FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

(1)

THE DETERMINANTS OF CAPITAL EXPENDITURES

ALLOCATION IN THE PROVINCE OF EAST JAVA

Oleh

BAYU SAMODRA

20120430183

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(2)

IN THE PROVINCE OF EAST JAVA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ekonomi Program Studi Ilmu Ekonomi

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Oleh

BAYU SAMODRA 20120430183

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2016


(3)

Nomor mahasiswa : 20120430183

Menyatakan bahwa skripsi ini dengan judul “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR” tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam Daftar Pustaka. Apabila ternyata dalam skripsi ini diketahui terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain maka saya bersedia karya tersebut dibatalkan.

Yogyakarta, 4 Mei 2016


(4)

suatu kaum itu sebelum seseorang atau kaum itu bertindak atau berusaha merubah nasibnya sendiri”.

(QS. Ar-Ra’du: 11)

“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalatmu sebagai penolongmu, sesungguhnya allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al- Baqarah: 153)

“Banyak kegagalan dalam hidup ini dikarenakan orang-orang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah”

(Thomas Alva Edison)

 Ingat mati

 Tidak rakus (mencukupi diri) terhadap apa yang orang lain miliki

 Jangan tamak terhadap dunia

 Laksanakan Sholat

 Tinggalkan sesuatu yang dilarang


(5)

Bapakku Bakuh Sugito dan Ibukku Sri Wahyuni yang selalu memberikan doa, dukungan serta nasehat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan tidak bermalas-malasalan selama kuliah ini.

Kakakku Kresno Wahyu Gitoyo yang selalu memberikan arahan dan saran untuk lebih baik lagi.

Dan Adikku Satrio Wisnu Groho untuk selalu belajar yang rajin, tidak nakal dan jangan sampai mengecewakan kedua orang tua.

Almamaterku tercinta...

Skripsiku ini kupersembahkan untuk diriku sendiri, akhirnya semua bisa terselesaikan meskipun harus penuh perjuangan dan keletihan...


(6)

(7)

panel data which is a combinacy 29 regency/city over periode 2010-2014, with variable local revenue (PAD), the general allocation fund (DAU), profit sharing fund (DBH), budget financing surplus (SiLPA), and capital expenditures. The analytical method used in this research is regression panel data that is processed by the fixed effect model .

The results of this study indicate that the variable revenue (PAD) positive and significant impact on capital expenditures , general allocation fund (DAU) positive and significant impact on capital spending , financing surplus budget (SILPA) positive and significant impact on capital spending , while profit sharing fund (DBH) positive dan significant effect on capital spending.

Keywords : locally generated revenue, general allocation fund, revenue sharing, financing surplus budget, capital expenditure


(8)

1 A. Latar Belakang

Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan sesedikit mungkin campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah daerah mempunyai hak dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang berkembang di daerah.

Pemberian otonomi daerah berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah karena memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah untuk membuat rencana keuangannya sendiri dan membuat kebijakan-kebijakan yang dapat berpengaruh pada kemajuan daerahnya. Pertumbuhan ekonomi mendorong pemerintah daerah untuk melakukan pembangunan ekonomi dengan mengelola sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan dengan masyarakat untuk menciptakan


(9)

lapangan pekerjaan baru yang akan mempengaruhi perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut (Kuncoro, 2004).

Undang-undang tersebut memberikan penegasan bahwa daerah memiliki kewenangan untuk menentukan alokasi sumber daya ke dalam belanja dengan menganut asas kepatutan, kebutuhan dan kemampuan daerah. Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif terlebih dahulu menentukan Kebijakan Umum anggaran pendapatan belanja daerah dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai pedoman dalam pengalokasian sumber daya dalam APBD.

Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang dijadikan pedoman Pemerintah Daerah dalam memberikan pelayanan kepada publik. Di Indonesia, anggaran daerah biasa disebut dengan Anggaran pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut PP Nomor 58 Tahun 2005 dalam Kawedar, dkk., (2008), APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang disediakan oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang


(10)

terlibat dalam penyusunan proses anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan masalah di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003).

Untuk Provinsi Jawa Timur sendiri, Realisasi anggaran belanja pada tahun 2014 sebesar Rp20.027.64 miliar rupiah rupiah atau menurun 4,36 persen dari yang ditargetkan. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya mengalami peningkatan sebesar 19,64 persen sebesar Rp17.372,65 miliar rupiah. Sedangkan untuk belanja modal di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp1.207.456,621 miliar rupiah.

Tabel 1.1

Data Realisasi Belanja Modal di Masing-masing Provinsi (Rupiah)

Daerah 2012 2013 2014

DKI Jakarta 8.784.365,760 10.696.012,194 10.411.118,390 Jawa Tengah 611.274,310 994.740,520 1.570.679,411 Jawa Barat 1.135.251,237 1.272.779,829 1.359.802,615 DI Yogyakarta 216.419,982 369.395,794 442.446,474 Jawa Timur 1.057.365,184 1.175.751,046 1.207.456,621 Sumber : Badan Pusat Statistik, bbrp terbitan

Dari Tabel 1.1, bahwa Belanja Modal pada Provinsi DKI Jakarta yang paling tinggi sebesar Rp10.411.118,390 miliar rupiah dibandingkan dengan Provinsi lainnya. Ini dikarenakan kebutuhan untuk daerah tersebut tinggi. Dengan besarnya pengeluaran biaya modal setiap Provinsi yang tinggi diharapkan bisa menyelesaikan masalah yang ada di masing-masing Provinsi.


(11)

Peningkatan alokasi belanja modal dalam bentuk aset tetap seperti infrastruktur, peralatan dan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan produktivitas perekonomian karena semakin tinggi belanja modal semakin tinggi pula produktivitas perekonomian. Saragih, (2003) menyatakan bahwa pemanfaatan belanja hendaknya dialokasikan untuk hal-hal yang produktif seperti untuk melakukan aktivitas pembangunan. Melihat fenomena yang terjadi, sepertinya alokasi belnja modal belum sepenuhnya dapat terlaksana bagi pertumbuhan kesejahteraan publik, sebab pengelolaan belanja daerah terutama belanja modal masih belum berorientasi pada publik. Salah satunya disebabkan oleh pengelolaan belanja yang terbentur dengan kepentingan golongan semata.

Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah.

Keseluruhan realisasi anggaran pendapatan Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 adalah sebesar Rp20.793.02 miliar rupiah, meningkat sebesar 6.17 persen dari yang ditargetkan. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya, mengalami penurunan sebesar 16.69 persen sebesar Rp17.372,65 miliar rupiah. Sedangkan data Realisasi anggaran


(12)

pendapatan asli daerah Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp14.462,75 miliar rupiah, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp11.596,37 miliar rupiah. sementara penerimaan dari sektor hasil pajak daerah sebesar Rp11.517.68 miliar rupiah, sektor restribusi daerah Rp148.638,04 miiyar rupiah, sektor pengelolahan kekayaan daerah Rp342.920,27 miliar rupiah dan sektor penerimaan lainnya Rp2.453,50 miliar rupiah.

Tabel 1.2

Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di masing-masing Provinsi(Rupiah)

Daerah 2012 2013 2014

DKI Jakarta 22.040.801,448 26.852.192,453 31.274.215,886 Jawa Tengah 6.629.308,010 8.212.800,641 9.916.358,231 Jawa Barat 9.982.917,415 12.360.109,870 15.851.202,864 DI Yogyakarta 1.004.063,126 1 .16.102,750 1.464.604,954 Jawa Timur 9.725.627,569 11.596.376,615 14.442.216,520 Sumber : Badan Pusat Statistik, bbrp terbitan

Dari Tabel 1.2 diatas, diketahui bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang paling tinggi pada tahun 2014 yaitu Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp31.274.215,886 miliar rupiah, sementara itu Pendapatan Asli Daerah Provinsi Jawa Timur pada Tahun 2014 sebesar Rp14.442.216,520 miliar rupiah, PAD ini masih di bawah Provinsi Jawa Barat dengan total sebesar Rp15.851.202,864 miliar rupiah.

Peningkatan PAD diharapkan meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan publik semakin baik tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan hal ini


(13)

disebabkan karena pendapatan asli daerah tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya.

Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana perimbangan dari pemerintah ini adalah DAU yang pengalokasiannya menekankan aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan. Adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya.

Dana alokasi umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan di dalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak


(14)

penting. Dana Alokasi Umum (DAU) di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp1.866.548,182 triliun rupiah, ini lebih besar dibandingkan tahun sebelumya yang sebesar Rp1.496.594,268 triliun rupiah (BPS, 2014).

Selain dana transfer yang berupa dana alokasi umum ada juga dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Bagi Hasil pajak dan dana bagi hasil bukan pajak (SDA). Daerah yang memiliki kekayaan alam dan penghasilan pajak akan memiliki penerimaan daerah yang bersumber dari hasil pengelolaan sumber-sumber tersebut oleh pemerintah pusat untuk membiayai belanja daerahnya. Hasil dari pengelolaan sumber daya tersebut dialokasikan kepada daerah-daerah dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) dengan mengunakan prinsip by origin (daerah penghasil) serta melihat realisasi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dana Bagi Hasil Atas Pajak di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp1.123.170,764 miliar rupiah mengalami penurunan dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.134.478,292 miliar rupiah. Sementara itu untuk Bagi Hasil Bukan Pajak/Sumber Daya Alam di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2014 sebesar Rp393.742,118 juta rupiah (BPS, 2014).

Untuk mengatasi persoalan ketimpangan fiskal dan adanya kebutuhan pendanaan daerah yang cukup besar, pemerintah memberikan dana perimbangan dan salah satu komponen dana ini yang memberikan kontribusi terbesar adalah dana alokasi umum (Adi, 2006). Dalam


(15)

beberapa tahun berjalan, proporsi dana alokasi umum (DAU) terhadap peneriman daerah masih yang tertinggi dibanding dengan penerimaan daerah yang lain, termasuk Pendapatan Asli Daerah. Hal ini menunjukkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pasokan dana dari pemerintah pusat masih tinggi. Namun demikian, dalam jangka panjang ketergantungan semacam ini harus menjadi semakin kecil. Berbagai investasi yang dilakukan pemerintah daerah diharapkan memberikan hasil positif yang tercermin dalam peningkatan PAD.

Dalam penciptaan kemandirian daerah, pemerintah daerah harus berusaha semaksimal mungkin dalam meningkatkan mutu pelayanan publik dan perbaikan dalam berbagai sektor yang berpotensi yang ada di daerah untuk dikembangkan menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Kemampuan daerah untuk menyediakan pendanaan yang berasal dari daerah berupa PAD, sangat tergantung pada kemampuan daerah sendiri dalam menjaga potensi ekonomi potensi ekonomi menjadi bentuk-bentuk kegiatan ekonomi yang mampu menciptakan penambahan dalam pendapatan asli daerah.

Selain dari PAD dan transfer dari pusat untuk membiayai kegiatannya, Pemda juga dapat memanfaatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam acara penyerahan DIPA 2012 di Istana Negara, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan bahwa pembangunan infrastruktur


(16)

di Indonesia yang belum memuaskan dan menghendaki agar sisa anggaran tidak digunakan untuk keperluan yang tidak jelas namun dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Prasetyantoko (2008) menyatakan bahwa anggaran negara yang menganggur bisa dialokasikan untuk belanja yang memberikan nilai tambah dan mampu menstimulasi laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Sementara itu, SiLPA pada tahun 2014 di Provinsi Jawa Timur sebesar Rp.1.846.787,61 miliar rupiah perolehan ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp.1.153.509,52 miliar rupiah (BPS, 2014). Dengan adanya SiLPA ini diharapkan mampu meningkatkan anggaran belanja modal guna pembangunan infrastruktur di suatu daerah, sehingga bisa meningkatkan perekonomian daerah. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Darwanto dan Yustikasari (2007) dengan variabel pertumbuhan ekonomi, pendapatan asli daerah dan dana alokasi umum dengan kurun waktu satu tahun 2004-2005 dengan sampel pemerintah Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa dan Bali.

Ada beberapa perbedaan dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa variabel yang berbeda. Selain itu, penulis juga menggunakan periode tahun yang berbeda yaitu pada kurun waktu lima tahun 2010-2014 serta objek dan lokasi yang di teliti juga berbeda yaitu Provinsi Jawa Timur. Daerah penelitian yang diambil merupakan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Jawa Timur, karena potensi lokal yang dimiliki tiap


(17)

Kabupaten/Kota di Jawa Timur sangat memadai untuk digali dan lebih dikembangkan pengelolaanya, apalagi Jawa Timur dikenal sebagai pusat kawasan timur pulau Jawa yang memiliki signifikansi perekonomian yang cukup tinggi. Selain itu Jawa Timur sebagai provinsi yang memiliki jumlah Kabupaten/Kota terbanyak di Indonesia. Dengan penelitian lokasi yang dipilih ini diharapkan dapat memberikan informasi kondisi belanja modal saat ini yang ada di Provinsi Jawa Timur.

Berdasarkan latar belakang dan penjelasan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian kembali dengan variabel yang berbeda yang judul penelitian sebagai berikut : “FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL KABUPATEN DAN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR”.


(18)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini akan diajukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh terhadap alokasi anggaran belanja modal ?

2. Apakah Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh terhadap alokasi anggaran belanja modal ?

3. Apakah Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh terhadap alokasi anggaran belanja modal.

4. Apakah Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) berpengaruh terhadap alokasi anggaran belanja modal ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur

2. Untuk mengetahui pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur

3. Untuk mengetahui pengaruh pengaruh Dana Bagi Hasil (DBH) terhadap pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur.


(19)

4. Untuk mengetahui pengaruh Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap pengalokasian belanja modal di Provinsi Jawa Timur.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti sehubungan dengan pengaruh pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) terhadap pengalokasian anggaran belanja modal.

2. Bagi pemerintah daerah, memberikan masukan dalam hal penyusunan kebijakan di masa yang akan datang dalam hal pengalokasian anggaran belanja modal yang terdapat di APBD.

3. Bagi penelitian selanjutnya, hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai bahan dan masukan dalam melakukan penelitian pada bidang yang sejenis.


(20)

13 A. Landasan Teori

1. Anggaran Daerah

Undang Nomor 12 tahun 2008 (revisi atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004) tentang pemerintah daerah menerangkan yang dimaksud Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Penyusanan APBD berpedoman kepada rencana kerja pemerintah daerah dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada masyarakat (Puspitasari dan Idhar, 2009). Untuk menghasilkan struktur anggaran yang sesuai dengan harapan dan kondisi normatif maka APBD yang pada hakikatnya merupakan pen-jabaran kuantitaif dari tujuan dan sasaran pemerintah daerah serta tugas pokok dan fungsi unit kerja harus disusun dalam struktur yang berorientasi pada pencapaian tingkat kinerja tertentu. Artinya, APBD harus mampu memberikan gambaran yang jelas tentang tuntutan besarnya pembiayaan atas berbagai sasaran yang hendak dicapai, tugas-tugas dan fungsi pokok sesuai dengan kondisi, potensi, aspirasi, dan kebutuhan riil di masyarakat untuk suatu tahun tertentu. Dengan demikian alokasi dana yang digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan dapat memberikan


(21)

manfaat yang benar-benar dirasakan masyarakat dan pelayanan yang berorientasi pada kepentingan publik (Munawar, 2006).

Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu anggaran. Anggaran daerah merupakan salah satu alat yang memegang peranan penting dalam meningkatkan pelayanan publik dan didalamnya tercermin kebutuhan masyarakat dengan memperhatikan potensi dan sumber-sumber kekayaan daerah

Penganggaran mempunyai tiga tahapan, yaitu 1). perumusan proposal anggaran, 2). pengesahan proposal anggaran, 3). pengimplementasian anggaran yang telah ditetapkan sebagai produk hukum (Samuels, 2000). Von Hagen (2002) dalam Darwanto (2007) menyatakan bahwa penganggaran dibagi ke dalam empat tahapan, yaitu

executive planning, legislative approval, executive implementation, and ex post accountability. Pada tahapan executive planning dan legislative approval terjadi interaksi antara eksekutif dengan legislatif dimana politik anggaran paling mendominasi, sementara pada tahapan executive implementation dan ex post accountability hanya melibatkan birokrasi sebagai agent.


(22)

Menurut Mardiasmo (2004), anggaran sektor publik dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Anggaran operasional

Anggaran operasional merupakan anggaran yang digunakan untuk merencanakan kebutuhan sehari-hari dalam menjalankan pemerintahan. Pengeluaran yang termasuk anggaran operasional antara lain belanja umum, belanja operasi dan belanja pemeliharaan.

2. Anggaran modal

Anggaran modal merupakan anggaran yang menunjukkan anggaran jangka panjang dan pembelajaran atas aktiva tetap seperti gedung, peralatan, kendaraan, perabot, dan sebagainya. Belanja modal adalah pengeluaran yang manfaatnya cenderung melebihi satu tahun dan akan menambah aset atau kekayaan pemerintah, selanjutnya akan menambah anggaran rutin untuk biaya operasional dan biaya pemeliharaan.

2. Belanja Modal

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Belanja modal digunakan untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah seperti


(23)

peralatan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Cara mendapatkan belanja modal dengan membeli melalui proses lelang atau tender.

Menurut Kementrian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Anggaran, Belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dam aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Menurut Halim (2004), Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada Kelompok Belanja Administrasi Umum.

Belanja Modal dapat diaktegorikan dalam 5 (lima) kategori utama (Syaiful, 2006) :

1. Belanja Modal Tanah adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan pembelian dan pembebasaan balik nama dan sewa tanah, pengosongan, pengurungan, perataan, pematangan tanah, pembuatan sertifikat dan pengeluaran lainnya sehubungan dengan perolehan hak atas tanah dan sampai tanah dimaksud dalam kondisi siap pakai.

2. Belanja Modal Peralatan dan Mesin adalah pengeluaran atau biaya yang digunakan untuk pengadaan, penambahan, penggantian dan


(24)

peningkatan kapasitas peralatan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari 12 bulan dan sampai peralatan dan mesin yang dimaksud dalam kondisi siap pakai.

3. Belanja Modal Gedung dan Bangunan adalah pengeluaran biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan, penggantian, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan pembangunan gedung dan bangunan yang menambah kapasitas sampai gedung dan bangunan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

4. Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan adalah pengeluaran biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan,penggantia peningkatan pembangunan atau pembuatan serta perawatan, dan termasuk pengeluaran untuk perencanaan, pengawasan dan pengelolaan jalan irigasi dan jaringan yang menambah kapasitas sampai jalan irigasi dan jaringan dimaksud dalam kondisi siap pakai.

5. Belanja Modal Fisik Lainnya adalah pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan atau penambahan dan penggantian pembangunan pembuatan serta perawatan fisik lainnya yang tidak dikategorikan kedalam kriteria belanja modal tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, dan jalan irigasi dan jaringan, termasuk dalam belanja ini adalah belanja modal kontrak sewa beli, pembelian barang-barang kesenian, barang purbakala dan barang untuk museum, hewan ternak dan tanaman, buku-buku, dan jurnal ilmiah.


(25)

Tabel 2.1

Komponen Biaya yang Termasuk ke dalam Belanja Modal Jenis Belanja

Modal

Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam Belanja Modal

Belanja Modal Tanah

1. Belanja modal pembebasan tanah

2. Belanja modal pembayaran honor tim tanah 3. Belanja modal pembuatan sertifikat tanah

4. Belanja modal pengurungan dan pematangan tanah 5. Belanja modal biaya pengukuran tanah

6. Belanja modal perjalanan pengadaan tanah

Belanja Modal Gedung dan

Bangunan

1. Belanja modal bahan baku gedung dan bangunan 2. Belanja modal upah tenaga kerja dan honor

pengelola teknis gedung dan bangunan

3. Belanja modal sewa peralatan gedung dan bangunan 4. Belanja modal perencanaan gedung dan bangunan 5. Belanja modal perizinan gedung dan bangunan 6. Belanja modal pengosongan dan pembongkaran

bangunan lama gedung dan bangunan 7. Belanja modal honor perjalanan gedung dan


(26)

Tabel 2.1

Komponen Biaya yang Termasuk ke dalam Belanja Modal Jenis Belanja

Modal

Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam Belanja Modal

Belanja Modal Peralatan dan

Mesin

1. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin. 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor

Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin. 3. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan

Mesin.

4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Peralatan dan Mesin.

5. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin. 6. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin.

Belanja Modal Perjalanan Peralatan dan Mesin.

Belanja Modal, Jalan, Irigasi,

dan Jaringan

1. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan. 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor

Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan.

3. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan Jembatan. 4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan

dan Jembatan.

5. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan. 6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran


(27)

Jenis Belanja Modal

Komponen Biaya yang Dimungkinkan di dalam Belanja Modal

Belanja Modal, Jalan, Irigasi,

dan Jaringan

7. Belanja Modal Perjalanan Jalan dan Jembatan. 8. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan. 9. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor. 10.Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan

Jaringan.

11.Belanja Modal Perencaan dan Pengawasan Irigasi dan Jaringan.

12.Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan. 13.Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran

Bangunan Lama, Irigasi dan Jaringan. Belanja Modal

Bahan Fisik Lainnya

1. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Pengelola Teknis Fisik lainnya.

2. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik lainnya. 3. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan

Fisik lainnya.

4. Belanja Modal Perizinan Fisik lainnya. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik lainnya Sumber : Syaiful, 2006


(28)

Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, menurut kelompok belanja terdiri dari :

1. Belanja tidak langsung

Belanja tidak langsung merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai, bunga, subsudi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

2. Belanja langsung

Belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari belanja pegawai yang dimaksudkan untuk pengeluaran honorarium/ upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintah daerah; belanja barang dan jasa; dan belanja modal.

Menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, “Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembelian/ pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan, seperti dalam bentuk tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan, jalan, irigasi dan jaringan, dan aset tetap lainnya.”


(29)

Pergeseran komposisi belanja merupakan upaya logis yang dilakukan pemerintah daerah setempat dalam rangka meningkatkan kepercayaan publik. Pergeseran ini ditujukan untuk peningkatan investasi modal dalam bentuk aset tetap. Semakin tinggi investasi modal diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena aset tetap yang dimiliki sebagai akibat adanya belanja modal merupakan prasayarat utama dalam memberikan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.

Proses pembuatan keputusan pengalokasian belanja modal menjadi sangat dinamis karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki serta terdapat banyak pihak dengan kepentingan dan preferensi yang berbeda (Rubin, 1993). Pengalokasian sumber daya ke dalam anggaran belanja modal merupakan sebuah proses yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politis. Anggaran ini sebenarnya dimasudkan untuk memenuhi kebutuhan publik akan sarana dan prasarana umum yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah daerah. Namun, adanya kepentingan politik dari lembaga legislatif yang terlibat dalam proses penyusunan anggaran menyebabkan alokasi belanja modal terdistorsi dan sering tidak efektif dalam memecahkan permasalahan di masyarakat (Keefer dan Khemani, 2003).

Menurut Darwanto dan Yustikasari (2007), faktor-faktor fundamental yang mempengaruhi keputusan dalam pengalokasian belanja daerah, termasuk pengalokasian belanja modal dibagi menjadi 2 variabel, yakni variabel non keuangan dan variabel keuangan. Variabel non


(30)

keuangan meliputi: kebijakan pemerintahan dan kondisi makroekonomi; sedangkan variabel keuangan meliputi : ukuran-ukuran atau jenis-jenis penerimaan pemerintah daerah lainnya.

3. Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah adalah salah satu sumber penerimaan yang harus selalu terus menerus di pacu pertumbuhannya. Dalam otonomi daerah ini kemandirian pemerintah daerah sangat dituntut dalam pembiayaan pembangunan daerah dan pelayaan kepada masyarakat. Oleh sebab itu pertumbuhan investasi di pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur perlu diprioritaskan karena diharapkan memberikan dampak positif terhadap peningkatan perekonomian regional.

Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri :

1. Pajak Daerah 2. Retribusi Daerah

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pasal 1, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah


(31)

yang asli digali di daerah yang digunakan untuk modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.

Menurut Halim (2007) kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan :

1. Pajak Daerah

Sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan pajak untuk kabupaten/ kota terdiri dari :

a. Pajak hotel b. Pajak restoran c. Pajak hiburan d. Pajak reklame

e. Pajak penerangan jalan

f. Pajak pengambilan bahan galian golongan C g. Pajak Parkir.

2. Retribusi Daerah

Retribusi daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari retribusi. Terkait dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan yang terdiri dari 29 objek.

3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah


(32)

yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup :

a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD.

b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik negara/BUMD.

c. Bagian laba penyertaan modal pada perusahaan milik swasta swasta atau kelompok usaha masyarakat.

4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik Pemda. Rekening ini disediakan untuk mengakuntansikan penerimaan daerah selain yang disebut di atas. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut :

a. Hasil penjualan aset daerah yang tidak dipisahkan. b. Jasa giro.

c. Pendapatan bunga.

d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah.

e. Penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan pengadaan barang, dan jasa oleh daerah.

f. Penerimaan keuangan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.

g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan. h. Pendapatan denda pajak.


(33)

i. Pendapatan denda retribusi. j. Pendapatan eksekusi atas jaminan. k. Pendapatan dari pengembalian. l. Fasilitas sosial dan umum.

m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.

Abdullah dan Halim (2004) menemukan bahwa sumber pendapatan daerah berupa PAD dan dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja daerah secara keseluruhan. Meskipun proporsi PAD maksimal hanya sebesar 10% dari total pendapatan daerah, kontribusinya terhadap pengalokasian anggaran cukup besar, terutama bila dikaitkan dengan kepentingan politis (Abdullah, 2004).

Kewenangan pemerintah daerah dalam pelaksanaan kebijakannya sebagai daerah otonomi sangat dipengaruhi oleh kemampuan daerah tersebut dalam menghasilkan pendapatan daerah. Semakin besar pendapatan asli daerah yang diterima, maka akan semakin besar pula kewenangan pemerintah daerah tersebut dalam melaksanakan kebijakannya. Upaya meningkatkan kemampuan penerimaan daerah, khususnya penerimaan dari pendapatan asli daerah harus diarahkan pada usaha yang terus menerus dan berlanjut agar pendapatan asli daerah tersebut terus meningkat, sehingga pada akhirnya diharapkan akan dapat memperkecil ketergantungan terhadap sumber penerimaan dari pemerintah diatasnya (pemerintah pusat).


(34)

Pembangunan dalam sektor pelayanan kepada publik akan merangsang masyarakat untuk lebih aktif dan bergairah dalam bekerja karena ditunjang oleh fasilitas yang memadai. Selain itu, investor juga akan tertarik kepada daerah karena fasilitas yang diberikan oleh pemerintah daerah setempat. Dengan bertambahnya produktivitas masyarakat dan investor yang berada di daerah akan berdampak pada peningkatan pendapatan asli daerah.

4. Hubungan pendapatan asli daerah dengan belanja modal

Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari – harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Dengan bertambahnya belanja modal maka akan berdampak pada periode yang akan datang yaitu produktivitas masyarakat meningkat dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah. (Abimanyu, 2005). Peningkatan Pemerintah Daerah dalam investasi modal (belanja modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD (Mardiasmo, 2002).


(35)

5. Dana Alokasi Umum

Menurut Permendagri 13 Tahun 2006, “Kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas: dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus”.

Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pembelanjaan. Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut :

a. Dana alokasi umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN.

b. Dana alokasi umum (DAU) untuk daerah propinsi dan untuk daerah Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari dana alokasi umum sebagaimana ditetapkan diatas.

c. Dana alokasi umum (DAU) untuk suatu daerah Kabupaten/Kota tertentuditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untukdaerah/kabupaten yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah kabupaten/Kota yang bersangkutan.

d. Porsi daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakanproporsi bobot daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia (Prakosa, 2004).

Menurut Halim (2004), “Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai kebutuhan


(36)

pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Bagi daerah yang relatif minim Sumber Daya Alam (SDA), DAU merupakan sumber pendapatan penting guna mendukung operasional pemerintah sehari-hari serta sebagai sumber pembiayaan pembangunan. (Saragih, 2003).

Dana alokasi umum (DAU) dialokasikan dengan tujuan pemerataan dengan memperhatikan potensi daerah, luas daerah, keadaan geografi, jumlah penduduk, tingkat pendapatan masyarakat di daerah, sehingga perbedaan antara daerah yang maju dengan daerah yang belum berkembang dapat diperkecil. Pada dasarnya, dengan diberlakukannya otonomi daerah diharapkan ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat tentang keuangan daerah diharapkan semakin kecil.

Sejak diterapkannya desentralisasi fiskal, pemerintah pusat mengharapkan daerah dapat mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan dana alokasi umum. Di beberapa daerah peran DAU sangat signifikan karena karena kebijakan belanja daerah lebih didominasi oleh jumlah DAU daripada PAD (Sidik et al, 2002). Setiap transfer DAU yang diterima daerah akan ditunjukkan untuk belanja pemerintah daerah, maka tidak jarang apabila pemerintah daerah menetapkan rencana daerah secara pesimis dan rencana belanja cenderung optimis supaya transfer DAU yang diterima daerah lebih besar. (http://www.Balipost.co.id).


(37)

6. Hubungan dana alokasi umum dengan belanja modal

Hotzl-Eakin et.al (1985) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan sangat erat dari transfer pemerintah pusat dengan belanja pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa makin besar dana tranfer dari pemerintah pusat maka akan meningkatkan belanja modal daerah dalam satu tahun anggaran. DAU adalah transfer yang bersifat umum (block garant) dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatasi masalah ketimpangan horisontal (antar daerah) dengan tujuan utama pemerataan kemampuan keuangan daerah. Transfer dana tersebut dengan leluasa dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kebuuhan publik atau bahkan digunakan untuk keperluan lain yang bersifat self interest.

7. Dana Bagi Hasil (DBH)

Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah). Dana bagi hasil yang ditransfer pemerintah pusat kepada pemerintah daerah terdiri dari 2 jenis, yaitu DBH atas pajak dan DBH Bukan Pajak/Sumber Daya Alam (Wahyuni dan Adi, 2009).

Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yang baru (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000), mulai tahun anggaran 2001


(38)

daerah memperoleh bagi hasil dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax). Ditetapkannya PPh Perorangan sebagai objek bagi hasil dimaksudkan sebagai kompensasi dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar bagi penerimaan negara.

Volume perolehan pajak di daerah berasosiasi kuat dengan besarnya tingkat pendapatan sebagai basis pajak. Dengan demikian, daerah dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi cenderung akan memperoleh DBH pajak yang lebih tinggi pula (Wahyuni dan Adi 2009). Dana Bagi Hasi (DBH) merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah yang bukan berasal dari PAD selain DAU dan DAK. Pola bagi hasil penerimaan tersebut dilakukan dengan presentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil. Penerimaan DBH pajak bersumber dari : Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21), Pajak Penghasilan Pasal 25 (PPh 25), Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh WPOPDN). Sedangkan penerimaan DBH SDA bersumber dari: Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Pertambangan Minyak Bumi, Pertambangan Gas Bumi, Pertambangan Panas Bumi (Wahyuni dan Adi, 2009).

1. Dana Bagi Hasil Atas Pajak

Dana ini merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan memperhatikan potensi


(39)

daerah penghasil berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dasar hukum dana bagi hasil pajak adalah:

a. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. b. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana

Perimbangan.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.

d. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Harahap, 2010).

DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, pajak penghasilan pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, dan pajak penghasilan pasal 21. Penetapan alokasi DBH atas Pajak ditetapkan oleh menteri keuangan. DBH pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindah bukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum daerah (Harahap, 2010).

Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh pasal 21 dibagi dengan imbangan 60% untuk Kabupaten/Kota dan 40% untuk provinsi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Berdasarkan pasal 8


(40)

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, ”penerimaan negara dari PPh WPOPDN (Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri) dan PPh pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% dengan rincian 8% untuk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi yang bersangkutan”. Penyaluran DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 tahun anggaran berjalan serta dilaksanakan secara triwulan (Sianipar, 2011).

2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)

DBH Sumber Daya Alam adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan sumber daya alam kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi (Harahap, 2010).

Pembagian penerimaan negara yang berasal dari sumber daya kehutanan ditetapkan sebagai berikut: 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah, yang diperoleh dari penerimaan iuran hak penguasaan hutan dan provisi sumber daya hutan. Bagian negara dari penerimaan negara iuran penguasaan hutan dibagi dengan perincian 16% untuk daerah yang bersangkutan dan 64% untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil. Bagian daerah dari penerimaan negara provisi sumber daya hutan dibagi dengan perincian 16% untuk daerah yang bersangkutan, 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil lainnya dalam provinsi


(41)

yang bersangkutan. Penerimaan kehutanan yang berasal dari dana reboisasi dibagi dengan imbangan sebesar 60% untuk pemerintah dan 40% untuk daerah. Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah dan 80% untuk daerah, yang diperoleh dari penerimaan iuran tetap (Land-rent) dan penerimaan iuran eksplorasi (royalti). Bagian daerah dari penerimaan negara iuran tetap, dibagi dengan perincian 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk daerah Kabupaten/Kota penghasil. Bagian daerah dari penerimaan negara iuran eksplorasi, dibagi dengan perincian 16% untuk daerah provinsi yang bersangkutan, 32% untuk daerah kabupaten/kota penghasil lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Bagian kabupaten dalam provinsi yang bersangkutan, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua Kabupaten/Kota dalam provinsi yang bersangkutan (Harahap, 2010).

Penerimaan iuran tetap (land-rent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima negara sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu wilayah kuasa pertambangan. Penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti) adalah iuran produksi yang diterima negara dalam hal pemegang kuasa pertambangan eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan eksplorasi yang diberikan


(42)

kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi (royalti) satu atau lebih bahan galian (Harahap, 2010).

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor perikanan terdiri dari: Penerimaan pungutan pengusahaan perikanan, Penerimaan pungutan hasil perikanan. Dana bagi hasil perikanan untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota. Bagian daerah dari penerimaan negara sektor perikanan dibagikan dengan sama besar kepada Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.

Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas yang dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan dan gas alam dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya (Harahap, 2010).

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi (Migas), DBH Sumber Daya Alam pertambangan minyak bumi dibagi dengan yang bersangkutan (Harahap, 2010).

Sementara itu, DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Gas Bumi dibagi dengan imbangan 69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah. DBH Pertambangan Gas bumi sebesar 30% dibagi dengan rincian 6% untuk provinsi yang bersangkutan, 12% untuk


(43)

kabupaten/kota penghasil, dan 12% untuk seluruh Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH Pertambangan Gas bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian 0,1% untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% untuk Kabupaten/Kota penghasil, serta 0,2% untuk seluruh Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan (Harahap, 2010).

DBH Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi sebear 80% dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi ke daerah dilakukan dengan menggunakan asumsi dasar harga minyak bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari penetapan dalam APBN tahun berjalan. Dalam hal asumsi dasar harga minyak bumi yang ditetapkan dalam APBN Perubahan melebihi 130% (seratus tiga puluh persen), selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagai dampak dari kelebihan dimaksud dialokasikan dengan menggunakan formula DAU (Harahap, 2010).

Ketentuan mengenai tata cara penghitungan selisih penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Penerimaan negara dari sumber daya alam sektor pertambangan minyak dan gas alam berasal dari kegiatan operasi pertamina sendiri, kegiatan kontrak bagi


(44)

hasil (Production Sharing Contract) dan kontrak kerjasama selain kontrak bagi hasil. Komponen pajak adalah pajak-pajak dalam kegiatan pertambangan minyak dan gas alam dan pungutan-pungutan lain sesuai dengan ketentuan peraturan Undang-Undangan yang berlaku (Sianipar, 2011).

8. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran yang perlu dibayar atau akan diterima kembali yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali poko pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.

Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan rekening kas umum daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan pihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya dan pencairan dana cadangan. Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada rekening kas umum daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azaz bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto dan tidak mencatat jumlah


(45)

nettonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Penerimaan pembiayaan mencangkup diantaranya :

1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) 2. Pencairan dana cadangan

3. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan 4. Penerimaan pinjaman daerah

5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman 6. Penerimaan piutang daerah

Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) menurut Permendagri Nomor 13 tahun 2006 adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. SiLPA tahun anggaran sebelumnya mencangkup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada pihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.

SiLPA adalah suatu indikator yang menggambarkan efisiensi pengeluaran pemerintah. SiLPA sebenarnya merupakan indikator efisiensi, karena SiLPA hanya akan terbentuk bila terjadi Surplus pada APBD dan sekaligus terjadi Pembiayaan Neto yang positif, dimana komponen penerimaan lebih besar dibandingakn komponen pengeluaran pembiayaan (Balai Litbang NTT, 2008).


(46)

9. Hubungan sisa lebih pembiayaan anggaran dengan belanja modal SiLPA tahun sebelumnya yang merupakan penerimaan pembiayaan digunakan untuk menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil daripada realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung (belanja barang dan jasa, belanja modal, dan belanja pegawai) dan mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan. Penelitian yang dilakukan Ardhini (2011) menguatkan hal tersebut dimana SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Modal.

B. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu memuat berbagai penelitian yang sudah dilakukan oleh peneliti sebelumnya baik dalam penelitian berupa skripsi, tesis maupun jurnal yang masih memiliki hubungan dengan penelitian yang dilakukan.

1. Monika Siagian (2008) berjudul Pengaruh Dana Alokasi Umum(DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Lain-lain yang Sah terhadap Belanja Pemerintah Daerah Studi Kasus Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara dengan variabel dependen belanja pemerintah daerah dan variabel independen Dana Alokasi Umum (DAU), Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Pendapatan Lain-lain yang sah secara parsial maupun simultan DAU, PAD dan Pendapatan Lain-lain yang sah berpengaruh signifikan positif terhadap belanja daerah.


(47)

2. Miftachul Chusna Santosa (2012) berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi Pada Pemerintahan Kabupaten/Kota se Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2008-2010) denga variabel independen Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) sementara variabel dependen belanja modal. Kesimpulan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal dan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal. 3. Mochamad Fajar Hidayat (2013) dengan judul Analisis Pengaruh

Kinerja Keuangan Daerah terjadap Alokasi Belanja Modal studi pada Kabupaten/Kota di Jawa Timur dengan variabel dependen belanja modal sementara variabel independen kinerja keuangan daerah diproksikan oleh tingkat ketergantungan tahun lalu, efektifitas PAD tahun lalu, tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu, dan rasio ruang fiskal tahun lalu Hasil empiris penelitian ini menunjukkan bahwa kinerja keuangan daerah tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya. Tingkat ketergantungan tahun lalu berpengaruh signifikan dengan arah negatif terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya. Sementara itu, efektifitas PAD tahun lalu, tingkat pembiayaan SiLPA tahun lalu, dan rasio ruang fiskal tahun lalu, masing-masing berpengaruh signifikan dalam arah positif terhadap alokasi belanja modal tahun berikutnya.


(48)

4. Vidi Yudha Prawira (2009) yang meneliti tentang pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap pengelolaan anggaran belanja modal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meneliti faktor fundamental yaitu pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU terhadap anggaran belanja modal dalam APBD Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa secara simultan variabel pertumbuhan ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh secara signifikan terhadap variabel belanja modal. Selain itu, PAD dan DAU berpengaruh positif terhadap belanja modal dalam APBD. Sedangkan variabel pertumbuhan ekonomi tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap belanja modal.

5. Agave Sianturi (2010) meneliti pengaruh pajak daerah dan retribusi daerah terhadap pengalokasian belanja modal. Metode penelitian yang digunakan adalah regresi linier berganda. Data yang digunakan adalah LRA tahun 2005 sampai 2008 dengan sampel Kab/Kota di Sumatera Utara. Hasil yang diperoleh adalah pajak daerah berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal, sedangkan retribusi daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal.


(49)

C. Kerangka Teoritis

Penelitian ini merupakan suatu kajian yang berangkat dari berbagai konsep teori dan kajian penelitian yang mendahuluinya, sehingga untuk menyederhanakan alur pemikiran. Pada penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur sebagai variabel independen yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran diduga berpengaruh terhadap variabel dependen yaitu Alokasi Belanja Modal, maka kerangka pemikiran digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Pendapatan Asli Daerah

(X1)

Belanja Modal (Y) Dana Alokasi Umum

(X2)

Dana Bagi Hasil (X3)

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran

(X4)

(+) (+) (+) (+)


(50)

D. Hipotesis Penelitian

1. Diduga pendapatan asli daerah berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.

2. Diduga dana alokasi umum berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.

3. Diduga dana bagi hasil berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.

4. Diduga sisa lebih pembiayaan anggaran berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal.


(51)

44 A. Objek Penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari 29 Kabupaten dan 9 Kota yaitu, Kabupaten Bangkalan, Banyuwangi, Blitar, Bojonegoro, Bondowoso, Gresik, Jember, Jombang, Kediri, Lamongan, Lumajang, Madiun, Magetan, Malang, Mojokerto, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Pasuruan, Ponorogo, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Trenggalek, Tuban, Tulungagung, dan Kota Batu, Blitar, Kediri, Madiun, Malang, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo dan Surabaya.

B. Jenis dan Sumber Penelitian

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data yang diolah lebih lanjut dan disajikan oleh pihak lain. Dalam penelitian ini menggunakan data panel yaitu kombinasi antara data time series dan data cross section selama periode tahun 2010 sampai 2014. Adapun data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah :

1. Data Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014.

2. Data Realisasi Dana Alokasi Umum (DAU) masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014.

3. Data Realisasi Dana Bagi Hasil (DBH) masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014.


(52)

4. Data Realisasi Belanja Modal masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014

5. Data Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Timur dari tahun 2010-2014

Sumber yang diperoleh dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur 2. www.djpk.depkeu.go.id

3. Literatur-literatur serta informasi-informasi tertulis baik yang berasal dari instansi terkait maupun internet, yang berhubungan dengan topik penelitian untuk memperoleh data sekunder.

C. Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan, mencatat, dan mengkaji data sekunder yang berupa Laporan Realisasi APBD yang diperoleh Badan Pusat Statistik dan dari situs Dirjen Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui internet. Dari laporan Realisasi APBD ini diperoleh data mengenai jumlah Realisasi Anggaran Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH) dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) dari tahun 2010 sampai 2014.


(53)

D. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Variabel dependen

a. Belanja Modal

Belanja Modal adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset). Pengukuran atas belanja modal untuk menambah aset atau kekayaan daerah serta yang akan menimbulkan konsentrasi belanja yang bersifat rutin diukur dalam satuan jutaan rupiah.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan, peralatan dan aset tak berwujud. Indikator variabel belanja modal diukur dengan rumus. Belanja Modal = Belanja Tanah + Belanja Peralatan dan Mesin + Belanja Gedung dan Bangunan + Belanja Jalan, Irigrasi, dan Jaringan + Belanja Aset Tetap Lainnya.

2. Variabel independen

a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan


(54)

perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Variabel Pendapatan Asli daerah diukur dengan rumus.

PAD = Pajak Daerah + Retribusi Daerah + Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan + Lain-lain PAD yang Sah b. Dana Alokasi Umum (DAU)

Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi”. (Purnomo, 2009). Variabel Dana Alokasi Umum diukur dengan rumus.

DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar dimana :


(55)

c. Dana Bagi Hasil (DBH)

DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada pemerintah Provinsi se-Indonesia berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Wahyuni dan Adi 2009). Indikator DBH adalah sebagai berikut :

1. Dana Bagi Hasil Pajak

2. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (SDA)

Variabel DBH ini diukur dengan menggunakan skala rasio. DBH dapat diukur dengan Perhitungan :

DBH = Bagi Hasil Pajak + Bukan Pajak

d. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)

Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) adalah selisih lebih antara realisasi pendapatan-LRA dan belanja, serta penerimaan dan pengeluaran pembiayaan dalam APBD/APBN selama satu periode pelaporan (PP 71 Tahun 2010). Variabel ini diukur dari jumlah SiLPA yang ada di Laporan Realisasi APBD per Kota/Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

E. Metode Analisis

Untuk menjawab permasalahan yang telah ditetapkan, maka dalam menganalisis permasalahan (data) penulis menggunakan metode regresi


(56)

data panel. Analisis dengan menggunakan data panel adalah kombinasi dari data time series dan cross section.

Persamaan regresi sebagai berikut :

Yit = β0+ β1PADit+ β2DAUit+ β3DBHit + β4SILPAit + eit Keterangan :

Y = Belanja Modal (BM)

β0 = Konstanta

β = Slope atau koefisien regresi atau intersep PAD = Pendapatan Asli Daerah (PAD)

DAU = Dana Alokasi Umum (DAU) DBH = Dana Bagi Hasil (DBH)

SILPA = Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)

i = Kabupaten/Kota

t = Waktu

eit = error term

F. Uji Asumsi Klasik

Pengujian model dimaksut untuk memperoleh kepastian tentang konsistensi model estimasi yang dibentuk berdasarkan teori ekonomi yang melandasinya. Pengujian model dalam penelitian ini menggunakan Eviews7. Pengujian penyimpangan asumsi klasik dimaksud untuk menjamin bahwa model yang diestimasi bebas dari gangguan


(57)

multikolinearitas, dan heteroskedasitas. Pengujian terhadap gangguan diatas adalah sebagai berikut :

1. Uji Multikolinearitas

Multikolinearitas merupakan uji untuk mengetahui apakah ada hubungan yang kuat (kombinasi linier) diantara variabel bebas. Untuk mendeteksi ada tidaknya multikolinearitas dapat dilihat dari R2 dan F-statistik, t-statistik serta standar error. Kemungkinan adanya multikolinearitas jika R2 dan F-statistik tinggi, sedangkan t-statistik banyak yang tidak signifikan atau rendah (uji tanda perubahan tidak sesuai dengan yang diharapkan). Menurut (Gujarat: 2006) ada beberapa indikator dalam mendeteksi adanya multikolinearitas, diantaranya sebagai berikut :

a. Nilai R2 yang terlampau tinggi, (lebih dari 0,85) tetapi tidak ada atau t-statistik yang signifikan.

b. Nilai F-statistik yang signifikan, namun t-statistik dari masing-masing variabel bebas tidak signifikan.

2. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas ini bertujuan untuk menguji apakah pada model regresi terjadi ketidaksamaan varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika varians dari residual dari satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas. Jika varians berbeda, disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak adanya heteroskedastisitas.


(58)

Pendeteksian heteroskedastisitas yang penulis gunakan dilakukan melalui uji white. Dengan langkah-langkah pengujian sebagai berikut :

Bila probabilitas Obs*�2 > 0.05 artinya tidak signifikan Bila probabilitas Obs*�2 < 0.05 artinya signifikan

Apabila probabilitas Obs*�2 lebih besar dari 0.05 maka model tersebut tidak terdapat heteroskedasrtisitas. Apabila probabiitas Obs*�2 lebih kecil dari 0.05 maka model tersebut dipastikan terdapat Heteroskedastisitas.

G. Metode Estimasi Data Panel

Dalam penggunaan metode regresi data panel pada umumnya terdapat tiga macam model, yaitu Common Effects, Fixed Effects dan

Random Effects Model. Yang nantinya dari ketiga model tersebut akan dipilih salah satu model terbaik yang akan digunakan pada tahap analisis selanjutnya.

1. Common Effects Model (Pooled Least Square)

Teknik yang digunakan dalam metode Common Effect hanya dengan mengkombinasi data time series dan cross section. Dengan hanya menggabungkan kedua jenis data tersebut maka dapat digunakan metode OLS untuk mengestimasi model data panel. Dalam pendekatan ini tidak memperhatikan dimensi daerah maupun waktu, dan dapat diasumsikan bahwa perilaku data antar daerah sama dalam berbagai rentan waktu. Asumsi ini jelas berbeda dari realita sebenarnya, karena karateristik antar


(59)

daerah baik dari segi wilayahnya jelas berbeda. Persamaan regresinya dapat dirumuskan sebagai berikut :

yti = a + bx1it + eit

Untuk i = 1,2 ..,N dan t = 1,2....,T, dimana N adalah jumlah daerah

cross section dan T adalah jumlah periode waktunya. Dari common effects model ini akan dapat dihasilkan N+T persamaan, yaitu sebanyak T persamaan cross section dan banyaknya N persamaan time series.

2. Fixed Effects Model (FEM)

Fixed Effects merupakan metode dengan menggunakan variabel dummy untuk menangkap adanya perbedaan intersep. Metode ini mengasumsikan bahwa koefisien regresi (slope) tetap antar daerah dan antar waktu, namun intersepnya berbeda antar daerah namun sama antar waktu (time invariant). Namun metode ini membawa kelemahan yaitu berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya mengurangi efisiensi parameter. Persamaan regresinya sebagai berikut :

yit = ait + bXit+ gi∑ Di + eit

untuk i = 1,2....,N dan t = 1,2...,T, dimana N adalah jumlah daerah

cross section dan T adalah jumlah periode waktunya.

3. Random Effects Model (REM)

Model Random Effects ini akan mengestimasi data panel dimana variabel gangguan mungkin saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Pada model Random Effect perbedaan intesep diakomodasi oleh error terms masing-masing perusahaan. Keuntungan menggunakan model


(60)

Random Effect yakni menghilangkan heteroskedastisitas. Model ini juga disebut dengan Error Component Model (ECM) atau teknik Generalized Least Square (GLS).

H. Uji Metode Estimasi Data Panel

Sebelum menentukan metode estimasi data panel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka harus dilakukan beberapa pengujian. Untuk menentukan apakah model panel data dapat diregresi dengan metode common effect model, metode Fixed Effect (FE) atau metode

Random Effect (RE), maka dilakukan uji-uji sebagai berikut: 1. Uji Chow

Untuk mengetahui model mana yang lebih baik dalam pengujian data panel, bisa dilakukan dengan penambahan variabel dummy sehingga dapat diketahui bahwa intersepnya berbeda dapat di uji dengan uji statistik F. Uji ini digunakan untuk mengetahui apakah teknik regresi data panel metode Fixed Effect lebih baik dari regresi model data panel tanpa variabel dummy atau metode Common Effect. Adapun hipotesis dari Uji Chow sebagai berikut :

H0 = Model Common Effect

H1 = model Fixed Effect

Untuk membuktikan apakah terbukti atau tidak antara Common Effect dan

Fixed Effect. Apabila hasil uji spesifikasi ini menunjukkan probabilitas

Chi-Square lebih dari 0,05 maka model yang dipilih adalah Common Effect. Sebaliknya dipakai adalah fixed effect. Ketika model yang terpilih


(61)

adalah fixed effect maka perlu dilakukan uji lagi, yaitu Uji Hausman untuk mengetahui apakah sebaiknya memakai fixed effect model (FEM) atau

random effect model (REM).

2. Uji Hausman

Uji Hausman digunakan untuk memilih antara metode Fixed Effect (FE) dan Random Effect (RE) lebih baik dari metode Cammon Eiffect. Uji Hausman ini didasarkan pada ide bahwa Least Squares Dummy Variables

(LSDV) dalam metode Fixed Effect dan Generalized Least Square (GLS) dalam metode Random Effect adalah efisien sedangkan Ordinary Least Square (OLS) dalam metode Common Effect tidak efisien. Adapun hipotesis Uji Hausman sebagai berikut :

H0 = Random Effect

H1 = Fixed Effect

Untuk membuktikan apakah terbukti atau tidak antara Random Effect dan

Fixed Effect. Uji spesifikasi hausman membandingkan model Fixed,

Common, dan Random di bawah hipotesis nol yang berati bahwa efek individual tidak berkolerasi dengan regresi dalam model (Hausman). Jika tes Hausman tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p > 0,05) itu mencerminkan bahwa random estimator tidak aman bebas dari bias, dan karena itu lebih dianjurkan kepada fixed effect disukai daripada efek estimator tetap.


(62)

3. Uji Lagrange Multiplier (LM)

Menurut Widarjono (2007), untuk mengetahui apakah model Random Effect lebih baik dari model Common Effect digunakan Lagrange Multiplier (LM). Uji signifikasi Random Effect ini dikembangkan oleh Breusch-Pagan. Pengujian didasarkan pada nilai residual dari metode

Cammon Effect. Adapun nilai LM hitung dengan rumus sebagai berikut : H0 : Model yang digunakan Common Effect Model

H1 : Model yang digunakan Random Effect Model

Untuk membuktikan apakah terbukti atau tidak antara Common Effect dan

Random Effect. Hipotesis nolnya adalah intersep dan slope sama (common effect). Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square dengan degree of freedom sebesar jumlah variabel independen. Jika nilai LM statistik lebih besar dari nilai kritis statistik chi-square maka kita menolak hipotesis nol, berarti estimasi yang lebih tepat dari regresi data panel adalah model

random effect. Sebaliknya jika nilai LM statistik lebih kecil dari nilai kritis statistik chi-square maka kita menerima hipotesis nol yang berarti model

common effect lebih baik digunakan dalam regresi. I. Uji Kriteria Statistik

Analisis kriteria statistik didasarkan pada uji ekonometrika First Order Test (FOT) yang meliputi uji F (uji simultan), R2 (koefisien determinasi) dan uji T (uji parsial), diantaranya sebagai berikut :


(63)

1. Uji Simultan (uji F)

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel bebas secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat. Bila Fhitung > Ftabel (α = 5 persen), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Jadi, bahwa variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Kriteria pengujiannya adalah :

1. Fhitung > Ftabel : H0 ditolak, H1 diterima 2. Fhitung < Ftabel : H0 diterima, H1 diterima Adapun rumus untuk mencari F-statistik adalah :

Dimana :

a. R2 = koefisien determinasi b. n = jumlah sampel

c. k = banyaknya koefisien yang tercakup dalam persamaan regresi F-tabel dilihat pada tabel distribusi F dengan 1-α; k-1; n-k, dimana : 1. α = besarnya kesalahan yang dapat ditolerir didalam

kesimpulan

2. k = banyaknya koefisien yang tercakup dalam persamaan regresi

3. n = jumlah observasi

4. k-1 = untuk menentukan df untuk pembilang 1 5. n-k = untuk menentukan df untuk penyebut 2


(64)

2. Uji Parsial (Uji T)

Uji-t statistik adalah uji parsial (individu) dimana uji ini digunakan untuk menguji seberapa baik variabel bebas (variabel independen) dapat menjelaskan variabel terikat (variabel dependen) secara individu. Pada tingkat signifikansi (5%) dengan menganggap variabel bebas bernilai konstan.

Hipotesis :

Bila probabilitas βi > 0.05 artinya tidak signifikan Bila probabilitas βi < 0.05 artinya signifikan 3. Uji Koefisien Determinasi (R2)

Uji R2 atau uji determinasi merupakan suatu ukuran yang penting dalam regresi, karena dapat menginformasikan baik atau tidaknya model regresi yang terestimasi, atau dengan kata lain angka tersebut dapat mengukur seberapa dekatkah garis regresi yang terestimasi dengan data sesungguhnya. Nilai koefisien determinasi (R2) ini mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat Y dapat diterangkan oleh variabel bebas X. Bila nilai koefisien determinasi sama dengan 0 (R2 = 0), artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh X sama sekali. Sementara bila R2 = 1, artinya variasi dari Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh X. Dengan kata lain bila R2 = 1, maka semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi. Dengan demikian baik atau buruknya suatu persamaan regresi ditentukan oleh R2 nya yang mempunyai nilai antara nol dan satu.


(1)

3. Dana Bagi Hasil (DBH) berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur. Dana yang berasal dari pemerintah pusat berupa (DBH) masih diperlukan untuk meningkat alokasi belanja modal guna pembangunan infrastruktur setiap daerah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur.

4. Sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Timur. Bahwa SiLPA tahun sebelumnya mampu menyumbang pemasukkan terhadap alokasi belanja modal guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat terutama pembangunan infrastruktur.

Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan sehubungan dengan hasil penelitian ini sebagai berikut :

1. Pemerintah daerah Kabupaten dan Kota diharapkan dapat meningkatkan kemampuan merealisasikan pendapatan asli daerah dengan cara lebih intensifikasi pajak daerah dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi pemungutan dan efisiensi administrasi pajak, serta perbaikan kontrol terhadap petugas untuk meminimalkan kebocoran. PAD dapat pula ditingkatkan dengan jalan meningkatkan peran perusahaan daerah melalui peningkatan laba usaha.


(2)

2. Pemerintah Daerah sebaiknya lebih mengoptimalkan potensi ekonomi lokalnya untuk menambah penerimaan daerah seperti meningkatkan di sektor pariwisata di masing-masing daerah dengan meningkatnya sektor pariwisata ini diharapkan pendapatan setiap daerah mengalami peningkatan sehingga tercipta kemandirian daerah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya sehingga pada akhirnya ketergantungan pada Pemerintah Pusat bisa dikurangi.

3. Sebaiknya Pemda Kabupaten dan Kota memprioritaskan anggaran untuk kepentingan publik dengan cara meningkatkan alokasi belanja modal untuk kepentingan publik. Sebab dengan meningkatnya alokasi belanja modal akan semakin meningkatkan investasi yang nantinya akan meningkatkan produktivitas masyarakat, sehingga akan kembali pada meningkatnya pendapatan daerah.

4. Dengan adanya sisa lebih pembiayaan anggaran (SiLPA) diharapkan pemerintah Kabupaten dan Kota bisa mengalokasikan ke belanja modal agar dana yang di peroleh untuk belanja modal akan meningkat sehingga pembangunan terhadap infrastruktur juga meningkat.

Keterbatasan Penelitian

1. Variabel penelitian yang mempengaruhi Alokasi Belanja Modal di Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Timur hanya terdiri dari empat variabel, yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, sedangkan masih


(3)

banyak variabel lain yang berpengaruh terhadap Alokasi Belanja Modal.

2. Tahun yang digunakan dalam penelitian ini hanya lima tahun yaitu dari tahun 2010 sampai 2014, sedangkan akan lebih baik digunakan dalam penelitian ini lebih dari lima tahun agar memperoleh hasil yang lebih baik lagi, hal ini disebabkan karena keterbatasana data dalam penelitian ini. Berdasarkan keterbatasan ini, diharapkan tidak mengurangi makna dan hasil signifikasi hasil penelitian, namun bisa dijadikan sebagai kesimpulan sementara untuk dijadikan acuan oleh penelitian lain di tempat yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA

Abimayu, 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih. Bapekki Depkeu.

Adi Priyo Hari, 2006. Hubungan Antara Pertumbuhan EkonomiDaerah, Belanja Pembangunan, dan Pendapatan Asli Daerah (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali). Simposium Nasional Akuntansi 9, Padang.

Bada Pusat Statistik. 2010-2011. Statistik Keuangan Pemerintah Provinsi Tahun 2012-2015. http://bps.go.id.

Badan Pusat Statistik. 2010-2013. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Tahun 2010-2011. http://bps.go.id.

Badan Pusat Statistik. 2012-2015. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Tahun 2012-2013. http://bps.go.id.

Badan Pusat Statistik. 2014-2015. Statistik Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota Tahun 2014-2015. http://bps.go.id.


(4)

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2012. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2013. Jawa Timur dalam Angka Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2014. Provinsi Jawa Timur dalam Angka Tahun 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. 2014. Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur Tahun 2014. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur. Surabaya.

Basuki, A.T., dan Yuliadi, I.,2014, Elektronik Data Prosesing (SPSS 15 dan Eviews 7), Danisa Media, Yogyakarta.

Balitbang Provinsi NTT, 2008. “Analisis tentang tingkat efisiensi dan efektifitas pengeluaran pemerintah terhadap pembangunan daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Litbang NTT, IV-03.

Darwanto dan Yulia Yustikasari, 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar.

Gujarati, Damodar N., & Porter, Dawn C. 2009. Dasar-dasar ekonometrika (basic econometrics, 5th ed.) (Eugenia Mardanugraha, Sita Wardhani, & Carlos Mangungsong, penerjemah). Salemba Empat, Jakarta.

Halim dan Abdullah, 2004. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi Revisi, Jakarta: Salemba Empat.

Harahap dan Alfan, 2010. “Pengaruh Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam terhadap Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”. Skripsi. Vol.7.No.87


(5)

Iin Indarti dan Sugiartina, 2012. “Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi (PDRB), Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum (DAU) Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal di Kota Semarang”. Jurnal Ilmilah Ekonomi Volume 7 No.Desember 2012.

Kusnandar, Dodik Siswantoro, 2010. “Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah Terhadap Belanja Modal”. Jurnal Akuntansi, Vol 15: 2-3.

Kajian Ekonomi Keuangan Ragional Jawa Timur Triwulan IV 2014. Kuncoro dan Mudrajat, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah :

Reformasi Perencanaan, Strategi, dan Peluang” Jakarta, Penerbit Erlangga.

Mardiasmo, 2002. “Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis

Perekonomian Daerah”. Makalah disampaikan dalam seminar

pendalaman ekonomi rakyat.

Prakosa, Kesit Bambang. 2004. “Analisis Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Prediksi Belanja Daerah. JAAI Volume 8 NO. 2 hal 101-118, Desember 2004. Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Prasetyantoko, 2008. Corporate Governance. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Indonesia.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintah.

Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.


(6)

Rubin, Irene S, 1993. The Politics of Public Budgeting: Getting and Spending, Borrowing and Balancing. Second edition. Chatam, NJ: Chatham House Publishers, Inc.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Sianipar, Eva Septriani, 2011. “Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Pengalokasian Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Sumatera Utara”. Skripsi. Universitas Negeri Sumatera Utara, Medan.

Saragih, Juli Panglima, 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi Daerah. Ghalia Indonesia.

Sidik dkk., 2002. Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah yang Mengacu pada Pencapaian Tujuan Nasional. Seminar Nasional Publik Sektor, April, Jakarta.

Syaiful, 2008. Pengertian dan Pemberlakuan Akuntansi Belanja Barang dan Belanja Modal Dalam Kaidah Akuntansi Pemerintahan. www.bappenas.go.id.

Setiawan, 2011. “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah dan Dana Bagi Hasil Terhadap Belanja Daerah”. Skripsi. (Studi Kasus pada Pemerintah Kota Bandung).

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Wahyuni dan Adi, 2009. Analisis Pertumbuhan dan Kontribusi Dana Bagi Hasil Terhadap Pendapatan Daerah (Studi Pada Kabupaten/Kota Se Jawa-Bali). National Conference UKWMS Surabaya.

Djpk.kemenkeu.go.id. Http://www.Bi.go.id.


Dokumen yang terkait

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKAN UPAH MINIMUM KABUPATEN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN KABUPATEN KOTA DI PROVINSI JAWA TIMUR

0 6 23

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Alokasi Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Periode Tahun 2010-2014).

0 4 14

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP ALOKASI BELANJA MODAL Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Alokasi Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Periode Tahun 2010-2014).

0 3 24

PENDAHULUAN Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Alokasi Belanja Modal (Studi Empiris pada Pemerintah Kabupaten dan Kota di Jawa Timur Periode Tahun 2010-2014).

0 3 10

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS PADA Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal (Studi empiris pada pemerintah kabupaten / kota di provinsi Jawa Tengah).

0 3 16

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ALOKASI BELANJA MODAL (STUDI EMPIRIS Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal (Studi empiris pada pemerintah kabupaten / kota di provinsi Jawa Tengah).

0 2 13

PENDAHULUAN Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi belanja modal (Studi empiris pada pemerintah kabupaten / kota di provinsi Jawa Tengah).

0 3 9

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Belanja Modal Dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah (Studi Empiris pada Kabupaten/Kota di Indonesia).

0 0 18

Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi pengangguran di provinsi Jawa Timur tahun 2011-2014 COVER

0 0 14

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alokasi Belanja Modal Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagaivariabel Moderasi

0 0 18