Perbedaan Efektifitas Terapi Applied Behavior Analysis Teknik Extinction Dengan Dan Tanpa Media Video Modelling Untuk Mengurangi Restricted Behavior Pada Anak Autism Spectrum Disorder

BAB II
LANDASAN TEORI

II.A. Autism Spectrum Disorder (ASD)
II.A.1. Pengertian Autism Spectrum Disorder (ASD)
Istilah Autis berasal dari bahasa Greek yaitu: autos yang berarti “self”
atau diri sendiri. Istilah ini pertama sekali diperkenalkan oleh sorang psikiater
yang bernama Eugen Bleuler. Bleuler menggunakan istilah autis untuk
menunjukkan anak yang menampilkan perilaku menarik diri yang sangat ekstrem
dari lingkungan sosialnya dan dipandang sebagai pasien dengan gangguan yang
parah (Kerig & Wenar, 1998).
Keenan Mickey, dkk (2000) mengatakan bahwa Autism Spectrum
Disorder (ASD) merupakan sebuah gangguan perkembangan pervasif. Secara
umum, anak yang terdiagnosa ASD memperlihatkan beberapa gangguan dan
defisit dalam perilaku sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan dan defisit
perilaku yang dimiliki berbeda dari satu anak ke anak yang lain dan biasanya hal
ini terlihat pada sosial interaksi, bahasa, sosial komunikasi, bermain simbolis dan
imaginasi, dan pola perilaku repetitif dan stereotype.
Brereton (2002) mengatakan gangguan Autism Spectrum Disorder (ASD)
merupakan suatu kondisi abnormalitas nyata, yaitu gangguan perkembangan pada
interaksi sosial dan komunikasi serta terbatasnya aktifitas dan minat. Manifestasi

dari gangguan ini sangat tergantung pada tingkat perkembangan dan usia individu.
Gangguan ASD terkadang disebut sebagai: infantile autism, autis masa kanakkanakatau autis Kanner’s.
16
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Autism Spectrum
Disorder (ASD) adalah: sebuah gangguan perkembangan pervasif dimana anak
menampilkan perilaku menarik diri yang sangat ekstrim dari lingkungan sosialnya
dan memperlihatkan gangguan dalam hal interaksi sosial, bahasa, sosial
komunikasi, bermain simbolis dan adanya pola perilaku repetitif dan stereotype.

II.A.2. Karakteristik Diagnostik ASD
Menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder,

fifth

edition (APA, 2013) karakteristik anak yang mengalami ASD adalah:
A. Defisit yang menetap dalam komunikasi sosial dan interaksi sosial
di beberapa konteks, yang terlihat saat ini atau terlihat dari riwayat:
1.


Defisit dalam interaksi sosial emosional, memulai interaksi,
contoh: pendekatan sosial yang aneh (abnormal) dan tidak
mampu

untuk

memulai

dan

mengakhiri

percakapan,

berkurangnya minat untuk berbagi kesenangan, emosi, atau
tidak mampu untuk memulai dan mengakhiri interaksi sosial.
2.

Defisit dalam komunikasi nonverbal yang digunakan untuk

interaksi sosial, memulai interaksi nonverbal, misalnya:
komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak terintegrasi,
adanya keanehan dalam kontak mata dan bahasa tubuh, atau
sulit dalam memahami dan menggunakan bahasa tubuh, tidak
mampu menunjukkan ekspresi wajah dan komunikasi
nonverbal.

17
Universitas Sumatera Utara

3.

Defisit dalam membangun, mempertahankan dan memahami
relasi, tidak mampu memulai hubungan, contoh: sulit
menyesuaikan perilaku sesuai dengan berbagai konteks sosial,
sulit berbagi dalam bermain imajinatif, tidak adanya minat
untuk bermain dalam kelompok.

B. Pola perilaku yang terbatas dan repetitif, minat dan aktifitas yang
terbatas, yang termanifestasi sedikitnya dua dari perilaku berikut:

1. Adanya gerakan stereotipe dan repetitif, menggunakan objek
atau

bahasa

(contoh:

gerakan

stereotipe

sederhana,

membariskan mainan atau membalik objek, ekolalia, frase
idiosyncratic).
2. Perhatian yang berlebihan pada kesamaan, rutinitas yang kaku
atau pola perilaku verbal dan non verbal yang diritualkan
(contoh: stres yang berlebihan pada perubahan kecil, merasa
kesulitan pada situasi transisi, pola berpikir yang kaku, ucapan
ritual, harus pada rute yang sama dan makanan yang sama

setiap hari).
3. Sangat terbatas (highly restricted) dan terpaku yang tidak biasa
(abnormal), fokus dan

frekuensiyang berlebihan (contoh:

ketertarikan yang kuat atau senang pada objek yang tidak biasa
dan minat yang terbatas).
4. Hyper atau hypoaktif pada input sensori atau keterarikan yang
tidak biasa pada aspek sensori dari lingkungan (contoh: tidak

18
Universitas Sumatera Utara

perduli terhadap rasa nyeri/temperatur, respon negatif pada
suara atau tekstur tertentu, mencium bau berlebihan atau
menyentuh benda-benda, daya tarik visual terhadap cahaya
atau gerakan).
C. Simptom sudah muncul pada masa awal periode perkembangan
(walau tidak semua terpenuhi atau mungkin dapat ditutupi dengan

strategi belajar dikemudian hari).
D. Symptom disebabkan oleh gangguan klinis yang signifikan dalam
kehidupan sosial, pekerjaan atau fungsi penting area hidup yang
lainnya.
E. Gangguan ini tidak disebaban oleh gangguan kecerdasan
(intellectual developmental disorder), atau global developmental
delay, intelectual disability dan autism spectrum disorder
frequently co-occure, untuk membuat diagnosa autis, intellectual
disabilty dan social communication maka harus diperhatikan level
perkembangan secara umum.

II.A.3. Tingkat Keparahan ASD
Berdasarkan The Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder V
edition (APA, 2013) tingkat keparahan ASD dibagi atas

3 kelompok,

sebagaimana tergambar dari tabel 2.1 berikut ini:

19

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1. Tingkat Keparahan Pada ASD
Tingkat Keparahan pada Autism Spectrum Disorder
Tingkat Keparahan
Social Communication
Restricted, Repetitive
Behavior
Level 1
 Mengalami
gangguan  Menunjukkan perilaku
“Membutuhkan
dalam komunikasi sosial.
yang kaku (inflexibility
Dukungan”
of behavior) sehingga
 Kesulitan
memulai
menyebabkan gangguan
interaksi sosial.

yang signifikan dalam
keberfungsian dalam satu
atau beberapa bidang
kehidupan.
 Mengalami
kesulitan
untuk mengubah fokus
atau tindakan.
Level 2
 Mengalami gangguan  Menunjukkan perilaku
“Sangat
dalam
keterampilan
yang kaku(inflexibility
Membutuhkan
komunikasi sosialverbal
of behavior). Kesulitan
Dukungan”
dan nonverbal.
menghadapi perubahan.

 Kemampuan
yang  Perilaku
restricted
terbatas untuk memulai
muncul cukup sering
interaksi sosial.
dan terlihat jelas bagi
pengamat biasa dan
 Kurangnya tanggapan
mengganggu
terhadap tawaran sosial
keberfungsian dalam
dari orang lain.
banyak
konteks
kehidupan.
 Anak akan mengalami
distress
untuk
mengubah fokus atau

tindakan.
Level 3
 Kesulitan yang parah  Menunjukkan perilaku
“Amat
Sangat
dalam
kemampuan
yang kaku (inflexibility
Membutuhkan
komunikasi verbal dan
of behavior).
Dukungan”
non-verbal
sehingga  Kesulitan
ekstrim
menyebabkan gangguan
menghadapi perubahan.
yang
parah
pada  Perilaku

restricted
keberfungsian seharisangat sering muncul
hari.
dan
mengganggu
 Kemampuan
yang
keberfungsian dalam
sangat terbatas untuk
semua
bidang
memulai
interaksi
kehidupan.
sosial
dan
respon  Mengalami
distress
minimal
untuk
yang parah
untuk
melakukan
tawaran
mengubah fokus atau
sosial dari orang lain.
tindakan.

Sumber : The Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder
(APA, 2013)
20
Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan keterangan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ASD
adalah salah satu defisit perkembangan yang memiliki ciri: terhambatnya
komunikasi dan bahasa, memperlihatkan perilaku berulang dan minat yang
terbatas (restricted behavior), dengan tingkat keparahan dari level 1 hingga level
3.

II.A.4. Restricted Behavior Pada Anak ASD
Restricted behavior merupakan perilaku terbatas yang dilakukan terus
menerus atau ketertarikan pada satu atau beberapa hal (Haugaard, 2008).
Sedangkan menurut The Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Retardation,

fifth

edition pada anak dengan gangguan Autism Spectrum Disorder

(ASD) terlihat adanya pola restricted dan repetitive pada perilaku, minat dan
aktifitas. Pola perilaku restricted dan rutinitas

yang melekat manifestasinya

terlihat dari perilaku yang tidak suka pada perubahan (misalnya: anak akan stress
pada perubahan kecil), kaku terhadap aturan dan pola yang sudah ada. (APA,
2013).

II.A.5. Ciri-ciri Restricted Behavior
Menurut Wenar & Kerig (2007) ciri

restricted behavior pada anak

Autistic Spectrum Disorder (ASD) adalah mereka lebih suka melakukan satu
aktivitas untuk waktu yang lama, terkadang aktifitas tersebut dapat menjadi ritual
yang kompleks misalnya: aktifitas anak ASD yang berusia 5 tahun, ia
memasukkan sebuah mainan ke dalam mainan mobil truk, lalu membelokkan

21
Universitas Sumatera Utara

mobil mainannya, lalu memutar roda mobil sambil membuat suara-suara, pergi ke
arah jendela, kemudian melihat kearah luar sambil menepuk-nepuk jari, kemudian
kembali ke mobil mainan, dan kembali mengulang pola yang tadi secara terus
menerus. Restricted behavior pada anak ASD bukan hanya pada pola perilaku
yang kaku, akan tetapi anak juga akan panik apabila terjadi perubahan kecil pada
lingkungan sekitarnya seperti: ketika makanan yang disediakan berbeda dari yang
biasanya atau ketika kursi yang ada dalam ruangan dipindahkan ke sudut yang
lain.

II.A.6. Penyebab ASD
Teori diawal mengatakan penyebab anak mengalami ASD adalah
gangguan yang bersifat psikogenik yaitu faktor-faktor psikologis yang
bertanggung jawab atas terjadinya gangguan ini (dalam Davison, 2006).
Perspektif ini kemudian digantikan oleh bukti-bukti penelitian terbaru

yang

mengatakan bahwa banyak faktor lain yang menjadi penyebab anak mengalami
gangguan ASD diantaranya adalah:
1. Faktor Genetik
Menurut McBride, dkk (dalam Davison, 2006) bahwa studi
genetik mengenai ASD sulit dilakukan karena gangguan ini sangat
jarang terjadi. Metode keluarga memunculkan masalah tersendiri
karena penderita ASD hampir tidak pernah menikah. Meskipun
demikian, bukti-bukti yang muncul sangat menunjukkan adanya basis
genetik dalam gangguan ASD. Contoh: resiko ASD pada saudara-

22
Universitas Sumatera Utara

saudara kandung dari orang-orang yang mengalami gangguan tersebut
sekitar 75 kali lebih besar dibanding jika kasus indeks tidak mengalami
gangguan ASD.
Penelitian faktor genetik pada anak ASD masih terus dilakukan
hingga saat ini. Sampai saat ini ditemukan kurang lebih 20 gen yang
berkaitan dengan ASD namun gejala ASD baru bisa muncul jika
terjadi kombinasi dari banyak gen. Bisa saja ASD tidak muncul
meskipun anak tersebut membawa gen ASD. Diperlukan faktor
pemicu yang lain sebagai pencetus gejala ASD (Budhiman dkk, 2002).
2. Faktor Neurologis (Gangguan Pada Susunan Saraf Pusat)
Berbagai studi EEG terhadap anak ASD mengindikasikan
bahwa banyak diantaranya yang memiliki pola gelombang otak
abnormal. Berbagai tipe uji neurologis lainnya juga mengungkap
adanya tanda-tanda disfungsi otak pada anak-anak ASD (Davison,
2006). Eric Courchesne melakukan pemeriksaan lewat metode MRI
dan menemukan pengecilan otak kecil (cerebellum) pada banyak
penyandang ASD, terutama pada lobus VI-VII. Lobus VI dan VII dari
cerebellum banyak berisi sel-sel Purkinje yang memproduksi
neurotransmiter serotonin dan pada anak penderita ASD ditemukan
bahwa sel Purkinje sangat kurang. Dampaknya menyebabkan produksi
serotonin berkurang sehingga penyaluran rangsang atau informasi
antar sel otak menjadi kacau. Margareth Bauman menemukan adanya
kelainan struktur pada pusat emosi dalam otak (sistem limbik) yang

23
Universitas Sumatera Utara

menyebabkan emosi pada anak autis sering terganggu (dalam
Budhiman dkk, 2002).
3. Gangguan Pencernaan
Parker Beck seorang anak penyandang ASD di Amerika pada
tahun

1997

atas

permintaan

ibunya

dilakukan

endoskopi

(peneropongan atau pemeriksaan dengan peralatan yang langsung
dimasukkan

ke

dalam

ususnya),

hasilnya

diketahui

fungsi

pencernaannya buruk. Kemudian ibunya meminta agar diberi suntikan
sekretin (hormon perangsang pankreas sehingga lancar memproduksi
enzim peptidase) dan hasilnya ternyata gejala autismenya berkurang,
bahkan dikatakan menghilang. Setelah ibu Parker menyebarluaskan
informasi ini, banyak orang tua yang memiliki anak ASD memberikan
hormon sekretin kepada anaknya, walau tidak semua kondisi anak
ASD membaik setelah diberi sekretin, namun setidaknya penemuan ini
menjadi sumbangan penting bagi penanganan ASD. Ternyata ada
hubungan antara gangguan pencernaan dengan gejala autisme. Kasus
Parker Beck ini menjadi pemicu penelitian-penelitian yang mengarah
pada gangguan metabolisme pencernaan (dalam Budhiman, 2002).
4. Peradangan Pada Dinding Usus
Fenomena Parker Beck ini mendorong beberapa ibu di Inggris
untuk mendatangi seorang ahli pencernaan (gastro-enterologi) yaitu:
dokter Andrew Wakefield dan memintanya untuk melakukan
pemeriksaan endoskopi. Wakefield menemukan adanya peradangan

24
Universitas Sumatera Utara

usus, ia menduga bahwa peradangan tersebut disebabkan oleh virus
yang didapat dari vaksinasi MMR. Setelah itu ia melakukan penelitian
yang mengikutsertakan 160 anak yang mengalami ASD dan Wakefield
menemukan adanya RNA (virus campak). RNA virus campak yang
ditemukan ini ternyata sama dengan virus campak yang disuntikkan
melalui vaksinasi MMR. Hal ini kemudian menarik minat beberapa
ahli dan melakukan penelitian yang sama dan mendapatkan hasil yang
tidak berbeda (Budhiman, 2002).
5. Keracunan Logam Berat
Pada pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada rambut
dan darah ternyata banyak ditemukan logam berat beracun pada anak
ASD. Pada tahun 2000 Sallie Bernard, seorang ibu dari anak-anak
ASD meneliti soal merkuri. Ia meneliti vaksin-vaksin yang memakai
thimerosal sebagai bahan pengawet dan menemukan bahwa gejala
yang diperlihatkan anak ASD nyaris sama dengan gejala keracunan
merkuri. Hal ini kemudian diperkuat dengan membaiknya gejala-gejala
ASD setelah dilakukan kelasi, dimana merkuri dikeluarkan dari tubuh
dan otak anak (Budhiman dkk, 2002).
6. Masalah Pada Masa Kehamilan dan Proses Melahirkan
Autisme berhubungan dengan masalah-masalah yang terjadi
pada masa 8 minggu pertama kehamilan. Ibu yang mengkonsumsi
alkohol, terkena virus rubella, menderita infeksi kronis atau
mengkonsumsi obat-obatan terlarang juga diduga mempertinggi resiko

25
Universitas Sumatera Utara

anak menderita ASD. Proses melahirkan yang sulit sehingga
menyebabkan bayi kekurangan oksigen juga diduga berperan penting.
Bayi yang lahir prematur atau mempunyai berat badan di bawah
normal lebih besar kemungkinannya untuk mengalami gangguan pada
otak bila dibandingkan dengan bayi normal (Ginanjar, 2008).

II.B. TerapiApplied Behavioral Analysis (ABA)
II.B.1. Sejarah Terapi ABA
Lovaas memulai eksperimen dengan cara mengaplikasikan teori B.F.
Skinner yaitu “Operant Conditioning” pada tahun 1970-an. Di dalam teori ini
Skinner secara ilmiah mendemonstrasikan bahwa consequences (konsekuensi atau
akibat) memiliki pengaruh yang kuat dan dapat diperkirakan (predictable)
terhadap perilaku. Sebuah konsekuensi yang memperkuat perilaku disebut dengan
reinforcer (penguat atau imbalan). Pada operant conditioning, jika perilaku diikuti
oleh reinforcer maka akan terjadi probabilitas (peningkatan kemungkinan) bahwa
perilaku yang sama akan terulang lagi pada keadaan yang sama. Jika perilaku
tidak diikuti oleh reinforcer maka perilaku akan menurun atau tidak terjadi lagi.
Lovaas melakukan eksperimen kepada sejumlah anak ASD dan hasil
eksperimen tersebut kemudian dipublikasikan dalam sebuah buku berjudul
Behavioral Treatment and Normal Educational and Intellectual Functioning in
Young Autistic Children pada tahun 1987. Model terapi ini kemudian dikenal
dengan Applied Behavior Analysis (ABA). Model terapi ini menggunakan metode
Modifikasi Perilaku (Behavior Modification) diberikan kepada 19 anak ASD

26
Universitas Sumatera Utara

berumur dibawah 4 tahun. Dari penelitiannya Lovaas mendapatkan suatu
konsensus bahwa variabel yang merupakan hal penting dalam menunjang
optimalisasi pelaksanaan terapi ialah: intervensi dilakukan sedini mungin
(semakin muda usia anak maka akan semakin baik), keterlibatan orang tua, fokus
masyarakat dan frekuensitatalaksana.
Terapi ABA memiliki beberapa teknik dan untuk mengurangi perilaku
bermasalah pada anak ASD digunakan teknik extinction. Prinsip dari extinction
adalah apabila anak ASD memunculkan perilaku tertentu dan konsekuensi dari
perilaku tersebut mendapat reinforcement positif, maka anak akan cenderung
mempertahankan perilaku tersebut. Demikian sebaliknya apabila konsekuensi
perilaku mendapat reinforcement negatif, maka anak cenderung tidak akan
mengulang perilaku tersebut. Akan tetapi pemberian penguat (reinforcement)
harus di kontrol dari awal sampai akhir pelaksanaan intervensi. (Keenan Mickey
dkk, 2000).

II.B.2. Extinction
Menurut Ivaan Lovass (dalam Keenan Mickey dkk, 2000) extinction
bertujuan untuk mengurangi perilaku bermasalah pada anak ASD . Prinsip dari
Extinction adalah apabila anak ASD memunculkan perilaku tertentu dan
konsekuensi dari perilaku tersebut menguntungkan maka anak akan cenderung
mempertahankan perilaku tersebut, demikian pula sebaliknya apabila konsekuensi
dari perilaku itu dihilangkan maka anak tidak akan memunculkan lagi perilaku
tersebut. Akan tetapi anak tetap harus mendapat pemberitahuan tentang aturan

27
Universitas Sumatera Utara

dan perjanjian tertentu misalnya: akan mendapat hadiah (positive reinforcement)
tertentu apabila berhenti menjerit. Selain itu, kita juga harus menentukan objek
pengganti atau perilaku pengganti (alternative behavior). Pada saat pelaksanaan
program kemungkinan akan terjadi extinction burst yaitu perilaku anak menjadi
bertambah parah dari sebelumnya, sehingga dibutuhkan konsistensi untuk tetap
melanjutkan program yang telah dibuat.
Dalam kehidupan kita betapa sering kita dipengaruhi oleh extinction.
Individu biasanya akan melakukan apa yang muncul secara alami dalam kegiatan
sehari-hari mereka. Mungkin diperlukan beberapa pengulangan dari perilaku dan
pemberian penguat (reinforcement) akan dikurangi apabila penurunan perilaku
sudah benar-benar jelas terlihat dalam frekuensi. Namun demikian, efek dari
perilaku akan masih tetap ada. Namun hal yang perlu diingat bahwa, extinction
hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan penyebab berkurangnya perilaku
yang tidak diharapkan. Perilaku juga dapat berkurang karena beberapa hal
diantaranya adalah: forgetting. Dalam forgetting, perilaku berkurang sebagai suatu
fungsi waktu setelah kejadian terakhir dari perilaku. Extinction berbeda dengan
semua itu, pada extinction perilaku berkurang disebabkan oleh pemberian
reinforcement (dalam Keenan Mickey dkk, 2000).

II.B.3. Alternative Behavior (Perilaku Pengganti).
Alternative behavior merupakan objek pengganti atau perilaku pengganti
yang diberikan pada anak sebagai pengganti perilaku yang tidak diharapkan yang
dimunculkan oleh anak. Beberapa gerakan dapat dipilih sebagai perilaku

28
Universitas Sumatera Utara

pengganti, diantaranya gerakan menggenggam tangan. Dalam yoga, banyak
gerakan yang dapat dilakukan yang bertujuan untuk menenangkan diantaranya
adalah dengan menggenggam tangan. Yoga secara harafiah berarti “bersatu atau
bergabung” yang berarti terjadinya penggabungan atau menyatukan pikiran dan
tubuh ke dalam satu kesatuan yang saling melekat dan seimbang. Yoga berasal
dari bahasa Sansekerta kuno yang memiliki dua arti yang berbeda yaitu: arti
umum dan arti teknis. Dalam arti umum, kata yoga berasal dari kata Yujiryoge
yang berarti bergabung, bersatu, atau persatuan dari dua benda atau lebih.
Sedangkan arti teknis, kata yoga diperoleh dari kata Yuj yang berarti suatu
keadaan stabil, diam dan damai (Worby, 2007). Dalam yoga, gerakan dengan
mengutamakan kekuatan tangan dan jari disebut Mudra. Tangan dan jari diyakini
mampu memproduksi suatu jenis energi atau gelombang elektromagnetis dan
setiap jari memiliki gelombang elektromagnetis yang berbeda. Dengan menekan
sisi-sisi jari akan dapat mempengaruhi emosi dan organ tubuh yang berkaitan
(Ramaiyah, 2009).
Yoga merupakan suatu teknik yang dapat dilakukan untuk membawa
perubahan sehingga dapat menenangkan pikiran, dan membuat pikiran menjadi
lebih terpusat. Bersamaan dengan pikiran yang bisa menjadi tenang, tubuh akan
terbuka untuk melepaskan ketegangan dan emosi yang telah tertahan untuk waktu
yang lama. Beberapa manfaat dari yoga: sebagai pembaruan energi, perbaikan
sirkulasi darah, menghilangkan penyakit kronis dan mengurangi stress, membantu
menjadikan tubuh dan pikiran menjadi rileks, peningkatan kepadatan tulang,
membantu keseimbangan emosi (Ramaiyah, 2009).

29
Universitas Sumatera Utara

Dalam brain gym, gerakan menggenggam tangan sebagai salah satu gerakan
sederhana yang dapat meningkatkan keseimbangan dan kontrol emosi sehingga
gerakan ini dapat memberikan efek menenangkan sehingga dapat menurunkan
tingkat kecemasan (Ayinosa, 2009).

II.B.4. Tahapan Pelaksanaan Terapi ABA
Dalam pelaksanaan terapi ABA, menurut Ivaan Lovass ada beberapa
tahapan yang harus dilakukan (dalam Kenan Mickey dkk, 2000) yaitu:
1. Defining behavior
Tahap awal yang harus dilakukan sebelum intervensi ialah:
mendefinisikan perilaku yang hendak diintervensi atau mengidentifikasi
target perilaku. Hal ini sangat penting karena bertujuan untuk menentukan
target perilaku dengan tepat.
2. Measuring behavior
Setelah menentukan perilaku apa yang hendak diintervensi maka
tahap selanjutnya adalah mengukur perilaku tersebut. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan ialah: frekuensi, durasi dan frekuensiperilaku yang
ditampilkan oleh anak ASD. Selain itu perlu juga diperhatikan berapa kali
perilaku tersebut muncul dalam sehari, kapan saja perilaku tersebut muncul
dan apa penyebabnya.
3. Keeping data
Mencari dan mengumpulkan data sebelum pelaksanaan intervensi
dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai perilaku anak. Keeping

30
Universitas Sumatera Utara

data dalam behavior analysis disebut juga dengan: data-based decisionmaking. Data dapat diperoleh dari orang tua, saudara sekandung, kakak
asuh, dari terapis dan dari pengamatan langsung terhadap perilaku anak.
Seluruh data yang dikumpulkan merupakan segala sesuatu yang terkait
dengan perilaku yang hendak diintervensi. Misalnya: apa penyebab anak
menunjukkan

perilaku

tersebut,

kapan

dan

dimana

saja

anak

memperlihatkan perilaku tersebut, berapa lama anak memperlihatkan
perilaku tersebut, bagaimana respon / reaksi orang tua dan orang-orang
sekitar saat perilaku anak muncul.
4. Learning ABCs
Setelah mengumpulkan data-data maka tahap selanjutnya adalah
menentukan stimulus-respon dan konsekuensi atau biasa disebut dengan
ABC yang merupakan singkatan dari: Antecedent, Behavior, dan
Consequences. ABC dalam behavior analysis disebut sebagai “ three-term
congtingency” dimana ada pola sederhana: jika A terjadi maka akan terjadi
B, kemudian akan diikuti oleh C. Contoh: seorang anak ASD yang selalu
menepuk-nepuk tangan, perilaku ini hanya muncul saat anak tidak memiliki
aktifitas atau saat anak mengalami cemas. Saat anak menunjukkan perilaku
ini maka orang-orang disekitar anak (orang tua dan terapis) akan melarang
anak, akan tetapi apabila dilarang maka anak akan marah, berteriak dan
tantrum. Dalam kasus ini, kondisi anak saat tidak memiliki aktifitas dan
cemas merupakan antecedent (A), kemudian diikuti perilaku menepuknepuk tangan (behavior/ B) dan konsekuensinya (consequences / C) orang

31
Universitas Sumatera Utara

tua / terapis melarang anak sehingga anak berteriak dan tantrum. Ketika
ingin mengurangi perilaku menepuk-nepuk tangan kepada anak maka pada
saat anak menepuk tangan maka instruksi yang kita berikan “tidak”.
Masalah di awal adalah anak pasti tidak akan mengikuti instruksi, sehingga
langkah berikutnya adalah memberikan aktifitas pengganti sebagai
pengganti perilaku anak menepuk tangan yaitu dengan menggenggam
jariatau disebut dengan behavior. Jika anak memberikan respon seperti yang
kita harapkan maka kita akan memberikan pujian atau reinforcement
sebagai konsekuensi anak telah menggenggam jari (consequences). Hal ini
digambarkan dengan:
Antecedent

Behavior

Consequences

pada saat tidak ada

menggenggam jari

hadiah /pujian

aktifitas atau kondisi cemas
5. Selecting and finding reinforcers
Hal yang harus diperhatikan pada saat pelaksanaan intervensi
adalah pemilihan penguat (reinforcement) yang tepat bagi anak. Reinforcer
dibagi menjadi dua yaitu: positive reinforcement (penguat positif) dan
negative reinforcement (penguat negatif).

Positive reinforcement dibagi

menjadi 5 yaitu: consumable reinforcer (seperti: makanan, minuman),
activity reinforcer (seperti: aktifitas belanja, hobi, olahraga), manipulative
reinforcer (seperti: bersepeda), possesional reinforcer (gelas kesayangan,
baju kesukaan), social reinforcer (pujian, pelukan, senyuman). Pada saat
tahap keeping data kita telah mengumpulkan data mengenai hal-hal apa saja

32
Universitas Sumatera Utara

yang disukai dan yang tidak disukai oleh anak, sehingga yang kita lakukan
pada tahap ini ialah memilih penguat yang tepat bagi anak. Sebaiknya
reinforcement yang diberikan merupakan sesuatu yang menarik perhatian
anak dan merupakan benda yang konkrit seperti: tos atau menggelitik anak.
Hal yang harus diperhatikan bahwa setiap anak berbeda dalam merespon
penguat sehingga kita harus memilih penguat yang paling efektif.
6. Planning intervention
Setelah mendapatkan semua data yang dibutuhkan maka tahap
selanjutnya adalah merencanakan intervensi. Dalam tahap perencanaan ini
yang dilakukan ialah: menentukan siapa yang akan melaksanakan
intervensi, berapa lama (berapa hari, bulan atau tahun) intervensi akan
dilakukan, lama durasi pelaksanaan intervensi,kapan dan dimana
intervensi akan dilakukan, peralatan apa saja yang diperlukan pada saat
pelaksanaan intervensi.
7. Starting work
Tahap terakhir adalah mulai melakukan semua tahap yang sudah
direncanakan sebelumnya.

II.B.4. Lama Waktu Pelaksanaan Terapi ABA
Menurut Handoyo (2003) anak ASD yang mendapatkan terapi ABA
selama 40 jam dalam seminggu (dilakukan 8 jam perhari selama 5 hari dalam 1
minggu) maka dalam kurun waktu 2 sampai 2,5 tahun anak sudah mampu untuk
mengikuti sekolah reguler sesuai dengan usianya. Dalam kurun waktu 2 sampai

33
Universitas Sumatera Utara

2,5 tahun tersebut, setiap hari anak diberikan berbagai materi mulai dari tingkat
dasar yaitu melatih kemampuan kontak mata dan kepatuhan pada anak, sampai
pada materi untuk melatih kesiapan anak untuk masuk sekolah. Masih menurut
Handoyo, keberhasilan ABA tidak terlepas dari peran aktif keluarga sehingga
penanganan yang diberikan pada anak tidak hanya dilakukan di tempat terapi saja
tetapi sebaiknya jjuga dilakukan di rumah (bersama ibu, ayah atau pengasuh).
Apabila hal ini dilakukan, maka setelah 6 bulan anak akan mengalami kemajuan.
Beberapa penelitian yang menggunakan metode ABA memiliki batasan
waktu yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Sambandam,
Rangaswami dan Thamizharasan (2014) untuk memperbaiki perkembangan secara
umum, bahasa dan perilaku adaptif pada anak ASD dilakukan 5 kali dalam
seminggu (hari Senin sampai dengan hari Jumat), 4 jam setiap hari selama 1
tahun. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Cardon & Wilcox (2011) pada 6
orang anak ASD untuk membandingkan perilaku meniru timbal balik (reciprocal
imitation) dengan video modelling, penelitian ini dilakukan 3 kali dalam
seminggu, dengan durasi 30 menit sehari, dan dilakukan selama 24 minggu.
Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan oleh Rapmauli dan
Matulessy (2015) untuk melihat pengaruh terapi bermain flash card dengan
menggunakan terapi ABA untuk meningkatkan interaksi sosial pada anak ASD
dilakukan selama 4 dalam 5 kali dalam 1 m inggu dan dilaksanaka selama 2
minggu. Dalam penelitian ini, Rapmauli dan Matulessy hendak mengukur
interaksi sosial anak seperti: kepatuhan dan kemampuan kontak mata, kemampuan

34
Universitas Sumatera Utara

menirukan (imitasi) gambar, kemampuan komunikasi (kemampuan bahasa
reseptif), dan kemampuan bekerjasama.
Dari beberapa penelitian diatas terlihat bahwa, setiap peneliti memiliki
waktu yang berbeda-beda dalam melaksanakan penelitian dengan menggunakan
metode ABA pada anak ASD. Secara keseluruhan dari hasil penelitian diatas
membuktikan bahwa terapi ABA efektif diberikan pada anak ASD, walaupun
diberikan dengan jumlah jam dan lama waktu yang berbeda-beda.

II.D. Video Modelling
II.D.1. Pengertian Video Modelling
Video Modelling menurut Charlop & Freeman (2000) adalah intervensi
yang melibatkan siswa untuk melihat rekaman video, terlibat dalam target
perilaku dan kemudian meniru perilaku tersebut. Model yang terlibat bisa teman
kelompok dari anak, saudara / sibling, orang dewasa lain atau anak itu sendiri.
Robert Hart (2010) yang melakukan penelitian dengan menggunakan
video modelling yang bertujuan untuk mengurangi perilaku restricted, perilaku
adaptive dan komunikasi pada 5 orang anak ASD dan diperankan oleh partisipan
dengan durasi 3 menit. Video diberikan 2 sampai 3 kali dalam satu minggu dan
dilakukan selama 6 minggu. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa pemberian
video modelling pada anak ASD efektif untuk mengurangi perilaku restricted
menjadi perilaku yang lebih positif. Menurut Petter Dowrick (dalam Robert Hart,
2010) video yang diberikan harus melalui proses pengeditan terlebih dahulu

35
Universitas Sumatera Utara

sehingga anak ASD hanya melihat perilaku positif atau perilaku yang hendak
dibentuk saja.
Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh
penelitian Delano F Monica (2007) dengan menggunakan media video modelling
untuk menangani perilaku restricted, kemampuan sosial dan keberfungsian pada
anak ASD. Dari penelitian ini, Monica memperoleh hasil: dari 55 subjek yang ikut
dalam penelitian maka 50 orang anak autis menunjukkan perubahan perilaku yang
lebih baik dan dapat memenuhi beberapa target perilaku yang diharapkan. Dari
penelitian ini juga terlihat bahwa lebih efektif menggunakan subjek sebagai model
dibandingkan dengan menggunakan orang dewasa atau teman sebaya. Menurut
Michelle Tilander (2008) beberapa anak ASD memiliki memori visual yang lebih
baik (visual learner). Hal ini diperkuat oleh Dettmer, dkk (dalam Nirahma &
Yuniar, 2012) yang menyatakan bahwa anak ASD lebih mudah untuk
memperoleh informasi secara visual dua atau tiga dimensi dari pada stimulus
auditori. Menurut Wolfinger (dalam Suyanto, 2005) hal ini dikarenakan dalam
perkembangan kognitif, anak ASD berada dalam fase pra operasional sehingga
anak memiliki cara berpikir konkret yang berpijak pada pengalaman akan bendabenda konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak.
Menurut Merril Anna (2014)
modelling

pada

anak

ASD

penelitian dengan menggunakan video

memiliki

beberapa

kelebihan

diantaranya:

membutuhkan biaya dan waktu yang sedikit, selain itu melalui intervensi ini anak
ASD dapat melihat secara langsung sehingga ia dapat menyaksikan sendiri
perilaku seperti apa yang seharusnya dilakukan.

36
Universitas Sumatera Utara

II.D.2. Proses Video Modelling Pada Anak ASD
Menurut Wilson (2012), ada 5 tahapan dalam proses pelaksanaan Video
Modelling yang telah disesuaikan bagi anak ASD, yaitu:
Tahap 1: Preparation
Tahap persiapan terdiri dari serangkaian langkah yang bertujuan
untuk menentukan strategi intervensi video model yang tepat untuk anak,
diantaranya ialah: menentukan target perilaku yang akan di buat dalam
video model, menentukan model, tempat merekam dan menentukan scrip
model.
Pada tahap persiapan awal peneliti harus menentukan target
perilaku yang akan direkam dalam video. Target perilaku harus sesuatu
yang memang bisa ditiru dan mudah untuk diamati. Setelah menentukan
target perilaku, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah menentukan
model yang akan digunakan untuk direkam dalam video. Model yang akan
digunakan ada 2 yaitu: subjek atau orang lain (saudara sekandung, teman,
guru atau orang tua. Setelah menentukan model yang akan digunakan
maka selanjutnya adalah menentukan script. Dalam proses ini, kita harus
bisa menentukan bagaimana hasil akhir dari video yang akan direkam.
Disini juga akan ditentukan berapa lama video yang akan dilihat oleh
anak. Menurut Shukla, Mehta, dkk (dalam Wilson, 2012) untuk proses
belajar yang optimal maka lamanya video model adalah 3 – 5 menit.
Selain itu juga harus ditentukan bagaimana interaksi yang akan terjadi
dalam video model dan ekspresi wajah yang akan diperankan oleh model.

37
Universitas Sumatera Utara

Tahap 2: Recording of the Video Model
Setelah menentukan isi dan setting dari video model, maka tahap
selanjutnya adalah merekam hal yang sebenarnya. Tahap ini diperlukan
pengambilan keputusan mengenai peralatan apa yang akan digunakan
untuk merekam dan memutar video, serta dilakukan evaluasi kualitas hasil
video model.
Saat ini, video recorder merupakan alat yang sangat mudah
ditemui, mudah untuk didapatkan dan harganya juga terjangkau sehingga
saat ini sudah banyak oleh para guru, terapis dan beberapa sekolah
lainnya. Fasilitas video saat ini sangat mudah digunakan, menggunakan
fasilitas software sehingga mudah untuk diupload, dibagi (sharing) dan
dilakukan proses pengeditan. Hasil video model yang telah direkam
nantinya akan diperlihatkan pada anak. Kelebihan dari video model ini
adalah anak dapat melihat hasil rekaman dari video model ini dimana saja
dan fasilitas yang digunakan untuk melihat hasil rekaman juga sangat
banyak misalnya: melalui laptop, tablet, televisi, komputer, dan lain-lain.
Tahap 3: Implementation of the Video Modelling Intervention
Setelah merekam video model, dan melakukan evaluasi terhadap
kualitas, maka tahap selanjutnya siap untuk melaksanakan intervensi video
modelling. Tahap 3 melibatkan pengambilan keputusan seputar rincian
pelaksanaan video model, termasuk menentukan setting, lamanya
pelaksanaan, dan waktu menonton video serta orang (atau orang-orang)
yang akan melaksanakan rencana intervensi.

38
Universitas Sumatera Utara

Pada tahap 3, setelah video model selesai direkam maka video
model akan diberikan pada anak untuk dilihat. Akan tetapi sebelum anak
melihat hasil dari video tersebut maka harus ditentukan dimana anak akan
menonton video tersebut. Idealnya anak menonton video tersebut
diberikan di dalam ruangan dan menggunakan headphone yang bertujuan
untuk mengurangi gangguan dari suara-suara sekitar. Setelah itu,
menentukan berapa lama pelaksanaan pemberian video. Lamanya
pemberian video model tergantung dari karakteristik anak dan kemampuan
yang dimiliki oleh anak. Akan tetapi semakin sering anak melihat perilaku
yang ada didalam video maka akan semakin besar kemungkinan bagi anak
untuk meniru perilaku yang ada di dalam video tersebut. Setelah itu, lalu
menentukan siapa yang akan melaksanakan rencana intervensi. Pada anak
ASD, kemampuan untuk duduk tenang dan kemampuan untuk melihat
video masih kurang begitu baik maka pelaksana pada terapi ini sebaiknya
adalah orang dewasa yang telah mengenal subjek, mengerti bagaimana
cara memberikan instruksi dan memberikan prompt pada anak, seperti:
guru, asistent guru atau terapis.
Tahap 4: Monitoring of student’s response to the video modelling
intervention
Selama dan setelah pelaksanaan video model, terapis akan tetap
memantau setiap kemajuan pada anak dalam merespon terapi. Tahap 4
melibatkan perencanaan untuk mengumpulkan data, termasuk cara untuk

39
Universitas Sumatera Utara

meningkatkan dan mengevaluasi secara umum dan menjaga keterampilan
baru yang telah diperoleh anak.
Tahap 5: Planning of next steps
Setelah melakukan evaluasi efek dari terapi video modelling pada
anak tertentu, maka

terapis selanjutnya membuat keputusan tentang

langkah-langkah berikutnya dari terapi. Contoh keputusan yang dibuat
adalah apakah anak memberikan respon yang baik atau tidak terhadap
terapi video model yang diberikan. Apabila pemberian video model efektif
pada anak, maka hal selanjutnya yang dilakukan adalah memperluas target
keterampilan pada anak dengan merekam video model yang baru dengan
kharakteristik yang sama. Akan tetapi apabila video model tidak efektif
maka dapat melakukan pilihan modifikasi atau melakukan pilihan
intervensi alternatif.

40
Universitas Sumatera Utara

II.E. Applied Behavior Analysis (ABA) dengan Teknik Extinction melalui
Video Modelling Dalam

Mengurangi

Restricted Behavior Anak Autism

Spectrum Disorder (ASD)
Pola perilaku, minat dan aktifitas yang terbatas pada objek tertentu dengan
frekuensiyang berlebihan, ketertarikan dan kelekatan kuat dengan berbagai benda
atau aktifitas merupakan salah satu kharakterstik perilaku yang dimiliki oleh anak
Autism Spectrum Disorder (ASD). Dalam DSM V perilaku ini disebut dengan
restricted behavior (APA, 2013). Hal ini mempengaruhi keberfungsian anak
sehari-hari sehingga mengakibatkan anak menjadi kehilangan setiap peluang
sosial yang potensial bagi tumbuh kembangnya.
Salah satu metoda psikoterapi yang digunakan untuk anak ASD adalah
dengan terapi ABA (Applied Behavior Analysis). Menurut Maryana (2012) terapi
ABA sangat baik untuk mengurangi perilaku yang tidak diharapakan dan
meningkatkan kepatuhan. Konsep utama dalam terapi ini adalah timbulnya suatu
perilaku selalu didahului oleh suatu sebab atau antecedent, kemudian perilaku
tersebut akan memberikan suatu akibat (consequences). Pada anak ASD, setiap
perilaku didahului oleh suatu penyebab sehingga apabila penyebabnya dapat
ditemukan dan dicegah maka anak ASD tidak lagi memiliki dorongan untuk
menampilkan perilakunya. Perilaku yang memberikan akibat yang menyenangkan
maka perilaku akan cenderung untuk diulang, demikian pula sebaliknya apabila
perilaku memberikan akibat (consequences) yang tidak menyenangkan maka
perilaku tersebut akan dihentikan. Hal lain yang perlu diperhatikan pada terapi
ABA ialah pemberian instruksi harus singkat, tegas (tidak boleh ditawar), jelas

41
Universitas Sumatera Utara

dan tidak berbelit-belit (instruksi harus langsung pada hal yang dituju) (Handoyo,
2008). Selain pemberian instruksi, hal lain yang juga penting ialah frekuensiterapi
ABA. Lamanya waktu dari pemberian terapi ABA berbeda-beda. Penelitian yang
dilakukan oleh beberapa penelitian yang menggunakan metode ABA memiliki
batasan waktu yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Cardon &
Wilcox (2011) pada 6 orang anak ASD untuk membandingkan perilaku meniru
timbal balik (reciprocal imitation) dengan video modelling, penelitian ini
dilakukan 3 kali dalam seminggu, dengan durasi 30 menit sehari, dan dilakukan
selama 24 minggu. Sedangkan di Indonesia sendiri, penelitian yang dilakukan
oleh Rapmauli dan Matulessy (2015) untuk melihat pengaruh terapi bermain flash
card dengan menggunakan terapi ABA untuk meningkatkan interaksi sosial pada
anak ASD dilakukan selama 4 kali dalam 1 minggu dan dilaksanakan selama 2
minggu.
Extinction merupakan salah satu teknik pada terapi ABA, teknik ini dapat
digunakan untuk mengurangi perilaku restricted pada anak ASD. Extinction
hanyalah salah satu dari beberapa kemungkinan penyebab berkurangnya perilaku
yang tidak diharapkan. Perilaku juga dapat berkurang karena beberapa hal
diantaranya adalah: forgetting. Dalam forgetting, perilaku berkurang sebagai suatu
fungsi waktu setelah kejadian terakhir dari perilaku. Extinction berbeda dengan
semua itu, pada extinction perilaku berkurang disebabkan oleh pemberian
reinforcement (dalam Keenan Mickey dkk, 2000). Dengan extinction kita harus
menunggu sampai si anak benar-benar telah mampu menyesuaikan diri terhadap
situasi yang baru. Sebelum pemberian materi extinction, kepatuhan (compliance)

42
Universitas Sumatera Utara

dan kontak mata harus sudah terbentuk karena hal ini merupakan kunci utama
sehingga pada saat pelaksanaan anak mampu untuk menuruti perintah yang
disampaikan. Menurut Wilson (2012) ada 7 tahapan yang harus dilakukan yaitu:
1). defining behavior, 2). measuring behavior, 3) keeping data, 4) learning ABCs,
5) selecting and finding reinforces, 6). Planning intervention, 7). Starting work.
Pada tahap 7 pelaksanaan terapi sudah mulai bisa untuk dilakukan, akan tetapi
sebelum pelaksanaan terapi anak ASD tetap harus mendapat pemberitahuan
tentang aturan dan perjanjian tertentu, misalnya: seorang anak ASD yang
memiliki perilaku yang selalu mengambil brosur di swalayan atau supermarket,
apabila anak tidak mendapatkan brosur maka anak akan tantrum. Pada saat
pelaksanaan intervensi maka kita harus memberitahukan kepada anak bahwa ia
tidak akan mendapat brosur dan sebagai gantinya anak harus mengambil
keranjang belanjaan, apabila anak mengambil keranjang belanjaan maka anak
akan mendapatkan hadiah yang disukainya misalnya: pujian atau pelukan. Dalam
extinction, perubahan yang kita dapatkan dari anak terjadi secara perlahan-lahan
sehingga perubahan yang kita lihat tidak terjadi secara total dan langsung. Oleh
karena itu kita harus mampu menentukan di awal target perilaku apa yang kita
inginkan. Misalnya: pada kasus Eoin, anak ASD yang terobsesi untuk melihat
kereta api sehingga setiap hari ia akan mengatakan “Lihat kereta api” dengan
tujuan agar orang tuanya mengantarkan Eoin ke Stasiun kereta api (DART =
Dublin Area Rapid Transport). Setiap pagi selesai sarapan pagi, siang hari selesai
makan siang dan sore hari, perilaku itu selalu berulang-ulang dilakukan oleh Eoin.
Oleh karena itu, pada saat di awal program Eoin hanya diberikan melihat kereta

43
Universitas Sumatera Utara

api pada saat pagi hari dan sore hari saja. Dalam hal ini, program awal dilakukan
dengan tujuan untuk mengurangi frekuensiperilaku melihat kereta api.
Selain menggunakan terapi ABA, beberapa ahli menggunakan Video
Modelling. Teknik ini melibatkan demonstrasi perilaku yang diinginkan melalui
video. Intervensi oleh model melalui representasi video (video modelling) akan
melibatkan anak ASD untuk menonton demonstrasi yang ditayangkan dalam
video kemudian anak diharapkan akan meniru perilaku model yang dilihatnya.
Pemberian video dalam menangani anak ASD dengan alasan bahwa beberapa
anak autis memiliki memori visual yang lebih baik (visual learner), dimana anak
lebih mudah untuk memperoleh informasi secara visual dua atau tiga dimensi dari
pada stimulus pendengaran (Michelle Tilander, 2008). Hal ini dikarenakan dalam
perkembangan kognitif anak ASD berada dalam fase pra oprasional sehingga anak
memiliki cara berpikir konkret yang berpijak pada pengalaman akan benda-benda
konkret, bukan berdasarkan pengetahuan atau konsep-konsep abstrak (Wolfinger
dalam Suyanto, 2005).Menurut Wilson (2012) ada 5 tahapan dalam proses
pelaksanaan video modelling yaitu: 1). Preparation, 2). Recording of the video
model, 3). Implementation of the video modelling intervention, 4). Monitoring of
student response to the video modelling intervention, 5). Planning of next steps.
Kelima proses tahapan yang disusun oleh Wilson ini telah disesuaikan dengan
kebutuhan bagi anak ASD. Dalam pemilihan model dalam pembuatan video
modelling bagi anak, model yang paling efektif adalah orang yang mereka anggap
kompeten dan memiliki kemiripan dengan diri mereka seperti: karakteristik fisik,
usia, kelompok yang sama dan etnis yang sama (Bandura, 1997). Oleh karena itu

44
Universitas Sumatera Utara

model yang digunakan dalam video bisa teman sebaya, orang dewasa, kelompok,
saudara kandung, atau diri sendiri. Akan tetapi, pemilihan subjek langsung
sebagai model akan lebih efektif karena saat seseorang melihat dirinya berhasil
melakukan sesuatu maka hal tersebut merupakan informasi yang paling tepat
tentang bagaimana cara terbaik dalam melakukan sesuatu secara tepat dan
berhasil. Semakin sering anak menonton video yang berisi perilaku yang ingin
dirubah, maka kemungkinan anak akan menirukan perilaku yang ada di dalam
video akan semakin besar.
Berdasarkan kajian teoritis diatas, maka dalam penelitian ini materi ABA
dengan teknik extinction akan diberikan melalui media visual yaitu video
modelling. Menurut Maryana (2012) metode ABA memiliki 3 kelebihan yaitu
terstruktur, terarah dan terukur. Terstruktur maksudnya bahwa metode ini
menggunakan teknik yang jelas, sedangkan terarah maksudnya bahwa metode ini
memiliki kurikulum yang jelas untuk membantu mengarahkan jalannya terapi dan
terakhir sebagai metode yang terukur maksudnya bahwa metode ini dapat diukur
tingkat keberhasilannya. Program yang telah disusun secaa terstruktur dan terarah
melalui 7 tahapan ABA maka selanjutnya program yang telah disusun ini akan
dilanjutkan ke 5 tahapan video modelling. Hal ini dilakukan agar perilaku yang
hendak dirubah pada anak tidak diberikan secara langsung akan tetapi akan
diberikan melalui video modelling. Pemberian materi ABA melalui media video
karena pemberian intervensi video modelling pada anak ASD memiliki beberapa
kelebihan diantaranya: melalui intervensi ini anak ASD dapat melihat sendiri

45
Universitas Sumatera Utara

perilaku seperti apa yang seharusnya dilakukan. Selain itu intervensi ini juga
membutuhkan biaya dan waktu yang sedikit (Merril Anna, 2014).

46
Universitas Sumatera Utara

KERANGKA TEORI

ASD

Level 1

Level 3

Level 2

Restricted Behavior

Perilaku menepuk-nepuk tangan

ABA (Extinction)

ABA(Extinction)+VM

Tahap Pelaksanaan:

Tahapan Pelaksanaan ABA

1. Keeping data (mengumpulkan data tentang

1. Keeping data

perilaku minat anak pd 1 objek : kapan, dimana,

2. Learning ABCs

berapa lama perilaku terjadi)

3. Selecting & finding reinforces

2. Learning ABCs

4. Planning intervention

A (antecedent)

anak melihat benda yang

tahapan VM:

5. Starting work. Dalam tahap starting work peneliti mulai

disukai

masuk dalam tahap proses Video Modelling.

B (behavior)

mengambil benda yg disukai

5 Tahapan VM:

(anak akan tantrum apabila tidak diberikan.

a. Preparation (menentukan dimana perilaku akan direkam,

C (consequences)

siapa yg akan menjadi model dlm video)

agar anak tidak tantrum

maka orang tua memberikan apa yg diminta

b. Recording of the video model (mulai merekam perilaku

anak.

anak, setelah itu dilakukan pengeditan sehingga nantinya

ABCs diatas dirubah dengan mencari perilaku

video yg diperlihatkan pada anak hanya perilaku yg ingin

pengganti (mencari benda pengganti) yg lebih

dibentuk saja)

adaptif.

c. Implementation of the video modeling intervention (pd

3. Selecting & finding reinforces: menemukan

tahap ini video diperlihatkan pd anak, akan tetapi sebelum

makanan yg disukai anak atau penguat lainnya.

video diperlihatkan pada anak maka harus ditentukan

4.

Planning

intervention.

(merencanakan

dimana

video

akan

diberikan,

berapa

lama

video

intervensi diantaranya: menentukan siapa yang

diperlihatkan dan siapa yg akan melaksanakan pemberian

akan melaksanakan, berapa lama diberikan,

video kepada anak)

dimana dilakukan.

d. Monitoring of student response to the video modelling

5. Starting work. Semua tahapan diatas mulai

intervention (mengumpulkan data dan melihat kemajuan

dilakukan.

anak)

Perilaku menggenggam tangan

47
Universitas Sumatera Utara