Pola Interaksi Sosial Dalam Pengelolaan Perkebunan Antara Masyarakat Desa Mahato Timur Dengan Pihak Perkebunan Dengan Sistem Pola PIR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Dalam masyarakat, interaksi antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok selalu terjadi, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dan disetiap
kelompok masyarakat memiliki
perbedaan interaksi, dimana hal ini mempengaruhi hubungan timbal balik yang terjadi
didalam kelompok tersebut. Perbedaan interaksi didalam satu kelompok masyarakat
disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial yang terdiri atas kekayaan sumber daya
alam dan budaya serta perbedaan perekonomian yang terdiri atas perbedaan jenis
pekerjaan. Interaksi terjadi diberbagai aspek kehidupan manusia, seperti pada aspek
pekerjaan, keluarga, sekolah, agama,dll. Faktor pendorong terjadinya interaksi adalah
adanya persamaan wilayah, atau tempat tinggal, sikap saling membutuhkan, dan
adanya dorongan untuk berkembang. Salah satunya adalah interaksi yang terjadi
didalam bidang pekerjaan atau mata pencaharian.
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai jenis mata pencaharian yang terdiri
dari berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pertanian.
Indonesia sebagai
merupakan negara agraris, dimana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani.
Di negara agraris
sektor pertanian menjadi bagian yang penting baik dalam
perekonomian maupun pemenuhan kebutuhan pangan. Sebagai negara agraris, jumlah
penduduk Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani adalah 31.705.337 jiwa
yang terdiri atas 24.363.157 jiwa laki-laki dan 7.343.180 perempuan (BPS 2013).
Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor salah satunya yaitu subsektor
perkebunan. Perkebunan mengalami laju pertumbuhan yang tinggi hal ini terlihat dari
Universitas Sumatera Utara
semakin luas dan bertambahnya pelaku usaha perkebunan. Pada tahun 2013 jumlah
masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha perkebunan adalah 14.116.465 jiwa
yang terdiri atas 11.729.886 laki-laki dan 2.386.579 perempuan (BPS 2013).
Sementara pada rovinsi Riau yang merupakan provinsi dengan luas perkebunan sawit
nomor satu di Indonesia dengan luas lahan 2,2 juta hektar atau 25% luas perkebunan
sawit nasional (Ditjenbun 2015). Masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha
perkebunan sawit di provinsi Riau berjumlah 573.046 jiwa yang terdiri atas 489.731
laki-laki dan 83.315 perempuan (BPS 2013).
Dengan laju perkembangan perkebunan yang tinggi, maka pembangunan
perkebunan masuk dalam pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Pola pengembangan perkebunan dilakukan
dengan tiga bentuk, meliputi perkebunan besar yaitu perkebunan yang dikelola dan di
usahakan
secara komersial oleh perusahaan yang berbadan hukum, perkebunan
rakyat yaitu perkebunan yang diselenggarakan atau diusahakan oleh rakyat yang
dikelompokkan dalam usaha kecil, dan perkebunan inti rakyat budidaya suatu
tanaman dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti dan ranyat bertindak sebagai
petani plasma (Sitarasmi 2007:3). Dengan adanya pengembangan perkebunan yang
dilakukan oleh perkebunan besar milik negara atau swasta, berdampak juga pada
masyarakat yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar tersebut. Masyarakat
yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar secara langsung mendapatkan
pengaruh, baik dalam segi perubahan ekonomi, perilaku dan interaksi sosial.
Pada masyarakat disekitar perkebunan iteraksi yang terjadi sama dengan
masyarakat desa, dimana interaksi terjadi secara langsung, karena adanya kedekatan
tempat tinggal hal ini juga menimbulkan hubungan sosial yang dekat sehingga
Universitas Sumatera Utara
menumbuhkan rasa persaudaraan, selain itu masyarakat desa identik dengan
solidaritasnya yang tinggi.Pada masyarakat ini setiap anggota masyarakat saling
mengenal dengan baik dan memiliki hubungan yang dekat. Selain berinteraksi dengan
sesama anggota masyarakat, masyarakat disekitar perkebunan juga melakukan
interaksi dengan pihak perkebunan. Interaksi ini dapat bersifat asosiatif dan
dissosiatif. Interaksi sosiatif yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan
berupa kerja sama yang umumnya berupa kerja sama dalam membangun atau
perbaikan fasilitas umum, ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pada
perkebunan besar, kerja sama dalam jual beli hasil pertanian dan alat-alat perkebunan
serta corporate social responsibility (CSR). Sementara interaksi yang bersifat
disasosiatif umumnya berupa perebutan lahan perkebunan (Khasanah dan Puji,
2015:9).
Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan besar juga
terjadi pada pola pengembangan pola inti rakyat. Interaksi yang terjalin diantara
masyarakat yang disebut dengan petani plasma dan pihak perkebunan besar yang
disebut dengan perkebunan atau perusahaan inti lebih jelas terlihat karena adanya
kerja
sama
dalam
pengelolaan
perkebunan.
Pola
perkebunan
inti
rakyat
dikembangkan untuk memperbaiki struktur sosial masyarakat perkebunan, karena
kehidupan petani sebelum adanya pola inti rakyat umumnya diwarnai kemiskinan
dengan pendapatan yang rendah (Zahri, 2013:37). Pendapatan petani yang rendah
biasanya disebabkan oleh faktor produktivitas lahan yang rendah,faktor teknologi dan
faktor pengetahuan yang rendah serta pembiayaan atau modal yang rendah. Maka
setelah dilakukannya kerja sama antara perkebunan besar dengan masyarakat faktorfaktor tersebut dapat diperbaiki, karena tujuan utama pembentukan pola perkebunan
inti rakyat adalah untuk meningkatkan pendapatan petani.
Universitas Sumatera Utara
Interaksi yang terjalin antara perkebunan besar atau perusahaan inti dengan
masyarakat atau petani plasma dalam pola pengembangan perkebunan inti rakyat
terjadi melalui komunikasi antar para aktor sosial (pelaku usaha perkebunan inti
rakyat). Interaksi yang bersifat asosiatif dan dissosiatif. Interaksi yang bersifat
asosiatif berupa kerja sama yang umumnya meliputi pengelolaan perkebunan,
pembagian hasil, jual beli hasil perkebunan, dan pembayaran kredit atau utang. Serta
interaksi dissosiatif yang berupa pertengtangan atau pertikaian yang umumnya
meliputi konversi lahan, pendanaan terhadap fasilitas perkebunan dan kredit macet,
hal ini juga dapat menimbulkan konflik antara perusahaan inti dan petani plasma.
Dengan adanya interaksi yang bersifat isosiatif ini maka perkebunan inti rakyat
tersebut dapat berkembang dan maju. Dengan kemajuan perkebunan inti rakyat
tersebut, maka juga berdampak pada masyarakat atau petani plasma tersebut. Tetapi
belakangan ini program perkebunan inti rakyat banyak mengalami kegagalan yang
utamanya disebabkan karena konversi lahan dan kredit macet. Namun hal ini tidak
terjadi pada masyarakat Desa Mahato Timur yang menjalin kerja sama dengan
perusahaan perkebunan Torganda dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan
sistem pola inti rakyat. Karena alasan inilah yang menjadi latar belakang saya untuk
melakukan penelitian ini.
Desa Mahato Timur berada di Kecamatan Tambusan Utara, Kabupaten Rokan
Hulu Provinsi Riau. Desa Mahato timur merupakan desa baru yang merupakan
pemekaran dari Desa Mahato, Desa Mahato timur memiliki sekitar 1.354 jiwa atau
sekitar 200 kepala keluarga (Kepala Desa Mahato Timur). Mayoritas masyarakat
Desa Mahato Timur memiliki mata pencaharian sebagai petani perkebunan sawit.
Model perkebunan yang diterapkan
Di Desa Mahato Timur adalah perkebunan
rakyat, yang dikelola masyarakat secara tradisional baik dalam pengelolaan dan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan teknologi serta luas lahan perkebunan yang relatif kecil. Ketika Desa
Mahato timur masih bersatu dengan Desa Mahato, masyarakat Desa Mahato timur
secara keseluruhan menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan swasta yang
terdapat di Desa Mahato yaitu pekebunan Torganda. Perusahaan perkebunan PT.Tor
Ganda yang merupakan perkebunan swasta nasional yang berdiri pada tahun 1979
adalah perusahaan yang bergerak pada bisnis perkebunan kelapa sawit dan
industrinya. Kantor pusat berada di Jl. Abdullah Lubis No 26 Medan. Pada saat ini
memiliki perkebunan di Riau yang berada di Kabupaten Rokan Hulu. Dari kerja sama
yang telah dijalin antara masyarakat Desa mahato dengan perusahaan perkebunan
Torganda, 200 kk penduduk Desa Mahato Timur mendapatkan
1 kavling lahan
perkebunan sawit yang terdiri dari 2 ha yang dikelola oleh pihak Torganda (Kepala
Desa Mahato Timur). Masyarakat desa menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan
Torganda dalam pengelolaan lahan sawit dimulai sejak tahun 2008, masyarakat Desa
Mahato berperan sebagai penyedian lahan sawit dan pihak pekebunan berperan
sebagai penanam modal sekaligus yang mengelola perkebunan sawit tersebut, dimana
masyarakat setempat sering menyebutnya dengan sistem bapak angkat.
Sistem bapak angkat adalah hubungan antara pengusaha besar yang bersedia
membantu masyarakat dalam perkembangannya. Dalam hal ini posisi bapak angkat
yang merupakan perkebunan inti dan petani plasma sejajar, oleh sebab itu tidak ada
pihak yang paling dominan. Tetapi pada realitasnya pihak perkebunan inti memiliki
memiliki peranan yang lebih dominan dimana petani plasma tunduk terhadap
perkebunan inti terkait dengan pola pengelolaan hingga bagi hasil. Hal ini terjadi
karena adanya ketergantungan antara petani plasma kepada pihak perkebunan inti.
Sistem bapak angkat juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan petani
Universitas Sumatera Utara
plasma tetapi pada perkembangannya banyak perkebunan inti yang tidak menjalankan
fungsi dan peranannya ( Rachmad, 2011: 4).
Interaksi yang terjalin diantara masyarakat dengan pihak perkebunan terjalin
dengan baik, hal ini terlihat dari perkembangan perkebunan sawit tersebut. Pihak
perkebunan inti dan petani plasma mendirikan koperasi unit desa dengan nama
koperasi karya bakti, dimana koperasi ini menjadi wadah untuk perusahaan inti dan
petani plasma bertemu dan berdiskusi mengenai pengelolaan perkebunan sawit. Petani
plasma Desa Mahato Timur menerima “gaji” dengan besaran tertentu yang telah
disepakati sekitar Rp 500.000 - Rp 1.000.000 perbulan, dengan pemotongan utang
modal (Kepala Desa Mahato Timur). Sistem pengelolaan dengan sistem pola inti
rakyat ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta menunjang
perekonomian masyarakat Desa Mahato Timur. Dengan sistem pengelolaan inti
rakyat masyarakat yang memiliki modal sedikit serta pengetahuan dalam pengelolaan
sawit yang rendah mendapat bantuan dari pihak perkebunan besar dalam
pengelolaannya. Sistem pengelolaan perkebunan yang modern serta maju baik dari
penggunaan
teknologi,
perawatan
tanaman,
pemasaran,
hingga
pengaturan
manajemen yang baik yang tidak dimiliki dan diketahui masyarakat diharapkan
mampu meningkatkan produksi kelapa sawit.
Melalui pola perkebunan inti rakyat pemerintah berusaha untuk meningkatkan
produktivitas petani sawit di Indonesia, selain itu dengan adanya kerja sama antara
masyarakat dengan perusahaan perkebunan besar diharapkan juga mampu
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
Perkembangan perkebunan dengan inti rakyat
dengan
bertambahnya
pendapatan.
juga didasarkan pada pertimbangan
bahwa masih banyak lahan tidur dan lahan kurang produktif milik masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
belum dimanfaatkan karena disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam pembangunan
ekonomi, pola inti rakyat
merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan
sistem perekonomian gotong royong yang dibentuk antara mitra yang kuat dari segi
permodalan, pasar, dan kemampuan teknologinya bersama petani yang golongan
rendah serta miskin yang tidak kurang memiliki kemampuan yang disebabkan oleh
minimnya pendidikan dan keterampiran serta pengetahuan dalam menjalankan suatu
usaha atau pekerjaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas dan usaha
atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola
kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum
social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional
jangka panjang.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Terjalinnya Pola Interaksi sosial
Dalam Pengelolaan Perkebunan Antara Masyarakat Desa Mahato Timur Dengan
Pihak Perkebunan Torus Ganda (Torganda) Dengan Sistem Pola Perkebunan inti
rakyat (PIR)?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan kenginan peneliti dalam suatu
penelitian, menurut Bungin (2007). Sehingga adapun tujuan dari penelitian adalah
untuk mengetahui bagaimana pola interaksi sosial dalam pengelolaan perkebunan
antara masyarakat Desa Mahato Timur dengan pihak perkebunan dengan pola
perkebunan inti rakyat.
Universitas Sumatera Utara
1.4
Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.4.1
Manfaat teoritis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi secara langsung
atau tidak langsung bagi kepustakaan depertemen sosiologi, menambah wawasan
kajian ilmiah bagi mahasiswa serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan
masyarakat.
1.4.2
Manfaat praktis
Penelitian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis
karya ilmiah serta menambah wawasan penulis khususnya yang berkaitan dengan pola
sosial dalam pengelolaan perkebunan antara masyarakat desa dengan pihak
perkebunan dengan sistem pola perkebunan inti rakyat, serta penelitian ini juga
diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi didalam masyarakat
dan dijadikan sebagai bahan masukan, informasi, ataupun referensi bagi masyarakat
luas dan masyarakat disekitar tempat penelitian.
1.5
Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Defenisi konsep bertujuan untuk
merumuskan istilah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu
persamaan persepsi dan menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan
penelitian. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Pola adalah pola yang dimaksud dalam hal ini adalah cara atau proses dalam
interaksi sosial yang berlangsung dalam kehidupan sosial.
2. Teori Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antar individu dengan individu
atau individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang terjalin
didalam kehidupan bermasyarakat.
3. Masyarakat desa adalah masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu
kawasan, wilayah, teritorial tertentu yang disebut desa.
4. Perkebunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR), yaitu suatu usaha budidaya tanaman,
dimana perusahaan besar (pemerintah atau swasta) bertindak sebagai inti
sedangkan rakyat merupakan plasma dan perusahaan inti memiliki kewajiban
untuk membangun kebun plasma dan membeli hasinya. Masyakat dan perusahaan
perkebunan besar saling menjalin kerja sama dalam pengelolaan perkebunan sawit
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
produktivitas
serta
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5. Kebun plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti.
6. Modal sosial adalah jumlah sumber-sumber daya, aktual atau virtual (tersirat)
yang berkembang pada seorang individu atau sekelompok individu karena
kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam
hubungan-hubungan
yang lebih
kurang telah
diinstitusikan
berdasarkan
pengetahuan dan pengenalan timbal balik. Modal sosial sangat diperlukan didalam
kehidupan masyarakat, karena modal sosial dapat memperkuat hubungan antar
individu dengan indivu atau antar kelompok.
Universitas Sumatera Utara
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang.
Dalam masyarakat, interaksi antara individu dengan individu, individu dengan
kelompok, atau antara kelompok dengan kelompok selalu terjadi, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Dan disetiap
kelompok masyarakat memiliki
perbedaan interaksi, dimana hal ini mempengaruhi hubungan timbal balik yang terjadi
didalam kelompok tersebut. Perbedaan interaksi didalam satu kelompok masyarakat
disebabkan oleh perbedaan lingkungan sosial yang terdiri atas kekayaan sumber daya
alam dan budaya serta perbedaan perekonomian yang terdiri atas perbedaan jenis
pekerjaan. Interaksi terjadi diberbagai aspek kehidupan manusia, seperti pada aspek
pekerjaan, keluarga, sekolah, agama,dll. Faktor pendorong terjadinya interaksi adalah
adanya persamaan wilayah, atau tempat tinggal, sikap saling membutuhkan, dan
adanya dorongan untuk berkembang. Salah satunya adalah interaksi yang terjadi
didalam bidang pekerjaan atau mata pencaharian.
Masyarakat Indonesia memiliki berbagai jenis mata pencaharian yang terdiri
dari berbagai sektor, salah satunya adalah sektor pertanian.
Indonesia sebagai
merupakan negara agraris, dimana mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani.
Di negara agraris
sektor pertanian menjadi bagian yang penting baik dalam
perekonomian maupun pemenuhan kebutuhan pangan. Sebagai negara agraris, jumlah
penduduk Indonesia yang bermata pencaharian sebagai petani adalah 31.705.337 jiwa
yang terdiri atas 24.363.157 jiwa laki-laki dan 7.343.180 perempuan (BPS 2013).
Sektor pertanian terdiri dari beberapa subsektor salah satunya yaitu subsektor
perkebunan. Perkebunan mengalami laju pertumbuhan yang tinggi hal ini terlihat dari
Universitas Sumatera Utara
semakin luas dan bertambahnya pelaku usaha perkebunan. Pada tahun 2013 jumlah
masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha perkebunan adalah 14.116.465 jiwa
yang terdiri atas 11.729.886 laki-laki dan 2.386.579 perempuan (BPS 2013).
Sementara pada rovinsi Riau yang merupakan provinsi dengan luas perkebunan sawit
nomor satu di Indonesia dengan luas lahan 2,2 juta hektar atau 25% luas perkebunan
sawit nasional (Ditjenbun 2015). Masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku usaha
perkebunan sawit di provinsi Riau berjumlah 573.046 jiwa yang terdiri atas 489.731
laki-laki dan 83.315 perempuan (BPS 2013).
Dengan laju perkembangan perkebunan yang tinggi, maka pembangunan
perkebunan masuk dalam pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan dan pemerataan pendapatan. Pola pengembangan perkebunan dilakukan
dengan tiga bentuk, meliputi perkebunan besar yaitu perkebunan yang dikelola dan di
usahakan
secara komersial oleh perusahaan yang berbadan hukum, perkebunan
rakyat yaitu perkebunan yang diselenggarakan atau diusahakan oleh rakyat yang
dikelompokkan dalam usaha kecil, dan perkebunan inti rakyat budidaya suatu
tanaman dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti dan ranyat bertindak sebagai
petani plasma (Sitarasmi 2007:3). Dengan adanya pengembangan perkebunan yang
dilakukan oleh perkebunan besar milik negara atau swasta, berdampak juga pada
masyarakat yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar tersebut. Masyarakat
yang bertempat tinggal disekitar perkebunan besar secara langsung mendapatkan
pengaruh, baik dalam segi perubahan ekonomi, perilaku dan interaksi sosial.
Pada masyarakat disekitar perkebunan iteraksi yang terjadi sama dengan
masyarakat desa, dimana interaksi terjadi secara langsung, karena adanya kedekatan
tempat tinggal hal ini juga menimbulkan hubungan sosial yang dekat sehingga
Universitas Sumatera Utara
menumbuhkan rasa persaudaraan, selain itu masyarakat desa identik dengan
solidaritasnya yang tinggi.Pada masyarakat ini setiap anggota masyarakat saling
mengenal dengan baik dan memiliki hubungan yang dekat. Selain berinteraksi dengan
sesama anggota masyarakat, masyarakat disekitar perkebunan juga melakukan
interaksi dengan pihak perkebunan. Interaksi ini dapat bersifat asosiatif dan
dissosiatif. Interaksi sosiatif yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan
berupa kerja sama yang umumnya berupa kerja sama dalam membangun atau
perbaikan fasilitas umum, ketersediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat pada
perkebunan besar, kerja sama dalam jual beli hasil pertanian dan alat-alat perkebunan
serta corporate social responsibility (CSR). Sementara interaksi yang bersifat
disasosiatif umumnya berupa perebutan lahan perkebunan (Khasanah dan Puji,
2015:9).
Interaksi yang terjalin antara masyarakat dengan pihak perkebunan besar juga
terjadi pada pola pengembangan pola inti rakyat. Interaksi yang terjalin diantara
masyarakat yang disebut dengan petani plasma dan pihak perkebunan besar yang
disebut dengan perkebunan atau perusahaan inti lebih jelas terlihat karena adanya
kerja
sama
dalam
pengelolaan
perkebunan.
Pola
perkebunan
inti
rakyat
dikembangkan untuk memperbaiki struktur sosial masyarakat perkebunan, karena
kehidupan petani sebelum adanya pola inti rakyat umumnya diwarnai kemiskinan
dengan pendapatan yang rendah (Zahri, 2013:37). Pendapatan petani yang rendah
biasanya disebabkan oleh faktor produktivitas lahan yang rendah,faktor teknologi dan
faktor pengetahuan yang rendah serta pembiayaan atau modal yang rendah. Maka
setelah dilakukannya kerja sama antara perkebunan besar dengan masyarakat faktorfaktor tersebut dapat diperbaiki, karena tujuan utama pembentukan pola perkebunan
inti rakyat adalah untuk meningkatkan pendapatan petani.
Universitas Sumatera Utara
Interaksi yang terjalin antara perkebunan besar atau perusahaan inti dengan
masyarakat atau petani plasma dalam pola pengembangan perkebunan inti rakyat
terjadi melalui komunikasi antar para aktor sosial (pelaku usaha perkebunan inti
rakyat). Interaksi yang bersifat asosiatif dan dissosiatif. Interaksi yang bersifat
asosiatif berupa kerja sama yang umumnya meliputi pengelolaan perkebunan,
pembagian hasil, jual beli hasil perkebunan, dan pembayaran kredit atau utang. Serta
interaksi dissosiatif yang berupa pertengtangan atau pertikaian yang umumnya
meliputi konversi lahan, pendanaan terhadap fasilitas perkebunan dan kredit macet,
hal ini juga dapat menimbulkan konflik antara perusahaan inti dan petani plasma.
Dengan adanya interaksi yang bersifat isosiatif ini maka perkebunan inti rakyat
tersebut dapat berkembang dan maju. Dengan kemajuan perkebunan inti rakyat
tersebut, maka juga berdampak pada masyarakat atau petani plasma tersebut. Tetapi
belakangan ini program perkebunan inti rakyat banyak mengalami kegagalan yang
utamanya disebabkan karena konversi lahan dan kredit macet. Namun hal ini tidak
terjadi pada masyarakat Desa Mahato Timur yang menjalin kerja sama dengan
perusahaan perkebunan Torganda dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan
sistem pola inti rakyat. Karena alasan inilah yang menjadi latar belakang saya untuk
melakukan penelitian ini.
Desa Mahato Timur berada di Kecamatan Tambusan Utara, Kabupaten Rokan
Hulu Provinsi Riau. Desa Mahato timur merupakan desa baru yang merupakan
pemekaran dari Desa Mahato, Desa Mahato timur memiliki sekitar 1.354 jiwa atau
sekitar 200 kepala keluarga (Kepala Desa Mahato Timur). Mayoritas masyarakat
Desa Mahato Timur memiliki mata pencaharian sebagai petani perkebunan sawit.
Model perkebunan yang diterapkan
Di Desa Mahato Timur adalah perkebunan
rakyat, yang dikelola masyarakat secara tradisional baik dalam pengelolaan dan
Universitas Sumatera Utara
penggunaan teknologi serta luas lahan perkebunan yang relatif kecil. Ketika Desa
Mahato timur masih bersatu dengan Desa Mahato, masyarakat Desa Mahato timur
secara keseluruhan menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan swasta yang
terdapat di Desa Mahato yaitu pekebunan Torganda. Perusahaan perkebunan PT.Tor
Ganda yang merupakan perkebunan swasta nasional yang berdiri pada tahun 1979
adalah perusahaan yang bergerak pada bisnis perkebunan kelapa sawit dan
industrinya. Kantor pusat berada di Jl. Abdullah Lubis No 26 Medan. Pada saat ini
memiliki perkebunan di Riau yang berada di Kabupaten Rokan Hulu. Dari kerja sama
yang telah dijalin antara masyarakat Desa mahato dengan perusahaan perkebunan
Torganda, 200 kk penduduk Desa Mahato Timur mendapatkan
1 kavling lahan
perkebunan sawit yang terdiri dari 2 ha yang dikelola oleh pihak Torganda (Kepala
Desa Mahato Timur). Masyarakat desa menjalin kerja sama dengan pihak perkebunan
Torganda dalam pengelolaan lahan sawit dimulai sejak tahun 2008, masyarakat Desa
Mahato berperan sebagai penyedian lahan sawit dan pihak pekebunan berperan
sebagai penanam modal sekaligus yang mengelola perkebunan sawit tersebut, dimana
masyarakat setempat sering menyebutnya dengan sistem bapak angkat.
Sistem bapak angkat adalah hubungan antara pengusaha besar yang bersedia
membantu masyarakat dalam perkembangannya. Dalam hal ini posisi bapak angkat
yang merupakan perkebunan inti dan petani plasma sejajar, oleh sebab itu tidak ada
pihak yang paling dominan. Tetapi pada realitasnya pihak perkebunan inti memiliki
memiliki peranan yang lebih dominan dimana petani plasma tunduk terhadap
perkebunan inti terkait dengan pola pengelolaan hingga bagi hasil. Hal ini terjadi
karena adanya ketergantungan antara petani plasma kepada pihak perkebunan inti.
Sistem bapak angkat juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan petani
Universitas Sumatera Utara
plasma tetapi pada perkembangannya banyak perkebunan inti yang tidak menjalankan
fungsi dan peranannya ( Rachmad, 2011: 4).
Interaksi yang terjalin diantara masyarakat dengan pihak perkebunan terjalin
dengan baik, hal ini terlihat dari perkembangan perkebunan sawit tersebut. Pihak
perkebunan inti dan petani plasma mendirikan koperasi unit desa dengan nama
koperasi karya bakti, dimana koperasi ini menjadi wadah untuk perusahaan inti dan
petani plasma bertemu dan berdiskusi mengenai pengelolaan perkebunan sawit. Petani
plasma Desa Mahato Timur menerima “gaji” dengan besaran tertentu yang telah
disepakati sekitar Rp 500.000 - Rp 1.000.000 perbulan, dengan pemotongan utang
modal (Kepala Desa Mahato Timur). Sistem pengelolaan dengan sistem pola inti
rakyat ini diharapkan mampu meningkatkan produktivitas serta menunjang
perekonomian masyarakat Desa Mahato Timur. Dengan sistem pengelolaan inti
rakyat masyarakat yang memiliki modal sedikit serta pengetahuan dalam pengelolaan
sawit yang rendah mendapat bantuan dari pihak perkebunan besar dalam
pengelolaannya. Sistem pengelolaan perkebunan yang modern serta maju baik dari
penggunaan
teknologi,
perawatan
tanaman,
pemasaran,
hingga
pengaturan
manajemen yang baik yang tidak dimiliki dan diketahui masyarakat diharapkan
mampu meningkatkan produksi kelapa sawit.
Melalui pola perkebunan inti rakyat pemerintah berusaha untuk meningkatkan
produktivitas petani sawit di Indonesia, selain itu dengan adanya kerja sama antara
masyarakat dengan perusahaan perkebunan besar diharapkan juga mampu
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
Perkembangan perkebunan dengan inti rakyat
dengan
bertambahnya
pendapatan.
juga didasarkan pada pertimbangan
bahwa masih banyak lahan tidur dan lahan kurang produktif milik masyarakat yang
Universitas Sumatera Utara
belum dimanfaatkan karena disebabkan oleh berbagai faktor. Dalam pembangunan
ekonomi, pola inti rakyat
merupakan perwujudan cita-cita untuk melaksanakan
sistem perekonomian gotong royong yang dibentuk antara mitra yang kuat dari segi
permodalan, pasar, dan kemampuan teknologinya bersama petani yang golongan
rendah serta miskin yang tidak kurang memiliki kemampuan yang disebabkan oleh
minimnya pendidikan dan keterampiran serta pengetahuan dalam menjalankan suatu
usaha atau pekerjaan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan produktivitas dan usaha
atas dasar kepentingan bersama. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi dengan pola
kemitraan dapat dianggap sebagai usaha yang paling menguntungkan (maximum
social benefit), terutama ditinjau dari pencapaian tujuan pembangunan nasional
jangka panjang.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah yang
akan diteliti dalam penelitian ini adalah: Bagaimana Terjalinnya Pola Interaksi sosial
Dalam Pengelolaan Perkebunan Antara Masyarakat Desa Mahato Timur Dengan
Pihak Perkebunan Torus Ganda (Torganda) Dengan Sistem Pola Perkebunan inti
rakyat (PIR)?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan kenginan peneliti dalam suatu
penelitian, menurut Bungin (2007). Sehingga adapun tujuan dari penelitian adalah
untuk mengetahui bagaimana pola interaksi sosial dalam pengelolaan perkebunan
antara masyarakat Desa Mahato Timur dengan pihak perkebunan dengan pola
perkebunan inti rakyat.
Universitas Sumatera Utara
1.4
Manfaat Penelitian.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:
1.4.1
Manfaat teoritis
Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan kontribusi secara langsung
atau tidak langsung bagi kepustakaan depertemen sosiologi, menambah wawasan
kajian ilmiah bagi mahasiswa serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan
masyarakat.
1.4.2
Manfaat praktis
Penelitian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam menulis
karya ilmiah serta menambah wawasan penulis khususnya yang berkaitan dengan pola
sosial dalam pengelolaan perkebunan antara masyarakat desa dengan pihak
perkebunan dengan sistem pola perkebunan inti rakyat, serta penelitian ini juga
diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi didalam masyarakat
dan dijadikan sebagai bahan masukan, informasi, ataupun referensi bagi masyarakat
luas dan masyarakat disekitar tempat penelitian.
1.5
Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian, defenisi konsep sangat diperlukan untuk
mempermudah dan memfokuskan penelitian. Defenisi konsep bertujuan untuk
merumuskan istilah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta suatu
persamaan persepsi dan menghindari salah pengertian yang dapat mengaburkan
penelitian. Adapun defenisi konsep dalam penelitian ini adalah:
Universitas Sumatera Utara
1. Pola adalah pola yang dimaksud dalam hal ini adalah cara atau proses dalam
interaksi sosial yang berlangsung dalam kehidupan sosial.
2. Teori Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik antar individu dengan individu
atau individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang terjalin
didalam kehidupan bermasyarakat.
3. Masyarakat desa adalah masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu
kawasan, wilayah, teritorial tertentu yang disebut desa.
4. Perkebunan Perusahaan Inti Rakyat (PIR), yaitu suatu usaha budidaya tanaman,
dimana perusahaan besar (pemerintah atau swasta) bertindak sebagai inti
sedangkan rakyat merupakan plasma dan perusahaan inti memiliki kewajiban
untuk membangun kebun plasma dan membeli hasinya. Masyakat dan perusahaan
perkebunan besar saling menjalin kerja sama dalam pengelolaan perkebunan sawit
yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
produktivitas
serta
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
5. Kebun plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan inti.
6. Modal sosial adalah jumlah sumber-sumber daya, aktual atau virtual (tersirat)
yang berkembang pada seorang individu atau sekelompok individu karena
kemampuan untuk memiliki suatu jaringan yang dapat bertahan lama dalam
hubungan-hubungan
yang lebih
kurang telah
diinstitusikan
berdasarkan
pengetahuan dan pengenalan timbal balik. Modal sosial sangat diperlukan didalam
kehidupan masyarakat, karena modal sosial dapat memperkuat hubungan antar
individu dengan indivu atau antar kelompok.
Universitas Sumatera Utara