Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinggi Badan
Tinggi badan adalah antropometri yang menggambarkan keadaan
pertumbuhan skeletal. Tinggi badan merupakan satu parameter yang dapat melihat
keadaan status gizi sekarang dan keadaan yang lalu. Tinggi badan sangat baik
untuk melihat keadaan gizi masa lalu terutama yang berkaitan dengan keadaan
berat badan lahir rendah dan kurang gizi pada masa balita.
Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan
umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi
gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama
(Supariasa, dkk. 2001).
Tinggi badan merupakan salah satu indikator penentuan kualitas gizi pada
seseorang. Faktor yang mempengaruhi tinggi badan adalah hereditas dan zat gizi
yang diperoleh dari makanan sehari-hari. Gizi makanan sangat penting dalam
membantu pertumbuhan tinggi badan anak. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013,
prevalensi anak usia 5-12 tahun yang memiliki tubuh pendek adalah 30,7%
(12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Bila dibandingkan dengan prevalensi
sangat pendek tahun 2010 mengalami penurunan dari 18,5% menjadi 12,3%,
namun prevalensi pendek justru mengalami peningkatan dari 17,1% menjadi

18,4%. Di Indonesia persoalan tinggi badan anak yang kurang adalah cermin
rendahnya konsumsi pangan (daging, ikan, telur, dan susu) sebagai sumber
protein dan kalsium (Khomsan, 2012).

Universitas Sumatera Utara

Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk indeks TB/U (tinggi badan
menurut umur), atau juga indeks BB/TB (berat badan menurut tinggi badan)
jarang dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya
dilakukan setahun sekali. Pengukuran tinggi badan dilakukan pada anak yang
telah berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain menggunakan alat pengukur tinggi
(microtoise) yang mempunyai ketelitian 0,1 cm. Berdasarkan standar baku
antropometri WHO 2007, status gizi ditentukan berdasarkan nilai z-score TB/U.
Selanjutnya berdasarkan nilai z-score ini status gizi anak menurut TB/U
dikategorikan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Berdasarkan Indeks
Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)
Kategori Status Gizi
Z-Score
Sangat Pendek

< -3 SD
Pendek
-3 s/d < -2 SD
Normal
-2 s/d 2 SD
Tinggi
> 2 SD
Sumber : Depkes RI, 2011
2.1.1 Faktor yang mempengaruhi tinggi badan
Menurut Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) FK UI (2005),
beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi badan adalah faktor genetik, hormon
pertumbuhan, penyakit akut atau kronis dan faktor gizi. Faktor gizi dari makanan
merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi tinggi badan. Asupan gizi yang
kurang dalam masa partumbuhan akan mempengaruhi tinggi badan. Beberapa zat
gizi yang mempengaruhi tinggi badan antara lain protein, kalsium dan vitamin A .
Faktor ekstenal yang mempengaruhi tinggi badan dapat dipenuhi dengan
mengonsumsi makanan yang bergizi tinggi dan mengonsumsi susu setiap harinya.
Susu banyak mengandung protein hewani yang baik dan kalsium, sehingga

Universitas Sumatera Utara


mengonsumsi susu sejak dini akan mempengaruhi tinggi badan dan pertumbuhan
anak usia sekolah.
2.1.2 Kaitan konsumsi susu dengan tinggi badan anak
Konsumsi susu dapat mempengaruhi tinggi badan anak usia sekolah. Susu
mengandung kalsium yang dibutuhkan untuk formasi tulang dan menopang tinggi
badan ideal. Kalsium berperan sebagai penyusun sel tulang, mendukung kerja sel
osteoblas (sel pembentuk tulang), mengeraskan dan menguatkan tulang. Pada usia
anak- anak atau masa pertumbuhan, sekitar 50-70% kalsium yang dicerna diserap
oleh tubuh. Satu gelas susu (±240 ml) mengandung lebih dari 270 mg kalsium,
hampir sepertiga dari kebutuhan kalsium harian sehingga kalsium dalam susu
sangat baik di konsumsi untuk anak usia sekolah karena dapat membantu
pertumbuhan tinggi badan anak.
Angka kecukupan gizi tahun 2013 bagi anak usia 7-12 tahun untuk
kalsium adalah 1000-1200 mg per hari. Angka ini merupakan angka kecukupan
tertinggi di sepanjang hidup seorang manusia. Hal ini sejalan dengan pertumbuhan
tinggi badan anak yang begitu pesat pada rentang usia anak usia sekolah. Pada
masa anak usia sekolah terjadi peningkatan massa tulang yang pesat dan susu
memiliki kandungan kalsium dengan kualitas dan tingkat ketercernaan yang
tinggi.

Banyak komponen susu yang dapat berpotensi mempengaruhi linier pada
anak-anak, diantaranya protein, kalsium susu dan insulin-like-growth factor-1
(IGF-1). IGF-1 terlibat dalam metabolism kalsium dan fosfat, dan memberikan
pembentukan matriks (Kelly et al. 2003). Studi yang dilakukan Clemens et al.
(2010) menunjukkan bahwa asupan susu pada anak-anak secara positif berkaitan

Universitas Sumatera Utara

dengan tingkat sirkulasi IGF-1 yang lebih tinggi. Menurut Hoppe (2004)
konsumsi susu berhubungan positif dengan konsentrasi IGF-1 dan tinggi badan.
Peningkatan konsumsi susu dari 200 ml sampai 600 ml/hari berkaitan dengan
peningkatan 30% sirkulasi IGF-1, sehingga susu memiliki efek merangsang
konsentrasi IGF-1 dan pertumbuhan anak.
Black, dkk. (2002) mengungkapkan bahwa anak (usia 3-10 tahun) yang
tidak menyukai susu (termasuk susu sapi) pada jangka panjang akan memiliki
resiko mengalami ukuran tubuh lebih pendek dan kesehatan tulang yang buruk.
Black dan kawan-kawan juga menemukan bahwa anak yang tidak suka susu
memiliki ukuran skleton yang lebih kecil dan kandungan mineral tulang yang
lebih rendah daripada ukuran skleton dan kandungan mineral tulang anak yang
meminum susu.

Dalam penelitian dengan studi prospektif yang dilakukan oleh Okada
(2004) yang mengenai pengaruh konsumsi susu sapi dengan perubahan tinggi
badan anak menunjukkan adanya hubungan positif. Dari hasil penelitian
menunjukkan dalam 2 kelompok konsumsi susu sapi terdapat konsumsi tinggi >
500 ml (16,5%) dengan perbedaan tinggi badan 1,1 cm dan konsumsi rendah <
500 ml (83,5%) dengan perbedaan tinggi badan 0,5 cm. Perbedaan antara 2
kelompok secara

statistik signifikan untuk tinggi

badan menunjukkan

berhubungan sehingga ada pengaruh positif antara mengonsumsi susu sapi dengan
jumlah yang banyak dengan tinggi badan anak.
Hal yang sama juga ditemukan oleh Hardinsyah, dkk. (2008) pada
penelitiannya mengenai hubungan konsumsi susu dan kalsium dengan densitas
tulang dan tinggi badan remaja menunjukkan adanya hubungan positif. Hasil

Universitas Sumatera Utara


penelitian menunjukkan rata-rata konsumsi susu siswa/i adalah 170-140 ml/hari
dan rata-rata frekuensi 6 kali/minggu dengan rata-rata tinggi badan remaja lakilaki (168,0±6,0 cm) lebih tinggi secara nyata dibandingkan remaja perempuan
(155,4±5,2 cm). Uji hubungan menjelaskan bahwa terdapat hubungan positif
antara tinggi badan dengan frekuensi minum susu dan tinggi badan dengan jumlah
(ml) susu yang dikonsumsi.
Dalam penelitian Ernawati (2013) mengenai hubungan konsumsi susu
dengan tinggi badan anak sekolah TK juga menunjukkan hubungan positif. Hasil
penelitian menunjukkan anak mengonsumsi susu 2 gelas per hari dengan rata-rata
frekuensi minum susu anak sebesar 19 kali/minggu dan rata-rata jumlah susu yang
dikonsumsi 500-340 ml/hari dan prevalensi stunting rendah dikalangan anak yang
biasa minum susu (3,0%). Selain itu, anak yang setiap hari minum susu
mempunyai ±4,29 cm lebih tinggi daripada anak yang tidak setiap hari minum
susu.
2.2 Prestasi Belajar
Marsun dan Martaniah (Sia, 2001) berpendapat bahwa prestasi belajar
merupakan hasil kegiatan belajar, yaitu sejauh mana peserta didik menguasai
bahan pelajaran yang diajarkan, yang diikuti oleh munculnya perasaan puas
bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan baik. Hal ini berarti prestasi belajar
hanya bisa diketahui jika telah dilakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa.
Menurut Poerwodarminto (Ratnawati, 1996) yang dimaksud dengan

prestasi adalah hasil yang telah dicapai, dilakukan atau dikerjakan oleh seseorang.
Sedangkan prestasi belajar itu sendiri diartikan sebagai prestasi yang dicapai oleh
seorang siswa pada jangka waktu tertentu dan dicatat dalam buku rapor sekolah.

Universitas Sumatera Utara

Penilaian prestasi belajar adalah penilaian terhadap hasil belajar siswa
dilakukan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah mencapai sasaran belajar
inilah yang disebut sebagai prestasi belajar. Azwar (1998) menyebutkan bahwa
ada beberapa fungsi dalam pendidikan, yaitu:
a. Penilaian berfungsi selektif (sumatif)
Fungsi penilaian ini merupakan pengukuran akhir dalam suatu program dan
hasilnya dipakai untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus atau
tidak dalam program pendidikan tersebut.
b. Penilaian berfungsi sebagai penempatan (placement)
Penilaian dilakukan untuk mengetahui di mana seharusnya siswa tersebut
ditempatkan sesuai dengan kemampuannya yang telah diperlihatkannya pada
prestasi belajar yang telah dicapainya.
c. Penilaian berfungsi sebagai pengukur keberhasilan (formatif)
Penilaian berfungsi untuk mengetahui sejauh mana suatu program dapat

diterapkan. Sebagai contoh adalah raport di setiap semester di sekolahsekolah tingkat dasar dapat dipakai untuk mengetahui apakah program
pendidikan yang telah diterapkan berhasil diterapkan atau tidak pada siswa
tersebut.
2.2.1 Faktor yang mempengaruhi prestasi belajar
Menurut Shertzer dan Stone dalam Winkle (1997), secara garis besar
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dan prestasi belajar dapat digolongkan
menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
a. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu itu sendiri.
Faktor ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

1. Faktor fisiologis, adalah faktor yang berhubungan dengan kesehatan dan
panca indera. Kesehatan dapat dipengaruhi oleh asupan gizi yang
diperoleh, sehingga memperhatikan asupan gizi anak sangat penting
dalam prestasi belajar anak di sekolah.
2. Faktor psikologis, faktor ini berhubungan erat dengan intelegensi, sikap
dan motivasi yang timbul dari dalam diri siswa itu sendiri.
b.


Faktor eksternal merupakan faktor yang bersumber dari luar individu itu
sendiri. Faktor tersebut meliputi faktor lingkungan keluarga, faktor
lingkungan sekolah, faktor lingkungan masyarakat dan faktor waktu.

2.2.2 Kaitan konsumsi susu dengan prestasi belajar anak
Konsumsi susu dapat mempengaruhi prestasi belajar anak disekolah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar salah satunya yaitu tingkat
kecerdasan.

Kecerdasan

sangat

berhubungan

dengan

pertumbuhan

dan


perkembangan sel-sel otak, dan makanan berpengaruh terhadap perkembangan sel
otak. Apabila makanan tidak mengandung kecukupan zat-zat gizi yang
dibutuhkan, dan keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka
akan menyebabkan perubahan metabolisme otak dan ketidakmampuan otak untuk
dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, otak membutuhkan zat-zat gizi
yang cukup dan seimbang.
Susu adalah salah satu sumber protein yang baik untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan anak. Kaitan protein dengan proses kerja otak,
protein dalam bentuk asam amino seperti glisin, glutamate, tyrosine dan
tryptophan sangat diperlukan untuk membentuk neurotransmitter penghantar
implus saraf dan mempengaruhi perilaku emosi, kontrol diri, dan konsentrasi

Universitas Sumatera Utara

(Mariana, 2011). Terpenuhinya asupan zat gizi seperti protein pada anak akan
terjaga daya tahan tubuhnya, tidak mudah terserang penyakit sehingga anak dapat
mempertahankan status gizi normal, anak lebih aktif dalam beraktifitas dan mudah
berkonsentrasi dalam memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru disekolah.
Mengonsumsi susu pada malam hari juga baik untuk pertumbuhan dan

daya tahan tubuh anak usia sekolah. Susu juga mengandung asam amino
tryptophan yang merupakan prekursor melatonin (hormon perangsang tidur).
Melatonin adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar pineal pada malam hari
yang berfungsi membuat rasa ngantuk dan kemudian tubuh bisa istirahat dengan
baik. Jadi ketika pagi hari anak lebih segar bugar dan dapat membantu
meningkatkan konsentrasi dalam menerima pelajaran di sekolah.
Konsentrasi belajar akan mempengaruhi prestasi belajar anak di sekolah,
hal ini dikarenakan dengan konsentrasi belajar yang baik akan meningkatkan daya
tangkap otak. Peningkatan daya tangkap yang berlangsung dalam jangka waktu
lama akan mempengaruhi peningkatan prestasi belajar anak di sekolah.
Pada masa usia anak sekolah, anak melakukan aktivitas fisik yang
meningkat sehingga sangat diperlukan asupan zat gizi yang lengkap untuk dapat
mempertahankan daya tahan tubuh serta untuk pembentukan dan pemeliharaan
jaringan baru sehingga dapat memberi semangat dan motivasi dalam belajar
(Moore, 1997). Susu merupakan salah satu penunjang zat gizi anak yang belum
terpenuhi dalam konsumsi pangan. Kebutuhan gizi anak akan sempurna dengan
pemberian susu setiap hari dengan memberikan susu 2 kali sehari yaitu pada pagi
hari ketika sarapan dan malam hari sebelum tidur. Menurut Suminar (1987)
bahwa anak yang mendapatkan program bantuan susu asupan protein dan

Universitas Sumatera Utara

vitaminnya secara nyata lebih tinggi daripada asupan protein dan vitamin anak
yang tidak mendapatkan program bantuan susu.
Penelitian yang dilakukan Musmualim (2016) mengenai perilaku
konsumsi susu sapi dengan prestasi belajar pada anak usia sekolah menunjukkan
adanya hubungan positif. Dari hasil penelitian di simpulkan bahwa tingkat
konsumsi susu sapi berpengaruh terhadap tingkat prestasi siswa karena asupan
gizi yang cukup pada anak akan membantu pertumbuhan secara optimal dan
meningkatkan

kecerdasan

otak

sehingga

secara

tidak

langsung

dapat

meningkatkan prestasi belajar anak di sekolah.
Berdasarkan hal tersebut, konsumsi susu anak usia sekolah penting untuk
diperhatikan karena manfaat susu yang bagus untuk pertumbuhan dan
perkembangan anak usia sekolah. Selain konsumsi pangan yang baik ternyata
konsumsi susu pada anak dapat meningkatkan konsentrasi belajar anak dan
meningkatkan daya tahan tubuh anak agar tidak gampang sakit ketika sekolah.
2.3 Pola Makan
Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran
mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu
orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola
makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang memanfaatkan pangan yang
tersedia sebagai aksi terhadap tekanan ekonomi dan sosio budaya yang dialaminya
(Almatsier, 2009).
Anak usia sekolah membutuhkan zat gizi yang memadai karena masih
dalam masa pertumbuhan, membutuhkan banyak energi untuk beraktivitas,
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi, serta memiliki cadangan zat gizi

Universitas Sumatera Utara

untuk pertumbuhan di masa remaja (Mc Williams, 1993). Konsumsi makanan dan
zat gizi yang adekuat memiliki peranan penting bagi anak usia sekolah untuk
menjamin pertumbuhan, perkembangan, dan kesehatan anak yang optimal
(Brown, 2005).
Pola makan anak akan menentukan jumlah zat gizi yang diperlukan oleh
anak untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Jenis dan jumlah makanan yang
cukup sesuai dengan kebutuhan akan menyediakan zat-zat gizi yang cukup pula
bagi anak guna menjalankan kegiatan fisik yang sangat meningkat. Zat gizi yang
dibutuhkan disesuaikan dengan usia, berat badan, dan tinggi badan anak. Pada
kondisi normal diharuskan untuk makan 3 kali dalam sehari dan pemenuhan
keseimbangan zat gizi.
Pemberian makan pada anak bertujuan untuk memberikan gizi yang cukup
sesuai dengan kebutuhan, yang dimanfaatkan untuk tumbuh kembang yang
optimal, penunjang berbagai aktivitas, pemulihan kesehatan setelah sakit,
mendidik kebiasaan makan yang baik, mencakup penjadwalan makan, belajar
menyukai, memilih, dan menentukan jenis makanan yang bermutu (Markum,
2007).
Pengukuran pola makan dapat dilihat dari metode food recall 24 jam dan
metode frekuensi makanan (food frequency). Metode recall 24 jam dilakukan
dengan mencatat jenis dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada periode
24 jam yang lalu. Hal penting yang perlu diketahui adalah bahwa dengan recall 24
jam data yang diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, untuk
mendapatkan data kuantitatif, maka jumlah konsumsi makanan individu

Universitas Sumatera Utara

ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat URT (sendok, gelas, piring dan
lain-lain).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa minimal 2 kali recall 24 jam
tanpa berturut-turut dapat menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal
dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu. Apabila
pengukuran hanya dilakukan 1 kali (1 x 24 jam), maka data yang diperoleh kurang
representatif menggambarkan kebiasaan makanan individu (Supariasa, dkk.
2001).
Metode frekuensi makanan (food frequency) adalah untuk memperoleh
data tentang frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi
selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Kuesioner
frekuensi makanan memuat tentang daftar makanan dan frekuensi penggunaan
makanan tersebut pada periode tertentu. Bahan makanan yang ada dalam daftar
kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi dalam frekuensi yang cukup sering
oleh individu.
2.4 Susu
Susu memiliki kandungan gizi yang cukup lengkap dan seimbang serta
mudah dicerna, sehingga susu dapat memenuhi kebutuhan zat gizi akan tubuh jika
dikonsumsi dalam jumlah tertentu. Susu memiliki banyak manfaat yang baik
untuk kesehatan tubuh, tingginya manfaat yang baik untuk kesehatan ini yang
membuat susu diminati dan merupakan komoditas penting dalam pemenuhan gizi.
Susu merupakan salah satu sumber protein yang dibutuhkan untuk
memenuhi kebutuhan gizi dengan kualitas terbaik. Mutu protein susu disebut
terbaik didasarkan kelengkapan jenis dan jumlah asam amino esensial yang sesuai

Universitas Sumatera Utara

untuk kebutuhan tubuh. Susu juga merupakan sumber kalsium dan fosfor yang
sangat baik, yang penting untuk pertumbuhan tulang dan gigi.
Susu segar umumnya lebih mahal daripada susu dalam bentuk lain. Susu
segar cepat membusuk, apalagi bila cara memerah dan tempat penampungannya
kurang bersih. Susu yang cukup terjamin kebersihannya hanya dapat menahan
pembusukan selama 24 jam, kecuali bila susu disterilisasi. Susu segar yang biasa
dikonsumsi adalah susu sapi dan susu kambing. Susu sapi dan susu kambing
adalah hasil pemerasan sapi atau kambing secara langsung, tanpa ditambah zat-zat
lain ataupun mengalami pengolahan.
Susu sapi merupakan sumber kalsium terbaik yang dapat meningkatkan
kekuatan tulang. Kalsium dalam susu mudah diserap karena adanya laktosa dan
vitamin D yang mempermudah penyerapannya (Devi, 2012). Kalsium susu
kambing memang lebih rendah daripada susu sapi, akan tetapi susu kambing lebih
tinggi mengandung protein, lemak dan karbohidrat dibandingkan dengan susu
sapi.
Tabel 2.2 Kandungan Gizi Susu Menurut Jenis Susu Segar per 100 gram
Kandungan
Jenis Susu Segar
Zat Gizi
Susu Sapi
Susu Kambing
Energi (kkal)
61
64
Protein (g)
3,2
4,3
Lemak (g)
3,5
2,3
Karbohidrat (g)
4,3
6,6
Kalsium (mg)
143
98
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (Depkes RI, 2005)
Jenis-jenis susu berdasarkan cara pengolahannya adalah susu bubuk, cair,
atau kental manis adalah proses pengolahannya dari susu murni. Susu bubuk yang
diproses dengan pemanasan 180°C selama dua jam penuh kemudian dikeringkan
dengan metode spray-drying. Susu bubuk terjadi dengan mengeringkan susu

Universitas Sumatera Utara

sehingga tertinggal komponen terpadat dari susu tersebut. Karenanya komponen
padat ini merupakan sekitar 14% dari susu asalnya. Pada proses pengeringan ini
terjadi perubahan atau kerusakan pada beberapa zat gizi komponennya,
diantaranya vitamin A dan beberapa vitamin anggota B kompleks. Karena itu
pada susu bubuk ditambahkan berbagai zat gizi yang rusak atau berkurang itu
(Sediaoetama, 2009).
Susu cair atau UHT adalah susu yang dipasteurisasi dengan menggunakan
Ultra High Temperature, yaitu 143°C dalam detik. Susu UHT diolah dengan
menggunakan pemanasan dengan suhu tinggi (135-154°C) dalam waktu singkat
selama 2-5 detik. Pemanasan suhu tinggi bertujuan untuk membunuh seluruh
mikroorganisme (baik pembusuk maupun patogen). Waktu pemanasan yang
singkat dimaksudkan untuk mencegah kerusakan nilai gizi susu serta untuk
mendapatkan warna, aroma, dan rasa yang relatif tidak berubah, seperti susu
segarnya.
Susu kental manis diperoleh dengan cara menghilangkan sebagian air dari
susu segar atau hasil rekombinasi susu bubuk melalui proses evaporasi
(penguapan) sehingga diperoleh kepekatan tertentu. Setelah proses pemanasan
selesai, ditambahkan gula untuk memberikan rasa manis dan membantu proses
pengentalan serta sebagai pengawet alami. Susu kental manis lebih tepat
dikonsumsi sebagai campuran bahan makanan karena kadar gulanya yang sangat
tinggi (rata-rata 40%). Susu ini tidak baik diberikan kepada bayi, tetapi masih
dapat dikonsumsi oleh anak yang telah besar dan orang dewasa (Sediaoetama,
2009).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Kandungan Gizi Susu Menurut Jenis Susu Berdasarkan
Pengolahan Susu per 100 gram
Kandungan
Jenis Susu
Zat Gizi
Susu Bubuk
Susu Kental Manis
Energi (kkal)
509
336
8,2
Protein (g)
24,6
10
Lemak (g)
30
55
Karbohidrat (g)
36,2
275
Kalsium (mg)
904
Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan (Depkes RI, 2005)
2.5 Konsumsi Susu Anak
Asupan gizi tidak hanya diperoleh dari makanan pokok saja, melainkan
juga ditambah dengan asupan pangan lainnya yang bernilai zat gizi tinggi seperti
susu. Susu adalah bahan pangan yang dikenal kaya akan zat gizi yang diperlukan
oleh anak usia sekolah. Susu merupakan minuman yang bergizi tinggi karena
mengandung protein yang bernilai tinggi, sangat tepat untuk pertumbuhan dan
daya tahan tubuh anak sekolah.
Menurut Khomsan (2010) susu merupakan suatu makanan atau minuman
bergizi yang banyak mengandung mineral dan protein. Menurut Kemenkes RI
dalam Pedoman Gizi Seimbang 2013 dianjurkan mengonsumsi susu 2 gelas sehari
dan mengonsumsi susu penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia
sekolah. Kebutuhan akan protein dan kalsium per hari akan dapat dipenuhi 2544% hanya dengan mengonsumsi susu 2 gelas sehari.
Di Indonesia konsumsi susu masih sangat rendah dibandingkan dengan
negara-negara tetangga. Berdasarkan data statistik nasional konsumsi susu negara
pada tahun 2012 konsumsi susu di Indonesia hanya 14,6 liter/kapita/tahun, jika
dibandingkan

dengan

Malaysia

dan

Filipina

yang

mencapai

22,1

liter/kapita/tahun, Thailand 33,7 liter/kapita/tahun, dan India yang mencapai 42,08

Universitas Sumatera Utara

liter/kapita/tahun. Sedangkan hasil South East Asian Nutrition Surveys
(SEANUTS) pada tahun 2012 bahwa konsumsi produk susu pada anak usia 5-9
tahun masih sangat rendah dan tak sedikit anak di Indonesia yang tidak minum
susu.
Rendahnya konsumi susu di Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain kurang terjangkaunya harga susu bagi masyarakat dan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang pentingnya minum susu bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kebiasaan minum susu pada anak usia sekolah menurut
Haniek (2003) pada penelitian analisis perilaku konsumsi susu pada anak usia
sekolah dipengaruhi oleh kebiasaan minum susu dalam keluarganya. Kebiasaan
konsumsi susu pada anak yang paling berpengaruh adalah faktor yang datang dari
orang tua seperti pendidikan dan pekerjaan.
2.6 Anak Usia Sekolah
Anak usia sekolah merupakan generasi penerus bangsa yang akan menjadi
fondasi kualitas bangsa dalam konteks sumber daya manusia yang akan datang.
Anak sekolah menurut definisi WHO (World Health Organization) 2011 yaitu
golongan anak yang berusia antara 7-15 tahun, sedangkan di Indonesia anak yang
berusia 7-12 tahun. Anak dalam usia sekolah merupakan usia yang penting
dimana pertumbuhan yang sehat menjadi salah satu faktor jaminan kesehatannya
di masa depan.
Gizi yang adekuat memegang peranan yang penting selama usia sekolah
untuk menjamin anak-anak tersebut mencapai pertumbuhan, perkembangan dan
kesehatan yang penuh atau optimal (Badriah, 2014). Asupan gizi diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan fisik dan mental anak. Karena itu, anak usia sekolah benar-

Universitas Sumatera Utara

benar membutuhkan perhatian dan dukungan dari orang tua dalam menghadapi
perkembangan yang pesat. Anak memerlukan gizi yang cukup dan seimbang agar
proses berpikir, belajar, dan beraktivitas tidak terhambat (Devi, 2012).
2.6.1 Kebutuhan gizi anak usia sekolah
Usia sekolah anak 7-12 tahun, dimana usia tersebut merupakan bagian dari
suatu rangkaian panjang dari siklus hidup manusia yang dimulai sejak janin dalam
kandungan sampai usia tua nanti. Pada rentangan usia tersebut status gizinya
ditentukan sejak usia bayi dan balita juga ditentukan pada saat anak usia sekolah
dan akan menentukan status gizi pada usia selanjutnya (Devi, 2012).
Pada usia 7 tahun anak membutuhkan energi sebanyak 1.550 kalori per
hari. Semakin bertambah usia, energi yang dibutuhkan semakin banyak. Energi
dalam tubuh berfungsi untuk metabolisme basal yaitu energi yang dibutuhkan
pada waktu seseorang beristirahat, kemudian Specific Dynamic Action (SDA)
yaitu energi yang diperlukan untuk mengolah makanan itu sendiri untuk aktivitas
jasmani, berpikir, pertumbuhan, dan pembuangan sisa makanan. Saat berpikir otak
membutuhkan energi yang berasal dari glukosa. Penggunaan energi otak
mencapai 20-30% dari energi tubuh karena itu otak dikatakan boros energi (Devi,
2012).
Gizi seimbang untuk anak sekolah harus memenuhi zat gizi makro dengan
karbohidrat 45-65% total energi, protein 10-15% total energi dengan
perbandingan protein hewani dan nabati 2:1, lemak 25-40% total energi. Selain itu
harus memenuhi kebutuhan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral (Devi,
2012). Kebutuhan zat gizi anak menurut kelompok umur berdasarkan Angka
Kecukupan Gizi Indonesia tahun 2013, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.4
Kebutuhan Zat Gizi Anak Menurut Kelompok Umur
Kelompok Umur
7 – 9 th
10 – 12 th
L/P
L
P
Energi (kkal)
1850
2100
Protein (g)
49
56
Lemak (g)
72
70
Karbohidrat (g)
254
289
Air (ml)
1900
1800
Vitamin A (mcg)
500
600
Vitamin B฀ (mg)
0,9
1,1
Vitamin C (mg)
45
50
Kalsium (mg)
1000
1200
Fosfor (mg)
500
1200
Besi (mg)
10
13
Sumber : Angka Kecukupan Gizi Indonesia Tahun 2013

2000
60
67
275
1800
600
1
50
1200
1200
20

2.6.2 Masalah gizi anak usia sekolah
Pada usia sekolah anak sudah mulai lepas dari pengawasan orang tua dan
bergaul dengan teman sekolahnya. Sejalan dengan itu, gizi anak sekolah sering
terabaikan karena orang tua beranggapan anak sudah besar dan mampu mengatur
makanannya sendiri. Bila anak mengalami kekurangan gizi, akan tampak saat di
sekolah yang menunjukan gangguan fungsi motorik kasar, motorik halus,
kecerdasan, perilaku, dan interaksi sosial. Konsentrasi anak menjadi berkurang,
anak kurang gembira, dan terjadi perubahan hormonal yang nantinya juga akan
mempengaruhi kecerdasan anak (Devi, 2012). Masalah gizi kurang dapat terjadi
karena kekurangan zat gizi makro seperti karbohidrat, protein dan lemak dan
dapat pula terjadi karena kekurangan zat gizi mikro seperti kalsium.
Gizi kurang yang disebabkan asupan gizi masa lampau pada anak dapat
dilihat dari tinggi badan anak sekarang. Lebih dari sepertiga (36,1%) anak usia
sekolah di Indonesia tergolong pendek ketika memasuki usia sekolah. Ini
merupakan indikator adanya kurang gizi kronis. Dalam jangka panjang kurang
gizi akan mengakibatkan hambatan pertumbuhan tinggi badan, dan akhirnya

Universitas Sumatera Utara

berdampak buruk bagi perkembangan mental intelektual individu (Khomsan,
2004).
2.7 Kerangka Konsep
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi badan dan prestasi belajar
anak sekolah, yaitu pola makan dan konsumsi susu. Pola makan yang cukup akan
memberikan sumbangan karbohidrat, protein, lemak dan kalsium. Ketika pola
makan tidak terpenuhi dengan baik, maka kebutuhan gizi dapat dibantu dengan
mengonsumsi susu sebagai pelengkap. Kandungan zat gizi dalam susu dapat
memberikan tambahan zat-zat gizi seperti zat gizi protein dan kalsium dengan
kualitas yang baik dan tingkat kecernaan yang tinggi, maka dapat diasumsikan
bisa mempengaruhi pertumbuhan tinggi badan anak dan meningkatkan
kecerdasaan otak anak. Dalam penelitian ini akan diketahui hubungan konsumsi
susu dengan tinggi badan dan prestasi belajar siswa/i di Sekolah Dasar
Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan.
Variabel Independen

Variabel Dependen

Tinggi Badan
Pola Makan

Konsumsi Susu
Prestasi Belajar

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Hubungan Konsumsi Susu dengan Tinggi Badan Anak Sekolah TK

0 3 46

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR DI SEKOLAH DASAR NEGERI I Hubungan Kadar Hemoglobin Siswa Dengan Prestasi Belajar Di Sekolah Dasar Negeri I Bentangan Wonosari Kabupaten Klaten.

0 1 16

HUBUNGAN KADAR HEMOGLOBIN SISWA DENGAN PRESTASI BELAJAR DI SEKOLAH DASAR NEGERI I Hubungan Kadar Hemoglobin Siswa Dengan Prestasi Belajar Di Sekolah Dasar Negeri I Bentangan Wonosari Kabupaten Klaten.

0 1 16

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN LINGUISTIK DENGAN PRESTASI BELAJAR PADA SISWA SEKOLAH DASAR Hubungan Antara Kecerdasan Linguistik Dengan Prestasi Belajar Pada Siswa Sekolah Dasar.

1 3 18

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

0 0 19

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

0 0 2

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

0 0 8

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan Chapter III VI

0 1 40

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

0 1 4

Hubungan Konsumsi Susu Dengan Tinggi Badan Dan Prestasi Belajar Pada Siswa I Di Sekolah Dasar Muhammadiyah 02 Kampung Dadap Medan

0 0 29