasiakan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang

dalam perlindungan LPSK.
Diketahuinya keberadaan saksi dan/atau korban yang dalam status
perlindungan dapat membahayakan keselamatan saksi dan/atau korban. Untuk
menjamin supaya orang tidak membuka rahasia keberadaan saksi dan/atau korban,
maka dirumuskanlah Pasal 41 yang mengancam pidana bagi setiap orang yang
memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam
suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah). Ketentuan pidana dalam Pasal 42 UU PSK ini juga
mengenal pemberatan pidana dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 di atas dilakukan oleh pejabat
publik, maka ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu pertiga). Pasal 43
UU PSK juga mengatur bagaimana apabila pidana denda yang tidak mampu
dibayar oleh terpidana. Di mana apabila terpidana tidak mampu membayar pidana
denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal
41, dan Pasal 42 maka pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun (ayat (1)). Pidana penjara
sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dicantumkan dalam amar putusan hakim (ayat (2)).

Universitas Sumatera Utara

53

Apabila mencermati ketentuan pidana yang terdapat dalam pasal - pasal di
atas, maka diketahui bahwa kebijakan penal yang dianut, dalam beberapa hal,
mengatur secara spesifik atau menyimpang (lex specialist) dari ketentuan umum
yang dianut oleh KUHP. Lex specialist dimaksud di antaranya adalah berkaitan
dengan sistem ancaman pidananya. UU PSK menganut sistem ancaman pidana
minimum khusus dan maksimum khusus, artinya tindak pidana yang dirumuskan
dalam pasal - pasal itu masing-masing mengancam pidana minimum dan
maksimum yang secara khusus bisa dijatuhkan hakim terhadap terdakwa yang
terbukti bersalah, baik untuk ancaman pidana penjara maupun pidana dendanya.
Sementara KUHP menganut sistem ancaman pidana maksimum khusus, artinya
KUHP membuat batas atas / maksimum ancaman pidana terhadap masing masing tindak pidana yang dapat dijatuhkan terhadap terdakwa.
Menurut Marthin Simangunsong, pemerintah seharusnya menyiapkan
anggaran dan sumber daya manusia ke tiap - tiap daerah sebagai perwakilan dari
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban agar tidak terjadi kendala dalam
mendapatkan perlindungan hukum terhadap saksi, sehingga Undang - Undang
Perlindungan Saksi dapat terealisasi dengan baik.

2.

29

Non Penal
Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan

pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum
kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor-faktor

29

. Hasil wawancara dengan Marthin Simangunsong, selaku Advokat, 4 Juni 2016.

Universitas Sumatera Utara

54

kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain
berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara langsung
atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan global
maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya
politik criminal. Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk
manjadikan masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang
sehat secara materil dan imateril dari faktor-faktor krominoge. 30
Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Oleh karena itu, sasaran
utamanya adalah menangani faktor - faktor kondusif penyebab terjadinya
kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi - kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh
suburkan kejahatan.
Upaya non penal atau upaya diluar hukum pidana lebih menitik beratkan
pada sifat preventif yaitu pencegahan, penangkalan, pengendalian sebelum
kejahatan terjadi. Sasaran utama dari upaya ini adalah menangani faktor - faktor
kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor - faktor kodusif antara lain
berpudat pada masalah - masalah atau kondisi - kondisi sosial yang secara
langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan
kejahatan. Dengan demikian, dilihat dari sudut politik criminal secara makro dan

30

. Ibid, Halaman 49.

Universitas Sumatera Utara

55

global maka non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan
upaya politik kriminal.
Upaya non penal yang paling strategis adalah upaya untuk manjadikan
masyarakat sebagai lingkungan sosial dan lingkungan hidup yang sehat secara
materil dan imateril dari faktor - faktor krominoge. 31
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non penal” lebih
bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya
adalah menangani factor - faktor kondusif terjadinya kejahatan. Faktor - faktor
kondusif penyebab terjadinya peradilan sesat terhadap kekeliruan penangkapan
dan tidak berdasarkan undang-undang, diantaranya rendahnya budaya hukum
aparat penegak hukum yang berimplikasi terhadap penegakan hukum.
Pertanggungawaban terhadap segala tugas yang dijalankan sebagai alat
Negara, maka yang bertanggungjawab atas tugas kenegaraan tesebut adalah
Negara. Dan terhadap oknum penegak hukum, yang dipandang mungkin perlu
dikoreksi atau dianggap tidak cakap menjalankan tugasnya, maka hal tersebut
diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing instansi. 32
Pengadilan Negeri Medan yang memeriksa dan mengadili perkara perkara pidana, pada peradilan tingkat pertama dengan acara pemeriksaan biasa
telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara terdakwa : Suratno als.
Nano, umur 25 tahun, jenis kelamin laki - laki, kebangsaan Indonesia, tempat
tinggal Jalan Cempaka Ujung Lingkungan III No. 69 BL Kelurahan Tanjung
31

. Barda Nawawi Arif, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditiya
Bakti, Bandung, Halaman 49.
32
. Martiman Prodjohamidjojo, 1986, Ganti Rugi dan Rehabilitasi, Ghalia Indonesia,
Jakarta, Halaman 28.

Universitas Sumatera Utara

56

Gusta Kecamatan Medan Helvetia, agama Islam, pekerjaan buruh bangunan,
pendidikan SMP.
Kronologis
Terdakwa Suratno als Nano baik secara sendiri - sendiri maupun bersama
- sama dengan Ifin (DPO) pada hari Jumat tanggal 30 Agustus 2013 sekira pukul
21.25 wib atau setidak - tidaknya pada suatu waktu dalam tahun 2013 bertempat
di Jalan Cempaka Kelurahan Tan jung Gusta, Kecamatan Medan Helvetia
tepatnya di jalan umum atau setidak - tidaknya di suatu tempat yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja dan
dengan

direncanakan lebih dahulu menghilangkan

jiwa orang lain, yang

dilakukan terdakwa.
Dakwaan
Terdakwa didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
340 jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1e KUHPidana.
Pertimbangan hakim Bahwa untuk membu