Pola Interaksi Masyarakat Pendatang Dengan Masyarakat Lokal Studi Tentang Interaksi Sosial Etnis Tionghoa Dan Etnis Karo Di Desa Lama Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deli Serdang

(1)

POLA INTERAKSI MASYARAKAT PENDATANG

DENGAN MASYARAKAT LOKAL

Studi Tentang Interaksi Sosial Etnis Tionghoa Dan Etnis Karo Di

Desa Lama Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deli Serdang

Oleh :

IIP FATMAWATI

020901020

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia memiliki naluri untuk bergaul dengan sesamanya semenjak dilahirkan dan disosialisasikan dalam kehidupan masyarakat. Hubungan dengan sesamanya merupakan suatu kebutuhan bagi setiap manusia. Itulah sebabnya, individu menjalin hubungan dengan individu atau kelompok yang lain, sebab manusia tidak dapat bertahan hidup tanpa berhubungan dengan individu atau kelompok yang lainnya.

Hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kelompok juga disebut dengan interaksi sosial. Interaksi adalah dasar dari proses sosial, yang menuju pada hubungan yang dinamis antara individu dengan individu ataupun dengan kelompok. Manusia selalu hidup bersama-sama, hidup beikelompok membentuk suatu komunitas, yang mempunyai adat-istiadat yang mengatur tatanan kehidupan anggota komunitasnya. Norma-norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat mengikat kehidupan masyarakat, dan apabila ada yang melanggar aturan yang berlaku maka akan diberikan sanksi kepada individu ataupun kelompok yang melanggarnya.


(3)

Masyarakat merupakan suatu kesatuan individu yang dipandang dalam keseluruhannya satu dengan yang lain, berada dalam interaksi yang berulang tetap. Interaksi itu terjadi kalau satu individu dalam masyarakat berbuat sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suatu reaksi dan individu atau individu-idividu yang lain (Koentjaraninyat, 1974 : 104). Suatu hal yang penting dalam memahami interaksi sosial dalam masyarakat majemuk adalah, bagaimana individu atau kelompok untuk menyesuaikan diri dengan latar belakang ekonomi yang berbeda; lingkungan yang berbeda, suku yang berbeda, agama yang berbeda, dan adat istiadat yang berbeda. Kemajemukan masyarakat terutama bercorak adanya keragaman adat-istiadat dan kesenjangan ekonomi yang sangat tajam.

Norma-norma atau kaedah-kaedah yang dimiliki oleh setiap suku dalam berinteraksi berbeda tetapi pada prinsipnya dikembalikan pada konsep nilai, yang merupakan pandangan relatif abstrak mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai atau sistem nilai merupakan abstraksi dalam berinteraksi. Di lain pihak nilai tersebut mempunyai pengaruh yang besar terhadap pola pikir, sikap, kaedah-kaedah maupun pola tingkah laku manusia.

Jadi, pola interaksi sosial tertentu, termasuk yang dimiliki oleh penduduk lokal dalam menanggapi kehadiran warga pendatang, timbul atas dasar nilai-nilai yang berkembang dalam suatu golongan etnis yang berinteraksi. Tidak jarang kejadian bahwa pola interaksi sosial yang menjadi golongan khas suku etnis tertentu, dipergunakan di dalam segala macam konteks pergaulan hidup. Hal semacam ini dapat dimengerti, sebab pola semacam ini melembaga di dalam diri seseorang atau


(4)

suatu kelompok, ditumbuhkan oleh faktor pendidikan di rumah sejak kecil (pendidikan non fonnal). Dengan demikian agak sulit untuk mengetengahkan konsep pola interaksi sosial yang berlaku umum bagi semua warga masyarakat Indonesia. Dalam beberapa kasus, timbul konflik yang tajam antara masyarakat lokal dengan warga pendatang. Baik itu disebabkan oleh perebutan dominasi sektor perekonomian maupun penguasaan aset-aset strategis. Sebut saja misalnya di Aceh (antara warga lokal Aceh dengan pendatang yang berasal dari etnis Jawa) atau Sampit (antara warga lokal Dayak dengan pendatang yang berasal dari etnis Madura).

Beralih pada konteks penelitian, masyarakat Pancurbatu memiliki penduduk yang majemuk, yaitu suku Karo sebagai penduduk asli. Selain itu, juga terdapat suku Jawa, Batak Toba, dan Tionghoa yang berdiam di sana, dengan adat istiadat, agama, dan latar belakang ekonomi yang berbeda, tetapi sejauh ini terjadi interaksi yang harmonis. Jika interaksi tidak berjalan dengan harmonis pastinya akan menyebabkan konflik. Namun sebaliknya, apabila interaksi berjalan dengan harmonis maka akan terjadi integrasi dalam masyarakat.

Masyarakat yang merantau ke Pancurbatu pada umumnya adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik dari kampung halaman sebelum dia merantau. Untuk dapat melakukan hal ini, mereka harus beradaptasi dengan norma-norma atau kaedah-kaedah yang berlaku di mana ia merantau. Terlebih lagi mengingat bahwa jalinan interaksi antara masyarakat pendatang dengan penduduk yang asli mempunyai latar belakang berbeda.


(5)

Masyarakat yang merantau ke Pancurbatu memiliki pekerjaan yang berbeda- beda, ada yang berdaghang, bertani, dan sebagainya. Interaksi masyarakat pendatang/ perantau dengan penduduk asli menarik untuk diteliti. Terutama menyangkut heterogenitas masyarakaty yang cukup tinggi. Seperti telah diuraikan diatas, komposisi masyarakat Pancurbatu terdiri atas suku Karo sebagai penduduk asli, suku Jawa, Batak Toba, Tionghoa, dan masih banyak lagi lainnya. Kondisi yang demikian sangat rawan menimbulkan konflik karena adanya perbenturan kebudayaan maupun kepentingan, namun sejauh ini di Pancurbatu belum pernah terjadi konflik yang berarti, sehingga patut dicermati faktor-faktor apa saja yang mengintegrasikan masyarakat lokal dengan pendatang.

Bukan hanya itu saja, proses asimilasi dan akulturasi yang terjadi pada masyarakat Pancurbatu pun menarik untuk diteliti. Bagaimana akhirnya proses interaksi dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan penerimaan unsur kebudayaan pendatang atau justru mengakibatkan perubahan pada unsur kebudayaan lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka timbul beberapa pokok permasalahan yang hendak dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

1. Bagaimanakah pola interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu?

2. Faktor-faktor apa saja yang mengintegrasikan etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu?


(6)

3. Bagaimanakah gambaran proses asimilasi atau akulturasi yang berlangsung di Pancurbatu antara kebudayaan etnis Tionghoa dengan etnis Karo ?

1.3 TujuanPenelitian

Sedangkan mengenai tujuan yang hendak dicapai melalui penelitian dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan data dan fakta serta menggambarkan bagaimana berlangsungnya pola interaksi antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

b. Untuk menggambarkan faktor-faktor yang mengintegrasikan etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

c. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui hambatan-hambatan yang mungkin merintangi berlanjutnya keharmonisan antara etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat-manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis

Dapat memberikan kontribusi berupa informasi (data, fakta, analisis) terhadap studi-studi yang terkait dengan kajian interaksi sosial. Walaupun penelitian ini berkisar pada pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu, namun sedikit banyak dapat digeneralisasi secara umum.


(7)

 Memberikan masukan dalam bentuk bacaan untuk memperkaya wawasan setiap individu yang membaca hasil penelitian ini tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo.

 Bagi penulis sendiri adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo.

1.5 KajianPustaka

1.5.1 INTERAKSI SOSIAL DAN INTERAKSIONISME SIMBOLIK

Bentuk paling mendasar dari proses sosial adalah interaksi sosial, oleh karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Menurut Gillin dan Gillin interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok manusia (Soekanto; 1987: 51). Apabila dua orang bertemu, interaksi sosial dimulai; pada saat itu mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara atau bahkan berkelahi. Aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial. Walupun orang-orang yang bertatap muka tersebut tidak saling berbicara atau tidak saling menukar tanda-tanda, interaksi sosial telah terjadi, oleh karena masing-masing sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan pembahan-penibahan dalam perasaan maupun syaraf orang-orang bersangkutan, yang disebabkan oleh misalnya bau keringat, minyak wangi, suara berjalan dan sebagainya. Kesemuanya itu


(8)

menimbulkan kesan di dalam pikiran seseorang, yang kemudian menentukan tindakan apa yang akan dilakukannya (Soekanto, 1987: 51).

Suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu (Soekanto, 1987: 53-54):

1. Adanya kontak sosial (social-contant) 2. Adanya komunikasi.

Kata kontak berasal dan bahasa Latin con atau cum (yang berarti bersama- sama) dan tango (yang berarti menyentuh); jadi artinya secara harfiah adanya "bersama-sama menyentuh". Secara fisik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniyah, sebagai gejala sosial itu tidak perlu berarti suatu hubungan badaniyah, oleh karena orang tidak dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuh, seperti misalnya, dengan berbicara dengan pihak lain tersebut. Apabila dengan perkembangan teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu dengan lainnya melalui telepon, telegraf, radio-radio, surat, dan seterusnya, yang tidak memerlukan suatu hubungan badaniah. Kingsley Davis mengatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak (Soekanto; 1987:54).

Kontak sosial dapat berlangsung dalam tiga bentuk, yaitu:

o Antara orang-perorangan, misalnya apabila anak kecil mempelajari kebiasaan- kebiasaan dalam keluarga. Menurut MJ. Herskovits proses demikian terjadi meliputi socialization, yaitu suatu proses, dimana anggota masyarakat yang


(9)

baru mempelajari norma-norma dan nilai-nilai masyarakat dimana ia menjadi anggota (Soekanto; 1987: 51).

o Antara orang perorangan dengan suatu kelompok manusia atau sebaliknya, misalnya apabila seseorang merasakan bahwa tindakan-tindakannya berlawanan dengan norma-norma masyarakat atau apabila suatu partai politik memaksa anggota-anggotanya untuk menyesuaikan diri dengan ideologi dan programnya.

o Antara suatu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya. Umpamanya, dua partai politik mengadakan kerja sama untuk mengalahkan partai politik yang ketiga di dalam pemilihan umum. Atau apabila dua buah perusahaan bangunan mengadakan suatu kontrak untuk membuat jalan raya, jembatan dan seterusnya di suatu wilayah yang baru dibuka. (Soekanto; 1987: 54-55).

Dalam interaksi sosial, ada asumsi teoretis yang diistilahkan dengan interaksionisme simbol. Herbert Blumer menyampaikan rumusan yang paling ekonomis menurutnya dari asumsi-asumsi interaksionisme simbol dimana hal ini berhubungan dengan mind, self, dan society sebagai berikut: (1). Manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna-makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka, Makna-makna itu merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia, dan (3). Makna-makna dimodifikasikan dan ditangani melalui suatu proses


(10)

penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan tanda- tanda yang dihadapinya.

Demikian pula sebuah simbol dilihat sebagai sesuatu yang tidak bemilai bagi dirinya sendiri, tetapi oleh sesuatu yang dapat dikerjakan dengannya. Leslie White menambahkan bahwa semua tingkah laku manusia bennula dalam penggunaan simbol-simbol. Simbol adalah sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang mempergunakannya. Simbol digunakan dalam proses interaksi sosial.

Lebih lanjut, Gilin dan Gilin membedakan dua macam proses yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu:

1. Proses sosial yang asosiatif (procesess of assosiation) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yakni:

a. akomodasi, b. asimilasi, dan c. akulturasi.

2. Proses sosial yang disosiatif (procesess of dissociation) yang mencakup: a. Persaingan

b. Persaingan yang meliputi "contravention"dan pertentangan atau pertikaian (conflict) (Soekanto; 1987: 59).

Lain halnya dengan Kimball Young, bentuk-bentuk proses sosial menurutnya terbagi atas :


(11)

Oposisi (opposition) yang mencakup persaingan (competition) dan pertentangan atau pertikaian (conflict).

1. Kerja sama (co-operation) yang menghasilkan akomodasi (accomodation) dan

2. Differentiation yang merupakan suatu proses di mana orang perorangan di dalam masyarakat memperoleh hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang

berbeda dengan orang-orang lain dalam masyarakat atas dasar perbedaan usia, seks, dan pekerjaan (Soekanto; 1987: 59-60).

Soerjono Soekanto memperinci proses-proses interaksi sosial yang pokok adalah:

PROSES SOSIAL YANG ASOSIATIF

a. Kerja sama

Bentuk-bentuk kerja sama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai semenjak masa kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan kelompok lainnya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama tersebut mungkin akan bertambah kuat apabila ada bahaya dari luar yang mengancam atau ada tindakan-tindakan dari luar yang menyinggung kesetiaan secara tradisionil atau institusionil telah


(12)

tertanam di dalam kelompok-kelompok tersebut, dalam diri seorang atau segolongan orang (Soekanto; 1987:61)

Menurut C.H. Cooley betapa pentingnya ftmgsi kerja sama:

"kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerja sama; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan kerja sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna."

(Soekanto; 1987:61).

b. Akomodasi

Menurut Gillin dan Gillin akomodasi adalah suatu pengertian yang dipergunakan untuk menggambarkan suatu proses sosial yang sama artinya dengan pengertian adaptasi (adaption) yang dipergunakan oleh ahli-ahli biologi untuk menunjuk pada suatu proses di sekitarnya

(Soekanto; 1987: 63).

Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan-lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. Tujuan dari akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu:

- Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia sebagai akibat perbedaan faham.


(13)

Untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan, untuk sementara untuk atau secara temporer.

- Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan terjadinya keija sama antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat faktor-faktor sosial psikologis dan kebudayaan, hidupnya terpisah seperti, misalnya yang dijumpai pada masyarakat-masyarakat yang mengenal sistem berkasta.

- Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah, misalnya, melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti yang luas (Soekanto; 1987:64).

Menurut Kimbal Young dan Richard. W. Mack akomodasi sebagai suatu proses, dapat mempunyai beberapa bentuk, yaitu:

1. Coercion, adalah suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan

oleh karena adanya paksaan.

2. Compromise, adalah suatu bentuk akomodasi, di mana pihak-pihak yang

terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.

3. Arbitration, merupakan suatu cara untuk mencapai compromise apabila

pihak-pihak yang berhadapan, masing-masing tidak sanggup untuk mencapainya sendiri.


(14)

4. Mediation, hampir menyerupai arbitration, pada mediation diundanglah

pihak ketiga yang netral dalam soal perselisihan yang ada

5. Conciliation, adalah suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-

keinginan pihak-pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu persetujuan bersama.

6. Toleration, yang juga sering dinamakan tolerant-participation. ini

merupakan suatu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang formal.

7. Stalemate, merupakan suatu akomodasi, dimana pihak-pihak yang bertentangan karena mempunyai kekuatan yang seimbang, berhenti pada suatu titik tertentu dalam melakukan pertentangannya.

8. Adjudication, yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan

Soekanto; 1987: 65-66).

PROSES-PROSES YANG DISOSIATIF

Proses-proses yang disosiatif sering pula disebut sebagai oppositional

processes yang seperti halnya kerja sama, dapat diketemukan pada setiap masyarakat,

walaupun bentuk dan arahnya ditentukan oleh kebudayaan dan sistem sosial masyarakat tersebut. Suatu oposisi dapat diartikan sebagai cara berjuang melawan seseorang atau sekelompok manusia, untuk mencapai tujuan tertentu. Oposisi atau proses-proses yang disosiatif dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:


(15)

1. Persaingan (competition)

Menurut Gillin dan Gillin persaingan atau competition dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana orang perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang saling bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian publik (baik perorangan maupun kelompok manusia) dengan cara usaha-usaha menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soekanto; 1987: 78).

Persaingan-persaingan yang tidak bersifat pribadi, yang berlangsung bersaing adalah kelompok-kelompok manusia; orang perorangan tersangkut juga, akan tetapi sebagai anggota kelompok, persaingan semacam ini akan menghasilkan beberapa bentuk persaingan, yaitu antara lain:

 Persaingan di bidang ekonomi.

 Persaingan dalam bidang kebudayaan.

 Persaingan untuk mencapai suatu kedudukan dan peranan yang tertentu dalam masyarakat, dan,

 Persaingan karena perbedaan ras, sebenarnya merupakan juga persaingan di bidang kebudayaan.

2. Contravention

Contravention ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidak pastian mengenai diri seseorang atau suatu rencana dan perasaan tidak suka yang disembunyikan, kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang. Menurut Leopold von


(16)

Wiese dan Howard Becker proses contravention mencakup lima sub-proses, yaitu; - Proses yang umum dari contravention meliputi perbuatan-perbuatan seperti

penolakan; keengganan; perlawanan, perbuatan menghalang-halangi protes, gangguan-gangguah, perbuatan kekerasan dan perbuatan mengacaukan rencana pihak lain.

- Bentuk-bentuk dari contravention yang sederhana seperti misalnya menyangkal pemyataan orang lain di muka umum, memaki-maki orang lain, melalui surat-surat selebarann, mencerca, memfitnah, melemparkan beban pembuktian kepada pihak lain, dan seterusnya.

- Bentuk-bentuk contravention yang bersifat intensif yang mencakup umpamanya mengumumkan rahasia pihak lain, perbuatan khianat dan seterusnya.

- Contravention yang bersifat taktis ; misalnya mengejutkan lawan,

mengganggu atau membingungkan pihak lain (Soekanto; 1987: 83-84).

3. Pertentangan atau Pertikaian

Pribadi-pribadi maupun kelompok manusia yang menyadari adanya perbedaan- perbedaan misalnya ciri-ciri badaniyah, emosi, unsur-unsur kebudayaan, pola- pola perlakuan, dan seterusnya dengan pihak lain, dapat mengakibatkan dipertanjamnya perbedaan yang ada tadi sehingga menjadi seuatu pertentangan atau pertikaian


(17)

proses sosial dimana orang-perorangan atau kelompok manusia berusaha untuk memenuhi tujuannya denganjalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan (Soekanto; 1987: 86). Menurut Leopold von Wiese dasn Howard Becker sebab musabab atau akar-akar dari pertentangan adalah antara lain:

1. Perbedaan antara orang-perorangan 2. Perbedaan kebudayaan

3. Bentrokan antara kepentingan-kepentingan

4. Perubahan-perubahan sosial (Soekanto; 1987: 86-87)

1.5.2 MASYARAKAT MAJEMUK INDONESIA

Furnivall melihat masyarakat majemuk terpecah-pecah ke dalam kelompok- kelompok orang yang terisolasi, dan perpecahan kehendak sosial tercermin di dalam perpecahan permintaan sosial. Di dalam agama dan musik, dalam soal kebaikan dankeindahan, tidak ada standar bersama untuk seluruh seksi-seksi dalam komunitas, dan standarnya menurun ke dalam suatu tingkat tertentu ketika persetujuan bersama dicapai. Peradaban merupakan proses belajar bersama dalam kehidupan sosial bersama, tetapi dalam masyarakat majemuk, manusia mengalami penurunan peradaban.

Furnivall melihat bahwa ciri dasar pokok masyarakat majemuk adalah:

1. Adanya keanekaragaman dewan/kelompok sosial yang membuat masyarakat sulit membentuk kesatuan hidup bersama secara sosial dan politik.


(18)

2. Tidak ditemukan adanya kehendak bersama (common will) atau menurut istilah teknis Fumivall "permintaan sosial yang sama" (common social

demand).

Menurut Fumivall, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang hidup berdampingan satu sama lain, namun tidak terikat/ tergabung dalam satu kesatuan unit politik. Sedangkan menurut Nasikun beberapa factor yang menyebabkan Indonesia sebagai masyarakat yang majemuk, yaitu: -struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh dua cirinya yang bersifat unik. Secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan-perbedaan kedaerahan. Secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan suku bangsa, perbedaan agama, adat dan kedaerahan sering kali disebut sebagai ciri masyarakat yang bersifat majemuk. " (Dalam Sistem Sosial Indonesia : Arief, Brahmana, dan Pardamean; 2003:81)

Nasikun menyatakan terdapat beberapa faktor yang menimbulkan terjadinya kemajemukan masyarakat Indonesia, yaitu antara lain:

 Keadaan/ geografis yang membagi wilayah Indonesia atas kurang lebih 3000 pulau yang terserak di suatu daerah ekuator sepanjang kurang lebih 3000 mil dari utara ke selatan. Faktor ini merupakan yang sangat besar pengaruhnya terhadap terciptanya pluralitas suku bangsa.

 Kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara Samudera Indonesia dan Samudera Pasifik, kenyataan letak yang demikian sangat mempengaruhi


(19)

terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia, melalui pengaruh kebudayaan bangsa lain yang menyentuh masyarakat Indonesia.  Iklim yang berbeda dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai

daerah di Kepulauan Nusantara ini, merupakan faktor yang menciptakan pluralitas regional Indonesia. Perbedaan curah hujan dan kesuburan tanah merupakan kondisi yang menciptakan lingkungan ekologis yang berbeda di Indonesia, yakni daerah pertanian sawah (wet rice cultivation). Perbedaan lingkungan ekologis menjadi sebab bagi terjadinya kontras antara Jawa dan luar Jawa di dalam lingkungan kependudukan, ekonomi dan sosial budaya.

Kemajemukan suatu masyarakat dapat kita lihat secara horizontal maupun secara vertical muncul dalam bentuk perbedaan suku, agama, kedaerahan, perbedaan tingkat pendidikan dan perbedaan latar belakang agama. Menurot R. WilUam Liddle integrasi nasional mencakup dua dimensi, yaitu:

1. Dimensi Horizontal, yaitu berupa masalah oleh karena adanya perbedaan

suku, ras, agama, dan lain-lain. Dimensi ini sering pula disebut sebagai masalah yang disebabkan oleh pengaruh-pengaruh ikatan primordial, yang ada dan hidup dalam sebuah masyarakat yang bias membahayakan kelangsungan proses integrasi nasional bilamana ia sampai menjelma menjadi perasaan loyalitas yang lebih tinggi terhadap kelompok-kelompok sub-nasional semacam itu dari pada kepada kesatuan bangsa itu sendiri.


(20)

Brahmana, dan Pardamean, 2003: 117). Dimensi vertikal dalam hal ini yang menjadi permasalahan yang akan diteliti pada masyarakat Pancurbatu adalah latar belakang ekonomi dan perbedaan tingkat pendidikan.

Kemajemukan masyarakat diperlukan adanya kesadaran para anggota kelompok bahwa mereka itu mempunyai hak yang sama untuk tinggal menetap di wilayah yang sama, sebut saja misalnya di Pancurbatu. Kemajemukan masyarakat di Indonesia khususnya di Pancurbatu berwujud pada latar belakang yang berbeda, yaitu suku, agama, keturunan atau daerah asal. Perbedaan latar belakang kehidupan pada suatu masyarakat dapat menyebabkan konflik atau sebaliknya integrasi. Myren Weiner memberikan arti integrasi sebagai berikut:

1. Integrasi Nasional, mungkin menunjuk pada proses penyatuan berbagai

kelompok budaya dan sosial ke dalam suatu kesatuan wilayah, dan pada pembentukan suatu identitas nasional. Apabila integrasi digunakan dalam arti seperti digunakan dalam arti seperti ini maka biasanya mengandaikan adanya suatu masyarakat yang secara etnis majemuk, yang masing-masing kelompok masyarakatnya memiliki bahasa dan sifat-sifat kebudayaan sendiri-sendiri, tetapi masalah ini mungkin juga terdapat dalam suatu sistem politik yang sebelumnya saling terpisah dan berbeda satu sama lain.

2. Integrasi Wilayah, sering digunakan dalam arti yang serupa itu untuk

menunjukkan masalah pembentukan wewenang kekuasaan nasional pusat di atas unit-unit atau wilayah-wilayah politik yang lebih kecil mungkin beranggotakan suatu kelompok budaya sosial tertentu.


(21)

3. Integrasi Elit-Massa, sering digunakan untuk menunjukkan pada masalah

hubungan pemerintah dengan yang diperintah. Terkandung didalamnya pemikiran yang sudah tidak asing lagi mengenai "jurang-pemisah" antara elit dengan massa, yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan yang menyolok antara aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai tertentu.

4. Integrasi Nilai, kadang-kadang juga digunakan untuk menunjukkan adanya

konsensus nilai yang minimum yang diperlukan untuk memelihara tertib sosial. mi bisa berupa nilai-nilai tujuan seperti keadilan dan persamaan, keinginan akan pembangunan ekonomi, penghayatan bersama akan sejarah, pahlawan dan simbol-simbolnya, dan umumnya merupakan persetujuan masyarakat mengenai tujuan yang dimginkan. Atau mungkin berupa nilai- nilai sarana, yaitu mengenai sarana dan prosesnya mencapai tujuan itu dan menyelesaikan konflik. Disini permasalahannya adalah norma-norma hukum, dengan legetimasi dan prosedur pelaksanaannya atau singkatnya, pelaksanaan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki.

5. Integrasi Tingkah Laku Integratif, kapasitas orang-orang di dalam suatu

masyarakat untuk berorganisasi demi mencapai tujuan bersama. Pada tingkat yang paling sederhana, semua masyarakat mempunyai kapasitas untuk menciptakan suatu organisasi yang disebut "keluarga" (kinship) yaitu suatu alat untuk mengembangkan diri dan memelihara serta mensosialisasikan generasi mudanya. Oleh karena kebutuhan - kebutuhan dan keinginan- keinginan lainnya muncul di dalam suatu masyarakat, kita bisa


(22)

mempertanyakan adakah kapasitas untuk mendirikan organisasi-organisasi baru guna melaksanakan tujuan-tujuan baru, bisa berkembang.

1.5.3 Etnis Tionghoa di Indonesia

Indonesia adalah negara yang multikultural dan multi etnis, akan tetapi golongan keturunan yang paling sulit kedudukannya dalam masyarakat Indonesia adalah masyarakat etnis Tionghoa. Etnis Tionghoa memiliki kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan yang dimiliki pada umumnya masyarakat di Indonesia, dan khususnya mempunyai keyakinan keagamaan yang lain sama sekali dari masyarakat yang terdapat di Indonesia (Suparlan, 1978).

Keberadaan etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas juga sering kurang menguntungkan dalam konteks relasi minoritas - mayoritas. Etnis minoritas selalu menjadi sasaran prasangka dan diskriminasi dari kalangan mayoritas. Beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pengganti (displacement), kambing hitam bagi rakyat yang frustrasi di era pemerintahan Orde Baru yang represif dalam bentuk kerusuhan anti Tionghoa yang sempat marak. Kedudukan sebagai minoritas bagaimanapun selalu rawan, baik itu dalam posisi sebagai minoritas yang lemah maupun minoritas yang kuat.

Secara umum etnis Tionghoa di Indonesia membuat lingkungannya sendiri untuk dapat hidup secara "eksklusif dengan tetap mempertahankan kebudayaan atau tradisi leluhur. Ong Hok Kham (dalam Ning, 1992) menyatakan bahwa ekslusivisme orang Tionghoa itu disebabkan oleh kehendak mereka sendiri, bukan disebabkan oleh pemisahan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia sebagai kelompok minoritas. Jika


(23)

memang demikian, maka alam pemikiran etnis Tionghoa itu masih seperti pola pikirmasa silam pada masa penjajahan.

Etnis Tionghoa adalah salah satu kelompok masyarakat non pribumi yang bermigrasi ke Indonesia. Mereka memasuki Indonesia melalui gelombang-gelombang migrasi yang besar dari Malaysia dan Dataran Cina. Mereka didatangkan karena tenaganya dibutuhkan di perkebunan-perkebunan tembakau yang telah dibuka oleh pemerintah Kolonial Belanda (Suryadinata, 1984).

Kedudukan istimewa etnis Tionghoa mengakibatkan kehidupan mereka terpisah dari kelompok masyarakat pribumi. Keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia menimbulkan berbagai masalah dibandingkan dengan keberadaan orang asing lainnya seperti orang Arab, mdia, Eropa, dan sebagainya. Di Indonesia telah terjadi beberapa peristiwa tindak kerusuhan antara etnis Tionghoa dengan pribumi.

Penyebab kerusuhan tersebut sebahagian besar berkisar pada masalah ekonomi, yang menunjukkan bahwa golongan pribumi merasa tidak puas akan pemerataan pendapatan dan pemerataan kegiatan usaha.

Jika dilihat dari format negara Indonesia yang indigenous nation (negara suku) maka sudah selayaknya format yang pas adalah menempatkan etnis Tionghoa sama kedudukannya dengan suku-suku lainnya (Suryadinata, 1999). Di zaman Orde Lama, Bung Karno pernah memunculkan ide bahwa orang Tionghoa adalah salah satu suku di Indonesia yang setara dengan suku Jawa, Sunda, Minang, Batak dan sebagainya. Dengan demikian orang Tionghoa telah menjadi orang Indonesia Sejati.


(24)

tanpa asimilasi total. Namun akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI ide tersebut kandas untuk diwujudkan ( Suryadinata, 1993). Bahkan di era Orde Baru, orang Tionghoa harus melakukan asimilasi total dengan meleburkan identitas etnisnya ke dalam identitas etnis Indonesia (Susetyo, 2002).

Tungadi (1980) menyatakan bahwa faktor-faktor penghambat integrasi antara orang Tionghoa dengan pribumi, antara lain karena adanya perbedaan orientasi, adat istiadat, bahasa, agama, struktur ekonomi, serta partisipasi dalam bidang politik. Sebaliknya, di Thailand menurut Skinner (1960) proses integrasi orang Tionghoa cepat beijalan, karena mereka sudah meninggalkan adat istiadat budaya Tionghoa bahkan hampir semua generasi mudanya secara sempurna berasimilasi dengan masyarakat Thai dan memakai nama, adat, nilai orang Thai, dan menghilangkan identitas kesetiaan pada tanah leluhurnya.

Sumatera Utara adalah salah satu propinsi yang banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Hubungan antar etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi diwamai situasi yang kurang harmonis, dan cenderung mengarah kepada situasi konflik. Peristiwa 10 Desember 1966 tentang pembubaran PKI di Konsulat RRC di Medan, yang berbuntut matinya seorang pemuda Aceh, sehingga menimbulkan amarah penduduk pribumi dengan membunuh orang Tionghoa lebih kurang 200 orang. Demonstrasi mahasiswa USU Medan pada tahun 1980 yang "berbau” rasial yaitu sentimen anti keturunan Tionghoa. Kejadian ini merupakan bukti adanya tindak kekerasaan terhadap etnis Tionghoa. Bruner (1974) menyatakan semua kelompok etnis Indonesia khususnya Sumatera Utara menghadapi permasalahan dengan kelompok etnis Tionghoa.


(25)

Di beberapa daerah dimana terdapat orang Tionghoa dan pribumi hidup dalam satu wilayah, pada umumnya diakui bahwa hubungan sosial diantara mereka kurang harmonis, sehingga masih terbentuk stereotipe-stereotipe yang kuat tentang etnis Tionghoa di Indonesia. Sebaliknya etnis Tionghoapun mempunyai stereotipe tertentu tentang orang pribumi meskipun jarang dilontarkan secara terbuka. Orang selalu beranggapan bahwa karakteristik atau perilaku tiap individu berlaku sama dalam satu kelompok primordial. Oleh karena itu, permasalahan kecil pada tingkat individu dapat meluas pada tingkat kelompok etnis sehingga akibatnya dapat menjadi masalah suku, agama dan ras (SARA).

Stereotipe biasanya terbentuk atas dasar kejadian yang sudah ada sebelumnya,

kemudian diperkuat oleh pengamatan pribadi secara sepintas yang biasanya berkonotasi negatif. Pengamatan mi hanya melihat dari sisi luamya saja tanpa mengetahui latar belakang sikap dan perilaku yang membentuknya sehingga

stereotipe bisa menumbuhkan fanatisme dan kecurigaan yang akhirnya akan

menyebabkan masing-masing kelompok menutup diri dan memperkuat stereotipe tersebut. Sifat tertutup seperti ini tentu menghambat komunikasi yang sangat diperlukan dalam proses pembauran, sebab komunikasi merupakan salah satu syarat mutlak untuk terjadinya interaksi sosial yang harmonis, yang pada gilirannya dapat menumbuhkan rasa saling menghormati antar orang Tionghoa dengan pribumi.

Setiap kelompok etnis biasanya mempunyai pandangan atau penilaian terhadap orang lain diluar kelompok etnisnya. Stereotipe (prasangka) dipunyai oleh masing-masing etnis mengenai golongan etnis lainnya yang ada di wilayahnya.


(26)

Walaupun warga masing-masing etuis itu mempunyai stereotipe mengenai etnis lainnya, tetapi hubungan kerja sama dan hubungan sosial etnis yang berbeda tetap berlangsung.

Menurut Suryadinata (1980) salah satu pencetus stereotipe terhadap etnis Tionghoa adalah disebabkan selain jumlah mereka yang makin lama semakin besar, juga disebabkan peranan mereka yang menonjol dalam kehidupan ekonomi di negara Indonesia.

Akibat kelebihan mereka dalam bidang ekonomi, maka persepsi warga negara Indonesia asli (pribumi) terhadap mereka selalu bersifat negatif, karena ada anggapan bahwa mereka memperoleh kekayaan secara tidakjujur, sehingga timbullah tuduhan- tuduhan seperti : sombong, licik dalam berusaha, suka memberi hadiah/menyogok untuk melicinkan usaha, hidup secara eksklusif, tinggal di pusat kota dalam gedung tembok yang berpagar besi dari luar dan dalam, seolah-olah menganggap semua warga pribumi sebagai pencuri/ orang-orang nakal.

Warga masyarakat Tionghoa selain sebagai pedagang, buruh juga bekerja sebagai karyawan di pabrik atau industri, seperti pabrik plastik, kayu lapis, bir dan industri pengecoran logam miliki Tionghoa. Mereka yang bekerja sebagai karyawan pabrik itu pada umumnya mempunyai penghasilan yang cukup, seperti tampak dari bangunan rumah mereka dan perlengkapannya. Gaji di pabrik atau perusahaan lainnya antara karyawan pribumi dengan karyawan etnis Tionghoa tidak sama besamya dan pada umumnya gaji karyawan Tionghoa lebih besar dibandingkan karyawan pribumi.


(27)

Pada umumnya etnis Tionghoa masih berorientasi pada budaya leluhumya, seperti mempercayai arwah leluhumya, yang tampak dari kebiasaan untuk menyediakan sesajen kepada nenek moyang. Sesajen berupa air, kue apem merah, pisang, jeruk dan apel. Sesajen yang dipilih dari buah-buahan yang terbaik itu akan diganti sekali seminggu. Pada waktu-waktu tertentu mereka juga selalu membuang bunga rampai di persimpangan jalan, yang tujuannya adalah untuk mengucapkan rasa syukur kepada arwah nenek moyang yang telah memberikan rezeki kepada mereka selama ini.

Sebahagian besar etnis Tionghoa di Kota Medan masih menggunakan bahasa Tionghoa dalam pergaulan sehari-hari. Hanya sebahagian kecil yang menggunakan bahasa campuran Tionghoa dan bahasa Indonesia (Cushman & Gungwu, 1991:136- 137).

Dalam kegiatan berdagang, etnis Tionghoa di Kota Medan Sumatera Utara sangat gigih dan ulet. Barang dagangan yang biasa dijual adalah barang-barang elektronik, pakaian, sepatu dan bahan kebutuhan pokok sehari-hari. Salah satu kelebihan dari system berdagang etnis Tionghoa adalah selalu ramah, tidak cepat marah walaupun barang dagangannya tidak jadi dibeli serta kadangkala lebih murah harganya dari dagangan orang pribumi. Hal ini disebabkan prinsip dagang etnis Tionghoa yaitu menjual barang dengan untung yang kecil tetapi barang banyak terjual, sehingga perputaran uang tetap berjalan dengan cepat (Cohen, 1992 :135).


(28)

Pedagang etnis Tionghoa biasanya akan selalu berbelanja kepada grosir milik etnis Tionghoa juga, karena itu harga yang diberikan grosir lebih murah dibandingkan bagi pedagang pribumi atau masyarakat setempat.

Ketika berbelanja dengan pedagang etnis Tionghoa di Kota Medan, pada umumnya orang pribumi harus hati-hati kalau tidak mau tertipu. Kadangkala pedagang Tionghoa pertama sekali menawarkan harga barang dagangannya tiga kali lipat atau bahkan samapai lima kali lipat dari harga normal suatu barang. Jika berbelanja dengan etnis Tionghoa seringkali masyarakat pribumi harus terlebih dahulu tahu harga normal suatu barang dan biasanya yang menjadi harga standart adalah harga yang terdapat di swalayan (Sunarto, 1993:136).

Sterotipes (prasangka - prasangka) tersebut sebenarnya dapat berkurang apabila batas-batas social yang menghambat terwujudnya hubungan baik apabila suatu arena interaksi yang dapat mengakomodasi sikap-sikap yang tidak bersahabat. Hal ini dapat dilakukan pada tingkat kelurahan seperti menyambut hari kemerdekaan, gotong-royong, karang taruna, atau kegiatan olah raga yang melibatkan semua golongan etnis atau bahkan dengan perkawinan campur etnis Tionghoa dengan etnis pribumi yang sudah barang tentu yang seagama. Kegiatan tersebut mungkin dapat menjembatanai sikap-sikap yang tidak bersahabat sehingga dapat lebih lunak.

Di sisi lain, ada anjuran pemerintah agar warga negara keturunan Tionghoa mengganti nama-nama mereka yang sesuai/ "berbau" Indonesia asli. Penggunaan huruf atau bahasa Tionghoa tidak boleh digunakan di sekolah-sekolah. Akan tetapi,


(29)

masih saja terdapat jurang (gap) antara pribumi dan non-pribumi Tionghoa, sehingga masih potensial untuk sewaktu-waktu dapat menimbulkan benturan – benturan kembali.

1.6 Definisi Konsep

Adapun yang menjadi definisi konsep adalah :

Interaksi Sosial

Yakni cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan kelompok-kelompok sosial sating bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang telah ada.

Pola Interaksi

Menurut Gillin dan Gillin ada dua macam proses yang timbul sebagai akibat adanya interaksi sosial, yaitu :

- Proses sosial yang asosiatif (procesess of assosiation) yang terbagi ke dalam tiga bentuk khusus lagi, yaitu:

a. Akomodasi b. Asimilasi, dan c. Akulturasi

- Proses sosial yang diasosiatif (procesess of dissociation)yang mencakup:


(30)

a. Persaingan

b. Persaingan yang meliputi “contravention” dan pertentangan atau pertikaian (conflict) (Soekanto; 1987:59).

Lembaga Sosial

Pranata/lembaga sosial adalah seperangkat norma yang terinstitusionalisasi

(institutionalized), yaitu : (1) telah diterima sejumlah besar anggota sistem

sosial ; (2) ditanggapi secara sungguh-sungguh ; (3) diwajibkan, dan terhadap pelanggarnya dikenakan sanksi tertentu.

Struktur Sosial

Struktur sosial adalah perilaku sosial elementer dalam hubungan sosial sehari-hari. Konsep Struktur sosial menekankan pada pola perilaku individu dan kelompok, yaitu pola perilaku berulang – ulang yang menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam masyarakat. Struktur sosial dapat pula merujuk pada kesalingterkaitan antar institusi.

Masyarakat Lokal

Adalah masyarakat yang tinggal dan menetap di Pancurbatu sebelum masyarakat perantau datang dan menetap. Dalam hal ini adalah suku Karo.Warga Pendatang Masyarakat pendatang adalah penduduk yang tinggal dan menetap di Pancurbatu, yang kampung halaman berada di luar Pancurbatu yang


(31)

mempunyai suku, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini masyarakat pendatang adalah etnis Tionghoa.

Jenis Penelitian

Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan format deskriptif. Penelitian ini dilakukan demi memberikan gambaran yang lebih detil mengenai suatu gejala atau fenomena. Hasil akhir dari penelitian biasanya berupa deskripsi tekstual, tipologi atau pola-pola mengenai fenomena yang sedang dibahas.

Tujuan Penelitian deskriptif ialah :

a. Menggambarkan/mendeskripsikan suatu fenomena atau mekanisme sebuah proses.

b. Menciptakan seperangkat kategori atau pola.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini terletak di Pancurbatu, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang. Adapun alasan dalam pemilihan lokasi penelitian ini adalah :

• Masyarakat Pancurbatu mempunyai latar belakang kehidupan masyarakat yang majemuk, agak berbeda dengan daerah lain di Sumatera Utara.

• Masyarakat yang tinggal di Pancurbatu mempunyai kehidupan yang harmonis walaupun memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Unit Analisis dan Informan

Unit analisis adalah seluruh masyarakat yang bertempat tinggal di lokasi penelitian. Untuk memudahkan penelitian maka ditetapkan kriteria tertentu.


(32)

Diharapkan dengan demikian akan diperoleh informan yang mengetahui banyak tentang pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu. Sehingga dapat memberikan informasi bagi peneliti dalam menjawab permasalahan penelitian. Adapun yang dianggap sebagai responden kunci adalah :

1. Kepala Desa Pancurbatu

2. Ketua adat serta tokoh masyarakat desa Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang. Sedangkan yang menjadi responden biasa adalah :

 Masyarakat lokal, dalam hal ini yaitu etnis Karo.

 Masyarakat etnis Tionghoa yang telah menetap minimal 3 tahun di Pancurbatu.

Teknik Pengumputan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui beberapa tahap penyusunan oleh peneliti yang digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder.

Data Primer

a. Observasi Langsung

Observasi langsung adalah pengamatan yang dilakukan secara langsung pada objek yang diobservasi, dalam arti bahwa pengamatan tidak menggunakan “media-media transparan” (Bungin, Burhan, 2001:143). Yang dimaksud dalam hal ini bahwa peneliti secara langsung melihat atau mengamati. Bagaimana pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu ini.


(33)

Wawancara Mendalam

Yang sering juga disebut dengan wawancara atau kuesioner lisan, adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interview) [Arikunto, 2004:132]. Wawancara mendalam (depth interview) yaitu dengan menggunakan daftar pertanyaan (interview guide) kepada infonnan yang telah ditentukan.

Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data kedua atau sumber-sumber dari data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, dan untuk tahap selanjutnya. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan, peneliti mendapat suatu landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan ini dari berbagai literature seperti buku-buku serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian ini.

1.11 Interpretasi Data

data yang diperoleh terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan obyektifitas (kesesuaian dengan kebenaran) dan relevasi dengan masalah yang diteliti. Temuan dalam penelitian tersebut direduksi (diedit), diinterpretasikan atau ditafsirkan, dan diorganisasikan.

Hasil pengumpulan data selanjutnya direduksi, yang mencakup kegiatan mengiktisarikan hasil pengumpulan data selengkap mungkin dan memilah-milahnya kedalam suatu konsep, kategori, atau tema tertentu. Seperangkat hasil reduksi data kemudian diorganisasikan ke dalam suatu bentuk (display data), ini sangat dibutuhkan untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan kesimpulan, tujuan


(34)

Akhirnya adalah untuk memahami bagaimana pola interaksi etnis Tionghoa dengan etnis Karo di Pancurbatu

1.12. Analisis Data

Tabel 1

JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

Kegiatan Bulan 1 Bulan 2 Bulan 3 Bulan 4

Pra Penelitian - Penyusuan Proposal

- Perbaikan Proposal Х Persiapan :

- Pengurusan Izin Х

- Persiapan Instrumen Penelitian Х Penelitian :

- Observasi Х Х

- Wawancara Х Х Х Х

Pasca Penelitian :

- Analisa Data Х Х Х


(35)

BAB II

DESKRIPSI LOKASI KELURAHAN DESA LAMA

11.1 Sejarah Singkat Kelurahan Desa Lama

Kelurahan Desa Lama ini dulunya bemama "Kampung Lama" karena desa ini merupakan desa yang pertama kali ada di Kecamatan Pancurbatu, dimana pada awalnya penduduk daerah mi yang pertama kali adalah suku Jawa. Pada tahun 1960 kampung lama ini sudah terbagi menjadi beberapa desa dimana setiap desa dipimpin oleh seorang Kepala Lingkungan untuk membantu mengembangkan kampung lama ini. Namun setelah kampung lama ini berkembang maka diadakan pemilihan calon Kepala Lurah.

Dalam pemilihan Kepala Lurah itu hanya ada satu calon yaitu Djumal Sudiarto jadi masyarakat yang ada di kampung lama itu setuju untuk mengangkat Djumal Sudiarto untuk menjadi Kepala Lurah dan memimpin kampung lama tersebut. Pada tahun 1960 Djumal Sudiarto sah menjadi kepala lurah Kampung Lama dan dia memimpin selama 4 periode yaitu antara tahun 1960 sampai 1995.

Di pertengahan kepemimpinan Djumal Sudiarto, Kampung Lama berubah nama menjadi Desa Lama dan Djumal Sudiarto memimpin nama Desa Lama ini hanya sampai pada kepemimpinannya yang ke empat kalinya yaitu pada tahun 1995. Kemudian di tahun 1995 diadakan kembali pemilihan Kepala Desa Lama yang pada akhirnya kepemimpinan Desa Lama itujatuh pada anaknya sendiri yaitu Sumitro.


(36)

Setelah kepemimpinan Desa Lama itu jatuh pada anaknya yaitu Sumitro, Desa Lama semakin berkembang dan Sumitro mampu memimpin Desa Lama tersebut hingga sekarang. Sehingga Desa Lama memiliki VII lingkungan atau dusun, dimana setiap lingkungan atau dusun tersebut Sumitro memilih salah seorang untuk memimpin lingkungan atau dusun tersebut.

11.2 Lokasi dan Batas Wilayah

Kecamatan Pancurbatu merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Deli Serdang. Sedangkan Kelurahan Desa Lama merupakan salah satu kelurahan yang ada di Pancurbatu. Ibukota Kecamatan Pancurbatu terletak di daerah Kelurahan Namo Simpur yang terletak di Jalan Djamin Ginting,sedangkan kantor Lurah di Kelurahan Desa Lama terletak di Jalan Namorih.

Mayoritas penduduk kelurahan ini bekerja sebagai pedagang, apalagi kaum pendatang seperti etnik Tionghoa, Jawa, Minang dan lain lain hampir semuanya adalah pedagang. Sedangkan etnik Karo sebagai penduduk asli daerah ini sebagian bekerja sebagai petani, PNS disamping bekerja sebagai pedagang.

Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kecamatan Pancurbatu adalah sebagai berikut:

- Utara : Kotamadya Medan - Selatan : Kecamatan Sibolangit - Barat : Kecamatan Kutalimbaru


(37)

- Timur : Kecamatan Namo Rambe

Sedangkan orbitasi Kelurahan Desa Lama ini adalah sebagai berikut: - Jarak dari pusat pemerintahan Kecamatan : 1,5km - Jarak dari pusat pemerintahan Kota : 25 km - Jarak dari pusat Ibukota Pemerintahan Kabupaten : 45km - Jarak dari pusat Ibukota Pro vinsi : 20km Adapun yang menjadi batas-batas wilayah Kelurahan Desa Lama adalah sebagai berikut:

- Utara : DesaBaru

- Barat : Desa Baru dan Desa Tengah - Timur : DesaNamorih

- Selatan : Desa Tengah

Desa yang termasuk dalam Kecamatan ini merupakan dataran tinggi dengan ketinggian tanah 60 m dari permukaan laut. Luas wilayah Kecamatan Pancurbatu ini adalah seluas 122,53 km2 atau sekitar 12.253 Ha, sedangkan luas wilayah Kelurahan Desa Lama ini adalah seluas 116 Ha. Keseluruhan luas lahan kelurahan ini menurut penggunaannya dapat dilihat sebagai berikut:

Tabel 1 : Luas Lahan Menurut Penggunaannya

Penggunaan Luas (Ha) Persentase (%)

Pekarangan (Bangunan dan halaman 34,20 45,5

Tegal /Kebun/Ladang/huma 31,0 25,4


(38)

Tambal --- ---

Kolam/ empang --- ---

Tanah sementara tdk diusahai 8,36 4

Tanah untuk tanaman kayu -kayuan --- ---

Perkebunan (negeri/swasta) --- ---

Sawah 13,20 10

Lain –lain 19,75 15,4

Total 106,51 100

Sumber : Kantor Camat Pancurbatu, 2004

11.3 Fasilitas Kelurahan

IL3.1 Fasilitas Ekonomi

Dengan tersedianya fasilitas ekonomi di suatu daerah tentunya akan mendukung aktifitas perckonomian masyarakat itu. Majunya perekonomian daerah itu sangat dipengaruhi oleh fasilitas perekonomia yang tersedia di daerah tersebut. Dihubungkan dengan mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Desa Lama adalah berdagang, maka di bawah ini akan disajikan fasilitas perdagangan yang ada di daerah ini.

Tabel 2 : Fasilitas Perdagangan

No Fasilitas Perdagangan Jumlah (buah)

1 Pasar Tradisional Umum 1

2 Pasar Kota 20

3 Toko 70


(39)

Total 196

Sumber : Kantor Camat Pancurbatu, 2004

Berdasarkan data di atas, maka dapat dilihat bahwa sarana perdagangan yang paling banyak adalah warung sebanyak 105 buah, kemudian disusul dengan toko sebanyak 70 buah, sedangkan pasar tradisional umum hanya 1 buah dan pasar kota sebanyak 20 buah. Pasar kota ini adalah pasar yang ada di sekitar jalan Djamin Ginting yang setiap harinya mereka berjualan dan banyak juga para pembeli yang mengadakan transaksi jual beli. Sedangkan Pasar Tradisional Umum adalah merupakan Pasar yang buka satu kali dalam seminggu yaitu setiap hari Sabtu.

11.3.2 Fasilitas Transportasi

Kondisi jalan di daerah ini sudah hampir membaik. Jarak antara lingkungan yang satu dengan lingkungan lainnya cukup berdekatan. Jalan yang sudah diaspal di daerah ini sudah ada sepanjang 2.150 km, sedangkan yang sudah diperkeras sudah ada sepanjang 1.550 km dan jalan tanah di daerah ini sepanjang 1.225km.

Untuk menempuh masuk ke dalam lingkungan itu sangat gampang karena daerah itu berada di antara jalan besar yaitu jalan Namorih. Letak lingkungan yang satu dengan lingkungan yang lainnya tidak begitu jauh dari jalan besar. Tetapi walaupun begitu di daerah ini sudah tersedia angkutan becak mesin untuk menjangkau dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lainnya dengan tarif


(40)

minimal Rp.2000. Data mengenai sarana transportasi di Kelurahan ini dapat dilihat pada tabel berikut ini yaitu:

Tabel 3 : Fasilitas Transportasi

No Fasilitas Transportasi Jumlah (buah)

1 Mobil Pribadi 6

2 Sepeda Motor 116

3 Becak (kendaraan roda tiga) 39

4 Sepeda 140

5 Mobil dinas 1

6 Bus Kota 8

7 Bus Umum 2

8 Truk 4

9 Taxi 1

Total 317

Sumber : Kantor Lurah Desa Lama, 2005

Berdasarkan data di atas maka dapat dilihat bahwa fasilitas transportasi yang paling banyak dimiliki penduduk adalah sepeda sebanyak 140 buah, dan kemudian disusul kepemilikan sepeda motor sebanyak 116 buah. Penduduk yang memiliki transportasi becak sebanyak 39 buah. Sedangkan fasilitas transportasi yang paling sedikit dimiliki penduduk adalah mobil dinas dan taxi sebanyak 1 buah.

Keempat jenis alat transportasi inilah yang dipakai/ digunakan oleh masyarakat umum untuk mencapai daerah tujuannya.


(41)

II. 3.3 Fasilitas Pemukiman

Pemukiman penduduk di daerah ini adalah mengelompok sehingga jarak antaia rumah yang satu dengan rumah yang lainnya adalah cukup berdekatan. Bentuk rumah di daerah ini adalah kebanyakan tidak berbentuk toko (ruko) dan antara rumah yang satu dengan rumah yang lainnya adalah menempel satu sama lain sehingga pembatas antara rumah yang satu dengan yang lainnya hanya dindingnya saja.

Banyaknya rumah permanen di daerah ini sebanyak 555 buah, rumah semi permanen sebanyak 339 buah, sedangkan rumah non permanen sebanyak 273 buah. Walaupun mata pencaharian penduduk yang tinggal di daerah ini mayoritas adalah berdagang tapi bentuk rumah mereka banyak yang tidak berbentuk ruko karena jarak tempat mereka berdagang dengan pemukiman mereka tidak begitu jauh. Di daerah ini sangat jarang dijumpai rumah penduduk yang mempunyai pekarangan/ halaman yang luas karena di depan rumah mereka sudah langsungjalan umum.

Begitu juga dengan sarana penerangan listrik yang dipakai sudah semuanya dan PLN dipakai oleh penduduk. Namun tidak semua penduduk memakai sarana air PAM karena sebagian penduduk masih ada yang menggunakan air sumur bawah tanah.

11.3.4 Fasilitas Sarana Ibadah

Untuk menunjang aktifitas keagamaan di Kelurahan Desa Lama ini telah dibangun fasilitas beribadah. Toleransi antar umat beragama di daerah ini sudah


(42)

cukup baik, dimana mereka saling hormat menghormati dan menghargai kepercayaan masing-masing. Berikut mi adalah fasilitas ibadah yang ada di Kelurahan Desa Lama:

Tabel 4: Fasilitas Rumah Ibadah

No Fasiltias Rumah Ibadah Jumlah (Buah) Persentase (%)

1 Mesjid 1 25

2 Musholla 1 25

3 Gereja 2 50

4 Pura --- ---

5 Wihara --- ---

Sumber : Kantor Lurah Desa Lama, 2004

Berdasarkan data di atas maka dapat dilihat bahwa fasilitas keagamaan yang paling banyak adalah mesjid sebanyak 1 buah dengan persentase 50% dan musholla sebanyak 1 bauh dengan persentase 50 % juga. Karena mayoritas penduduk daerah ini adalah beragama Islam walaupun penduduk asli daerah ini yaitu etnik Karo yang beragama Kristen. Penduduk yang beragama budha yaitu hanya etnik Tionghoa, dan itupun mereka yang memeluk agama Budha sedikit jumlahnya sehingga Pura di daerah ini tidak ada. Fasilitas untuk agama Hindu tidak terdapat di daerah ini yaitu Wihara karena memang di daerah ini sama sekali tidak ada pemeluk agama Hindu.

113.5 Fasilitas Kesehatan

Masalah kesehatan adalah suatu masalah yang sangat penting untuk mendapat perhatian. Jika tidak terdapat kondisi kesehatan yang baik, maka akan dapat


(43)

menyebabkan ketidakmampuan bagi seseorang untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Kelurahan Desa Lama dalam menciptakan kesehatan bagi penduduknya mendapat perhatian dari pihak pemerintah (Rumah Sakit Bersalin, Apotik), serta bantuan dari pihak swasta seperti adanya poliklinik desa dan dokter praktek. Adapun usaha yang telah dilakukan untuk pemberantasan penyakit menular, malaria, pembentukan posyandu di lingkungan, penyuluhan masyarakat tentang kebersihan lingkungan, penyuluhan KB dan penyakit demam berdarah. Kegiatan tersebut diatas didukung oleh penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan sebagai berikut:

Tabel 5: Fasilitas Kesehatan

No Sarana Kegiatan Jumlah (Buah) Persentase (%)

1 Rumah sakit 1 10%

2 Puskesmas --- ---

3 BPU --- ---

4 BKIA --- ---

5 Apotik 1 10%

6 Posyandu 1 10%

7 Praktek Dokter 4 60%

8 Poliklinik 1 10%

Total 10 100%

Sumber: Kantor Camat Pancurbatu,2004

Tabel 6 : Banyaknya Tenaga Medis di Kelurahan Desa Lama

No Tenaga Medis Jumlah (Orang) Persentasse (%)


(44)

2 Para Medis 4 60%

3 Dukun Patah tulang 1 10%

Total 7 100%

Sumber: Kantor Camat Pancurbatu,2004

113.6 Fasilitas Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk. Dengan adanya sarana pendidikan yang cukup memadai maka nantinya akan membantu masyarakat setempat untuk meningkatkan mutu pendidikannya, karena kemajuan masyarakat sangat tergantung pada mutu pendidikan yang diterima para generasi muda.

Berikut ini adalah tabel sarana pendidikan yang tersedia di Kelurahan DesaLama:

Tabel 7: Fasilitas Pendidikan

No Fasilitas Pendidikan Negeri Swasta

f % f %

1 TK --- --- 3 37,5

2 SD 2 25 3 37,5

3 SMP --- --- 2 25

4 SMU/ SMK --- --- --- ---

TOTAL 2 25 8 100

Sumber: Kantor Lurah Desa Lama 2005

Berdasarkan data di atas, maka dapat dilihat bahwa jumlah sekolah sebagai sarana pendidikan di daerah ini sudah cukup memadai. Sekolah Dasar di


(45)

daerah ini sudah ada 5 buah yaitu SD Negeri sebanyak 2 buah atau 25% dan SD Swasta sebanyak 3 buah atau 37,5%. Juga TK di daerah ini sudah ada sebanyak 3 buah atau 37,5%. Untuk tingkat SMP , swasta sudah ada 2 buah atau 25% sedangkan SMP Negeri tidak ada. Sedangkan fasilitas pendidikan untuk tingkat SMU / SMK di daerah ini bisa dikatakan tidak ada. Namun fasilitas pendidikan tingkat SMU / SMK hanya ada di Kelurahan lain baik itu SMU Negeri ataupun SMU Swasta.

11.4 Karakteristik Penduduk

Jumlah penduduk Kelurahan Desa Lama ini berjumlah 4.172 jiwa dengan jumlah 1.008 KK. Jumlah jenis kelamin laki-laki ada sebanyak 2.115 jiwa, sedangkan jenis kelamin perempuan ada sebanyak 2.057 jiwa.

11.4.1 Komposisi Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut

Sebagai usaha untuk menanamkan sesuatu yang mendasar bagi terwujudnya stabilitas dan ketahanan nasional, maka pembinaan kerukunan antar umat beragama telah ditanamkan secara tenis menerus melalui kebijaksanaan pemerintah sehingga tuntunan hidup yang rukun, saling menghormati sesama umat beragama dapat diwujudkan.

Berikut ini adalah data mengenai komposisi penduduk berdasarkan agama yang dianut:


(46)

Tabel 8 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Jumlah Agama Yang Dianut

No Agama Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Islam 2662 38

2 Kristen Protestan 1137 25

3 Kristen Khatolik 144 20

4 Budha 195 12

5 Hindu 14 5

Total 3923 100

Sumber: Kantor Lurah Desa Lama, 2005

Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa agama yang paling banyak dianut oleh penduduk di Kelurahan Desa Lama ini adalah agama Islam. Dapat dilihat bahwa jumlah penganut agama Islam sebanyak 2.662 orang dengan persentase 38% walaupun agama ini banyak dianut oleh kaum pendatang, seperti Jawa, Mandailing, Minang dan lain sebagainya. Jumlah penganut agama yang terbanyak kedua di daerah ini setelah agama Islam adalah agama Kristen Protestan sebanyak 1.137 dengan persentase 25%. Penganut mayoritas agama Kristen Protestan ini adalah masyarakat asli penduduk Kelurahan ini. Mereka yang menganut agama Islam ini dulunya adalah kaum pendatang ke daerah ini yang bekerja sebagai pedagang maupun PNS.

Setelah itu disusul oleh pemeluk agama Kristen Katholik dengan jumlahnya 144 orang dengan persentase 20%. Pemeluk agama ini mayoritasnya adalah etnik Batak Toba, Disamping itu etnik Tionghoa hanya memeluk agama Budha yaitu sebayak 195 orang atau 12 %. Agama Budha di daerah ini penganutnya semuanya adalah etnik Tionghoa. Agama ini adalah agama yang menempati urutan


(47)

ketiga diantara agama yang lain yang ada di Kelurahan Desa Lama. Sedangkan penganut agama Hindu di daerah ini sebanyak 14 orang dengan persentase 5%.

Walaupun agama yang dianut penduduk di daerah ini ada 5 jenis yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Budha dan agama hindu , namun kerukunan antar umat beragama di daerah ini sudah cukup baik serta toleransi sesama umat beragama sudah cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat sewaktu perayaan hari besar keagamaan diantara sesama pemeluk agama sating berkunjung terutama yang bertetangga.

11.4.2 Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

Berikut ini adalah tabel komposisi berdasarkan mata pencaharian

Tabel 9: Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Pertanian 145 15

2 Perdagangan 267 24

3 PNS/ABRI 249 19

4 Industri 26 2

5 Lainnya 442 40

Total 1129 100

Sumber: Kantor Lurah Desa Lama, 2005

Berdasarkan data di atas maka dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk daerah ini bekerja sebagai pedagang dengan jumlah sekitar 267 orang dengan persentase 24%. Hal ini memang jika dilihat di daerah ini bahwa mata pencaharian


(48)

yang utama di daerah ini adalah dari sektor perdagangan. Walaupun ada diantara mereka yang tidak membuka waning atau toko di depan rumahnya namun diantara mereka banyak juga yang menjadi agen terutama produksi hasil pertanian ataupun mereka berdagang ke daerah lain. Hal itu sesuai kenyataan bahwa daerah ini memang merupakan daerah perdagangan.

Setelah itu mata percaharian penduduk di daerah ini adalah PNS / ABRI dengan jumlah 249 orang dengan persentase 19%. Tetapi mereka banyak juga yang membuka waning ataupun toko di dalam maupun di depan rumahnya, sehingga akan menambah jumlah masyarakat yang berdagang di daerah ini. Setelah itu penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani di kelurahan ini berjumlah 145 orang dengan persentase 15%. Areal pertanian di daerah ini berada di belakang pemukiman penduduk dengan tempatnya terpisah dari pemukiman penduduk. Sedangkan pekerja industri sebanyak 26 orang dengan persentase skitar 2%. Pekerja lainnya adalah seperti supir, buruh, dan tukang jahit dan sebagainya berjumlah 442 orang dengan persentase 40%.

11.43 Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

Berikut ini adalah tabel komposisi penduduk berdasarkan kelompok etnik

Tabel 10 : Komposisi Penduduk Berdasarkan Kelompok Etnik

No Etnik Jumlah (jiwa) Persentase (%)

1 Karo 1581 40


(49)

3 Tionghoa 593 15

4 Jawa 1146 29

5 Padang, dan lainnya 435 11

Total 3953 100

Sumber: Kantor Lurah Desa Lama,

Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui bahwa kelompok etnik yang paling banyak jumlahnya adalah etnik Karo yaitu sebanyak 1581 dengan persentase 40%. Hal itu memang karena penduduk asli daerah ini adalah etnik Karo, sehingga etnik Karo adalah penduduk mayoritas daerah ini. Setelah itu disusul oleh etnik Jawa yang berjumlah 1146 dengan persentase 29%. Etnik Jawa ke daerah ini merupakan kaum pendatang yang pertama kali ke daerah ini. Etnik Jawa pada zaman dahulu bekerja sebagai pedagang dan sampai sekarang mereka masih menekuni profesi yang sama yaitu sebagai pedagang.

Setelah itu etnik Tionghoa memiliki jumlah sebanyak 593 dengan persentase 15%. Sedangkan penduduk lainnya adalah etnik Padang dan yang lainnya memiliki jumlah 435 dengan persentase sekitar 11%. Etnik Karo, Batak Toba dan lainnya ini pada umumnya bekerja sebagai pedagang disamping ada beberapa diantara mereka yang bekerja sebagai PNS / ABRI. Untuk penjual seperd jamu, bakso, sate hampir semuanya etnik Jawa dan Padang.

Walaupun penduduk asli daerah ini adalah etnik Karo dan merupakan penduduk mayoritas namun hubungan antara etnik Karo dengan etnik lainnya cukup


(50)

Baik, juga hubungan diantara sesama etnik tersebut cukup baik yang dapat dilihat dalam kehidupan sehari –hari

II. 5. Struktur Pemerintahan Kelurahan Desa Lama

Kadus II

Selamet

Kadus III

K.H. Arsyad

Kadus IV

Sugiarto

Kadus V

Berman. B

Kadus VI

Sugeng

Kadus VII

Djendamin. B

Kaur

Pemerintahan

Mardiah Nst

Kaur

Pembangunan

Banta Sembiring

Kaur

Umum

Nita Erisa

Sekretaris

Dame Rianta

Kepala Desa

Sumitro


(51)

II.5.1. Organisasi-Organisasi di Kelurahan Desa Lama

Manusia tidak dapat hidup sendiri, sehingga manusia harus hidup bersama dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Kelompok inilah yang disebut dengan masyarakat. Masyarakat di kelurahan Desa Lama ini juga sama halnya dengan masyarakat lain. Selain masyarakat sebagai sebuah organisasi yang terbesar, juga ada organisasi-organisasi khusus yang terdapat dalam suatu masyarakat yang lahir akibat kebutuhan yang beraneka ragam.

Di kelurahan yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat beberapa organisasi sosial seperd: Serikat Tolong Menolong (STM) yang berdasarkan lingkungan, Karang Taruna, Organisasi Keagamaan, dan Pan Swakarsa. Pada dasamya semua organisasi sosial ini dibentuk dengan rasa solidaritas dan kebutuhan bersama. Adapun nilai dan norma yang dianut bersama merupakan dasar utama pembentukannya.

11.6 Gambaran Urnum Interaksi Etnik Tionghoa dengan Etnik Karo

di Kelurahan Desa Lama

Masyarakat Kelurahan Desa Lama terdiri dari berbagai etnik. Diantaranya adalah etnik Karo, Tionghoa, Jawa, Padang dan lain sebagainya. Namun penduduk asli daerah ini adalah etnik Karo dan etnik ini merupakan etnik mayoritas di daerah ini. Dalam kehidupan sehari-hari terlihat adanya hubungan interaksi yang sangat


(52)

harmonis diantara berbagai etnik tersebut. Di daerah mi juga tidak ada pemah timbul konflik maupun semacam kemsuhan diantara sesama etnik.

Walaupun etnik Tionghoa di daerah ini merupakan penduduk minoritas dan merupakan kaum pendatang, namun sikap masyarakat setempat sangat baik kepada mereka. Dimana dalam kehidupan sehari-hari tidak ada sikap masyarakat pribumi dalam hal ini adalah etnik Karo yang ingin membeda-bedakan ataupun mendiskriminasikan mereka. Adanya komunikasi timbal balik yang baik diantara sesama etnik maka akan dapat mempererat hubungan dan menjalin persaudaraan pada masyarakat. Sesama antar etnik di daerah ini juga sudah ada hubungan yang akrab. Tetapi hubungan yang paling akrab adalah hubungan antar etnik Tionghoa dengan etnik Karo. Mungkin faktor pendukung yang menyebabkan keakraban mereka adalah arcna memang kaum pendatang pertama ke daerah ini mereka langsung berusaha mendekatkan diri kepada masyarakat terutama kepada para orang tua yang sangat dihormati masyarakat di daerah ini.

Disamping masyarakat ini terdiri dari berbagai etnik, juga terdiri dari berbagai agama yaitu agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katholik, Hindu dan Budha. Agama mayoritas di daerah ini adalah agama Islam. Namun walaupun ada berbagai macam agama namun toleransi antar umat beragama sangat tinggi. Etnik Karo di daerah ini mayoritasnya adalah agama Kristen Protestan, dan juga sebagian kecil mereka menganut agama Islam dan Kristen Katholik. Sedangkan etnik Tionghoa di daerah ini mayoritasnya menganut agama Budha. Sedangkan penganut


(53)

agama Islam di daerah ini mayoritrasnya juga kaum pendatang seperd etnik Jawa, Minang, Mandailing dan etnik yang lainnya.

Berbagai organisasi sosial kemasyarakatan di daerah ini juga sudah ada diantaranya STM yang terdiri dari persatuan marga, perkumpulan dari gereja, organisasi kepemudaan, dan kalau mereka mengadakan pesta baik pesta perkawinan maupun penguburan orang meninggal, mereka inilah yang biasanya saling bantu- membantu. Kebudayaan mayoritas di daerah ini adalah kebudayaan masyarakat setempat yaitu kebudayaan Karo sehingga etnik Tionghoa di daerah inipun telah menyesuaikan dirinya dengan budaya setempat. Mereka sudah berbaur dan beradaptasi dengan budaya setempat. Diakibatkan oleh penduduk asli daerah ini adalah etnik Karo maka bahasanya pun dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa Karo. Semua etnik Tionghoa di daerah ini sudah mengerti bahasa Karo, karena sewaktu bergaul dengan masyarakat mereka menggunakan bahasa Karo.


(54)

BAB III

TEMUAN DATA

III.l Identitas Informan

Identitas informan yang akan disajikan dibawah ini dapat dilihat dari tingkat umur, jenis kelamin, suku, agama yang dianut, tingkat pendidikan terakhir, jenis pekerjaan, lama tinggal beserta suku suami/ istri.

III.l.1 Identitas Informan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin

Identitas informan berdasarkan tingkat umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam penyajian tabel berikut ini:

Tabel 11: Identitas Informan berdasarkan etnik dan umur

Usia (tahun) Etnik Karo Etnik Tionghoa Jumlah Persentase

f % f %

25 – 34 3 15 2 10 5 15,5

35 – 44 7 35 4 20 11 27,5

45 – 54 4 20 11 55 15 37,5

55 – 64 5 25 3 15 8 22,50

65 tahun keatas 1 5 ---- ---- 1

TOTAL 20 100 20 100 40 100

Sumber; Kuesioner lapangan, Februari 2008

Berdasarkan tabel diatas maka dapat diketahui bahwa kelompok umur yang paling banyak menjadi informan adalah kelompok umur 45 - 54 tahun yaitu berjumlah 15 orang atau sekitar 37,5%, kemudian disusul oleh kelompok umur 35 -


(55)

44 tahun sebanyak 11 orang dengan persentase 27,5%. Sedangkan kelompok umur yang paling sedikit menjadi informan adalah kelompok umur 65 tahun keatas yaitu 1 orang dengan persentase 2,5%.

Tabel 12 : Identitas Informan Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Laki –laki 34 85

Perempuan 6 15

TOTAL 40 100

Sumber: Kuesioner lapangan, Februari 2008

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa dari 40 orang informan, terdapat 34 informan laki-laki dengan persentase sebesar 85% dan 6 orang informan perempuan dengan persentasenya 15%. Dari keseluruhan informan tersebut, masing- masing informan Karo dan Tionghoa yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 3 orang, sedangkan informan yang berjenis laki-laki masing-masing 17 orang.


(56)

III.1.2 Identitas Informan Berdasarkan Lama Tinggal

Tabel 13 : Identitas Informan Berdasarkan Etnik dan Lama Tinggal

No

Lama Menetap Etnik Karo Etnik Tionghoa Jumlah Persentase

f % f %

1 10 - 19 3 15 2 10 5 12,5

2 20 – 29 3 15 3 15 6 15

3 30 – 39 6 30 4 20 10 25

4 40 – 49 5 25 6 30 11 27,5

5 50 - 59 2 10 5 25 7 17,5

6 60 tahun keatas 1 5 --- ---- 1 2,5

TOTAL 20 100 20 100 40 100

Sumber : Kuesioer Lapangan, Februari 2008

Berdasarkan data di atas maka dapat diketahui bahwa informan yang paling banyak tinggal di daerah ini adalah informan dengan umur 40 - 49 tahun yaitu sebanyak 11 orang dengan persentase 27,5%. Kemudian disusul oleh informan umur 30 - 39 tahun yaitu sebanyak 10 orang dengan persentase sekitar 25%, setelah itu disusul oleh informan umur 50 - 59 tahun sebanyak 7 orang atau sekitar 17,5%, kemudian informan umur 20 - 29 tahun sebanyak 6 orang dengan persentase 15%. Sedangkan informan umur 10 -19tahun sebanyak 5 orang dengan persentase sekitar 12,5%, dan informan yang paling sedikit jumlahnya adalah informan dengan umur 60 tahun keatas sebanyak 1 orang atau sekitar 2,5%.


(57)

III.1.3 Identitas Informan Berdasarkan Agama

Dari hasil penyebaran kuesioner di lapangan dapat diketahui bahwa agama yang paling banyak dianut oleh informan etnik Karo adalah agama Kristen Protestan sebanyak 10 orang dengan persentase 85%, sedangkan agama Islam sebanyak 7 orang dengan persentase 15%. Sedangkan yang menganut agama Kristen Katholik, Budha dan Hindu tidak ada informan etnik Karo.

Untuk informan etnik Tionghoa dapat dilihat bahwa agama yang paling banyak dianut oleh informan adalah agama Kristen Katholik sebanyak 7 orang dengan persentase 50%, kemudian disusul oleh agama Kristen Protestan sebanyak 4 orang dengan persentase 20%. Sedangkan informan Tionghoa pemeluk agama Budha ada sebanyak 4 orang dengan persentase 20%. Untuk informan Tionghoa pemeluk agama Islam ada sebanyak 2 orang atau sekitar 10% dan untuk informan agama Hindu tidak ada.

Dari keseluruhan informan baik informan etnik Karo maupun etnik Tionghoa dapat dilihat bahwa agama yang paling banyak dianut oleh informan adalah agama Kristen Protestan dengan jumlah 17 orang yaitu sekitar 60%, sedangkan pemeluk agama terbanyak kedua adalah agama Islam sebanyak 9 orang dengan persentase 25%. Kemudian agama yang paling sedikit adalah agama Kristen Katholik sebanyak 7 orang dengan persentase 10% dan agama Budha yaitu sebanyak 4 orang atau sekitar 5%. Berikut ini adalah tabel jumlah agama yang dianut oleh Informan etnik Karo dan etnik Tionghoa:


(58)

Tabel 14 : Agama yang dianut oleh informan etnik Tionghoa dan etnik Karo

No Agama Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Islam 17 60

2 Kristen Protestan 7 10

3 Kristen Khatolik 9 25

4 Budha 4 5

5 Hindu ---- ----

Total 37 100

Sumber : Kuesioner Lapangan Februari 2008

III.1.4. Identitas Informan Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tabel 15 : Tingkat Pendidikan Informan Etnik Karo

No Pendidikan Terakhir Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD ---- ----

2 Tamat SD 1 5

3 Tamat SLTP 3 15

4 Tamat SLTA 10 50

5 Tamat PT 6 30

Total 40 100

Sumber : Kuesioner Lapangan, Februari 2008

Berdasarkan tabel diatas maka dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan terakhir informan yang paling banyak adalah tamat SLTA sebanyak 10 orang dengan persentase 50%, sedangkan tingkat pendidikan informan yang terbanyak kedua adalah tamat PT sebanyak 6 orang dengan persentase 30%, kemudian disusul oleh pendidikan tamat SLTP sebanyak 3 orang dengan persentase 15, sedangkan yang


(59)

paling sedikit adalah tamat SD sebanyak 1 orang dengan persentase 5% dan yang tidak tamat SD sama sekali tidak ada.

Tabel 16 : Tingkat Pendidikan Terakhir Informan Etnik Tionghoa

No Pendidikan Terakhir Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD ---- ----

2 Tamat SD 2 10

3 Tamat SLTP 13 65

4 Tamat SLTA 5 25

5 Tamat PT ---- ----

Total 20 100

Sumber : Kuesioner Lapangan, Februari 2008

Berdasarkan label di atas maka dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan terakhir informan yang paling banyak adalah tamat SLTP sebanyak 13 orang dengan persentase 65%, kemudian disusul oleh tamat SLTA sebanyak 5 orang dengan persentase 25% sedangkan tingkat pendidikan informan yang paling sedikit adalah tamat SD sebanyak 2 orang dengan persentase 10%. Namun untuk tamatan PT tidak ada sama sekali.

Sedangkan tingkat pendidikan informan secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel berikut ini:


(60)

Tabel 17 : Tingkat Pendidikan Terakhir Informan

No Pendidikan Terakhir Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Tidak tamat SD ---- ----

2 Tamat SD 3 7,5

3 Tamat SLTP 16 40

4 Tamat SLTA 15 37,5

5 Tamat PT 6 15

Total 40 100

Sumber : Kuesioner Lapangan , Februari 2008

III.1.5 Identitas Informan Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Tabel 18 : Identitas Indorman Berdasarkan Etnik jenis Pekerjaan

No Mata

Pencaharian Etnik KAro Etnik Tionghoa Jumlah (orang) Persentase (%)

1 Berdagang 11 20 31 77,5

2 Bertani 1 ---- 1 2,5

3 PNS/ABRI 6 ---- 6 15

4 Kary. swasta 1 ---- 1 2,5

5 Dan lain -lain 1 ---- 1 2,5

Total 20 20 40 100

Sumber : Kuesioner Lapangan , Februari 2008

Berdasarkan data diatas maka dapat diketahui bahwa jenis pekerjaan yang paling banyak adalah berdagang sebanyak 31 orang dengan persentase 77,5%. Hal ini dapat dilihat bahwa semua informan etnik Tionghoa bermata pencaharian sebagai pedanga. Kemudian disusul oleh mata pencaharian sebagai PNS/ABRI sebanyak 6.


(61)

Orang dengan persentase 15%, sedangkan pekerjaan petani, karyawan swasta dan lain –lain masing 1 orang dengan persentase 2,5%.

III.1.6. Identitas Informan Berdasarkan Etniknya dan Etnik Pasangannya

(Suami/ Istri) Informan

Berikut ini adalah tabel mengenai suku istri informan Tionghoa dan informan Karo.

Tabel 19 : Informan Perempuan Berdasarkan Etniknya dan Etnik Suami

No Etnik

Etnik Suami

Karo Tionghoa

f % f %

1 Karo 3 100

2 Tionghoa 3 100

3 Mandailing 4 Jawa

5 Dan Lain –lain

TOTAL 3 100 3 100

Sumber : Kuesioner Lapangan , Februari 2008

Sedangkan data mengenai suku istri informan Tionghoa dan informan Karo dapat dilihat pada data di bawah ini.


(62)

Tabel 20 : Informan Laki-laki Berdasarkan Etniknya dan Etnik Istri

No Etnik

Etnik Suami

Karo Tionghoa

f % f %

1 Karo 15 71,4 2 15,4

2 Tionghoa 6 28,6 11 84,6

3 Mandailing 4 Jawa

5 Dan Lain –lain

TOTAL 21 100 13 100

Sumber : Kuesioner Lapangcm, Februari 2008

Dari data di atas maka dapat dilihat bahwa informan laki-laki Karo yang suku istrinya Karo juga sebanyak 15 orang atau 71,4%, scdangkan yang suku istrinya etnik Tionghoa sebanyak 2 orang atau 15,4%. Selanjutnya untuk informan laki-laki etnik Tionghoa yang suku istrinya adalah etnik Karo sebanyak 6 orang atau 28,6% sedangkan yang suku istrinya etnik Tionghoa sebanyak 11 orang atau 84,6%. Namun untuk informan perempuan etnik Tionghoa semua suku suaminya adalah etnik Tionghoa, sedangkan informan perempuan etnik Karo semua suku suaminya adalah etnik Karo.

III.2 Interaksi Sosial/ Hubungan Sosial Antar Etnik Tionghoa dengan Etnik


(63)

Interaksi sosial yang terjadi antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo merupakan salah satu bentuk proses sosial yang asosiatif, dimana proses sosial ini terbagi dalam tiga bentuk khusus lagi yaitu akomodasi, asimilasi, dan akulturasi.

Akomodasi merupakan suatu alat untuk mengatasi pertentangan/ pertikaian yang timbul dari adanya interaksi sosial di dalam kehidupan bersama manusia. Akomodasi ini tidaklah dapat secara sempurna mengatasi pertentangan-pertentangan. Akan tetapi akomodasi tetap diperlukan karena manusia atau kelompok mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Karena kepentingan yang berbeda inilah pertentangan itu selalu timbul, dan untuk mengatasinya diperlukan akomodasi.

Tujuan daripada akomodasi adalah:

1. Untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorangan atau kelompok- kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham.

2. Untuk mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu.

3. Akomodasi kadang-kadang diusahakan untuk memungkinkan kerjasama antara kelompok-kelompok sosial yang sebagai akibat dari faktor sosial, psikologis, dan kebudayaan hidupnya.

4. Mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok yang terpisah, misalnya melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas (Sunarto, 1981:72).

Asimilasi merupakan suatu proses social yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat antar orang perorangan atau


(64)

kelompok-dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan-tujuan kelompok. Asimilasi berhubungan erat dengan pengembangan sikap dan cita-cita yang sama. Dalam proses tersebut, ada beberapa bentuk interaksi social yang memberi arah ke suatu proses asimilasi (yakni interaksi yang asimilatif), yaitu :

1. Interaksi social tersebut bersifat suatu pendekatan terhadap pihak lain,dimana pihak yang lainjuga harus berlaku sama.

2. Interaksi social tersebut tidak mengalami halangan-halangan atau pembatasan-pembatasan.

3. Proses asimilasi mungkin dapat dipercepat, apabila interaksi social tersebut bersifat langsung dan primer.

4. Asimilasi diperkuat apabila frekwensi interaksi social adalah tinggi dan tetap serta apabila ada keseimbangan antara pola-pola asimilasi tersebut.

Faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu asimilasi (Suharto, 1991:75) adalah antara lain:

1. Toleransi

2. Kesempatan-kesempatan di bidang ekonomi yang seimbang 3. Suatu sikap menghargai orang asing dan kebudayaannya

4. Sikap yang terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat 5. Persamaan dalam unsure-unsur kebudayaan

6. Perkawinan campuran


(65)

Asimilasi dapat tercipta tergantung pada kesediaan atau kemauan dari satu pihak (etnik Tionghoa) untuk menghilangkan identitasnya, dan di pihak lain pribumi bersedia untuk menerimanya hidup bersama secara utuh dan hannonis.

Menurut Robert E. Park dan Ernest W. Burgess (dalam Lubis, 1995:28), mengatakan bahwa asimilasi adalah suatu proses penetrasi (penerobosan dan peleburan (penyatuan) kepada seseorang maupun suatu grup yang mempunyai pikiran, perasaan dan sikap dari orang atau grup yang lain dengan membagi pengalaman dan cerita (sejarah) termasuk juga tentang kebudayaan di dalam kehidupan mereka sebagaimana biasanya. Hasil akhir yang paling sempurna dari interaksi social adalah asimilasi yang diperoleh melalui kontak dalam keluarga serta kelompok-kelompok yang intim.

Asimilasi hanya dapat terjadi bila terdapat kontak langsung relatif setaraf dan lebih kurang kontinu, baik antar individu maupun orang perorangan. Lama tidaknya proses asimilasi, tergantung pada factor-faktor objekdfdan subjektif (Nasution, 1983 :120-121).

Akulturasi terjadi manakala kebudayaan kedua kelompok yang bertemu mulai berbaur dan berpadu. Meskipun menurut Banton akulturasi sering terjadi antar kebudayaan dua masyarakat yang posisinya relatif sama namun tidak menutup kemungkinan terhadap bentuk akulturasi antara dua masyarakat yang posisinya lain.

III.2.1 Komunikasi antar Etnik Tionghoa dengan Etnik karo

Semua masyarakat kelurahan Desa Lama saling mengenal tetangga dengan baik. Menurut pengamatan di lapangan bahwa di daerah ini tidak ada kecenderungan


(1)

d. karyawan swasta e. dan lain-lain……… 54.Pekerjaan Istri : a. berdagang b. bertani c. PNS/ ABRI

d. karyawan swasta e. dan lain-lain……… 55.Pekerjaan Sampingan :

E. INTERAKSI SOSIAL/ HUBUNGAN SOSIAL 56.Apakah anda mengenal tetangga anda dengan baik?

a. Ya b. Tidak

57.Apakah anda sering berkomunikasi dengan etnik lain misalnya dengan etnik Tionghoa?

a. Sering b. Kadang-kadang c. Jarang d. Tidak Pernah 58.Apakah anda sering berkumpul dengan etnik Tionghoa?

a. Sering b. Kadang-kadang c. Jarang 59.Apakah anda mengerti bahasa Tionghoa?

a. Ya b. Sedikit c. Tidak sama sekali

60.Ketika anda berkomunikasi dengan etnik Tionghoa , bahasa apakah yang anda gunakan?

a. Bahasa Karo b. Bahasa Indonesia c. Lain-lain……….. 61.Ketika anda bergaul dengan masyarakat, etnik apakah yang anda utamakan

yang menjadi teman anda?

a. Etnik Tionghoa b. Etnik Karo c. Sama-sama/ seimbang

62.Apakah anda mempunyai keluarga/ family yang berasal dari etnik Tionghoa? a. Ada b. Tidak ada


(2)

63.Jika ada, apakah anda sudah menerima dia sebagai anggota keluarga anda sendiri?

a. Sudah b. Belum

Alasannya………. 64.Apabila anda merayakan pesta (perkawinan/ orang meninggal) apakah anda

mengundang etnik Tionghoa? a. Ya b. Tidak

Alasannya………. 65.Jika anda mengundang etnik Tionghoa untuk merayakan suatu pesta, apakah

mereka juga mau menghadirinya?

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak

66.Jika etnik Tionghoa mengadakan pesta, apakah mereka mengundang etnik Karo?

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak 67.Apakah anda mau menghadirinya?

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak

Alasannya………. 68.Jika anda/ etnik Karo mengadakan suatu pesta apakah etnik Tionghoa mau

membantu anda?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, bantuannya dalam bentuk apa?

69.Jika etnik Tionghoa mengadakan suatu pesta, apakah etnik Karo juga mau membantu?


(3)

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak

70.Jika ada anggota keluarga dari etnik Karo yang meninggal dunia, apakah etnik Tionghoa mau melayat?

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak

71.Apakah etnik Tionghoa juga mau mengikuti adat-istiadat dari etnik Karo seperti misalnya memakai uis nipes?

a. Ya b. Tidak

72.Apakah anda juga mau melayat jika ada anggota keluarga dari etnik Tionghoa yang meninggal dunia?

a. Ya b. Kadang-kadang c. Tidak

73.Pada waktu hari besar keagamaan, apakah etnik Tionghoa mau berkunjung ke rumah anda?

a. Ya b. Tidak

74.Apakah anda juga mau berkunjung ke rumah tetangga etnik Tionghoa pada waktu perayaan hari besar keagamaan tersebut?

a. Ya b. Tidak

Alasannya………. 75.Apakah anda mengikuti organisasi sosial kemasyarakatan di daerah ini?

a. Ya (sebutkan………) b. Tidak

Alasannya………. 76.Jika diadakan kerja bakti/ gotong-royong, apakah anda selalu turut berperan

serta?


(4)

77.Apakah anda mengerti adat-istiadat etnik Tionghoa? a. Ya b. Sedikit c. Tidak sama sekali

Alasannya……… ……… 78.Apakah anda setuju anak anda/ anggota keluarga anda yang lain menikah

dengan etnik Tionghoa?

a. Sangat setuju b. Setuju c. Tidak setuju

Alasannya……… ………


(5)

PEDOMAN WAWANCARA PADA ETNIK KARO

1. Apakah anda mengenal tetangga anda dengan baik, baik yang didepan, di belakang maupun di samping rumah anda?

2. Jika anda mengenal mereka, etnik apa sajakah mereka?

3. Ketika anda bergaul di lingkungan masyarakat, etnik apa sajakah yang menjadi teman anda?

4. Etnik apakah yang menjadi teman akrab anda?

5. Bagaimanakah hubungan/ pergaulan diantara warga yang berbeda etnik di daerah ini?

6. Apakah anda setuju jika etnik Tionghoa tinggal di daerah ini?

7. Bagaimanakah pendapat anda tentang kehadiran etnik Tionghoa di daerah ini? 8. Dalam kehidupan sehari-hari, bagaimanakah sikap etnik Tionghoa ketika

bergaul dengan masyarakat setempat di daerah ini?

9. Apakah etnik Karo sudah menerima kehadiran mereka dengan baik di daerah ini?

10. Bagaimanakah pendapat anda jika terjadi perkawinan campuran dengan etnik Tionghoa?

11. Bila terjadi perkawinan campuran, adat manakah yang paling dominan digunakan?

12. Bagaimanakah sikap anda ketika bergaul dengan etnik Tionghoa? 13. Bagaimanakah pendapat anda tentang sikap etnik Tionghoa selama ini? 14. Apakah anda paham/ mengerti adat-istiadat etnik Tionghoa?


(6)

15. Apakah pernah terjadi kerusuhan antara etnik Tionghoa dengan etnik Karo? 16. Jika pernah, bagaimanakah cara penyelesaiannya?