Infeksi Helicobacter Pylori

INFEKSI HELICOBACTER PYLORI
Juwita Sembiring, Herlina Maria Sitorus
Divisi Gastroentero-Hepatologi  Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
RSUP. H. Adam Malik Medan – RSU Pirngadi Medan
PENDAHULUAN
Helicobacter Pylori (H.pylori) menjadi subyek penelitian yang luas sejak Barry Marshal
dan Warren pada 1983 berhasil membiakan bakteri tersebut dari biopsi lambung pasien yang
menderita gastritis kronik dan ulkus peptikum. Untuk membuktikan hubungan kedua kejadian
tersebut, dua orang sukarelawan yaitu Marshall (Australia) dan Morris (Selandia Baru)
memasukkan kultur murni H.pylori ke dalam tubuhnya. Pada pemeriksaan endoskopi dan
histopatologi yang dilaksanakan memperlihatkan adanya gastritis dan ulkus peptikum.
Permasalahan yang ada, masih menyangkut diagnostik dan regimen pengobatan yang optimal.
Penelitian yang sedang berlangsung bertitik tumpu pada pemetaan genome H.pylori dan
kemungkinan untuk mengembangkan vaksin terhadap kuman ini.1Prevalensi H.pylori sangat
bervariasi terhadap keadaan geografis, etnis, usia, dan faktor sosioekonomi, dimana angkanya
masih tinggi di negara berkembang dan cenderung turun pada negara maju. Pendekatan jangka
pendek yang dimungkinkan oleh sumber daya yang ada, adalah strategi test and treat terhadap
mereka yang berisiko terhadap tukak peptik dan kanker lambung, dan juga pada pasien dispepsia
yang sulit ditangani.2
Morfologi

Helicobacter pylori adalah bakteri gram negatif yang mikroaeropilik tumbuh baik
dalam suasana lingkungan yang mengandung 02 (oksigen) 5% ; CO2 5 – 10% pada temperatur 37ºC
selama 16 – 19 hari dalam media agar basa dengan kandungan 7% eritrosit kuda dan dengan pH 6,7 – 8
serta tahan beberapa saat dalam suasana sitotoksin seperti ph 1,5 . (Gambar 1)3. Kemampuan bakteri

ini untuk dapat hidup dalam suasana asam ini, sebagian disebabkan oleh aktivitas urease yang
luar biasa, dimana urease dapat merubah urea pada cairan lambung menjadi ammonia alkalin dan
karbon dioksida. H.pylori menyebabkan inflamasi ringan yang kronis pada lambung. (Gambar
2)3 Bakteri ini pada awalnya dinamai Campylobacter pyloridis dan kemudian lagi diubah
menjadi C. pylori. Setelah gen rRNA 16S dapat diurutkan dan beberapa penelitian menunjukkan
bahwa bakteri ini tidak dapat dimasukkan ke dalam genus Campylobacter, maka pada tahun
1989 bakteri ini ditempatkan pada genus tersendiri yaitu Helicobacter. Dan kata pylori diambil
dari bahasa Yunani kuno yang berarti penjaga gerbang.3,4 Sitoplasma H.pylori berisi bahan-bahan
nukleoid dan ribosome. Genom H.Pylori mempunyai ukuran sekitar 1,6- 1,73 Mb yang berisi Strain dari
H.pylori dapat dibagi atas 2 kelompok yaitu strain tipe 1 dan tipe 2.Strain tipe 1 dengan cagA (cytotoxin
associated gene A) dan vacA (vacuolating cytotoxin gene A) yang positif.Sedangkan strain tipe 2 cagA
negatif dan vacA in-aktif.Tipe 1 lebih berperan dalam timbulnya ulkus peptikum,radang dan kerusakan
jaringan dibandingkan tipe 2.

1

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1. Helicobacter pylori

Gambar 2. Spesimen biopsi gaster

1.2 Epidemiologi
Ada sekitar 50% dari populasi dunia telah terinfeksi H.pylori. Prevalensi H.pylori lebih
tinggi pada Negara berkembang (80%) .Infeksi biasanya terjadi pada tahun-tahun awal
kehidupan dan cenderung untuk menetap apabila tidak diobati. Hal ini ditunjukkan oleh sebuah
penelitian yang dilakukan di sebuah pedesaan di daerah Lingu, propinsi Shandong, China dimana
didapatkan bahwa infeksi H.pylori mencapai 70% pada anak-anak usia 5-6 tahun, dan angkanya
serupa dengan pervalensi usia dewasa pada daerah tersebut. Prevalensinya meningkat sejalan
dengan bertambahnya usia dan dengan status sosial ekonomi yang rendah pada masa kanakkanak, dan oleh sebab itu sangat bervariasi di seluruh dunia (antara negara maju dan negara
berkembang) maupun di antara populasi yang berbeda dalam satu negara. Prevalensi yang lebih
tinggi pada usia tua diperkirakan menggambarkan efek kohort yang berkaitan dengan kondisi
sosial ekonomi yang lebih jelek pada masa kanak-kanak.2,3,5
Penyebaran H.pylori paling banyak adalah melalui jalur oral-oral atau fekal-oral.
Transmisi secara oral-oral dibuktikan di Afrika dengan adanya kebiasaan memberikan makanan
yang telah dikunyah terlebih dahulu oleh ibu, dan memberikannya pada anak. Kebiasaan ini

lazim dijumpai pada keluarga-keluarga di Burkina Faso, dan dibuktikan dengan didapatkannya
seropositif baik pada ibu maupun anak. Fekal-oral tampaknya merupakan cara transmisi yang
paling penting. Air yang terkontaminasi merupakan sumber infeksi yang penting, namun isolasi
kuman ini dari air sulit dilakukan. Seropositif yang meningkat pada daerah Chile dengan adanya
kebiasaan memakan sayuran yang tidak dimasak, mungkin berhubungan dengan air yang
terkontaminasi yang digunakan untuk menyiram maupun mengolah sayuran ini. Cara transmisi
lain adalah iatrogenik, yaitu melalui tindakan endoskopi . Namun cara penyebaran ini adalah
cara yang paling jarang. Penyebaran dari bahan muntahan juga dimungkinkan terjadi dari orang
tua ke anak, maupun dari anak yang satu ke yang lain .5
Kurangnya sanitasi yang layak, air minum yang layak, dan higienitas, begitu pula
makanan yang kurang bersih dan pemukiman yang padat, keseluruhannya menentukan bagi
prevalensi infeksi ini. Pada tiga penelitian yang dilakukan pada orang dewasa di negara maju,
melaporkan bahwa insiden tahunan infeksi H.pylori adalah 0,3%-0,5%. Yang menarik adalah
penelitian yang baru dilakukan di sebuah RS pendidikan di Roma, yang melibatkan 655 subjek
penelitian, didapatkan prevalensinya mencapai 40%, dan lebih tinggi didapakan pada perawat
dan pegawai RS dibandingkan pada dokter.1,2

2
Universitas Sumatera Utara


Infeksi H.pylori adalah kofaktor dari terjadinya tiga penyakit penting pada saluran
cerna bagian atas yaitu tukak duodeni dan tukak lambung (1-10% dari pasien yang terinfeksi),
kanker lambung (0,1-3%), dan limfoma mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lambung
(90% dan spesifisitas >95%. Walaupun prinsip kerja dari alat-alat diatas pada dasarnya sama,
namun terdapat beberapa perbedaan praktis.6
Pengobatan yang dapat mengurangi aktifitas urease H.pylori, seperti campuran yang
mengandung bismuth, antibiotik, atau PPI, dapat menurunkan sensitifitas RUT sampai 25%.
Walaupun masih kontroversial, perdarahan ulkus yang akut pada saat tes dilakukan dapat
menurunkan sensitifitas dan negatif predictive value dari RUT. Akibat tidak meratanya distribusi
H.pylori setelah terapi antibiotik dan PPI, dianjurkan biopsi jaringan untuk RUT diambil dari dua
tempat, yaitu daerah angularis korpus gaster dan kurvatura mayor antrum. Pemeriksaan yang
sederhana, biaya rendah, dan hasil yang relatif cepat membuat RUT menjadi pemeriksaan yang
praktis dan cost-effective untuk membuktikan adanya infeksi H.pylori pada pasien yang belum
mengkonsumsi bismuth, antibiotik, atau PPI yang membutuhkan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna atas. Sayangnya, penggunaan RUT dalam praktik klinik rutin sudah berkurang akibat
penggunaan luas dari PPI sebagai terapi empiris gejala-gejala saluran cerna bagian atas. Oleh
karena itu, RUT jarang digunakan sebagai uji tunggal untuk mengidentifikasi infeksi H.pylori.
Biasanya, RUT digunakan sebagai kombinasi dengan modalitas pemeriksaan lain baik
endoskopik maupun non endoskopik untuk menegakkan ada atau tidaknya infeksi H.pylori.
Tidak ada penelitian yang menunjukkan durasi pemakaian PPI yang pasti, yang dapat

mengganggu sensitifitas dari RUT. Data dengan pemeriksaan Urea Breath Test(UBT)
menunjukkan bahwa terapi PPI selama 1-2 minggu dapat memberikan hasil negatif palsu.
Karena RUT dan UBT sama-sama mengandalkan aktifitas urease dalam mengidentifikasi infeksi
H.pylori, sangat beralasan untuk menghentikan sementara terapi PPI selama 1-2 minggu sebelum
diadakannya RUT. Pada keadaan dimana pasien tidak ada mengkonsumsi PPI dalam 1-2 minggu
terakhir sebelum RUT, sensitifitas RUT yang tinggi tampaknya cukup bagi klinisi untuk
mengandalkan RUT sebagai tes tunggal terhadap H.pylori.6

Histologi
Histologi telah dianggap oleh beberapa kalangan sebagai baku emas untuk mendeteksi
H.pylori. Sayangnya, histologi tidaklah sempurna untuk dijadikan baku emas untuk mendeteksi
H.pylori, karena ketergantungannya terhadap beberapa hal termasuk lokasi, jumlah, dan ukuran
biopsi lambung, metode pewarnaan, dan tingkat pengalaman ahli patologi yang memeriksa.
Keuntungan pemeriksaan histologi yang paling bermakna dibandingkan dengan pemeriksaan lain
adalah kemampuannya untuk mengevaluasi perubahan patologis yang dihubungkan dengan
infeksi H.pylori seperti inflamasi, atrofi, metaplasia intestinal, dan malignansi. Bahkan, beberapa
ahli berargumentasi bahwa gastritis kronis tipe B (gastritis antrum diffuse non atrofik atau
pangastritis atrofik) dapat dijadikan penanda pengganti dari adanya suatu infeksi, ketika
organismenya tidak dapat teridentifikasi. Tentunya ketiadaan gastritis kronik merupakan suatu
prediktor potensial bahwa tidak ada infeksi H.pylori.6

Mengingat prevalensi dan kepadatan H.pylori bervariasi di sepanjang H.pylori,
khususnya setelah pengobatan yang dapat mengurangi kepadatan H.pylori, biopsi multiple
dibutuhkan untuk diagnosis yang akurat. Oleh karena itu, direkomendasikan untuk melakukan
sekurang-kurangnya tiga kali biopsi, satu dari daerah angularis, satu dari kurvatura mayor
korpus, dan satu lagi dari kurvatura mayor antrum, untuk memaksimalkan lapangan diagnostik
10
Universitas Sumatera Utara

histologi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa dengan menambahkan biopsi pada korpus
pada biopsi antrum meningkatkan deteksi infeksi H.pylori 10%, dibandingkan dengan biopsy
pada daerah antrum saja. Serupa dengan RUT, sensitifitas dari histologi dipengaruhi oleh
pemakaian bismuth, antibiotik, dan PPI. Walaupun ketersediaannya yang luas dan dapat
mencapai sensitifitas dan spesifisitas >95%, biaya yang relatif mahal dan dibutuhkannya operator
yang terlatih merupakan keterbatasan penggunaan histologi dalam praktik klinis sehari-hari.6

Kultur
Kultur merupakan pemeriksaan yang sangat spesifik untuk mengidentifikasi infeksi
aktif H.pylori. Secara konsep, kultur sangat menarik karena bukan saja sebagai salah satu cara
untuk mengidentifikasi adanya infeksi, tetapi juga memungkinkan untuk mengetahui sensitifitas
antibiotik. Sayangnya, kultur tidak sesensitif RUT dan histologi. Lagi pula, kultur untuk H.pylori

membutuhkan teknik yang tinggi dan mahal. Akibatnya, pemeriksaan ini hanya tersedia di
beberapa laboratorium klinik yang terbatas jumlahnya. Cara lain dalam menetukan antibiotik
yang sesuai tanpa kultur sedang dikembangkan dan belum diterima secara luas.6

Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR adalah teknik amplifikasi DNA yang menggunakan produksi yang sangat cepat
dari kopi multiple dari urutan DNA target untuk mengidentifikasi infeksi H.pylori. Pemeriksaan
ini sangat spesifik dan mungkin lebih sensitive dibandingkan pemeriksaan lain yang berdasarkan
biopsy. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa PCR dapat mengidentifikasi H.pylori 20% dari
biopsy lambung dengan gastritis kronik, dimana dengan histologi organisme ini tidak dapat
diidentifikasi. PCR juga dapat mengidentifikasi adanya mutasi yang dihubungkan dengan
resistensi antibiotik. Walaupun saat ini, pemeriksaan ini masih terbatas dalam lingkup penelitian,
metode ini suatu hari dapat dipakai sebagai metode rutin yang praktis untuk uji resistensi
antibiotik, penetuan tipe organism, dan uji virulensi organisme.6

Tes Diagnostik Non Endoskopik
Tes Antibodi
Tes antibodi bertumpu pada deteksi antibodi IgG spesifik terhadap H.pylori di serum
atau urine. Antibodi IgG H.pylori dapat muncul rata-rata 21 hari setelah infeksi dan dapat
menetap lama setelah eradikasi. Antibodi terhadap H.pylori dapat secara kuantitatif dihitung

dengan menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan teknik agglutinasi
lateks atau secara kualitatif dinilai dengan menggunakan peralatan yang lebih sederhana (officebased kits). Keuntungan dari tes ini adalah biaya murah, tersedia luas, dan hasil yang cepat.
Sayangnya, beberapa faktor membatasi kegunaannya dalam praktik klinis. Sebuah meta analisis
yang mengevaluasi beberapa pemeriksaan kuantitatif yang tersedia secara komersial,
menunjukkan bahwa sensitifitasnya 85% dan spesifisitasnya 79%. Dan tidak terdapat perbedaan
dari berbagai alat. Tiga alat yang berbeda yang memeriksa secara kualitatif antibodi dari darah,
dalam suatu penelitian yang berbeda, menunjukkan sensitifitas yang bervariasi antara 76%-84%
dan spesifisitasnya 79%-90%. Sangat penting untuk diingat bahwa positive predictive value
(PPV) dari pemeriksaan antibodi sangat bergantung pada prevalensi infeksi H.pylori pada suatu
11
Universitas Sumatera Utara

daerah. Pada akhirnya, tes antibodi memiliki peranan yang sedikit terutama jika terdapat riwayat
eradikasi, mengingat hasilnya dapat tetap positif hingga bertahun-tahun setelah eradikasi yang
sukses.2,6
Urea Breath Test (UBT)
UBT, seperti RUT, mengidentifikasi infeksi aktif H.pylori dari aktifitas urease. Dengan
adanya H.pylori, urea yang ditelan, dapat ditandai dengan isotop non radioaktif
radioaktif


13

C atau isotop

14

C, akan menghasilkan CO2 yang telah bertanda, yang dapat dihitung dari udara

ekspirasi. Walaupun jumlah radiasi pada 14C UBT lebih sedikit daripada paparan radiasi seharihari, namun

13

C lebih disukai untuk pemeriksaan pada anak-anak dan wanita hamil. Secara

keseluruhan, kedua pemeriksaan di atas mempunyai cara yang sama dengan sensitifitas dan
spesifisitasnya melebihi 95% pada kebanyakan penelitian. UBT juga dapat sebagai tes yang
akurat pada post pengobatan. Urease blood test, yang memeriksa karbonat yang telah ditandai
pada darah, juga dapat diandalkan untuk mendeteksi H.pylori sebelum dan sesudah terapi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, seperti halnya pemeriksaan RUT, sensitifitas pemeriksaan
ini juga menurun pada pemakaian obat-obatan yang dapat menurunkan aktifitas urease. Masih

kontroversial apakah H2RA mempengaruhi sensitifitas dari pemeriksaan ini, tetapi beberapa
laboratorium menganjurkan untuk menghentikan obat ini 24-48 jam sebelum pemeriksaan.
Antasida tampaknya tidak mempengaruhi pemeriksaan ini.
Selain kendala-kendala yang dibahas di atas, terdapat beberapa hal lagi yang membuat
UBT tidak terlalu diterima secara baik pada praktik klinis. Diantaranya, dibutuhkannya
infrastruktur khusus, perlunya kunjungan tambahan pasien sebelum pemeriksaan, dan biaya.
Pada saat sekarang ini, di US, UBT lebih mahal dibandingkan dengan tes antibodi dan tes
antigen fekal. Biaya UBT yang mahal disebabkan oleh biaya peralatan dan biaya urea yang
ditandai.6
Fecal Antigen Test (FAT)
FAT

mengidentifikasi

antigen

immunoassaydengan menggunakan antibodi

H.pylori


pada

feses

dengan

cara

enzyme

anti H.PYLORI poliklonal. Baru-baru ini,

pemeriksaan antigen H.pylori pada feses dengan menggunakan antibodi monoklonal sedang
dikembangkan. Karena pemeriksaan ini mendeteksi antigen dari bakteri yang menggambarkan
infeksi yang sedang berlangsung, tes ini dapat digunakan untuk skrining dan menetukan apakah
telah terjadi penyembuhan setelah terapi. Suatu systematic reviewterakhir menunjukkan
karakteristik dari FAT sebelum dan sesudah terapi (Tabel 2). Meskipun analisa di atas
menunjukkan sensitifitas dan spesifisitas yang sangat baik pada poliklonal tes sebelum terapi,
tetapi sensitifitas dan PPV nya kurang memuaskan setelah terapi. Di sisi lain, sensitifitas dan
spesifisitas dari FAT monoclonal di atas 90% sebelum dan sesudah terapi. Penjelasan pasti
mengapa terjadi perbedaan di antara kedua es di atas masih kurang jelas. FAT telah disetujui
oleh U.S. Food and Drug Administration dan didukung oleh Maastricht 2-2000 Consensus
Report Eropa sebagai cara alternatif bagi UBT untuk Monitoring penyembuhan. Penelitian
terakhir menunjukkan bahwa FAT mungkin efektif dalam mengkonfirmasi eradikasi dalam 14
hari setelah pengobatan.6
Ketika melakukan pemeriksaan H.pylori pada populasi dengan kemungkinan infeksi
yang rendah, FAT memberikan akurasi yang lebih baik dibandingkan dengan tes serologi;
12
Universitas Sumatera Utara

dengan mungkin biaya yang sedikit lebih tinggi. Serupa dengan UBT, sensitifitas dari FAT juga
menurun dengan pemakaian obat-obatan bismuth, antibiotik, dan PPI. Penelitian terakhir juga
memperlihatkan spesifisitas FAT yang menurun pada PUD, sehingga tidak dapat digunakan
sebagai pemeriksaan tunggal pada keadaan tersebut. Walaupun FAT gampang untuk dilakukan,
hal-hal yang memperlambat digunakannya pemeriksaan ini secara luas termasuk rasa tidak
nyaman menyerahkan dan menyimpan feses, ketersediaannya yang terbatas, dan reimbursement
yang bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Pengembangan tes feses in-office sedang
dikerjakan dan dapat memperbaiki kekurangan tes-tes yang sekarang telah ada. Saat ini
pemeriksaan feses in-office belum valid dalam percobaan klinis.
Berdasarkan data yang tersedia, sangat beralasan menyimpulkan bahwa FAT dapat
digunakan saling menggantikan dengan UBT dalam mengidentifikasi H.pylori sebelum terapi
antibiotik, FAT poliklonal kurang valid dibandingkan UBT pada keadaan post treatment.
Tabel 2. Performance Characteristics of the Fecal Antigen Test6

# Studi /
# Pasien
Pretreatment
Polyclonol
Monoclonol
Posttreatment
Polyclonol
Monoclonol

Sensitivitas Spesivisitas

PPV

NPV

89/10.858
8/1.399

91
96

93
97

92
96

87
97

39/3.147
6/418

86
95

92
97

76
91

93
98

PPV = positive predictive value; NPV = negative predictive value

Secara ringkas, keunggulan dan kelemahan masing-masing tes untuk H.pylori dapat
dilihat pada tabel 3 berikut:

13
Universitas Sumatera Utara

Tabel 3. Tes diagnostik untuk infeksi H.pylori2

PENGOBATAN INFEKSI H.PYLORI

Tujuan dari eradikasi H.pylori bertujuan untuk menyembuhkan tukak peptik dan
mengurangi risiko untuk menderita kanker lambung semasa hidup. Karena beban dari kanker
lambung meningkat--terutama pada Negara berkembang, diakibatkan meningkatnya usia harapan
hidup, eradikasi dari infeksi H.pylori tampaknya berpotensi untuk mengurangi beban tersebut.2
Pada titik mana dalam perjalanan infeksi H.pylori, eradikasi dapat mencegah kanker lambung
belum jelas. Mungkin terdapat suatu titik dimana eradikasi tidak lagi berguna untuk mencegah
berkembangnya kanker lambung (a point of no return). Adanya tanda lesi mukosa mungkin
dapat sebagai petunjuk titik ini. Karena kebanyakan penderita mendapatkan infeksi segera
setelah lahir, maka lesi ini dapat muncul cukup awal dalam kehidupan, dan informasi yang lebih
baik dari seluruh belahan dunia diperlukan untuk menentukan saat yang optimal untuk
melakukan intervensi.2
Eradikasi H.pylori didukung oleh sejumlah konsensus di seluruh dunia dan pada
umumnya aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Berikut adalah indikasi pengobatan infeksi
H.pylori pada pasien dengan H.pylori positif. (Tabel 4)2
14
Universitas Sumatera Utara

Tabel 4. Indikasi pengobatan pada pasien-pasien H. Pylori–positif

1
2
3
4
5
6
7

Riwayat atau dengan ulkus duodenal dan/atau gaster, dengan atau tanpa komplikasi
Reseksi kanker gaster
Limfoma mucosa-associated lymphoid tissue (MALT) lambung
Gastritis atrofi
Dispepsia
Pasien dengan hubungan tingkat pertama dengan kanker gaster
Permintaan pasien
Vaksin merupakan strategi yang paling ideal mengingat beban mortalitas, morbiditas,

serta eradikasi yang sulit dan mahal. Suatu penelitian awal pada hewan tahun 1990
mengisyaratkan bahwa vaksinasi terhadap H. Pylori memungkinkan. Yang kemudian diketahui
bahwa mekanisme kunci terhadap proteksi imunitas akan muncul melalui sel fenotip T-helper
tipe 2, yang diinduksi oleh interleukin 4 dan 10 dan bukan oleh produksi antibodi. Tetapi
beberapa masalah masih menghadang menyangkut penyediaan vaksin yang aman dan efektif.
Beberapa vektor yang aman untuk menstimulasi respon imunitas sedang dicari. Beberapa agen,
termasuk toksin kolera dan toksin E.coli, telah digunakan bersama-sama dengan antigen spesifik
H.pylori (contohnya urease) dengan angka keberhasilan yang bervariasi. Masalah berikutnya
adalah menentukan cara pemberian yang aman. Pada penelitian pada tikus, didapatkan bahwa
pemberian dengan semprotan hidung dan per rectal memberikan kemungkinan yang lebih kecil
untuk menginduksi terjadinya gastritis, dibandingkan dengan pemberian melalui oral. Penelitian
untuk menjawab masalah-masalah di atas sedang berlangsung. Oleh karena vaksin sampai saat
ini belum tersedia, dan karena sumber infeksi yang pasti belum diketahui, sulit untuk
memberikan rekomendasi cara-cara untuk menghindarkan infeksi. Secara umum, sangat
bijaksana dalam mengikuti kaidah-kaidah kesehatan secara umum, seperti mencuci tangan,
memakan makanan yang dimasak dengan baik, dan memilih sumber air minum yang bersih dan
aman.2

Regimen Eradikasi
Helicobacter pylori ( H.Pylori) adalah bakteri yang mengakibatkan penyakit infeksi
dengan prevalensi global yang sangat tinggi. Penyakit ini sangat sulit untuk diberantas oleh
karena resistensi antibiotik yang sangat tinggi hal ini diakibatkan antibiotik yang sering
diresepkan dan mudah tersedia. Meski pengetahuan tentang bakteri ini sudah lebih luas, seperti
genomik yang menyusunnya dan patogenesis, tetapi dijumpai penurunan keberhasilan dalam
penanganannya. Oleh karena itu, dokter saat ini harus siap menghadapi satu, dua atau bahkan
kegagalan dalam pengobatan ,dan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang cukup untuk
memutuskan terapi yang tepat saat kegagalan ini terjadi.12
Eradikasi H. pylori dianjurkan pada semua pasien dengan peptic ulcer disease (PUD).
Terapi lini pertama sebaiknya memiliki tingkat eradikasi lebih dari 80%. Karena pada awal
pengobatan dokter pada pelayanan primer jarang mengetahui kerentanan pada bakteri ini. Maka
terapi harus dipilih secara empiris berdasarkan daerah pola resistensi bakteri, rekomendasi
setempat, dan ketersediaan obat.12
15
Universitas Sumatera Utara

Prinsip dasar pemberian dosis Proton Pump Inhibitor (PPI) dengan dosis tinggi (dua kali
sehari) lebih efektif daripada dosis standar dalam memberantas infeksi HP. Di pelayanann
primer pemberian PPI sering bawah dosis di rejimen terapeutik. Dalam penelitian “ in vitro"
menunjukkan bahwa antibiotik dengan konsentrasi hambat yang minimum dipengaruhi oleh pH
intragastrik . Sebuah penelitian di Italia dan meta-analisis jelas menyatakan bahwa PPI harus
diberikan dengan dosis tinggi untuk mendapatkan hasil yang optimal.13
Terapi Lini Pertama
Standar pengobatan triple terapi terdiri dari 7-10 hari rejimen pengobatan dengan PPI
(dosis standar , dua kali sehari), amoksisilin (1 g, dua kali sehari ), dan klaritromisin (500 mg,dua
kali sehari ). Pada dekade terakhir efektivitas standar terapi 7 hari berdasarkan terapi PPI
triple terapi (PPI + klaritromisin + amoxicillin atau metronidazole) menurun menjadi tingkat
rendah dan sering tidak dapat dipakai karena peningkatan prevalensi resistensi klaritromisin
Resistensi klaritromisin penyebab utama kegagalan eradikasi pada terapi standar triple terapi.
Dari 20 studi yang dikumpulkan melibatkan 1.975 pasien yang diobati dengan standar triple
terapi menunjukkan tingkat penyembuhan sebanyak 88% dengan strain klaritromisin yang
sensitif dibandingkan dengan strain klaritromisin yang resisten ada sebanyak 18%.Oleh karena
itu, kondisi resistensi klaritromisin sangat penting, karena memberikan dampak negatif terhadap
efektivitas . Sebuah ulasan sistematis menunjukkan bahwa tingkat resisten klaritromisin strain
berkisar antara 49% (Spanyol) 1% (Belanda). Di daerah dengan resistensi klaritromisin
90%. Terapi standar untuk klaritromisin pada daerah resistensi

yang tinggi sekarang jelas

dinyatakan dalam 2012 Maastricht Ⅳ / Florence laporan konsensus: ambang batas 20%.
Digunakan untuk memisahkan daerah tinggi resistensi klaritromisin dan yang resistensi rendah
dengan rejimen klaritromisin mengandung mempertahankan perannya sebagai terapi standar
hanya jika lokal resistensi terhadap agen ini tidak melebihi 20%.Namun,terapi tiga standar harus
ditinggalkan di daerah dengan resistensi klaritromisin ≥ 20%

yaitu, Spanyol, Turki,Italia

(Central), Alaska, China, Jepang, dan Kamerun] karena tingkat pemberantasan PP dari terapi
standar yang sering kurang dari 85%.13
Terapi sekuensial terdiri dari program lima hari pemberian PPI dan amoksisilin 1 g
dilakukan dua kali sehari, diikuti oleh program lima hari dari PPI, klaritromisin 500 mg, dan
metronidazole 500 mg atau tinidazol 500 mg dilakukan dua kali sehari. 10 hari. Terapi dengan
standar sekuensial ini telah menunjukkan efektivitas yang tinggi di lini pertama pengobatan HP
tingkat efikasi lebih unggul sekitar 90%. Terapi sekuensial merupakan rejimen yang paling
banyak dipelajari di Italia dan efikasi yang tinggi ini juga dikonfirmasi dalam praktek klinis.
Rejimen ini tampaknya dapat mengatasi masalah resistensi klaritromisin. Sebuah tinjauan
sistematis terbaru dan meta-analisis sebanyak 46 menunjukkan bahwa terapi sekuensial lebih
unggul dari terapi 7 dan 10 hari dengan triple terapi.Tetapi sebuah meta-analisis terbaru dengan
data global mengungkapkan bahwa terapi sekuensial lebih unggul terapi tiga tujuh hari, tetapi
tidak unggul dengan terapi tiga 14-hari, quadruple dengan bismut- terapi, atau terapi quadruple
dengan non-bismuth. Tingkat kepatuhan dan toleransi terapi sekuensial mirip dengan terapi

16
Universitas Sumatera Utara

triple tapi biayanya lebih rendah, terutama ketika biaya kegagalan terapi lini pertama menjadi
pertimbangan. Namun, kebanyakan studi dilakukan di Italia, dan pedoman ACG menyatakan
bahwa terapi sekuensial membutuhkan validasi di Amerika Serikat.dp 2,dp9 Dalam kasus alergi
penisilin, baik terapi sekuensial dan bersamaan tidak layak, dan rejimen tiga 14 hari PPIklaritromisin-metronidazole harus digunakan.13
Terapi bersamaan (concomitant therapy ) adalah regimen baru yang lain dan terbukti
sukses.Rejimen 4-obat ini termasuk PPI (standar dosis, dua bkalin sehari ), klaritromisin (500
mg, dua kali sehari ), amoksisilin (1 g, dua kali sehari ), dan metronidazol (500 mg, dua kali
sehari), yang semuanya dp 10diberikan untuk seluruh durasi terapi. Terapi ini unggul dibanding
terapi standar triple terapi untuk eradikasi H. pylori dan juga kurang kompleks daripada terapi
sekuensial. Sebuah penelitian head to head non inferior dimana terapi sekuensial 10-hari dan
10-hari terapi bersamaan menunjukkan bahwa terapi ini adalah setara 93,1% vs 93,0%.13
Keuntungan lebih lanjut dari terapi concomitant adalah (penambahan Nitroimidazole
untuk pengobatan standar) dan validasi geografis yang lebih luas (Termasuk Jepang, Kolombia,
Taiwan, Spanyol, dan Yunani) dibandingkan dengan terapi sekuensial. Terapi hibrida
(sequential-concomitant) dilaporkan oleh Hsu et al dimana terapi ini terdiri dari terapi ganda
dengan PPI (standar dosis, dua kali sehari ) dan amoksisilin (1 g, dua kali sehari ) selama 7 hari
diikuti oleh terapi quadruple bersamaan dengan PPI (standar dosis, dua kali sehari ), amoksisilin
(1 g, dua kali sehari), klaritromisin (500 mg, dua kali sehari), dan metronidazol (500 mg, dua kali
sehari ) selama 7 hari.13,14
Pada terapi yang baru ini diperpanjang durasi pengobatan amoksisilin selama 14 hari dan
mengunakan tiga antibiotik dalam 7 hari terakhir dari program pengobatan . Dalam 117 orang
subjek yang terinfeksi H. Pylori terapi baru ini sangat baik tingkat eradikasi dan penting untuk
dicatat bahwa terapi ini memiliki khasiat tinggi untuk pengobatan strain H. pylori mempunyai
resistensi ganda untuk klaritromisin dan metronidazol. Perpanjangan amoksisilin dalam durasi
pengobatan selama 14 hari

dalam terapi hybrid ini yang

mungkin menjelaskan tingkat

pemberantasan yang lebih tinggi dari H. Pylori strain dengan resistensi ganda untuk klaritromisin
dan metronidazol. Baru-baru ini, dalam uji coba klinis secara acak, Molina- Infante et al
dibandingkan terapi hybrid (omeprazole 40 dua kali sehari mg dan amoksisilin dua kali sehari
1 g selama 14 hari dengan klaritromisin dua kali sehari 500 mg dan Nitroimidazole 500 mg dua
kali sehari pada 7 hari terakhir dengan terapi bersamaan (4 obat yang sama diberikan bersamaan
dua kali sehar