Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alokasi Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagaivariabel Moderasi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan pada Penganggaran Sektor Publik (Eksekutif, Legislatif,
dan Publik)
Eisenhardt (1989) menjelaskan bahwa Teori Keagenan memperluas kajian
mangenai pembagian risiko yang mencakup masalah keagenan bilamana terjadi
ketika kerja sama antara beberapa pihak memiliki tujuan dan pembagian kerja yang
berbeda. Secara khusus, teori keagenan diarahkan pada hubungan keagenan yang
terjadi di berbagai bidang usaha, di mana salah satu pihak (prinsipal) mendelegasikan
pekerjaan kepada pihak lain (agen), untuk melakukan pekerjaan itu. Teori Keagenan
mencoba untuk menggambarkan hubungan ini menggunakan perumpaan seperti
sebuah kontrak.
Teori Keagenan juga dimaksudkan untuk menyelesaikan dua masalah yang
mungkin terjadi dalam hubungan kerja pihak yang melakukan perjanjian/kontrak.
Masalah pertama dalam hubungan keagenan timbul ketika: (a) terjadi konflik antar
keinginan prinsipal dan agen, (b) terhadap hambatan bagi principal untuk
memverifikasi/mengawasi pelaksanaan kerja agen. Masalahnya disini adalah bahwa
prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah bekerja secara benar. Kedua
adalah masalah pembagian risiko yang muncul ketika prinsipal dan agen memiliki
sikap yang berbeda terhadap risiko. Masalahnya disini adalah bahwa prinsipal dan


13

13

14

agen dapat memilih tindakan yang berbeda karena perbedaan prioritas dalam
menghadapi risiko.
Fozzard (2001) menguraikan bahwa Teori Keagenan dalam hubungan antara
legislatif dan eksekutif, maka legislatif bertindak sebagai prinsipal dan eksekutif
bertindak sebagai agen. Secara umum dalam penganggaran sektor publik, baik agen
dan prinsipal diasumsikan akan mengoptimalkan kepentingan diri sendiri.
Ini

dapat

disimpulkan,

bahwa


kepentingan

mereka

kerap

menyimpang.

Dalam hal ini, agen akan mengejar kepentingan mereka sendiri secara agresif dan
oportunis. Agen dapat mengingkari komitmen mereka, dan memanipulasi aturan main
jika dengan melakukan hal itu mereka dapat menempatkan kepentingannya. Agen
dapat melakukan hal ini karena mereka memilik informasi yang lebih baik dari pada
prinsipal mengenai kondisi penawaran dan permintaan untuk layanan yang mereka
berikan dan prinsipal tidak dapat mengamati kegiatan agen secara langsung. Dengan
demikian, maka hal ini akan berbeda jauh dengan pendekatan administrasi, rasionalis
dan bertingkat yang berasumsi bahwa kontrak anggaran akan diberlakukan dengan
mentransfer alokasi ke dalam bentuk outcome setelah keputusan telah diambil.
Von Hagen (2003) menjelaskan bahwa Teori Keagenan dalam hubungan
antara publik (masyarakat) dan legislatif, maka publik bertindak sebagai prinsipal dan

legislatif bertindak sebagai agen. Dalam pemilihan legislatif, publik akan memilih
politisi berdasarkan informasi yang diperoleh publik mengenai kinerjanya di masa
lalu. Publik akan melakukan prosedur untuk memegang pembuat kebijakan (politisi)
yang bertanggung jawab atas tindakan mereka dalam bentuk incomplete contract
antara publik dan legislatif yang mewakili mereka. Ketika legislatif kemudian terlibat

15

dalam pembuatan keputusan atas pengalokasian belanja dalam anggaran, maka
mereka

diharapkan

mewakili

kepentingan

atau

preferensi


prinsipal

atau

pemilihnya. Namun pada kenyataannya legislatif sebagai agen bagi publik tidak
selalu memiliki kepentingan yang sama dengan publik.
Lupia dan McCubbins (2000) menjelaskan bahwa pendelegasian memiliki
konsekuensi tidak terkontrolnya keputusan agen oleh prinsipal dalam hubungan
legislatif-publik. Mereka menyebutkan abdikasi (abdication), yakni adanya kondisi
dimana

agen

tidak

dipagari

dengan


aturan

bagaimana

tindakan

mereka

berpengaruh terhadap kepentingan prinsipal. Dalam hal ini pemilih publik
diasumsikan sebagai pihak yang tidak peduli atau tidak berkeinginan untuk
mempengaruhi perwakilan (anggota legislatif) yang mereka pilih.
Kedudukan legislatif atau parlemen sebagai agen dalam hubungannya
dengan publik menunjukkan bahwa legislatif memiliki masalah keagenan karena
akan berusaha untuk memaksimalkan kepentingannya sendiri (self-interest) dalam
pembuatan keputusan yang terkait dengan publik. Persoalan abdication menjadi
semakin nyata ketika publik tidak memiliki sarana atau institusi formal untuk
mengawasi kinerja legislatif, sehingga perilaku moral hazard legislatif dapat terjadi
dengan mudah.

2.1.2 Pengelolaan Belanja Publik

Permasalahan mendasar yang sering kali menjadi pangkal masalah utama
dalam pengalokasian anggaran sektor publik adalah adanya keterbatasan sumber daya

16

daerah yang berupa pendapatan daerah dan pembiayaan. Untuk mengatasi
permasalahan keterbatasan anggaran, terdapat berbagai teori tentang teknik dan prinsip
untuk mengatasinya yang dijabarkan dalam public expenditure management (Fozzard
2001) yaitu :
1.

Barang Publik dan Alasan untuk Intervensi Publik
Teori ini berfokus pada keunggulan komparatif dari negara di bidang ekonomi
dengan mengidentifikasi alasan yang mendasari untuk intervensi publik melalui
analisis kondisi pasokan dan permintaan barang publik dan swasta.

2.

Utilitas Marjinal dan Efektivitas Biaya
Teori ini berusaha untuk memprioritaskan implementasi alternatif dana publik

dengan menerapkan prinsip utilitas marjinal menggunakan ukuran efektivitas
biaya.

3.

Efisiensi dalam Alokasi dan Analisis Biaya Manfaat
Teori ini untuk memperluas dan merangkul maksimalisasi utilitas melalui
penilaian terhadap manfaat sosial bersih dari belanja publik dengan menggunakan
analisis biaya manfaat.

4.

Preferensi Publik dan Pengambilan Keputusan Kolektif
Teori ini mengakui keunggulan warga dalam preferensi belanja dan berusaha
untuk mengembangkan mekanisme pengambilan keputusan kolektif sehingga ini
dapat dikomunikasikan kepada para pengambil keputusan.

17

5.


Ekuitas, Kejadian dan Sasaran
Teori ini menganggap bahwa masalah mendasar dalam penganggaran dapat
dilihat sebagai masalah redistribusi sumber daya dalam rangka mengatasi
keadilan sosial dan keprihatinan atas kemiskinan.

2.1.3 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Sesuai undang-undang nomor 33 tahun 2004, perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah mencakup pembagian keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan
transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Pada
dasarnya pemerintah menjalankan tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi
stabilisasi, dan fungsi alokasi. Untuk efisiensi dan efektivitas maka fungsi distribusi
dan fungsi stabilisasi dilaksanakan oleh pemerintah pusat, sedangkan fungsi alokasi
oleh pemerintah daerah dengan pertimbangan bahwa pemerintah daerah lebih
mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.
Melalui pembagian ketiga fungsi dimaksud menjadi titik tolak dalam
penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
Daerah. Terkait penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan pemerintahan kepada
daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan,

pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendanaan tersebut

18

menganut prinsip money follows function, yang mengandung makna bahwa pendanaan
mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing tingkat pemerintahan.
Implikasi pelaksanaan otonom daerah, penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan tersebut dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas. Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien
dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya pendanaan
pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan penyelenggaraan
pemerintahan. Pembagian pendanaan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan
pembagian kewenangan sehingga yang merupakan kewenangan pemerintah daerah
dibiayai dari APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dibiayai dari APBN. Untuk sumber-sumber
pendanaan pelaksanaan pemerintahan daerah berasal dari pendapatan daerah dan
pembiayaan.

2.1.4 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Sebagai konsekuensi dari penyerahan, pelimpahan, dan penugasan urusan
pemerintahan kepada daerah secara nyata dan bertanggung jawab harus diikuti adanya
dukungan anggaran. Hal ini guna mendukung pengelolaan anggaran yang akuntabel
dan transparan di pemerintah daerah. Anggaran ini memberi gambaran tentang
pengalokasian dan sumber daya yang dimiliki suatu organisasi dalam jangka waktu
tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Anggaran sektor publik

19

yang dipresentasikan dalam APBD menggambarkan tentang rencana keuangan di
masa datang mengenai jumlah pendapatan, belanja, surplus/defisit, pembiayaan,
serta program kerja dan aktivitas yang akan dilakukan (Mahmudi, 2011).
Menurut Halim (2007) Pengurusan keuangan pada pemerintah daerah terbagi
atas pengaturan umum dan pengaturan khusus. Untuk pengurusan umum, pemerintah
daerah memiliki APBD, sedangkan untuk pengurusan khusus yaitu kekayaan milik
daerah yang dipisahkan maka pengelolaannya dipisahkan dari pemerintah daerah.
Sesuai undang-undang nomor 33 tahun 2004, “APBD merupakan rencana keuangan
tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah
daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan
Daerah”. APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan

kemampuan Keuangan Daerah. APBD merupakan pedoman sekaligus tolok ukur
dalam pengelolaan keuangan oleh pemerintahan daerah dalam periode satu tahun
anggaran. Melalui APBD pemerintah daerah diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
sekaligus meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

2.1.5 Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBD merupakan hasil pembahasan antara pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Merujuk kepada undang-undang nomor 17 tahun
2003, konsep pengganggaran yang berlaku dalam penyusunan anggaran di Indonesia
adalah penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting). Dalam konsep
penganggaran berbasis kinerja terdapat perpaduan antara perencanaan kinerja dengan

20

anggaran tahunan sehingga akan terlihat adanya keterkaitan antara dana yang tersedia
dengan hasil yang diharapkan. Menurut Mardiasmo (2002) proses penyusunan
anggaran mempunyai empat tujuan, yaitu:
1.

Membantu pemerintah mencapai tujuan fiskal dan meningkatkan koordinasi
antar bagian dalam lingkungan pemerintah.

2.

Membantu menciptakan efisiensi dan keadilan dalam menyediakan barang dan
jasa publik dalam pemprioritasan.

3.

Memungkinkan bagi pemerintah untuk memenuhi prioritas belanja.

4.

Meningkatkan transparansi dan pertanggungjawaban pemerintah kepada
perwakilan rakyat dan masyarakat luas.
Sebagai titik awal proses penyusunan APBD, Kepala daerah menetapkan

prioritas dan plafon anggaran sebagai dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran
satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Penetapan prioritas dan plafon anggaran ini
menjadi dasar bagi SKPD untuk menyusun rencana kerja dan anggaran (RKA)
SKPD. Selanjutnya RKA SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan
daerah sebagai bahan penyusunan rancangan peraturan daerah (Perda) tentang APBD.
Rancangan Perda tentang APBD yang telah disusun dan disertai dengan
dokumen-dokumen pendukungnya diserahkan oleh Kepala daerah kepada DPRD
untuk dibahas dan selanjutnya disetujui untuk menjadi Perda tentang APBD. Dalam
pembahasan rancangan Perda APBD, pedoman yang digunakan adalah berdasarkan
kebijakan umum APBD, serta prioritas dan plafon anggaran. Tenggat waktu
Pengambilan keputusan DPRD untuk menyetujui rancangan Perda tentang APBD
dilakukan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan.

21

Persetujuan DPRD terhadap Perda tentang APBD menjadi dasar bagi Kepala daerah
untuk menyiapkan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dan
rancangan dokumen pelaksanaan anggaran SKPD.

2.1.6 Pendapatan Asli Daerah

Dalam undang-undang Nomor 33 tahun 2004 diuraikan bahwa “Pendapatan
Asli Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan
peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” PAD secara
inovatif dikembangkan untuk memaksimalkan penerimaan daerah berdasarkan
potensi ekonomi di daerah sehingga mengurangi ketergantungan fiskal kepada
pemerintah pusat sekaligus meningkatkan kemandirian yang hasilnya dapat
mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat.
Kelompok PAD dipisahkan menjadi empat jenis (UU No. 33 tahun 2004),
yaitu :
1.

Pajak Daerah
Menurut undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, “pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pajak daerah turut berkontribusi dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.

22

Jenis-jenis pajak daerah yang dapat dipungut oleh kabupaten dan kota adalah :
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

2.

Retribusi Daerah
Menurut undang-undang nomor 28 tahun 2009, “retribusi daerah adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
pribadi atau badan.”
Objek retribusi daerah dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni retribusi
jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perizinan tertentu.

23

3.

Hasil Pengelolaan kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan
daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan. Penerimaan ini antara lain dari Bank Pembangunan
Daerah, perusahaan daerah, dividen Bank Pekreditan Rakyat/Badan Kredit
Kecamatan dan penyertaan modal daerah kepada pihak ketiga.

4.

Lain-Lain PAD yang Sah
Lain-Lain PAD yang Sah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lainlain milik pemerintah daerah. Penerimaan ini antara lain berasal dari hasil
penjualan barang milik daerah, penerimaan jasa giro, pendapatan bunga;
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi,
potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan
barang dan/atau jasa oleh daerah.
PAD yang semakin meningkat diharapkan mampu berkorelasi positif dan

signifikan terhadap kemampuan daerah untuk meningkatkan porsi belanja modal.
Realisasi belanja modal yang berupa aset tetap infrastruktur penunjang seperti: jalan,
jembatan dan irigasi, akan mendorong produktivitas masyarakat. Jumlah PAD yang
memadai juga akan mendorong inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya adalah adanya
peningkatan pendapatan daerah dari pemberian layanan tersebut.
Untuk pelaporan PAD dalam sistem akuntansi pemerintahan, pemerintah
daerah mengakui PAD dengan basis akrual pada Laporan Operasional (LO).

24

Sedangkan pengakuan PAD pada Laporan Realisasi Anggaran (LRA) masih
menggunakan basis kas. Untuk pengukuran besarnya PAD, baik dalam LO maupun
LRA masih menggunakan azas bruto yaitu dengan membukukan pendapatan bruto,
dan tidak mencatat jumlah netonya (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 64 tahun
2013).

2.1.7 Dana Alokasi Umum

Kemampuan fiskal masing-masing daerah di Indonesia sangat bervariatif.
Sumber-sumber penerimaan daerah yang beragam sebagai akibat dari perbedaaan
potensi daerah yang tercermin dari kondisi geografis dan kekayaan alam, merupakan
salah satu faktor yang menyebabkan keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan fiskal
(fiscal need).
Dalam rangka mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah serta antar-pemerintah daerah, pemerintah pusat mengalokasikan
sejumlah dana dari APBN sebagai dana perimbangan (UU No. 33 tahun 2004).
Dana perimbangan terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus
(DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Menurut Henley et al dalam Mardiasmo (2002)
mengidentifikasi beberapa tujuan pemerintah pusat memberikan dana bantuan dalam
bentuk grant kepada pemerintah daerah yaitu :
1.

Untuk mendorong terciptanya keadilan antar wilayah (geographical equity).

2.

Untuk meningkatkan akuntabilitas (promote accountability).

25

3.

Untuk meningkatkan sistem pajak yang progresif. Pajak daerah cenderung
kurang progresif, membebani tarif pajak yang tinggi kepada masyarakat yang
berpenghasilan rendah.

4.

Untuk meningkatkan keberterimaan (acceptability) pajak daerah. Pemerintah
pusat mensubsidi beberapa pengeluaran pemerintah daerah untuk mengurangi
jumlah pajak daerah.
DAU merupakan upaya pemerintah guna menjamin penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Alokasi DAU untuk masing-masing daerah melalui penerapan
formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. DAU suatu Daerah
ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan
selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).
Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil
akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi
fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif
besar. Berdasarkan prinsip ini maka dapat disimpulkan bahwa DAU berfungsi
sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh
enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN
(UU No. 33 tahun 2004). Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota
ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Perhitungan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik
pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang
dapat

dipertanggungjawabkan. Pemerintah pusat

merumuskan

formula

dan

26

penghitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas
memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil
penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
Dalam penghitungan DAU, rumus yang digunakan adalah selisih antara
kebutuhan fiskal (fiscal needs) dikurangi dengan kapasitas fiskal (fiscal capacity)
daerah dan Alokasi Dasar (AD) berupa jumlah gaji PNS daerah, yaitu:
DAU = Alokasi Dasar (AD) + Celah Fiscal (CF)
Dimana : AD
CF

= Gaji PNS Daerah
= Kebutuhan Fiskal - Kapasitas Fiskal

Komponen variabel kebutuhan fiskal (fiscal needs) yang digunakan untuk
pendekatan perhitungan kebutuhan daerah terdiri dari : jumlah penduduk, luas
wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK),
dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita. Komponen variabel
kapasitas fiskal (fiscal capacity) yang merupakan sumber pendanaan daerah yang
berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Besaran Alokasi Dasar dihitung berdasarkan realisasi gaji Pegawai Negeri
Sipil Daerah tahun sebelumnya (t-1) yang meliputi gaji pokok dan tunjangantunjangan yang melekat sesuai dengan peraturan penggajian PNS yang berlaku.
Untuk mendapatkan alokasi berdasar celah fiskal suatu daerah dihitung dengan
mengalikan bobot celah fiskal daerah bersangkutan (CF daerah dibagi dengan total

27

CF nasional) dengan alokasi DAU CF nasional. Untuk CF suatu daerah dihitung
berdasarkan selisih antara KbF dengan KpF, sebagai berikut :
KbF = TBR (α1IP + α2IW + α3IPM + α4IKK + α5IPDRB/kap)
Dimana : KbF

= Kebutuhan Fiskal

TBR

= Total Belanja Rata-rata APBD

IP

= Indeks Jumlah Penduduk

IW

= Indeks Luas Wilayah

IPM

= Indeks Pembangunan Manusia

IKK

= Indeks Kemahalan Konstruksi

IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto
per kapita
α

= Bobot Indeks

KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
Dimana : KpF

= Kapasitas Fiskal

PAD

= Pendapatan Asli Daerah

DBH Pajak

= Pajak Bumi dan Bangunan

DBH SDA

= Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
Sumber Daya Alam

28

DAU yang diberikan oleh pemerintah pusat bersifat block grant, artinya
peruntukan DAU merupakan kewenangan penuh dari pemerintah daerah. Fleksibilitas
penggunaan DAU ini menjadi salah satu alternatif sumber pembiayaan untuk belanja
modal. DAU yang semakin meningkat akan memberi peluang yang lebih besar guna
peningkatan alokasi belanja modal.
Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 64 tahun 2013, DAU yang
merupakan bagian dari dana transfer masuk dalam pengelolaan keuangan di daerah,
diakui dalam LO pada saat diterimanya PMK/Peraturan Menteri Keuangan/Peraturan
Presiden. Sedangkan pengakuan pada LRA pada saat DAU diterima di Rekening Kas
Umum Daerah (RKUD). Pada kelompok pendapatan di LO, DAU masuk kelompok
pendapatan transfer. DAU termasuk DAU dinilai berdasarkan azas bruto.

2.1.8 Dana Alokasi Khusus

Varian lain dari dana perimbangan yang dialokasikan oleh pemerintah pusat ke
daerah adalah DAK. Pemberian DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai
kegiatan-kegiatan khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana
pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk
mendorong percepatan pembangunan Daerah. Pemberian DAK juga merupakan salah
satu kebijakan afirmasi pemerintah pusat untuk membantu daerah tertinggal dan
perbatasan dalam mengejar ketertinggalan pembangunan di bidang infrastruktur dasar.

29

Menurut undang-undang nomor 33 tahun 2004, “DAK adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan
tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan
sesuai dengan prioritas nasional.” Besaran DAK untuk masing-masing daerah
ditetapkan setiap tahun dalam APBN.
Dalam rangka pencairan DAK, daerah penerima DAK wajib menyediakan
dana pendamping sekurang-kurangnya 10% dari nilai DAK yang diterimanya untuk
mendanai kegiatan fisik. Dana Pendamping tersebut wajib dianggarkan dalam APBD
tahun anggaran berjalan. Untuk mengalokasikan DAK ke masing-masing daerah,
pemerintah pusat menetapkan beberapa kriteria (Peraturan Pemerintah nomor 55 tahun
2005) yaitu :
1.

Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang
tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri
Sipil Daerah (PNSD).

2.

Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah.

3.

Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat
menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis
pelaksanaan kegiatan DAK di daerah.
Alokasi DAK yang telah ditetapkan dalam APBD, secara spesifik telah

ditentukan bidang-bidang yang dapat dibiayai dari DAK yang meliputi :
1.

Bidang Pendidikan.

2.

Bidang Kesehatan.

30

3.

Bidang Keluarga Berencana.

4.

Bidang Infrastruktur Jalan dan Jembatan.

5.

Bidang Infrastruktur Irigasi.

6.

Bidang Infrastruktur Air Minum dan Sanitasi.

7.

Bidang Pertanian.

8.

Bidang Kelautan dan Perikanan.

9.

Bidang Prasarana Pemerintahan Daerah.

10. Bidang Lingkungan Hidup.
11. Bidang Kehutanan.
12. Bidang Sarana dan Prasarana Perdesaan.
13. Bidang Perdagangan.
Untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas pengelolaan DAK, dalam
sistem akuntansi pemerintahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah pencatatan
DAK termasuk ke dalam kelompok dana transfer masuk. DAK dicatat dalam LO pada
saat diterimanya PMK/Peraturan Menteri Keuangan/Peraturan Presiden. Sedangkan
pengakuan pada LRA pada saat DAK diterima di Rekening Kas Umum Daerah
(RKUD). Dalam pengelompokan pendapatan pada LO, DAK termasuk kategori
pendapatan transfer. DAK dinilai berdasarkan azas bruto (Peraturan Menteri Dalam
Negeri nomor 64 tahun 2013).

2.1.9 Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
SiLPA merupakan salah satu bagian dari sumber pembiayaan anggaran. SiLPA
adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode

31

anggaran. SiLPA diperoleh dari pelampauan penerimaan PAD, pelampauan
penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah
yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban
kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana
kegiatan lanjutan (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 13 tahun 2006).
Besaran SiLPA terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana
dalam realisasi APBD seluruh provinsi, kabupaten dan kota periode tahun 2012 telah
mencapai angka Rp97,1 triliun. SiLPA atau dana Idle dalam kondisi tertentu memang
diperlukan, antara lain untuk mengatur likuiditas keuangan pemerintah daerah,
utamanya di awal tahun. Namun dana SiLPA yang terlalu besar dapat menjadi
indikator pengelolaan dana publik oleh pemerintah daerah yang tidak optimal guna
pelayanan publik. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa SiLPA yang disimpan
dalam institusi perbankan juga memberikan sumbangan pada PAD berupa pendapatan
bunga. Namun perlu dikaji mengenai berapa besar manfaat yang hilang karena tidak
terealisasinya belanja dengan output pelayanan masyarakat sebagaimana tugas dan
fungsi pemerintah daerah (DJPK-Kemenkeu, 2013).
Jumlah SiLPA yang signifikan menjadi menjadi salah satu sumber pembiayaan
anggaran. Semakin besar SiLPA tahun lalu yang diperoleh, maka relaksasi pemerintah
daerah untuk menyusun APBD semakin besar sehingga diharapkan dapat memperbesar
alokasi belanja modal untuk mendorong pelayanan kepada masyarakat. Untuk
Akuntabilitas penggunaan SiLPA di pemerintah daerah, dapat dilihat melalui
pencatatannya pada LRA dan Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL).

32

Dalam LRA, SiLPA tahun lalu yang digunakan masuk dalam kategori penerimaan
pembiayaan (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 64 tahun 2013).

2.1.10 Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi mengulas pergerakan kondisi perekonomian dalam
periode. Keberlangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat memerlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan.
Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh beberapa aspek yang sangat dinamis
antara lain asumsi teknologi, jumlah angkatan kerja, cadangan modal, pertumbuhan
penduduk serta jumlah pengangguran (Supriana, 2013). Pertumbuhan ekonomi dapat
juga dilihat dari perubahan kapasitas pendapatan nasional. Pembangunan ekonomi
yang baik akan didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Menurut
Boediono (1985) pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita
sehingga apabila tingkat kegiatan ekonomi meningkat dari satu periode berikutnya,
berarti jumlah barang dan jasa yang dihasilkan bertambah besar pada tahun
berikutnya yang berarti bahwa produktivitas dari faktor-faktor yang dimasukkan
dalam produksi menyebabkan pertumbuhan ekonomi meningkat. Pengukuran
pertumbuhan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah di Indonesia menggunakan
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB/PDRB). Produk Domestik Regional
Bruto (PDRB) adalah salah satu indikator penting guna mengetahui sejauh mana
perkembangan kondisi ekonomi di suatu daerah dalam pada periode tertentu. PDRB
merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu

33

daerah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan
oleh seluruh unit ekonomi pada suatu daerah (Bank Indonesia).
PDRB dapat dihitung dengan menggunakan dasar harga berlaku atau atas dasar
konstan. PDRB harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga pada tahun berjalan, sedangkan PDRB atas dasar harga
konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung
menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar.
PDRB menurut harga berlaku digunakan untuk mengetahui kemampuan sumber daya
ekonomi, pergeseran, dan struktur ekonomi suatu daerah (BPS)
Pertumbuhan ekonomi ekonomi secara luas yang tercermin dalam PDRB
dapat dilihat dari 3 (tiga) macam pendekatan (BPS), yaitu :
1.

Pendekatan Produksi
PDRB adalah jumlah nilai tambah atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh
berbagai unit produksi di wilayah suatu negara dalam jangka waktu tertentu
(biasanya satu tahun). Unit-unit produksi tersebut dalam penyajian ini
dikelompokkan menjadi 9 lapangan usaha (sektor) yang meliputi :
a. Pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan.
b. Pertambangan dan penggalian.
c. Industri pengolahan.
d. Listrik, gas dan air bersih.
e. Konstruksi.
f. Perdagangan, hotel dan restoran.

34

g. Pengangkutan dan komunikasi
h. Keuangan, real estate dan jasa perusahaan.
i. Jasa-jasa termasuk jasa pelayanan pemerintah.
Setiap sektor tersebut dirinci lagi menjadi sub-sub sektor.
2.

Pendekatan Pendapatan
PDRB merupakan jumlah balas jasa yang diterima oleh faktor-faktor produksi
yang ikut serta dalam proses produksi di suatu negara dalam jangka waktu
tertentu (biasanya satu tahun). Balas jasa faktor produksi yang dimaksud adalah
upah dan gaji, sewa tanah, bunga modal dan keuntungan; semuanya sebelum
dipotong pajak penghasilan dan pajak langsung lainnya. Dalam definisi ini,
PDRB mencakup juga penyusutan dan pajak tidak langsung neto (pajak tak
langsung dikurangi subsidi).

3.

Pendekatan Pengeluaran
PDRB adalah semua komponen permintaan akhir yang terdiri dari :
a. Pengeluaran konsumsi rumah tangga dan lembaga swasta nirlaba.
b. Pengeluaran konsumsi pemerintah.
c. Pembentukan modal tetap domestik bruto.
d. Perubahan persediaan.
e. Ekspor neto (ekspor neto merupakan ekspor dikurangi impor).
Pendekatan produksi dan pendapatan adalah pendekatan dari sisi penawaran

agregrat, sedangkan pendekatan pengeluaran dari sisi permintaan agregrat. Secara

35

konsep ketiga pendekatan tersebut akan menghasilkan angka yang sama. Jadi, jumlah
pengeluaran akan sama dengan jumlah barang dan jasa akhir yang dihasilkan dan
harus sama pula dengan jumlah pendapatan untuk faktor-faktor produksi. PDRB yang
dihasilkan dengan cara ini disebut sebagai PDRB atas dasar harga pasar, karena di
dalamnya sudah dicakup pajak tak langsung neto.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan harapan dan
target pemerintah. Tumbuhnya akan menjadi indikator meningkatnya produktivitas
masyarakat sehingga turut mendukung kenaikan pendapatan masyarakat. Sesuai
dengan prinsip ekonomi, semakin bertambah pendapatan masyarakat maka akan
mendorong meningkatnya pengeluaran belanjanya. Imbas positif lain dari
meningkatnya produktivitas, pendapatan dan pengeluaran tersebut akan berkontribusi
kepada penerimaan pemerintah seperti: penerimaan pajak maupun non pajak. Bagi
pemerintah daerah, pertumbuhan ekonomi yang rendah akan mendorong pemerintah
daerah untuk meningkatkan alokasi belanja modal guna penyediaan sarana dan
prasarana infrastruktur yang penting dalam menunjang peningkatan produktivitas
masyarakat. Sarana dan prasarana yang memadai akan memudahkan masyarakat
mengakses faktor-faktor produksi. Dengan adanya kenaikan faktor-faktor produksi
akan memberikan kontribusi pada kenaikan output (Mankiw, 2006).
Namun sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat pemerintah
daerah memiliki ruang fiskal yang cukup untuk mengalokasikan belanja untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat berupa penguatan usaha masyarakat
berpendapatan rendah (dana bergulir), meningkatkan akses dan kualitas Pendidikan

36

(beasiswa, BOS, tunjangan guru), meningkatkan akses kualitas kesehatan
(obat-obatan), dll (Bappenas, 2012).

2.1.11 Belanja Modal
Pemerintah mengalokasikan belanja modal untuk membangun sarana dan
prasarana. Dalam implementasi belanja modal, pemerintah mengharapkan dapat
memberdayakan masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja, yang berarti
pengangguran akan menurun, lebih banyak orang yang bekerja dan memperoleh
penghasilan, yang selanjutnya diharapkan akan mempertinggi intensitas transaksi
berkaitan kegiatan ekonomi yang pada akhirnya akan menuju pada perbaikan
kesejahteraan masyarakat.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan nomor 91 tahun 2007, belanja modal
merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau
menambah aset tetap dan aset lainnya yang member manfaat lebih dari satu periode
akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang
ditetapkan pemerintah. Aset Tetap tersebut dipergunakan untuk operasional kegiatan
sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual. Aset tetap mempunyai ciri-ciri
berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, dan nilainya relatif material. Sedangkan ciri-ciri aset lainnya adalah tidak
berwujud, akan menambah aset pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari 1
(satu) tahun, dan nilainya relatif material.

37

Dalam APBD, belanja yang dialokasikan oleh pemerintah daerah tidak hanya
belanja modal. Untuk pengakuan suatu belanja dapat dikategorikan sebagai belanja
modal,

pemerintah

pusat

telah

menetapkan

Peraturan

Direktur

Jenderal

Perbendaharaan Nomor PER-33/PB/2008 yang menyatakan bahwa belanja modal
harus memenuhi beberapa kriteria yaitu :
1.

Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset
lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas.

2.

Pengeluaran tersebut melebih batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset
lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.

3.

Aset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual.
Untuk memudahkan penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban

APBD, belanja Modal dapat dikategorikan dalam 6 (enam) kategori utama
(PP 71 tahun 2010), yaitu :
1.

Belanja modal tanah

2.

Belanja modal peralatan dan mesin

3.

Belanja modal gedung dan bangunan

4.

Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan

5.

Belanja modal fisik lainnya

6.

Belanja modal konstruksi dalam pengerjaan
Belanja modal di atas diklasifikasikan berdasarkan kesamaan dalam sifat atau

fungsinya dalam aktivitas operasi masing-masing satuan kerja perangkat daerah.
Dalam implementasi akuntansi berbasis akrual di pemerintah daerah, realisasi atas

38

belanja modal akan dicatat pada LRA. Selanjutnya aset tetap sebagai hasil realisasi
belanja modal akan dicatat di neraca (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 64
tahun 2013).
2.2 Review Penelitian Terdahulu

Beberapa penelitian terdahulu yang dapat dijadikan dasar dan berkaitan
dalam melakukan penelitian ini sebagai berikut:
1.

Penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) menemukan
secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, Pendapatan

Asli

Daerah

dan Dana Alokasi Umum berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap
variabel

Belanja

Modal dengan objek penelitian APBD di

seluruh

Kabupaten/Kota Se Jawa dan Bali. Hasil pengujian terhadap hipotesishipotesis menunjukkan hasil perhitungan statistik uji F dengan hasil nilai
signifikan sebesar 0,01 berada di bawah 0,05 yang berarti secara simultan
seluruh variabel independen tersebut berpengaruh signifikan terhadap variabel
belanja modal. Pengujian secara parsial variabel dependen yang digunakan
dalam model menyimpulkan bahwa pendapatan asli daerah, dan dana alokasi
umum berpengaruh positif terhadap belanja modal dalam APBD.
2.

Penelitian yang dilakukan oleh Tuasikal (2008) meneliti apakah Dana Alokasi
Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Pendapatan Asli Daerah
(PAD), dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) mempengaruhi belanja
modal pemerintah daerah. Objek penelitian ini adalah kabupaten/kota di
Indonesia. Data yang digunakan adalah data sekunder dari pemerintah yang

39

tercatat dalam perhitungan anggaran umum. Regresi linear digunakan untuk
menganalisis data. Penelitian memperoleh hasil bahwa DAU, DAK, PAD, dan
PDRB mempengaruhi belanja modal secara simultan. Hasil lainnya adalah
hanya PDRB yang tidak mempengaruhi belanja modal secara parsial.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah tidak menggali sektor belanja yang
mengkonsumsi lebih banyak sumber pembiayaan daerah. Berdasarkan hal
tersebut, untuk ke depan peneliti perlu untuk melakukan analisis sektor untuk
mengetahui sektor belanja yang mana yang lebih banyak menggunakan
pembiayaan daerah dan untuk meningkatkan penerimaan daerah. Di samping
itu, untuk memperoleh hasil yang lebih baik, peneliti yang ingin meneliti tema
yang sama perlu untuk menambah tahun pengamatan, semisal 5 – 10 tahun.
3.

Penelitian yang dilakukan oleh Putro (2010) dengan Objek penelitian ini
adalah 35 Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah, yang terdiri
dari 29 Pemerintah Kabupaten dan 6 Pemerintah Kota, dalam kurun waktu 3
tahun (2006-2008). Hasil dari penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi dan
Pendapatan Asli Daerah tidak mempunyai pengaruh terhadap

pengalokasian

anggaran belanja modal. Hal ini bertentangan dengan hasil penelitan terdahulu
yang dilakukan oleh Yustikasari dan Darwanto (2006) sedangkan Dana Alokasi
Umum berpengaruh positif terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
dan hasil ini mendukung penelitian terdahulu.
4.

Penelitian yang dilakukan oleh Oktriniatmaja (2011) meneliti ada tidaknya
pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi
Khusus untuk pembentukan Belanja Modal dalam Anggaran Pendapatan dan

40

Belanja Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota di Jawa, Bali dan Nusa
Tenggara. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan
data sekunder. Data yang diperoleh dari Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan Daerah melalui situs www.depkeu.djpk.go.id periode tahun 2004 2008. Menggunakan metode purposive sampling, dari 147 kabupaten / kota di
Jawa, Bali dan Nusa Tenggara diperoleh sampel dari 56 kabupaten / kota. Data
dianalisis dengan metode regresi. Hasil analisis menunjukkan bahwa Pendapatan
Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus memiliki efek
positif pada alokasi Belanja Modal baik secara parsial maupun secara simultan.
Uji perbedaan antara Jawa dan di luar Jawa menunjukkan bahwa Belanja Modal
dan Pendapatan lebih tinggi di Jawa dibandingkan dengan daerah-daerah di luar
Jawa. Adapun Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus daerah di luar
Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di Java.
5.

Penelitian yang dilakukan oleh Kusnandar dan Siswantoro (2012) meneliti ada
tidaknya pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD),
Selisih Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dan Luas Wilayah terhadap alokasi
Belanja Modal. Data sampel terdiri dari 292 Laporan Keuangan Pemerintah
Daerah yang diambil dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI. Secara parsial
DAU tidak berpengaruh terhadap alokasi belanja modal sedangkan PAD, SiLPA
dan Luas Wilayah berpengaruh positif terhadap belanja modal pada α = 1%. Ini
mengindikasikan bahwa DAU yang dalam proporsi penerimaan daerah
merupakan sumber pendapatan paling besar namun hanya digunakan untuk
pengeluaran rutin, seperti untuk gaji pegawai. Sedangkan PAD walaupun kecil

41

dalam proporsi penerimaan namun sangat berpengaruh pada alokasi belanja
modal, hal ini mengindikasikan bahwa PAD merupakan sumber penting
pendapatan yang akan dialokasikan dalam pembangunan infrastruktur daerah.
6.

Penelitian yang dilakukan oleh Wandira (2013) meneliti ada tidaknya pengaruh
Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi
Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap pengalokasian belanja
modal pada pemerintah provinsi se-Indonesia baik secara simultan maupun
parsial. Populasi dalam penelitian ini adalah Pemerintah Provinsi se-Indonesia
yang terdiri dari 33 Provinsi Tahun 2012. Penelitian ini menggunakan data
sekunder yang berupa Laporan Realisasi APBD Pemerintah Provinsi seIndonesia tahun 2012. Metode penelitian menggunakan alat analisis regresi
linier berganda. Hasil penelitian menemukan bahwa DAU dengan arah
negatif, DAK dan DBH berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.
Sedangkan PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap belanja modal. Secara
simultan variabel PAD, DAU, DAK dan DBH berpengaruh siginifikan terhadap
belanja modal.

7.

Penelitian yang dilakukan oleh Arwati dan Hadiati (2013) untuk mengetahui ada
tidaknya pengaruh pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana
Alokasi Umum terhadap pengalokasian anggaran belanja modal secara parsial
dan simultan pada pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat
selama kurun waktu tahun 2008 sampai dengan tahun 2010. Metode penelitian
yang digunakan yaitu metode desktriptif dengan menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Metode

42

pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan studi kepustakaan
dengan pendekatan kuantitatif. Analisis penelitian ini yaitu analisis regresi linier
berganda dengan menggunakan program SPSS untuk menguji pengaruh
pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum
terhadap pengalokasian anggaran belanja modal secara parsial (uji t) dan secara
simultan (Uji F). Hasil penelitian menunjukan bahwa secara parsial Pendapatan
Asli Daerah yang berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran
belanja modal, sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Dana Alokasi Umum tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Secara
simultan Petumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi
Umum berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran belanja modal.
8.

Penelitian yang dilakukan oleh Jaya dan Dwirandra (2014) untuk mengetahui
adanya pengaruh pendapatan asli daerah pada belanja modal dengan pertumbuhan
ekonomi sebagai variabel pemoderasi. Penelitian ini dilakukan pada pemerintah
kabupaten/kota di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan Laporan Realisasi
APBD dan Tabel PDRB periode 2006-2011 sebagai sampel. Metode penentuan
sampel yang digunakan yaitu dengan sampling jenuh. Pengumpulan data
dilakukan melalui metode observasi non partisipan. Teknik analisis yang
digunakan adalah Moderated Regression Analysis (MRA). Berdasarkan hasil
analisis diperoleh bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh positif dan
signifikan pada belanja modal, pertumbuhan ekonomi tidak berpengaruh
signifikan pada belanja modal, serta pertumbuhan ekonomi berpengaruh

43

signifikan dan mampu memoderasi pengaruh pendapatan asli daerah pada belanja
modal tetapi dengan intensitas dan arah yang berlawanan.
9.

Penelitian yang dilakukan oleh Martini, dkk (2014) untuk memperoleh eksplanasi
yang teruji tentang pengaruh (1) Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum
dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal, (2) Pendapatan Asli Daerah
terhadap Belanja Modal, (3) Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal, (4)
Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal, (5) Pendapatan Asli Daerah
terhadap Dana Alokasi Umum, serta (6) Dana Alokasi Umum terhadap Dana
Alokasi Khusus. Subjek dalam penelitian ini adalah Pemerintah Daerah
Kabupaten Buleleng, dan objeknya adalah Pendapatan asli Daerah, Dana Alokasi
Umum, Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal. Jenis data yang dikumpulkan
adalah data kuantitatif yang bersumber dari Laporan Realisasi Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah pada Kabupaten Buleleng. Data dikumpulkan
dengan pencatatan dokumen, serta dianalisis dengan menggunakan analisis jalur.
Hasil penelitian menunjukkan (1) ada pengaruh positif dan signifikan
Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus
terhadap Belanja Modal, (2) ada pengaruh positif dan signifikan dari Pendapatan
Asli Daerah terhadap Belanja Modal, (3) ada pengaruh positif dan signifikan dari
Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal, (4) ada pengaruh positif dan
signifikan dari Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal, (5) ada pengaruh
positif dan signifikan dari Pendapatan Asli Daerah terhadap Dana Alokasi
Umum, serta (6) ada pengaruh positif dan signifikan dari Dana Alokasi Umum
terhadap Dana Alokasi Khusus.

44

10. Penelitian yang dilakukan oleh Sugiarthi dan Supadmi (2014) untuk mengetahui
pengaruh PAD, DAU, dan SiLPA pada belanja modal, serta pengaruh PAD,
DAU, dan SiLPA dengan moderasi pertumbuhan ekonomi pada belanja modal.
Lokasi dari Penelitian ini yaitu Kantor Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Bali
dan Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Hasil pengujian menunjukan PAD,
DAU, dan SiLPA berpengaruh positif dan signifikan pada belanja modal di
Kabupaten/Kota di Provinsi Bali. Variabel moderasi (pertumbuhan ekonomi)
mampu memoderasi variabel PAD dan DAU, namun tidak mampu memoderasi
variabel SiLPA pada belanja modal.
Tabel 2.1
Review Penelitian Terdahulu
Nama
Peneliti
Darwanto
dan Yulia
Yustikasari
(2007)

Askam
Tuasikal
(2008)

Judul
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Alokasi
Umum Terhadap
Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal

Pengaruh DAU, DAK, PAD,
dan PDRB Terhadap Belanja
Modal Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota Di Indonesia

Variabel
Penelitian
Dependen :
Belanja Modal

Hasil yang
diperoleh
PAD berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap Belanja
Independen :
Modal.
Pertumbuhan
Dana Alokasi Umum
Ekonomi,
berpengaruh positif
Pendapatan Asli dan signifikan
Daerah dan Dana terhadap Belanja
Alokasi Umum Modal
Dependen :
DAU, DAK, PAD,
Belanja Modal
dan PDRB
mempengaruhi
Independen :
belanja modal secara
DAU, DAK,
simultan. Hasil
PAD, PDRB
lainnya adalah hanya
PDRB yang tidak
mempengaruhi
belanja modal secara
parsial

45

Nama
Peneliti
Nugroho
Suratno
Putro
(2010)

Judul
Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Alokasi
Umum Terhadap
Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal (Studi Kasus
Pada Kabupaten/ Kota di
Provinsi Jawa Tengah)

Rini
Pengaruh Pendapatan Asli
Oktriniatmaja Daerah, Dana Alokasi Umum
(2011)
dan Dana Alokasi Khusus
Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal
Dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah Pada
Pemerintah Daerah
Kabupaten/ Kota di Pulau
Jawa, Bali Dan Nusa
Tenggara
Kusnandar
Pengaruh Dana Alokasi
dan Dodik
Umum, Pendapatan Asli
Siswantoro Daerah, Sisa Lebih
(2012)
Pembiayaan Anggaran dan
Luas Wilayah Terhadap
Belanja Modal

Arbie Gugus Pengaruh PAD, DAU, DAK
Wandira
dan DBH terhadap
(2013)
Pengalokasian Belanja Modal

Variabel
Penelitian
Dependen :
Belanja Modal
Independen :
Pertumbuhan
Ekonomi, PAD
dan DAU

Dependen :
Belanja Modal
Independen :
PAD, DAU,
DAK,

Dependen :
Belanja Modal

Hasil yang
diperoleh
Variabel
pertumbuhan
ekonomi dan PAD
tidak berpengaruh
terhadap Belanja
Modal. Sedangkan
Variabel DAU
berpengaruh terhadap
Belanja Modal
PAD, DAU dan DAK
memiliki efek positif
pada alokasi Belanja
Modal baik secara
parsial maupun secara
simultan.

Secara parsial DAU
tidak berpengaruh
terhadap alokasi
Independen :
belanja modal
DAU, PAD,
sedangkan PAD,
SiLPA dan Luas SiLPA dan Luas
Wilayah
Wilayah berpengaruh
positif terhadap
belanja modal pada α
= 1%.
Dependen :
DAU dengan arah
Belanja
negatif, DAK dan
Modal
DBH berpengaruh
signifikan terhadap
Independen :
belanja modal.
PAD, DAU,
Sedangkan PAD
DAK, dan DBH tidak berpengaruh
signifikan terhadap
belanja
modal.
Secara simultan
variabel PAD, DAU,
DAK dan DBH

46

Nama
Peneliti

Dini Arwati
dan Novita
Hadiati
(2013)

I Putu
Ngurah Panji
Kartika Jaya
dan
A.A.N.B.
Dwirandra
(2014)

Judul

Variabel
Penelitian

Pengaruh Pertumbuhan
Ekonomi, Pendapatan Asli
Daerah dan Dana Alokasi
Umum Terhadap
Pengalokasian Anggaran
Belanja Modal pada
Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota di Propinsi
Jawa Barat

Dependen :
Belanja
Modal

Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah Pada Belanja Modal
dengan Pertumbuhan
Ekonomi Sebagai Variabel
Pemoderasi

Dependen :
Belanja
Modal

Independen :
Pertumbuhan
Ekonomi, PAD,
DAU

Independen :
PAD
Moderasi :
Pertumbuhan
Ekonomi

Hasil yang
diperoleh
berpengaruh
siginifikan terhadap
Belanja Modal
Secara parsial PAD
yang berpengaruh
signifikan terhadap
pengalokasian
anggaran belanja
modal, sedangkan
Pertumbuhan
Ekonomi dan DAU
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
pegalokasian
anggaran belanja
modal. Secara
simultan Petumbuhan
Ekonomi, PAD dan
DAU berpengaruh
terhadap
pengalokasian
anggaran belanja
modal
PAD berpengaruh
positif dan signifikan
pada belanja modal,
pertumbuhan
ekonomi tidak
berpengaruh
signifikan pada
belanja modal, serta
pertumbuhan
ekonomi berpengaruh
signifikan dan
mampu memoderasi
pengaruh PAD pada
belanja modal tetapi
dengan intensitas dan
arah yang berlawanan

47

Nama
Peneliti
Ni Luh Dina
Selvia
Martini,
Wayan Cipta
dan I Wayan
Suwendra
(2014)

Ni Putu Dwi
Eka Rini
Sugiarthi
dan Ni Luh
Supadmi
(2014)

Judul
Pengaruh Pendapatan Asli
Daerah, Dana Alokasi Umum
Dan Dana Alokasi Khusus
Terhadap Belanja Modal
Pada Kabupaten Buleleng
Tahun 2006 – 2012

Pengaruh PAD, DAU, dan
SiLPA Pada Belanja Modal
Dengan Pertumbuhan
Ekonomi Sebagai Pemoderasi

Variabel
Penelitian
Dependen :
Belanja Modal
Independen :
PAD, DAU,
DAK

Dependen :
Belanja
Modal
Independen :
PAD, DAU,
SiLPA
Moderasi :
Pertumbuhan
Ekonomi

Hasil yang
diperoleh
(1) ada pengaruh
positif dan
signifikan PAD,
DAU dan DAK
terhadap Belanja
Modal,
(2)
ada pengaruh positif
dan signifikan dari
PAD terhadap
Belanja Modal,
(3) ada pengaruh
positif dan
signifikan dari DAU
terhadap Belanja
Modal,
(4)
ada pengaruh positif
dan signifikan dari
DAK terhadap
Belanja Modal,
(5) ada pengaruh
positif dan
signifikan dari PAD
terhadap DAU, serta
(6) ada pengaruh
positif dan
signifikan dari DAU
terhadap DAK
PAD, DAU, dan
SiLPA berpengaruh
positif dan signifikan
pada belanja modal
di Kabupaten/Kota di
Provinsi Bali.
Variabel moderasi
(pertumbuhan
ekonomi) mampu
memoderasi variable
PAD dan DAU,
namun tidak mampu
memoderasi variabel
SiLPA pada belanja
modal