Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah (Althernanthera strigosa Hask.) Terhadap Tikus Jantan Chapter III V

BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental dengan tahapan
penelitian yaitu penyiapan sampel, karakterisasi simplisia, skrining simplisia,
pembuatan ekstrak, penyiapan hewan percobaan dan pengujiaan efek antidiare
pada hewan percobaan. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis
variansi) menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service).

3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
Alat – alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat – alat gelas
laboratorium, aluminium foil, blender, cawan poreselin berdasar rata, desikator,
freeze dryer, kaca objek, kaca penutup (deck glass), kertas saring, kandang
mencit, lemari pengering, mikroskop, mortir, neraca kasar, neraca listrik, neraca
hewan,oven listrik, oral sonde, penguap vakum putar, seperangkat alat destilasi
untuk penetapan kadar air, stopwach, spatula, spuit .
3.1.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan
tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun bayam
merah (Althernanthera strigosa Hask) dan oleum ricini. Bahan kimia yang
digunakan dalam penelitian kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas pro analisis

adalah air suling (teknis), etanol (teknis) , natrium carboxy methyl cellulose ( Na
CMC) , kloroform, loperamid HCL (tablet imodium®) dan toluen.

17
Universitas Sumatera Utara

3.2 Hewan Percobaan
Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah Tikus Putih Galur
Wistar berusia dua bulan dengan berat badan ±200 gram. Hewan percobaan ini
sebelumnya telah diadaptasi selama seminggu. Hewan dipelihara dalam kandang
diberi pakan dan minum standar. Satu minggu sebelum pengujian dilakukan,
hewan percobaan harus dipelihara dan dirawat dengan sebaik – baiknya pada
kandang yang mempunyai ventilasi baik dan selalu dijaga kebersihannya.

3.3 Pembuatan Pereaksi
3.3.1 Pereaksi Mayer
Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
60 ml air suling dan sebanyak 5 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan
dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan dengan air
suling hingga volume larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

3.3.2 Pereaksi Dragendroff
Sebanyak 0,8 g bismuth (III) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam
20 ml asam nitrat pekat. Sebanyak 27,2 g kalium iodida ditimbang, kemudian
dilarutkan dalam 50 ml air suling pada wadah lain. Kedua larutan dicampurkan
dan didiamkan hingga memisah sempurna. Lapisan jernih diambil dan diencerkan
dengan air suling hingga volume larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).
3.3.3 Pereaksi Bouchardat
Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 20 ml
air suling, ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan diencerkan dengan air suling
hingga volume larutan 100 ml (Depkes RI, 1995).

18
Universitas Sumatera Utara

3.3.4 Pereaksi Molish
Dilarutkan 3 g α-naftol dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).
3.3.5 Larutan Pereaksi Besi (III) Klorida 1 %
Dilarutkan 1 g besi (III) klorida dalam air suling hingga diporeleh 100 ml
larutan kemudian disaring (Depkes RI, 1995).

3.3.6 Larutan Pereaksi Timbal (II) Asetat 0,4 M
Dilarutkan 15 g timbal (II) asetat dengan air suling bebas CO 2 hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).
3.3.7 Larutan Pereaksi Natrium Hidroksida 2 N
Dilarutkan 8 g natrium hidroksida dalam air suling hingga diperoleh 100
ml larutan (Depkes RI, 1995).
3.3.8 Larutan Pereaksi Asam Sulfat 2 N
Sebanyak 10 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).
3.3.9 Larutan Pereaksi Asam Klorida 2 N
Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling hingga
diperoleh 100 ml larutan (Depkes RI, 1995).

3.4 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan
3.4.1 Pengumpulan Bahan
Pengumpulan tanaman dilakukan secara purposif , yaitu berdasarkan
pertimbangan peneliti dengan memilih daun bayam merah dan tanpa
membandingkan dengan daerah lain. Tanaman yang digunakan dalam penelitian

19

Universitas Sumatera Utara

ini adalah daun bayam merah (Althernanthera strigosa Hask) yang diambil dari
pasar Kampung Durian, Kecamatan Medan Timur, Kota Madya Medan, Provinsi
Sumatera Utara.
3.4.2 Identifikasi Sampel
Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Herbarium Medanese
Departemen Biologi Universitas Sumatera Utara.
3.4.3 Pembuatan Simplisia Daun Bayam Merah
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun bayam merah
yang masih segar. Daun bayam dibersihkan dari kotoran dengan cara dicuci
sampai bersih dengan air mengalir, kemudian ditiriskan. Daun bayam merah yang
sudah bersih kemudian ditimbang berat seluruhnya sebagai berat basah.
Kemudian dikeringkan di lemari pengering dengan suhu 40 – 50 ºC. Daun bayam
merah dianggap kering bila dapat diremas rapuh dan hancur, lalu ditimbang berat
kering. Kemudian diserbukkan dengan menggunakan blender. Disimpan dalam
wadah plastik yang tertutup rapat (Bardos, 2016).
3.4.4 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah
Pembuatan ekstrak etanol daun bayam merah dilakukan secara maserasi
dengan pelarut etanol 96%. Sebanyak 350 g serbuk simplisia bayam merah

dimasukkan ke dalam wadah kaca, ditambahkan etanol 96% sebanyak 2,6 L,
tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai,
peras, cuci ampas dengan cairan penyari secukupnya hingga diperoleh 3,5 L.
Pindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlidung dari
cahaya selama 2 hari. Dienaptuangkan atau disaring. Hasil yang diperoleh
dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary evaporator) sampai

20
Universitas Sumatera Utara

sebagian besar pelarutnya menguap dan dilanjutkan proses penguapan di atas
penangas air sampai diperoleh ekstrak kental (Depkes RI., 1979).

3.5 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia
Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik
dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, pemeriksaan
kadar abu yang tidak larut dalam asam, penetapan kadar sari yang larut dalam
etanol dan penetapan kadar sari yang larut dalam air (Depkes RI, 1995).
3.5.1 Pemeriksaan Makroskopik
Pemeriksaan makroskopik dilakukan pada simplisia segar yang meliputi

pemeriksaan bentuk, bau, rasa dan warna.
3.5.2 Pemeriksaan Mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik terhadap serbuk simplisia dilakukan dengan
cara meneteskan larutan kloral hidrat di atas kaca objek, kemudian di atasnya
diletakkan serbuk simplisia, lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat di
bawah mikroskop.
3.5.3 Penetapan Kadar Air
Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen).
Alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, alat penampung, pendingin, tabung
penyambung, dan tabung penerima 5 ml.
Cara kerja : toluen sebanyak 200 ml

dan air suling sebanyak 2 ml

dimasukkan ke dalam labu alas bulat. Kemudian didestilasi selama 2 jam, toluen
didinginkan selama 30 menit, dan dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml
(volume awal). Ke dalam labu alas bulat tersebut kemudian dimasukkan 5 g

21
Universitas Sumatera Utara


serbuk simplisia yang telah ditimbang dengan seksama, kemudian labu
dipanaskan dengan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih,
didestilasi dengan kecepatan 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air
tedestilasi, kemudian kecepatan destilasi ditingkatkan hingga 4 tetes per detik.
Setelah semua air terdetilasi, bilas bagian dalam pendingin dengan toluen.
Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian labu penerima dibiarkan
mendingin pada suhu kamar dan dibersihkan tetesan air yang mungkin masih
terdapat pada dinding tabung penerima. Setelah air dan toluen memisah sempurna,
dibaca volume air dengan ketelitian 0,05 ml (volume 1). Selisih kedua volume air
yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang
diperiksa, dan destilasi dilanjutkan lagi sebagai volume 2. Lakukan pengulangan
sekali lagi (volume 3). Hitung kadar air dalam persen (Depkes RI, 1995).
3.5.4 Penetepan Kadar Abu Total
Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama
dimasukkan dalam krus porselen yang telah dipijar dan ditara, kemudian
diratakan. Krus porselen dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pemijaran
dilakukan pada suhu 600oC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang
sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.5.5 Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml
asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam
dikumpulkan, disaring melalui kertas saring, dipijar sampai bobot tetap, kemudian

22
Universitas Sumatera Utara

didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung
terhadap bahan yang dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).
3.5.6 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Etanol
Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama
24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali
selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring
cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan
sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan
dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam
persen sari larut dalam etanol 96 % dihitung terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).
3.5.7 Penetapan Kadar Sari Yang Larut Dalam Air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara, dimaserasi selama
24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1
liter) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama,
kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat
pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang
telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105 o C sampai bobot
tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995)

23
Universitas Sumatera Utara

3.6 Skrining Fitokimia
Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah
meliputi: pemeriksaan senyawa golongan alkaloid, flavonoid, glikosida, tanin,
saponin dan steroid/triterpenoid (Depkes R, 1995).
3.6.1 Pemeriksaan Alkaloida
Serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah ditimbang
sebanyak 0,5g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling,
dipanaskan diatas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat

yang diperoleh dipakai untuk uji alkaloida: diambil 3 tabung reaksi, lalu
kedalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat.
Pada masing – masing tabung reaksi;
1. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer
2. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat
3. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff
Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit
dua dari tiga percobaan diatas (Depkes, 1995).
3.6.2 Pemeriksaan Flavonoid
Sebanyak 0,5 g simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah disari
dengan 10 ml metanol, lalu direfluks selama 10 menit. Kemudian disaring panaspanas melalui kertas saring kecil berlipat. Filtrat diencerkan dengan 10 ml air.
Setelah dingin ditambahkan 5 ml eter, dikocok hati-hati dan didiamkan. Lapisan
metanol diambil, lalu diuapkan pada suhu 40oC, sisanya dilarutkan dalam 5 ml etil
asetat, disaring. Filtrat digunakan untuk uji flavonoida dengan cara berikut :

24
Universitas Sumatera Utara

a. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa dilarutkan
dalam 1 sampai 2 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,5 g serbuk seng dan

2 ml asam klorida 2 N, didiamkan selama 1 menit. Ditambahkan 10 ml
asam klorida pekat, dalam waktu 2 sampai 5 menit terjadi warna merah
intensif, menunjukkan adanya flavonoida.
b. Sebanyak 1 ml larutan percobaan diuapkan hingga kering, sisa dilarutkan
dalam 1 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 10
ml asam klorida pekat, terjadi warna merah jingga, menunjukkan adanya
flavonoida (Depkes RI, 1995).
3.6.3 Pemeriksaan Saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah,
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan air panas, didinginkan
kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk buih yang mantap
setinggi 1 sampai 10 cm tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan
penambahan asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).
3.6.4 Pemeriksaan Glikosida
Disari 3 g serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah dengan
30 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam sulfat 2 N. Direfluks
selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml
timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok dan didiamkan selama 5 menit, disaring.
Disaring filtrat 3 kali, tiap kali dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol
(3:2). Sari air digunakan untuk percobaaan berikutnya yaitu 0,1 mil larutan
percobaan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air, sisa
ditambahkan 2 m air dan 5 tetes pereaksi Molish. Tambahkan 2 ml dengan hati-

25
Universitas Sumatera Utara

hati asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuknya cincin ungu pada
kedua batas cairan menunjukkan adanya glikosida (Depkes RI, 1995).
3.6.5 Pemeriksaan Tanin
Lebih kurang 2 g serbuk yang ditimbang saksama panaskan dengan 50 ml
air mendidih di atas penangas air selama 30 menit sambil diaduk. Diamkan
selama beberap menit enap tuangkan melalui segumpalan kapas ke dalam labu
takar 250 ml. Sari sisa dengan air mendidih, saring larutan ke dalam labu takar
yang sama. Ulangi penyaringan beberapa kali hingga larutan bila direaksikan
dengan besi (III) amonium sulfat tidak menunjukkan adanya tanin (Depkes RI,
1995).
3.6.6 Pemeriksaan Steroida dan Triterpenoida
Sejumlah 1 g serbuk simplisia dan ekstrak etanol daun bayam merah
dimaserasi dengan 20 ml eter selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan di cawan
penguap. Sisanya ditambahkan asam asetat anhidrat dan asam sulfat pekat
(pereaksi Liebermann-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang
berubah

menjadi

biru

ungu

atau

biru

hijau

menunjukkan

adanya

steroida/triterpenoida (Depkes RI, 1995).

3.7 Pembuatan Bahan Uji
Penyiapan bahan – bahan meliputi suspensi Na CMC sebagai kontrol,
suspensi Loperamid HCL sebagai pembanding, suspensi ekstrak etanol daun
bayam merah sebagai bahan uji dan oleum ricini sebagai induktor.

26
Universitas Sumatera Utara

3.7.1 Pembuatan Suspensi Na CMC 1 %(b/v)
Sebanyak 1 g Na CMC ditaburkan ke dalam lumpang berisi air suling
panas sebanyak 20 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh
massa yang transparan, digerus hingga terbentuk gel dan diencerkan dengan
sedikit air suling, kemudian dituang ke dalam labu tentukur 100 mL, ditambah air
suling sampai batas tanda (Anief, 1995).
3.7.2 Pembuatan Suspensi Loperamid HCl Dosis 1mg/kg bb
Tablet Imodium® mengandung 2 mg Loperamid HCl, ditimbang sebanyak
20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuknya sesuai perhitungan dosis berat .
Serbuk dimasukkan kedalam lumpang, kemudian ditambahkan suspensi Na CMC
1% sedikit demi sedikit sambil digerus homogen lalu diencerkan dengan suspensi
Na CMC 1% pada labu tentukur 10 mL.
3.7.3 Pembuatan Suspensi Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah Dosis 50 mg,
100 mg dan 200 mg/kg bb
Ekstrak etanol daun bayam merah masing – masing sebanyak 50 mg, 100
mg dan 200 mg digerus dalam lumpang, lalu ditambahkan suspensi Na CMC 1%
sedikit demi sedikit sambil digerus homogen lalu diencerkan dengan suspensi Na
CMC 1% pada labu tentukur 10 mL.

3.8 Pengujian Efek Antidiare
Dosis ekstrak etanol daun bayam merah ditentukan berdasarkan orientasi
pada hewan percobaan . Gejala yang diamati berdasarkan metode defekasi yaitu
saat mulai terjadinya diare, konsitensi feses, frekuensi diare dan lama terjadinya
diare. Dosis yang digunakan yaitu dosis 50, 100, dan 200 mg/kg bb. Sebagai

27
Universitas Sumatera Utara

pembanding suspensi Loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kontrol suspensi Na
CMC dosis 1% bb.
Tahapan penelitian sebagai berikut :
a.

Tikus diadaptasikan dengan lingkungan penelitian selama satu minggu.

b.

Tikus dipuasakan delapan belas jam sebelum penelitian, selanjutnya
dikelompokkan menjadi 5 kelompok masing – masing 5 ekor.

c.

Semua tikus diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/ekor tikus secara oral.

d.

Enam puluh menit setelah pemberian oleum ricini, masing – masing
kelompok diberi perlakuan, yaitu;
kelompok I diberikan suspensi Na CMC dosis 1% sebagai kontrol negatif,
kelompok II diberikan suspensi Loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb.
Kelompok III diberikan suspensi Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah dosis 50
mg/kg bb
Kelompok IV diberikan suspensi Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah dosis
100 mg/kg bb
Kelompok V diberikan suspensi Ekstrak Etanol Daun Bayam Merah dosis
200 mg/kg bb
Semua perlakuan diberikan secara oral.

e.

Dilakukan pengamatan setiap 30 menit selama 6 jam meliputi saat mulai
terjadinya diare, konsistensi feses (berlendir/ berair, lembek, dan normal),
diameter serapan air, berat feses, frekuensi diare dan lama terjadinya diare.

Cara pengamatan gejala :
a. Diare ditandai dengan buang air besar dimana frekuensiya meningkat dari
keadaan normal dan konsitensi feses yang lebih lembek atau cair.

28
Universitas Sumatera Utara

b. Saat mulai terjadinya diare; caranya dengan mencatat waktu mula – mula
terjadinya diare (dalam menit) setelah pemberian oleum ricini.
c. Konsitensi feses, caranya dengan melihat feses tikus apakah berdarah,
berlendir / berair lembek dan normal.
d. Diameter serapan air, caranya dengan meletakkan feses diatas kertas saring
setiap 30 menit setelah pemberian oleum ricini, lalu dibiarkan selama 15
menit dan diukur diameter serapan air pada kertas saring (dalam cm).
e. Berat feses, caranya dengan menimbang berat feses (dalam gram) setiap 30
menit setelah pemberian oleum ricini.
f. Frekuensi diare, caranya dengan mengitung berapa kali terjadi diare selama
pengamatan.
g. Lama terjadinya diare, caranya dengan mencatat selisih waktu terakhir diare
(saat konsitensi feses kembali normal) dengan waktu mula – mula terjadinya
diare (saat konsistensi berlendir atau berair) dalam menit.
(Adnyana, dkk., 2004; Sa’eoni, 1996).

2.9 Analisis Data
Data hasil pengamatan konsistensi feses dianalisis secara statistik dengan
metode Anava (analisis variansi) pada tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan
dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan nyata antara kelompok perlakuan.
Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statitical Product and Service
Solution).

29
Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil dan Identifikasi Sampel
Identifikasi sampel yang dilakukan di Herbarium Medanese, Pusat
Penelitian Biologi, Departemen Biologi Medan menunjukkan bahwa sampel
adalah benar daun bayam merah (Althernanthera strigosa Hask.).

4.2 Hasil Karakterisasi
4.2.1 Hasil pemeriksaan makroskopik
Hasil pemeriksaan simplisia bayam merah adalah tidak berbau khas, tidak
memiliki rasa. Daun berwarna merah
4.2.2 Hasil pemeriksaan mikroskopik
Hasil pemeriksaan mikroskopik daun bayam merah terdapat stomata,
jaringan parenkim dan kristal kalsium oksalat. dapat dilihat pada lampiran 3
halaman 46.
4.2.3 Hasil karakterisasi
Hasil pemeriksaan karakterisasi ekstrak bayam merah dapat dilihat pada
Tabel 4.1
Tabel 4.1 Hasil karakterisasi ekstrak bayam merah
No
1
2
3
4
5

Parameter
Kadar air
Kadar abu total
Kadar abu tidak larut asam
Kadar sari larut air
Kadar sari larut etanol

Hasil (%)
8,21%
2,66%
0,2%
11,54%
16,57%

MMI (Jilid 1)
< 3,5%
< 0,4 %
>10%

Berdasarkan hasil pada Tabel di atas, karakteristik ektrak bayam
memenuhi persyaratan umum pada Materia Medika Indonesia, yaitu kadar abu

30
Universitas Sumatera Utara

total tidak lebih dari 3,5%. Kadar abu tidak larut asam tidak lebih dari 0,4% dan
kadar sari larut etanol tidak kurang dari 10%.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia
Hasil skrining fitokimia simplisia dan ektrak bayam merah dapat dilihat
pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak daun bayam merah
Hasil

No

Golongan Senyawa

1

Alkaloida

-

2

Flavonoida

+

3

Tanin

+

4

Steroida/Triterpenoida

+

5

Saponim

-

6

Glikosida

-

simplisia

ekstrak

Keterangan : (+) = positif
(-) = negatif

4.4 Pengujian Efek Antidiare
Pengujian efek antidiare dari suspensi ekstrak etanol daun bayam merah
(EEDBM) diawali dengan orientasi dosis. Dosis orientasi yang digunakan 25 mg,
50 mg, 75 mg, 100 mg, 150 mg. 200 mg/kg bb. Dari keenam dosis yang diuji,
dosis 50 mg, 100 mg, 200 mg/kg bb dipilih untuk digunakan dalam penelitian,
karena memberikan efek terhadap penurunan diare.
Masing – masing tikus telah dipuasakan selama 18 jam sebelum
penelitian, dikelompokkan menjadi 5 kelompok dan kemudian diberikan oleum
ricini sebanyak 2 ml setiap ekornya. 1 jam setelah pemberian oleum ricini masing

31
Universitas Sumatera Utara

– masing kelompok diberi perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif diberikan
suspensi Na CMC dosis 1% bb, kelompok pembanding diberikan suspensi
Loperamid HCl 1 m/kg bb dan kelompok bahan uji diberikan suspensi EEDBM
yang terdiri dari tiga dosis yaitu 50 mg, 100 mg, 200 mg/kg bb.
Penentuan efek antidiare dari ekstrak etanol daun bayam merah dilakukan
dengan cara mengamati saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi
diare, diameter serapan air dan lama terjadinya diare.
4.4.1 Perubahan Konsistensi Feses
Dari hasil penentuan saat mulai terjadinya diare dapat dilihat pada Tabel
4.3
Tabel 4.3 Hasil data penurunan waktu terjadinya diare setelah pemberian
perlakuan
Hewan
Perlakuan

Suspensi Na
CMC 1% bb
Suspensi
Loperamid HCl
1 mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
50
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
100
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
200
mg/kg bb

Jumlah

Rata –
rata
(menit) ±
SD
62,74 ±
2,56
67,3 ±
2,02

I

II

III

IV

V

63,1

60,2

65,4

65,0

60,0

313,7

65,5

66,6

68

70,05

65,9

336,05

67,2

64

63

65,4

67,8

510,04

64,48 ±
2,20

100,04

90,0

100

120

100

498,4

102 ±
10,95

120

99,5

100

100

100

519,5

103,9 ±
9,00

Pada Tabel 4.3 dapat dilihat adanya perubahan antara dosis dan rata – rata
waktu pada hewan uji setelah pemberian EEDBM sebagai antidiare. Pada
pememberian Na CMC diperoleh saat mulai terjadinya diare pada menit 62,74 ±

32
Universitas Sumatera Utara

2,56, namun setelah pemberiaan EEDBM dengan dosis yang bervariasi terlihat
adanya perubahan waktu mulai terjadinya diare. Hal ini memperlihatkan bahwa
EEDBM dosis 200 mg/kg bb (103,9 ± 9,00) memiliki waktu mulai terjadinya
diare paling lama dibanding dengan EEDBM dosis 100 mg/kg bb (102 ± 10,95),
dan EEDBM dosis 50 mg/kg bb (64,48 ± 2,20).
120
102

103

100

Waktu (menit)

80
62.74

67.3

Suspensi Na CMC 1% bb

64.8

Suspensi Loperamid HCl 1 mg/kg bb

60

Suspensi EEDBM 50 mg/kg bb
Suspensi EEDBM 100 mg/kg bb

40

Suspensi EEDBM 200 mg/kg bb

20

0

Perlakuan

Gambar 4.1 Grafik Perubahan waktu konsistensi feses
Pada Gambar 4.1 dapat dilihat perbedaan grafik dari masing – masing
kelompok perlakuan. Pemberian loperamid HCL 1 mg/kg bb menunjukkan
perubahan waktu yang sangat berarti yaitu pada menit 67,3 ± 2,02, dimana
penurunan waktu diare lebih lama dibandingkan EEDBM dosis 100 mg/kg bb dan
dosis 200 mg/kg bb. Berdasarkan uji statistik, EEDBM 100 mg/kg bb tidak
berbeda signifikan dengan 200 mg/kg bb. Sampel uji dinyatakan memiliki efek
antidiare, jika waktu mulai terjadi diare yang diperoleh lebih lama daripada
kontrol dan semakin cepat terjadinya diare, maka efek antidiare akan semakin
lemah.
33
Universitas Sumatera Utara

4.4.2 Penentuan Frekuensi Diare
Pada Tabel dibawah terlihat hubungan antar dosis denga frekuensi diare
pada hewan uji setelah pemberian EEDBM.
Tabel 4.4 Hasil analisis data frekuensi diare
Perlakuan

Suspensi Na
CMC 1% bb
Suspensi
Loperamid HCl
1 mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
50
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
100
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
200
mg/kg bb

Jumlah

Rata –
rata
(menit) ±
SD
5,20 ±
0.837

I

II

Hewan
III

IV

V

5

6

6

5

4

26

4

4

4

4

3

19

3.80 ±
0.447

4

4

4

3

3

18

3.60 ±
0.548

3

3

2

2

2

12

2.40 ±
0,548

3

2

3

2

2

12

2,40 ±
2,40

4.4.3 Penentuan Konsistensi Feses
Penentuan konsistensi feses dapat dilakukan dengan cara melihat bentuk
feses yang terjadi.
Konsitensi feses yang diamati pada penelitian ini dikategorigakan menjadi
tiga konsistensi feses yaitu berlendir, lembek dan normal. Feses dengan
konsistensi berlendir mempunyai diameter serapan

air lebih besar 2 cm,

konsistensi feses lembek mempunyai diameter serapan air antara 1 – 2,1 cm dan
feses dengan kategori konsistensi normal tidak memiliki diameter serapan air.

34
Universitas Sumatera Utara

Hasil penentuan konsistensi feses dapat dilihat pada Tabel berikut ini
Tabel 4.5 Hasil analisis data diameter serapan air

Kelompok

I
II
III
IV
V

Perlakuan
Suspensi Na CMC
bb
Suspensi loperamid
1 mg/kg bb
Suspensi EEDBM
mg/kg bb
Suspensi EEDBM
mg/kg bb
Suspensi EEDBM
mg/kg bb

Diameter serapan
air
konsitensi
feses
berlendir
(cm) ± SD

Diameter serapan
air
konsitensi
feses lembek (cm)
± SD

3 ± 0.0

2,1 ± 0.56

2,4 ± 0,72

1,7 ± 0.62

2,02 ± 0,77

1,34 ± 0,55

1,0 ± 0, 38

0,9 ± 0,26

1,28 ± 0, 39

1,2 ± 0,3

1%
Hcl
50
100
200

Tabel 4.6 Hasil analisis data berat feses
Berat Feses
Kelompok

I
II

III

IV

V

Perlakuan

Suspensi
Na
CMC 1% bb
Suspensi
loperamid Hcl 1
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
50
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
100
mg/kg bb
Suspensi
EEDBM
200
mg/kg bb

Berlendir
(g)± SD
2.99 ± 0.28

Lembek (g) ±
SD
2.1 ± 0.35

Normal (g)
± SD
0,72 ± 0.31

2.28 ± 0.3

1.87 ± 0.29

1,43 ± 1.47

1.87 ± 0.39

1.46 ±0.31

0,78 ± 0.53

1.8 ± 0.43

1.7 ± 0.44

1.64 ±0.39

1.66 ±0.5

0,98 ± 0.24

0,93 ± 0.72

Pada Tabel 4.5 dan Tabel 4.6 dapat dilihat hubungan antara dosis,
diameter serapan air dan berat feses hewan uji setelah pemberian EEDBM. Dari

35
Universitas Sumatera Utara

tabel, semakin besar diameter serapan air maka feses yang terbentuk semakin
berat maka diare semakin parah dan efek antidiare EEDBM semakin lemah.
Tabel 4.7 Waktu terjadinya defekasi selama 6 jam, konsistensi feses dan
frekuensi diare.
Perlakuan

Menit ke Hewan
I

Susp.Na
CMC 1%
bb
Susp.
loperamid
HCl
1mg/kg
bb
Susp.
EEDBM
50 mg/kg
bb
Susp.EED
BM 100
mg/kg bb
Susp.
EEDBM
200 mg/
kg bb

1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5
1
2
3
4
5

Keterangan

II

60

III

IV

V

VI

63
65
67

110
120
125
100
120

125
123
121
133
134
132
135
133
133
135

155
156
170
180

86
66
64
90
65
68
63

65
70
65

100
110
99
92
117
115
100
100
110
94
120
100
93

60
65
67

100
100

VI
I
184
182
190
184
189
163

VI
I
200
200
220
225
230
216
223
215

164
151

140
139
142
132
135
141
127

160

210
200
220

170
165

IX

286
290
250
260
244
253
270
260
252
260

270
251

XI
320
330

274
281

272
270
280
275
270
285

XI
I
340
340
345
345
350

310
313
317
330

250
241
278
275
282

157
152
134
130
133
135
140

: Berlendir

X

185

257
245
245
286
286

: Lembek

320

: Normal

I : 0 – 30 menit

II : 30 – 60 menit

III : 60 – 90 menit

IV : 90 – 120 menit

V : 120 – 150 menit

VI : 150 – 180 menit

VII : 180 – 210 menit

VIII : 210 – 240 menit

IX : 240 – 270 menit

X : 270 – 300 menit

XI : 300 – 330 menit

XII : 330 – 360 menit

36
Universitas Sumatera Utara

4.4.4 Penentuan lama terjadinya diare
Pada Tabel dibawah terlihat hubungan antara dosis dengan lama
terjadinya diare pada hewan uji setelah pemberian EEDBM.
Tabel 4.8 Hasil analisis lama terjadinya diare
Hewan
Perlakuan
Susp. Na.CMC 1%
bb
Susp. Loperamid
HCl 1 mg/kg bb
Susp.EEDBM 50
mg/kg bb
Susp. EEDBM
100 mg/kg bb
Susp. EEDBM
200 mg/kg bb

I

II

III

IV

V

Jumlah
(Menit)

297

275

278

245

230

1325

193

244

249

277

231

1194

205

212

212

170

185

984

185

171

213

155

182

906

197

180

178

220

184

959

Rata –
rata ± SD
(Menit)
265 ±
27,0
238,8 ±
30,61
196,8
±18,62
181,2 ±
21,31
191,8 ±
17,41

Pemberian suspensi Na CMC menghasilkan lama terjadinya diare 265 ±
menit, namun setelah pemberian EEDBM dengan dosis yang bervariasi
mengakibatkan waktu lama terjadinya diare menjadi berkurang. EEDBM dosis
100 mg/kg bb (181,2 ± 21,31 ) memiliki waktu lama terjadinya diare tersingkat
jika dibandingkan dengan kelompok dosis 50 mg/kg bb (196,8 ± 18,62 ) dan dosis
200 mg/kg bb (191,8 ±17,41 ).
Dari hasil statistik ANOVA (p ≤ 0,05) dilanjutkan uji beda rata – rata
Tukey lama terjadinya diare menunjukkan bahwa kelompok kontrol pembanding
loperamid HCl memberikan efek yang signifikan (p≥ 0,05) terhadap EEDBM
dengan dosis 50, 100, 200 mg/kg bb. Semakin singkat waktu terjadinya diare
maka semakin kuat efek antidiare yang dimiliki.

37
Universitas Sumatera Utara

Dari parameter yang telah diamati, efek antidiare dapat dikategorikan
berdasarkan tingkat efektivitasnya dalam menekan diare sebagai berikut :
1. Lemah, bila efek antidiare lebih kuat dari efek kontrol dan lebih lemah
dibanding efek pembanding.
2. Sebanding/sama, bila efek antidiare sama dengan efek pembanding
3. Kuat, bila efek antidiare lebih kuat dari pembanding.
Berdasarkan kategori diatas, efek antidiare dari masing – masing
kelompok bahan uji dapat dikategorikan sebagai berikut : dosis 50 mg/kg bb,
dosis 100 mg/kg bb dan dosis 200 mg/kg bb mempunyai efektivitas yang kuat
dengan kelompok pembanding.
Berdasarkan skrining fitokimia yang dilakukan menunjukkan bahwa daun
bayam merah mengandung tanin, flavonoid dan steroid/triterpenoid. Beberapa
senyawa turunan tanin dan flavonoid memiliki aktivitas sebagai antimotilitas,
antisekretori dan antibakteri (Otshudi, Vercruysse and Foriers, 2000). Senyawa
tanin mempunyai sifat adstringent yang diperlukan untuk mengatasi disentri dan
diare, sifat adstringent ini mengerutkan selaput lendir usus sehingga mengurangi
pengeluaran cairan diare dan disentri serta menghambat sekresi elektrolit (Tjay
dan Rahardja, 2007). Selain tanin, daun bayam merah juga mengandung
flavonoid. Flavonoid memiliki efek antidiare yang dinyatakan pada penelitian Di
Carlo, dkk., (1993) bahwa mekanisme flavonoid dalam menghentikan diare yang
diinduksi oleh castor oil adalah dengan menghambat motilitas usus, tetapi tidak
mengubah transport cairan di dalam mukosa usus sehingga mengurangi sekresi
cairan dan elektrolit.

38
Universitas Sumatera Utara

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa :
a. Hasil pemeriksaan karakteristik ekstrak etanol daun bayam merah meliputi
kadar air 8,21% kadar abu total 2,66%, kadar abu tidak larut asam 0,20%,
kadar sari larut air 11,54%, dan kadar sari larut etanol 16,57%.
b. Ekstrak etanol daun bayam merah dosis 50, 100, 200 mg/kg bb mempunyai
efek sebagai antidiare. Dosis 100 mg/kg bb menunjukkan efek yang tidak
berbeda signifikan (p ≤ 0,05) dengan dosis 200 mg/kg bb, tetapi menunjukkan
efek signifikan (p ≥ 0,05) dengan obat pembanding loperamid HCl 1 mg/kg
bb.

5.2 Saran
Disarankan pada peneliti selanjutnya untuk menguji aktivasi daun bayam
merah sebagai antidiare.

39
Universitas Sumatera Utara