Uji Efek Hipoglikemik Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile Benth.) Terhadap Tikus Putih Jantan

(1)

UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

SKRIPSI

OLEH: SRI HATI SITEPU

NIM 081524055

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara OLEH:

SRI HATI SITEPU NIM 081524055

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN OLEH:

SRI HATI SITEPU NIM 081524055

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada tanggal: Desember 2010 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. Dr. Rosidah, M.Si., Apt. NIP 194909101980031002 NIP 195103261978022001

Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. Pembimbing II, NIP 194909101980031002

Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt. Drs. Saiful Bahri, MS., Apt.

NIP 195107231982032001 NIP 195208241983031001

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. NIP 195112231980032002

Disahkan Oleh:

Dekan Fakultas Farmasi


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena senantiasa memberikan rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul ”Uji Efek Hipoglikemik Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper cf. fragile Benth.) Terhadap Tikus Putih Jantan”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Salah satu tanaman obat yang digunakan masyarakat adalah daun sirih merah. Saat ini sirih merah banyak dilirik dan digunakan oleh para ahli pengobatan untuk mengobati berbagai penyakit. Selain bersifat antiseptik, sirih merah ini juga dapat mengobati penyakit diabetes melitus. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap tikus putih jantan dengan metode toleransi glukosa. Penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai tanaman sirih merah sebagai obat tradisional untuk dapat digunakan masyarakat secara luas.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis banyak mendapatkan masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus tiada terhingga kepada kedua orangtua, ayahanda Ngapuli Sitepu dan ibunda tercinta Lianna br Ginting yang telah mencurahkan kasih sayang dan jerih payah serta selalu mendoakan ananda hingga sekarang, begitu juga kepada adinda Seteisya Sitepu dan Yohana Sitepu serta kepada semua keluarga atas perhatian, nasehat dan semangat serta dukungan doa yang tiada ternilai harganya.


(5)

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan dengan segala ketulusan hati rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs. Rasmadin Mukhtar, MS., Apt. dan Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan tanggung jawab selama melakukan penelitian hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan dan fasilitas selama masa pendidikan.

2. Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt. selaku Penasehat Akademik yang selalu memberikan bimbingan kepada penulis selama masa perkuliahan.

3. Ibu Dr. Rosidah, M.Si., Apt., bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt. dan ibu Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah

memberikan masukan dan saran kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Awaluddin Saragih, M.Si., Apt. selaku Kepala Laboratorium Obat Tradisional Fakultas Farmasi dan Bapak Drs. Saiful Bahri, MS., Apt. selaku Kepala Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi yang telah mengizinkan penulis menggunakan fasilitas laboratorium selama penelitian.

5. Staf pengajar Fakultas Farmasi yang telah mendidik dan membimbing penulis selama di perguruan tinggi.

6. Teman-teman dan sahabatku serta rekan Farmasi yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang selalu menghibur dan memberi semangat kepada penulis.


(6)

7. Teman-teman Ekstensi Farmasi stambuk 2008 tanpa terkecuali, terima kasih buat kebersamaannya di kala suka maupun duka.

8. Serta semua pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun. Kiranya skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca.

Medan, Desember 2010 Penulis,


(7)

ABSTRAK

UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia). Penyakit diabetes melitus memerlukan pengobatan jangka panjang dan biaya yang mahal, sehingga diperlukan pencarian obat diabetes yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Telah dilakukan pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) terhadap tikus putih jantan dengan metode uji toleransi glukosa. Data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 18,39%, kadar sari larut etanol 11,62%, kadar abu total 9,56% dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Pengujian kadar gula darah terhadap tikus putih jantan yang dilakukan terdiri dari 6 kelompok perlakuan yaitu hanya diberikan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, 3 kelompok obat (ekstrak) dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Hasil pengujian farmakologi ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah tikus. Berdasarkan hasil analisis statistik ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 100 mg/kg BB sebanding dengan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB.


(8)

ABSTRACT

THE HYPOGLYCEMIC EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT FROM THE LEAVES OF RED BETEL VINE (Piper cf. fragile Benth.)

IN MALE WHITE RATS

Diabetes mellitus is the disease which is marked by increasing the blood glucose level (hyperglycemia). Diabetes mellitus requiring long term treatment and expensive cost, therefore it is required to search diabetic drugs that are relatively cheap and affordable by the community. The test of simplex characterization, phytochemical screening of simplex powder and hypoglycemic effect of ethanolic extract from the leaves of red betel vine (Piper cf. fragile Benth.) in male white rats by using a glucose tolerance test had been investigated. The data were analyzed by variance analysis and then continued by Duncan method. Result of characteristic from the leaves of red betel vine simplex got water level 8.66%, extract level that dissolved in water 18.39%, extract level that dissolved in ethanolic 11.62%, ash level total 9.56% and ash level that is not dissolved in acid 1.20%. The result of phytochemical screening of simplex powder showed there is the presence of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, glycosides and steroids/triterpenoids. Extraction was done by percolation using ethanol 96%. Effect of blood glucose level in male white rats that is done consist of 6 groups of treatment which is only given of glucose 50% at dose of 5 g/kg BW, suspension CMC 0.5% at dose of 1% BW, glibenclamide suspension at dose of 1 mg/kg BW, 3 groups of medicine (extract) at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW. The pharmacology test result of ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW can decrease the blood glucose level of rats. The statistical result showed that ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 100 mg/kg BW was equal with glibenclamide at dose of 1 mg/kg BW.


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan ... 4

1.5 Manfaat ... 4

1.6 Kerangka konsep penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian tanaman ... 6

2.1.1 Sistematika tanaman ... 7

2.1.2 Morfologi tanaman ... 7

2.1.3 Kandungan kimia ... 7


(10)

2.2 Ekstraksi... 8

2.3 Diabetes Melitus ... 10

2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus ... 11

2.3.2 Gejala diabetes melitus ... 12

2.4 Toleransi glukosa ... 13

2.5 Pengaturan kadar glukosa dalam darah ... 14

2.6 Terapi farmakologi ... 15

2.6.1 Terapi insulin ... 15

2.6.2 Terapi obat hipoglikemik oral ... 16

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 18

3.1 Alat-alat... 18

3.2 Bahan-bahan ... 18

3.3 Pembuatan larutan pereaksi ... 19

3.4 Pengambilan sampel ... 20

3.5 Identifikasi sampel ... 21

3.6 Pengolahan sampel ... 21

3.7 Pemeriksaan karakterisasi simplisia ... 21

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik ... 21

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 22

3.7.3 Penetapan kadar air ... 22

3.7.4 Penetapan kadar sari larut air ... 23

3.7.5 Penetapan kadar sari larut etanol... 23

3.7.6 Penetapan kadar abu total ... 23


(11)

3.8 Skrining fitokimia serbuk simplisia ... 24

3.9 Pembuatan ekstrak etanol sirih merah (EESM) ... 26

3.10 Hewan percobaan ... 27

3.11 Penyiapan bahan... 27

3.11.1 Pembuatan larutan glukosa 50% (b/v)... 27

3.11.2 Pembuatan suspensi CMC 0,5%... 27

3.11.3 Pembuatan suspensi EESM 1% (b/v)... 27

3.11.4 Pembuatan suspensi Glibenklamid dari tablet Glibenklamid® ... 28

3.12 Pengujian farmakologi ... 28

3.12.1 Penentuan kadar gula darah (KGD) ... 28

3.12.2 Prosedur kerja pengujian efek hipoglikemik ... 28

3.13 Penggunaan gluko meter ... 29

3.14 Prinsip penggunaan glukometer ... 30

3.12 Analisis data ... 30

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

5.1 Kesimpulan ... 43

5.2 Saran ... 43


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah ... 49

2. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah dibandingkan dengan daun sirih (Piper betle L.) ... 56

3. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah... 56

4. Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6) ... 34

5. Konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia ... 58

6. Data hasil pengukuran KGD tikus setelah perlakuan ... 65

7. Data hasil pengukuran rata-rata KGD tikus ... 66

8. Volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada beberapa hewan uji... 69


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Bagan kerangka konsep penelitian ... ... 5

2. Hasil identifikasi tanaman sirih merah... 46

3. Tanaman sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) ... .... 47

4. Daun sirih merah ... .... 47

5. Simplisia daun sirih merah ... .... 48

6. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah pada perbesaran 10 x 40... 50

7. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun sirih merah secara perkolasi... 57

8. Bagan prosedur kerja pengujian farmakologi ... .... 60

9. Alat Glukometer ... .... 61

10. Grafik rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6) ... .. 35

11. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 60 menit... 36

12. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 90 menit... 37

13. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 120 menit... 38

14. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 150 menit... 40

15. Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 180 menit... 41

16. Bagan penelitian uji efek hipoglikemik EESM terhadap tikus putih jantan ... .... 70


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil identifikasi tanaman sirih merah ... 46

2. Tanaman, daun dan simplisia daun sirih merah ... 47

3. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah ... 49

4. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah pada perbesaran 10 x 40 ... 50

5. Hasil perhitungan karakteristik simplisia ... 51

6. Hasil karakteristik simplisia dan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah... 56

7. Bagan pembuatan ekstrak etanol daun sirih merah secara perkolasi.. 57

8. Perhitungan Kadar Glibenklamid Dari Tablet Glibenklamid® ... 58

9. Bagan prosedur kerja pengujian farmakologi ... 60

10. Alat Glukometer ... 61

11. Hasil analisis data SPSS ... 62

12. Data hasil pengukuran KGD tikus setelah perlakuan... 65

13. Data hasil pengukuran rata-rata KGD tikus... 66

14. Perhitungan dosis... 68

15. Bagan penelitian uji efek hipoglikemik EESM terhadap tikus putih jantan ... 70


(15)

ABSTRAK

UJI EFEK HIPOGLIKEMIK EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper cf. fragile Benth.)

TERHADAP TIKUS PUTIH JANTAN

Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia). Penyakit diabetes melitus memerlukan pengobatan jangka panjang dan biaya yang mahal, sehingga diperlukan pencarian obat diabetes yang relatif murah dan terjangkau oleh masyarakat. Telah dilakukan pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) terhadap tikus putih jantan dengan metode uji toleransi glukosa. Data yang diperoleh dianalisis secara analisis variansi kemudian dilanjutkan dengan metode Duncan. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 18,39%, kadar sari larut etanol 11,62%, kadar abu total 9,56% dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Pengujian kadar gula darah terhadap tikus putih jantan yang dilakukan terdiri dari 6 kelompok perlakuan yaitu hanya diberikan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, 3 kelompok obat (ekstrak) dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Hasil pengujian farmakologi ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan kadar gula darah tikus. Berdasarkan hasil analisis statistik ekstrak etanol daun sirih merah dengan dosis 100 mg/kg BB sebanding dengan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB.


(16)

ABSTRACT

THE HYPOGLYCEMIC EFFECT OF ETHANOLIC EXTRACT FROM THE LEAVES OF RED BETEL VINE (Piper cf. fragile Benth.)

IN MALE WHITE RATS

Diabetes mellitus is the disease which is marked by increasing the blood glucose level (hyperglycemia). Diabetes mellitus requiring long term treatment and expensive cost, therefore it is required to search diabetic drugs that are relatively cheap and affordable by the community. The test of simplex characterization, phytochemical screening of simplex powder and hypoglycemic effect of ethanolic extract from the leaves of red betel vine (Piper cf. fragile Benth.) in male white rats by using a glucose tolerance test had been investigated. The data were analyzed by variance analysis and then continued by Duncan method. Result of characteristic from the leaves of red betel vine simplex got water level 8.66%, extract level that dissolved in water 18.39%, extract level that dissolved in ethanolic 11.62%, ash level total 9.56% and ash level that is not dissolved in acid 1.20%. The result of phytochemical screening of simplex powder showed there is the presence of flavonoids, alkaloids, saponins, tannins, glycosides and steroids/triterpenoids. Extraction was done by percolation using ethanol 96%. Effect of blood glucose level in male white rats that is done consist of 6 groups of treatment which is only given of glucose 50% at dose of 5 g/kg BW, suspension CMC 0.5% at dose of 1% BW, glibenclamide suspension at dose of 1 mg/kg BW, 3 groups of medicine (extract) at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW. The pharmacology test result of ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 50, 100 and 200 mg/kg BW can decrease the blood glucose level of rats. The statistical result showed that ethanolic extract from the leaves of red betel vine at dose of 100 mg/kg BW was equal with glibenclamide at dose of 1 mg/kg BW.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Sejak ratusan tahun yang lalu, nenek moyang kita telah memanfaatkan tanaman sebagai upaya penyembuhan jauh sebelum obat-obatan modern yang sekarang ada. Merebaknya kecenderungan atau tren hidup kembali ke alam (back to nature) semakin menambah keingintahuan tentang khasiat tanaman obat, salah satunya adalah sirih (Piper betle L.) Penggunaan sirih secara tradisional dimanfaatkan dalam menyembuhkan penyakit seperti sariawan dan sakit gigi. Sementara itu, air rebusan daun sirih yang bersifat antiseptik dapat berkhasiat sebagai obat kumur, mencegah bau mulut serta menghilangkan bau badan (Sudewo, 2005).

Sirih memiliki beberapa varietas tidak hanya yang berdaun hijau, namun ada juga daun yang berwarna hitam, merah, kuning bahkan perak. Sirih merah rasanya sangat pahit dibandingkan dengan sirih biasa atau varietas lainnya. Sirih merah selain digunakan sebagai tanaman hias, juga bermanfaat sebagai tanaman obat yang dapat menyembuhkan penyakit diantaranya diabetes melitus, kolesterol, asam urat dan hipertensi (Sudewo, 2005).

Ramuan daun sirih merah untuk mengobati diabetes melitus dapat dipadukan dengan tanaman obat lain atau bisa digunakan secara tunggal yaitu hanya dengan merebus daun sirih merah segar setelah dingin air hasil rebusan diminum sebanyak tiga kali sehari, hari berikutnya daun diganti dengan yang baru, bila rasa pahitnya masih dianggap sama dengan hari sebelumnya, maka daun tersebut bisa digunakan kembali (Anonim, 2009).


(18)

Seiring dengan perubahan gaya hidup di masyarakat yang terjadi beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya perubahan pola makan dari makanan tradisional menjadi makanan cepat saji (fast food). Hal ini dihubungkan oleh para ahli kesehatan dengan timbulnya berbagai penyakit salah satunya adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Jayadi, 2009).

Secara klinis DM dibedakan menjadi DM tipe 1 dimana pankreas kehilangan kemampuan menghasilkan insulin dan DM tipe 2 dimana pankreas masih berfungsi tetapi menunjukkan defisiensi relatif sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk memanfaatkan insulin secara efektif (Depkes RI, 2005).

Salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat DM yaitu sirih merah. Dari beberapa pengalaman seorang praktisi kesehatan dan produsen tanaman obat bernama Bambang Sudewo di Blunyah Rejo, Yogyakarta, diketahui sirih merah memiliki khasiat obat untuk penyakit diabetes melitus (Sudewo, 2005).

Untuk lebih memberikan dasar bagi bukti manfaatnya, maka penggunaan tanaman sebagai bahan obat tradisional memerlukan penelitian ilmiah untuk mengetahui kebenaran khasiatnya. Dengan didapatnya data yang meyakinkan secara ilmiah, maka penggunaan tanaman tersebut sebagai obat dapat dijamin kebenarannya (Widowati, dkk., 1997).

Karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) belum terdapat pada monografi buku Materia Medika Indonesia (MMI) sebagai petunjuk karakteristik simplisia, oleh karena itu sebagai perbandingan dilihat dari suku Piperaceae yaitu daun sirih (Piper betle L.).


(19)

Berdasarkan latar belakang diatas, tujuan penelitian adalah untuk menentukan karakteristik simplisia dan untuk membuktikan bahwa daun sirih merah memiliki efek hipoglikemik terhadap tikus putih jantan dengan metode toleransi glukosa serta untuk meningkatkan pemanfaatan varietas sirih agar dapat digunakan masyarakat secara luas khususnya sirih merah. Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak daun sirih merah terhadap tikus putih jantan dengan metode toleransi glukosa.

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu: a. Apakah karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.)

sama dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku Materia Medika Indonesia?

b. Apakah kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun sirih merah?

c. Apakah ekstrak etanol daun sirih merah memberikan efek hipoglikemik terhadap tikus putih jantan?

d. Apakah ada perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar gula darah?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis yaitu: a. Karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) berbeda

dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku Materia Medika Indonesia.


(20)

b. Kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun sirih merah adalah flavonoid, alkaloid, tanin dan saponin.

c. Ekstrak etanol daun sirih merah memberikan efek hipoglikemik terhadap tikus putih jantan.

d. Tidak ada perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah dengan glibenklamid dalam menurunkan kadar gula darah.

1.4 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk menentukan karakteristik simplisia daun sirih merah.

b. Untuk mengetahui kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun sirih merah.

c. Untuk membuktikan efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah terhadap tikus putih jantan.

d. Untuk mengetahui perbedaan antara ekstrak etanol daun sirih merah dengan glibenklamid terhadap penurunan kadar gula darah.

1.5 Manfaat

Manfaat penelitian yang dilakukan adalah:

a. Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan dalam pembuatan simplisia.

b. Sebagai sumber informasi mengenai kandungan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam daun sirih merah.

c. Sebagai sumber informasi mengenai efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah.


(21)

1.6 Kerangka konsep penelitian

Gambar 1. Bagan kerangka konsep penelitian Simplisia daun

sirih merah

Karakterisasi simplisia

Parameter Variabel bebas

Larutan glukosa

Ekstrak etanol daun sirih merah

Variabel terikat

- Makroskopik - Mikroskopik - Kadar air

- Kadar sari larut air - Kadar sari larut etanol - Kadar abu total

- Kadar abu tidak larut asam

Penurunan kadar gula darah (mg/dl)

Kadar gula darah (mg/dl) Kenaikan kadar gula

darah (mg/dl)

- Alkaloid - Flavonoid - Saponin - Tanin - Glikosida

- Steroid/triterpenoid Skrining

fitokimia


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian tanaman

Sirih (Piper betle L.) merupakan tumbuhan terna yang termasuk famili piperaceae. Sirih memiliki jenis yang beragam, seperti sirih hijau, sirih hitam, sirih kuning dan sirih merah. Semua jenis tanaman sirih memiliki ciri yang hampir sama yaitu tanamannya merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai yang tumbuh berselang seling dari batangnya. Sirih merah selain digunakan sebagai tanaman hias oleh para hobis karena penampilannya yang menarik, namun dapat juga dimanfaatkan sebagai tanaman obat (Anonim, 2009).

Sirih merah merupakan tanaman yang diketahui tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, seperti di lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng Merapi sebelah timur, serta di Papua dan Jawa Barat. Sirih merah bisa tumbuh dengan baik di tempat yang teduh dan tidak terlalu banyak terkena sinar matahari. Jika terkena sinar matahari langsung secara terus-menerus warna merah daunnya bisa menjadi pudar dan kurang menarik (Sudewo, 2005).

Daun sirih merah yang memenuhi syarat untuk dipanen adalah daun yang sudah berumur lebih dari satu bulan. Pada umur ini ketebalan dan lebar daun sudah memenuhi syarat untuk dipanen. Jika umurnya kurang dari satu bulan, daun sirih merah masih tipis, cepat layu dan aromanya belum kuat. Kandungan zat kimianya pun belum maksimal, sehingga daya penyembuhnya tidak sebaik daun yang sudah berumur satu bulan atau lebih. Waktu yang tepat memetik atau memanen daun sebaiknya dilakukan pada pagi hari sampai dengan jam 11.00 (Sudewo, 2005).


(23)

2.1.1 Sistematika tanaman

Sistematika sirih merah sebagai berikut (Sugati dan Johnny, 2000). Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Bangsa : Piperales Suku : Piperaceae Marga : Piper

Jenis : Piper cf. fragile Benth. 2.1.2 Morfologi tanaman

Sirih merah merupakan tanaman yang tumbuh menjalar. Batangnya bulat berwarna hijau keunguan dan tidak berbunga. Daunnya bertangkai berbentuk jantung dengan bagian atas meruncing, bertepi rata dan permukaannya mengkilap atau tidak berbulu. Panjang daunnya bisa mencapai 15-20 cm. Warna daun bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan. Bagian bawah daun berwarna merah cerah. Daunnya berlendir, berasa sangat pahit dan beraroma wangi khas sirih. Batangnya bersulur dan beruas dengan jarak buku 5-10 cm. Di setiap buku tumbuh bakal akar (Sudewo, 2005).

2.1.3 Kandungan kimia

Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkaloid flavonoid, saponin, tanin dan minyak atsiri. Menurut Ivorra, M.D di dalam buku ”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” senyawa aktif flavonoid dan alkaloid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah (Anonim, 2007).


(24)

2.1.4 Khasiat dan penggunaan

Penggunaan sirih merah dapat digunakan dalam bentuk segar maupun simplisia. Secara empiris sirih merah dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes millitus, hepatitis, batu ginjal, kolesterol, hipertensi, asam urat, keputihan, obat kumur, maag, radang mata, nyeri sendi dan memperhalus kulit. Sirih merah banyak digunakan pada klinik herbal center sebagai ramuan atau terapi bagi penderita yang tidak dapat disembuhkan dengan obat kimia (Anonim, 2009).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM, 1995).


(25)

Metode ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara: a. Cara dingin

1. Maserasi

Maserasi merupakan proses pengekstrakan simplisia yang menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara dan tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak) secara terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan.

b. Cara panas 1. Refluks

Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna.

2. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi yang berkelanjutan dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(26)

3. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontiniu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar) yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50oC.

4. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih, temperatur terukur 96-98oC) selama waktu tertentu (15-20 menit).

5. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥30oC) dengan temperatur sampai titik didih air.

6. Destilasi uap

Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial. Senyawa menguap akan terikut dengan fase uap air dari ketel secara kontiniu dan diakhiri dengan kondensasi fase uap campuran (senyawa kandungan menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian (Ditjen POM, 2000). 2.3 Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah istilah kedokteran untuk sebutan penyakit yang di Indonesia kita kenal dengan nama penyakit gula atau kencing manis. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani. Diabetes artinya mengalir terus, melitus berarti madu atau manis. Jadi, istilah ini menunjukkan tentang keadaan tubuh penderita yaitu adanya cairan manis yang mengalir terus (Dalimartha, 2004).


(27)

Diabetes melitus merupakan penyakit yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal (hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Penyakit ini bersifat menahun atau kronis (Dalimartha, 2004).

Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolismenya diganggu. Dalam keadaan normal, kira-kira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 30-40% diubah menjadi lemak. Pada diabetes proses tersebut terganggu dimana glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, oleh karena itu energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).

2.3.1 Klasifikasi diabetes melitus

Secara klinis diabetes melitus dibedakan menjadi 2 tipe yaitu: a. Diabetes melitus tipe 1

Penderita diabetes tipe 1 diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini terdapat destruksi dari sel beta pankreas, sehingga tidak dapat memproduksi insulin lagi dengan akibat sel-sel tidak bisa menyerap glukosa dari darah (Tjay dan Kirana, 2007).

Penyakit ini ditandai dengan defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh lesi atau nekrosis sel beta berat. Hilangnya fungsi sel beta mungkin disebabkan oleh invasi virus, kerja toksin kimia atau karena proses destruksi autoimun. Akibat dari destruksi sel beta, pankreas gagal berespons terhadap masukan glukosa. Diabetes tipe 1 memerlukan insulin eksogen untuk menghindari keadaan hiperglikemia yang dapat mengancam kehidupan (Mycek, et al., 2001).


(28)

b. Diabetes melitus tipe 2

Penderita diabetes tipe 2 mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Penderita terutama yang berada pada tahap awal, umumnya masih terdapat jumlah insulin yang cukup di dalam darahnya, disamping kadar glukosa yang juga tinggi (Depkes RI, 2005). Pada tipe ini, pankreas masih mempunyai beberapa fungsi sel beta, yang menyebabkan kadar insulin bervariasi yang tidak cukup untuk memelihara homeostasis glukosa (Mycek, et al., 2001). Di samping karena defisiensi fungsi insulin yang bersifat relatif, namun juga disebabkan sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin yaitu gangguan fungsi insulin yang ditandai dengan tidak responsifnya sel-sel tubuh walaupun kadar insulin cukup tinggi. Resistensi insulin banyak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, antara lain sebagai akibat dari obesitas dan gaya hidup kurang gerak (Depkes RI, 2005).

Bila tindakan umum (diet, gerak badan dan penurunan berat badan) tidak atau kurang efektif untuk menormalkan kadar glukosa darah, perlu digunakan antidiabetika oral (Tjay dan Kirana, 2007).

2.3.2 Gejala diabetes melitus

Gejala yang sering dirasakan penderita diabetes melitus antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus) dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu, sering pula muncul keluhan penglihatan kabur, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang seringkali sangat mengganggu (pruritus), penurunan berat badan dengan cepat dan sukar sembuh dari luka (Depkes RI, 2005).


(29)

2.4 Toleransi glukosa

Pada diabetes, glukosa menumpuk dalam aliran darah, terutama setelah makan. Bila beban glukosa diberikan pada seorang pasien diabetes, maka glukosa plasma meningkat lebih tinggi dan kembali ke nilai normal lebih lambat daripada yang terjadi pada orang normal. Respons terhadap dosis uji glukosa oral standar yaitu uji toleransi glukosa oral, digunakan secara klinis untuk mendiagnosis diabetes. Gangguan toleransi glukosa pada diabetes disebabkan oleh penurunan pemasukan glukosa ke dalam sel (Ganong, 1998).

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dalam membantu transpor glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat dan sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Depkes RI, 2005).

Kemampuan tubuh dalam memanfaatkan glukosa dapat ditentukan dengan mengukur toleransi glukosa yang dapat ditunjukkan dengan sifat kurva glukosa darah setelah pemberian glukosa. Diabetes melitus ditandai dengan berkurangnya toleransi tubuh terhadap glukosa yang disebabkan berkurangnya sekresi insulin. Hal ini dimanifestasikan dengan kadar glukosa darah yang makin meningkat (hiperglikemik) disertai glikosuria dan perubahan pada metabolisme lemak (Suharmiati, 2003).


(30)

2.5 Pengaturan kadar glukosa dalam darah

Pengaturan kadar glukosa dalam darah dipengaruhi oleh organ-organ tertentu, diantaranya adalah pankreas dan hati.

a. Pankreas

Terdapat empat peptida dengan aktivitas hormonal yang disekresikan oleh pulau Langerhans di pankreas yaitu insulin, glukagon, somatostatin dan polipeptida pankreas. Hormon yang mempunyai peranan penting dalam pengaturan kadar glukosa darah adalah insulin dan glukagon (Ganong, 1998).

Fungsi utama insulin adalah merendahkan kadar glukosa dalam darah dan mengubah glukosa menjadi glikogen sedangkan glukagon bekerja meningkatkan glukosa darah dengan cara mengubah glikogen menjadi glukosa (Faigin, 2001). b. Hati

Hati berperan dalam mempertahankan kadar glukosa darah normal (glukostat), menyimpan glikogen jika terjadi kelebihan glukosa, membebaskan glukosa kedalam darah jika diperlukan dan merupakan tempat utama interkonversi metabolisme misalnya glukoneogenesis (Faigin, 2001).

Pada keadaan setelah makan, sebanyak dua pertiga glukosa yang diabsorpsi dari usus segera disimpan di hati dalam bentuk glikogen. Jika glukosa tidak memasuki tubuh selama beberapa jam, glikogen hati diuraikan atas perintah glukagon (yang mengaktifkan enzim pengurai glikogen, phosphorilase).

Degradasi glikogen menghasilkan glukosa, yang kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah sehingga konsentrasi glukosa dalam darah meningkat. Sebagai reaksi dari kegiatan glukagon yang menaikkan glukosa darah, insulin diproduksi untuk membawa glukosa yang baru saja dilepaskan ke dalam aliran darah menuju


(31)

sel-sel tubuh. Hal ini mempercepat turunnya glukosa darah, sebagai akibatnya glukagon diproduksi untuk mempertinggi glukosa darah, sebagai akibatnya dilepaskan insulin, demikian seterusnya. Jika masukan karbohidrat ditiadakan, aksi hormon-hormon ini secara perlahan menghilang karena glikogen hati habis (Faigin, 2001).

Pada keadaan terjadi diabetes melitus semua proses tersebut terganggu, glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Handoko dan Suharto, 1995).

2.6 Terapi farmakologi

Dalam penatalaksanaan diabetes, hal penting yang harus dilakukan adalah berupa pengaturan diet dan olahraga (Depkes RI, 2005). Obat hipoglikemik oral perlu diberikan bila pengaturan nutrisi secara maksimal tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah. Segala program pengobatan bertujuan untuk mengendalikan hiperglikemia dengan pengelolaan gizi dan latihan, baik dengan tambahan obat hipoglikemik oral maupun insulin (Drury, 1979).

2.6.1 Terapi insulin

Terapi insulin merupakan satu keharusan bagi penderita diabetes melitus tipe 1. Pada diabetes melitus tipe 1, sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas penderita rusak, sehingga tidak lagi dapat memproduksi insulin. Sebagai penggantinya, maka penderita harus mendapat insulin eksogen untuk membantu agar metabolisme karbohidrat didalam tubuhnya dapat berjalan dengan normal (Depkes RI, 2005).


(32)

2.6.2 Terapi obat hipoglikemik oral

Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien diabetes melitus tipe 2 (Depkes RI, 2005). Obat antidiabetika oral dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu derivat sulfonilurea dan derivat biguanid (Handoko dan Suharto, 1995).

a. Golongan sulfonilurea

Mekanisme kerja sulfonilurea termasuk merangsang pelepasan insulin dari sel beta pankreas, mengurangi kadar glukagon dalam serum dan meningkatkan pengikatan insulin pada jaringan target dan reseptor (Mycek, et al., 2001).

Contoh obat golongan sulfonilurea diantaranya: 1. Tolbutamid

Mula kerjanya cepat dan kadar maksimal dicapai dalam 3-5 jam. Dalam darah tolbutamid terikat protein plasma dan diekskresi melalui ginjal.

2. Gliburid (glibenklamid)

Cara kerjanya sama dengan sulfonilurea lainnya. Obat ini 200 kali lebih kuat dari tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip sulfonilurea lainnya. Gliburid dimetabolisme dalam hati, hanya 25% metabolit diekskresi melalui urin dan sisanya diekskresi melalui empedu dan tinja. Gliburid efektif dengan pemberian dosis tunggal. Bila pemberian dihentikan obat akan bersih dari serum sesudah 36 jam.

3. Klorpropamid

Diserap dengan cepat oleh usus, 70-80% dimetabolisme dalam hati dan metabolitnya cepat diekskresi melalui ginjal. Dalam darah obat ini terikat albumin, masa paruhnya kira-kira 36 jam sehingga efeknya masih terlihat


(33)

beberapa hari setelah pengobatan dihentikan. Efek hipoglikemik maksimal dosis tunggal terjadi kira-kira 10 jam setelah obat itu diberikan.

4. Glipizid

Kekuatan 100 kali lebih kuat daripada tolbutamid, tetapi efek hipoglikemia maksimal mirip dengan sulfonilurea lain. Glipizid diabsorpsi lengkap sesudah pemberian oral dan dengan cepat dimetabolisme dalam hati menjadi tidak aktif. Metabolit dan kira-kira 10% obat yang utuh diekskresi melalui ginjal (Handoko dan Suharto, 1995).

b. Golongan biguanida

Berbeda dengan sulfonilurea, obat ini tidak menstimulasi pelepasan insulin dan tidak menurunkan kadar gula darah pada orang sehat. Zat ini juga menekan nafsu makan hingga berat badan tidak meningkat, maka layak diberikan pada penderita yang kegemukan (Tjay dan Kirana, 2007).

Kerja derivat biguanid tidak bergantung pada fungsi pankreas. Sediaan biguanid tidak dapat menggantikan fungsi insulin endogen dan digunakan pada terapi diabetes dewasa. Penyerapan oleh usus baik sekali, obat ini dapat digunakan bersamaan dengan insulin atau sulfonilurea (Handoko dan Suharto, 1995).

Contoh obat golongan ini adalah metformin. Metformin bekerja terutama dengan jalan mengurangi pengeluaran glukosa hati, sebagian besar dengan menghambat glukoneogenesis. Metformin mudah diabsorpsi secara peroral, tidak terikat dengan protein serum dan tidak dimetabolisme, ekskresinya melalui urin (Mycek, et al., 2001).


(34)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental yang meliputi pengambilan sampel, identifikasi, pengolahan sampel, pemeriksaan karakterisasi simplisia, skrining fitokimia serbuk simplisia, pembuatan ekstrak dan pengujian efek hipoglikemik ekstrak daun sirih merah terhadap tikus putih jantan dengan metode toleransi glukosa menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Data hasil penelitian dianalisis secara analisis variansi (Anava) program SPSS (Statistical Product and Service Solution) dan untuk melihat perbedaan nyata antar perlakuan digunakan uji Duncan.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi oven listrik (Fisher scientific), neraca listrik (Vibra AJ), neraca kasar (Ohaus), blender (National), freeze dryer (Modulyo), rotary evaporator (Buchi 461), penangas air (Yenaco), seperangkat alat penetapan kadar air, mikroskop (Olympus), Glucometer dan Glucotest strip (Accu-Chek®), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), syringe 1 ml dan 5 ml (Terumo), oral sonde, mortir dan stamfer, aluminium foil, kertas saring dan alat-alat gelas laboratorium.

3.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun sirih merah dan semua bahan kimia yang digunakan berkualitas pro analisis kecuali dinyatakan lain adalah etanol 96% (hasil destilasi), air suling, raksa (II) klorida, kalium iodida, bismuth (III) nitrat, asam nitrat, iodium, α–naftol, asam asetat anhidrat, asam sulfat pekat, kloroform, besi (III) klorida, timbal (II) asetat,


(35)

natrium hidroksida, amil alkohol, asam klorida pekat, metanol, kloralhidrat, toluen, serbuk magnesium, isopropanol, n-heksan, CMC (Carboxy Methyl Cellulose), glukosa, tablet Glibenklamid® (Indofarma).

3.3 Pembuatan larutan pereaksi 3.3.1 Larutan pereaksi Mayer

Sebanyak 5 g kalium iodida dalam 10 ml air suling kemudian ditambahkan larutan 1,36 g raksa (II) klorida dalam 60 ml air suling. Larutan dikocok dan ditambahkan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).

3.3.2 Larutan pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismuth (III) nitrat dilarutkan dalam asam nitrat 20 ml kemudian dicampur dengan larutan kalium iodida sebanyak 27,2 g dalam 50 ml air suling. Campuran didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes RI, 1980). 3.3.3 Larutan pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam 20 ml air suling kemudian ditambah 2 g iodium sambil diaduk sampai larut, lalu dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes RI, 1980).

3.3.4 Larutan pereaksi Lieberman-Burchard

Sebanyak 20 bagian asam asetat anhidrat dicampurkan dengan 1 bagian asam sulfat pekat dan 50 bagian kloroform. Larutan pereaksi ini harus dibuat baru (Harborne, 1987).

3.3.5 Larutan pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α–naftol dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes RI, 1980).


(36)

3.3.6 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1% (b/v)

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml kemudian disaring (Depkes RI, 1980).

3.3.7 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbondioksida hingga 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.3.8 Larutan pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8,002 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.3.9 Larutan pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida pekat diencerkan dengan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1979).

3.3.10 Larutan pereaksi kloralhidrat

Sebanyak 50 g kloralhidrat dilarutkan dalam 20 ml air suling (Depkes RI, 1995).

3.4 Pengambilan sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan tanaman serupa dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah daun sirih merah diambil dari halaman belakang rumah di jalan Pahlawan gang Anom No. 29, kecamatan Medan Perjuangan, Sumatera Utara.


(37)

3.5 Identifikasi sampel

Identifikasi tanaman dilakukan di “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bogor. Hasil identifikasi tanaman dapat dilihat pada lampiran 1 gambar 2 halaman 46. Gambar tanaman, daun dan simplisia daun sirih merah dapat dilihat pada lampiran 2 gambar 3, 4 dan 5 halaman 47 dan 48.

3.6 Pengolahan sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun sirih merah yang masih segar, dicuci bersih dengan air mengalir dan ditiriskan, lalu ditimbang sebagai berat basah yaitu 1,65 kg, kemudian dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40°C hingga kering. Daun dianggap kering jika daun tersebut diremas menjadi hancur, setelah kering sampel ditimbang sebagai berat kering yaitu 335 g. Sampel selanjutnya diserbukkan dengan menggunakan blender dan disimpan dalam wadah plastik sebelum digunakan.

3.7 Pemeriksaan karakterisasi simplisia

Pemeriksaan karakterisasi simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari larut air, penetapan kadar sari larut etanol, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam (Depkes RI, 1995; WHO, 1992).

3.7.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap simplisia daun sirih merah dengan cara memperhatikan bentuk, bau, rasa, warna dan ukuran daun sirih. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 1 halaman 49.


(38)

3.7.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia dengan cara menaburkan serbuk simplisia diatas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat dibawah mikroskop. Hasil dari pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada lampiran 4 gambar 6 halaman 50.

3.7.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Alat-alat terdiri dari labu alas bulat 500 ml, pendingin, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, tabung penyambung dan pemanas listrik.

Cara penetapan:

Ke dalam labu alas bulat dimasukkan 200 ml toluen dan 2 ml air suling, di destilasi selama 2 jam, dibiarkan dingin selama 30 menit dan volume air pada tabung penerima dibaca. Ke dalam labu tersebut dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluen mulai mendidih, kecepatan tetesan diatur kurang lebih 2 tetes tiap detik hingga sebagian besar air terdestilasi, kemudian kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik. Setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen yang telah dijenuhkan. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluen memisah sempurna, volume air dibaca. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).


(39)

3.7.4 Penetapan kadar sari larut air

Sebanyak 5 g serbuk di maserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air suling 1000 ml) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama kemudian dibiarkan selama 18 jam. Saring, diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar sari larut air (Depkes RI, 1995).

3.7.5 Penetapan kadar sari larut etanol

Sebanyak 5 g serbuk di maserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama dan dibiarkan selama 18 jam. Saring cepat untuk menghindari penguapan etanol, diuapkan 20 ml filtrat sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara, sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC hingga diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar sari larut etanol (Depkes RI, 1995).

3.7.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus, ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijarkan dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijarkan perlahan-lahan pada suhu 500-600oC hingga arang habis, dinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap, kemudian dihitung kadar abu total (WHO, 1992).

3.7.7 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang telah diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam 25 ml asam klorida encer selama 5 menit. Bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan


(40)

air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan, didinginkan dan ditimbang sampai bobot tetap, kemudian dihitung kadar abu tidak larut asam (WHO, 1992). Hasil perhitungan karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 51 dan hasil karakteristik simplisia dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 2 halaman 56. 3.8 Skrining fitokimia serbuk simplisia

Skrining fitokimia serbuk simplisia meliputi pemeriksaan senyawa golongan flavonoid, alkaloid, saponin, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid. 3.8.1 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditimbang lalu ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.8.2 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk percobaan berikut:

- Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer. - Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat. - Diambil 3 tetes filtrat, lalu ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff.

Alkaloid positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit pada dua atau tiga dari percobaan diatas (Depkes RI, 1995).


(41)

3.8.3 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes larutan pereaksi asam klorida 2 N, menunjukkan adanya saponin (Depkes RI, 1995).

3.8.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Diambil 2 ml larutan dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966). 3.8.5 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml larutan asam sulfat 2 N, direfluks selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Pada 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3) dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Kumpulan sari air diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa dimasukkan dalam tabung reaksi selanjutnya diuapkan diatas penangas air, pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, kemudian ditambahkan hati-hati 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, cincin berwarna ungu yang terbentuk pada batas kedua cairan menunjukkan adanya glikosida (Depkes RI, 1995).


(42)

3.8.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g serbuk di maserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Lieberman-Burchard). Apabila terbentuk warna ungu atau merah dan berubah menjadi biru ungu atau biru hijau menunjukkan adanya steroid/triterpenoid (Harborne, 1987). Hasil skrining fitokimia dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 3 halaman 56.

3.9 Pembuatan ekstrak etanol sirih merah (EESM)

Sebanyak 200 g serbuk simplisia dimasukkan ke dalam bejana tertutup dan dibasahi dengan cairan penyari etanol 96%, dimaserasi selama 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, kemudian cairan penyari dituangkan secukupnya sampai semua simplisia terendam dan terdapat selapis cairan penyari di atasnya, perkolator ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran perkolator dibuka dan dibiarkan tetesan perkolat mengalir dengan kecepatan 1 ml tiap menit, ditambahkan berulang-ulang cairan penyari secukupnya hingga selalu terdapat selapis cairan penyari di atas simplisia. Perkolasi dihentikan jika 500 mg perkolat yang keluar terakhir diuapkan, tidak meninggalkan sisa. Perkolat yang diperoleh digabung dan diuapkan pada tekanan rendah dengan suhu tidak lebih dari 50oC menggunakan rotary evaporator, kemudian dipekatkan dengan menggunakan freeze dryer sehingga diperoleh ekstrak kental 53,2 g (Ditjen POM, 1979). Bagan pembuatan ekstrak dapat dilihat pada lampiran 7 gambar 7 halaman 57.


(43)

3.10 Hewan percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah tikus putih jantan galur SD dengan berat badan antara 150-200 g. Sebelum dilakukan percobaan tikus terlebih dahulu dipelihara selama 2 minggu dalam kandang yang baik untuk menyesuaikan dengan lingkungannya (Ditjen POM, 1979).

3.11 Penyiapan bahan

Bahan yang digunakan meliputi larutan glukosa, suspensi CMC sebagai kontrol negatif, suspensi EESM sebagai sediaan uji dan suspensi Glibenklamid sebagai pembanding.

3.11.1 Pembuatan larutan glukosa 50% (b/v)

Sebanyak 50 g glukosa dilarutkan dalam air suling sampai dengan volume 100 ml.

3.11.2 Pembuatan suspensi CMC 0,5%

Sebanyak 0,5 g CMC ditaburkan dalam lumpang yang berisi 10 ml air suling panas. Didiamkan selama 15 menit hingga diperoleh massa yang transparan, lalu digerus sampai homogen, diencerkan dengan sedikit air suling dan dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan volume hingga 100 ml. 3.11.3 Pembuatan suspensi EESM 1% (b/v)

Sebanyak 1 g ekstrak etanol daun sirih merah dimasukkan ke dalam lumpang dan ditambahkan suspensi CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen lalu diencerkan dengan suspensi CMC 0,5%, kemudian dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, dicukupkan volumenya dengan suspensi CMC 0,5% hingga 100 ml.


(44)

3.11.4 Pembuatan suspensi Glibenklamid dari tablet Glibenklamid®

Tablet Glibenklamid® mengandung 5 mg Glibenklamid, ditimbang sebanyak 20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 40,29 mg, kemudian serbuk dimasukkan ke dalam lumpang ditambah suspensi CMC 0,5% sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen lalu diencerkan dengan suspensi CMC 0,5% hingga 100 ml. Perhitungan kadar glibenklamid dari tablet Glibenklamid® dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 58.

3.12 Pengujian farmakologi

3.12.1 Penentuan kadar gula darah (KGD)

Sebelum dilakukan percobaan, tikus dipuasakan (tidak makan tetapi tetap minum) selama 18 jam, ditimbang berat badan. Untuk mempermudah pengambilan darah, tikus dimasukkan ke dalam tabung dimana bagian ekor tetap berada di luar, dicukur bulu ekor dan dibersihkan dengan alkohol, lalu diukur kadar gula darah puasa. Darah diambil melalui vena bagian ekor yang ditusuk dengan menggunakan jarum suntik. Darah yang keluar disentuhkan pada test strip yang telah terpasang pada alat glucometer dan dibiarkan alat mengukur kadar gula darah secara otomatis. Angka yang tampil pada layar alat dicatat sebagai kadar gula darah (mg/dl).

3.12.2 Prosedur kerja pengujian efek hipoglikemik

Pengujian efek hipoglikemik ekstrak etanol daun sirih merah dilakukan menggunakan metode uji toleransi glukosa dengan variasi dosis. Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus. Tikus yang telah dipuasakan ditimbang berat badannya, ditentukan kadar gula darah puasa, kemudian masing-masing tikus diberikan


(45)

larutan glukosa 50% dengan dosis 5 g/kg BB secara oral dan ditentukan kadar gula darah setelah 30 menit pemberian larutan glukosa 50%, selanjutnya masing-masing tikus diberi perlakuan secara oral yaitu kelompok I tidak diberi obat hanya diberikan larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, kelompok II diberikan suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, kelompok III diberikan suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, kelompok IV diberikan suspensi EESM dosis 50 mg/kg BB, kelompok V diberikan suspensi EESM dosis 100 mg/kg BB dan kelompok VI diberikan suspensi EESM dosis 200 mg/kg BB. Pengukuran kadar gula darah tikus dilakukan pada menit ke 60, 90, 120, 150 dan 180 (Raja, 2008). Bagan prosedur kerja pengujian farmakologi dapat dilihat pada lampiran 9 gambar 8 halaman 60. 3.13 Penggunaan glukometer

Alat yang digunakan untuk mengukur kadar glukosa darah adalah glucometer Accu-Chek®. Glucometer ini secara otomatis akan hidup ketika test strip dimasukkan dan akan mati ketika test strip dicabut. Accu-Chek® check strip dimasukkan ke glucometer Accu-Chek®. Test strip dimasukkan pada glucometer sehingga glucometer akan hidup secara otomatis, dicocokkan kode nomor yang muncul pada layar dengan yang ada pada vial Accu-Chek® test strip. Test strip yang dimasukkan pada glucometer maka pada bagian layar akan tertera angka sesuai dengan kode check strip, kemudian pada layar monitor glucometer muncul tanda akan siap di teteskan darah. Dengan menyentuhkan setetes darah ke test strip, reaksi dari wadah test strip akan otomatis menyerap darah ke dalam test strip melalui aksi kapiler. Ketika wadah terisi penuh oleh darah, alat mulai mengukur kadar glukosa darah. Hasil pengukuran diperoleh selama 8 detik. Alat glukometer dapat dilihat pada lampiran 10 gambar 9 halaman 61.


(46)

3.14 Prinsip pengukuran glukometer

Sampel darah akan masuk ke dalam tes strip melalui aksi kapiler. Glukosa yang ada dalam darah akan bereaksi dengan glukosa oksidase dan kalium ferisianida yang ada dalam strip dan akan dihasilkan kalium ferosianida. Kalium ferosianida yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi glukosa yang ada dalam sampel darah. Oksidasi kalium ferosianida akan menghasilkan muatan listrik yang akan diubah oleh glukometer untuk ditampilkan sebagai konsentrasi glukosa pada layar.

glukosa oksidase

β-D-Glukosa + kalium ferisianida asam glukonat + kalium ferosianida

oksidasi

Kalium ferosianida kalium ferisianida + e -3.15 Analisis data

Data hasil penelitian dianalisis secara statistik dengan metode analisis variansi (Anava) dan untuk melihat adanya perbedaan nyata antar perlakuan digunakan metode uji Duncan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS. Hasil analisis data dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 62.


(47)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil identifikasi/determinasi yang dilakukan di “Herbarium Bogoriense” Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, menunjukkan bahwa tanaman sirih merah yang diteliti adalah jenis Piper cf. fragile Benth., suku Piperaceae.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun sirih merah yaitu daun bertangkai berbentuk jantung, ujung daun runcing, bertepi rata, daun berkerut, berwarna coklat, panjang 10-15 cm, lebar 7-8 cm dan beraroma wangi khas sirih.

Sirih merah rasanya sangat pahit dibandingkan dengan sirih biasa atau varietas lainnya, warna daun bagian atas hijau bercorak warna putih keabu-abuan sedangkan bagian bawah daun berwarna merah cerah (Sudewo, 2005). Tanaman ini berbatang bulat hijau keunguan dan tidak berbunga. Yang membedakan dengan sirih hijau adalah selain daunnya berwarna merah, bila daunnya disobek maka akan berlendir serta aromanya lebih wangi. Tanaman tumbuh subur di tempat teduh, bila tumbuh pada daerah panas atau sinar matahari langsung maka batangnya cepat mengering. Selain itu, warna merah daunnya akan pudar, padahal kemungkinan khasiatnya terletak pada senyawa kimia yang terkandung dalam warna merah daunnya (Anonim, 2007).

Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun sirih merah diperoleh adanya stomata tipe anomositik, rambut penutup, berkas pembuluh, tetesan minyak dan kelenjar minyak atsiri berwarna kuning jingga.

Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah diperoleh kadar air 8,66%, kadar sari larut air 18,39%, kadar sari larut etanol 11,62%, kadar abu total 9,56%


(48)

dan kadar abu tidak larut asam 1,20%. Karakteristik simplisia daun sirih merah belum terdapat pada monografi buku Materia Medika Indonesia (MMI), maka sebagai perbandingan dilihat dari suku Piperaceae yaitu daun sirih (Piper betle L.). Hasil karakteristik simplisia daun sirih merah (Piper cf. fragile Benth.) berbeda dengan daun sirih (Piper betle L.) yang terdapat pada buku MMI edisi IV, namun kadar yang diperoleh dari hasil karakteristik simplisia daun sirih merah tersebut memenuhi syarat yang sesuai dengan standar simplisia daun sirih (Piper betle L.) pada monografi buku MMI edisi IV jadi simplisia daun sirih merah dapat digunakan sebagai bahan penelitian.

Hasil pemeriksaan skrining fitokimia serbuk simplisia daun sirih merah menunjukkan adanya senyawa flavonoid, alkaloid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.

Ekstraksi dilakukan secara perkolasi menggunakan pelarut etanol 96% dari 200 g serbuk kering diperoleh ekstrak kental 53,2 g.

Pada uji efek hipoglikemik, terlebih dahulu dilakukan orientasi penurunan KGD EESM 1% dengan variasi dosis yaitu 50, 100 dan 200 mg/kg BB dan dari ketiga dosis yang diuji ternyata EESM 1% memberikan efek penurunan KGD dimana dosis 100 mg/kg BB memberikan efek menurunkan KGD tikus yang mendekati glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, sehingga untuk penelitian selanjutnya tetap digunakan EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB sebagai perlakuan.

Penelitian ini menggunakan tikus putih jantan sebagai hewan percobaan yang dibuat hiperglikemia dengan harapan tercapai kenaikan kadar gula dalam darah dengan metode toleransi glukosa yang diberikan secara oral. Tikus dikelompokkan secara acak menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri


(49)

dari 6 ekor tikus yaitu kelompok I tidak diberi obat hanya diberikan larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB sebagai kontrol diabetes, kelompok II diberi suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB sebagai kontrol negatif, kelompok III diberikan suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB sebagai pembanding, kelompok IV, V dan VI masing-masing diberikan suspensi EESM 50, 100 dan 200 mg/kg BB sebagai kelompok sediaan uji.

Rata-rata KGD tikus setelah puasa selama 18 jam untuk semua hewan percobaan adalah 104,40 mg/dl. Berdasarkan hasil analisis statistik Anava dan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna untuk setiap perlakuan baik n = 6 maupun n = 36, hal ini menunjukkan bahwa tikus yang digunakan masih dalam kondisi fisiologis yang homogen yakni dengan kadar gula darah normal. Berdasarkan analisis statistik tersebut maka untuk menit 0 digunakan rata-rata KGD puasa yaitu 104,40 mg/dl.

Tikus yang telah diukur KGD puasanya, kemudian diberi larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB dimana setelah 30 menit kemudian terjadi peningkatan KGD tikus pada masing-masing kelompok perlakuan.

Rata-rata KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB untuk semua hewan percobaan adalah 202,32 mg/dl, selanjutnya diistilahkan sebagai tikus diabetes. Berdasarkan hasil analisis statistik Anava dan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna untuk setiap perlakuan baik n = 6 maupun n = 36, hal ini menunjukkan bahwa tikus yang digunakan masih dalam kondisi fisiologis yang homogen yakni hiperglikemia. Berdasarkan hasil analisis statistik tersebut maka untuk menit ke-30 digunakan rata-rata KGD diabetes yaitu 202,32 mg/dl.


(50)

Terhadap tikus diabetes masing-masing diberi perlakuan yaitu kelompok I tidak diberi obat hanya diberikan larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB, kelompok II diberikan suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB, kelompok III diberikan suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, kelompok IV, V dan IV masing-masing diberikan suspensi EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB. Pengukuran kadar gula darah tikus dilakukan pada menit ke 60, 90, 120, 150 dan 180.

Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan pada masing-masing kelompok dapat dilihat pada tabel 4 dan gambar 10 dibawah ini.

Tabel 4. Hasil pengukuran rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6)

No. Kelompok yang diberi perlakuan Rata-rata KGD tikus setelah puasa (mg/dl) Rata-rata KGD tikus setelah 30 menit pemberian larutan glukosa 50% (mg/dl)

KGD setelah perlakuan (mg/dl)

60 menit 90 menit 120 menit 150 menit 180 menit

1. Glukosa 50%

104,40 202,32

197,16 189,33 172,83 149,16 117,16

2. CMC 1% BB 193,83 183,16 169,50 142,33 114,33

3. Glibenklamid

1 mg/kg BB 175,33 141,16 120,50 100,50 98,16

4. EESM 50 188,50 166,33 140,00 112,33 102,83

5. EESM 100 180,50 147,83 123,83 104,83 103,16


(51)

0 50 100 150 200 250

Waktu (menit)

K

G

D

(m

g

/d

l)

Glukosa 50% CMC 1% BB

Glibenklamid 1 mg/kg BB EESM 50

EESM 100 EESM 200

0 30 60 90 120 150 180

Gambar 10. Grafik rata-rata KGD setelah perlakuan (n = 6)

Pada gambar 10 diatas menunjukkan bahwa pemberian EESM dengan dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB dapat menurunkan KGD sampai ke batas normal. Penurunan KGD EESM dengan dosis 100 mg/kg BB lebih mendekati penurunan glibenklamid dosis 1 mg/kg BB. Penurunan KGD tikus mulai terlihat pada menit ke-60 baik dengan pemberian EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB maupun dengan pemberian glibenklamid dengan dosis 1 mg/kg BB.

Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 60 menit dapat dilihat pada gambar 11 dibawah ini.


(52)

0 50 100 150 200 250

Perlak uan

R

at

a-rat

a K

G

D

(

m

g/

d

l)

Tikus diabetes Glukosa 50%

CMC 1% BB EESM 50

EESM 100 Glibenklamid 1 mg/kg BB

EESM 200

2,55% 4,19% 6,83% 10,78% 13,34% 19,68%

Gambar 11.Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 60 menit

Pada gambar 11 diatas menunjukkan bahwa pada selang waktu 60 menit, persentase penurunan KGD tikus pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes yaitu 2,55% untuk kelompok kontrol diabetes, 4,19% untuk kelompok kontrol negatif, 13,34% untuk kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dan untuk kelompok EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB masing-masing 6,83%, 10,78% dan 19,68%. Persentase penurunan terbesar terjadi pada pemberian EESM dosis 200 mg/kg BB yaitu sebesar 19,68%.

Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) terhadap penurunan KGD pada menit ke-60 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antar perlakuan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, yang menunjukkan bahwa kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dalam menurunkan KGD tikus. Hal ini dapat disebabkan karena absorpsi dan potensi untuk menurunkan KGD dari zat berkhasiat yang terkandung dalam ekstrak maupun glibenklamid relatif sama.


(53)

Namun, kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol diabetes, kontrol negatif, EESM dosis 50 dan 200 mg/kg BB. Sedangkan antara kelompok kontrol diabetes dengan kontrol negatif dan antara kelompok kontrol negatif dengan kelompok EESM dosis 50 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna, hal ini dapat disebabkan karena potensi untuk menurunkan KGD relatif sama.

Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 90 menit dapat dilihat pada gambar 12 dibawah ini.

0 50 100 150 200 250

Perlak uan

R

at

a-rat

a K

G

D

(

m

g/

d

l)

Tikus diabetes Glukosa 50%

CMC 1% BB EESM 50

EESM 100 Glibenklamid 1 mg/kg BB

EESM 200

6,42% 9,47% 17,78% 26,93% 30,22% 36,16%

Gambar 12.Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 90 menit

Pada gambar 12 diatas menunjukkan bahwa pada selang waktu 90 menit, persentase penurunan KGD tikus pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes yaitu 6,42% untuk kelompok kontrol diabetes, 9,47% untuk kelompok kontrol negatif, 30,22% untuk kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dan untuk kelompok EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB


(54)

masing-masing 17,78%, 26,93% dan 36,16%. Persentase penurunan terbesar terjadi pada pemberian EESM dosis 200 mg/kg BB yaitu sebesar 36,16%.

Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) terhadap penurunan KGD pada menit ke-90 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antar perlakuan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, yang menunjukkan bahwa kelompok kontrol diabetes tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dalam menurunkan KGD tikus, tetapi memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol diabetes, kontrol negatif, EESM dosis 50 dan 200 mg/kg BB.

Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 120 menit dapat dilihat pada gambar 13 dibawah ini.

0 50 100 150 200 250

Perlak uan

R

at

a-rat

a K

G

D

(

m

g/

d

l)

Tikus diabetes Glukosa 50%

CMC 1% BB EESM 50

EESM 100 Glibenklamid 1 mg/kg BB

EESM 200

14,57% 16,22% 30,80% 38,79% 40,44% 48,34%

Gambar 13.Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 120 menit


(55)

Pada gambar 13 diatas menunjukkan bahwa pada selang waktu 120 menit, persentase penurunan KGD tikus pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes yaitu 14,57% untuk kelompok kontrol diabetes, 16,22% untuk kelompok kontrol negatif, 40,44% untuk kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dan untuk kelompok EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB masing-masing 30,80%, 38,79% dan 48,34%. Persentase penurunan terbesar terjadi pada pemberian EESM dosis 200 mg/kg BB yaitu sebesar 48,34%. Pada selang waktu 120 menit setelah pemberian EESM, potensi zat berkhasiat dalam EESM sudah semakin berkurang karena mulai mengalami eliminasi atau penurunan kadar zat berkhasiat dalam darah.

Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) terhadap penurunan KGD pada menit ke-120 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antar perlakuan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, yang menunjukkan bahwa kelompok kontrol diabetes tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dalam menurunkan KGD tikus, tetapi memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol diabetes, kontrol negatif, EESM dosis 50 dan 200 mg/kg BB.

Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 150 menit dapat dilihat pada gambar 14 dibawah ini.


(56)

0 50 100 150 200 250

Perlak uan

R

at

a-rat

a K

G

D

(

m

g/

d

l)

Tikus diabetes Glukosa 50%

CMC 1% BB EESM 50

EESM 100 EESM 200

Glibenklamid 1 mg/kg BB

26,27% 29,65% 44,47% 48,18% 50,00% 50,32%

Gambar 14.Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 150 menit

Pada gambar 14 diatas menunjukkan bahwa pada selang waktu 150 menit, persentase penurunan KGD tikus pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes yaitu 26,27% untuk kelompok kontrol diabetes, 29,65% untuk kelompok kontrol negatif, 50,32% untuk kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dan untuk kelompok EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB masing-masing 44,47%, 48,18% dan 50,00%. Persentase penurunan terbesar terjadi pada pemberian glibenklamid dosis 1 mg/kg BB yaitu sebesar 50,32%. Pada selang waktu 150 menit setelah pemberian EESM, potensi zat berkhasiat dalam EESM telah mengalami eliminasi atau penurunan kadar zat berkhasiat dalam darah, sehingga potensi dalam menurunkan KGD dari EESM tersebut sudah berkurang. Hal ini ditandai dengan KGD pada selang waktu tersebut sudah mencapai normal.

Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) terhadap penurunan KGD pada menit ke-150 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antar perlakuan


(57)

dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, yang menunjukkan bahwa kelompok kontrol diabetes tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, EESM dosis 50 dan 200 mg/kg BB dalam menurunkan KGD tikus, tetapi memberikan perbedaan bermakna dengan kontrol diabetes dan kontrol negatif.

Hasil pengukuran rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 180 menit dapat dilihat pada gambar 15 dibawah ini.

0 50 100 150 200 250

Perlak uan

R

at

a-rat

a K

G

D

(

m

g/

d

l)

Tikus diabetes Glukosa 50%

CMC 1% BB EESM 100

EESM 50 EESM 200

Glibenklamid 1 mg/kg BB

42,09% 43,49% 49,01% 49,17% 50,65% 51,48%

Gambar 15.Grafik rata-rata KGD tikus/persentase penurunan KGD tikus setelah pemberian larutan glukosa 50% pada selang waktu 180 menit

Pada gambar 15 diatas menunjukkan bahwa pada selang waktu 180 menit, persentase penurunan KGD tikus pada setiap kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok tikus diabetes yaitu 42,09% untuk kelompok kontrol diabetes, 43,49% untuk kelompok kontrol negatif, 51,48% untuk kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB dan untuk kelompok EESM dosis 50, 100 dan 200 mg/kg BB masing-masing 49,17%, 49,01% dan 50,65%. Persentase penurunan terbesar


(58)

terjadi pada pemberian glibenklamid dosis 1 mg/kg BB yaitu sebesar 51,48%. Pada selang waktu 180 menit setelah pemberian EESM, potensi zat berkhasiat dalam EESM telah mengalami eliminasi atau penurunan kadar zat berkhasiat dalam darah, sehingga potensi dalam menurunkan KGD dari EESM tersebut sudah berkurang. Hal ini ditandai dengan KGD pada selang waktu tersebut sudah mencapai normal.

Berdasarkan hasil analisis statistik Anava (p<0,05) terhadap penurunan KGD pada menit ke-180 menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar perlakuan dan untuk mengetahui perbedaan yang bermakna antar perlakuan dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, yang menunjukkan bahwa kelompok kontrol diabetes tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok kontrol negatif. Kelompok EESM dosis 100 mg/kg BB tidak memberikan perbedaan bermakna dengan kelompok glibenklamid dosis 1 mg/kg BB, EESM dosis 50 dan 200 mg/kg BB dalam menurunkan KGD tikus, tetapi memberikan perbedaan bermakna dengan kontrol diabetes dan kontrol negatif.

Senyawa fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah adalah flavonoid, alkaloid, glikosida, saponin, tanin, steroid/triterpenoid dan minyak atsiri. Menurut Ivorra, M.D dalam buku ”A review of natural product and plants as potensial antidiabetic” senyawa aktif alkaloid dan flavonoid memiliki aktivitas hipoglikemik atau penurun kadar glukosa darah (Anonim, 2007). Flavonoid adalah zat nabati yang banyak terkandung dalam sayur dan buah, sering kali dalam zat-zat berwarna merah, jingga atau kuning (Tjay dan Kirana, 2007).


(1)

Tabel 6. Data hasil pengukuran KGD tikus setelah perlakuan

Kelompok BB

tikus (g) KGD puasa (mg/dl) KGD setelah 30 menit pemberian larutan glukosa 50% (mg/dl)

KGD setelah perlakuan (mg/dl)

60 menit 90 menit 120 menit 150 menit 180 menit I

184 107 197 195 187 169 139 115

186 110 211 207 199 178 162 122

183 102 194 190 185 169 138 116

188 112 201 197 188 174 155 118

187 104 204 200 192 177 147 113

184 108 199 194 185 170 154 119

II

182 106 207 197 185 173 137 116

181 99 190 180 172 162 144 108

187 103 201 195 181 171 148 117

190 110 210 201 197 174 153 120

188 108 198 190 173 165 126 106

185 102 209 200 191 172 146 119

III

190 99 190 181 139 126 105 101

197 107 217 179 134 118 95 90

192 99 189 167 124 107 97 95

189 103 215 176 153 122 106 105

195 105 210 180 159 128 102 102

188 97 198 169 138 122 98 96

IV

195 112 221 195 184 148 117 107

174 110 206 187 160 141 115 105

184 108 214 191 163 127 108 101

191 98 189 185 154 138 110 100

197 100 201 188 160 144 117 104

200 99 190 185 177 142 107 100

V

176 115 214 186 158 127 108 105

190 107 201 179 144 120 101 100

178 98 199 172 148 127 110 109

186 102 211 189 150 126 101 100

193 99 190 177 146 122 107 104

198 112 210 180 141 121 102 101

VI

172 101 199 157 130 107 104 103

191 110 209 169 131 105 102 100

182 112 213 163 129 103 99 99

190 97 189 159 126 104 100 98

176 102 201 168 132 107 103 101

188 99 190 159 127 101 99 98


(2)

Tabel 7. Data hasil pengukuran rata-rata KGD tikus

Kelompok BB tikus

(g)

KGD puasa (mg/dl)

KGD setelah 30

menit pemberian

larutan glukosa 50% (mg/dl)

KGD setelah perlakuan (mg/dl)

60 menit

90 menit

120 menit

150 menit

180 menit

I

184 107 197 195 187 169 139 115

186 110 211 207 199 178 162 122

183 102 194 190 185 169 138 116

188 112 201 197 188 174 155 118

187 104 204 200 192 177 147 113

184 108 199 194 185 170 154 119

Jumlah 643 1206 1183 1136 1037 895 703

Rata-rata 107,16 201 197,16 189,33 172,83 149,16 117,16

II

182 106 207 197 185 173 137 116

181 99 190 180 172 162 144 108

187 103 201 195 181 171 148 117

190 110 210 201 197 174 153 120

188 108 198 190 173 165 126 106

185 102 209 200 191 172 146 119

Jumlah 628 1215 1163 1099 1017 854 686

Rata-rata 104,66 202,5 193,83 183,16 169,5 142,33 114,33

III

190 99 190 181 139 126 105 101

197 107 217 179 134 118 95 90

192 99 189 167 124 107 97 95

189 103 215 176 153 122 106 105

195 105 210 180 159 128 102 102

188 97 198 169 138 122 98 96

Jumlah 610 1219 1052 847 723 603 589


(3)

Tabel 7 (lanjutan)

IV

195 112 221 195 184 148 117 107

174 110 206 187 160 141 115 105

184 108 214 191 163 127 108 101

191 98 189 185 154 138 110 100

197 100 201 188 160 144 117 104

200 99 190 185 177 142 107 100

Jumlah 627 1221 1131 998 840 674 617

Rata-rata 104,5 203,5 188,5 166,33 140 112,33 102,83

V

176 115 214 186 158 127 108 105

190 107 201 179 144 120 101 100

178 98 199 172 148 127 110 109

186 102 211 189 150 126 101 100

193 99 190 177 146 122 107 104

198 112 210 180 141 121 102 101

Jumlah 633 1225 1083 887 743 629 619

Rata-rata 105,5 204,16 180,5 147,83 123,83 104,83 103,16

VI

172 101 199 157 130 107 104 103

191 110 209 169 131 105 102 100

182 112 213 163 129 103 99 99

190 97 189 159 126 104 100 98

176 102 201 168 132 107 103 101

188 99 190 159 127 101 99 98

Jumlah 621 1201 975 775 627 607 599

Rata-rata 103,5 200,16 162,5 129,16 104,5 101,16 99,83

Keterangan:

I. Tidak diberi obat hanya diberi larutan glukosa 50% dosis 5 g/kg BB

II. Diberikan suspensi CMC 0,5% dosis 1% BB

III. Diberikan suspensi glibenklamid dosis 1 mg/kg BB

IV. Diberikan suspensi EESM dosis 50 mg/kg BB

V. Diberikan suspensi EESM dosis 100 mg/kg BB

VI. Diberikan suspensi EESM dosis 200 mg/kg BB


(4)

Perhitungan dosis

Perhitungan dosis ekstrak etanol daun sirih merah (EESM) dosis 1 ml.

Volume yang diberikan = 1 ml

Konsentrasi ekstrak 1% = 1 g/100 ml

= 1000 mg/100 ml

= 10 mg/ml

Volume 1 ml

mg/ml 10

obat jumlah =

Maka jumlah obat yang diberikan = 10 mg

Jadi, 10 mg

x 200g

g 1000

dosis =

10000 mg = dosis x 200

Dosis

200

mg

10000

=

Dosis = 50 mg/kg BB

Jadi dosis sebenarnya untuk tikus adalah 50 mg/kg BB.

Dimana perhitungan dosisnya sebagai berikut:

Jumlah obat yang diberikan

x 200g g

1000 mg 50 =

= 10 mg

Maka volume larutan yang diberi

mg/ml 10

mg 10 =


(5)

Tabel 8. Volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada

beberapa hewan uji

Jenis hewan uji

Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberian

i.v. i.m. i.p. s.c. p.o.

Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0

Tikus (200 g) 1,0 0,1 2-5 2-5 5,0

Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2,5 2,5

Marmut (250 g) - 0,25 2-5 5,0 10,0

Kelinci (2,5 kg) 5-10 0,5 10-20 5-10 20,0

Kucing (3 kg) 5-10 1,0 10-20 5-10 50,0

Anjing (5 kg) 10-20 5,0 20-50 10,0 100,0


(6)

Gambar 16.Bagan penelitian uji efek hipoglikemik EESM terhadap tikus putih

jantan

Daun sirih merah segar

Dicuci dengan air mengalir

Ditiriskan dan ditimbang

Dikeringkan di lemari pengering pada temperatur ± 40°C

Simplisia

Diserbukkan

Serbuk simplisia

Skrining fitokimia Karakterisasi simplisia

- Alkaloid - Flavonoid - Saponin - Tanin - Glikosida

- Steroid/triterpenoid

- Pemeriksaan makroskopik - Pemeriksaan mikroskopik - Penetapan kadar air - Penetapan kadar sari larut

air

- Penetapan kadar sari larut etanol

- Penetapan kadar abu total - Penetapan kadar abu tidak

larut asam

Ditimbang

Pembuatan ekstrak

Diperkolasi dengan pelarut etanol 96%

Perkolat

Diuapkan dengan

rotary evaporator

Dipekatkan dengan

freeze dryer

Ekstrak kental