Penerapan Prinsip Kehati Hatian Dalam Pelaksanaan Kredit Sindikasi

BAB II
PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PEMBERIAN KREDIT

E. Latar Belakang dan Pengertian Prinsip Kehati-Hatian
Prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) adalah suatu asas atau
prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib bersikap hati-hati (Prudent) dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya. 8
Istilah prudent sangat terkait dengan pengawasan dan manajemen Bank. Kata
prudent itu sendiri secara harafiah dalam Bahasa Indonesia berarti kebijaksanaan,
Namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan untuk asas kehati-hatian.9
Dalam rangka penyaluran kredit kepada perusahaan-perusahaan dan
masyarakat untuk kepentingan pembiayaan, maka setiap bank diwajibkan untuk
melaksanakan prinsip kehati-hatian (Prudential Banking Principles) dalam
menyalurkan kredit-kreditnya. Hal ini didasarkan karena resiko yang sangat tinggi
dalam melakukan pemberian kredit sebagai usaha utama bank. Selain itu
kegagalan di bidang kredit dapat berakibat pada terpengaruhnya kesehatan dan
kelangsungan usaha bank itu sendiri. Penerapan prinsip kehati-hatian (Prudential
Banking Principles) dalam seluruh kegiatan perbankan merupakan salah satu cara

8


Rachmadi Usman.Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 18.
9
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm. 21.

Universitas Sumatera Utara

untuk menciptakan perbankan yang sehat, yang pada gilirannya akan berdampak
positif terhadap perekonomian secara makro.10
Ketentuan prinsip kehati-hatian bank berkewajiban untuk menyediakan
informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko keinginan sehubungan dengan
transaksi nasabah yang dilakukan bank, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29
ayat (4) Undang-Undang Perbankan Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Penyediaan
informasi

mengenai


kemungkinan

timbulnya

resiko

kerugian

nasabah

dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan
kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi
dalam dunia perbankan. Apabila informasi tersebut telah dilaksanakan maka bank
dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Ketentuan ini juga menunjukkan
bahwa bank benar-benar memiliki tanggung jawab dengan nasabahnya. Hal ini
sangat relevan dengan konsep hubungan antara bank dengan nasabahnya yang
bukan hanya sekedar hubungan antara debitur dengan kreditur melainkan juga
hubungan kepercayaan dalam bertindak sebagai perantara dana dari nasabah
atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah
nasabahnya.11

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan
bahwa sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian seksama,
10

Pengertian Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian Kredit Dalam Perbankan dan
Pengaturannya di Indonesia dalam http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-prinsipkehati-hatian-dalam.html (diakses tanggal 20 Juli 2016)
11
Penjelasan Pasal 29 ayat 4 Undang-Undang Perbankan

Universitas Sumatera Utara

mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana dari bank itu
sendiri melainkan dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu untuk
dilakukan penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang mendalam,
penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang
sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi
perkreditan yang teratur dan lengkap, semua itu bertujuan agar kredit yang
disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit
yang meliputi pinjaman pokok dan bunga.12

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia pasal 25
ayat 1 mengatur mengenai wewenang Bank Indonesia untuk mengatur mengenai
prinsip kehati-hatian bagi usaha bank dengan menyatakan bahwa ”Dalam rangka
melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan
ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati – hatian.”
Ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian
bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha
perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya
tujuan tersebut maka peraturan-peraturan mengenai prinsip kehati-hatian yang
ditetapkan Bank Indonesia harus disesuaikan dengan standar internasional dan
harus didukung dengan sanksi – sanksi yang adil.13
Oleh Undang-Undang Perbankan sama sekali tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, baik dalam bagian ketentuan maupun
dalam penjelasannya. Undang-Undang Perbankan hanya menyebutkan istilah dan
12
13

Ibid.
Penjelasan Pasal 25 ayat 1 Undang – Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang BI


Universitas Sumatera Utara

ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 8 dan pasal 29
Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 serta pasal 25 ayat 1 UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia di atas. Oleh karena itu,
pengertian prinsip kehati-hatian berdasarkan penjelasan diatas jelas sekali bahwa
kewajiban melaksanakan prinsip kehati-hatian merupakan solusi terbaik dalam
rangka menjaga dan mempertahankan eksistensi perbankan karena akan
menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada industri perbankan itu sendiri.

B. Pengaturan Prinsip Kehati-Hatian dalam Hukum Perbankan Indonesia
Pengaturan prinsip kehati-hatian (Prudential Banking Principle) dapat dilihat
dalam Undang-Undang nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 25,
dimana dalam pasal tersebut terdiri dari 2 ayat yang berisi:

1. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia
berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip kehati-hatian,
2. Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Peraturan Bank Indonesia.


Adapun penjelasan dari kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut:
Pada ayat (1) dijelaskan bahwa ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat
prinsip

kehati-hatian

bertujuan

untuk

memberikan

rambu-rambu

bagi

penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan
yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang

Universitas Sumatera Utara


sehat, maka peraturan-peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil. Pengaturan bank
berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang
berlaku secara internasional. Dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa pokok-pokok
dari berbagai ketentuan yang akan ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia
antara lain memuat:
1. perizinan bank;
2. kelembagaan bank, termasuk kepengurusan dan kepemilikan;
3. kegiatan usaha bank pada umumnya;
4. kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah;
5. merger, konsolidasi dan akuisisi bank;
6. sistem informasi antar bank;
7. tata cara pengawasan bank;
8. sistem pelaporan bank kepada Bank Indonesia;
9. penyehatan perbankan;
10. pencabutan izin usaha, likuidasi dan pembubaran bentuk hukum bank.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa
perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi

dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Ada satu pasal dalam UndangUndang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Perbankan Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan yang secara eksplisit
mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni Pasal 29 ayat (2), (3) dan (4).

Universitas Sumatera Utara

Pasal 29:
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan

modal,

kualitas

aset,

kualitas

manajemen,


likuiditas,

rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehatihatian.
(3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara
yang

tidak

merugikan

bank

dan

kepentingan

nasabah


yang

mempercayakan dananya kepada bank.
(4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V Undang-Undang Perbankan (Terdiri dari
Pasal 29 s/d Pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam
ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, Ketentuan Prudent Banking
sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus
lagi menurut Anwas Nasution, Ketentuan Prundent Banking termasuk dalam
ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.14
Pengaturan prinsip kehati-hatian terdapat dalam pasal lain di undang-undang
perbankan yakni dalam pasal 8, pasal 10 dan pasal 11 Undang-Undang
Perbankan. Dimana dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai
14

Mulhadi, Prinsip Kehati-Hatian (Prudent Banking Principle) dalam Kerangka UU
Perbankan di Indonesia, 2005 USU Repository 2006, dalam repository.usu.ac.id (diakses tanggal
20 Juli 2016)


Universitas Sumatera Utara

keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya
sesuai dengan yang diperjanjikan sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 8
Undang-Undang Perbankan. Bank Umum dilarang melakuan penyertaan modal,
kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c serta melakukan
usaha perasuransian dan melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana
dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 diatur dalam pasal 10 Undang-Undang
Perbankan.
Pasal 11 :
1. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi surat berharga atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberikan kredit, atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain
yang serupa yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih
dari modal disetor bank;

Universitas Sumatera Utara

b. anggota Dewan Komisaris;
c. anggota Direksi;
d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c;
e. pejabat bank lainnya; dan
f. perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e.
4. Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
melebihi 10% dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh BI.
4a. Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4).
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh Undang-Undang
Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun
dalam penjelasan. Undang-Undang Perbankan hanya menyebutkan istilah dan
ruang lingkup saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas.
Dalam bagian akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwa bank wajib menjalankan
usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk
tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas
aset, kualitas manajemen, likuiditas, dan aspek lain yang berhubungan dengan

Universitas Sumatera Utara

usaha bank. Dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses
pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip
kehati-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern
dalam bentuk self regulation.15
Pengaturan Prudent Banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah
seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik setelah lahirnya Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan Undang-Undang
No. 10 Tahun 1998.

C. Ruang Lingkup Prinsip Kehati-Hatian
Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan Prudent Banking
(Pembinaan dalam arti sempit) meliputi modal awal maupun rasio modal terhadap
kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (Batas Maksimum Pemberian
Kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri
(NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit
macet). Transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.16
Setiap bank senantiasa menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential
banking) dalam pemberian kredit. Prinsip kehati-hatian tersebut dimuat dan
ditetapkan secara jelas di dalam Kebijakan Pemberian Kredit yaitu meliputi
sebagai berikut :17
15

Ibid.
Ibid.
17
Miranti.Penerapan prinsip kehati-hatian (prudential) banking dalam rangka pemberian
kredit dengan jaminan deposito secara gadai di bank X.2010 Tesis. FH.UIdalam
http://www.lib.ui.ac.id/detail?id=131521&lokasi=lokal (diakses tanggal 20 Juli 2016)
16

Universitas Sumatera Utara

1. Kebijakan pokok dalam perkreditan yang memuat pokok-pokok mengenai:
a. tata cara pemberian kredit yang sehat;
a. pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan bank;
b. pemberian kredit kepada debitur-debitur besar tertentu;
c. pemberian kredit yang mengandung resiko yang tinggi;
d. pemberian kredit yang perlu dihindari.
2. Tata cara penilaian kualitas kredit
Yaitu penilaian kualitas kredit harus berdasarkan pada suatu tata cara yang
bertujuan untuk memastikan bahwa hasil penilaian kolektibilitas kredit yang
dilakukan oleh bank telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
3. Profesionalisme dan integritas pejabat perkreditan
Dalam Kebijakan Pemberian Kredit dinyatakan bahwa semua pejabat bank
yang terkait dengan perkreditan termasuk anggota-anggota Dewan Komisaris dan
Direksi sekurang-kurangnya harus:
a. melaksanakan kemahiran profesionalnya di bidang perkreditan secara jujur,
obyektif, cermat, dan seksama;
b. menyadari dan memahami sepenuhnya pasal 49 ayat 2 Undang – Undang
Perbankan serta menjauhkan diri dari perbuatan – perbuatan sebagaimana
disebutkan dalam pasal tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia, terdapat kondisi tertentu yang
menyebabkan bank dilarang untuk memberikan kredit kepada (calon) debitur.
Dengan larangan tersebut, bank tidak diperkenankan untuk :18
1. Memberikan kredit tanpa surat perjanjian secara tertulis berarti setiap
pemberian kredit dalam bentuk apapun harus senantiasa disertai dengan surat
perjanjian tertulis yang jelas dan lengkap.
2. Memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah dapat diperhitungkan
kurang sehat dan akan membawa kerugian.
3. Memberikan kredit melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
4. Memberikan kredit untuk pembelian saham dan modal kerja dalam rangka
kegiatan jual beli saham.
5. Memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan yang tidak berdomisili
di Indonesia.
6. Melanggar loan to deposit ratio (LDR) dalam pemberian kredit.
7. Memberikan kredit lebih dari Rp.50.000.000,- kepada satu debitur tanpa
mencantumkan NPWP.
8. Memberikan kredit kepada pengembang atau developer untuk pengadaan dan
atau pengolahan tanah baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penerapan dari larangan pemberian kredit tersebut dilakukan untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian (prudential banking) dalam rangka pemberian
kredit. Kondisi pemberian kredit yang dilarang dibedakan berdasarkan kriteria

18

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

debitur dan tujuan pemberian kredit. Adapun larangan pemberian kredit tersebut
adalah sebagai berikut :19
1. Larangan pemberian kredit berdasarkan kriteria debitur
Pemberian kredit (dalam mata uang rupiah/valas) tidak diperkenankan
untuk debitur dengan kriteria sebagai berikut :
a. Warga Negara Asing (WNA)
b. Badan hukum asing/badan asing lainnya.
c. Warga Negara Indonesia yang memiliki status penduduk tetap
(permanent resident) di negara lain dan tidak berdomisili di Indonesia.
d. Kantor bank/badan hukum Indonesia di luar negeri.
Adapun pengecualian larangan pemberian kredit berdasarkan kriteria
debitur adalah sebagai berikut :
a. Kredit sindikasi yang memenuhi ketentuan berikut :
1) Mengikutsertakan prime bank sebagai lead bank.
2) Kredit diberikan untuk pembiayaan proyek di sektor riil dan usaha
produktif yang berada di wilayah Indonesia.
3) Kontribusi bank asing sebagai anggota sindikasi lebih besar
dibandingkan dengan kontribusi bank dalam negeri.
b. Pengambil alihan tagihan dari badan yang ditunjuk pemerintah untuk
mengelola aset-aset bank dalam rangka restrukturisasi perbankan
Indonesia oleh pihak asing yang pembayarannya dijamin oleh
primebank.

19

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

2. Larangan pemberian kredit berdasarkan tujuan kredit
Pemberian kredit kepada (calon) debitur tidak diperkenankan untuk tujuan
berikut ini :
a.

Pembelian saham dan/atau pemilikan saham yang tidak dimaksudkan
sebagai penyertaan.

b.

Usaha yang bersifat spekulatif.

c.

Pembiayaan pengadaan dan/atau pengolahan tanah bagi pengembang,
larangan ini tidak berlaku untuk pengembang yang melakukan
„pembangunan rumah sederhana.

D. Pengawasan atas Pelaksanaan Prinsip Kehati-Hatian
Berkenaan dengan aktivitas bank yang menganut prudent banking principal
(prinsip kehati-hatian) ada suatu singgungan yuridis dimana di satu pihak sektor
hukum menginginkan agar bank-bank dapat melakukan kegiatan secara prudent
dengan cara menggunakan rambu-rambu hukum berupa “safe” dan “sound”.
Akan tetapi, di lain pihak, banyak juga kegiatan yang sudah berada di pinggirpinggir dari kegiatan suatu bank (kegiatan marginal), tetapi kegiatan tersebut
dapat memberikan keuntungan kepada bank tersebut. Sebagaimana telah
disebutkan bahwa kegiatan-kegiatan marginal tersebut, seperti juga terhadap
kegiatan-kegiatan bank lainnya mestilah diukur dengan rambu-rambu hukum
sebagai berikut:20

20

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

1. Kegiatan bank tersebut haruslah “safe”, maksudnya kegiatan-kegiatan
yang bersangkutan haruslah tidak boleh membawa resiko yang substansial
(substansive risk) kepada bank. Jadi, bank tidak boleh melakukan kegiatan
misalnya yang bersifat sangat spekulatif,
2. Kegiatan bank tersebut haruslah “sound”, maksudnya adalah bahwa
kegiatan bank tersebut haruslah layaknya digolongkan sebagai kegiatan
suatu bank. Jadi, bank tidak boleh berbisnis yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan dunia perbankan.

Pinjaman kredit yang telah disalurkan oleh bank kepada masyarakat dalam
jumlah yang cukup besar dan tidak dibayarkan kembali kepada bank tepat pada
waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka akan

berakibat kualitas kredit

suatu bank digolongkan menjadi Non Performing Loan (NPL) dan jumlah kredit
dengan NPL yang tinggi mengakibatkan terganggunya kesehatan suatu bank yang
bersangkutan. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
dinilai akan menurunkan resiko terhadap kredit bermasalah (non performing
loan/NPL).21

Sebelum

memberikan

bantuan

kredit

kepada

calon

debitur,

tanpa

mengesampingkan prinsip-prinsip dalam perbankan, dalam pemberian kredit juga
menekankan kembali peran prinsip kehati-hatian sebagai prinsip yang penting
sebelum persetujuan kredit yang diajukan oleh calon debitur disetujui. Dalam
praktik perbankan hal-hal yang dapat mendukung debitur dalam mendapatkan

21

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

kredit adalah bagaimana cara calon debitur harus dapat meyakinkan calon
krediturnya untuk mau memberikan pinjaman.22

Sehubungan dengan pelaksanaan prinsip kehati-hatian, maka

dalam

memberikan kredit bank tidak sembarangan. Ada kriteria-kriteria tertentu yang
harus dipenuhi debitur. Kriteria-kriteria itu ada lima, yang disebut dengan lima
analisis kredit (The Five C’s Of Credit Analysis). Kelima kriteria itu adalah
sebagai berikut:23

a. Watak (character)
Watak debitur yang dinilai adalah kepribadian, moral dan kejujuran dalam
mengajukan permohonan kredit, karena debitur yang berwatak buruk tidak dapat
dipercaya, padahal syarat pemberian kredit yang utama adalah kepercayaan.
b. Kemampuan (capacity)
Kemampuan
mengembalikan,

yang

memimpin

dinilai
dan

adalah

kemampuan

menguasai

bidang

debitur

dalam

usahanya

serta

kemampuannya melihat prospek masa depan sehingga usaha permohonan yang
dibiayai dengan kredit itu berjalan baik dan menguntungkan.
c. Modal (capital)
Sebelum mengajukan permohonan kredit kepada bank, pemohon
diwajibkan telah memiliki modal sendiri dan bukan bergantung sepenuhnya

22

Ibid.
Levy Mariam Darus Badrulzaman. Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1991), hlm. 56-59.
23

Universitas Sumatera Utara

kepada kredit bank. Di sini kredit dari bank hanya bersifat melengkapi dan bukan
pokok.
d. Kondisi ekonomi (conditional of economic)
Kondisi ekonomi di sini adalah kondisi ekonomi pemohon untuk
mengetahui apakah dengan kondisi ekonominya yang sekarang pemohon
memiliki kesanggupan untuk mengembalikan pinjamannya.
e. Jaminan (collateral)
Jaminan disini berarti kekayaan yang dapat dikaitkan sebagai jaminan
guna kepastian pelunasan dikemudian hari jika penerima kredit tidak melunasi
hutangnya.
Hal ini sejalan dengan pasal 8 Undang-Undang Perbankan nomor 10
Tahun 1998 yang menegaskan bahwa :
”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank
Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas
iktikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi
utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang
diperjanjikan.”
Persyaratan adanya jaminan untuk memberikan kredit tidak menjadi
keharusan. Bank hanya diminta untuk meyakini berdasarkan analisis yang
mendalam atas itikad baik debitur dan kemampuan dari debitur. Ukuran itikad
baik sifatnya kualitatif tidak mudah untuk mengukurnya, sedangkan kemampuan
dapat dianalisa dari pendapatan debitur dalam berusaha atau pendapatan dari

Universitas Sumatera Utara

pekerjaannya seorang pemohon kredit.24 Jaminan disini dapat berarti material
maupun inmaterial.
Apabila kita melihat ketentuan pasal 1131 KUHPerdata, Undang-Undang
menentukan bahwa segala kebendaan si penghutang, baik yang bergerak maupun
tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.25
Dari pasal 1131 KUHPerdata dapat kita simpulkan bahwa hak-hak tagihan
seorang kreditur dijamin dengan :26
1)

semua barang yang sudah ada, artinya yang sudah ada pada saat hutang
dibuat;

2)

semua barang yang akan ada; disini berarti barang-barang yang pada saat
pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitur, tetapi kemudian
menjadi miliiknya. Dengan perkataan lain hak kreditur meliputi barang
barang yang akan menjadi milik debitur, asal kemudian benar-benar
menjadi miliknya,

3)

baik barang bergerak maupun tak bergerak. Hal ini menunjukan bahwa
piutang kreditur menindih seluruh harta debitur tanpa terkecuali. Maka
bank dalam memberikan kredit disamping jaminan kredit berupa
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik dan
kemampuan debitur. Bank perlu meminta agunan/jaminan tambahan yaitu

24

Sutarno. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan pada Bank, (Jakarta: CV.Alfabeta, 2003),

hlm. 141.
25

H. Budi Untung.Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta, 2000),

hlm. 55.
26

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan , Cetakan 4, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4-6.

Universitas Sumatera Utara

benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak yang memiliki nilai dan
dokumen yang jelas dan jaminan inmateriil.27
Mengenai pentingnya suatu jaminan oleh kreditur (bank) atas suatu pemberian
kredit tidak lain adalah karena jaminan merupakan salah satu upaya untuk
mengantisipasi resiko yang mungkin timbul dalam tenggang waktu antara
pelepasan dan pelunasan kredit.28
Berdasarkan uraian tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus
melakukan penilaian seksama, sehingga perlu untuk dilakukan penerapan prinsip
kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian merupakan salah satu asas penting yang wajib
diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan usahanya.
Prinsip kehati-hatian bank berkewajiban untuk menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko sehubungan dengan transaksi nasabah yang
dilakukan bank. Ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki
tanggung jawab dengan nasabahnya. Tujuan dilakukannya penerapan prinsip
kehati-hatian dalam pemberian kredit adalah agar bank selalu dalam keadaan
sehat menjalankan usahanya dengan baik dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan
norma-norma hukum yang berlaku di dunia perbankan.

27
28

Sutarno, Op. Cit, hlm. 142.
H.Budi Untung, Op.Cit, hlm 57.

Universitas Sumatera Utara