Prinsip Kehati-Hatian Dalam Program Kredit Usaha Rakyat

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995).

Chamim, Asyakuri ibn, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004).

Dimyati, Khudzaifah, & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004).

Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000).

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007).

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).

Mahmoeddin, H.A. S, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).

__________________, Melacak Kredit Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004).

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988).

Muhammad, Abdulkadir, Rilda Murniaty, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).

Nasution, Anwar, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997.

Nasution, Bismar, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library).


(2)

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2003).

Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1987).

Subekti, R, & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pranya Paramita, 1975).

Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2005).

Sjahdeini, St. Remy, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besarb Ilmu Hukum pada Faakultas Hukum UNAIR Suarabaya tanggal 16 Desember 1996, Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November/Desember 1996.

Supriyanto, Eko B, Sepuluh Tahun Krisis Moneter: Kesiapan Menghadapi Krisis Kedua, (Jakarta: InfoKreditur Publishing, 2007).

Widjanarto, Hukum & Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2002).

Internet

Deregulasi Perbankan: Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam http://www.Tempo. co.id/ ang/min/01/52/utama3.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.

Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_oonline.com/05/31/aktual/akt1.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.

Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ ekonomi/ek0001040.asp. Diakses tanggal 10 Juni 2010.

http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/2_Bab_I.pd f

iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/12009/2/H09eip.pdf. diakses tanggal 15 Juni 2010.


(3)

Kreditur BUMN Seperti Keong, http://www.majalahtrust.com/subscribe.html. Diakses tanggal 10 Juni 2008.

Kredit UKM Tidak Dihapusbukukan Total, http://KREDIT UKM TIDAK DIHAPUSBUKUKAN TOTAL.html. Diakses tanggal 10 Juni 2010.


(4)

BAB III

PENGATURAN PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT DI INDONESIA

A. Latar belakang Kredit Usaha Rakyat

Sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah unit UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah) di Indonesia mencapai angka 48,8 juta unit usaha. Namun demikian, dari jumlah tersebut, yang telah memperoleh kredit dari perbankan hanya sekitar 39,06% atau 19,1 juta, sehingga sisanya sejumlah 29,7 juta sama sekali belum tersentuh perbankan. Dari sejumlah 48,8 juta UMKM tersebut ternyata 90 persennya adalah Usaha Mikro yang berbentuk usaha rumah tangga, pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, di mana pada skala inilah paling banyak menyerap tenaga kerja (pro job) dan mampu menopang peningkatan taraf hidup masyarakat (pro poor).

Apabila tidak ada upaya khusus dari pemerintah, dikhawatirkan perbankan masih akan menghadapi kesulitan untuk dapat memberikan kredit kepada UMKM karena pada umumnya walaupun UMKM telah feasible namun belum bankable. Perbankan dituntut menerapkan manajemen risiko secara international best practices (Basel 2) yang tidak cocok dengan kondisi UMKM khususnya dan kondisi makro ekonomi Indonesia. Meskipun sebelum tahun 2007, cukup banyak program pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat perkembangan UMKM melalui berbagai jenis kredit perbankan, namun perkembangan berbagai program tersebut tampaknya belum menarik minat perbankan sehingga dampaknya belum


(5)

dirasakan secara signifikan oleh para pelaku UMKM di tingkat akar rumput (grass root).

Mempertimbangkan kondisi tersebut, akhirnya Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Inpres No. 6 tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM yang diikuti dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis, Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9 Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada UMKM. Akhirnya pada tanggal 5 November 2007, Presiden R.I Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan tersebut dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan penjaminan kredit ini diharapkan akan dapat memberikan kemudahan akses yang lebih besar bagi para pelaku UMKM dan Koperasi yang telah feasible namun belum bankable.

B. Pengertian dan Dasar Hukum Kredit Usaha Rakyat

Kredit Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/ pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan untuk usaha produktif. KUR adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank.

Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70% sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan KUR diberikan dalam rangka meningkatkan akses UMKM-K pada sumber


(6)

pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan Bank Syariah Mandiri (BSM)

Penyaluran KUR diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. -Beberapa ketentuan yang dipersyaratkan oleh pemerintah dalam penyaluran KUR adalah sebagai berikut :

1. UMKM-K yang dapat menerima fasilitas penjaminan adalah usaha produktif yang feasible namun belum bankable dengan ketentuan:

a. merupakan debitur baru yang belum pernah mendapat kredit/ pembiayaan dari perbankan yang dibuktikan dengan melalui Sistem Informasi Debitur (SID) pada saat Permohonan Kredit/Pembiayaan diajukan dan/ atau belum pernah memperoleh fasilitas Kredit Program dari Pemerintah;

b. khusus untuk penutupan pembiayaan KUR antara tanggal Nota Kesepakatan Bersama (MoU) Penjaminan KUR dan sebelum addendum I (tanggal 9 Oktober 2007 s.d. 14 Mei 2008), maka fasilitas penjaminan dapat diberikan kepada debitur yang belum pernah mendapatkan pembiayaan kredit program lainnya;

c. KUR yang diperjanjikan antara Bank Pelaksana dengan UMKM-K yang bersangkutan.


(7)

2. KUR disalurkan kepada UMKM-K untuk modal kerja dan investasi dengan ketentuan :

a. Untuk kredit sampai dengan Rp 5.000.0000 (lima juta rupiah), tingkat bungga kredit/ margin pembiayaan yang dikenakan maksimal sebesar/setara 24% (dua puluuh empat persen) efektif per tahun

b. Untuk kredit di atas Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta ruppiah), tingkat bunga kredit/margin pembiayaan yang dikenakan maksimal sebesar/ setara 16% (enam belas persen) efektif per tahun.

3. Bank Pelaksana memutuskan pemberian KUR berdasarkan penilaian terhadaap kelayakan usaha sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat, serta dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

C. Ruang Lingkup Kredit Usaha Rakyat

Pemberian KUR diperuntukkan bagi sektor usaha dan kondisi tertentu antara lain sektor budidaya pertanian atau perikanan atau lainnya dimana UMKMK tidak dapat menyediakan agunan tambahan, maka bank pemberi kredit dapat membagi resiko yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak lain. Dalam hal terjadi kondisi seperti ini, maka pembagian resiko dimaksud adalah bukan sebagai agunan dan/atau tidak berfungsi sebagai agunan dari UMKMK penerima KUR.

Kajian ini merupakan kajian kebijakan (policy research) untuk merumuskan masukan bagi penyempurnaan kebijakan pelaksanaan KUR dimasa


(8)

yang akan datang. Mengingat luasnya aspek kajian yang berhubungan dengan KUR, baik dalam bentuk kebijkan, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan serta dampaknya dari sisi perbankan maupun UKMK, maka agar kajian ini lebih terarah dan fokus perlu kiranya dibatasi dalam ruang lingkup sebagai berikut:41

1. Identifikasi kebijakan dan peraturan-peraturan teknis operasional yang menimbulkan masalah di lapangan dalam penyaluran KUR sehingga bisa menghambat penyaluran kredit.

2. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KUR, terkait dengan: (a) sosialisasi dan evaluasi yang dilakukan bank pelaksana dan instansi pembina, (b) skim KUR: ketentuan agunan, dan persyaratan administrasi, dan (c) Agunan tambahan.

3. Identifikasi dan evaluasi dampak pelaksanaan KUR, terhadap nasabah, bank pelaksana dan lembaga penjaminan.

4. Merumuskan masukan untuk penyempurnaan kebijakan pelaksanaan KUR dimasa yang akan datang berdasarkan fakta lapangan.

D. Mekanisme Pemberian Kredit dalam Program Kredit Usaha Rakyat

Penyaluran Kredit Usaha Rakyat diharapkan dapat memenuhi persyaratan dan prosedur yang benar, sehingga nantinya diharapkan dapat lebih mengenal karakteristik nasabah secara menyeluruh. Secara umum prosedur pencairan KUR haruslah melewati tahap kelengkapan berkas, pengajuan permohonan, dan penilaian kredit apakah layak atau tidak untuk mendapatkan KUR. Kelengkapan

41


(9)

berkas dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh nasabah seperti foto, fotocopi ktp, fotocopi kartu keluarga, surat keterangan usaha, foto usaha dan jaminan (apabila ada). Tahap pengajuan permohonan kredit dilakukan oleh nasabah dengan cara mengisi form pengajuan KUR dan mengisi data nasabah yang dibutuhkan. Kemudian tahap penilaian kredit dilakukan oleh Mantri (Account Officer) untuk menentukan apakah nasabah layak untuk menerima KUR atau tidak. akan diteliti data yang sudah dikumpulkan dan selanjutnya diambil keputusan apakah layak atau tidak untuk dicairkan.

Penyaluran KUR tidak terlepas dari prinsip “5 C” yaitu Character, Capacity, Capital, dan Condition of Economy. Untuk Collateral sendiri, tidak dilakukan penilaian, melainkan hanya pada sampai tahap melihat apakah jaminan tersebut benar milik nasabah yang mengajukan KUR. Untuk proses pencairan kredit membutuhkan waktu sekitar 2-5 hari kerja. Secara lebih jelas prosedur penyaluran KUR yang dilakukan adalah sebagai berikut:42

1. Pemenuhan Kelengkapan Berkas 2. Pendaftaran

Setelah seluruh kelengkapan berkas dipenuhi, maka akan dilakukan proses pendaftaran. Dalam hal ini, customer service bertugas untuk melengkapi form pengajuan KUR yang dibutuhkan sebelum dilakukan proses penilaian oleh Mantri. Selain itu, customer service juga akan memeriksa apakah nasabah pinjaman tersebut memang belum pernah sama sekali menikmati pinjaman di tempat lagi (baik pinjaman uang ataupun cicilan

42

iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/12009/2/H09eip.pdf. diakses tanggal 15 Juni 2010.


(10)

motor). Setelah itu kemudian berkas diberikan kepada Kepala Unit untuk diproses lebih lanjut. Kepala Unit akan memeriksa kelengkapan persyaratan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh customer service. Setelah itu barulah Kepala Unit memberikan disposisi kepada Mantri untuk melakukan proses pemeriksaan kebenaran laporan yang disampaikan oleh nasabah dengan kondisi usaha yang sebenarnya.

3. Pemeriksaan Terhadap Usaha Calon Nasabah

Pemeriksaan terhadap aspek-aspek usaha calon nasabah juga sangat diperlukan untuk meminimalkan resiko terjadinya tunggakan apabila pinjaman dicairkan nantinya. Pemeriksaan langsung dilakukan oleh bank dengan cara datang langsung ke lokasi usaha maupun ke rumah calon nasabah untuk dapat melakukan penilaian usaha dan mengetahui aktivitas nasabah setiap harinya. Pemeriksaan tersebut juga dapat dilakukan melalui wawancara langsung dengan tetangga ataupun relasi. Prinsip 5 C harus diperhatikan dalam pemeriksaan ini. Oleh karena itu bank harus dapat mengamati dan memeriksa secara tepat guna mendapatkan data yang akurat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menganalisis usaha calon nasabah. Adapun kriteria yang dilakukan dalam penilaian tersebut adalah:

a. Menilai apakah usaha yang dijalankan sesuai dengan surat keterangan usaha yang sudah dilengkapi

b. Mengetahui apakah alamat nasabah sudah sesuai dengan alamat pada KTP


(11)

prospek yang baik,

d. Mengetahui karakteristik nasabah baik melalui wawancara langsung dengan nasabah, wawancara dengan tetangga atau relasi,

e. Kebenaran agunan yang dijaminkan di bank.

Pemeriksaan terhadap usaha nasabah dapat dilihat pada aspek pemasaran, aspek keuangan, aspek manajemen dan aspek sosial ekonomi. Aspek pemasaran dianalisis untuk mengetahui prospek usaha dan laba untuk menjamin bahwa usaha tersebut akan terus berkembang. Aspek ini meliputi keadaaan pasar, baik permintaan maupun penawaran yang sudah ada untuk jenis usaha yang direncanakan dan diproduksi untuk dijual. Penilaian terhadap aspek keuangan dilakukan dengan cara melihat data keuangan calon nasabah dari kegiatan usaha yang sudah dijalankan. Dengan adanya data tersebut, maka dapat diperkirakan sejauh mana keuntungan dari usaha yang dijalankan dimasa yang akan datang. Dengan mengetahui aspek keuangan ini, maka pihak bank akan dapat mengetahui seberapa besar tingkat kesehatan usaha dan menjadi pertimbangan seberapa besar jumlah pinjaman KUR yang akan diberikan. Aspek manajemen dapat mencerminkan bagaimana hubungan antara kemampuan, pengalaman, kejujuran, cara mengelola usaha serta hubungan antara pemilik dengan karyawannya. Hal ini dapat berhubungan dengan karakter calon nasabah untuk mengetahui kemampuannya dalam mengembalikan pinjaman kredit. Aspek sosial ekonomi dapat dilihat dari peran usaha calon nasabah tersebut terhadap lingkungan masyarakat disekitarnya apakah baik


(12)

atau buruk. Misalnya adalah kasus flu burung, dimana secara tidak langsung berpengaruh terhadap usaha peternakan ayam maupun unggas lainnya., dimana masyarakat sekitar cenderung tidak menerima apabila di sekitar lingkungannya berdiri usaha peternakan tersebut.

4. Pembinaan dan Pengawasan Nasabah KUR

Kelancaran dalam pembayaran pinjaman merupakan hal yang sangat diinginkan oleh bank terhadap seluruh nasabah pinjaman KUR. Diharapkan melalui pembinaan dan pengawasan terhadap nasabah dapat mengurangi resiko terjadinya tunggakan dalam pembayaran angsuran. Formulir pembinaan akan dibawa pada waktu melakukan pembinaan dan pengawasan sehingga nantinya akan dapat diketahui apabila nasabah memiliki masalah dalam usahanya. Adapun sektor-sektor yang dibiayai oleh kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah:

a. Sektor pertanian: sektor yang termasuk dalam bagian ini adalah seluruh aktivitas pertanian baik usaha kecil dan retail atau pedagang besar yang bergerak dalam bidang pengadaan input pertanian atau menjual produk pertanian,

b. Perindustrian: seluruh usaha skala kecil yang bergerak di bidang pengolahan bahan mentah,

c. Perdagangan: pinjaman digunakan untuk membiayai kegiatan penjualan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok,

d. Jasa dan lainnya: usaha yang berhubungan dengan jasa seperti menjahit, salon, dan lain-lain.


(13)

E. Pengawasan terhadap Kredit Usaha Rakyat

Kepercayaan masyarakat sebagai penitip dana, terasa sangat mahal harganya. Oleh karena itu, bank perlu menciptakan mekanisme kinerja yang baik sehingga kepercayaan masyarakat yang menitipkan dananya itu tetap terjaga. Salah satu cara supaya bank tetap bekerja dengan baik adalah perlunya pengawasan terhadap bank. Pembinaan dan pengawasan terhadap bank mutlak diperlukan.

Bank Indonesia sesuai dengan pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 mempunyai tugas, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi bank. Khususnya dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank, termasuk di dalamnya pelaksanaan pembinaan. Mengingat tugas yang diemban tersebut maka bank Indonesia mempunyai langkah kewenangan tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yaitu:

1. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian (pasal 25 ayat (1))

2. Menyangkut perizinan perbankan, meliputi kewenangan untuk memberikan izin dan mencabut izin usaha, memberikan izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu (pasal 26)


(14)

3. Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala setiap waktu apabila diperlukan juga dapat mencakup pemeriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank (pasal 29 ayat (1) dan ayat (2))

4. Memerintakan untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian bank Indonesia terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana perbankan (pasal 31 ayat (2))

Kewenangan Bank Indonesia selain ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 juga ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 di antaranya yaitu:

1. Menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank, tata cara pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah serta kegiatan lainnya dari bank, tata cara penyediaan informasi oleh bank untuk para nasabahnya (pasal 29)

2. Memeriksa buku-buku, dan berkas-berkas pada bank yang dibinanya (pasal 31)

3. Menugaskan akuntan public untuk dan atas naam bank Indonesia melaksanakan pemeriksaan (pasal 31 A)

4. Melakukan tindakan tertentu terhadap bank yang mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, diperkirakan mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya (pasal 37 ayat (1))


(15)

5. Mencabut izin dan memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan RUPS guna membubarkan badan hukum dan membentuk tim likuidasi terhadap bank yang tidak bisa memperbaiki kinerjanya sehingga membahayakan sektor perbankan (pasal 37 ayat (2)) 6. Meminta pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat

sementara dalam rangka penyehatan perbankan nasional (pasal 37 ayat (1)) 7. Mengeluarkan perintah tertulis agar bank memberikan keterangan dan

memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (pasal 41 ayat (1))

8. Memberikan izin kepada pejabat BUPLN/ PUPN untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan nasbah debitur (pasal 41 A) 9. Memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh

keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (pasal 42 ayat (1))

10.Memberikan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan

Secara fundamental terdapat beberapa alasan tentang tujuan dilakukannya pemeriksaan langsung terhadap industry perbankan, yaitu:43

1. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas system perbankan dan individual bank. Kepercayaan tersebut penting karena

43

Zulkarnain Sitompul, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2005), hal. 218


(16)

sebagai sumber dana, tujuan dasar bank adalah memberikan jasa keuangan. Kehadiran bank yang tidak sehat dapat mengancam integritas system perbankan harus ditutup melalui evaluasi pemeriksaan terhadap kecukupan modal, kualitas aset, manajemen, posisi likuiditas dan kemampuan pendapatan.

2. Langkah terbaik untuk menentukan ketaatan bank terhadap ketentuan. Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan secara tradisional merupakan prioritas utama bagi pengawas.

a. Mencegah masalah yang tidak dapat diperbaiki dan yang semakin buruk, sehingga biaya penyelamatan atau pembayaran terhadap nasabah penyimpan dapat diminimalkan

b. Memberikan masukan kepada pengawas tentang bentuk, tingkat keseriusan dan akibat dari suatu masalah bagi bank dan memberikan fakta dasar bagi langkah-langkah perbaikan yang tepat, rekomendasi dan perintah. Dengan demikian, pemeriksaan memainkan peranan kunci dalam proses pengawasan itu sendiri.

Tujuan pengawasan bank untuk meningkatkan keyakinan bahwa bank dari segi keuangan tergolong sehat, bank dikelola secara baik dan profesional serta tidak terkandung ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Tekanan dan perhatian diberikan pada aspek-aspek di dalam individual bank yang diharapkan dapat memelihara kepentingan masyarakat dengan baik dan perbankan yang berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi perekonomian nasional.


(17)

Pemeliharaan kepentingan masyarakat dapat tercipta dengan mengupayakan agar secara individual bank beroperasi dengan sehat dan efisien. Dengan demikian, akan tercipta perbankan yang aman serta mampu memenuhi kewajibannya kepada para deposan. Perbankan harus berkembagn secara wajar sehingga pelayanan jasa perbankan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Perbankan sebagai pusat teknologi dan inovasi mampu secara aktifs mencari dan mengembangkan potensi ekonomi yang belum tergali di dalam masyarakat. Bank harus dapat tumbuh, namun pertumbuhan tersebut hendaknya berlangsung secara wajar. Bank yang sehat dan efisien bermanfaat bagi perkembangan ekonomi dan dapat menunjang pengendalian moneter.

Ketika kredit diberikan, maka timbullah resiko, dan sejak saat itulah pengawasan harus dilakukan. Pemeriksaan dan pengawasan kredit sangat berperan dalam memelihara kelancaran pembayaran kredit. Beberapa aspek penting, selain aspek kelengkapan dkumen dan pengikatannya, unsur pengawasan dalam penggunaan dana pinjaman pun mempunyai peranan penting. Pengawasan ini bertujuan agar dana pinjaman digunakan untuk produktif dan bukan konsumtif.

Ada beberapa prinsip dalam melaksanakn pengawasan terhadap kredit usaha rakyat, yaitu:

1. Fungsi pengawasan kredit harus diawali dari upaya yang bersifat pencegahan sedini mungkin terjadinya hal-hal yang dapat merugikan bank dalam perkreditan atau terjadinya praktek pemberian kredit yang tidak sehat. Dalam kaitan ini, hal tersebut harus tercermin dalam struktur pengendalian intern bank yang terkait dengan perkreditan.


(18)

2. Pengawasan kredit juga harus meliputi pengawasan sehari-hari oleh manajemen bak atas setiap pelaksanaan pemberian kredit atau lazim dikenal dengan istilah pengawasan melekat.

3. Pengawasan kredit juga harus meliputi audit intern terhadap semua aspek perkreditan yang dilakukan oleh SKAI (Satuan Kerja Audit Intern)

Pengawasan terhadap kredit usaha rakyat harus meliputi semua aspek perkreditan serta semua objek pengawasan tanpa melakukan pengecualian, yaitu:

1. Pengawasan terhadap semua pejabat bank yang terkait dengan perkreditan 2. Pengawasan terhadap semua jenis kredit, termasuk kredit kepada

pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu. Pengawasan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu, bahkan harus dilakukan secara intensif.

Cakupan fungsi pengawasan kredit usaha rakyat sekurang-kurangnya meliuti hal-hal sebagai berikut:

1. Mengawasi apakah pemberian kredit telah dilaksanakan sesuai KPB (Kebijaksanaan Perkreditan Bank), prosedur pemberian kredit dan ketentuan intern bank yang berlaku

2. Mengawasi apakah pemberian kredit telah memenuhi ketentuan perbankan yang berlaku

3. Memantau perkembangan kegiatan debitur termasuk pemantauan melalui kegiatan kunjungan kepada debitur dan memberikan peringatan dini mengenai penurunan kualitas kredit-kredit yang diperkirakan mengandung resiko bagi bank


(19)

4. Mengawasi apakah penilaian kolektibilitas kredit telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

5. Melakukan pembinaan kepada debitur untuk mengarahkan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya kepada bank

6. Memantau dan mengawasi secara khusus kebenaran pemberian kredit kepada pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu apakah telah sesuai dengan KPB

7. Memantau pelaksanaan pengadministrasian dokumen perkreditan apakah telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan


(20)

BAB IV

PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT

A. Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit usaha rakyat

Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (know your customer principles). Dalam menerapkan prinsip ini bank wajib:

1. Mendapatkan kebijakan penerimaan nasabah

2. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah 3. Menetapkan kebijaakn dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan

transaksi nasabah.

4. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen resiko yang berkaitan denganmenerapkan prinsip mengenal nasabah

Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank harus terlebih dahulu meminta informasi mengenai nasabah, yakni antara lain:

1. Identitas calon nasabah

2. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah dengan bank

3. Informasi yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon nasabah, dan


(21)

4. Identitas pihak lain, dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas nama nasabah

Prinsip mengenal nasabah ini erat kaitannya dengan prinsip 5 C of credit yakni character. Bank harus mengenal perilaku nasabahnya. Karena berdasarkan perilaku nasabah dapat dibaca situasi yang memberikan indikasi bahwa kredit yang diperoleh nasabah adalah gejala bermasalah.

B. Implikasi tidak dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam program kredit usaha rakyat

Pemberitaan yang gencar dari berbagai media masa terkait dengan terkuaknya kasus dugaan kredit macet/ kredit bermasalah di bank-bank milik pemerintah atau badan usaha milik negara telah menyudutkan posisi bank BUMN dan para bankirnya pada situasi yang sulit. Apalagi dengan ditahannya beberapa mantan direksi bank BUMN oleh aparat penegak hukum. Bagi dunia perbankan, adanya berita kredit bermasalah tentu telah menimbulkan implikasi kurang baik bagi internal bank. Beberapa debitur berkualitas baik mungkin akan berpindah ke bank lain dikarenakan adanya kredit bermasalah ini. Disinyalir bahwa debitur yang pindah khawatir jangan-jangan kredit mereka hanya menunggu giliran untuk diungkap di media masa oleh pemeriksa.44

Dengan adanya pemberitaan itu secara langsung telah menurunkan citra dan kredibilitas bank di mata publik dan juga di mata perbankan internasional karena sebagian bank memiliki jaringan di luar negeri. Selain itu, anjloknya citra bank telah meningkatkan resiko reputasi pada bank-bank tersebut. Akibat lainnya

44


(22)

adalah muncul kekhawatiran bank dalam melakukan pembiayaan sektor riil dan muncul pula kekhawatiran di sebagian kalangan pelaku usaha untuk berhubungan dengan pihak bank yang memiliki masalah kredit macet.

Beberapa dampak tersebut di atas merupakan beban tambahan bagi pihak bank, karena mereka harus segera melakukan berbagai upaya untuk mengembalikan citra dan kredibiltias di mata masyarakat melalui serangkaian kegiatan public relations dan mereka juga harus mengembalikan kepercayaan dan dukungan masyarakat dalam dan luar negeri serta memunculkan kepercayaan diri agar muncul keberanian dalam melakukan penyaluran kredit, karena sejak menguaknya kasus kredit macet, tidak sedikit proposal kredit yang ditolak oleh pihak bank. Jika tidak ditangani secara baik, maka kredit bermasalah ini merupakan sumber kerugian yang sangat potesianl bagi bank. Oleh karena itu, diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Ha ini dikarenakan Akibat kredit bermasalah ini akan menimbulkan biaya yang menjadi beban dan kerugian bagi bank.

Usaha-usaha ini harus dilakukan oleh bank agar nasabahnya tetap setia dan tidak pindah ke bank lain, karena nasabah khawatir kredit mereka tiba-tiba macet kemudian diproses secara hukum, sehingga kredibilitas mereka turun di mata masyarakat dan sesama pelaku dunia usaha. Kekhawatiran di kalangan perbankan ini dilandasi pemikiran bahwa apabila terjadi kredit bermasalah, maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena telah terjadi kerugian negara. Dalam hal munculnya kasus kredit macet dalam penyaluran KUR berpotensi adanya unsur pidana dan hal ini memberatkan pihak bank.


(23)

Setiap kredit macet (bad debt) merupakan kredit bermasalah (problem loan), tetapi setiap kredit bermasalah belum tentu kredit macet, karena mungkin saja kredit tersebut bermasalah, tetapi sama sekali belum macet.45 Pada saat terjadi kredit bermasalah, kerugian itu mungkin baru pada taraf potensi, balum tentu menjadi realitas. Bak pasti akan melakukan restrukturisasi dalam rangka menyehatkan kredit tersebut agar menjadi lancer kembali. Banyak factor penyebab terjadinya kredit bermasalah. Sebagian pemberi pinjaman termasuk kreditur umum, mengatakan bahwa banyak peminjam yang mempunyai sedikit sifat maling dalam hati kecilnya. Tetapi kelihatannya alasan utama adanya kredit bermasalah dan kemungkinan kerugian adalah ketidakmampuan peminjam untuk mewujudkan pendapatan dari kegiatan bisnis yang normal, kesempatan kerja, atau penjualan hartanya.46

Sejumlah pinjaman yang diberikan untuk tujuan pembiayaan bisnis dan keperluan pertanian dapat berkembang menjadi pinjaman bermasalah dan kerugian karena berbagai faktor. Walaupun beberapa penyebabnya mungkin timbul di luar dunia usaha, dan beberapa analis telah berusaha untuk menjelaskan kegagalan dunia usaha dalam bentuk penyebab intern dan ekstern, sebagian besar kesalahan dapat ditimpakan pada manajemen. Manajemen sebuah perusahaan mempunyai tanggung jawab yang besar, yang meliputi pemilihan sasaran dan jenis organisasi untuk menjalankannya, pemilihan kebijaksanaan yang akan dijalankan sehingga memberikan hasil yang wajar pada pemilik perusahaan,

45

H.A.S Mahmoeddin, Melacak Kredit Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 5

46


(24)

pengendalian atas proses produksi barang dan jasa yang dapat dijual, serta melakukan penyesuaian atas kebijaksanaan dan prosedur yang ada untuk menjamin kelangsungan operasional yang berhasil.47

Banyak yang menjadi alasan terjadinya kerugian pinjaman, dan semua alasan yang ada bisa saja tidak berlaku untuk semua perusahaan. Sebagian pejabat kredit mengatakan bahwa penyebab yang paling utama adalah manajemen yang buruk.

Jika tanggung jawab ini tidak dipenuhi, kemampuan untuk menghasilkan pendapatan akan menurun, akibatnya kemampuan untuk membayar kembali pinjaman kreditur juga akan semakin berkurang.

48

Faktor penting lainnya adalah yang dinamakan dengan kondisi ekonomi yang buruk,selain itu digabungkan dengan ketergantungan yang terlalu besar pada pinjaman.49 Kecurangan juga merupakan penyebab utama kerugian pinjaman. Walaupun faktor tersebut juga mungkin saja dihadapi jika hubungan antara kreditur dan peminjam mengalami ketegangan dan adanya kemunduran kerja sama antara peminjam dan pihak kreditur yang bersangkutan. Hal ini mungkin terjadi jika likuidasi perusahaan harus dilakukan.50

47

Kreditur BUMN Seperti Keong, http://www.majalahtrust.com/subscribe.html. Diakses tanggal 10 Juni 2008.

48

Ibid 49

Eko B. Supriyanto, Sepuluh Tahun Krisis Moneter: Kesiapan Menghadapi Krisis Kedua, (Jakarta: InfoKreditur Publishing, 2007), hal.11.

50

Kredit UKM Tidak Dihapusbukukan Total, http://KREDIT UKM TIDAK

DIHAPUSBUKUKAN TOTAL.html. Diakses tanggal 10 Juni 2010.

Kredit bermasalah atau kredit macet dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yakni adanya faktor internal dan eksternal.


(25)

1. Kebijakan prekreditan yang ekspansif

2. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan

3. Itikad kurang baik dari pemilik, pengurus atau pegawai kreditur

4. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit serta lemahnya sistem informasi kredit macet.51

Sedangka faktor eksternal penyebab timbulnya kredit bermasalah adalah: 1. Kegagalan usaha debitur

2. Musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur

3. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur 4. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.52

Ada 100 faktor yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah, dimana menurut Mahmoeddin A.S, faktor-faktor tersebut antara lain53

1. Kreditur memiliki kemampuan teknis yang kurang. :

Kreditur sangat memerlukan tenaga ahli/ konsultan untuk melakukan penilaian atau analisis sebelum memberikan kredit kepada perusahaan atau proyek yang melakukan usaha high technology seperti misalnyaindustri komputer, otomotif, dan industri baja. Secara teknis sudah dapat dipastikan pengetahuan kreditur jauh ketinggalan, oleh sebab itu diperlukan tenaga ahli untuk melakukan penilaian terhadap prospek kerja usaha tersebut agar pihak kreditur tidak dibohongi secara mentah-mentah oleh nasabahnya.

51

Sumber: Data dari PT. Kreditur Mandiri RCR 1 Medan, tanggal 25 Januari 2008, hal. 3.

52

Ibid

53


(26)

Semakin canggih usaha nasabah, maka semakin telitilah kreditur dalam melakukan analisisnya. Jika nasabah memiliki usaha sederhana, maka kreditur tentu lebih mudah memahami dan mempelajari lika-liku bisnis nasabah tersebut. Sebaliknya jika bisnis tersebut kompleks maka sering para kreditur tertinggal jauh pengetahuannya dibandingkan para nasabahnya. Hal demikian dapat menyulitkan pihak kreditur dalam menganalisis dan memberikan keputusannya

2. Kreditur terlalu mengejar target.

Kreditur sebagai perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, mempunyai prinsip prositability. Semakin besar keuntungan yang diperoleh maka semakin besar pula kreditur tersebut di mata para pemilik saham dan para karyawannya. Banyaknya dana yang mengendap dalam bentuk kas, akan merupakan dana yang harus dibayar sewanya, apakah itu menganggur atau tidak. Dari segi keuntungan, dana yang menganggur dapat merugikan, atau mengurangi keuntungan kreditur. Krediturir yang mempunyai target mengejar keuntungan tidak akan mengambil resiko dengan membiarkan dana yang banyak mengendap. Untuk mencegah ini, sebaiknya para krediturir jangan terlalu mengutamakan target tersebut dan menomorduakan analisis yang tajam atas permohonan

kredit para nasabah.

3. Kreditur terlalu melihat riwayat nasabah.

Memang benar bahwa riwayat pinjaman seorang nasabah kreditur merupakan faktor penting dalam penilaian karakternya. Tetapi tidak jarang


(27)

bahwa suatu waktu seseorang tersebut karakternya tidak teruji pada masa-masa sulit, dan tidak jarang pengusaha akan maju usahanya, jika ia berusaha dalam skala kecil, namun begitu usahanya membesar ia menjadi merasa bahwa ia tidak mampu mengelolanya.

4. Kreditur terlalu melihat agunan atau terlampau mementingkan jaminan.

Kreditur adalah lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada nasabahnya, bukan rumah gadai yang memberikan kredit berdasarkan cukup atau tidaknya nilai transaksi dari barang agunan yang dijaminkan nasabahnya. Sebenarnya, hampir tidak ada hubungan sama sekali antara kredit dengan jaminan, kalau dimulai dari jaminan. Tetapi sebaliknya, jika analisis telah dilakukan secara cermat, paling akhir baru dibicarakan pemasalahan jaminan sekedar benteng pengaman dari kredit atau dengan motif berjaga-jaga. Tugas para analisis kredit adalah menghitung dengan cermat, berapa kebutuhan kredit dari nasabah. Bukan sebaliknya, dengan nilai sejumlah agunan tertentu, berapa nasabah diperbolehkan menikmati kredit. Jika permasalahan ini dilakukan secara terbalik, maka pemberian kredit sama sekali mengabaikan cash buget, atau tidak memperhitungkan Repayment capacity dari nasabah.

5. Kreditur terlalu besar memberikan kredit.

Pemberian kredit yang berlebihan dapat menyebabkan nasabah menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak yang kurang bermanfaat atau tidak produktif bagi perusahaannya. Selain itu alternatif lain yang akan dilakukan nasabah yang kelebihan kredit yaitu


(28)

menabungnya di kreditur lain, yang tentu saja memperoleh bunga yang lebih kecil dari bunga yang harus dibayarnya kepada kreditur pemberi kredit, atau bisa saja nasabah tersebut menanamkan kelebihan kredit uang dengan membeli barang tetap yang tingkat likuiditasnya rendah, sehingga tidak mungkin mampu menutupi kewajiban jangka pendeknya kepada kreditur. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya pemberian kredit yang berlebihan atau yang disebut juga dengan istilah over lending/ over creditering antara lain karena adanya kelalaian petugas dalam kreditur dalam menganalisis, atau adanya unsur kesengajaan atau pun dengan adanya kerja sama antara petugas (pihak) kreditur dengan nasabahnya

6. Kreditur terlalu sedikit memberikan kredit.

Jika perusahaan dapat dan mampu beroperasi secara optimum maka perusahaan tersebut juga akan dapat memperoleh laba yang maksimum. Produksi pada operasi yang optimum diperoleh jika modal kerja yang digunakan sudah diperhitungkan dengan cermat dan tepat. Berdasarkan pengamatan kita sehari-hari, kita dapat melihat bahwa setiap perusahaan umumnya memiliki hutang piutang dengan sesama relasi atau mitra usahanya. Dengan demikian jika kredit yang diberikan tidak mencukupi maka bukan tidak mungkin kredit nasabah tersebut akan disedot atau diminta oleh mitra usahanya tersebut, sehingga mengakibatkan ia kehabisan dana untuk menggerakkan aktivitas usahanya, dampaknya akan


(29)

terlihat saat pada ketidakmampuannya dalam memenuhi prestasinya kepada pihak kreditur yang memberikan kredit tersebut

7. Nasabah melarikan diri

Hal ini merupakan kasus yang ekstrim. Dalam kasus ini, nasabah langsung meninggalkan alamat tempat tinggal (keberadaannya) secara formal, sesudah memperoleh kredit. Bahkan, nasabah bisa saja menghilang dari kota atau negara tempat ia memperoleh kredit. Tujuannya agar pihak kreditur tidak dapat atau pun kesulitan melacak nasabah tersebut.

8. Nasabah memalsukan catatan dan pembukuan

Pemalsuan catatan dan pembukuan, baik itu pada saat pengajuan kredit maupun pada selama kredit berjalan, dapat menyebabkan terjadinya kasus kredit yang boleh dikatakan mendekati fiktif dimana kreditur terjebak dalam kasus penipuan. Catatan dan pembukuan nasabah merupakan sumber utama dalam menganalisis perjalanan bisnis nasabah. Adapun isi dari catatan tersebut adalah menerangkan mengenai prospek perusahaan dan keadaan usaha nasabah yang bersangkutan. Jika catatan tersebut palsu maka si pembaca yaitu pihak kreditur akan dibohongi oleh nasabah. Cepat atau lambat catatan ini akan bermuara pada ketidak beresan kredit nantinya.

9. Perusahaan nasabah sulit berkembang

Kreditur memberikan kredit kepada perusahaan yang sulit berkembang. Ukuran suatu kreditur dikatakan sulit berkembang dapat dilihat pada laporan keuangan dimana angka-angka dari tahun ke tahun menunjukkan


(30)

grafik yang datar, bahkan bisa menurun. Terutama dapat dilihat pada laba perusahaan yang hampir sama setiap tahun Usaha untuk menangkal hal ini, kreditur harus mendidik nasabah berbisnis dengan baik dan tepat. Jika perlu mendidik mereka melakukan pencacatan berdasarkan kebiasaan yang berlaku.

10.Nasabah dan krediturir melakukan kolusi

Nasabah dan krediturir harus melakukan kerjasama yang baik dalam arti positif. Hal ini adalah demi kelancaran usaha nasabah, demi kelancaran pengembalian kredit, demi keberhasilan usaha perbankan dan akhirnya demi kesuksesan para krediturir dalam membina nasabah dan krediturnya sendiri. Jika kerjasama antara krediturir dan nasabah dilakukan secara negatif, maka hal ini disebut kolusi atau persekongkolan. Dimana yang paling dirugikan adalah kreditur sebagai perusahaan, dan yang memperoleh keuntungan adalah nasabah dan krediturir secara pribadi

Apabila dilihat dari segi pelaku kredit, maka faktor-faktor kredit macet dari nasabah adalah:

1. Kelemahan nasabah

a. Manajemen kurang (kurang menguasai manajemen kredit). b. Tidak memiliki perencanaan yang baik

c. Produk ketinggalan jaman d. Kalah bersaing

e. Lokasi usaha yang tidak tepat f. Adminitrasi yang kacau


(31)

2. Kenakalan nasabah

a. Tidak jujur dan sukar ingkar janji b. Melakukan penyimpangan penggunaan c. Pola hidup yang boros atau mewah d. Suka berbuat skandal

e. Suka berjudi dan berspekulasi

Secara umum, kredit bermasalah adalah kredit yang dapat menimbulkan persoalan, bukan hanya terhadap bak selaku lembaga pemberi kredit, tetapi juga terhadap nasabah penerima kredit, karena itu bagaimanapun juga kredit ini harus diselesaikan dengan berbagai cara. Jika kredit tersebut menjadi macet, maka secara tidak langsung akan merugikan masyarakat pemilik dana.

Kredit bermasalah bagaimanapun juga akan berdampak negatif, baik secara mikro (bagi ank itu sendiri dan nasabah) maupun secara makro (sistem perbankan dan perekonomian negara). Terhadap bank kredit bermasalah akan mengancam bank tidak likuid. Jika bank tidak likuid maka dapat mengurangi kepercayaan kepada pemilik dana, selain itu solvabilitas bank juga akan berkurang, dan juga mengganggu kesehatan bank. Terhadap karyawan bank, kredit bermasalah akan memberikan dampak negatif antara lain hilangnya rasa percaya diri, saling menyalahgunakan, cuci tangan bagi sebagian orang dan mencari kambing hitam, selain itu rusaknya karir pegawai, sehingga merusak masa depan mereka, turunnya pendapatan dan bonus yang seharusnya diterima oleh bankir dan karyawan, bertambahnya pekerjaan bagi karyawan dan bankir karena harus menyisihkan tenaga dan pikiran guna menghadapi kredit bermasalah.


(32)

Terhadap pemegang saham, dapat kehilangan kesempatan dalam memperoleh dividennya, data menjatuhkan nilai saham bank yang bersangkutan. Terhadap nasabah, dapat merusak citra dan nama baik nasabah, hilangnya kepercayaan dari relasi bisnis, dan terhadap sistem perbankan dapat merusak kredibilitas bank nasional di mata internasional, yang pada gilirannya merusak sistem keuangan nasional di mata perdagangan internasional, juga menghambat kelancaran perkembangan ekonomi.

Kredit bermasalah adalah salah satu dari lima masalah besar yang dihadapi perbankan nasional. Masalah lain antara lain adalah:

1. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit 2. Kelangkaan sumber daya manusia

3. Pembobolan bank oleh pelaku kejahatan perbankan

4. Perang tariff antar bank yang menimbulkan persaingan tidak sehat.

Ada berbagai bentuk yang dapat dicatat sebagai potensi kredit bermasalah, yaitu:54

1. Tidak memenuhi pembayaran bunga

2. Tidak memenuhi pengembalian pokok pinjaman 3. Tidak mampu meningkatkan margin deposit 4. Tidak mampu melakukan pengikatan jaminan 5. Tidak mampu meningkatkan barang agunannya 6. Tidak memberikan laporan yang dijanjikan

Menurut Munir Fuady sebelum dilakukan upaya-upaya hukum lainnya

54


(33)

dalam penagihan kredit macet, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu apa yang disebut restrukturisasi, reconditioning, atau rescheduling terhadap kredit bermasalah. Bahkan apabila dimungkinkan bank lebih aktif, misalnya ikut memiliki saham, membenahi manajemen atau merestrukturisasi bisnis atau usaha-usah debitur.


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Prinsip kehati-hatian wajib diterapkan oleh setiap bank dalam pelaksanaan pemberian kredit karena prinsip inilah yang akan menentukan terpenuhi atau tidaknya kriteria pencairan kredit serta juga sangat menentukan masa depan dari perjanjian kredit. Artinya apabila prinsip kehati-hatian ini diterapkan dengan baik, maka kecil kemungkinan akan terjadi kredit bermasalah/ macet pada pemenuhan kewajiban debitur.

2. Program kredit usaha rakyat di Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Kredit usaha rakyat ini diperuntukkan bagi UMKM serta koperasi.

3. Prinsip kehati-hatian diterapkan pada program kredit usaha rakyat melalui penerapan 5C of Credit pada setiap kredit usaha rakyat yang diajukan kepada bank yang memperoleh mandat, yakni dengan menerapkan analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan, dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap, semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit.


(35)

B. Saran

1. Dalam upaya penyaluran kredit, khususnya kredit usaha rakyat, pihak bank harus mampu menerapkan prinsip kehati-hatian secara efektif agar kredit yang diberikan tepat sasaran dan jauh dari resiko macet ataupun bermasalahn.

2. Perlu adanya pengaturan yang jelas tentang peruntukan kredit usaha rakyat ini, sebab tidak jarang program ini tidak sampai pada objek yang seharusnya, sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam kerangka program ini juga sulit untuk terwujud.

3. Perlu adanya tindakan tegas, khususnya dari institusi Bank Indonesia untuk memberikan teguran maupun tindakan bagi bank-bank yang tidak serius menerapkan prinsip kehati-hatian ini dalam penyaluran kredit, sebagai khusus bagi kredit usaha rakyat, resiko yang muncul 70% akan ditanggung oleh pihak pemerintah, sehingga apabila timbul masalah di belakang hari, maka yang paling dirugikan adalah negara.


(36)

BAB II

KEWAJIBAN MENERAPKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT

A. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam Undang-undang Perbankan

Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang mmenyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.23

1) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian

Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian.

Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 UU Nomor 10 tahun 1998.

Pasal 29:

2) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara

23


(37)

yang tidak mmerugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan danannnyya kepada bank

3) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank.

Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi menurut Anwas Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.24

a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b dan huruf c;

Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.

Pasal 8:

“Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajiib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.

Pasal 10: “Bank Umum dilarang:

b. melakukan usaha perasuransian;

24

Anwar Nasution, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997, hal. 2.


(38)

c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7.

Pasal 11

1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam elompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.

2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada :

a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih dari modal disetor bank;

b. Anggota dewan komisaris; c. Anggota direksi;

d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c;


(39)

f. Perushaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e.

4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI.

(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau pembiaayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)

Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.25

Dalam pada itu, dalam rangkamendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan.

25


(40)

prisnsip kehatihatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam bentuk self regulations.26

Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking (pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (batas maksimumpemberian kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi akuntansi serta audit.

\

27

Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4 pasal 29 di atas.

26

Self regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri (self regulation principple) dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh. Untuk itu BI melakukan penyempurnaan rencana kerja bank dan laporan pelaksanaannya yang kemudian dituangkan dalam SK Direksi BI No.27/117/KEP/DIR, tanggal 25 Januari 1995 termasuk juga salahstunya SK Direksi Bi No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang ketentuan kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan dabnk berdasarkan Pedoman Penyususnan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) .

27


(41)

bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini. Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara penempatan danan dari nasabah atau pembelian/’ penjualan Surat Berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.28

Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship).29

Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah diatur secara khusus dalam beberapa Paket deregulasi, misalnya Paket deregulasi 25 Maret 1989 dan Paket deregulasi Februari 1991, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Salah tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 misalnya, berupaya mmengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan.

28

Periksa penjelasan ayatb 4 dari pasal 29 UU Perbankan 29

St. Remy Sjahdeini, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besarb Ilmu Hukum pada Faakultas Hukum UNAIR Suarabaya tanggal 16 Desember 1996, Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November/Desember 1996, hal.17 .Alvin C. Herrell setelah melakukan penelitian terhadap putusan-putusan pengadilan di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa hubungan antara bank dan nasabah merupakan fiduciary relationship karena status bank yang istimewa didalam masyarakat sebagai lembaga yang jasa-jasanya berpengaruh besar terhadap kesejahteraan masyarakat.


(42)

Yang diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia.30

1. SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan bank

Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam Paket deregulasi diatas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya beberapa bank umum nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta danBank Umum Majapahit.

Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU No.7 tahun 1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 tahun 1998. Regulasi tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut misalnya :

2. SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan Bank Perkreditan Rakyat

3. SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang pembatasan pemberian kredit oleh bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah 4. SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank

umum

5. SK BI 31/177/KEP/DIR tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum

6. SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum

30

Deregulasi Perbankan: Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam http://www.Tempo. co.id/ ang/min/01/52/utama3.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.


(43)

7. SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum 8. SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum

9. SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan penghapusan aktiva produktif

10.SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif

11.SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum

12.Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI 31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit

13.Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal minimum bank

14.Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank 15.Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum

16.Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian dalam aktivitas sekuritisasi asset bagi bank umum

17.Dll

Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti ketentuan Bassel International Standart (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS . Sampai saat ini baru 12 aturan BIS yang siap diterapkan di Indonesia. Diantaranya ketentuan CAR 8


(44)

%, dan NPL/Non Performing Loan (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi bank-bank sebelum akhir 2001.31

1. Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas, bersifat independent dan memiliki sumber daya yang cukup

Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI dengan IMF. 25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut:

2. Kegiatan yang diizinkan 3. Kriteria perizinan

4. Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul

5. Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential) 6. Kecukupan modal

7. Standar kredit dan monitoring

8. Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas asset 9. Sistem informasi manajemen bank

10.Ketentuan pinjaman terkait (BMPK) 11.Monitoring terhadap resiko

12.Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar

13.Mempunyai prosedur penegndalian resiko manajemen yang komprehensip 14.Sistem pengendalian internal

15.Meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank

31

Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_oonline.com/05/31/aktual/akt1.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.


(45)

16.Meliputi off site dan on site

17.Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank 18.Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan 19.Mempunyai independensi

20.Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan 21.Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan

akurat

22.Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama pengawasan internasional

23.Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi 24.Melakukan kerjasama antar pengawas, dan

25.Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing32

Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap prbankan, tetapi juga lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang notabene di bawah pengawasn bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan kegiatan lembaga keuangan non-bank.33

32

Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ ekonomi/ek0001040.asp. Diakses tanggal 10 Juni 2010.

33


(46)

B. Kehati-hatian sebagai Prinsip Utama Bank dalam Memberikan Kredit

Menurut pasal 1 angka 11, kredit adalah:

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak penjamin untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan menyebutkan bahwa sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana dari bank itu sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi non performing lean (NPI). Jumlah kredit yang NPLnya tinggi akibatnya dapat mengganggu kesehatan bank yang bersangkutan.

Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dinilai akan menurunkan kredit bermasalah (non performing loan/ NPL). Selain itu, bank-bank yang memiliki NPL besar saat ini terus melakukan restrukturisasi untuk menurunkan kredit bermasalahnya. Oleh karena itu, dalam memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit


(47)

bermasalah. Terdapat 5C of credit yang meliputi character, capacity, capital, collateral, condition of economy. 5 C of credit tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Character (watak)

Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/ watak dari calon debiturnya. Karna itu sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah calon debitur berkepribadian yang baik, jujur, selalu menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mepunyai riwayat hidup yang baik, tidak terlibat tindakan criminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk, atau tindakan tidak terpuji lainnya.34 Namun terkadang ini tidak bisa dijadikanukuran, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas. Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang antara lain mencakup kewajiban bank memiliki kebijakan dan prosedur penerimaan nasabah, pemeliharaan profil nasabah, pengenaan sanksi administrasi terhadap pelanggaran peraturan ini, dan lain-lain.35

2. Capacity (kemampuan)

Karakter yang baik belum memenuhi syarat untuk mempeoleh kredit. Bahwa seseorang yang jujur secara moril bisa dipercaya, teatpi mungkin ia tidak mampu mengolah kredit. Oleh karena itu, yang perlu juga

34

H.A. S. Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 25.

35

Bismar Nasution, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library, hal. 57.


(48)

diperhatikan bank adalah apakah ia mampu mengelola perusahaan yang dapat dilihat dari kemampuan manajemennya, apakah ia mampu berproduksi dengan baik yang dapat dilihat dari kapasitas produksinya, apakah ia mampu mengembalikan kredit dilihat berdasarkan perhitungan penghasilan bersih, perputaran usaha, situasi keuangan, dan modal kerja yang dimilikinya.36

3. Capital (modal)

Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang didasarkan pada pengalaman dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah (pemohon kredit) serta kekuatan perusahaan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perkembangan teknologi.

Permodalan dari suatu debitur merupakan hal yang penting harus diketahui oleh calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat kemampuan membayar kredit. Bank tidak dapat memberikan kredit kepada pengusaha tanpa modal sama sekali.37

4. Collateral (agunan)

Kredit senantiasa dibayangi oleh resiko. Untuk berjaga-jaga timbulnya resiko ini, diperlukan benteng untuk menyelamatkan yaitu berupa agunan.38

36

H. A. S Mahmoeddin, Op. cit, hal. 26. 37

Ibid

38

Ibid,hal. 27


(49)

dimana ia merupakan sarana pengaman atas resiko yang mungkin timbul atas cidera janjinya nasabah di kemudian hari.

5. Condition of economy (keadaan ekonomi)

Kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sector usaha si pemohon kredit (calon nasabah) perlu mendapatkan perhatian dari pihak bank untuk memperkecil resiko yang mungkin timbul akibat kondisi ekonomi. Kondisi ini dapat terpengaruh oleh keadaan social, politik dan ekonomi, dari suatu periode waktu tertentu dan perkiraan yang akan terjadi pada waktu mendatang.39

C. Sanksi bagi Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian

Akhir-akhir ini permasalahan yang terjadi pada beberapa bank disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan, lemahnya law enforcement. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang represif bagi pihak yang terbukti melakukan penyimpangan, serta langkah preventif untuk mencegahnya.

Bagi bank yang tidak dapat memenuhi keawjibannya dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, maka terhadap bank ini dapat dikenakan sanksi berupa:

1. Sanksi administratif a. Denda

b. Teguran tertulis

39


(50)

c. Penurunan tingkat kesehatan bank

d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring

e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan

f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham

dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.40

Bank Indonesia tidak mungkin melakukan sendiri upaya penataan system perbankan dan pemberian sanksi administratifnya, tetapi diperlukan kerja samayang baik dengan aparat penegak hukum maupun dengan internal perbankan, antara lain melalui direktur kepatuhan perbankan.

2. Pencabutan izin usaha bank

Selain sanksi administrasi, kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dapat dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha bank.

Pencabutan izin usaha terhadap beberapa bank yang tidak dikelola secara professional merupakan upaya melindungi kepentingan masyarakat, agar tidak mengganggu atau membahayakan atau membahayakan sistem perbankan secara keseluruhan.

40

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 278.


(51)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Selama 21 tahun pertama Indonesia merdeka, perekonomian bangsa menghadapi tantangan dan ujian berat, termasuk adanya rongrongan dari dalam dan luar negeri, yang nyaris membuat sendi – sendi perekonomian nasional mati. Pada 1959, trend paham kapitalisme liberalisme secara konstitusional ditolak, sehingga sistem ekonomi nasional lebih condong ke sistem ekonomi etatistik (segalanya negara) yang otomatis mematikan segala daya kreasi masyarakat. Ekonomi Komando yang berlangsung selama tujuh tahun dari tahun 1959 sampai dengan tahun 1966 dan mencapai titik paling kritis dengan hiperinflasi 650% pada 1966, hampir melumpuhkan seluruh sistem produksi dan distribusi nasional.1

Ekonomi Orde Baru yang dimulai sejak tahun 1966 secara radikal membalikkan arah sistem ekonomi Indonesia. Pembangunan diarahkan pada demokrasi ekonomi, dan politik ekonomi diarahkan pada upaya untuk menggerakkan kembali roda ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kegiatan pencetakan uang yang telah berlangsung hampir tanpa kendali dihentikan, anggaran belanja pemerintah dibuat berimbang, dan produksi dalam negeri khususnya bidang pangan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi penduduk yang terus bertambah. Sistem ekonomi pasar bebas mulai berjalan normal, pembangunan ekonomi dibangun berdasarkan Rencana

1

Widjanarto, Hukum & Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2002), hal 13.


(52)

Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Rencana Pembangunan Lima Tahun ini diarahkan dari tahun 1969 sampai dengan tahun 1994.2

Ditandai dengan adanya krisis ekonomi yang terjadi di kawasan Asia Tenggara, dimulai dari negara yang sudah siap menghadapi krisis ekonomi tersebut seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Brunei sampai pada negara – negara berkembang seperti Indonesia, salah satu negara yang mengalami tahun – tahun ledakan kemajuan yang dirasakan kawasan Asia Tenggara sampai pada Filipina, negara yang tidak mengalami tahun – tahun ledakan, tetapi mengalami perubahan drastis Produk Nasional Bruto Riil dari tahun 1980 sampai tahun 2000.3 Indonesia sendiri mengalami krisis hebat yang mengakibatkan terjadinya tingkat pertumbuhan ekonomi minus 14 persen pada 1998.4

Krisis ekonomi itu sudah mulai berlalu, tetapi kita baru menyadari bahwa pembangunan di bidang ekonomi lebih diutamakan namun dengan mengabaikan pembangunan hukumnya. Akibatnya, dalam pembangunan bidang ekonomi tersebut munculah berbagai isu dan persoalan hukum berskala nasional.. Oleh karena itu, sewajarnya pemerintah berbenah diri dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangan pembangunan ekonomi yang sedemikian pesatnya. Salah satu caranya adalah dengan mengadakan penyesuaian dan perubahan seperlunya terhadap berbagai perangkat hukum dan perundang - undangan nasional yang

2

Asyakuri ibn Chamim, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004), hal 143.

3

Vedi R Hadiz, Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara, hal 16. 4


(53)

mengatur bidang ekonomi.5

Untuk memberdayakan perekonomian rakyat, kedaulatan harus dikembalikan pada rakyat, karena hanya dengan kedaulatan rakyat itulah ekonomi kerakyatan dapat terwujud. Pemberdayaan ekonomi rakyat juga merupakan bagian integral dalam mewujudkan ketahanan nasional dalam bidang ekonomi. Arus

Banyak sekali produk undang-undang yang membahas masalah di atas, tetapi dalam penelitian ini penulis lebih cenderung menggunakan UU no 20 tahun 2008 karena, UU ini baru dan sangat relevan pada masa sekarang. Juga didalam TAP MPR NO. XVI/1998 ditegaskan tentang perlunya penerapan sistem ekonomi kerakyatan yang berpihak pada upaya-upaya pemberdayaan ekonomi rakyat. Pemberdayaan ekonomi rakyat ini dianggap penting karena ketertinggalan sektor ekonomi rakyat dari sektor ekonomi menengah dan besar, sehingga menimbulkan kecemburuan dan kesenjangan sosial. Hal ini menjadi masalah yang serius bagi bangsa Indonesia di masa sekarang. Sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan yang mampu mewujudkan demokrasi dalam tatanan ekonomi nasional. Sistem ideologi suatu bangsa akan menentukan sistem ekonomi seperti apa yang tercantum dalam Pancasila sila ke-4. Penggunaan istilah ’’kerakyatan’’ dipastikan mengandung unsur demokrasi yang kental. Bila istilah ’’kerakyatan’’ dalam ungkapan ’’ekonomi kerakyatan’’ itu dicari maknanya sesuai kedudukanya sebagai kata sifat, kata lain dari ’’ekonomi kerakyatan’’ sesungguhnya adalah ’’ekonomi yang demokratis’’ atau ’’demokrasi ekonomi’’. Artinya, kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan.

5

Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 2.


(54)

ekonomi global harus diimbangi dengan penguatan pondasi ekonomi dalam negeri. Oleh karenanya, sistem ekonomi kerakyatan harus didukung dengan keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena dengan ekonomi rakyat yang tangguh, ketahanan nasional di bidang ekonomi dapat terwujud.

Para pengamat acapkali melakukan kritik terhadap pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan, karena dengan otomatis perekonomian rakyat akan cenderung terabaikan. Padahal, GBHN sendiri sudah lama menempatkan aspek pemerataan pada urutan pertama dalam Trilogi Pembangunan Indonesia.6

Upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat, khususnya koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dimaksudkan agar mampu berkembang menjadi usaha yang mandiri dan kokoh dalam struktur perekonomian nasional. Melalui paradigma baru, diharapkan tidak lagi terjadi pemusatan aset ekonomi produktif pada segelintir orang atau golongan. Sebaliknya paradigma baru ini dimaksudkan untuk memperluas aset ekonomi produktif di tangan rakyat, meningkatkan partisipasi dan advokasi rakyat dalam proses pembangunan, berkembangnya basis ekonomi wilayah di tingkat kabupaten dan pedesaan, Dengan ditempatkannya pemerataan sebagai logi pertama, dalam rencana masa depan perekonomian Indonesia, seharusnya perhatian lebih diarahkan pada prospek perekonomian rakyat, bukan pada pertumbuhan ekonomi besar.

6


(55)

meluasnya kesempatan usaha bagi koperasi dan UKM, dan pemerataan serta keadilan bagi rakyat dalam menikmati hasil-hasil pembangunan.

Dalam ekonomi kerakyatan yang diharapkan mampu mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta harus ada upaya keras untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Pola pemberdayaan yang dilakukan yaitu menciptakan kemandirian bagi ekonomi rakyat, melalui koperasi dan UKM agar memiliki nilai tambah.

Upaya tersebut memerlukan peran aktif dari pemerintah yang tidak hanya memberikan bantuan dengan belas kasihan, tetapi sekaligus mengupayakan fasilitas dan program – program yang menjadikan ekonomi rakyat lebih produktif. Hal ini sejalan dengan apa yang telah disampaikan Kementerian Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali dan tiga wakil bank peserta penyalur, bank BRI, bank BNI, dan bank Mandiri dalam Raker dengan Komisi VI DPR pada tanggal 22 Agustus 2008 lalu, yang menghasilkan kesepakatan bahwa komisi VI menyetujui penambahan dana sebesar Rp.1 triliun untuk program Kredit Usaha Rakyat (KUR). Dengan asumsi gearing ratio 10 kali, dan tambahan KUR untuk periode tahun ini akan meningkat menjadi Rp.10 milyar. Ditambah dengan dana sebelumnya sebesar Rp.14,5 triliun, total dana KUR yang disalurkan menjadi Rp. 24,5 triliun. Kementerian Negara Koperasi dan UKM mengajukan penambahan dana KUR kepada Departemen Keungan setelah serapan dari Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) hingga awal Agustus hampir mencapai Rp 9 triliun.7

7

Rapat Kerja Bersama antara Komisi VI DPR dengan Kenenterian Negara Koperasi dan UKM beserta tiga wakil bank peserta penyalur, 22 Agustus 2008.


(56)

Pelaksanaan program kredit usaha rakyat ini tidak terlepas dari lembaga perbankan selaku instrumen penyalur yang telah baku. Dalam pelaksanaan pembiayaan kredit usaha rakyat ini, harus diupayakan agar pembiayaan yang diberikan tepat sasaran sehingga peningkatan ekonomi kerakyaan yang menjadi tujuan program kredit usaha rakyat ini dapat dicapai. Oleh karena hal tersebut, sebagaimana pembiayaan perbankan pada umumnya, pada kredit usaha rakyat, eksistensi prinsip kehati-hatian (Prudent Banking Principle) dalam penyaluran kredit juga mutlak diperlukan oleh perbankan agar penyaluran kredit dapat berjalan efektif dan berkesinambungan serta tepat sasaran.

Oleh karena hal tersebut di atas, maka skripsi ini diberi judul: Prinsip Kehati-hatian dalam Program Kredit Usaha Rakyat.

B. Permasalahan

1. Mengapa prinsip kehati-hatian wajib diterapkan dalam pemberian kredit? 2. Bagaimana pengaturan terhadap program kredit usaha rakyat di Indonesia? 3. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit usaha

rakyat?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui alasan prinsip kehati-hatian wajib diterapkan dalam pemberian kredit


(57)

b. Untuk mengetahui pengaturan terhadap program kredit usaha rakyat di Indonesia

c. Untuk mengetahui penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit usaha rakyat

2. Manfaat

Setiap penelitian pasti mendatangkan manfaat sebagai tindak lanjut dari apa yang telah dirumuskan dalam tujuan penelitian. Penulis mengharapkan dengan adanya penelitian ini membawa manfaat positif bagi penulis atau pembaca secara langsung maupun secara tidak langsung. Penelitian ini juga sangat berpengaruh bagi perkembangan individu atau objek dari penelitian ini. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini merupakan hasil dari studi ilmiah yang dapat memberikan masukan pemikiran dan ilmu pengetahuan baru terhadap ilmu hukum pada umumnya dan ilmu Hukum Lembaga Keuangan pada khususnya.

b. Manfaat praktis

Sebagai suatu informasi dan referensi bagi individu atau instansi yang menjadi atau yang terkait dari objek yang diteliti.


(58)

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Prinsip Kehati-hatian dalam Program Kredit Usaha Rakyat”

belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian kredit dan perjanjian kredit

Istilah kredit berasal dari bahasa Latin credere (credo atau creditum), yang berarti kepercayaan, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan faith atau trust. Dapat dikatakan bahwa kreditur sebagai yang memberi kredit (lazimnya bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima kredit) mempunyai kepercayaan bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit.8

Credere (percaya) maksudnya adalah si pemberi kredit percaya kepada si penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkannya pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan,

8


(59)

sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya.9

Muchdarsyah Sinungan mengatakan bahwa kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontrak prestasi berupa bunga.

10

Pada dunia bisnis pada umumnya kata kredit diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa dengan perjanjian akan membayar kelak.11

Berdasarkan pengertian ini, segala bentuk penyaluran dana dapat dikategorikan sebagai pemberian kredit.

Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang tentang Perbankan memberi difinisi; ”Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga”.

12

9

Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 101. 10

Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) hal.11

11

Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995), hal 279

Secara yuridis, unsur-unsur kredit yang

12

Abdulkadir Muhammad, Rilda Murniaty, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 58. Menurut Rachmadi Usman, Undang-undang Perbankan yang Diubah menggunakan 2 (dua) istilah yang berbeda, namun mengandung makna yang sama untuk pengertian kredit. Penggunaan istilah yang berbeda tersebut tergantung pada kegiatan usaha yang dijalankan oleh bank, apakah bank dalam menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional ataukah berdasarkan prinsip syari’ah. Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional menggunakan istilah kredit, sedangkan bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syari’ah menggunakan istilah pembiayaan. Istilah


(1)

1. Bapak Prof. Dr. Syahril Pasaribu, sebagai Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU.

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Ekonomi dan sealFakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Prof. Dr. Sunarmi, SH. M. Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Drs. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA, sebagai Dosen Penasehat Akademik selama penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum USU.

9. Seluruh staf Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU. 10.Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

11.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang, perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut


(2)

12.Ucapan terima kasih yang sangat spesial saya peruntukkan bagi kakanda-kakanda Alumni HMI Komisariat Fakultas Hukum USU yang senantiasa memberikan support dan dorongan bagi saya selama saya menuntut ilmu di Fakultas Hukum USU, khususnya ketika menjadi Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Hukum USU Periode 2007-2008.

13.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti perkuliahan hingga selesai skripsi ini.

14.Kepada teman-temanku, khusunya stambuk 2004 Fakultas Hukum USU yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

15.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 16 Juni 2010


(3)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 6

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 16

G. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II KEWAJIBAN MENERAPKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT ... 21

A. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam Undang-undang Perbankan ... 21

B. Kehati-hatian sebagai Prinsip Utama Bank dalam Memberikan Kredit ... 31

C. Sanksi bagi Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian ... 34

BAB III PENGATURAN PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT DI INDONESIA ... 36

A. Latar belakang Kredit Usaha Rakyat ... 36

B. Pengertian dan Dasar Hukum Kredit Usaha Rakyat ... 37


(4)

BAB IV PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM

PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT ... 52

A. Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit usaha rakyat ... 52

B. Implikasi tidak dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam program kredit usaha rakyat ... 53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67


(5)

ABSTRAKSI

Untuk memberdayakan perekonomian rakyat, kedaulatan harus dikembalikan pada rakyat, karena hanya dengan kedaulatan rakyat itulah ekonomi kerakyatan dapat terwujud. Pemberdayaan ekonomi rakyat juga merupakan bagian integral dalam mewujudkan ketahanan nasional dalam bidang ekonomi. Arus ekonomi global harus diimbangi dengan penguatan pondasi ekonomi dalam negeri. Oleh karenanya, sistem ekonomi kerakyatan harus didukung dengan keberpihakan pemerintah dalam pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena dengan ekonomi rakyat yang tangguh, ketahanan nasional di bidang ekonomi dapat terwujud. Upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat, khususnya koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), dimaksudkan agar mampu berkembang menjadi usaha yang mandiri dan kokoh dalam struktur perekonomian nasional.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai Mengapa prinsip kehati-hatian wajib diterapkan dalam pemberian kredit, Bagaimana pengaturan terhadap program kredit usaha rakyat di Indonesia, dan Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit usaha rakyat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis didalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through judicial process). Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.

Prinsip kehati-hatian wajib diterapkan oleh setiap bank dalam pelaksanaan pemberian kredit karena prinsip inilah yang akan menentukan terpenuhi atau tidaknya kriteria pencairan kredit serta juga sangat menentukan masa depan dari perjanjian kredit. Artinya apabila prinsip kehati-hatian ini diterapkan dengan baik, maka kecil kemungkinan akan terjadi kredit bermasalah/ macet pada pemenuhan kewajiban debitur. Program kredit usaha rakyat di Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 10/PMK.05/2009. Kredit usaha rakyat ini diperuntukkan bagi UMKM serta koperasi. Prinsip kehati-hatian diterapkan pada program kredit usaha rakyat


(6)

kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap, semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit.