Analisa Waste Material Konstruksi Dengan Aplikasi Metode Lean Construction (Studi Kasus : Proyek Pembangunan Showroom Auto 2000)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pendahuluan
2.1.1. Proyek
Pengertian proyek konstruksi menurut Soeharto (1995), adalah suatu
kegiatan sementara yang berlangsung dalam jangka waktu terbatas, dengan alokasi
sumber dana yang tertentu dan dimaksudkan untuk melaksanakan tugas yang
sasarannya telah digaris dengan tegas. Wulfram I Ervianto (2002) mengemukakan
bahwa proyek adalah suatu rangkaian kegiatan yang hanya satu kali dilaksanakan
dan umumnya berjangka pendek, dimana dalam rangkaian tersebut ada suatu
proses yang mengolah sumber daya proyek menjadi suatu hasil kegiatan yang
berupa bangunan. Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang defenisi proyek,
yaitu:
a. Ciri pokok Proyek
Iman Soeharto (1999) menyatakan bahwa ciri pokok sebuah proyek adalah sebagai
berikut:
-

Bertujuan menghasilkan lingkup (scope) tertentu berupa produk akhir atau
hasil kerja akhir.


-

Dalam proses mewujudkan lingkup di atas, ditentukan jumlah biaya, jadwal
serta kriteria mutu.

-

Bersifat sementara, dalam arti umurnya dibatasi oleh selesainya tugas. Titik
awal dan akhir ditentukan dengan jelas.

6
Universitas Sumatera Utara

-

Non-rutin, tidak berulang-ulang. Macam dan intensitas kegiatan berubah
sepanjang proyek berlangsung.

b. Karakteristik Proyek
Menurut Wulfram I Ervianto I (2002), ada tiga karakteristik proyek konstruksi

yang dapat dipandang secara tiga dimensi yaitu:
-

Bersifat unik, maksudnya adalah tidak pernah terjadi rangkaian kegiatan
yang sama persis (tidak ada proyek yang identik, yang ada adalah proyek
sejenis), proyek bersifat sementara, dan selalu terlibat grup pekerja yang
berbeda-beda.

-

Dibutuhkan sumber daya (resources), yaitu pekerja dan “sesuatu’ (uang,
material, mesin, metode).

2.1.2. Manajemen Proyek
Manajemen secara umum adalah Suatu proses manajemen pada suatu
proyek dari awal hingga akhir proyek agar tujuan proyek tercapai dengan baik,
tepat waktu, sesuai mutu yang disyaratkan dan sesuai biaya yang disediakan.

Gambar 2.1 : gambaran umum manajemen proyek
Sumber: Nicholas. M, John. Project Management for Business, Engineering, and

Technology.

7
Universitas Sumatera Utara

Peter Moris menguraikan bahwa manajemen proyek adalah proses untuk
mengintegrasikan semua hal yang harus dilakukan (secara khusus menggunakan
sejumlah teknik-teknik manajemen proyek) agar proyek berkembang melalui
siklus kehidupannya (dari konsep sampai penyerahan) dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan proyek. Dengan demikian dapat diselesaikan dengan baik sesuai
rencana yang telah ditentukan.
Ada tiga tahap yang harus dilakukan dalam manajemen proyek yaitu:
1. Perencanaan (Planning) : Mencakup penetapan sasaran, pendefinisian
proyek dan organisasi tim.
2. Penjadwalan (Schedulling) : Menghubungkan antara tenaga kerja, uang,
bahan yang digunakan dalam proyek.
3. Pengendalian (Controlling) : Pengawasan sumber daya , biaya, kualitas dan
budget, jika perlu merevisi, ubah rencana, menggeser atau mengelola ulang
sehingga tepat waktu dan biaya. Untuk mengerjakan proyek, cara yang
efektif untuk menugaskan tenaga kerja dan sumber daya secara fisik adalah

melalui organisasi proyek (Dwiningsih, 2004)
Seperti halnya proyek pada umumnya, manajemen proyek pun memiliki kriteria
dan tujuan untuk mencapai kesuksesan dalam manajemennya. Kesuksesan suatu
manajemen proyek dapat didefinisikan sebagaimana mencapai tujuan proyek
-

Ketepatan waktu

-

Ketepatan biaya

-

Pada performa dan tingkatan teknologi yang tepat

-

Perubahan lingkup pekerjaan yang sedikit


-

Pemanfaatan sumber daya yang efektif dan efisien

8
Universitas Sumatera Utara

-

Diterima oleh Owner (kesesuaian kualitas)
Tetapi yang terjadi dilapangan, banyak kendala yang dihadapi dalam

mencapai keberhasilan manajemen proyek. Semakin besar proyek yang ditangani,
semakin besar kendala yang akan timbul. Kendala eksternal dan internal yang
sering terjadi pada proyek antara lain :
1. Ketidakstabilan ekonomi
2. Kekurangan / kelangkaan material
3. Peningkatan kompleksitas
4. Semakin tingginya persaingan
5. Perubahan teknologi

6. Kekhawatiran masyarakat
7. Konsumerisme
8. Ekologi
9. Kualitas pekerjaan
Apabila kendala-kendala tersebut tidak dapat diselesaikan, tidak hanya
target perencanaan yang tertunda tetapi juga bisa berupa kerugian. Oleh karena itu
harus ada pengaturan sumber daya yang benar dalam manajemen proyek melalui
pendalaman ilmu pengetahuan mengenai manajemen proyek. Sumber daya di sini
terdiri dari, uang, tenaga kerja, peralatan, fasilitas, material, dan informasi
teknologi.
2.1.3. Penjadwalan
Secara

umum

penjadwalan

proyek

didefinisikan


sebagai

proses

perhitungan waktu penyelesaian proyek, berdasarkan pola pelaksanaan kegiatankegiatan

proyek

yang

telah

ditentukan

terlebih

dahulu,

dan


dengan

9
Universitas Sumatera Utara

mempertimbangkan keterbatasan-keterbatasan yang mempengaruhi pelaksanaan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Sedangkan menurut Soeharto (1995) definisi dari jadwal adalah penjabaran
perencanaan proyek yang menjadi urutan langkah – langkah kegiatan yang
sistematis untuk mencapai satu sasaran. Pendekatan yang dipakai jadwal adalah
pembuatan jaringan kerja yang menggambarkan suatu grafik hubungan urutan
pekerjaan proyek. Pekerjaan mana yang harus didahulukan dari pekerjaan yang lain
harus di identifikasikan secara jelas dalam kaitannya dengan waktu
pelaksanaan pekerjaan. Dalam pelaksanaan konstruksi waktu dapat didefinisikan
dari hal berikut:
Waktu merupakan suatu jalur kritis (critical path) dimana jangka waktu
untuk setiap aktivitas atau pekerjaan di dalam urutan kerja tidak bisa dikurangi
1. Jangka waktu (duration) berarti waktu yang diperlukan untuk melengkapi
atau menyudahi suatu aktivitas atau tugas yang telah ditetapkan. Waktu

pelaksanaan proyek (construction duration) adalah waktu yang ditentukan
oleh owner untuk memakai, menggunakan, atau menyewakan bangunan
proyek tersebut.
2. Waktu pelaksanaan proyek adalah suatu jangka waktu sebagai hasil suatu
pengujian satu atau lebih metoda menyelesaikan pekerjaan atas dasar biaya
minimum, hal tersebut pada umumnya diperkirakan untuk kondisi normal
3. Waktu pelaksanaan proyek mengacu pada waktu yang telah ditentukan
untuk melaksanakan dan melengkapi/menyudahi setiap aktivitas pekerjaan
yang menggunakan semua sumber daya dan informasi proyek di dalam
suatu estimasi atau perkiraan biaya.

10
Universitas Sumatera Utara

4. Waktu konstruksi dapat digambarkan sebagai periode yang berlalu dari
awal pekerjaan hingga akhir pekerjaan.
Ouput dari proses penjadwalan adalah suatu rencana pelaksanaan kegiatankegiatan proyek, yang berisi informasi antara lain tentang :
a. Waktu dimulainya suatu kegiatan (paling cepat, paling lambat)
b. Waktu selesainya suatu kegiatan (paling cepat, paling lambat)
c. Kegiatan-kegiatan kritis berikut lintasan kritisnya

2.2. Parameter Proyek Konstruksi
Untuk menyelesaikan suatu proyek konstruksi, kontraktor harus
menentukan parameter dalam pelaksanaanya sebagai acuan untuk menilai hasil
kerja dari pihak-pihak penyedia jasa. Parameter penting dalam penyelenggaraan
proyek konstruksi yang sering dijadikan sebagai sasaran proyek adalah sebagai
berikut :
a. Anggaran
Besarnya sesuai dengan biaya yang dialokasikan, sehingga pengerjaan proyek
harus efisien. Proyek dikatakan berhasil jika proyek diselesaikan dengan biaya
yang tidak melebihi anggaran baik anggaran proyek yang dibayar secara langsung
ataupun secara periode (biasanya pada proyek dengan dana yang besar dan jangka
waktu yang lama).

11
Universitas Sumatera Utara

b. Jadwal
Sesuai waktu yang diperlukan untuk meyelesaikan proyek, sehingga pengerjaan
proyek harus efektif. Proyek dikatakan berhasil jika tidak melebihi waktu
perencanaan yang telah ditentukan.

c. Mutu
Kinerja harus memenuhi kriteria dan spesifikasi yang telah ditetapkan, sehingga
hasil pengerjaan proyek dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai dengan
keinginan owner.
2.3 Lean Construction
Lean construction adalah suatu cara baru untuk mengatur konstruksi.
Tujuan, prinsip, dan teknik tentang konstruksi ramping (lean construction)
diambil dari konsep lean production pada sistem manufaktur dari konsep Toyota
Production System yang dicoba diterapkan pada bidang industri konstruksi.
Konsep lean production merupakan sebuah metode yang dikembangkan di
perusahaan Toyota yang ditujukan untuk menghilangkan waste sehingga dapat
meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi.
Dalam perkembangannya pada sektor manufacturing industry, konsep
lean production cukup berhasil, terbukti dengan telah diterima dan diterapkan
secara luas. Konsep ini terus dicoba untuk diterapkan pada sektor-sektor lainnya
seperti konstruksi, sehingga dikenal adanya konsep lean construction. Lean
production memiliki tujuan meminimalisasi biaya produksi agar dapat bersaing
dengan harga pasar. Perbedaan yang ada adalah fokus utama dari lean production
yaitu upaya-upaya penghilangan pemborosan (waste) secara terus menerus untuk

12
Universitas Sumatera Utara

peningkatan performansi system manufaktur sehingga dapat selalu memenuhi
kebutuhan pelanggan.
Sehingga, lean production dapat dikatakan sebagai paradigma yang
berfokus pada upaya peningkatan efisiensi dengan pendekatan baru, yaitu
menggabungkan dua aspek penting teknologi dan manusia sekaligus dalam
mengelola sistem manufaktur (Samadhi, 2005).
Manfaat dari teknik lean construction telah ditunjukkan dengan
pencapaian peningkatan dari banyak proyek dan setiap tahapan proyek. Lean
construction memerlukan lebih banyak waktu dalam tahap desain dan
perencanaan, tetapi perhatian ini menghilangkan atau memperkecil konflik yang
dapat secara dramatis mengubah biaya dan jadwal (Forbes, et.al., 2005). Kondisi
industri saat ini yang merupakan sasaran utama dalam melakukan peningkatan
terutama dalam bidang industri konstruksi melalui pemikiran lean thinking yang
dapat dilihat pada gambar berikut

Gambar 2.2 : perbedaan waste pada industri manufaktur dan konstruksi
2.3.1 Definisi Lean Construction
Lean construction adalah suatu filosofi yang berdasar pada konsep
lean manufacturing. Hal ini

adalah tentang bagaimana mengatur dan

13
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan proses konstruksi untuk memperoleh keuntungan dan memenuhi
kebutuhan customer (www.constructingexcellence.org.uk, 2004).
Koskela et.al (Abdelhamid, 2005), lean construction adalah suatu cara
untuk mendesain sistem produksi untuk memperkecil pemborosan (waste), waktu,
dan usaha untuk menghasilkan nilai yang maksimum.
Menurut www.construction-institute.org

(2005), Lean construction

didefinisikan sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus dari proses
menghilangkan waste, memenuhi kebutuhan konsumen, fokus pada aliran
informasi/material,

dan

mencapai

kesempurnaan

dalam

pelaksanaan

pembangunan dalam proyek.
2.3.2 Prinsip-prinsip Lean Construction
Menurut www.constructingexcellence.org.uk (2005), prinsip lean construction
adalah:
a. Eliminate waste (menghilangkan barang sisa).
b. Precisely specify value from the perspective of the ultimate customer
(menentukan dengan tepat produk menurut pandangan konsumen).
c. Clearly identify the process that delivers what the customer value (the value
stream) and eliminate all non value adding steps (mengidentifikasi proses yang
menunjukkan bagaimana pengantaran material atau informasi konsumen dan
mengurangi langkah yang tidak diperlukan.
d. Make the remaining value adding steps flow without interruption by managing
the interfaces between different steps (Menjaga sisa komponen/material tanpa
interfensi pada berbagai langkah yang berbeda).

14
Universitas Sumatera Utara

e. Let the customer pull – don’t make anything until it is needed, then make it
quickly (membuat produk saat dibutuhkan, dan pada saat itu produk dibuat dengan
cepat).
f. Pursue perfection by countinuous improvement (melakukan

kesempurnaan

produk dengan peningkatan secara terus menerus).
Menurut Koskela (2004), arti value dalam prinsip lean construction dapat
dilihat pada tabel berikut
Lean Priciples

Arti Value

1. Precisely specify value
specific product

1. Specify value = produk yang
spesifik

2. Identify value stream for
each product.

2. Value stream
material/informasi

3. Make value flow without
interruptions

3. Value = komponen, materials

4. Let the customer pull value
from the producer

4. Value = produk

=

aliran

5. Pursue perfection

2.3.3 Konsep Lean Construction
Pada intinya, lean construction (konstruksi ramping) merupakan penerapan
lean principles yang diterapkan pada industri manufaktur kepada industri
konstruksi dengan tujuan untuk meningkatkan value dan mengurangi waste.
Prinsip-prinsip lean adalah sebagai berikut (Womack dan Jones, 1996):

15
Universitas Sumatera Utara

1. Value. Pendefinisian nilai harus sangat spesifik dan dilakukan oleh customer
akhir.
2. The Value Stream. Harus didesain sedemikian rupa sehingga terdapat
perpindahan nilai yang terdefinisi dari suatu kegiatan ke kegiatan yang lain, mulai
dari kegiatan problem-solving di awal, kemudian ke kegiatan pengelolaan
informasi, dan kepada kegiatan transformasi dari material mentah hingga produk
akhir.
3. Flow. Perpindahan nilai tersebut harus dilakukan secara mengalir, tidak ada
hambatan.
4. Pull. Untuk menghindari produk yang tidak terpakai, dan mengurangi waste,
maka produk sebaiknya diproduksi ketika diminta oleh pengguna.
5. Perfection. Kegiatan memperbaiki semua proses dengan terus menerus harus
dilakukan untuk mencapai kesempurnaan.
Untuk melaksanakan lean construction pada setiap tahap, terdapat alat
(tools) yang dibutuhkan untuk menciptakan rangkaian value dan flow yang baik
dengan alat Work Structuring dan Production Control. Beberapa alat lain yang
dibutuh kan dalam lean contruction merupakan alat manajemen yang ada sudah
sejak lama di dunia manufaktur dan telah berhasil diterapkan, seperti supply chain
management, pre-fabrication, pre-assembly, standardization, constructability,
just in time dan lain – lain. Selanjutnya akan dijelaskan secara singkat beberapa
alat tersebut, yaitu work structuring, supply chain management dan last planner
system.

16
Universitas Sumatera Utara

1. Work Structuring
Work Structuring (WS) adalah terminologi yang diciptakan oleh Lean
Construction Institute (LCI) untuk kegiatan pengembangan rancangan proses dan
operasi yang dilakukan bersamaan seiring dengan perancangan produk, penentuan
struktur supply chain, pengalokasian sumber daya dan usaha perancangan untuk
pelaksanaan. Tujuan dari WS ini adalah untuk membuat aliran kegiatan yang lebih
andal dan cepat tanpa mengurangi value kepada customer. Dalam perancangan
proses tersebut, variasi produktivitas antar pekerjaan dan juga interaksi antar
pekerjaan harus dipertimbangkan. Dengan demikian akan diharapkan dapat
meminimalkan waste baik berupa inventory maupun work in process.
WS ini merupakan hal yang biasanya tidak banyak dilakukan pada saat
tahapan perancangan (design) berlangsung. Karena biasanya perancang (designer)
hanya melakukan perancangan produk (product design) saja yang harus sesuai
dengan kebutuhan customer atau owner, namun tidak merancang bagaimana
proses produksinya. Biasanya diasumsikan bahwa pihak kontraktor yang akan
melakukannya. Ini merupakan praktek dan permasalahan fragmentasi di dunia
konstruksi yang terpecah belah menjadi banyak pihak yang terlibat pada seluruh
daur hidup proyek konstruksi. Waste banyak terjadi karena hasil rancangan tidak
dapat dilaksanakan oleh pihak pelaksana karena terjadinya miskomunikasi.
Sebenarnya terdapat praktek yang telah dilakukan saat ini bahwa
perancang melakukan juga kajian kemampu-laksanaan suatu proyek konstruksi
yang biasa disebut constructability dan usulan metoda pelaksanaan dari
perancang untuk rancangan yang dibuatnya. Tetapi hal ini terkadang masih belum
memadai, karena tidak dibarengi dengan antisipasi hal-hal penting lainnya seperti
17
Universitas Sumatera Utara

perancanaan sumber daya serta struktur supply chain-nya. Pada konsep konstruksi
ramping hal tersebut menjadi kunci untuk mengurangi variasi dan tentunya
ketidakpastian yang mungkin terjadi pada saat pelaksanaan di lapangan.
2. Supply Chain Management
Supply Chain Management (SCM) dalam konteks proyek konstruksi
adalah kegiatan mengatur, mengkoordinasikan, dan mengintegrasikan aliran
material dengan aliran informasi di antara seluruh pihak yang terlibat dalam
proyek konstruksi. Kondisi konstruksi ramping dalam SCM dicapai bila setiap
stakeholder telah memiliki kesamaan visi dalam mencapai tujuan proyek. Pada
kondisi ini terlihat bahwa waste yang berhubungan dengan aliran material dan
aliran informasi dapat diminimalkan bahkan dihilangkan. Hubungan antar
stakeholder diikat dalam bentuk relational contract sehingga koordinasi antar
stakeholder baik secara horizontal maupun secara vertical dapat berlangsung
dengan lebih baik lagi.
Dengan demikian SCM merupakan pengelolaan seluruh pihak yang
terlibat dalam mensuplai sumberdaya mulai dari hulu hingga hilir rantai kegiatan.
Pengelolaan tersebut ditekankan agar dapat menghindari penumpukan sumber
daya yang tidak berguna (waste) dan terjadi flow antara kegiatan yang
memerlukan sumber daya tersebut. Sehingga SCM akan sangat erat kaitannya
dengan sistem outsourcing dan procurement serta hubungan antar pihak yang
terkait.
Pada intinya, SCM harus dilaksanakan untuk menjamin value yang sudah
ditetapkan tidak akan berkurang sehubungan dengan terdapatnya banyak pihak

18
Universitas Sumatera Utara

yang terkait yang terkadang berada di luar pengendalian. Pihak-pihak yang berada
dalam pengendalian, tetap memerlukan pengelolaan yang baik agar terdapat
kesamaan tujuan dalam penciptaan rangkaian value dan terjadi aliran yang
diharapkan sebagaimana yang telah dirancang dalam work structuring. Bagi
pihak-pihak yang berada di luar kendali, yang tidak ada ikatan kerja sama,
memang berat untuk dikelola, tetapi seharusnya lewat pihak yang ada ikatan kerja
sama, pesan kebutuhan pemenuhan prinsip lean harus dapat dilakukan, misalnya
dengan pendekatan partnering maupun kontrak relational.
Terdapat banyak kasus, owner ataupun kontraktor melakukan kontrak
kerjasama jangka panjang dengan supplier (seperti material beton ready-mix dan
material semen) untuk mendukung logistik proyek meskipun suatu pekerjaan
yang dipasok logistiknya tersebut dilakukan oleh sub- kontraktor. Dengan semakin
dapat dikendalikannya pihak-pihak yang terlibat dalam supply chain proyek maka
work structuring yang dibuat dapat lebih andal untuk dilaksanakan dan pencapaian
tujuan konstruksi ramping dapat terlaksana.
3. Last Planner System
Pada praktek yang sering dilakukan pengendalian hanya berupa penilaian
pelaksanaan pekerjaan dan membandingkanya dengan perencanaan yang
dilakukan. Padahal terkadang perencanaan yang dilakukan, misalnya dengan work
structuring, belum tentu dapat diandalkan. Sehingga ada kemungkinan deviasi
yang terjadi bukan karena kinerja pelaksanaan yang buruk, tetapi lebih kepada
perencanaan yang tidak realistis. Dalam sistem pengendalian produksi dengan
konsep konstruksi ramping, praktek tersebut dapat diperbaiki dengan
menggunakan sistem the Last Planner (Ballard, 2000).
19
Universitas Sumatera Utara

Sistem the Last Planner ini merupakan usaha melihat kembali apa yang
telah direncanakan sebelum dieksekusi oleh personil yang paling kompeten akan
pekerjaan yang direncanakan dan akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Personil
tersebut selanjutnya sebagai the last planner. Dengan adanya sistem ini, akan
terdapat penilaian kondisi lapangan yang ada baik sumber daya maupun lokasi
yang akan memberikan input untuk evaluasi perencanaan yang sudah ada
sebelum perencanaan tersebut dilaksanakan. Hasil koreksi tersebut kemudian
yang akan dilaksanakan di lapangan. Dengan adanya sistem the Last Planner,
maka prinsip push (di mana pekerja lapangan harus melaksanakan apa yang
direncanakan) yang biasa dilakukan akan digantikan dengan sistem pull sesuai
dengan konsep konstruksi ramping.
Dalam sistem ini, terdapat indicator kinerja yang digunakan untuk
mengukur sejauh mana aliran pekerjaan dapat tercapai dengan baik, yaitu Percent
Planned Completed (PPC). PPC merupakan ukuran sejauh mana flow yang
direncanakan dapat berjalan. Sistem the Last Planner akan berhasil jika PPCnya
tinggi. Untuk mendukung sistem ini terdapat penambahan detail perencanaan
sebagai alat untuk dapat mendeteksi keandalan rencana dan kemungkinan
terjadinya aliran yang diharapkan di lapangan. Jadwal detail mingguan, jadwal
bulanan (look ahead plan), dan jadwal utama (master schedule) menjadi
kombinasi yang dinamis dan penting dalam sistem ini.

20
Universitas Sumatera Utara

3.1 Urutan Pelaksanaan Last Planner System
1. Master Plan
Untuk mendapatkan rencana umum dan mengidentifikasi semua pekerjaan untuk
keseluruhan proyek menunjukkan kegiatan utama, durasi, dan urutan.
2. Phase Planning
Membagi rencana induk ke dalam berbagai tahapan rencana kerja rinci dan
menyediakan tujuan yang dapat dianggap target oleh tim proyek. Phase Planning
adalah kesenjangan antara rencana induk dan melihat ke depan perencanaan.
3. Look Ahead Planning
Memprediksi apa yang akan terjadi pada beberapa waktu di masa yang akan
datang, lalu mengambil tindakan di masa sekarang sehingga tidak menyebabkan
pekerjaan tambahan di masa depan.
4. Weekly Work Plan
Merupakan rencana yang diambil dari tugas kontraktor untuk hari atau minggu
berikutnya melalui pertemuan mingguan. bantuan pertemuan mingguan untuk
merencanakan pekerjaan yang akan dilakukan pada minggu depan. Pertemuan
rencana kerja mingguan meliputi rencana mingguan, masalah keamanan, masalah
kualitas, sumber daya, metode konstruksi, dan masalah yang terjadi di lapangan.
5. Percent Plan Complete (PPC)
Dalam hal ini meningkatkan perencanaan proyek dengan evaluasi terus-menerus
dan belajar dari penghentian. PPC adalah menentukan persentase janji yang dibuat
yang disampaikan pada waktu. PPC dapat dihitung sebagai jumlah kegiatan yang

21
Universitas Sumatera Utara

diselesaikan sebagai direncanakan dibagi dengan jumlah total kegiatan yang
direncanakan, dan disajikan sebagai persentase.

Gambar 2.3 : diagram alir last planner system
3.2 Keuntungan Last Planner System
1. alur kerja halus.
2. rencana kerja yang diharapkan.
3. Mengurangi biaya.
4. Mengurangi waktu proyek.
5. Peningkatan produktivitas.
6. Menjalin kerja sama yang lebih dekat dengan personil lapangan dan sub
kontraktor.

22
Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Karakteristik Proses Produksi di Konstruksi
Dalam pelaksanaan konstruksi suatu fasilitas fisik, dikenal hierarki
lingkup konstruksi yang digunakan untuk melakukan pembagian wewenang dan
sumber daya dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Perbedaan pokok
antara industri konstruksi dengan industri manufaktur terletak pada proses
produksi, yang dilakukan di lapangan atau di ‘lantai produksi’. Jika mengacu
kepada hierarki lingkup konstruksi, hal ini terjadi pada tingkatan operasi, proses,
dan tugas.

Gambar 2.4 Hierarki Lingkup Konstruksi
Di lantai produksi, suatu kegiatan produksi dilakukan sebagaimana
tergambarkan pada Gambar dibawah. Dalam hal ini, pekerja akan menunggu
pelaksanaan tugas, yang sangat spesifik untuk setiap pekerja, sejalan dengan
keberadaan produk setengah jadi yang datang kepadanya melalui sistem ban
berjalan. Setiap pekerja akan memberikan kontribusi penambahan komponen
atau kualitas kepada produk akhir.

23
Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.5 : proses produksi di industry manufaktur
Di lapangan, suatu proses konstruksi dilakukan sebagaimana tergambar
pada gambar dibawah. Dalam hal ini, suatu tim kerja atau pekerja akan datang ke
lokasi di mana pelaksanaan tugas akan dilakukan. Satu tim kerja dengan tugas
spesifik tersebut akan meninggalkan produk setengah jadi hasil tugasnya untuk
selanjutnya menjadi lokasi pelaksanaan tugas tim kerja selanjutnya. Setiap tim
kerja tetap akan memberikan kontribusi penambahan komponen atau kualitas
kepada produk akhir. Proses produksi seperti ini yang kemudian disebut sebagai
’Parade of Trades’.

Gambar 2.6 : Proses produksi di industri konstruksi
Dalam parade ini, terlihat bahwa suatu tim kerja akan menyediakan tempat
kerja kepada tim kerja selanjutnya. Jika tempat kerja ini tidak ada, karena pekerja
sebelumnya belum selesai bekerja atau tidak sempuna melaksanakan tugasnya,
maka suatu tim kerja jelas tidak akan dapat menjalankan tugasnya. Hal ini
merupakan idle atau kegiatan menunggu, yang tidak lain merupakan bagian dari
waste.
24
Universitas Sumatera Utara

Jika proses konstruksi ini berulang, misalnya membuat beberapa kolom
beton pada suatu lantai, maka akan dapat dihitung seberapa banyak idle untuk
setiap tim kerja. Dalam hal ini, keseragaman dan variasi kecepatan bekerja atau
produktivitas tim kerja menjadi permasalahan. Tentunya waste akan menjadi lebih
besar jika produk hasil pekerja tersebut tidak dapat diterima (kualitas buruk), yang
berarti secara fisik merupakan waste, yang ditolak dan dibuang, serta
membutuhkan pekerjaan perbaikan atau pekerjaan ulang yang membutuhkan
sumber daya tambahan.
2.3.5 Peredaan antara Traditional construction dan Lean Construction
Perbedaan antara konstruksi dengan metode tradisional dan metode lean
construction (Giorgio Locatelli, 2013)
Traditional Construction
Menggunakan

aktivitas

yang

Lean Construction
sama Mendefinisikan seluruh tujuan dan

berpusat pendekatan yang digunakan proses pengerjaan proyek dengan jelas
dalam produksi massal dan manajemen
proyek
Bertujuan

untuk

mengoptimalkan Bertujuan

memaksimalkan

kinerja

kegiatan proyek oleh aktivitas dan untuk kostumer di setiap tingkatan
mengidentifikasi nilai pelanggan dalam proses yang ada proyek
desain

25
Universitas Sumatera Utara

Memecah proyek menjadi potongan- Desain dikerjakan bersamaan dengan
potongan dan menempatkannya di urutan produk dan proses
logis berfokus pada setiap kegiatan
kontrol dianggap sebagai memantau Pengendalian produksi di terapkan
setiap aktivitas terhadap jadwal dan terhadap seluruh kegiatan proyek
anggaran proyeksi

Pada penelitian Comparative Study of Last Planner System Over
Traditional Construction Processes (Munje, 2014) juga telah di temukan
beberapa perbedaan antara Lean Construction dengan Traditional Construction
yaitu
No.

Traditional construction

Lean construction

1

In traditional construction
management, the errors between
the dependencies of the activities
are not considered.

2

In traditional construction
In this, main focus is on the proper
management focus is on increasing flow of activities as per dependencies
the productivity of each activity
which results in reduced errors and
which results in errors and
reworks.
reduced quality of work resulting
in reworks.

3

4

5

In Lean construction methodology,
primarily the errors are taken into
account before making the
dependencies between the activities.

This method at times does not
Due to the consideration of customer‟s
consider the customer‟s
requirement and proper planning,
requirements which results in
there is surety of customer satisfaction.
reduced customer satisfaction.
In the traditional method, customer End user/ customer are involved in
is not involved in planning stage. start to end planning and design,
through cross functional teams.
Traditional method relies on
In lean construction, controlling is
variance detection after the
practiced during the task performance.
completion of tasks.
26
Universitas Sumatera Utara

6

In Traditional management, push In the lean approach, pull techniques
techniques manages the release of govern the flow of information and
information and materials.
materials, from upstream to
downstream.
Doesn‟t consider adjustments for Capacity
and inventory are adjusted to

7

(power and record are adjusted to absorb variation.Feedback loops,
included at every level, help ensure
absorb variation. Advice loops,
included at every level, help ensure minimal inventories and rapid system
response
minimum inventories)

8

Traditional construction
management not tries to mitigate
variation in (product quality, rate
of work).

9

In Traditional construction
Lean approach tries to make continuous
management does not pay attention improvements in the process, sequential
to continuous improvement.
workflows.

10

11

12

13

Lean construction tries to mitigate
variation in every aspect (product
quality, rate of work) and manage the
remaining variation

In Traditional construction
management, decision making is
centered to one manager some
times.
Traditional construction
management does not consider
transparency in between the
customer, managers, and labours.

In lean construction, decision making is
distributed in all those who are involved;

Traditional construction
management persists on
optimizing each activity

Lean construction, system is designed to
resist the tendency in the direction of
local sub optimization.

Lean construction tries to increase
transparency between the customer,
managers and labours, in order to know
the affect of their work on the whole
project
Traditional construction
Lean construction utilizes new forms of
management does not have policy profitable contracts to give incentives to
like (developing new forms of
suppliers for reliable work flow and
profitable contract to give
optimization at the deliverable to the
incentives to suppliers for quality client level
work flow and minimization at the
deliverable to the client level)

27
Universitas Sumatera Utara

14

The approach of Traditional
construction management is only
considers managing a project at
the macro level. This is necessary
but not sufficient for the success of
projects.

Lean Construction approach in Project
and Production Management, and
formally recognizes that any successful
project undertaking will without doubt
involve the interaction between project
and production management.

2.4 Waste
Waste secara umum didefinisikan sebagai substansi atau suatu obyek
dimana pemilik punya keinginan untuk membuang (Waste Management licening
regulation, 1994). Waste yang dihasilkan dari proyek konstruksi didefinisikan
sebagai material yang sudah tidak digunakan yang dihasilkan dari proses konstruksi,
perbaikan atau perubahan (Environmental Protections Agency, 1998).
Menurut Lee (1999), waste dalam konstruksi dan industri meliputi
penundaan waktu, biaya, kualitas, kurangnya keselamatan, rework, transportasi
yang tidak perlu, jarak jauh, pilihan atau manajemen yang tidak tepat dari
metode/peralatan, dan constructability yang lemah.
Menurut Haggard (2005), waste dalam proses konstruksi meliputi:
penanganan material yang berlebihan, rework, kesalahan desain, konflik antar
pembeli, konflik antar kontraktor lain, tidak efektifnya rantai persediaan (supply
chains).
Waste didefinisikan oleh kriteria kinerja dari sistim produksi. Kegagalan
untuk memenuhi permintaan unik dari seorang klien adalah pemborosan, waktu
menunggu dan persediaan yang menganggur (Howell, 1999). Contoh waste dalam
lingkungan industri konstruksi dapat dilihat pada Tabel 2.1.
28
Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Contoh waste dalam lingkungan industri konstruksi
(sumber: Ball dan Maleyeff, 2003)

Waste form

Examples and situation where waste is
encountered
- report preparation (errors)

a. Defects

- environmental sampling events
(incorrect sample locations or
technique)
- equipment usage (equipment
malfunctions)
- report preparation (revisions and reviews)

b. Rework

- environmental sampling events
(resampling)
- development computer drawing (drawing
revisions)
- unnecessary site visits

c. Transportation

- inefficient scheduling (travel time
between site that are not in close proximity
to each other)

- preparation of reports (or sections in
reports) that are not required
d. Overproduction
- collection of unnecessary environmental
samples

e. Waiting

- preparation fields (loading and
calibrating equipment, securing
appropriate vehicles)

f. Unnecessary Processing

- generation of reports that areeither
overly complicated or not required

g. Unnecessary movement

“last minute” scheduling changes
(unnecessary fieldwork preparation)

29
Universitas Sumatera Utara

- excess equipment and supplies project
work backlog

h. Inventory

- confusion regarding project scope
negativity due to miscommunication or
consistent occurrence of other forms of
waste

i. Behaviors

j. System underdelegation

- inefficient task distribution (requiring
higly-priced staff to locate files or
prepare that a more junior employee
could do, not utilizing skilled field
technicians to fullest

Sedangkan menurut Womack dan Jones (1996) waste konstruksi meliputi :


Defects : Setiap kali ada kesalahan yang membutuhkan tambahan
waktu, sumber daya atau uang untuk memperbaiki, kita melihat limbah
cacat (defect) dan pekerjaan ulang. Jenis waste ini dapat mencakup
segala sesuatu dari

mengulangi

pekerjaan

karena,

kesalahan,

pengulangan fabrikasi bahan karena perubahan desain.


Over production : terjadi ketika terlalu banyak sesuatu yang diproduksi
atau selesai, atau ketika itu diproduksi terlalu cepat dan kemudian harus
disimpan. Hasilnya, kebutuhan pelanggan (owner) menjadi tidak jelas,
otomatisasi

buruk diterapkan,

dan

just-in-case material

yang

memproduksi hanya dalam kasus mereka dibutuhkan.


Waiting : Menunggu terjadi setiap kali pekerjaan harus berhenti untuk
beberapa alasan, entah itu karena ada yang rusak, Anda sedang
menunggu respon, atau Anda sudah kehabisan sesuatu. Dalam beberapa

30
Universitas Sumatera Utara

kasus, hambatan, atau titik efisiensi menurun, dapat memperlambat
informasi dan bahan.


Over processing : pemrosesan tambahan terjadi ketika Anda atau orang
di sekitar Anda meluangkan waktu untuk melakukan pekerjaan yang
tidak perlu atau tidak menambah nilai kepada pelanggan. pemrosesan
tambahan bisa apa saja dari gambaran yang tidak akan terlihat setelah
selesai untuk memerlukan beberapa tanda tangan pada formulir ketika
salah satu sudah cukup untuk memproduksi salinan kedua keras dan
laporan elektronik.



Motion : waste ini berlaku untuk setiap waktu yang dihabiskan bergerak
di sekitar, bukannya melakukan pekerjaan yang mempunyai nilai
tambah. Hal ini dapat mencakup berjalan di seluruh daerah proyek untuk
menemukan alat, harus mencari komputer Anda untuk mendapatkan
informasi, atau harus memilah dan menyimpan material.



Transportation : Cara yang paling efisien untuk melakukan tugas apapun
adalah memiliki bahan dan alat-alat di mana mereka dibutuhkan.
Namun, memiliki terlalu banyak piranti dapat menciptakan masalah bagi
diri kita sendiri dan pelanggan kami, yang bisa berpikir kita memiliki
terlalu banyak materi di lantai. Kita perlu fokus pada menemukan cara
yang lebih baik untuk menyimpan, menangani dan mengelola bahan
untuk mencegah harus memindahkan mereka beberapa kali.

31
Universitas Sumatera Utara



Inventory : Tempat penyimpanan material konstruksi yang bebas dari
gangguan cuaca dan mudah diakses sangat penting untuk mempercepat
proses konstruksi dan meminimalisir waste.

2.4.1 Waste Level
Waste level dihitung untuk mengetahui volume waste dari masingmasing material yang sudah ditentukan melalui analisa Pareto. Waste level ini
dihitung menggunakan metode pendekatan dengan rumus :

Dimana :
Volume Waste = volume material terpakai – volume material terpasang
Volume Kebutuhan material = Vol. Kebutuhan material yang ditinjau
2.5 Analisa Pareto
Analisa Pareto adalah suatu metode statistika yang biasa digunakan dalam
ilmu manajemen untuk mencari apa saja kategori kategori utama yang mempunyai
dampak paling signifikan terhadap suatu kejadian atau masalah. Analisa pareto
dilakukan dengan cara mengukur besar dampak dari setiap kategori terhadap suatu
masalah, sehingga dapat diketahui kategori mana yang mempunyai dampak paling
signifikan terhadap masalah tersebut, sehingga kegiatan pengendalian akan lebih
efektif dengan memusatkan perhatian pada kategori kategori yang mempunyai
dampak yang paling signifikan terhadap kejadian, daripada meninjau berbagai
kategori pada suatu ketika (Nasution, 2005).

32
Universitas Sumatera Utara

Analisa pareto ditemukan oleh seorang ahli ekonomi italia bernama
Vilfredo Pareto pada abad ke 19. Analisa ini digunakan untuk membandingkan
berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya, dari yang paling
besar ke yang paling kecil. Susunan tersebut akan membantu kita untuk
menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian kejadian. Analisa pareto
dapat dideskripsikan dalam bentuk diagram
Kegunaan diagram pareto ialah menemukan atau mengetahui prioritas
utama dari masalah yang dihadapi. Menurut Mitra (Ariani, 2005:19), diagram

Gambar 2.7 : contoh diagram pareto

pareto juga dapat mengidentifikasi masalah yang paling penting yang
mempengaruhi usaha perbaikan kualitas dan memberi petunjuk dalam
mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk menyelesaikan masalah.
Dalam melakukan analisa pareto, kategori kategori tersebut diurutkan
berdasarkan satuan yang sama, yang akan menunjukkan kontribusi tiap kategori

33
Universitas Sumatera Utara

terhadap keseluruhan item yang ingin dianalisa. Menurut Mitra dan Besterfield
(Ariani, 2005) proses penyusunan diagram pareto meliputi enam langkah :
1. Menentukan metode atau arti dari pengklasifikasian data, misalnya berdasarkan
masalah, penyebab, jenis ketidaksesuaian, dan sebagainya.
2. Menentukan satuan yang digunakan untuk membuat urutan karakteristikkarakteristik tersebut, misalnya rupiah, frekuensi, unit, dan sebagainya.
3. Mengumpulkan data sesuai dengan interval waktu yang diinginkan.
4. Merangkum data dan membuat ranking kategori data tersebut dari yang terbesar
hingga yang terkecil.
5. Menghitung frekuensi kumulatif atau presentase kumulatif yang digunakan.
6. Menggambar diagram batang, menunjukkan tingkat kepentingan relatif masingmasing masalah. Mengidentifikasi beberapa hal yang penting untuk mendapat
prioritas.
2.6 Material Konstruksi
Material merupakan salah satu komponen yang penting dalam menentuka
besarnya biaya proyek ,mempunyai konstribusi sebesar 40-60% sehingga secara
tida langsung memegang peranan penting dalam menunjang keberhasilan proye
khususnya dalam komponen biaya (Intan et. al, 2005).
Pada proses konstruksi,penggunaan material oleh pekerja-pekerja lapanga
dapat menimbulkan sisa material yang cukup tinggi .Beberapa penelitian di Brazil
menunjukan sisa material konstruksi dapat mencapai 20-30% berat dari material d
lokasi (Intan,et al.,2005)

34
Universitas Sumatera Utara

Material yang digunakan dalam konstruksi dapat digolongkan dalam dua
bagian besar (Gavilan dan Bemold, 1994) yaitu
1. Consumable Material, merupakan material yang pada akhirnya akan menjadi
bagian dari struktur fisik bangunan. Misalnya : semen, pasir, kerikil, batu bata,
besi, tulangan, baja, dan lain – lain.
2. Unconsumable Material, merupakan material penunjang dalam proses konstruksi,
dan bukan merupakan bagian fisik dari bangunan setelah bangunan selesai,
misalnya : perancah, bekisting, dan dinding penahan sementara.
Banyak faktor yang menjadi sumber terjadinya sisa material konstruksi,
antara lain desain, pengadaan material, pengelolaan material, pelaksanaan, residul
dan lain-lain missal pencurian (Gavilan dan Bemold, 1994).

35
Universitas Sumatera Utara

2.5 Penelitian Terdahulu
Munje (2014) melakukan penelitian dengan judul Comparative Study of
Last Planner System Over Traditional Construction Processes. Hasil penelitian
yang diperoleh adalah perbandingan antara konstruksi tradisional dengan lean
construction. Pada penelitian dijelaskan bahwa ada banyak kesempatan untuk
menghilangkan kelemahan dalam konstruksi tradisional menggunakan proses
proyek. Last Planner System, diterapkan dapat meningkatkan metode tradisional
dan menyiratkan budaya perbaikan terus-menerus dan mengurangi waktu dan
biaya secara bersamaan.
Manurung (2012) melakukan penelitian dengan judul Analisis Aplikasi
Lean Construction Untuk Mengurangi Limbah Material Pada Proyek Konstruksi
Jembatan (Studi Kasus Perusahaan Precast). Hasil Penelitian yang diperoleh
adalah dari dua pelaksanaan studi kasus di pabrik precast diketahui bahwa dengan
menggunakan konsep Lean Construction maka limbah dalam pelaksanaan
proyek konstruksi dapat dikurangi. Penelitian dilakukan pada dua perusahaan
precast berbeda. Perusahaan tersebut adalah perusahaan yang menyediakan
produk-produk beton precast.
Penerapan lean construction pada Pacific Contracting di San Fransisco
dilakukan oleh kontraktor spesialis cladding dan atap untuk peningkatan
pergantian tahunan dengan 20 % dalam 18 bulan dengan orang yang sama. Kunci
kesuksesannya dengan meningkatkan desain dan proses procurement dalam
pemesanan untuk memudahkan di tempat konstruksi, investasi di awal dan di

36
Universitas Sumatera Utara

akhir

proyek

untuk

mengurangi

biaya

dan

waktu

konstruksi

(www.constructionexcellence.org.uk, 2005).
Salah satu kasus di USA pada tahun 1998 menunjukkan kemajuan yang
luar biasa dalam menerapkan Lean Construction (Garnett, et.al., 1998 dalam
Dulaimi dan Tanamas, 2005):
1. Kantor konstruksi mengurangi waktu dengan 25 % dalam waktu 18 bulan
2. Disain skematis berkurang dari 11 minggu menjadi 2 minggu.
3. Perputaran peningkatan dari 15 – 20 % (Kontrak Pacific).
4. Meyakinkan klien untuk melihat tempat pemesanan.
5. Pengurangan biaya proyek.

37
Universitas Sumatera Utara