Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Kreditur Yang Memberikan Pinjaman Kredit Tanpa Agunan (Studi Bank BNI Cabang Balige)

BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KREDIT
A. Pengertian Perjanjian Kredit
Secara umum dapatlah dikatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa itu timbullah
suatu hubungan antara dua orang yang dinamakan perikatan antara dua orang
yang membuatnya. Dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian
katakata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis.9
Pengertian perjanjian kredit, dari berbagai jenis perjanjian yang diatur
dalam Bab V sampai dengan XVIII Buku III KUH Perdata tidak terdapat
ketentuan tentang perjanjian kredit bank. Bahkan dalam Undang-Undang
Perbankan sendiri yakni Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan

tidak

mengenal istilah perjanjian kredit, tetapi istilah perjanjian kredit ditemukan dalam
Instruksi Presidium Kabinet nomor 15/EK/10 Tanggal 3 Oktober 1996 Jo. Surat
Edaran Bank Negara Indonesia unit I No. 2/539/UPK/Pemb Tanggal 8 Oktober

1996 yang menginstruksikan kepada masyarakat perbankan bahwa dalam
memberikan kredit dalam bentuk apapun, bank-bank wajib mempergunakan akad
perjanjian.
                                                            
9

 

R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1985), hal.25.

 
Universitas Sumatera Utara

Ketentuan yang berlaku bagi perjanjian diatur dalam buku ketiga KUH
Perdata yang berjudul “Tentang Perikatan”, terdapat dalam bab kedua. Perjanjian
diatur dalam buku ketiga KUH Perdata karena perjanjian merupakan salah satu
sumber dari perikatan. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata suatu persetujuan adalah
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.
Prof. Mariam Darus, S.H. mengatakan bahwa rumusan persetujuan dalam

Pasal 1313 KUH Perdata tersebut adalah rumusan perjanjian.10 Namun defenisi
perjanjian sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Pasal 1313 KUH Perdata
rumusannya sangat luas.

11

Sangat luas, hal mana dapat dilihat dari kata

“perbuatan” yang berarti seluruh apa saja dapat diperjanjikan, termasuk misalnya
mencakup hal-hal janji kawin, yang perbuatan di dalam KUH Perdata yang
menimbulkan perjanjian juga. Dengan demikian, kalau suatu saat nanti
pemerintah dengan DPR membentuk KUH Perdata yang baru, maka rumusan
pengertian perjanjian tersebut perlu disempurnakan.12
Menurut Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.13 Seperti perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, dan tukar
menukar.

                                                            


Mariam Darus, Hukum Perdata Tentang Perikatan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, 1974 hal. 151.
11
R.Setiawan, Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal 49.
12
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, Djambatan, Jakarta, 1995 hal 36.
13
R.Subekti, Hukum Pinjaman, Cetakan IX, Pradnya Paramita, Jakarta 1979, hal 1. 
10

 

 
Universitas Sumatera Utara

Perjanjian kredit merupakan salah satu aspek yang sangat penting yang
menjadi dasar di dalam suatu pemberian kredit, tanpa perjanjian kredit yang
ditandatangani antar pihak bank dan kreditur maka tidak ada pemberian kredit
tersebut. Perjanjian kredit merupakan ikatan antara bank sebagai debitur dengan
pihak lain nasabah peminjam dana sebagai kreditur yang isinya menetukan dan

mengatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berhubungan dengan
pemberian atau pinjaman kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan dalam
jangka waktu tertentu yang telah disetujui atau disepakati bersama akan melunasi
utangnya tersebut dengan sejumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil
keuntungan.
Beberapa pakar hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh
ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII buku III karena perjanjian kredit pada
hakikatnya adalah perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana yang diatur di dalam
Pasal 1754 KUH Perdata.
1. R Subekti berpendapat
“Dalam bentuk apa pun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam
semuanya itu pada hakikatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian
pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam kitab Undang-Undang
Hukum Perdata pada pasal 1754 sampai denang pasal 1769.”14

                                                            

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2001. hal 261.
14


 

 
Universitas Sumatera Utara

2. Marhainis Abdul Hay
“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata tentang perjanjian pinjam
mengganti, mempunyai pengertian yang identik dengan perjanjian
kredit bank sebagai konsekuensi logis dari pendirian ini harus
dikatakan bahwa perjanjian kredit bersifat riil.”15
3. Mariam Darus Badrulzaman
“Dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di
dalam KUH Perdata Pasal 1754. Berdasarkan perjanjian pinjammeminjam ini, pihak penerima pinjaman menjadi pemilik yang
dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan jenis yang sama
kepada pihak yamg meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini
merupakan perjanjian yang bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya
perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank
kepada nasabah.”
4. Wiryono Prodjodikoro

“Ketentuan Pasal 1754 KUH Perdata itu ditafsirkan sebagai
persetujuan yang bersifat riil, berarti perjanjian kredit bank adalah
perjanjian yang bersifat riil, yaitu perjanjian yang baru terjadi kalau
barang yang menjadi pokok perjanjian telah diserahkan.”
Sutan Remy Sjahdeini menyatakan perjanjian kredit memiliki identitas
karakteristik sendiri bahwa sifatnya yang konsensual dari suatu perjanjian kredit
                                                            

Marhainis Abdul Hay, Hukum Perbankan Di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1979,
hal. 147.
15

 

 
Universitas Sumatera Utara

bank itulah yang merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian
peminjaman uang yang bersifat riil. 16 Ada 3 ciri yang membedakan perjanjian
kredit itu berbeda dengan perjanjian peminjaman uang yang diatur di dalam KUH

Perdata, menurut Sutan Remy Sjahdeini.
a. Ciri Pertama bahwa sifatnya yang konsesual dari suatu perjanjian kredit bank
yang membedakan dari perjanjian peminjaman uang yang bersifat riil. Bagi
perjanjian kredit yang jelas-jelas mencantumkan syarat-syarat tangguh tidak
dapat dibantah lagi bahwa perjanjian kredit ditandatangani oleh bank dan
nasabah debitor, nasabah debitor belum berhak menggunakan atau melakukan
penarikan kredit, masih tergantung kepada telah terpenuhinya seluruh syarat
yang ditentukan di dalam perjanjian kredit.
b. Ciri Kedua adalah bahwa kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah
debitor tidak dapat digunakan secara leluasa untuk keperluan atau tujuan yang
tertentu oleh nasabah debitor, seperti yang dilakukan oleh peminjam uang
(debitor) pada perjanjian peminjaman uang biasa. Pada perjanjian kredit, kredit
harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam perjanjian dan
pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank
untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak, maka berarti nasabah
debitor bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya
berdasarkan perjanjian kredit itu, sebagaimana bila seandainya perjanjian
kredit itu adalah perjanjian peminjaman uang.

                                                            

16

 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 262 

 
Universitas Sumatera Utara

c. Ciri Ketiga, perjanjian kredit bank yang membedakannya dari perjanjian
peminjaman uang ialah mengenai syarat cara penggunaannya. Kredit bank
hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek
atau perintah pemindah bukuan. Cara lain hampir dapat dikatakan tidak
mungkin atau tidak diperbolehkan. Pada perjanjian peminjaman uang biasa,
uang yang dipinjamkan diserahkan seluruhnya oleh kreditor ke dalam
kekuasaan debitor dengan tidak diisyaratkan bagaimana caranya debitor akan
menggunakan uang pinjaman itu. Pada perjanjian kredit bank, kredit tidak
pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitor.
Kredit selalu diberikan dalam bentuk rekening koran yang penarikan dan
penggunaannya selalu dibawah pengawasan bank.

Pada kesimpulannya perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang
maka sebagian dikuasai dalam KUH Perdata, sebagian lainnya tunduk pada
peraturan lain yakni Undang-Undang Perbankan. Jadi Perjanjian kredit dapat
dikatakan memiliki identitas sendiri tetapi dengan memahami rumusan pengertian
kredit yang didefinisikan oleh Undang-Undang Perbankan sendiri maka
disimpulkan dasar perjanjian kredit sebagian tetap masih bisa mengacu pada
ketentuan KUH Perdata bab XIII.
Meskipun Perjanjian kredit tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata
tetapi dalam membuat perjanjian kredit tidak boleh bertentangan dengan asas atau
ajaran umum yang terdapat dalam hukum perdata sebagaimana yang termuat
dalam Bab I dan Bab II, semua perjanjian baik yang bernama maupun yang tidak
bernama, tunduk pada peraturan-peraturan dalam hukum perdata.

 

 
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan Pasal 1339 dan Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, dapat disimpulkan elemen dari perjanjian adalah17:

a. Isi Perjanjian itu sendiri,
Maksudnya adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak
mengenai hak dan kewajiban mereka di dalam perjanjian tersebut.
b. Kepatutan,
Kepatutan yang dimaksud adalah berdasarkan Pasal 1338 Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang bersama-sama dengan kebiasaan dan UndangUndang harus diperhatikan pihak-pihak dalam melaksanakan perjanjian. Sudah
tentu undang-undang yang dimaksud oleh ketentuan ini adalah undang-undang
pelengkap karena undang- undang yang bersifat memaksa tidak dapat
disimpangi oleh para pihak.
c. Kebiasaan,
Kebiasaan yang diatur dalam Pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata adalah kebiasaan pada umumnya (gewoonte) dan kebiasaan yang diatur
oleh Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah kebiasaan
setempat (khusus) atau kebiasaan yang lazim berlaku di dalam golongan
tertentu (bestending gebruikelijk beding).

                                                            

17
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman
Djamil, Taryana Soenandar, Kompilasi Hukum Perikatan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,

hal 89.

 

 
Universitas Sumatera Utara

d. Undang-undang
Agar suatu perjanjian kredit diakui secara yuridis, harusnya sesuai dengan
syarat-syarat sahnya perjanjian atau persetujuan yang diatur dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang meliputi empat syarat yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai
hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu, sepakat mengandung
arti apa yang dikehendaki pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang
lain.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Cakap artinya orang-orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut
hukum, yaitu dewasa/akil balik, sehat jasmani dan rohani sehingga dapat
membuat suatu perjanjian. Sedangkan yang dianggap tidak cakap menurut
hukum yaitu ditentukan dalam Pasal 1330 KUH Perdata yaitu :
a) orang yang belum dewasa
b) orang yang ditaruh dibawah pengampuan
c) perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang-undang,

dan

semua orang yang dilarang undang- undang untuk membuat perjanjianperjanjian tertentu

 

 
Universitas Sumatera Utara

3) Suatu hal tertentu
Suatu hal atau obyek tertentu artinya dalam membuat perjanjian apa yang
diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa
ditetapkan.
4) Suatu sebab yang halal
Suatu

perjanjian

adalah

sah

apabila

tidak

bertentangan

dengan

undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum.18
B. Dasar Hukum Perjanjian Kredit
Ruang lingkup pengaturan tentang perjanjian kredit sebagai berikut :
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Bab XIII, mengenai perjanjian
pinjam-meminjam uang;
b) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, meliputi:
(1) Pasal 1 angka 11 tentang Pengertian Kredit;
(2) Perjanjian anjak piutang, yaitu perjanjian pembiayaan dalam bentuk
pembelian dan atau pengalihanserta pengurusan piutang atau
tagihan-tagihan jangk pendek suatu perusahaan dari transaksi
perdagangan dalam atau luar negeri;
(3)

Perjanjian

kartu

kredit,

yaitu

perjanjian

dagang

dengan

mempergunakan kartu kredit yang kemudian diperhitungkan untuk
melakukan pembayaran melalui penerbit kartu kredit;
                                                            
18

 

Ibid, hal. 267.

 
Universitas Sumatera Utara

(4) Perjanjian sewa guna usaha, yaitu perjanjian sewa menyewa barang
yang berakhir dengan opsi untuk meneruskan perjanjian itu kepada
atau melakukan jual beli;
(5) Perjanjian sewa beli, yaitu perjanjian yang pembayarannya dilakukan
secara angsuran dan hak atas milik atas barang itu beralih kepada
pembeli setelah angsurannya lunas dibayar.
Berdasarkan rumusan yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan
mengenai Perjanjian Kredit, maka dapat disimpulkan bahwa dasar dalam
perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam uang, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa: “Perjanjian pinjam-meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang
yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakang ini
akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama
pula”.
Perjanjian pinjam-meminjam uang ini mengandung makna yang luas, bahwa
objeknya adalah benda yang habis pakai dan jika dipergunakan istilah
verbruiklening maka termasuk di dalamnya adalah uang.
C. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian Hukum Perjanjian mengenal beberapa asas
penting yang merupakan dasar kehendak para pihak dalam mencapai tujuan.
Beberapa asas perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku III Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yaitu:

 

 
Universitas Sumatera Utara

1) Asas Kebebasan Berkontrak Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338
Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Asas kebebasan berkontrak bermakna bahwa setiap orang bebas
membuat perjanjian dengan siapapun, apapun isinya, apapun bentuknya sejauh
tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Asas ini
memiliki ruang lingkup kebebasan untuk:
a) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b) Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
c) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d) Menentukan objek perjanjian;
e) Menentukan bentuk perjanjian secara tertulis atau lisan.
2) Asas Konsensualisme Asas konsensualisme ini terdapat dalam Pasal 1320 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengandung pengertian
bahwa perjanjian itu terjadi saat tercapainya kata sepakat (konsensus) antara
pihak-pihak mengenai pokok perjanjian, sehingga sejak saat itu perjanjian
mengikat dan mempunyai akibat hukum.
3) Asas Mengikatnya Perjanjian (Asas Pacta Sunt Servanda) Asas ini dapat
disimpulkan dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, yang merupakan akibat hukum suatu perjanjian, yaitu adanya
kepastian hukum yang mengikat suatu perjanjian.

 

 
Universitas Sumatera Utara

4) Asas Itikad Baik (Togoe dentrow) Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat
(3) Kitab UndangUndang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Itikad baik ada 2 (dua), yaitu :
a) Bersifat objektif, artinya mengindahkan kepatutan dan kesusilaan;
b) Bersifat subjektif, ditentukan oleh sifat batin seseorang.19
D. Jenis-Jenis Kredit
Kredit dapat digolongkan

menjadi beberapa jenis, menurut sifat

penggunaannya, menurut keperluannya, menurut jangka waktunya, menurut cara
pemakaiannya dan menurut jaminannya. Penggolongan masing-masing jenis
kredit tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Kredit menurut sifat penggunaannya;
a) Kredit Konsumtif
Kredit yang bertujuan untuk memperoleh barang-barang atau kebutuhan
lainnya guna memenuhi kebutuhan hidup debiturnya
b) Kredit Produktif
Kredit yang bertujuan untuk kegiatan usaha debitur, baik untuk
meningkatkan produksi maupun peningkatan likuiditas dan kondisi
keuangan debitur. Kredit ini adalah yang paling sering diadakan oleh bank,
karena selain mempunyai tingkat resiko pengembalian yang lebih kecil
dibanding kredit konsumtif, juga kredit produktif dapat meningkatkan taraf
hidup dan perkembangan perekonomian nasional.
2. Kredit menurut keperluannya;
                                                            
19

43-45. 

 

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Pustaka Yustisia, Yogyakarta 2009, hal.

 
Universitas Sumatera Utara

a) Kredit Modal Kerja/Kredit Eksploitasi
Yaitu kredit modal kerja kredit jangka pendek yang diberikan untuk
membiayai kebutuhan modal kerja dari suatu perusahaan (working capital
loan).
b) Kredit Investasi
Yaitu kredit investasi kredit jangka menengah dan panjang yang diberikan
untuk membiayai proyek baru ataupun proyek perluasan suatu perusahaan
(investment loan).
c) Kredit Perdagangan
Yaitu kredit yang dipergunakan untuk keperluan perdagangan pada
umumnya dengan cara membeli, menyewa, atau dengan cara lain.
3. Kredit menurut jangka waktunya;
a) Kredit jangka pendek (Short Term Credit) adalah kredit yang berjangka
waktu maksimum satu tahun.
b) Kredit jangka waktu menengah (Intermediate Term Credit) adalah suatu
bentuk kredit yang berjangka waktu dari satu sampai tiga tahun.
c) Kredit jangka panjang (Long Term Credit) adalah suatu bentuk kredit yang
berjangka waktu lebih dari tiga tahun.
4. Kredit menurut cara pemakaiannya;
a) Kredit dengan uang muka (persekot), yaitu kredit yang diberikan sekaligus
kepada debitur. Pemberian kredit tidak dilakukan secara bertahap.
b) Kredit rekening koran, yaitu kredit yang diberikan menurut besarnya
kebutuhan debitur pada waktu-waktu tertentu, akan tetapi maksimum kredit

 

 
Universitas Sumatera Utara

yang boleh dipergunakan oleh debitur adalah tertentu jumlahnya (tidak
boleh melewati batas kredit).
5. Kredit menurut jaminannya;
a) Kredit tanpa jaminan
Yaitu kredit yang diberikan dengan tidak adanya jaminan dari debitur.
Maksudnya, debitur dalam hal ini tidak memberikan jaminan (misalnya
jaminan kebendaan, jaminan piutang, jaminan perorangan dan lain-lain).
Akan tetapi pemberian kredit tanpa jaminan tidak berati tidak ada jaminan
sama sekali, melainkan jaminan yang berbentuk bonafiditas dan prospek
usaha nasabah tetap diperhatikan dan ditekankan dengan sungguh-sungguh
dalam pertimbangan kreditnya.
Jaminan perkreditan dalam perkembangannya belakangan ini tidaklah
merupakan faktor mutlak lagi dalam pemberian kredit. Hal ini dipertegas
oleh R. Tjiptoadinugroho yang menyatakan: ÏLast but not least suatu pikiran
yang menyatakan bahwa pinjaman harus diukur dari besarnya jaminan
adalah tidak dapat dibenarkan dilihat dari segi falsafah perkreditan.
Seharusnya urutan pertanyaan yang tepat adalah berapa kebutuhan dan
berapa kesanggupan peminta kredit untuk memberikan jaminan dan tidak
sebaliknya".20 Jaminan sebenarnya ditujukan bagi perlindungan kepentingan
kreditur semata-mata dalam pengembalian pinjamannya dan untuk
membatasi pemberian pinjaman yang terlalu besar.
b) Kredit dengan jaminan
                                                            

R. Tjiptoadinugroho, Perbankan Masalah Perkreditan Penghayatan Analisis dan
Penuntun, Pradnya Paramita, Jakarta 1994, hal. 46.
20

 

 
Universitas Sumatera Utara

Yaitu kredit yang diberikan dimana debitur memberikan jaminan (misalnya
jaminan kebendaan, jaminan piutang, jaminan perorangan dan lain-lain) atas
pelunasan kreditnya.
E. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit
Menurut hukum, perjanjian kredit dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
yang terpenting memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dari
sudut pembuktian, perjanjian yang dilakukan secara lisan sulit untuk dijadikan
sebagai alat bukti, karena hakekat pembuatan perjanjian adalah sebagai alat bukti
bagi para pihak yang membuatnya. Dalam dunia modern yang kompleks ini
perjanjian lisan tentu sudah tidak dapat disarankan untuk digunakan meskipun
secara teori diperbolehkan karena perjanjian secara lisan sulit dijadikan sebagai
alat pembuktian bila terjadi masalah dikemudian hari. Untuk itu setiap transaksi
apapun haruslah dibuat secara tertulis yang digunakan sebagai alat bukti. Kita
menyimpan tabungan atau deposito di bank maka akan memperoleh tabungan atau
bilyet deposito sebagai alat bukti. Untuk pemberian kredit perlu dibuat perjanjian
kredit sebagai alat bukti.
Dasar hukum yang mengharuskan perjanjian kredit harus tertulis adalah:
1. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 115/EK/IN/10/1996 Tanggal 10 Oktober
1996, menegaskan bahwa bank dilarang melakukan pemberian kredit dalam
berbagai bentuk tanpa ada perjanjian kredit yang jelas antara bank dengan
debitur, nasabah atau bank-bank sentral dan bank-bank lainnya. Dari sini
jelaslah bahwa dalam memberikan kredit dalam berbagai bentuk wajib
dibuatkan perjanjian atau akad kreditnya.

 

 
Universitas Sumatera Utara

2. Surat Keputusan Direksi bank Indonesia Nomor 27/162/KEP/DIR dan Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 27/17/UPB Tanggal 31 Maret 1995 tentang
Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank Bagi
Bank Umum, yang menyatakan bahwa setiap kredit yang telah disetujui dan
disepakti pemohon kredit dituangkan dalam perjanjian kredit (akad kredit)
secara tertulis.
3. Surat Bank Indonesia yang ditujukan kepada segenap bank devisa No.
03/1093/UPK/PKD Tanggal 29 Desember 1970, khususnya butir 4 yang
berbunyi untuk pemberian kredit harus dibuat surat perjanjian kredit. Dengan
keputusan-keputusan tersebut maka pemberian kredit oleh bank kepada
debiturnya menjadi pasti bahwa:
a) Perjanjian diberi nama perjanjian kredit
b) Perjanjian kredit harus dibuat secara tertulis
Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis/bentuk akta yang dibuat sebagai
alat bukti. Setiap kredit yang diberikan harus dituangkan dalam perjanjian kredit
secara tertulis yang sekurang-kurangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Memenuhi keabsahan dan persyaratan hukum yang dapat melindungi
kepentingan bank.
2. Memuat jumlah, jangka waktu, tata cara pembayaran kembali kredit serta
persyaratan-persyaratan

kredit

lainnya

sebagaimana

ditetapkan

dalam

keputusan persetujuan kredit dimaksud.21
                                                            
21

 

Rachmadi Usman, Op.Cit, hal 267.

 
Universitas Sumatera Utara

Dalam praktek bank ada dua bentuk perjanjian kredit yaitu :
1. Perjanjian kredit yang dibuat di bawah tangan dinamakan akta di bawah tangan.
Menurut Pasal 1874 KUH Perdata yang dimaksud akta di bawah tangan adalah
surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantara pejabat
yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti. Pengikatan yang
dilakukan antara bank dan nasabah tanpa dihadapan notaris.

22

Artinya

perjanjian yang disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian ditawarkan
kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan mempercepat kerja
bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir perjanjian dalam bentuk
standard (standaardform) yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya disiapkan
terlebih dahulu secara lengkap. bentuk perjanjian kredit yang dibuat sendiri
oleh bank tersebut termasuk jenis akta di bawah tangan.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris atau pengikatan yang
dilakukan dihadapan notaris yang dinamakan akta otentik atau akta notariil.
Pasal 1868 KUH Perdata akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang yang dibuat atau dihadapan pegawai yang
berkuasa (pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya. Yang
menyiapkan dan membuat perjanjian ini adalah seorang notaris namun dalam
praktek semua syarat dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh bank
kemudian diberikan kepada kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta
notaril dimana notaris dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa
yang diinginkan para pihak yang bersangkutan dalam bentuk akta notaris atau
                                                            

Jopie Jusuf, Kriteria Jitu Memperoleh Kredit Bank, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta
2003, hal.165.
22

 

 
Universitas Sumatera Utara

akta otentik. Perjanjian kredit yang dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta
otentik biasanya untuk pemberian kredit dalam jumlah yang besar dengan
jangka waktu menengah atau panjang, seperti kredit investasi, kredit modal
kerja, kredit sindikasi (kredit yang diberikan lebih dari satu kreditur atau lebih
dari satu bank).23
Perjanjian kredit termasuk salah satu jenis akta yang dibuat sebagai alat
bukti sehingga dalam menyusun dan membuat perjanjian kredit harus memenuhi
syarat hukum yaitu mencakup:
1. Judul
Perjanjian kredit tidak termasuk perjanjian bernama yang diatur dalam KUH
Perdata. Dalam praktek perbankan judul yang digunakan untuk membuat
perjanjian kredit berbeda-beda. Ada yang menggunakan judul perjanjian kredit,
perjanjian membuka kredit, perjanjian pinjaman, perjanjian pinjam uang. Judul
berfungsi sebagai nama dari perjanjian yang dibuat, setidaknya kita akan
mengetahui bahwa akta atau surat itu merupakan perjanjian kredit bank.
2. Komparasi
Sebelum memasuki substansi perjanjian kredit bank, terlebih dahulu diawali
dengan kalimat komparasi yang berisikan identitas, dasar hukum, dan
kedudukan para pihak yang akan mengadakan perjanjian kredit bank. Disini
menjelaskan sejelasnya tentang identitas, dasar hukum, dan kedudukan subjek
hukum perjanjian kredit bank. Sebuah perjanjian kredit bank akan dianggap

                                                            
23

 

Sutarno, Op.Cit., hlm. 101.

 
Universitas Sumatera Utara

sah bila ditandatangani oleh subjek hukum yang berwenang untuk melakukan
perbuatan hukum yang demikian itu.
3. Substantif
Sebuah Perjanjian Kredit bank berisikan klausula-klausula yang merpakan
ketentuan dan syarat-syarat pemberian kredit.
Secara umum isi Perjanjian kredit berisi pihak pemberi kredit, tujuan
pemberian kredit, besarnya biaya proyek, besarnya kredit yang diberikan bank,
tingkat bunga kredit, biaya-biaya lain, jangka waktu pengembalian, jadwal
pengembalian, jadwal pembayaran, jaminan kredit, syarat yang harus dipenuhi
sebelum dicairkan, kewajiban nasabah selama kredit belum dilunasi, serta hak-hak
yang dimiliki bank selama kredit belum lunas.24
Dalam sebuah perjanjian kredit memuat serangkaian klausula/Covenant
dimana sebagian besar dari klausula/Covenant tersebut merupakan upaya untuk
melindungi para kreditur dalam pemberian kredit yang merupakan serangkaian
persyaratan yang diformulasikan dalam kondisi-kondisi kredit dari segi financial
hukum. 25 Klausula atau Covenant adalah suatu persetujuan/janji oleh penerima
kredit dalam suatu perjanjian untuk melakukan/tidak melakukan tindakan
tindakan tertentu. Suatu Covenant yang menetukan tindaka-tindakan yang harus

                                                            
24

83.

Juli Irmayanto dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti, Jakarta 2004, hal.

25
Nortan Joseph (Ed), Commercial Loan Documentation Guide, NewYork, Mathew Bender
and co,1989, chapter 11.02 dikutip dari buku Johannes Ibrahim, Bank Sebagai Lembaga
Internasional dalam Hukum, CV.Utama, Bandung, 2004.

 

 
Universitas Sumatera Utara

dilakukan disebut positive/affirmative Covenant, sedangkan yang tidak boleh
dilakukan disebut negative Covenant.26
Klausula

membebankan

kewajiban-kewajiban

kepada

penerima

kredit/debitur yang bertujuan melindungi kepentingan pemberi kredit/kreditur.
klausula tersebut berusaha untuk menghadapi terjadinya keadaan-keadaan tertentu
dari masing-masing bisnis nasabah debitur.
Perjanjian kredit yang baik minimal memuat klausula-klausula yang
berhubungan dengan;
1. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (Predisbursemt Clause). Klausul ini
menyangkut;
a) pembayaran provisi, premi asuransi kredit dan asuransi barang jaminan serta
biaya-biaya pengikatan jaminan secara tunai.
b) penyerahan barang jaminan dan dokumennya serta pelaksanaan pengikatan
barang jaminan tersebut.
c) pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit dengan
tujuan untuk memperkecil risiko yang terjadi diluar kesalahan debitur
maupun kreditur.
2. Klausula mengenai maksimum kredit (Amount Clause). Klausula ini
mempunyai arti penting dalam beberapa hal, yaitu;
a) merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan
mengenai materi ini menimbulkan konsekuensi diperlukannya pembuatan
perjanjian kredit baru.
                                                            

Sutan Remy Sjahdeni, Kredit Sindikasi Proses Pembentukan dan Aspek Hukum, Pustaka
Utama Grafiti, Jakarta, 1997, hal. 156-157. 
26

 

 
Universitas Sumatera Utara

b) merupakan batas kewajiban pihak kreditur yang berupa penyediaan dana
selama tenggang waktu perjanjian kredit, yang berarti pula batas hak debitur
untuk melakukan penarikan pinjaman.
c) merupakan penetapan berapa besarnya nilai anggunan yang harus
diserahkan,

dasar

perhitungan

penetapan

besarnya

provinsi

atau

commitment free merupakan batas dikenakannya denda kelebihan tarik
(overdarft).
3. Klausula mengenai bunga pinjaman (Interest Clause). Klausula ini diatur secara
tegas dalam perjanjian kredit dengan maksud untuk;
a) Memberikan kepastian mengenai hak bank untuk memungut bunga
pinjaman dengan jumlah yang sudah disepakati bersama, karena bunga
merupakan penghasilan bank baik secara langsung maupun tidak langsung
akan diperhitungkan dengan biaya dana untuk penyediaan fasilitas kredit
tersebut
b) Pengesahan pemungutan bunga diatas 6% per tahun asalkan diperjanjikan
secara tertulis.
4. Klausula Asuransi (Insurance Clause)
Klausula ini bertujuan untuk pengalihan risiko yang mungkin terjadi, baik atas
barang anggunan maupun atas kreditnya sendiri.
5. Klausula mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (Negative Clause)
Klausula ini terdiri dari berbagai macam hal yang mempunyai akibat yuridis
dan ekonomi bagi pengamanan kepentingan bank sebagai tujuan utama.
6. Tigger Clause atau Opeisbaar Clause

 

 
Universitas Sumatera Utara

Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara
sepihak walaupun jangka waktu perjanjia kredit tersebut belum berakhir.
7. Klausula mengenai denda (Penalty Clause)
Klausul ini mempertegas hak-hak bank untuk melakukan pemungutan baik
mengenai besarnya maupun kondisinya.
8. Expence Clause
Klausul ini mengatur mengenai beban biaya yang timbul akibat pemberian
kredit, dibebankan kepada nasabah meliputi pengikatan jaminan, pembuatan
akta-akta perjanjian kredit, pengangkutan utang, dan penagihan kredit.
9. Deber Autho Rization Clause
Pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan izin debitur.
10. Respresentation and Warranties Clause
Klausul ini dimaksudkan pihak debitur menjanjikan dan menjamin semua data
dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar dan tidak
diputarbalikkan.
11. Pasal-Pasal Penutup
Pasal Penutup merupakan eksemplar perjanjian kredit yang maksudnya
mengadakan peraturan mengenai jumlah alat bukti dan tanggal mulai
berlakunya perjanjian kredit secara tanggal penandatanganan perjanjian kredit.

 

 
Universitas Sumatera Utara