PEMIKIRAN ISLAM TENTANG HUBUNGAN NEGARA

1

PEMIKIRAN ISLAM TENTANG HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA
Oleh : Asrul Haq Alang
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hubungan negara dan agama telah menjadi suatu perdebatan yang cukup hangat
dalam sejarah dan kancah perpolitikan di Indonesia. Wacana hubungan negara dan agama
terjadi di kalangan politikus dan tokoh masyarakat. Relasi agama dan negara sebagaimana
dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya
berlangsung harmonis, namun di saat yang lain mengalami ketegangan sebagaimana
tercermin dari pemberontakan atas nama agama di tahun 1950-1960. Polemik
memperlihatkan adanya suatu perbedaan pendapat tentang hubungan negara dan agama di
Indonesia. Perbedaan ini melahirkan ketegangan-ketegangan politik ideologi. Polemik
tentang secular state menunjukkan fakta bahwa relasi antar keduanya tidak berdiri sendiri,
melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya dan juga sekaligus
memperlihatkan bahwa persoalan hubungan negara dan agama menjadi bidang kajian yang
penting atas beberapa alasan.1
Pertama, hubungan negara dan agama telah menjadi perdebatan panjang untuk
menentukan batasan-batasan dalam hal apa negara dapat ikut campur dalam urusan agama.
Hubungan negara dan agama ini memperlihatkan tingkat otonomi dan pengakuan agama

sebagai hak asasi individual yang urusannya diserahkan pada lembaga-lembaga agama yang
bebas dan otonom. Hubungan ini memperlihatkan tingkat otoritas individu dan kelompokkelompok dalam masyarakat untuk mengatur sendiri peribadatan sesuai dengan keyakinan
masing-masing. Hal tersebut sangat penting untuk dikaji dalam konteks Indonesia yang
memiliki dasar-dasar berpikir berbeda dalam melihat peran dan fungsi negara dalam
kehidupan publik. Kedua, perdebatan mengenai hubungan negara dan agama menjadi penting
karena persoalan ini merupakan gejala masyarakat yang berakar dari permasalahan lahirnya
gerakan sekularisasi dalam sejarah pemikiran barat. Perdebatan tentang hubungan negara dan
agama juga melahirkan pemikiran atau teori yang dapat menerangkan hubungan negara dan
agama dalam pemikiran politik moderen. Dalam konteks ke-Indonesiaan perdebatan ini juga
mendapat perhatian yang sangat serius, terutama di awal pembentukan negara (nation state)
Indonesia oleh para pendiri negara (founding fathers).2
1
2

Abuddin Nata (edt). Problematika Politik Islam di Indonesia (Jakarta:Grasindo, 2002), h.
67.
J.B. Hari Kustanto, Sekularisasi; Sitensilan Sosiologi Agama. (Jakarta: STF Driyarkara,
2009).83-84

2


Hubungan negara dan agama seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali
dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan
kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama
jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara)
Timur. Dan, agar hubungan antar agama dan negara tetap harmonis di tengah-tengah
dinamika kehidupan politik, ekonomi, dan budaya; diperlukan diskusi terus menerus,
sehingga kita sampai pada pemahaman bahwa agama dan negara bagai dua sisi mata uang, di
mana keduanya bisa dibedakan, namun tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya
saling membutuhkan.
Dalam sejarah Islam, ada tiga tipologi hubungan antara agama dan negara. Din
Syamsudin membaginya sebagai berikut: Pertama, golongan yang berpendapat bahwa
hubungan antara agama dan negara berjalan secara integral. Domain agama juga menjadi
domain negara, demikian sebaliknya, sehingga hubungan antara agama dan negara tidak ada
jarak dan berjalan menjadi satu kesatuan. Tokoh pendukungan gerakan ini adalah al-Maududi.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa hubungan antara agama dan negara berjalan secara
simbiotik dan dinamis-dialektis, bukan berhubungan langsung, sehingga kedua wilayah masih
ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan negara berjalan berdampingan.
Keduanya bertemu untuk kepentingan pemenuhan kepentingan masing-masing, agama
memerlukan lembaga negara untuk melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga

lembaga negara memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan
spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini di antaranya adalah Abdullahi
Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan
Nurcholish Madjid. Ketiga, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara merupakan
dua domian yang berbeda dan tidak ada hubungan sama sekali. Golongan ini memisahkan
hubungan antara agama dan politik/ negara. Oleh sebab itu, golongan ini menolak pendasaran
negara pada agama atau formalisasi norma-norma agama ke dalam sistem hukum negara.
Salah satu tokoh Muslim dunia yang masuk golongan ini adalah Ali Abd Raziq. Dalam hal
yang sama, R R Alford dalam penelitiannya yang berjudul “Agama dan Politik” menyebutkan
bahwa agama tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perilaku politik pemeluknya,
bahkan terkadang memiliki kecenderungan yang sebaliknya, di dunia Barat, sehingga
orientasi utama politiknya sekularisasi3.

3 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,
2002) h. 43

3

Dalam sejarah bangsa Indonesia, hubungan antara agama (Islam) dan negara
berkembang menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang mengintegrasikan antara

agama dan negara sebagai dua hal yang tidak terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara
berjalan dengan intensif pada masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan
Islam Perelak, Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan
tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi hukum
negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa adanya konflik.
Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara berjalan dalam pusaran konflik
dan saling menafikan di antara keduanya sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik
kaum agamawan memiliki kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara
totalitas, sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut.
Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang Paderi (perang
para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul semboyan “adat bersendi syara’ dan
syara’ bersendi Kitabullah” yang artinya; eksistensi hukum adat diakui selama tidak
bertentangan dengan ketentuan syariat agama Islam. Ketiga, golongan yang membangun
hubungan dinamis-dialektis antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan
secara gradual dalam sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem
ketatanegaraan kerajaan Goa. Keempat, golongan yang membangun hubungan sekularritualistik antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan dalam tradisi ritual
keagamaan oleh pemerintah sebagai simbol pengayoman kepada warganya, sehingga
masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan pemimpin, sebagaimana tradisi kerajaan
Jawa. Para raja Jawa menghadiri kegiatan ritual keagamaan hanya dua kali setahun di Masjid
atau sekatenan. Para raja Jawa memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk

agama tertentu, yang penting juga taat kepada raja.4
Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di Indonesia
mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi. Tiga tipologi gerakan
agama tersebut telah mengalami dinamika yang progresif dan silih berganti. Islam sebagai
agama memainkan peran politik oposisi terhadap pemerintahan Majapahit, sejak awal
berdirinya Kerajaan Islam Demak. Sedangkan pada masa pemerintahan kerajaan Islam
Demak, Islam dan politik kenegaraan terbangun secara terintegrasi, tetapi ketika pusat
kekuasaan Islam beralih kepada kerajaan Mataram, maka tipologi hubungan Islam tidak
mengambil pola integrasi sebagaimana praktik kerajaan Islam Demak, tetapi kerajaan
4 Abdullah Ahmed an-Na’im, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syriah,
(Cet.I; Bandung: Mizan, 2007), h. 27 – 28

4

Mataram Islam mengambil model moderat yang berkarakter sinkretis. Peran raja sebagai
simbol keagamaan cukup hadir dua kali selama setahun, walaupun kesehariannya tidak
datang ke Masjid.5
Sementara itu, kekuatan politik agama mengambil peran oposisi yang ketat ketika
Belanda datang menjajah Nusantara. Para ulama dan da’i berjuang melawan kekuatan
kolonial Belanda dengan membentuk organisasi-organisasi keagamaan seperti Serikat Islam

pimpinan HOS Cokroaminoto tahun 1911, pada tahun 1912 juga berdiri orgnanisasi
Muhammadiyah pimpinan KH Ahmad Dahlan, dan pada tahun 1926 di kalangan ulama
Nusantara lahir Jamiyah Nahdlatul Ulama pimpinan KH Hasyim Asy’arie. Usaha-usaha kaum
agamawan dalam berjuang melawan kolonial Belanda tersebut akhirnya membuahkan hasil
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada masa awal kemerdekaan,
agama dan neara mengalami masa-masa krusial, mengingat persepsi hubungan agama dan
negara masih belum tuntas di kalangan tokoh agama pejuang kemerdekaan. Mereka memiliki
tafsir berbeda-beda mengenai hubungan agama dan negara yang ideal, sehingga sebagian
kelompok menganggap bahwa yang dimaksud hubungan agama dan negara yang ideal adalah
Piagam Jakarta, tetapi hal itu setelah melalui perdebatan dan diskusi yang serius, maka KH A
Wahid Hasyim sebagai salah satu tim mengakomodir dan menerima penghapusan tujuh kata
dengan hasil sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945 dengan ideologi Pancasila. Dalam rumusan ideologi dan
konstitusi tersebut, substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius
(religious nation state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak
eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam menyukseskan
cita-cita kemerdekaan RI, yaitu mewujudkan kesejahteraan sosial dan mencerdaskan
kehidupan bangsa dan bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).6
Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut telah melampaui pemahaman keagamaan
pada masanya, dimana ia telah berhasil mencari nilai-nilai transendental yang bisa menjadi

dasar pijak semua agama dan golongan, sehingga pandangan keagamaan yang berbeda-beda
yang dapat memicu konflik dan pertikaian- dapat dinetralisir dan dikompromikan. Keputusan
ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian R R Alford yang berjudul “Agama dan
5 John Esposito, Islam and Development ; Religion and Sociopolitical Change, diterjemahkan oleh
A. Rahman Zainuddin dengan Judul :” Indentitas Islam pada Perubahan Sosial Politik” (Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1989), h. 137-138
6

Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara,h. 49

5

Politik”, yang menyebutkan bahwa paham keagamaan yang plural jika masuk ke arena politik
praktis akan menimbulkan pertikaian dan jauh dari kompromi, sehingga jalan pencarian nilainilai transendental menjadi keniscayaan.
Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut juga memiliki kesamaan dengan sejarah
penyusunan naskah Perjanjian Hudaibiyah dan Piagam Madinah dimana Nabi saw mengambil
kebijakan substantif, bukan formalistik. Walaupun simbol-simbol formal ketuhanan dan
kerasulan dihapus dalam naskah perjanjian tersebut, tetapi Nabi saw tetap menerimanya
karena substansi dan tujuan agama dapat dijalankan sebagaimana mestinya, misalnya Nabi
saw masih bisa menjalanan ibadah umrah di Makkah, memberikan perlindungan kepada

semua warga dan memajukan kesejahteraannya. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi bukti bahwa NKRI merupakan negara yang secara substansial memiliki kesamaan
dengan negara bentukan Nabi saw sebagai negara religius (religious nation state). Nabi saw
memerangi orang–orang ateis (kafir) dan pemerontak, tetapi Nabi saw menjaga dan
melindungi kaum non-Muslim. Demikian juga NKRI melarang adanya sikap anti Ketuhanan
dan anti Keagamaan, tetapi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya”.7
Dari pemikiran di atas, dapat ditarik beberapa masalah yang akan dipecahkan dalam
makalah ini.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep Agama dan Negara ?
2. Bagaimana Pandangan Beberapa Paham Tentang Hubungan Negara dan Agama ?
II. PEMBAHASAN
A. Konsep Agama dan Negara
1. Agama

7 Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Cet.I;
Bandung: Mizan, 2005), h. 106. Dan lihat selengkapnya dalam “ Dialektika Islam; Tafsir Sosiologis atas

Sekularisme dan Islamisasi di Indonesia” (Cet.I; Yogyakarta: Jalasutra, 2007), h. 79-80.

6

Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitap upadeca
tentang ajaran-ajaran agama Hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa
sanskerta yang tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk
harfiah yang terpadu perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi,
diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pada umumnya perkataan agama
diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan dengan cara memisahkan kata demi kata
yaitu “A” berarti tidak dan “gama” berarti kacau. Maksudnya orang yang memeluk suatu
agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh hidupnya tidak akan
kacau.8
Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang sering
mendefinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang
di anutnya. menurut “Mukti Ali”, mantan Menteri Agama Indonesia menyatakan bahwa
agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan
kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di
akhirat. Sedangkan menurut ”James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada Tuhan
yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan

mempunyai hubungan moral dengan umat manusia Friedrich Schleiermacer, menegaskan
bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional, juga tidak dari tindakan moral,
akan tetapi agama berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga
(feeling of absolute dependence).9 
Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukan
kehidupan, sebagaimana dalam hadist. “Kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu
akan tersesat selama-lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu
kitabullah dan sunnah rasul”.10
Secara sosiologis menurut “Johnstone” “Religion can be defined as a system of beliefs
and practices by which a group of people interprets and responds to what they feel is sacred
and usually supernatural swell” lebih lanjut Johnstone menyatakan that by employing this
8 K. Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya, (Bandung: Angkasa,
1993). h. 26

9 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2004), h.
20-22

10 Waqiatul Azra, Buku Ajar Civic Education, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006), h. 48

7


definition weare, for purposes of sociological investigation at least, adopting the position, of
the hardnosed relativist and agnostiec. Agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem
keyakinan dan praktik yang oleh sekelompok orang ditafsirkan dan ditanggapi oleh apa yang
mereka rasakan sebagai yang sakral dan biasanya adalah ombak supernatural ”lebih lanjut
Johnstone menyatakan bahwa dengan menganggur definisi ini, untuk tujuan penyelidikan
sosiologi, setidaknya, mengadopsi posisi, relativis dan agnostik.11
2. Negara
Istilah negara merupakan terjemahkan dari beberapa kata-kata asing
yaitu: “staat” (Dari Bahasa Belanda dan Jerman) “state” (Bahasa Inggris) “etat” (Bahasa
Perancis) kata “staat” (state,etat) itu diambil dari kata Bahasa Latin yaitu “status” atau
“statum”, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki sifat yang
tegak dan tetap. Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara
satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu
kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai
konstitutif yang pada galibnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat),
wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat, lebih lanjut dari pengertian di atas, negara
indentik dengan hak dan wewenang.12
B. Pandangan Tentang Hubungan Agama dengan Negara
Hubungan negara dan agama ibarat ikan dan airnya. Keduanya memiliki hubungan
timbal balik yang sangat erat. Negara Indonesia sesuai dengan konstistusi, misalnya
berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa
terkecuali. Secara jelas dalam UUD pasal 33, misalnya, disebutkan bahwa fakir miskin dan
anak-anak terlantar dipelihara oleh negara (ayat 1); negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai
dengan maratabat kemanusiaan (ayat 2); negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas
pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak (ayat 3). Selain itu, negara juga
berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak dan warga negara dalam beragama
sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan
berekspresi, dan sebagainya.
11 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, h. 33
12 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatulla: Jakarta, Edisi ke-3, 2008), h. 84

8

Namun demikian, kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak warganya tidak akan
dapat berlangsung dengan baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk pelaksanaan
kewajibannya sebagai warga negara. Misalnya, warga negara berkewajiban membayar pajak
dan mengontrol jalannya pemerintahan baik melalui mekanisme kontrol tidak langsung
melalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (DPR, DPRD) maupun secara langsung
melalui cara-cara yang demokratis dan bertanggung jawab. Cara melakukan kontrol secara
langsung bisa dilakukan melalui, misalnya, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pers, atau
demonstrasi yang santun dan tidak mengganggu ketertiban umum. Pada saat yang sama,
dalam rangka menjamin hak-hak warga negara, negara harus menjamin keamanan dan
kenyamanan proses penyaluran aspirasi warga negara melalui penyediaan fasilitas-fasilitas
publik yang berfungsi sebagai wadah untuk mengontrol negara, selain memberikan pelayanan
publik yang profesional. 13
Di kalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi Negara adalah
suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat negara dengan otoritasnya
mengatur hubungan yang diperlukan antara masyarakat, sedangkan agama mempunyai
otoritas unuk megatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hubungan antara Agama dan Negara menimbulkan perdebatan yang terus
berkelanjutan dikalangan para ahli. Pada hakekatnya Negara merupakan suatu persekutuan
hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrati manusia sebagai mahluk individu dan
makhluk sosial oleh karena itu sifat dasar kodrat manusia tersebut merupakan sifat dasar
negara pula sehingga negara sebagai manifestasi kodrat manusia secara horizontal dalam
hubungan manusia dengan manusia lain untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian
negara mempunyai sebab akibat langsung dengan manusia karena manusia adalah pendiri
negara itu sendiri.
Berdasarkan uraian diatas konsep hubungan negara dan agama sangat ditentukan oleh
dasar ontologis manusia masing masing. Keyakinan manusia sangat mempengaruhi konsep
hubungan agama dan negara dalam kehidupan manusia berikut di uraikan beberapa
perbedaan konsep hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran atau paham antara
lain sebagai berikut:
1. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Teokrasi.
13 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, h. 93

9

Dalam paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua hal yang
tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan menurut paham
ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan segala tata kehidupan masyarakat bangsa
dan negara dilakukan atas titah Tuhan dengan demikian urusan kenegaraan atau politik dalam
paham teokrasi juga diyakinkan sebagai manifestasi Tuhan.  Sistem pemerintahan ini ada 2
yaitu teokrasi langsung dan tidak langsung. Sistem pemerintahan teokrasi langsung adalah
raja atau kepala negara memerintah sebagai jelmaan Tuhan adanya negara didunia ini adalah
atas kehendak Tuhan dan oleh karena itu yang memerintah Tuhan pula.sedangkan sistem
pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukan tuhan sendiri melainkan raja
atau kepala negara yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Raja atau kepala negara
memerintah atas kehendak Tuhan dengan demikian dapat dikatakan bahwa negara menyatu
dengan agama dan agama dengan negara tidak dapat dipisahkan.14
2. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Sekuler
Sekularisme adalah paradigma yang memandang agama perlu terpisah dari negara. Agama
dengan segala aliran dan Multi- tafsir nya adalah wilayah privat warga negara yang tak bisa
mengatur negara atau diatur negara. Agama sebagai jalan bagi manusia berhubungan
berhubungan dengan Tuhan tak bisa diatur oleh negara. Demikian sebaliknya agama tak bisa
mengatur atu mempengaruhi negara. Setelah dibanyak negara didapati pengalaman bahwa
agama mayoritas tak bisa menjadi perekat kesatuan bangsa. Sekularisme pada
perkembangannya merupakan awal dan dasar dari paham kebangsaan dari suatu negara.
Karena dari satu agama, agama apapun, selalu ada multi-tafsir dan multi-aliran. Sehingga tak
mungkin suatu hal yang multi-tafsir dan multi-aliran dijadikan dasar perekat kesatuan
bangsa.15
Sekularisme secara sederhana dapat didefinisikan sebagai doktrin yang menolak
campur tangan nilai-nilai keagamaan dalam urusan manusia, singkatnya urusan manusia
harus bebas dari agama atau dengan kata lain agama tidak boleh mengintervensi urusan
manusia. Segala tata-cara kehidupan antar manusia adalah menjadi hak manusia untuk
mengaturnya, Tuhan tidak boleh mengintervensinya. Pluralisme adalah sebuah paham yang
mendoktrinkan bahwa kebenaran itu bersifat banyak atau tidak tunggal. Ada Pluralisme
14

Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara,h. 76

15 John L.Esposito. Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern (Jakarta: Mizan,
2 0 0 2 ) , h . 1 2 8 . l e b i h j e l a s l i h a t N i y a z i B e r k e s . T h e D e v o l o p m e n t o f Sekularism in Turkey
(Montreal,1964), h. 5

10

dalam agama, hukum, moral, filsafat dan lain sebagainya, dalam kajian ini akan kita ambil
defenisi Pluralisme dalam agama yang sering disebut sebagai Pluralisme agama atau sering
kali disingkat sebagai Pluralisme saja.16
Jadi paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara dalam
negara sekuler tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama. Dalam paham ini
agama adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain atau urusan dunia, sedangkan
urusan agama adalah hubungan manusia dengan tuhan dua hal ini menurut paham sekuler
tidak dapat dipersatukan meskipun memisahkan antara agama dan negara lazimnya Negara
sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini
tapi negara tidak ikut campur tangan dalam urusan agama.
3. Hubungan Agama dan Negara Menurut Paham Komunisme
Paham komunisme ini memandang hakekat hubungan agama dan negara berdasarkan
filosofi dialektis dan materialisme historis paham ini menimbulkan paham Atheis (tak
bertuhan) yang dipelopori Karl Marx menurutnya manusia ditentukan oleh dirinya, agama
dalam hal ini dianggap suatu kesadaran diri bagi manusia sebelum menemukan dirinya
sendiri. Manusia adalah dunia manusia sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat
negara sedangkan agama dipandang sebagai realisasi fantastis mahluk manusia dan agama
adalah keluhan mahluk tertindas. Oleh karena itu agama harus ditekan dan dilarang nilai
yang tertinggi dalam negara adalah materi karena manusia sendiri pada hakikatnya adalah
materi.17
4. Hubungan Agama dan Negara Menurut Islam
Tentang hubungan agama dan negara dalam Islam adalah agama yang paripurna yang
mencakup segala-galanya termasuk masalah negara oleh karena itu agama tidak dapat
dipisahkan dari negara dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya. Aliran kedua
mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara karena Islam tidak mengatur
kehidupan bernegara atau pemerintahan menurut aliran ini Nabi Muhammad tidak
mempunyai misi untuk mendirikan negara. Aliran ketiga berpendapat bahwa islam tidak
mencakup segala-galanya tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang
kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara.

16 Muhammad al-Naquib al-Attas. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi dan
H.M.Mukhtar Zoemi.(Surabaya: Bina Ilmu, 1986), h. 14
17 Lihat Karl Heinrich Marx, Contributon to the Critique of Hegel?s Philosophi of Right, dalam On
Religion, (1957), h. 41 - 42

11

Sementara itu “Hussein Mohammad” menyebutkan bahwa dalam Islam ada dua
model hubungan agama dan negara, yaitu:
a.   Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas dimana agama
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan keduanya merupakan dua
lembaga yang menyatu.
b.  Hubungan simbiosis mutualistik bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang
saling membutuhkan sebab tanpa agama akan terjadi kekacauan dan moral dalam
negara.18
Menurut Ibnu Taimiyah (Tokoh Sunni Salafi) berpendapat bahwa agama dan negara
benar benar berkelindahan tanpa kekuasaan negara yang bersifat memaksa agama berada
dalam bahaya sementara itu tanpa disiplin hukum wahyu pasti menjadi sebuah organisasi
yang tiranik. Imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Iqtishad fil I'tiqad halaman 199 berkata:
Karena itu, dikatakanlah bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar.Dikatakan
pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalahpenjaganya. Segala sesuatu
yang tidak berpondasi niscaya akan roboh dan segalasesuatu yang yang tidak berpenjaga
niscaya akan hilang lenyap. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa, juz 28 halaman 394
telah menyatakan: Jika kekuasaan terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari
kekuasaan,niscaya keadaan manusia akan rusak.19
Mengingat kompleksitas politis dan historis negara bangsa Indonesia sejauh
menyangkut kehidupan agama dan umat beragama dan juga political and social
repercussions yang biasa muncul pada masa sekarang ini dalam masa masa transisi
mendatang maka jelas masih sangat sulit mencari format yang tepat dan accep table bagi
banyak pihak dalam “reposisi” hubungan agama dan negara.
Akan tetapi satu hal sangat jelas bahwa akan sulit dibayangkan jika reposisi itu
dimaksudkan untuk menyisihkan begitu saja peran pemerintah dalam mengatur kehidupan
warga negara termasuk dalam kehidupan beragama, khususnya dalam aspek administrasi
keagamaan bukan aspek teologis masing masing agama dan akan lebih sulit lagi jika reposisi
itu dimaksudkan untuk memisahkan agama dan negara melalui pemisahan kedap air
18

Lihat dalam M. Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam, (Cet.I; Jakarta: Tranmisi Media, 2012),
h. 109-111

19 Ahmad al-Qashash, “Falsafah Al-Nahdhah” Usus al-Nahdhah Al-Rasyidin (Beirut: Darul
Ummah, t.th.), h. 137-138

12

(Waterlight separation) dengan kata lain mengubah Indonesia menjadi negara sekuler
setidaknya sebagian besar umat islam belum siap untuk menerima perubahan itu.20
Islam, menurut pandangan mayoritas ulama Muslim bukan hanya agama, tapi juga
kebudayaan. Sebagai tata kebudayaan ia membentuk masyarakat, pemerintahan, perundangundangan, dan lembaga-lembaga yang ada, terutama pembentukan negara dengan rakyat dan
wilayahnya. Dengan kata lain, islam itu meliputi berbagai aspek kehidupan, seperti sistem
politik, ekonomi, etika dan kemasyarakatan. Kalau ia hanya tata agama, ia tidak akan
membentuk masyarakat dan negara seperti yang ada di Madinah.
Fakta tersebut tidak saja menjadi keyakinan sebagian besar ulama Islam, tetapi juga
diakui oleh banyak orang Barat dan kaum orientalis, sebagaimana diutarakan oleh Dhia’ alDin Rais, yang diantara mereka adalah:
1. Dr. Firt Grald berpendapat, bahwa Islam bukan sekedar agama, melainkan juga sebuah
tatanan politikyang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
2. Dr. C. A. Nollino berpendapat, bahwa pada saat yang sama Muhammad sekaligus
memberikan agama dan negara, sedangkan peraturan-peraturan negaranya selalu tepat
sepanjang hidupnya.
3. Dr. Schatt berkata, Islam lebih sekedar agama, ia juga menjabarkan hukum dan politik.
4. Dr. Thomas Arnold berkata, Nabi SAW., seorang kepala agama dan kepala Negara.21
Dari paparan di atas, terlihat jelas bahwa integritas masyarakat Islam (umat) yang
didirikan dan dibina oleh Nabi SAW., menampakkan keterikatan antara negara dan agama.
Argumen ini, dikuatkan lagi oleh penuturan Nurcholish Madjid sebagai dikutip oleh Musdah
Mulia, bahwa salah satu karakteristik agama islam pada masa-masa awal penampilannya
ialah kejayaan dibidang politik. Kenyataan itu menjadi dasar bagi adanya pandangan yang
merata di kalangan para ahli dan awam., baik muslim maupun non muslim, seperti telah
diuraikan dahulu, bahwa islam adalah agama yang terkait erat dengan persoalan kenegaraan.
Bahkan disinyalir sesudah kaum muslimin berkenalan dengan Aryanisme Persia muncul

20 e-miktaohben.blogspot.com/2011/03/hubungan-agama-dengan-negara.html, (diakses Kamis
tanggal 18 Desember 2014 pukul: 13.39 WIB)
21

Lihat dalam Ahmad al-Qashash, “Falsafah Al-Nahdhah” Usus al-Nahdhah Al-Rasyidin, h.
147

13

ungkapan bahwa “islam adalah agama dan negara” (al-Islam Din wa dawlah) yang
mengindikasikanpertautan antara agama dan negara.22
Menurut Azyumardi Azra dalam bukunya “ Reposisi Hubungan Agama dan Negara”
bahwa hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
(3) pandangan: Integralistik, Simbiotik, dan Sekularistik.23
1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam.
Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated).
Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan
sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal
pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).
Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini kemudian
melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan kenegaraan diatur
dengan menggunakan hukum dan prinsip keagamaan. Dari sinilah kemudian paradigma
integralistik identik dengan paham Islam ad-Din wa dawlah (islam sebagai agama dan
negara), yang sumber hukum positifnya adalah hukum islam (syariat Islam). Paradigma
integralistik ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Arabia dan penganut paham
Syi’ah di Iran. Kelompok pecinta Ali ra. Ini menggunakan istilah Imamah sebagaimana
dimaksud dengan istilah dawlah yang banyak di rujuk kalangan Sunni.
2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling
membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam pandangan ini, agama
membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama.
Begitu pula sebaliknya, negara juga memerlukan agama sebagai sumber moral, etika, dan
spiritualitas warga negaranya.
Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimiyah
tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah mengatakan
bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama
22 M. Sidi Ritaudin, Etika Politik Islam, (Cet.I; Jakarta: Tranmisi Media, 2012) h. 109-111
23

Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, h. 72-73

14

yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa berdiri tegak.
Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara agama dan negara merupakan
dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang
berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social contract),
tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi
kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan kepada
kelompok paradigma ini.
3. Paradigma Sekularistik
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa terjadi pemisahan yang jelas antara agama
dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain
memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh
satu sama lain melakukan intervensi. Negara urusan publik, sementara agama merupakan
wilayah pribadi masing-masing warga negara.
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku
adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract yang tidak
terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep sekularistik dapat ditelusuri pada
pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam sejarah kenabian Rasulullah
SAW.pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muhammad untuk mendirikan negara islam.
Negara Turki dapat digolongkan ke dalam paradigma ini.24
Ketiga paradigma di atas, meskipun tidak persis sama, tapi hampir mirip dengan
pendekatan trikotomi yang ditawarkan oleh Bahtiar Effendy dalam menafsirkan Islam politik
di Indonesia sebagai tinjauan teoritisnya, yaitu pendekatan kelompok fundamentalis,
reformis, dan akomodasionis. Kelompok fundamentalis menentang pemikiran sekuler,
pengaruh Barat dan Sinkritisme kepercayaan tradisional dan menekankan keutamaan agama
atas politik. Kelompok reformis juga menekankan keutamaan agama atas politik, tapi mau
bekerja sama dengan kelompok-kelompok sekuler atas landasan yang sama-sama disepakati.
Kelompok pertama menempati paradigma integralistik dan kelompok kedua mengakses
paradigma simbiotik. Sedangkan kelompok akomodasionis tentu tidak bisa serta merta
24 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, (ICCE UIN Syarif Hidayatulla: Jakarta, Edisi ke-3, 2008), h. 96-97

15

disamakan dengan sekuler, karena sifat dasar dari akomodatifnya kelompok ini demi
persatuan dan kesatuan umat serta berpegang pada kepentingan islam secara keseluruhan.
Terlepas dari pendekatan mengenai paradigma di atas, yang jelas yang sudah
mengkristal di kalangan muslim bahwa konsep umat sangat menekankan agar menjaga
kesatuan organis dan kohesi psikologis tatanan sosial universal tidak partularistik. Al-Qur’an
dengan lantang menegaskan bahwa semua berasal dari Yang Satu, dijadikan bersuku-suku
dan berbangsa-bangsa agar bersaudara dan saling tolong-menolong satu sama lainnya.
Universalitas ini tidak dapat dibatasi kasta, kelas atau warna kulit bahkan wilayah dalam arti
pelaksanaan syariat islam. Dengan demikian, pemaknaan umat lebih bersifat pluralistik.

III. KESIMPULAN
1. Agama adalah percaya akan adanya Tuhan Yang Esa serta mentaati hukum-hukum yang di
wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan di akhirat. Sedang Negara adalah sebagai organisasi tertinggi di antara satu
kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu
kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
2. Ada beberapa paham yang memberikan konsep tentang hubungan Negara dan Agama,
diantaranya; a) paham teokrasi hubungan agama dan negara digambarkan sebagai dua
hal yang tidak dapat dipisahkan, negara menyatu dengan agama karena pemerintahan
menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman- firman Tuhan. b) paham sekular
memandang agama perlu terpisah dari Negara, c) paham komunisme memandang
hakekat hubungan agama dan negara berdasarkan filosofi dialektis, materialism, dan
historis. Paham ini menimbulkan paham Atheis (tak bertuhan), d) hubungan agama dan
negara dalam pandangan Islam bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari negara dan
urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya.

16

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed al-Na’im, Abdullah, Islam dan Negara Sekuler, Menegosiasikan Masa Depan Syriah,
Cet.I; Bandung: Mizan, 2007
Al-Attas, Muhammad al-Naquib. Dilema Kaum Muslimin, terj. Anwar Wahdi Hasi
dan H.M.Mukhtar Zoemi.Surabaya: Bina Ilmu, 1986
Al- Qashash, Ahmad, “Falsafah Al-Nahdhah” Usus al-Nahdhah Al-Rasyidin Beirut: Darul
Ummah, t.th.
Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2002
Azra, Waqiatul, Buku Ajar Civic Education, Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006
A. Ubaedillah dan Abdul Rozak dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatulla, Edisi ke-3, 2008
B er ke s , N i ya z i, T he D ev ol op m e n t o f Sekularism in Turkey , Montreal,1964
John Esposito, Islam and Development ; Religion and Sociopolitical Change.

17

-------------------, Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Jakarta: Mizan, 20 02
J.B. Hari Kustanto, Sekularisasi; Sitensilan Sosiologi Agama. Jakarta: STF Driyarkara, 2009
K. Sukardji, Agama-agama yang Berkembang di Dunia dan Pemeluknya, Bandung:
Angkasa, 1993
Marx, Karl Heinrich, Contributon to the Critique of Hegel?s Philosophi of Right, dalam On
Religion, 1957
Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa; Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20,
Cet.I; Bandung: Mizan, 2005
--------------, Dialektika Islam; Tafsir Sosiologis atas Sekularisme dan Islamisasi di Indonesia
Cet.I; Yogyakarta: Jalasutra, 2007
Nata, Abuddin Nata (edt). Problematika Politik Islam di Indonesia, Jakarta:Grasindo, 2002
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung: PT. Mizan Pustaka,
2004
Ritaudin, M. Sidi, Etika Politik Islam, Cet.I; Jakarta: Tranmisi Media, 2012
Zainuddin, A. Rahman. Indentitas Islam pada Perubahan Sosial Politik Cet.I; Jakarta: Bulan
Bintang, 1989
e-miktaohben.blogspot.com/2011/03/hubungan-agama-dengan-negara.html, (diakses Kamis
tanggal 18 Desember 2014 pukul: 13.39 WIB)