Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Ranti (Solanum Americanum Mill.) Terhadap Tikus Putih Jantan

(1)

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI

(

Solanum americanum

Mill.) TERHADAP

TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satmemperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: YERI MEI FERINA

NIM 121524052

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI

(

Solanum americanum

Mill.) TERHADAP

TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: YERI MEI FERINA

NIM 121524052

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI

(

Solanum americanum

Mill.) TERHADAP

TIKUS PUTIH JANTAN

OLEH: YERI MEI FERINA

NIM 121524052

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 04 Februari 2015 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia penguji,

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt. Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt.

NIP 130935857 NIP 195103261978022001

Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt.

Pembimbing II, NIP 130935857

Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt.

NIP 195008221974121002 NIP 195304031983032001

Drs. Saiful Bahri, M.S, Apt. NIP 195208241983031001

Medan, Maret 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara a.n Dekan,

Wakil Dekan I,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 195807101986012001


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah Yang Maha Esa atas segala limpahan berkah, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera

Utara, yang berjudul “Efek Antidiare Ekstrak Etanol Daun Ranti (Solanum

americanum Mill.) Terhadap Tikus Putih Jantan”.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Edy Suwarso, S.U., Apt., dan Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt., selaku pembimbing yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan dan Ibu Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt., selaku Wakil Dekan I yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Bapak Prof. Dr. Muchlisyam, M.Si., Apt., selaku Ketua Jurusan Program Studi Ekstensi Sarjana Farmasi USU Medan. Terima kasih untuk Ibu Prof. Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis., M.Si., Apt serta Bapak Drs. Syaiful Bahri, M.S., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu staff pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Ibu Marianne, S.Si, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Farmasi USU serta Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku kepala Laboratorium Farmakognosi


(5)

v

Fakultas Farmasi USU yang telah memberikan izin dan fasilitas untuk penulis sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua saya, Bapak Yusi Komar dan Mama Rostini atas doa, nasehat, dan pengorbanan baik moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini dan adik saya Dwi Oktariani, Tri Mulia, Raden Mulia, atas doa dan dukungan semangatnya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kak Voni Cherli, Astria Kurnia atas bantuan kalian saya dapat menyelesaikan semuanya tepat waktu serta teman-teman Farmasi Ektensi 2012 dan rekan-rekan penelitian atas doa dan dukungannya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi kita semua.

Medan, Maret 2015 Penulis,

Yeri Mei Ferina NIM 121524052


(6)

vi

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI (Solanum americanum Mill.) TERHADAP

TIKUS PUTIH JANTAN ABSTRAK

Diare merupakan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali sehari dengan feses cair. Data insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia 3,5%. Prevalensi diare di Provinsi Sumatera Utara yaitu 6,7%. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal. Tingginya angka kejadian dan bahayanya diare, oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan obat tradisonal. Salah satu

tanaman berkhasiat yang dikenal masyarakat adalah tanaman ranti (Solanum

americanum Mill.). Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun ranti.

Karakterisasi simplisia dilakukan untuk menetapkan parameter mutu simplisia dan dilakukan identifikasi kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun ranti. Ekstraksi dilakukan dengan cara perkolasi mengunakan pelarut etanol 70%. kemudian ekstrak diuji efek antidiare pada tikus jantan dengan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare dan suspensi norit 5% digunakan sebagai marker. Metode uji antidiare yang digunakan adalah uji aktivitas antidiare metode defekasi yang

diinduksi oleum ricini dan transit intestinal dengan menghitung persen lintasan

yang dilewati norit pada usus tikus.

Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti yaitu dengan hasil kadar air 4,69%, kadar sari larut air 18,59%, kadar sari larut etanol 15,32%, kadar abu total 6,43% dan kadar abu tidak larut asam 0,92%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti terdapat senyawa-senyawa golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, dan tanin.

Hasil penelitian ekstrak etanol daun ranti memiliki efek antidiare. Data analisis statistik persentase lintasan marker norit menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ranti dengan dosis 100 mg/kg bb 68,91 ± 0,65%, dosis 200 mg/kg bb 56,54 ± 1,11% dan 400 mg/kg bb 38,64 ± 0,95% berbeda signifikan (p < 0,05). Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb 42,49 ± 2,60% tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan ekstrak etanol daun ranti dosis 400 mg/kg bb. Sedangkan pada medote aktivitas antidiare yang diinduksi oleum ricini hasil analisis statistiknya menyatakan ada penurun jumlah bobot feses cair yang signifikan (p < 0,05) pada kelompok yang diberi ekstrak 200 dan 400 mg/kg bb.

Kata Kunci: Daun ranti, Solanum americanum Mill., metode transit intestinal,


(7)

vii

ANTIDIARRHOEAL EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT OF RANTI LEAF (Solanum americanum Mill.)

IN RATS WHITE MALE ABSTRACT

Diarrhea is a bowel disorder that is characterized more than 3 times a day with liquid stools. The percentage of diarrhea incidence data for all age groups in Indonesia was 3.5%. The prevalence of diarrhea in North Sumatra province was 6.7%. Individuals who suffered severe diarrhea could be died due to the high number of incidence of diarrhea and the bad effect of diarrhea. Therefore, it is necessary to prevent the disease by promoting the use of traditional medicine. One

of the medicinal plants known by the public is ranti plant (Solanum americanum

Mill.). This experiment was done to scientifically prove the efficacy of antidiarrheal ethanol extract from ranti leaves.

The characterization of simplex ranti leaf to establish quality and

determination of chemical compounds. Extraction has be done perkolasi with solvent ethanol 70 percent. and unpack it tested stock exchange antidiarrhoeal in rats bull with the dose 100 mg/kg of body weight, 200 mg/kg of body weight and 400 mg/kg of body weight. Oleum ricini was used as an inducer of diarrhea and suspension norit 5% was used as a marker. Antidiarrheal test method used was the antidiarrheal activity induced defecation method oleum ricini and intestinal transit by calculating the percentage trajectory passed norit on rat intestine.

The results of the characterization of simplex ranti leaves were water content 4.65%, water-soluble extract 18.59%, content of ethanol-soluble extract 15.32%, total ash content 6.43% and acid insoluble ash content 0.92%. Results of phytochemical screening of simplex ranti leaves were compounds steroids/ triterpenoids, alkaloid, flavonoids, glycosides, saponins, and tannins.

The results of the study of extract ethanol of ranti leaf have antidiarrheal effects. Statistical analysis of the percentage of marker trajectories norit showed that the extract ethanol of ranti leaf a dose of 100 mg/kg bw 68.91 ± 0.65%, a dose of 200 mg/kg bw 56.54 ± 1.11% and 400 mg/kg bw 38.64 ± 0.95% was significantly different (p < 0.05). The dose of loperamide dose of 0.54 mg/kg bw 42.49 ± 2.60% did not different significantly (p > 0.05) with the ethanol extract of leaves ranti dose of 400 mg/kg bw. While the methods now antidiarrheal activity induced oleum ricini statistical analysis of the results stated there is lowering the amount of liquid stool weight and not uniform, which was significantly different (p < 0.05) in the group given the extract 200 and 400 mg/kg bw.

Key word: ranti leaves, Solanum americanum Mill., transit intestinal method,


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Sistematika Tumbuhan ... 6

2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing ... 6

2.1.3 Morfologi Tumbuhan ... 7

2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan ... 7


(9)

ix

2.3 Ekstraksi ... ... 8

2.4 Cara – Cara Ekstraksi ... 8

2.5 Uraian Saluran Pencernaan Manusia ... 10

2.5.1 Rongga Mulut dan Faring ... 11

2.5.2 Esofagus ... 11

2.5.3 Lambung ... 11

2.5.5 Usus Halus ... 12

2.5.6 Usus Besar ... 12

2.6 Uraian Diare ... 13

2.6.1 Patofisiologi Diare ... 14

2.6.2 Obat-obat antidiare ... 15

2.7 Loperamid Hidroklorida ... 16

2.8 Oleum Ricini ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Alat dan Bahan ... 18

3.1.1 Alat-alat ... 18

3.1.2 Bahan-bahan ... 18

3.2 Pengumpulan dan Pengelolahan Bahan Tumbuhan ... 19

3.2.1 Pengambilan sampel ... 19

3.2.2 Identifikasi tumbuhan ... 19

3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 19

3.3 Pembuatan larutan pereaksi ... 20

3.3.1 Pereaksi Bouchardat ... 20


(10)

x

3.3.3 Pereaksi Mayer ... 20

3.3.4 Pereaksi besi (III) kloria 1% ... 20

3.3.5 Pereaksi Molisch ... 20

3.3.6 Pereaksi Lieberman - Bourchard ... 21

3.3.7 Pereaksi asam klorida 2 N ... 21

3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia ... 21

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 21

3.4.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 21

3.4.3 Penetapan kadar air ... 21

3.4.4 Penetapan kadar sari larut air ... 22

3.4.5 Penetapan kadar sari larut etanol ... 22

3.4.6 Penetapan kadar abu total ... 23

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 23

3.5 Skrining Fitokimia ... 23

3.5.1 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 23

3.5.2 Pemeriksaan alkaloid ... 24

3.5.3 Pemeriksaan glikosida ... 24

3.5.4 Pemeriksaan flavonoid ... 25

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 25

3.5.6 Pemeriksaan saponin ... 25

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Leunca ... 26

3.7 Percobaan Efek Antidiare ... 26

3.7.1 Penyiapan hewan uji ... 26


(11)

xi

3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5% ... 27

3.7.2.2 Pembuatan suspensi serbuk tablet loperamid HCl ... 27

3.7.2.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun leunca 27

3.7.3 Pengujian efek antidiare ... 28

3.7.3.1 Metode transit intestinal ... 28

3.7.3.2 Aktivitas antidiare metode defekasi ... 28

3.8 Pengumpulan data ... 29

3.9 Analisis Data ... 29

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan ... 30

4.1.1 Identifikasi bahan tumbuhan ... 30

4.1.2 Karakterisasi simplisia ... 30

4.1.3 Skrining fitokimia serbuk simplisa ... 31

4.2 Pengujian Efek Antidiare ... 32

4.2.1 Metode transit intestinal ... 32

4.2.2 Pengujian aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair ... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Hasil karakteristik simplisia daun ranti ... 31

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia daun ranti ... 32

Tabel 4.3 Persentase lintasan marker norit pada usus tikus kondisi

normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb ... 34

Tabel 4.4 Hasil uji beda rata – rata antar kelompok (uji ANAVA) .. 35

Tabel 4.5 Hasil uji Post Hoc Tukey HSD ... 35

Tabel 4.6 Jumlah bobot feses cair pada tikus diare, tikus yang diberi

EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb selama enam jam pengamatan ... 37

Tabel 4.7 Hasil uji beda rata – rata antar kelompok uji ... 38

Tabel 4.7 Hasil uji Post Hoc Tukey bobot feses cair tikus pada

kondisi diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb ... 38


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Diagram Kerangka Pikir Penelitian ... 5 Gambar 4.3 Grafik persentase lintasan marker norit pada usus tikus

kondisi normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan

loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb ... . 34 Gambar 4.6 Jumlah bobot feses cair pada tikus diare, tikus yang

diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb selama enam jam pengamatan ... 37


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 44

Lampiran 2. Gambar tanaman ranti ... 45

Lampiran 3. Simplisia dan serbuk simplisia daun ranti ... 46

Lampiran 4. Bagan kerja pembuatan ekstrak ... 47

Lampiran 5. Hasil penimbangan, rendemen dan susut pengeringan ... 48

Lampiran 6. Hasil pemeriksaan mikroskopik ... 49

Lampiran 7. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia ... 50

Lampiran 8. Bagan pengerjaan uji efek antidiare pada tikus metode transit intestinal ... 55

Lampiran 9. Bagan pengerjaan uji efek antidiare metode defekasi ... 56

Lampiran 10. Data persentase lintasan marker norit ... 57

Lampiran 11. Gambar usus halus yang dilintasi marker norit ... 58

Lampiran 12. Gambar kandang tikus uji dan feses cair tikus ... 59

Lampiran 13. Volume maksimum sesuai jalur pemberian dan konversi dosis ... 60


(15)

vi

EFEK ANTIDIARE EKSTRAK ETANOL DAUN RANTI (Solanum americanum Mill.) TERHADAP

TIKUS PUTIH JANTAN ABSTRAK

Diare merupakan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali sehari dengan feses cair. Data insiden diare untuk seluruh kelompok umur di Indonesia 3,5%. Prevalensi diare di Provinsi Sumatera Utara yaitu 6,7%. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal. Tingginya angka kejadian dan bahayanya diare, oleh karena itu perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan obat tradisonal. Salah satu

tanaman berkhasiat yang dikenal masyarakat adalah tanaman ranti (Solanum

americanum Mill.). Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun ranti.

Karakterisasi simplisia dilakukan untuk menetapkan parameter mutu simplisia dan dilakukan identifikasi kandungan senyawa kimia yang terdapat pada daun ranti. Ekstraksi dilakukan dengan cara perkolasi mengunakan pelarut etanol 70%. kemudian ekstrak diuji efek antidiare pada tikus jantan dengan dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare dan suspensi norit 5% digunakan sebagai marker. Metode uji antidiare yang digunakan adalah uji aktivitas antidiare metode defekasi yang

diinduksi oleum ricini dan transit intestinal dengan menghitung persen lintasan

yang dilewati norit pada usus tikus.

Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti yaitu dengan hasil kadar air 4,69%, kadar sari larut air 18,59%, kadar sari larut etanol 15,32%, kadar abu total 6,43% dan kadar abu tidak larut asam 0,92%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti terdapat senyawa-senyawa golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin, dan tanin.

Hasil penelitian ekstrak etanol daun ranti memiliki efek antidiare. Data analisis statistik persentase lintasan marker norit menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ranti dengan dosis 100 mg/kg bb 68,91 ± 0,65%, dosis 200 mg/kg bb 56,54 ± 1,11% dan 400 mg/kg bb 38,64 ± 0,95% berbeda signifikan (p < 0,05). Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb 42,49 ± 2,60% tidak berbeda signifikan (p > 0,05) dengan ekstrak etanol daun ranti dosis 400 mg/kg bb. Sedangkan pada medote aktivitas antidiare yang diinduksi oleum ricini hasil analisis statistiknya menyatakan ada penurun jumlah bobot feses cair yang signifikan (p < 0,05) pada kelompok yang diberi ekstrak 200 dan 400 mg/kg bb.

Kata Kunci: Daun ranti, Solanum americanum Mill., metode transit intestinal,


(16)

vii

ANTIDIARRHOEAL EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT OF RANTI LEAF (Solanum americanum Mill.)

IN RATS WHITE MALE ABSTRACT

Diarrhea is a bowel disorder that is characterized more than 3 times a day with liquid stools. The percentage of diarrhea incidence data for all age groups in Indonesia was 3.5%. The prevalence of diarrhea in North Sumatra province was 6.7%. Individuals who suffered severe diarrhea could be died due to the high number of incidence of diarrhea and the bad effect of diarrhea. Therefore, it is necessary to prevent the disease by promoting the use of traditional medicine. One

of the medicinal plants known by the public is ranti plant (Solanum americanum

Mill.). This experiment was done to scientifically prove the efficacy of antidiarrheal ethanol extract from ranti leaves.

The characterization of simplex ranti leaf to establish quality and

determination of chemical compounds. Extraction has be done perkolasi with solvent ethanol 70 percent. and unpack it tested stock exchange antidiarrhoeal in rats bull with the dose 100 mg/kg of body weight, 200 mg/kg of body weight and 400 mg/kg of body weight. Oleum ricini was used as an inducer of diarrhea and suspension norit 5% was used as a marker. Antidiarrheal test method used was the antidiarrheal activity induced defecation method oleum ricini and intestinal transit by calculating the percentage trajectory passed norit on rat intestine.

The results of the characterization of simplex ranti leaves were water content 4.65%, water-soluble extract 18.59%, content of ethanol-soluble extract 15.32%, total ash content 6.43% and acid insoluble ash content 0.92%. Results of phytochemical screening of simplex ranti leaves were compounds steroids/ triterpenoids, alkaloid, flavonoids, glycosides, saponins, and tannins.

The results of the study of extract ethanol of ranti leaf have antidiarrheal effects. Statistical analysis of the percentage of marker trajectories norit showed that the extract ethanol of ranti leaf a dose of 100 mg/kg bw 68.91 ± 0.65%, a dose of 200 mg/kg bw 56.54 ± 1.11% and 400 mg/kg bw 38.64 ± 0.95% was significantly different (p < 0.05). The dose of loperamide dose of 0.54 mg/kg bw 42.49 ± 2.60% did not different significantly (p > 0.05) with the ethanol extract of leaves ranti dose of 400 mg/kg bw. While the methods now antidiarrheal activity induced oleum ricini statistical analysis of the results stated there is lowering the amount of liquid stool weight and not uniform, which was significantly different (p < 0.05) in the group given the extract 200 and 400 mg/kg bw.

Key word: ranti leaves, Solanum americanum Mill., transit intestinal method,


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diare merupakaan gangguan buang air besar yang ditandai lebih dari 3 kali sehari dengan kelebihan bobot cair. Berat feses sebagian besar ditentukan oleh air feses. Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses (Goodman dan Gilman., 2012). Diare disebabkan oleh berbagai faktor antara lain virus, bakteri, parasit, penyakit, obat-obatan dan keracunan makanan sehingga

terjadi peningkatan peristaltik usus yang menyebabkan pelintasan chymus (bubur

feses) sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tan dan Rahardja, 2007).

Prevalensi insiden diare di Indonesia berdasarkan seluruh kelompok umur yaitu 3,5% sedangkan di Provinsi Sumatera Utara 6,7%. Menurut Kemenkes RI (2013), kasus kejadian diare di Kota Medan sepanjang tahun 2012 lebih kurang sebanyak 29.769 kasus. Penyebab diare terbanyak akibat iritasi usus oleh patogen yang mempengaruhi lapisan mukosa usus, sehingga terjadi peningkatan produk sekretorik, termasuk mukus. Iritasi juga mempengaruhi peningkatan motilitas usus. Peningkatan motilitas menyebabkan banyak air dan elektrolit terbuang. Individu yang mengalami diare berat dapat meninggal (Corwin, 2009). Karena tingginya angka kejadian dan bahaya diare, perlu dilakukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut dengan menggalakkan penggunaan obat tradisonal. Salah satu tanaman berkhasiat yang dikenal masyarakat adalah


(18)

2

tanaman ranti (Solanum americanum Mill.) dari suku Solanaceae merupakan

tanaman obat yang banyak tersebar di Indonesia.

Tanaman ranti yang memiliki rasa pahit ini digunakan secara empiris sebagai obat disentri, tukak lambung, antigastritic dan infus daun segar efektif

sebagai antiinflamasi (Edmonds dan James, 1997). Selain itu ranti juga

merupakan tanaman obat yang memiliki aktivitas sebagai analgetik, antipiretik dan antibakteri (Wijayakusuma, 2008). Ekstrak etanol daun ranti efektif sebagai

antibakteri penyebab diare yaitu bakteri E. Coli (Parameswari, et al., 2012).

Penelitian yang telah dilakukan oleh Pronob dan Islam (2012) menunjukkan

bahwa kandungan mineral dan fitokimiadaun ranti mengadung senyawa golongan

alkaloid, flavonoid, saponin dan tanin. Kandungan kimia tanin dan flavonoid diduga dapat memiliki khasiat sebagai antidiare.

Berdasarkan penggunaan secara empiris dan kandungan senyawa aktif daun ranti memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi obat antidiare. Pengujian ini dilakukan untuk membuktikan secara ilmiah khasiat antidiare ekstrak etanol daun ranti dengan metode transit intestinal yang bertujuan untuk mengukur perjalanan norit sebagai parameter motilitas usus (Vogel, 2002) dan uji aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair.

Berdasarkan uraian diatas, maka telah dilakukan pengujian efek antidiare ekstrak etanol daun ranti dengan menggunakan model pengujian antidiare pada tikus putih jantan untuk menggali potensi tanaman yang dapat digunakan sebagai penggobatan pada penderita diare. Penelitian ini dilakukan dengan variasi dosis sediaan uji.


(19)

3 1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:

a. apakah karakteristik simplisia daun ranti yang diteliti dapat ditentukan?

b. golongan senyawa kimia apakah yang terdapat pada simplisia daun ranti?

c. apakah ekstrak etanol daun ranti mempunyai efek sebagai antidiare pada

tikus putih jantan dengan metode transit intestinal dan uji aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:

a. hasil karakteristik simplisia daun ranti yang diteliti dapat ditentukan.

b. golongan senyawa yang terdapat pada serbuk simplisia yaitu:

steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin

c. ekstrak etanol daun ranti mempunyai efek sebagai antidiare pada tikus

putih jantan dengan metode transit intestinal dan uji aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair.


(20)

4 1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

a. untuk mengetahui karakteristik simplisia daun ranti.

b. untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada serbuk

simplisia daun ranti.

c. untuk mengetahui efek antidiare ekstrak etanol daun ranti.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. memberikan informasi ilmiah dasar penggunaan ekstrak etanol daun ranti

sebagai antidiare.

b. Menambah inventaris tanaman obat untuk menunjang pengembangan


(21)

5 1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Variabel bebas Variabel Terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian Ekstrak etanol daun

ranti 100 mg/kg bb

Aktivitas antidiare dengan diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb

Loperamid HCL 0,54 mg/kg bb

Ekstrak etanol daun ranti 400 mg/kg bb Ekstrak etanol daun ranti 200 mg/kg bb

1. Persentase

lintasan marker norit

2. Bobot feses


(22)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputih, sistematika tumbuhan, sinonim, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan kandungan kimia.

2.1. 1 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan ranti berdasarkan hasil identifikasi Herbarium Medanense adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledoneae

Ordo :

Famili :

Genus :

Spesies : Solanum americanum Mill.

Sinonim : Solanum Nigrum L., Solanum nodiflorum Jacq. (Edmonds

dan James, 1997). 2.1.2 Nama Daerah dan Nama Asing

Nama daerah ranti: leunca badak, lenca manuk (Jawa); leunca hayam, leunca pahit, leunca hayam, leunca piit (Sunda); rampai, ranti (Sumatera); anti, boose, bobose (Maluku).

Nama asing ranti: long kui (Tiong Hoa), enab el-deeb (Arab), Kama-kamatisan (Philipina), ranti (Melayu) (Dalimarta, 2008).


(23)

7 2.1.3 Morfologi Tumbuhan

Tanaman ini termasuk ke dalam golongan semak, dengan tinggi lebih kurang 1,5 m. Memiliki akar tunggang dengan warna putih kocoklatan. Batang tegak, berbentuk bulat, lunak, dan berwarna hijau. Berdaun tunggal, lonjong, dan tersebar dengan panjang 5-7,5 cm ; lebar 2,5-3,5 cm. Pangkal dan ujung daun meruncing dengan tepi rata. Pertulangan daun menyirip. Daun mempunyai tangkai dengan panjang ± 1 cm dan berwarna hijau. Bunga berupa bunga majemuk dengan mahkota kecil, bangun bintang, berwarna putih, benang sari berwarna kehijaunan dengan jumlah 5 buah. Tangkai bunga berwarna hijau pucat dan berbulu. Buah berbentuk bulat, jika masih muda berwarna hijau, dan berwarna hitam mengkilat jika sudah tua ukurannya kira-kira sebesar kacang kapri. Biji berbentuk bulat pipih, kecil-kecil, dan berwarna putih (Dalimarta, 2008).

2.1.4 Kandungan Kimia Tumbuhan

Kandunga kimia daun ranti yaitu steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, saponin dan tanin (Edmonds dan James, 1997). Buah ranti juga mengadung alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, dan steroid/triterpenoid (Hartati, dkk., 2005).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan alam yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia mineral (Ditjen POM, 2000).


(24)

8 2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dengan pelarut air atau cairan penyari. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif atau simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

2.4 Cara-cara Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari 2 cara, yaitu: 1. Cara dingin

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara dingin terdiri dari: a. Maserasi

Maserasi adalah proses perendaman simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Cairan penyari akan menembus dinding sel simplisia dan akan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung bahan aktif. Zat aktif akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan di luar sel, sehingga larutan yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut terjadi secara berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Ditjen POM, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya di lakukan pada temperatur ruangan. Serbuk simplisia


(25)

9

di tempatkan dalam suatu bejana silinder yang bagian bawahnya di beri sekat berpori. Cairan penyari di alirkan dari atas ke bawah melalui serbuk tersebut, cairan penyari akan melarutkan zat aktif dari sel - sel yang dilalui sampai mencapai keadaan jenuh. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Ditjen POM, 2000).

2. Cara panas

Ekstraksi menggunakan pelarut dengan cara panas terdiri dari: a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk ekstraksi sempurna (Ditjen POM, 2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang mempunyai tekstur kasar. Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang besar.

b. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000). Keuntungan dari metode ini dapat digunakan untuk sampel dengan tekstur yang lunak, pelarut yang digunakan lebih sedikit dan pemanasannya dapat di atur.


(26)

10 c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu umumnya pada temperatur 40 – 50 ºC.

d. Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan mengekstraksi simplisia

nabati dengan pelarut air pada suhu 90ᵒC selama 15 menit (Ditjen POM, 2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.5 Uraian Saluran Pencernaan

Saluran cerna dimulai dari mulut sampai anus. Saluran cerna berfungsi untuk ingesti dan pendorongan makanan, mencerna makanan, menyerap zat gizi yang penting bagi tubuh, serta mengeksresi bagian makanan yang tidak diserap dan sebagai hasil akhir metabolisme (Corwin, 2009).

Saluran gastrointestinal berawal di rongga mulut, berlanjut ke esofagus dan lambung. Makanan disimpan sementara di lambung sampai disalurkan ke usus halus. Usus halus dibagi menjadi tiga bagian: duodenum, yeyunum, dan ileum. Pencernaan dan penyerapan makanan berlangsung terutama di usus halus, dari usus halus makanan kemudian masuk ke usus besar yang terdiri dari kolon dan rektum. Organ tambahan pada sistem ini adalah hati, pankreas, kandung empedu dan apendiks (Corwin, 2009).


(27)

11 2.5.1 Rongga Mulut dan Faring

Rongga mulut merupakan awal dari saluran cerna dan di sini makanan di kunyah menjadi halus dan dicampur dengan ludah. Pada peristiwa mengunyah yang berperan adalah gigi, otot pengunyah, lidah, pipi, dasar mulut, dan langit - langit. Ludah di bentuk oleh tiga pasang kelenjar besar, glandula parotis (kelenjar ludah telinga), glandula submandibularis ( kelenjar ludah rahang bawah), dan glandula sublingualis (kelenjar ludah bawah lidah) dan kemudian melalui saluran-salurannya akan masuk ke rongga mulut. Produksi ludah setiap hari sekitar 1,5 liter. Pada proses menelan yang dimulai secara sadar dan kemudian berlanjut secara reflektoris, makanan yang dilapisi ludah akan masuk melalui faring ke esofagus (Mutschler, 2010).

2.5.2 Esofagus

Esofagus berfungsi untuk menggerakkan makanan dari faring ke lambung melalui gerak peristaltik. Mukosa esofagus memproduksi sejumlah besar mukus untuk melumasi dan melindungi esofagus. Esofagus hanya berfungsi untuk meneruskan makanan (Mutschler, 2010).

2.5.3 Lambung

Lambung terdiri atas tiga bagian yakni bagian atas (fundus), bagian tengah

(corpus), dan bagian bawah (antrum) yang meliputi pelepasan lambung (pylorus). Selain otot penutup pylorus, dibagian atas lambung juga terdapat otot melingkar

lain yakni sfingter kerongkongan - lambung (katup gastro - esofagus). Sfingter

tersebut bekerja sebagai katup dan berfungsi menyalurkan makanan ke hanya satu jurusan yaitu arah usus (Tan dan Rahardja, 2007).


(28)

12 2.5.4 Usus halus

Panjang usus halus adalah 6 m dan di sini berlangsung hampir seluruh

proses pencernaan. Usus halus terdiri atas tiga bagian utama yakni duodenum

(usus dua belas jari) yang membentuk huruf C, jejenum (usus kosong), dan

akhirnya ileum (ujung usus - halus) yakni bagian tersempit dari usus halus (Tan

dan Rahardja, 2007).

Pada kerja motorik usus halus dibedakan atas gerakan mencampur dan gelombang peristaltik dorong. Gerakan mencampur melakukan pencampuran intensif khimus dengan getah pankreas, empedu dan sekret dari kelenjar usus halus, sedangkan gerakan peristaltik mendorong adonan makanan. Gerakan ini dapat timbul dengan adanya relaksasi dinding usus halus dan dikendalikan saraf melalui plexus myentericus (Mutschler, 2010).

Proses pencampuran yang menyeluruh selama segmentasi memastikan khimus bereaksi dengan enzim pencernaan dan kembali kontak dengan dinding usus sehingga memfasilitasi absorpsi (Corwin, 2009).

2.5.5 Usus besar

Usus besar yang merupakan bagian akhir dari saluran cerna dapat dibagi menjadi: cecum (usus buntu sekum) dengan apendix vermiformis (umbai cacing), colon (usus besar) dan rektum. Di usus besar dengan pengentalanm isi usus

terbentuk feses (Mutschler, 2010). Laju kontraksi usus besar lebih lambat

dibandingkan dengan usus halus. Hal ini berarti makanan yang masuk ke dalam usus besar perlu waktu seharian untuk berjalan menyusuri seluruh bagian struktur usus besar (Corwin, 2009). Umumnya gerakan usus besar berlangsung lambat dan tidak propulsif, gerakan secara berlahan mengaduk isi kolon melalui gerakan


(29)

13

maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif. Karena gerakan kolon tersebut lambat, bakteri memiliki cukup waktu untuk tumbuh dan menumbuk di usus besar (Sherwood, 2001).

Bakteri yang terdapat di kolon meliputi Escherichia coli, Enterobacter

aerogenes, Bacteriodes fragilis. Sejumlah besar bakteri keluar melalui tinja

(Ganong, 2008). Esherichia coli menjadi patogen jika jumlah bakteri ini dalam

saluran pencernaan meningkat atau berada di luar usus. E.coli menghasilkan

enterotoksin yang menyebabkan beberapa kasus diare. E.coli berasosiasi dengan

entero patogenik menghasilkan enterotoksin pada sel epitel. Toksin yang

dihasilkan oleh E.coli merangsang sekresi Na+ dan air di usus halus (Ganong,

2008).

2.6 Uraian Diare

Diare merupakan pengeluran feses dengan kelebihan bobot cair yang terlalu cepat, untuk orang dewasa yang sehat maksimum berat air normal dalam feses adalah 200 g/hari. Karena berat feses sebagian besar ditentukan oleh air feses. Kandungan cairan merupakan penentu utama volume dan konsistensi feses. Kandungan bersih cairan feses mengambarkan keseimbangan antara input lumen (ingesti dan sekresi air dan elektrolit) dan output sepanjang saluran gastrointestinal (Goodman & Gilman, 2012).

Kebanyakan kasus diare disebabkan gangguan transpor air dan elektrolit di usus, secara mekanik diare dapat disebabkan oleh adanya peningkatan tekanan osmotik di dalam usus (sehingga menyebabkan retensi air di dalam lumen); sekresi elektrolit dan air yang berlebihan ke dalam lumen usus; eksudasi protein


(30)

14

dan cairan dari mukosa; dan perubahan motilitas usus sehingga mempercepat transit. Pada umumnya, terjadi berbagai proses yang saling mempengaruhi, yang mengarah pada peningkatan volume dan berat feses yang disertai persen kandungan air (Goodman & Gilman, 2012).

Diare merupakan gangguan resorpsi disebabkan oleh meningkatnya peristaltik usus, sehingga pelintasan chymus sangat dipercepat dan masih mengandung banyak air pada saat meninggalkan tubuh sebagai tinja (Tan dan Rahardja, 2007).

2.6.1 Patofisiologi Diare

Berdasarkan tinjauan patofisiologi dibedakan beberapa mekanisme penyebab diare sebagai berikut:

a. kurangnya absorpsi zat osmotik dari lumen usus ( diare osmotik)

b. meningkatnya sekresi elektrolit dan air ke dalam lumen usus (diare

sekretorik)

c. naiknya permeabilitas mukosa usus

d. terganggunya motilitas usus (Mutschler, 2010).

Mekanisme tersebut sebagai dasar pengelompokan diare secara klinik yaitu:

1. Diare osmotik, dapat disebabkan oleh sindroma malcerna (maldigesti) atau

malabsorpsi serta akibat pemasukan zat yang sukar diabsorpsi (dibandingkan osmolaksansia). Jika makanan dihentikan, diare osmotik akan berhenti.

2. Diare sekretorik, disebabkan oleh toksin bakteri yang mengaktifkan adenilat

siklase dalam sel mukosa, sehingga cAMP akan dibentuk lebih banyak. Disamping toksin kolera, toksin dari Salmonella dan Shigella juga menyebabkan diare sekretorik, sebagian besar diare musim panas dan diare


(31)

15

perjalanan disebabkan oleh toksin Eschericia coli. Penyebab lain diare

sekretorik ini adalah zat endogen, misalnya polipeptida usus vasoaktif (Vasoaktif Intestinal Polypeptide, VIP). Berbeda dengan diare osmotik, diare sekretorik tetap terjadi pada pasien yang puasa.

3. Peningkatan permeabilitas mukosa usus dapat terjadi karena penyakit pada

usus halus dan usus besar (misal colitis ulcerosa atau karsinoma kolon) atau karena tidak terabsorpsinya asam empedu. Diare kologen semacam ini ditemukan setelah sekresi ileum, yang merupakan tempat utama reabsorpsi kembali asam empedu. Asam empedu yang masuk ke kolon akan memperbesar masuknya air dan elektrolit ke lumen usus dan disini akan menyebabkan diare. Jika kehilangan asam empedu melampaui kapasitas sintesis dihati, terjadi pengurangan absorpsi lemak sehingga timbul feses berlemak (steatorea).

4. Peningkatan motilitas intestine yang merupakan penyebab diare yang di

temukan misalnya pada hipertireosis (Mutschler, 2010). 2.6.2 Obat-obat antidiare

Kelompok obat yang sering kali digunakan pada diare adalah :

1. Kemoterapeutika untuk terapi kausal yakni memberantas bakteri penyebab

diare seperti antibiotika, sulfonamide, dan senyawa kinolon.

2. Obstipansia untuk terapi simptomatis, yang dapat menghentikan diare dengan

beberapa cara, yakni:

a. Zat-zat yang menghambat peristaltik sehingga memberikan lebih banyak


(32)

16

dan alkaloidnya, derivat petidin (loperamid), dan antikolinergika (atropine, ekstrak belladonna) (Tan dan Rahardja, 2007).

b. Adstringensia, merupakan senyawa yang dengan protein dalam larutan

netral atau asam lemah akan membentuk endapan yang tak larut, terasa kesat dan jika diberikan pada mukosa akan bekerja menciutkan. Zat ini akan menyebabkan perapatan dan penciutan lapisan selaput lendir usus, dan menghambat sekresi jaringan yang meradang. Contohnya preparat yang mengandung tanin dan tannalbin, garam-garam bismuth dan aluminium (Mutschler, 2010).

c. Absorbensia, misalnya carbo adsorben yang pada permukaannya dapat

menyerap (adsorpsi) zat-zat beracun yang dihasilkan oleh bakteri atau yang adakalanya berasal dari makanan. Termasuk disini juga mucilagines, zat - zat lendir yang menutupi selaput lendir usus dan luka-lukanya dengan suatu lapisan pelindung, umpamanya kaolin, pektin, dan garam bismuth serta aluminium (Tan dan Rahardja, 2007).

3. Spasmolitika, yakni zat-zat yang dapat melepaskan kejang-kejang otot yang

seringkali mengakibatkan nyeri perut pada diare misalnya papaverin (Tan dan Rahardja, 2007).

2.7 Loperamid Hidrokloridum

Loperamid bekerja terutama melaluai reseptor µ-opioid perifer dan lebih disukai daripada obat lain karena keterbatasannya untuk berpenetrasi ke SSP. Obat ini meningkatkan waktu transit usus halus dan juga waktu transit dari mulut ke sekum. Loperamid juga meningkatkan tonus sfingter anal, efek yang berguna


(33)

17

secara terapeutik untuk pasien yang tidak dapat mengontrol anal. Selain itu loperamid memiliki aktivitas antisekretori untuk melawan toksin kolera dan

beberapa bentuk toksin E. Coli. Dosis lazim untuk dewasa 4 mg untuk permulaan

dan diikuti 2 mg tiap kali selesai defekasi hingga 16 mg/hari (Goodman & Gilman, 2012).

2.8 Oleum Ricini

Oleum ricini atau minyak jarak diperoleh dari biji tanaman jarak Ricinus

communis, dan kaya akan kandungan trigliserida asam risinoleat. Trigliserida dihindrolisis di usus halus oleh lipase menjadi gliserol dan zat aktifnya, yakni asam risinoleat yang terutama bekerja di usus halus menstimulasi sekresi cairan dan elektrolit serta mempercepat transit usus. Jika 4 ml minyak jarak diminum pada saat perut kosong dapat menghasilkan efek laksantif dalam waktu 1-3 jam. Namun dosis lazim efek katartik adalah 15 – 60 ml untuk dewasa (Goodman & Gilman, 2012).

Minyak jarak ini merupakan iritan lokal yang meningkatkan motilitas usus. Awal kerjanya cepat dan berlanjut hingga senyawa tersebut diekskresikan melalui kolon (Katzung, 2010). Minyak jarak sebagai laksantif stimulan memiliki efek langsung terhadap enterosit, neuron enterik dan otot. Zat ini kemungkinan menginduksi sedikit radang pada usus halus dan usus besar secara terbatas untuk meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dan menstimulasi motilitas usus (Goodman & Gilman, 2012).


(34)

18

Pasricha, Pankaj.J., dan Jafri, Syed. (2012). Goodman & Gilmen Dasar Farmakologi Terapi Vol 2 Edisi 10. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hal. 1009,1011-1012, 1018-1019.


(35)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental. Penelitian ini meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi bahan tumbuhan, pengolahan bahan tumbuhan, karakterisasi simplisia, pembuatan ekstrak, penyiapan hewan uji dan pengujian efek antidiare dengan metode transit intestinal dan metode defekasi yang diinduksi oleum ricini pada hewan uji. Data hasil penelitian dianalisis secara ANAVA (analisis variansi) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Post Hoc

Tukey HSD menggunakan program SPSS (Statistikal product and service

solution) versi 20.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas

laboratorium, blender (Panasonic), rotary evaporator (Buchi), oven listrik

(Fischer scientific), mikroskop (boeco), tanur, gelas ukur (Pyrex), kandang tikus,

lemari pengering, neraca listrik (Vibra), neraca hewan (Presica Geniweigher

GW-1500), oral sonde, seperangkat alat destilasi, stopwatch, spuit 1 ml, spuit 3 ml

(Terumo), seperangkat alat bedah hewan dan kertas saring. 3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan

dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun ranti (Solanum


(36)

20

akuades, toluena (p.a), kalium iodida, merkuri (II) klorida, bismut nitrat, asam nitrat, iodium, α-naftol, asam asetat pekat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat, natrium hidroksida, asam klorida pekat, metanol (teknis), eter minyak tanah (teknis), etilasetat (p.a), serbuk seng, serbuk magnesium, isopropanol, etanol 70%, karboksi metil selulosa (CMC), norit, loperamid HCl (tablet Imodium®) dan oleum ricini .

3.2 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.2.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan bahan dilakukan secara purposif. Bahan tumbuhan yang

digunakan adalah daun ranti (Solanum americanum Mill.). Sampel diambil dari

Pasar Sore Padang Bulan Medan. 3.2.2 Identifikasi bahan tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Medanense, Universitas Sumatera Utara.

3.2.3 Pengolahan bahan tumbuhan

Daun ranti dicuci hingga bersih dan ditiriskan, kemudian dikering anginkan, selanjutnya ditimbang hasilnya 3000 gram. Bahan dimasukkan ke dalam lemari

pengering dengan temperatur 30 - 45oC hingga kering, yang ditandai apabila

dipatahkan telah rapuh, lalu ditimbang sehingga diperoleh berat keringnya 420 gram. Simplisia kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender, serbuk diayak terlebih dahulu lalu dimasukkan ke dalam wadah plastik bertutup dan di simpan di tempat kering.


(37)

21 3.3 Pembuatan Larutan Pereaksi

Pembuatan larutan pereaksi menurut Materia Medika Indonesia Edisi VI (1995):

3.3.1 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling ditambahkan iodium sebanyak 2 g dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.3.2 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 0,8 g bismuth (II) nitrat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat. Pada wadah lain ditimbang 27,2 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian campurkan kedua larutan dan diamkan sampai memisah sempurna. Ambil larutan jernih dan encerkan dengan air suling hingga 100 ml.

3.3.3 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,36 g raksa (II) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml. Pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kemudian keduanya dicampur dan ditambahkan air suling hingga 100 ml.

3.3.4 Peraksi Besi (III) Klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air hingga 100 ml.

3.3.5 Pereaksi Molisch

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga 100 ml.


(38)

22 3.3.6 Pereaksi Lieberman - Bourchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrida dan 1 bagian asam sulfat pekat.Kemudian ditambah etanol hingga 50 ml.

3.3.7 Pereaksi Asam Klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dalam air suling hingga 100 ml.

3.4 Pemeriksaan Karakterisasi Simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut dalam asam, penetapan kadar sari larut dalam etanol, dan penetapan kadar sari larut dalam air (Ditjen POM, 1995).

3.4.1 Makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, bau dan rasa dari simplisia daun ranti dan daun ranti segar.

3.4.2 Mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan cara menaburkan serbuk simplisia di atas kaca objek dan ditetesi dengan kloralhidrat kemudian ditutup dengan kaca penutup setelah itu dilihat dibawah mikroskop.

3.4.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluen). Cara penetapan: ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluena dan 2 ml aquades, didestilasi selama 2 jam. Setelah toluena didinginkan dan volume air


(39)

23

pada tabung penerima dibaca. Kemudian kedalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, dipanaskan hati – hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih, kecepatan tetesan diatur, kurang lebih 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena yang telah jenuh. Penyulingan dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, volume dibaca. Selisih kedua volume air dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa (WHO, 1992). 3.4.4 Penetapan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, lalu disaring. Sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang beralas datar telah dipanaskan pada suhu

105ᵒC dan ditara, panaskan sisa pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar dalam

persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Kemenkes RI, 2009).

3.4.5 Penetapan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia, dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil dikocok berkali-kali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindari penguapan etanol, sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang beralas datar yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan


(40)

24

pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang

larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Kemenkes RI, 2009).

3.4.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, jika arang masih tidak dapat dihilangkan, ditambahkan air panas, saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa dan kertas saring dalam krus yang sama. Masukkan filtrat ke dalam krus, uapkan, pijarkan hingga bobot tetap, timbang. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Kemenkes RI, 2009).

3.4.7 Penetapan kadar abu tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh dalam penetapan kadar abu dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, cuci dengan air panas, dipijarkan dalam krus hingga bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap berat bahan uji (Kemenkes RI, 2009).

3.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid.


(41)

25 2.5.1 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 g, dimaserasi dengan 20 ml nheksan selama 2 jam, disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap dan pada sisanya ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard melalui dinding cawan. Apabila terbentuk warna ungu atau merah yang berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya triterpenoid/steroid (Harborne, 1987).

3.5.2 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalamnya dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada masing-masing tabung reaksi:

a. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer

b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat

c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g, lalu disari dengan 30 ml campuran etanol 96%-air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 2 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat, ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan selama 5 menit, lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran kloroform-isopropanol (3:2) sebanyak 3 kali. Pada kumpulan sari lapisan isopropanol diuapkan pada suhu


(42)

26

tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dengan 2 ml metanol untuk larutan

percobaan. 0,1 ml larutan percobaan diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat, terbentuk cincin berwarna ungu pada batas cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (Ditjen POM, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 1 g serbuk simplisia ditambahkan 10 ml air panas, didihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Positif mengandung flavonoid jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Fransworth, 1966).

3.5.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1995).

3.5.6 Pemeriksaan saponin

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan, kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 menit. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan buih tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM,1995).


(43)

27 3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Ranti

Sebanyak 300 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam bejana tertutup, etanol 70% dituangkan ke dalam bejana sampai seluruh simplisia terendam, diaduk, dibiarkan sekurang-kurangnya selama 3 jam. Dipindahkan massa sedikit demi sedikit kedalam perkolator sambil tiap kali ditekan hati-hati, dituangkan cairan penyari secukupnya sampai cairan mulai menetes dan di atas simplisia masih terdapat selapis cairan penyari, ditutup perkolator, dibiarkan selama 24 jam. Keran dibuka, dibiarkan cairan menetes dengan kecepatan 20 tetes per menit. Pelarut dialirkan secara kontinu dari atas dengan kecepatan yang sama dengan menggunakan reservoar yang berisi pelarut hingga selalu terdapat selapis cairan diatas simplisia. Perkolasi dihentikan setelah tetesan terakhir perkolat tidak berwarna lagi atau apabila sebanyak 500 mg cairan perkolat diuapkan di atas penangas air tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh dipekatkan dengan

alat penguap vakum putar (rotary evaporator).

3.7 Percobaan Efek Antidiare

Percobaan efek antidiare meliputi penyiapan hewan uji, bahan uji, obat pembanding (loperamid HCl), oleum ricini, dan pengujian efek antidiare.

3.7.1 Penyiapan hewan uji

Hewan uji yang digunakan adalah tikus putih jantan galur wistar dengan berat badan 150-200 g sebanyak 30 ekor, dibagi dalam 6 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus pada pengujian dengan metode transit intestinal dan untuk pengujian aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot


(44)

28

feses cair digunakan sebanyak 30 ekor dibagi menjadi 5 kelompok, setiap kelompok terdiri dari 6 ekor tikus putih jantan.

Dua minggu sebelum pengujian dilakukan, hewan uji dipelihara dengan tujuan untuk menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba sama sehingga dianggap memenuhi syarat untuk penelitian.

3.7.2 Penyiapan bahan

Penyiapan bahan-bahan meliputi larutan suspensi CMC 0,5%, suspensi norit 5%, air suling, oleum ricini, etanol 70%, suspensi ekstrak etanol daun ranti, suspensi loperamid.

3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 20 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh masa yang transparan, digerus lalu diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Anief, 1997).

3.7.2.2 Pembuatan suspensi serbuk tablet loperamid HCl

Tablet Imodium® mengandung 2 mg loperamid HCl, ditimbang sebanyak

20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 30,33 mg. serbuk dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi Na CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus homogen lalu ditambahkan suspensi Na CMC 0,5% hingga 10 ml, dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 61.

3.7.2.3 Pembuatan suspensi ekstrak etanol daun ranti

Ekstrak etanol daun ranti dibuat konsentrasi 5%, yaitu ditimbang sebanyak 2,5 g ekstrak etanol daun ranti, lalu ditambahkan suspensi CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus homogen, lalu diencerkan dengan suspensi CMC


(45)

29

0,5% hingga 50 ml. Disetiap melakukan penelitian, suspensi ekstrak etanol daun ranti dibuat baru dengan konsentrasi yang sama.

3.7.3 Pengujian efek antidiare 3.7.3.1 Metode transit intestinal

Semua kelompok diberi perlakuan secara per oral. Pada t = 0 tikus kelompok I (kontrol) diberi suspensi norit 5% sebanyak 1 ml. Kelompok II diberi oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb dan suspensi norit 5% sebanyak 1 ml dan kelompok III, IV, dan V diberi suspensi ekstrak etanol daun ranti 5% dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb. Kelompok VI sebagai pembanding diberikan suspense loperamid dosis 0,54 mg/kg bb. EEDR dan suspensi loperamid diberikan pada saat t = 0 menit, kemudian setelah 60 menit semua hewan diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb. pada t = 120 menit semua hewan diberi suspensi norit 5% sebanyak 1 ml. pada t = 180 menit semua hewan dikorbankan secara dislokasi tulang leher. Usus dikeluarkan secara hati-hati. Diukur panjang usus yang dilalui marker norit mulai dari pylorus sampai katup ileosekal dari masing-masing hewan. Kemudian dari masing-masing tikus dihitung persen lintasan yang dilalui oleh marker norit terhadap panjang usus seluruhnya (Chitme, dkk., 2004).

Untuk menghitung persentase lintas norit:

= panjang usus yang dilalui marker norit

panjang usus seluruhnya x100%

3.7.3.2 Aktivitas antidiare metode defekasi

Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 18 jam dengan tetap diberi minum untuk mengosongkan usus agar mempermudah proses absorpsi pada saluran cerna. Pada penelitian ini tikus diinduksi dengan


(46)

30

oleum ricini 2 ml/200 g bb (Sumarny, dkk., 2013). Sediaan uji diberikan satu jam setelah induksi dengan oleum ricini. Tikus masing- masing diletakkan kedalam kandang yang dialasi nampan plastik dengan dilapisi kertas saring yang sebelumnya telah ditimbang dan dilakukan pengamatan selama enam jam, muculnya diare ditandai dengan adanya feses cair. Selanjutnya kertas saring yang

ditempeli feses cair ditimbang. Penilain efek antidiare berdasarkan

penurunan/pengurangan yang bermakna bobot feses kelompok uji dibandingkan kelompok kontrol selama enam jam. Kelompok I diberi oleum ricini 2 ml/200 g bb, kelompok II suspensi loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb, kelompok III-V diberi EEDR dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb.

3.8 Pengumpulan Data

Nilai rasio kemudian dirata-rata untuk masing-masing kelompok, dan nilai dari masing-masing kelompok tersebut dibandingkan dengan kelompok lainnya.

3.9 Analisis Data

Data hasil pengamatan persen lintas marker norit dan bobot feses cair dianalisis secara statistik dengan metode ANAVA pada tingkat kepercayaan 95% dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey HSD untuk melihat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 20.


(47)

31 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan 4.1.1 Identifikasi bahan tumbuhan

Hasil identifikasi tumbuhan dilakukan di “Herbarium Medanense”, Fakultas MIPA Biologi USU menyatakan bahwa tumbuhan yang digunakan adalah

tumbuhan ranti (Solanum amiricanum Mill.) suku Solanaceae. Hasil identifikasi

dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 44. 4.1.2 Karakterisasi simplisia

Hasil pemeriksaan makroskopik daun ranti segar yaitu berwarna hijau, berdaun tunggal dan tersebar dengan panjang 2,5 - 8,5 cm dan lebar ± 2,5 cm dan permukaan merata. Bentuk daun jorong, pangkal daun membundar, ujung runcing, tepi daun rata, pertulangan daun menyirip. Daun mempunyai tangkai dengan panjang ± 1 cm. Gambar dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 45. Makroskopik simplisia daun ranti yaitu berwarna

hijau kecoklatan, agak menggulung keatas, bertulang menyirip, berbau khas dan rasa sedikit pahit. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun ranti terlihat adanya fragmen pembuluh kayu, stomata tipe anisositik dan rambut penutup berbentuk kerucut panjang yang dapat dilihat pada Lampiran 6 halaman 49.

Menurut Kemenkes RI, suatu simplisia yang akan digunakan sebagai bahan baku obat harus memenuhi persyaratan mutu yang tercantum dalam monografi terbitan resmi Kementerian Kesehatan RI (Farmakope Herbal Indonesia, 2009),


(48)

32

akan tetapi monografi simplisia daun ranti belum ada. Hasil pemeriksaan karakterisasi serbuk simplisia daun ranti dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini. Tabel 4.1 Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti

No Karakteristik serbuk simplisia Kadar (%)

1 Kadar air 4,65

2 Kadar sari yang larut dalam air 18,59

3 Kadar sari yang larut dalam etanol 15,32

4 Kadar abu total 6,43

5 Kadar abu yang tidak larut dalam asam 0,92

Hasil karakterisasi serbuk simplisia daun ranti menunjukkan bahwa kadar air 4,65%. Persyarakan kadar air ini memberikan batas kandungan air yang masih dapat ditolerir untuk menjaga stabilitas simplisia, karena simplisia yang mengadung kadar air tinggi atau lebih dari 10% maka akan menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba dan jamur. Penetapan kadar sari dilakukan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia yang larut dalam air dan dalam etanol. Hasil kadar sari yang larut dalam air yaitu 18,59% sedangkan kadar sari yang larut dalam etanol 15,32%. Penetapan kadar abu total bertujuan untuk mengetahui kadar senyawa - senyawa anorganik seperti oksida logam Mg, Ca, Pb, dan Si. Penetapan kadar abu tidak larut asam untuk mengetahui senyawa anorganik yang tidak larut asam seperti silikat. Besarnya kandungan logam tersebut, dapat membahayakan kesehatan. Hasil yang didapat untuk kadar abu total adalah 6,43% dan kadar abu tidak larut asam adalah 0,92%.

4.1.3 Skrining fitokimia serbuk simplisia

Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun ranti menunjukan hasil dapat dilihat pada Tabel 4.2


(49)

33

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia

No Pemeriksaan Serbuk simplisia

1 Steroid/ Triterpenoid +

2 Alkaloid +

3 Glikosida +

4 Flavonoid +

5 Tanin +

6 Saponin +

Keterangan:

(+) : Mengandung senyawa metabolit sekunder (-) : Tidak mengandung senyawa metabolit sekunder

4.2 Pengujian Efek Antidiare 4.2.1 Metode transit intestinal

Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 18 jam dengan tetap diberi minum untuk mengosongkan usus agar mempermudah proses absorpsi pada saluran cerna dan mempermudah dalam pengukuran lintasan marker norit pada usus tikus. Tikus yang digunakan dalam pengujian memiliki berat badan 150 - 200 g. Tikus putih jantan dengan berat badan 150 - 200 g termasuk rentang berat badan tikus dewasa (Dare, et al., 2012).

Suspensi norit digunakan sebagai marker dalam pengukuran metode transit intestinal. Oleum ricini digunakan sebagai penginduksi diare pada hewan uji karena mengandung trigliserida dari asam risinoleat yang dihidrolisis dalam usus oleh enzim lipase pankreas menjadi asam risinoleat, dimana zat ini bekerja menghambat absorpsi cairan dan elektrolit serta meningkatkan motilitas usus (Lembo dan Camilleri, 2003). Volume pemberian oleum ricini pada tikus dewasa sebagai penginduksi adalah 2 ml/200 g berat badan secara oral (Sumarny, dkk., 2013). Loperamid digunakan sebagai pembanding karena bekerja memperlambat motilitas intestinal dan tidak menembus ke dalam sawar otak sehingga tidak


(50)

34

menyebabkan ketergantungan (Neal, 2006). Dosis lazim loperamid untuk dewasa adalah 2 - 8 mg per hari, maksimum 16 mg per hari. Dosis yang digunakan dalam pengujian adalah 6 mg yang kemudian dikonversikan sehingga dosis suspensi loperamid yang diberikan pada tikus dewasa 0,54 mg/kg bb. Semua perlakuan diberikan secara oral. Tikus dikelompokkan menjadi 6 kelompok di mana tiap kelompok terdiri dari 5 ekor. Kelompok I diberi suspensi norit 1 ml, kelompok II diberi oleum ricini 2 ml/200 g berat badan dan suspensi norit 1 ml, kelompok III, IV, V diberi suspensi EEDR masing-masing dosis 100, 200, dan 400 mg/kg bb. Kelompok VI diberi suspensi loperamid masing-masing dosis 0,54 mg/kg bb.

Hasil uji efek antidiare dari ekstrak etanol daun ranti pada tikus putih jantan pada pemberian suspensi norit sebanyak 1 ml, diperoleh persen lintasan marker norit 74,03 ± 0,32 yang menggambarkan kondisi normal usus tikus tanpa induksi oleum ricini. Pemberian oleum ricini 2 ml/200 g bb dan suspensi norit 5% 1 ml diperoleh persen lintasan marker norit 91,63 ± 0,59 yang menggambarkan kondisi diare. Namun pada pemberian suspensi EEDR dengan dosis 100 mg, 200 mg, dan 400 mg/kg bb pada tikus dewasa yang dikondisikan diare dengan diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb, menunjukkan penurunan lintasan marker norit, yaitu pada dosis 100 mg (68,91 ± 0,65), dosis 200 mg (56,54 ± 1,11), dosis 400 mg (38,64 ± 0,95).

Suspensi EEDR dosis 400 mg/kg bb memiliki persen lintasan marker norit yang paling rendah bila dibandingkan dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Hal ini menunjukkan suspensi EEDR dosis 400 mg/kg bb memiliki efek antidiare yang paling kuat dari dosis 100 mg/kg bb dan 200 mg/kg bb. Sedangkan pemberian suspensi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb pada tikus dewasa yang


(51)

35

dikondisikan diare dengan diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb, menunjukkan penurunan lintasan marker norit, yaitu 42,49 ± 2,60. Data hasil tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.3

Tabel 4.3 Persentase lintasan marker norit pada usus tikus kondisi normal, tikus diare, dan tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.

Hewan uji Norit (kontrol) Ol.ricini (kondisi diare) Loperamid HCl

EEDR (mg/kg bb)

100 200 400

1 74,34% 89,47% 38,46% 69,74% 53,33% 41,67%

2 74,32% 91,53% 52,50% 68,49% 60,27% 39,13%

3 72,77% 92,76% 41,30% 69,07% 55,88% 35,83%

4 74,42% 91,66% 38,33% 66,67% 56,58% 38,89%

5 74,34% 92,71% 41,89% 70,58% 56,67% 37,68%

Rata - rata ± SE

74,03% ± 0,32% 91,63% ± 0,59% 42,49% ± 2,60% 68,91% ± 0,65% 56,54% ± 1,11% 38,64% ± 0,95%

Gambar 4.1 Grafik persentase perubahan lintasan marker norit pada usus tikus kondisi normal, tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan tikus yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Norit (kontrol)

Ol. ricini + norit EEDR dosis 100 mg/kg bb EEDR dosis 200 mg/kg bb EEDR dosis 400 mg/kg bb Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb P e rs e n ra ti o y a n g d il a lu i ma rk e r n o ri t Kelompok (perlakuan)


(52)

36

Hasil pengujian aktivitas antidiare kemudian dianalisa dengan uji perbedaan rata-rata antar kelompok (Uji ANAVA) dan hasil analisis data dilanjutkan dengan uji Tukey, terlihat pada Tabel 4.4 dan 4.5

Tabel 4.4 Hasil uji beda rata-rata antar kelompok (uji ANAVA)

Berdasarkan hasil analisa statistik pada Tabel 4.4 diperoleh F hitung untuk

persentase lintas marker norit (247,691)> F Tabel (2,62) menunjukkan hubungan

yang bermakna (P < 0,05) berarti terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan, kemudian dilanjutkan uji Tukey yang dapat dilihat pada Tabel 4.5

Tabel 4.5 Hasil uji Tukey

Kelompok N Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EEDR 400 mg/kg bb 5 38,6400

Lopermid HCl 5 42,4960

EEDR 200 mg/kg bb 5 56,5460

EEDR 100 mg/kg bb 5 68,9100

Normal 5 74,0380

Oleum ricini 2 ml/200 g bb 5 91,6260

Sig. ,305 1,000 ,086 1,000

Pada Tabel 4.5 terlihat bahwa persen lintas marker norit kelompok yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb berbeda signifikan dengan suspensi EEDR dosis 100 mg/kg bb, suspensi EEDR dosis 200 mg/kg bb, norit 5% (keadaan normal), dan oleum ricini dosis 2 ml/ 200 g bb (keadaan diare). Dosis 400 mg/kg

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between

Groups 10130,961 5 2026,192 247,691 ,000

Within Groups 196,327 24 8,180


(53)

37

bb dan dosis loperamid dosis 0,54 mg/kg bb memiliki efek antidiare yang sama atau tidak berbeda signifikan.

4.2.2 Pengujian aktivitas antidiare metode defekasi dengan parameter bobot feses cair

Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan terlebih dahulu dengan tetap diberi minum untuk mengosongkan usus agar mempermudah proses absorpsi pada saluran cerna. Pada penelitian ini tikus diinduksi dengan oleum ricini 2 ml/200 g bb. Oleum ricini didalam usus halus dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi gliserol dan asam ricinoleat. Asam ricinoleat inilah yang merupakan bahan aktif penginduksi diare. Oleum ricini digunakan sebagai bahan induksi diare pada penelitian diare secara eksperimental (Estuningtyas dan Arif, 2011).

Sediaan uji diberikan satu jam setelah induksi dengan oleum ricini. Tikus masing- masing diletakkan kedalam kandang yang dialasi nampan dengan dilapisi kertas saring yang sebelumnya telah ditimbang dan dilakukan pengamatan selama enam jam, muculnya diare ditandai dengan adanya feses cair. Selanjutnya kertas saring yang ditempeli feses cair ditimbang. Penilaian efek antidiare berdasarkan penurunan/pengurangan yang bermakna bobot feses cair kelompok uji dibandingkan kelompok kontrol selama enam jam. Data hasil dapat dilihat pada Tabel 4.6


(54)

38

Tabel 4.6 Jumlah bobot feses cair pada tikus diare, dan tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb selama enam jam pegamatan.

Hewan Uji

Ol. ricini 2 ml/200 g bb

Loperamid HCl

EEDR Dosis (mg/kg bb)

100 200 400

1 9,03 g 1,49 g 4,56 g 1,44 g 0,68 g

2 6,43 g 1,92 g 4,73 g 2,74 g 0,00 g

3 5,91 g 2,42 g 3,68 g 1,98 g 0,79 g

4 7,33 g 1,41 g 5,89 g 3,75 g 0,00 g

5 4,78 g 1,77 g 2,67 g 2,56 g 1,34 g

6 7,64 g 0,97 g 5,97 g 1,96 g 0,47 g

Rata – rata ± SE 6,85 g ± 0,60 g 1,66 g + 0,20 g 4,58 g + 0,52 g 2,41 g + 0,33 g 0,55 g + 0,21 g

Gambar 4.2 Grafik jumlah bobot feses tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan tikus yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.

Hasil pengujian bobot feses cair kemudian dianalisa dengan uji perbedaan rata-rata antar kelompok (Uji ANAVA) dan hasil analisis data dilanjutkan dengan uji Tukey, terlihat pada Tabel 4.7 dan 4.8

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Ol. Ricini 2 ml/200 g bb

Loperamid HCl dosis 0,54

mg/kg bb

EEDR dosis 100 mg/kg bb

EEDR dosis 200 mg/kg bb

EEDR dosis 400 mg/kg bb b o b o t fe se s d a la m g ra m kelompok (perlakuan)


(55)

39

Tabel 4.7 Hasil uji beda rata-rata antar kelompok (uji ANAVA) Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 151,775 4 37,944 38,144 ,000

Within Groups 24,869 25 ,995

Total 176,644 29

Berdasarkan hasil analisa statistik pada Tabel 4.7 diperoleh F hitung untuk bobot feses cair (38,144) > F Tabel (2,76) menunjukkan hubungan yang bermakna (P < 0,05) berarti terdapat perbedaan yang signifikan antar perlakuan, kemudian dilanjutkan uji Tukey yang dapat dilihat pada Tabel 4.8

Tabel 4.8 Hasil uji Tukey bobot feses tikus diare, tikus yang diberi EEDR dosis 100 mg/kg bb, dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb, dan tikus yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EEDR dosis 400 mg/kg

bb 6 .5467

Loperamid HCl dosis

0,54 mg/kg bb 6 1.6633 1.6633

EEDR dosis 200 mg/kg

bb 6 2.4050

EEDR dosis 100 mg/kg

bb 6 4.5833

Ol. ricini 2 ml/ 200 g bb 6 6.8537

Sig. .324 .701 1.000 1.000

Pada Tabel 4.8 terlihat bahwa bobot feses kelompok yang diberi loperamid dosis 0,54 mg/kg bb berbeda signifikan dengan suspensi EEDR dosis 100 mg/kg bb, Sedangkan suspensi EEDR 200 mg/kg bb, 400 mg/kg bb tidak berbeda secara signifikan dengan loperamid HCl dosis 0,54 mg/kg bb. Data tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan dosis EEDR menunjukkan penurunan bobot feses


(56)

40

cair pada tikus. Pengujian data pada dosis 200 mg/kg bb dan 400 mg/kg bb memiliki efek antidiare yang sebanding dengan loperamid dosis 0,54 mg/kg bb.

Hasil analisis data uji dengan parameter pengamatan meliputi persentase lintasan marker norit dan bobot feses cair selama 6 jam pengamatan, maka dapat dinyatakan bahwa EEDR baik dosis 200 mg/kg bb ataupun 400 mg/kg bb dapat mengurangi persentase lintasan marker norit dan menurunkan jumlah feses cair dibandingkan kelompok kontrol negatif. Hal ini diduga karena daun ranti mengandung tanin yang memiliki kemampuan sebagai astrigen sehingga dapat berikatan dengan protein tannate pada mukosa intestinal yang dapat mengurangi jumlah cairan yang masuk kedalam lumen intestinal, selain itu efek alkaloid pada daun ranti diduga dapat menghambat gerakan peristaltik usus. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa zat-zat alkaloid seperti candu, atropin, dan ekstra belladonna menurut Tan dan Raharja (2007), zat-zat ini mampu menghambat peristaltik sehingga memberikan lebih banyak waktu untuk reabsorpsi air dan elektrolit oleh mukosa usus.


(57)

41 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:

1. Hasil karakterisasi simplisia daun ranti yaitu kadar air yang diperoleh 4,65

%, kadar sari larut air 18,59%, kadar sari larut etanol 15,32%, kadar abu total 6,43% dan kadar abu tidak larut asam 0,92%.

2. Hasil skrining fitokimia menunjukkan simplisia daun ranti mengandung

senyawa-senyawa golongan steroid/triterpenoid, alkaloid, glikosida, flavonoid, tanin dan saponin.

3. Ekstrak etanol daun ranti terbukti mempunyai efek farmakologi sebagai

antidiare pada tikus putih jantan dengan metode transit intistinal dan

metode defekasi. Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb 42,49 ± 2,60% tidak

berbeda signifikan (p > 0,05) dengan ekstrak etanol daun ranti dosis 400 mg/kg bb. Sedangkan pada medote defekasi hasil analisis statistiknya menyatakan ada penurun jumlah bobot feses cair yang berbeda signifikan (p < 0,05) .

5.2 Saran

Diharapkan penelitian selanjutnya dapat melakukan fraksinasi dan isolasi senyawa aktif yang bertanggung jawab terhadap efek antidiare daun ranti.


(58)

42

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1997). Ilmu Meracik Obat, Teori dan Pratek. Yogyakarta: Gadjah

Mada University. Hal. 107,169.

Chitme, H.R., Chandra, R., dan Kaushik, S. (2004). Studies on Anti-Diarrhea

Activity of Calotropis gigantean R. BR. In Experimental Animals. J Pharm

Pharmaceut Sci. 7(1): 70 - 74.

Corwin, E.J. (2009). Handbook Of Pathophysiology. Edisi ketiga. Terjemahan

Subekti. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Hal. 583 - 598

Dalimarta, S. (2008). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid kelima. Jakarta:

Pustaka Bunda. Hal.100-103.

Dare, B.J., Chukwu, R.O., Oyewopo, A.O., Makanjuola, V.O., Olayinka, P.O., Akinrinade, I.D., Olaniyan, T.O., et al. (2012). Histological Integrity of the

Testis of Adult Wistar Rats (Rattus novergicus) Treated with Garcinia kola.

Reproductive System & Sexual Disorders. 1(4): 1.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi Keempat. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 9, 33.

Ditjen POM, (1995). Materia Medika Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 297 – 307, 321 - 337.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta:

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 3 - 6, 9 - 17.

Edmonds, J.M., dan James, A.C. (1997). Black nightshades Solanum nigrum L.

And Releted species. Rome Italy: Institute of Plant Genetics and Crop Plant Research.

Estuningtyas, A., dan Arif, A. (2011). Obat Lokal Dalam Farmakologi Dan

Terapi Edisi 5. Jakarta: FKUI. Hal. 526.

Fransworth, N.R. (1966). Biologycal And Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Science. 55(3): 262 - 264.

Ganong, W. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Hal. 509-528.

Goodman & Gilman. (2012). Dasar Farmakologi Terapi, Editor Joel G.,

Hardman, Lee E., Limbird, Konsultan Editor Alfred Goodman Gilman, Alih bahasa Tim Alih Bahasa Sekolah Farmasi ITB, Edisi 10, Volume 2. Jakarta: Penerbit EGC. Hal. 1009,1011 – 1012.


(59)

43

Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisa

Tumbuhan. Terjemahan Kosasih Padmawinata. Edisi II. Bandung: ITB Press. Hal. 147.

Hartati, K., Komar, R., dan Irda, F. (2005). Telaah Kandungan Kimia Buah

Leunca (Solanum nigrum L.). Bandung: Sekolah Farmasi ITB.

Katzung, B.G. (2010). Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Jakarta:

Penerbit Salemba Medica. Hal. 552-553.

Kemenkes, RI. (2009). Farmakope Herbal Indonesia. Jakarta: Kementeriaan

Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 5, 169 - 171, 182.

Kemenkes, RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan RI. Hal. 90.

Lembo, A., dan Camilleri, M. (2003). Chronic Constipation. The New England

Journal Of Medicine. 349 (14): 1364.

Mutschler, E. (2010). Dinamika Obat Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Keenam. Bandung: ITB. Hal.520 - 528.

Neal, M.J. (2006). At A Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Surabaya: Penerbit Erlangga. Hal. 32 - 33.

Prameswari, K., Aluru, S., dan Kisori. (2012). In Vitro Antibacterial Activity in

The Extracts of Solanum nigrum. Indian Streams Research Journal.

2(10): 114 -124.

Pronob, G., dan Islam, M. (2012). Phytochemical Screening of Solanum nigrum

L. And S. Myriacantus Dunal from Districts of Upper Assam, India. IOSR

Journal of Pharmacy 2(3): 455 - 459.

Sherwood, L. (2001). Human Physiology: From Cells to System. Virginia:

Department of Physiology School of Medicine, West Virginia University. Hal. 582-584.

Sumarny, R., Yuliandini., dan Rohani, M. (2013). Efek Anti Inflamasi dan

Antidiare Ekstrak Etanol herba Meniran (Phyllantus niruri L.) dan Daun Unggu (graptopyllum pictum L. Griff). Prosiding Perkembangan Sains Farmasi dan Klinik. Padang: Universitas Andalas.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan,

dan Efek - Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta, Elex Media Komputindo. Hal. 288 - 297.

Vogel, G. (2002). Drugs Discovery and Evaluation Pharmacologycal Assays


(1)

57

Lampiran 9. Bagan pengerjaan uji efek diare metode defekasi 30 ekor tikus jantan berat (150 – 200 g)

Tiap dosis 6 ekor, Kelompok EEDR dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb 6 ekor kelompok

kontrol negatif

6 ekor kelompok Suspensi

Loperamid dosis 0,54 mg/kg bb

Dilakukan pengamatan selama 6 jam, setiap satu jam feses cair ditimbang dan dicatat beratnya

Dikelompokkan

t = 0 jam diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb

t = 0 jam diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g

t = 0 jam diinduksi oleum ricini 2 ml/200 g bb T = 1 jam

Diberi EEDR dosis 100, 200 dan 400 mg/kg bb

T = 1 jam Diberi Loperamid dosis 0, 54 mg/kg bb


(2)

58

Lampiran 10. Data persentase lintasan marker norit

No perlakuan

Panjang usus (cm) Lintasan marker norit (cm) Persen lintasan marker norit (%)

Rata- rata persen lintasan marker

norit ± SE 1

Oleum ricini 2 ml/200 g bb +

Norit

76 68 89,47

91,63 ± 0,59

65 59,5 91,53

76 70,5 92,76

60 55 91,66

96 89 92,71

2

Normal (Norit)

76 56,5 74,34

74,03 ± 0,32

74 55 74,32

90 65,5 72,77

86 64 74,42

76 56,5 74,34

3

Loperamid HCl 0,54 mg/kg bb

65 25 38,46

42,49 ± 2,60

80 42 52,50

69 28,5 41,30

60 23 38,33

74 31 41,89

4

EEDR 100 mg/kg bb

76 53 69,74

68,91 ± 0,65

73 50 68,49

76 52,5 69,07

69 46 66,67

68 48 70,58

5

EEDR 200 mg/kg bb

60 32 53,33

56,54 ± 1,11

73 44 60,27

68 38 55,88

76 43 56,58

60 34 56,67

6

EEDR 400 mg/kg bb

60 25 41,67

38,64 ± 0,95

69 27 39,13

60 21,5 35,83

72 28 38,89


(3)

59

Lampiran 11. Usus halus yang dilintasi marker norit

Lintas marker norit pada kelompok yang diberi suspensi norit 5%.

Lintas marker norit pada kelompok yang diinduksi oleum ricini 2 ml/200 gr bb.

Lintas marker norit yang diberi suspensi EEDR dosis 400 mg/kg bb.

Lintas marker norit yang diberi suspensi EEDR dosis 200 mg/kg bb.

Lintas marker norit yang diberi suspensi EEDR dosis 100 mg/kg bb.


(4)

60

Lampiran 12. Gambar kandang tikus uji dan Feses cair tikus

Kandang Tikus Uji


(5)

61

Lampiran 13. Volume maksimum sesuai jalur pemberian dan konversi dosis.

1. Tabel volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan uji (Ritchel, 1974)

Jenis hewan uji Volume maksimal (ml) sesuai jalur pemberian

i.v i.m i.p s.c p.o

Mencit (20-30 g) Tikus (100 g) Hamster (50 g) Marmut (250 g) Merpati (300 g) Kelinci (2,5 kg) Kucing (3 kg) Anjing (5 kg)

0,5 0,1 - - 2 5-10, 5-10 10-20 0,05 0,1 0,1 0,25 0,5 0,5 1 5 1 2-5 1-2 2-5 2 10-20 10-20 20-30 0,5-1 2-5 2,5 5 2 5-10 5-10 10 1 5,0 2,5 10 10 20 50 100

2. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia (Laurence and Bacharach, 1964). Mencit 20 g Tikus 200 g Marmut 400 g Kelinci 1,5 kg Kera 4 kg Anjing 12 kg Manusia 70 kg Mencit

20 g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,2 387,9

Tikus

200 g 0,14 1,0 1,74 3,9 9,2 17,8 56,0

Marmut

400 g 0,08 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5

Kelinci

1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2

Kera

4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1

Anjing

12 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1

Manusia


(6)

62

Lampiran 14. Perhitungan volume pemberian suspensi loperamid Perhitungan dosis imodium® tablet

Tiap tablet Imodium® mengandung 2 mg loperamid HCL. Dosis dewasa 2 mg - 8 mg/hari dan tidak lebih dari 16 mg/hari (berat dewasa untuk konversi 70 kg) Dosis untuk tikus 200 g yaitu :

6 mg x 0,018 = 0,108 mg/ 200 g atau 0,54 mg/kg bb

Berat serbuk Imodium® yang akan diambil yaitu dari 20 tablet imodium® digerus dan ditimbang = 2247 mg.

Dari 20 tablet mengandung loperamid sebanyak 40 mg. Dosis loperamid yang digunakan adalah dosis 0,54 mg/kg bb. Maka serbuk loperamid yang digunakan atau dipakai adalah:

0,54 ��

40 �� x 2247 mg = 30,33 mg

Dalam serbuk Imodium® sebanyak 30,33 mg mengandung loperamid sebanyak 0,54 mg. Dosis loperamid yang digunakan adalah 0,54 mg/kg bb, maka volume pemberiannya adalah :

Dosis untuk 200 g tikus = 0,54 ��

1000 x 200 g = 0,108 mg

Konsentrasi loperamid = 30,33 mg/10 ml Volume pemberian =0,108 ��