Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara ( Studi Deskriptif Di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara Dan Lansia Pematangsiantar )

(1)

POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA

( Studi Deskriptif di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara

dan Lansia Pematangsiantar )

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Universitas Sumatera Utara

Disusun Oleh :

SURYA DARMA P PAKPAHAN (090902032)

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Surya Pakpahan

Nim : 090902032

ABSTRAK

POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara

dan Lansia Pematangsiantar)

Setiap manusia senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Kenyataan ini mengharuskan manusia melakukan interaksi dan komunikasi dengan sesamanya, yang pada penyandang diasbilitas tuna rungu wicara terjadi melalui saluran komunikasi khusus. Ketidakberfungsian atau lemahnya kemampuan indera pendengaran dan oral memaksakan mereka untuk lebih memaksimalkan penggunaan bahasa non-verbal dalam berinteraksi, bahkan kepada orang normal yang cenderung sulit untuk memahaminya. Tak jarang, penyikapan dan perlakuan terhadap penyandang tuna rungu wicara cenderung diskriminatif, walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan atau tidak mendapat pendidikan yang wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola intetaksi penyandang tuna rungu wicara serta untuk mengetahui tingkat kemampuan komunikasi dan bahasa mereka dalam berinteraksi.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk memberi gambaran atau mendeskripsikan tentang pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang sedang menerima pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dengan unit analisis data berjumlah 12 orang warga binaan sosial. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu dengan mereduksi data, menyajikan data, dan pengambilan keputusan dan verifikasi untuk mengetahui pola interaksi serta kehidupan sosial penyandang tuna rungu wicara.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pola interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar adalah kerjasama dan pertentangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan bahasa dan komunikasi tuna rungu wicara baik secara lisan maupun tulisan tergolong masih sangat rendah, yang cenderung disebabkan oleh rendahnya intensitas interaksi dengan orang normal, rendahnya intensitas tuna rungu wicara dalam membaca, serta belum adanya program atau kegiatan bina wicara.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan kasih-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun judul dari skripsi ini adalah: “POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA” (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar)

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan terkhusus kepada orang tua terkasih K. Pakpahan yang sudah mendidik dan membesarkan penulis, dan tiada hentinya selalu memberikan doa dan semangat dalam penulisan skripsi. Dan keluarga yang telah mendukung dan mendoakan penulisan skripsi.

Pada kesempatan ini, juga penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini, dan secara khusus penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.Sp, selaku ketua Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Agus Suriadi, S.Sos, Msi selaku Dosen Pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberi dukungan dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Kepada semua dosen Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Kepada staf administrasi Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Ibu Zuraida dan Kak Deby yang telah bersedia memberikan informasi dan mempersiapkan kebutuhan penulis selama kuliah hingga penyelesaian skripsi ini.

6. Kepada Bu Sari selaku kepala UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, kepada seluruh pekerja sosial khusunya Pak Lauren Sinaga, seluruh pegawai, dan semua warga binaan sosial tuna rungu wicara yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

7. Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang turut serta membantu penulis mulai dari perkuliahan hingga penyelesaian skripsi ini, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan Rahmat-Nya atas kebaikan dan kemurahan hati Bapak/Ibu, Saudara/I sekalian.

Selama penyusunan skripsi ini penulis menyadari akan sejumlah kekurangan dan kelemahan, untuk itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua, terutama bagi dunia pendidikan.

Medan, Januari 2014 Penulis,

Surya D P Pakpahan 090902032


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI v

DAFTAR DIAGRAM viii

DAFTAR BAGAN ix

LAMPIRAN x

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah... 10

1.3 Tujuan Penelitian... 10

1.4 Manfaat Penelitian... 10

1.5 Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pola Interaksi ... 12

2.2 Interaksi Sosial ... 13

2.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial... 17

2.3.1 Kontak Sosial ... 17

2.3.2 Komunikasi Sosial ... 18

2.3.2.1 Komunikasi Verbal ... 19

2.3.2.2 Komunikasi Non-verbal... 19

2.4 Pola atau Bentuk Interaksi Sosial ... 21

2.5 Penyandang Cacat ... 23

2.6 Tuna Rungu Wicara... 25

2.6.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara ... 25

2.6.2 Jenis Tuna Rungu Wicara ... 26

2.6.3 Karakteristik Penyandang Tunarungu ……...…...…...….. 30


(6)

2.8 Definisi Konsep dan Definisi Operasional ... 34

2.8.1 Definisi Konsep ... 34

2.8.2 Definisi Operasional ... 35

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian ... 37

3.2 Lokasi Penelitian ... 37

3.3 Unit Analisis ... 38

3.4 Informan ... 38

3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 38

3.6 Teknik Analisis Data ... 39

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN 4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga ... 42

4.2 Visi dan Misi ... 43

4.3 Gambaran Umum Lembaga ... 44

4.3.1 Dasar Hukum ... 44

4.3.2 Sasaran Garapan ... 45

4.3.3 Struktur Organisasi ... 46

4.3.4 Sarana dan Prasarana Panti ... 49

4.4 Tata Cara Penaganan Tuna Rungu Wicara ... 50

4.5 Tuna Rungu Wicara ... 52

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Karateristik Responden ... 53

5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

5.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ... 55

5.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Suku Bangsa ... 56

5.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Agama ... 57

5.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Kelas ... 58

5.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat ... 59

5.2 Kontak Sosial ... 60

5.2.1 Mengenal Orang lain ... 60


(7)

5.2.4 Intensitas kontak Tidak Langsung ... 64

5.2.5 Intensitas Dikunjungi Orangtua ... 65

5.2.6 Bekerjasama ... 66

5.2.7 Berkelahi ... 66

5.3 Komunikasi Sosial... 67

5.3.1 Komunikasi dalam Interaksi Sehari-hari ... 67

5.3.2 Komunikasi dan Interaksi dalam Kegiatan Belajar ... 69

5.3.3 Komunikasi dengan Orang Normal di Lingkungan Sekitar ... 71

5.4 Faktor Berlangsungnya Interaksi... 73

5.4.1 Intensitas Membaca ... 73

5.4.2 Aktivitas Meniru (imitasi) ... 74

5.4.3 Perasaan Tertarik pada Perasaan Pihak Lain (simpati) ... 76

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan... 77

6.2 Saran ... 78

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

Diagram 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia ... 55

Diagram 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Suku Bangsa... 56

Diagram 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Agama ... 56

Diagram 5.5 Distribusi Responden Berdasarkan Kelas ... 57

Diagram 5.6 Disribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendengaran ... 58

Diagram 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Mengenal Orang Lain ... 59

Diagram 5.8 Disribusi Responden Berdasarkan Berjabat Tangan ... 60

Diagram 5.9 Disribusi Responden Berdasarkan Kepemilikan Telepon Seluler ... 62

Diagram 5.10 Disribusi Responden Berdasarkan Intensitas Kontak Tidak Langsung 63 Diagram 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Intensitas Membaca ... 72


(9)

DAFTAR BAGAN

Bagan Alur Pikiran ... 32 Bagan struktur organisasi UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang siantar ... 45


(10)

LAMPIRAN

1. Kuesioner

2. Surat Keterangan Dosen Pembimbing 3. Lembar Daftar Hadir Seminar Proposal

4. Surat Permohonan Izin Penelitian Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 5. Surat Balasan Izin Penelitian PT Biotis Nusantara cabang Kota Medan 6. Lembar Kegiatan Bimbingan Penulisan Skripsi


(11)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL Nama : Surya Pakpahan

Nim : 090902032

ABSTRAK

POLA INTERAKSI SOSIAL TUNA RUNGU WICARA (Studi Deskriptif di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara

dan Lansia Pematangsiantar)

Setiap manusia senantiasa membutuhkan keberadaan orang lain untuk menunjang keberlangsungan hidupnya. Kenyataan ini mengharuskan manusia melakukan interaksi dan komunikasi dengan sesamanya, yang pada penyandang diasbilitas tuna rungu wicara terjadi melalui saluran komunikasi khusus. Ketidakberfungsian atau lemahnya kemampuan indera pendengaran dan oral memaksakan mereka untuk lebih memaksimalkan penggunaan bahasa non-verbal dalam berinteraksi, bahkan kepada orang normal yang cenderung sulit untuk memahaminya. Tak jarang, penyikapan dan perlakuan terhadap penyandang tuna rungu wicara cenderung diskriminatif, walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan atau tidak mendapat pendidikan yang wajar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola intetaksi penyandang tuna rungu wicara serta untuk mengetahui tingkat kemampuan komunikasi dan bahasa mereka dalam berinteraksi.

Tipe penelitian ini adalah deskriptif, yang bertujuan untuk memberi gambaran atau mendeskripsikan tentang pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang sedang menerima pelayanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dengan unit analisis data berjumlah 12 orang warga binaan sosial. Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, yaitu dengan mereduksi data, menyajikan data, dan pengambilan keputusan dan verifikasi untuk mengetahui pola interaksi serta kehidupan sosial penyandang tuna rungu wicara.

Hasil analisis data menyimpulkan bahwa pola interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar adalah kerjasama dan pertentangan. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tingkat kemampuan bahasa dan komunikasi tuna rungu wicara baik secara lisan maupun tulisan tergolong masih sangat rendah, yang cenderung disebabkan oleh rendahnya intensitas interaksi dengan orang normal, rendahnya intensitas tuna rungu wicara dalam membaca, serta belum adanya program atau kegiatan bina wicara.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak awal adanya kehidupan manusia, kodrati manusia sebagai makhluk sosial telah ada secara bersamaan. Hal ini tersirat secara tidak langsung ketika Tuhan menciptakan Hawa sebagai pendamping bagi Adam. Artinya, manusia saling membutuhkan satu sama lain dan kehidupan seorang manusia tidak dapat terlepas dari manusia lainnya.

Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial.

Interaksi sosial merupakan suatu fondasi dari hubungan yang berupa tindakan yang berdasarkan norma dan nilai sosial yang berlaku dan diterapkan di dalam masyarakat. Dengan adanya nilai dan norma yang berlaku, interaksi sosial itu sendiri dapat berlangsung dengan baik jika aturan-aturan dan nilai-nilai yang ada dapat dilakukan dengan baik. Jika tidak adanya kesadaran atas pribadi masing-masing, maka proses sosial itu sendiri tidak dapat berjalan sesuai dengan yang kita harapkan. Di dalam kehidupan sehari-hari tentunya manusia tidak dapat lepas dari hubungan antara satu dengan yang lainnya, ia akan selalu perlu untuk mencari individu ataupun kelompok lain untuk dapat berinteraksi ataupun bertukar pikiran.


(13)

pukul 14:10)

Pentingnya kontak dan komunikasi bagi terwujudnya interaksi sosial dapat diuji terhadap suatu kehidupan terasing (isolation). Kehidupan terasing yang sempurna ditandai dengan suatu ketidakmampuan untuk mengadakan interaksi sosial dengan pihak-pihak lain. Sudah tentu seseorang yang hidup terasing sama sekali dapat melakukan tindakan-tindakan, misalnya terhadap alam sekitarnya, tetapi hal itu tak akan mendapat tanggapan apa-apa. Terasingnya seseorang dapat disebabkan oleh karena cacat pada salah satu inderanya. Seseorang sejak kecil buta dan tuli misalnya, mengasingkan diri dengan sendirinya dari pengaruh-pengaruh kehidupan yang tersalur melalui kedua indera tersebut. Dari beberapa hasil penyelidikan, ternyata kepribadian orang orang tersebut mengalami banyak penderitaan sebagai akibat kehidupan terasing oleh karena cacat indera itu. Orang-orang cacat tersebut akan mengalami perasaan rendah diri oleh karena kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kepribadiannya seolah-olah terhalang, dan bahkan tertutup sama sekali. (Basrowi, 2005: 141).

Stigma yang melekat pada kecacatan, yang menyebabkan apa yang disebut Goffman identitas sosial ternoda atau rusak, berarti juga dapat menjadi identitas pengecualian, termasuk menonaktifkan orang dari partisipasi penuh dalam masyarakat, karena mereka menghadapi misalnya, hambatan fisik yang tidak perlu di gedung-gedung dan jalan-jalan, diskriminasi dalam pekerjaan, perawatan medis yang tidak memadai, penggambaran negatif di media, dan mengejek, sikap merendahkan atau meremehkan dari orang lain. (Ken Browme, 2008: 95)


(14)

Meskipun dewasa ini banyak masyarakat yang sudah mulai memahami tentang apa dan bagaimana tindakan terbaik yang harus dilakukan terhadap anak yang menyandang kelainan atau kecacatan, namun demikian tidak sedikit yang masih sulit untuk menghindarkan perlakuan atau penyikapan terhadap penyandang cacat secara wajar dan edukatif. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, terutama di lingkungan keluarga anak penyandang cacat itu sendiri.

Penyikapan dan perlakuan lingkungan keluarga memiliki kontribusi sangat kuat terhadap perkembangan anak penyandang cacat. Tidak bisa dipungkiri, tak mudah bagi orang tua untuk menerima kenyataan bahwa anaknya menderita kelainan, apalagi untuk pertama kalinya. Perasaan kecewa akan muncul setelah mengetahui bahwa anak yang dilahirkannya tidak memenuhi harapannya. Tumbuh-kembangnya penyikapan orangtua disebabkan anggaran masyarakat bahwa kehadiran anak berkelainan dapat menurunkan martabat atau gengsi orang tua dan keluarga. Atas dasar ini, terdapat kecenderungan sikap penolakan pada orang tua. Umumya sikap penolakan ini terwujud dalam tindakan diskriminatif walaupun dalam bentuk yang lebih halus seperti penerimaan apa adanya, diterlantarkan, ataupun tidak mendapat pendidikan sesuai dengan perkembangan anak seusianya.

Sampai saat ini, belum ada data yang valid mengenai populasi anak penyandang cacat di Indonesia. Dirjen Bina Rehabilitasi Sosial Departemen Sosial tahun 1991 (dalam Effendi, 2006: 12) menyebutkan bahwa diketahui ada 5.576.815 orang (tanpa menyebutkan usia) jumlah penyandang cacat di Indonesia, dengan jumlah penyandang cacat tuna rungu wicara sebesar 9,97% atau 555.898 orang. Berikut disajikan data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia yang dikutip peneliti dari berbagai sumber:


(15)

1. Pusdatin, Depsos 2009

(Sumber: Diakses

pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:05)

2. Data Kementerian Sosial RI per Desember 2010. Jumlah Penyandang Cacat di Indonesia: 11.580.117 orang, terdiri dari:

a. Tuna Netra : 3.474.035 orang b. Tuna Daksa : 3.010.830 orang c. Tuna Rungu : 2.547.626 orang d. Cacat Mental : 1.389.614 orang

e. Cacat Kronis : 1.158.012 ora


(16)

implementasi-ketentuan-pasal-14-dan-pasal-28-undang-undang-nomor-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat

3. Data Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi RI per Desember 2010. Jumlah Tenaga Kerja Penyandang Cacat di Indonesia: 7.126.409 orang, terdiri dari:

Diakses pada tanggal 15 Desember 2013 pukul 20:08)

a. Tuna Netra : 2.137.923 orang b. Tuna Daksa : 1.852.866 orang c. Tuna Rungu : 1.567.810 orang d. Cacat Mental : 712.641 orang

e. Cacat Kronis : 855.169 ora

20:08)

4. Berita Seminar Hari Internasional Penyandang Cacat 2011 pada website Direktorat Jenderal Rehabilitasi Sosial menyebutkan bahwa penyandang tuna netra 1.749.981 jiwa, tuna rungu wicara 602. 784 jiwa, tuna daksa 1.652.741 jiwa, tuna grahita 777.761 jiwa.


(17)

mengadakan interaksi dengan yang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan alat komunikasi. Alat komunikasi yang mereka gunakan telah mereka sepakati, walaupun menggunakan komunikasi dalam arti sederhana sehingga mereka dapat mengerti yang satu dengan yang lainya.

Penyandang cacat tuna rungu wicara memang belum begitu mendapat perhatian dari masyarakat karena kekurangan yang mereka alami tidak tampak dari luar. Sekilas, mereka tampak seperti manusia pada umumnya. Kita baru akan mengetahuinya ketika melihat mereka berkomunikasi dengan bahasa atau gerak isyarat.

UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar merupakan salah satu panti yang memberikan pelayanan sosial kepada penyandang cacat tuna rungu wicara. Kebanyakan penyandang cacat tuna rungu wicara yang ada di panti ini berasal dari luar kota, tapi masih dalam kawasan provinsi Sumatera Utara. Hasil observasi sementara yang telah dilakukan penulis selama masa praktikum lapangan menunjukkan bahwa intensitas interaksi antar sesama tuna rungu wicara dan juga tehadap lingkungan di sekitar cukup tinggi.

Secara umum, ada kecengerungan pada masyarakat yang menganggap bahwa keberadaan anak penderita tuna rungu wicara adalah aib dan beban keluarga. Bahkan dari informasi yang penulis dapatkan di panti sosial tersebut, ada pula orang tua dari salah satu warga binaan social yang menganggap bahwa anak yang dilahirkannya bukanlah seorang penderita tuna rungu wicara. Parahnya, dalam kehidupan sosial, masyarakat di sekitar panti cenderung mengabaikan keberadaan mereka. Stigma negatif sudah melekat pada mereka. Mereka adalah sekelompok orang yang selalu membutuhkan bantuan yang hanya akan menyusahkan orang lain.


(18)

Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu perkembangan mental dan interaksi sosial mereka pada masa pertumbuhan. Inilah alasan yang menimbulkan kenyataan bahwa penyandang tuna rungu wicara sangat miskin akan kosa kata dan sulit dalam berinteraksi dengan dunia luar. Pengalaman pribadi penulis sangat menguatkan hal ini. Mereka hanya mampu menuliskan kata-kata umum biasa dalam mengerjakan soal-soal bertema cerita. Bahkan susunan kata-kata yang mereka tulis dalam membentuk kalimat sangat tidak beraturan. Hal ini memang memprihatinkan. Padahal kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat penting dalam belajar, bermain dan membangun hubungan dengan orang lain.

Kondisi dan kesulitan penyandang cacat tuna rungu wicara dalam berinteraksi dengan orang lain memang cukup memprihatinkan, apalagi pada anak dengan kondisi tuna rungu wicara yang tergolong masih ringan, pasti membutuhkan tingkat konsentrasi yang lebih baik ketika melakukan komunikasi dengan orang normal. Selain itu, untuk berinteraksi dengan orang lain, bahasa dan cara yang mereka gunakan adalah bahasa isyarat yang cenderung sulit untuk dipahami oleh orang biasa.

Anak tunarungu wicara secara umum menggunakan bahasa atau gerak isyarat, dan isyaratnya sangat bervariasi sebagaimana isyarat lokal yang dikenal. Adapun orang-orang pada umumnya menggunakan penuturan lisan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Dengan demikian anak tunarungu menggunakan caranya sendiri dan orang pada umumnya menggunakan caranya sendiri dalam berkomunikasi. Anak tunarungu tidak dapat dipaksakan dengan mudah melakukan komunikasi lisan dan orang pada umumnya tidak mudah dipaksakan mengikuti komunikasi isyarat sebagaimana isyaratnya anak tunarungu.


(19)

Permasalahan selanjutnya adalah bagaimana anak tunarungu belajar komunikasi lisan dan bagaimana orang umum belajar komunikasi isyarat, sehingga komunikasi diantara keduanya lancar dan dapat saling memahami arti atau maknanya. Berbagai kenyataan dilapangan yang telah penulis alami sangat mendukung masalah interaksi ini. Konsekwensinya memang sudah dapat diduga, saluran komunikasi yang menjadi kendala, sangat menghambat proses interaksi antara penulis dan penyandang tuna rungu wicara. Terkadang mereka memiliki prasangka yang buruk terhadap penulis, ketika sedang memperbincangkan atau bahkan menertawakan sesuatu.

Berbicara tentang komunikasi isyarat anak tuna rungu wicara, barangkali orang-orang pada umumnya tidak begitu banyak permasalahan. Namun sangat berbeda dengan anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi lisan atau oral. Anak-anak tuna rungu wicara yang akan mempelajari komunikasi lisan tentu banyak kendala. Kendala ini terutama berhubungan dengan kondisi penderita tuna rungu wicara itu sendiri, seperti tidak berfungsinya dari pendengaran sehingga menyebabkan minimnya kosakata yang dimiliki. Selain itu, kemampuan mereka untuk berbahasa verbal (lisan) sangat buruk, mengingat kondisi dan ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum.

Sebagai dampak dari tuna rungu wicara yang diderita seseorang terutama yang terjadi sejak lahir, maka akan menimbulkan berbagai permasalahan bagi penyandang khususnya dan masyarakat sekitar panti pada umumnya dalam hal interaksi sosial. Bagaimanapun bahasa merupakan alat komunikasi antar manusia sebagai makhluk sosial. Tuna rungu wicara yang menjadi bawaan lahir dan tidak mendapatkan tindakan-tindakan penyembuhan sebagai upaya perbaikan tentu akan


(20)

memperparah kondisi penyandang tuna rungu wicara sebagai individu yang terlahir dengan keterbatasan komunikasi ini. Kondisi tuna rungu wicara akan berdampak pada kemiskinan bahasa dan komunikasi dan pula pada sempitnya dunia penyandang tuna rungu dalam berinteraksi di masyarakat sekitar panti.

Penyandang cacat tuna rungu wicara memang merupakan realitas sosial yang tidak terbantahkan. Interaksi mereka juga lebih dominan dan terbatas hanya pada kelompok mereka sendiri, sebagai warga binaan sosial di dalam panti. Gangguan pendengaran dan penggunaan bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi sepetinya telah membentuk dunia mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam lingkungan sosial yang luas sekalipun.

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan di atas, penulis tertarik untuk meneliti serta mengetahui interaksi dan kehidupan sosial warga binaan tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Oleh karena itu, penulis akan merangkum penelitian ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk studi kasus dengan judul: "Pola Interaksi Sosial Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar).


(21)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Bagaimana pola interaksi sosial tuna rungu wicara?"

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui pola interaksi sosial penyandang tuna rungu wicara, khususnya di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.

2. Untuk mengetahui kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar, dalam hubungannya dengan kemampuan komunikasi dan bahasa dalam berinteraksi.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka :

1. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan penyandang cacat tuna rungu wicara dan masalah-masalahnya.

2. Memberikan kontribusi pemikiran dan masukan kepada pihak-pihak terkait, khususnya pada tahap pendekatan awal dan tahap assesmen, sehubungan dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan sosial tuna rungu wicara.


(22)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini disajikan dalam enam bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian serta Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini diuraikan secara teoritis variabel-variabel yang diteliti, kerangka pemikiran, definisi konsep, dan definisi operasional.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

BAB IV DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, dimana penulis melakukan penelitian.

BAB V ANALISIS DATA

Bab ini berisikan uraian data yang diperoleh peneliti dari hasil penelitian dan analisanya.

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisikan tentang kesimpulan dan saran dari hasil penelitian


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pola Interaksi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pola adalah gambar yang dibuat contoh/model ataupun bentuk (struktur) yang tetap. Jika dihubungkan dengan interaksi, maka pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. Apabila dua orang bertemu maka interaksi sosial dimulai pada saat itu. Mereka saling menegur, berjabat tangan, saling berbicara bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk/pola interaksi sosial.

Bentuk jalinan interaksi yang terjadi antara individu dan individu, individu dan kelompok, dan kelompok dan kelompok bersifat dinamis dan mempunyai pola tertentu. Apabila interaksi sosial tersebut diulang menurut pola yang sama dan bertahan untuk jangka waktu yang lama, akan terwujud hubungan sosial yang relatif mapan.

Pola interaksi sosial memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a) Berdasarkan kedudukan sosial (status) dan peranannya. Contohnya, seorang guru yang berhubungan dengan muridnya harus mencerminkan perilaku seorang guru. Sebaliknya, siswa harus menaati gurunya.

b) Merupakan suatu kegiatan yang terus berlanjut dan berakhir pada suatu titik yang merupakan hasil dari kegiatan tadi. Contohnya, dari adanya interaksi, seseorang melakukan penyesuaian, pembauran, terjalin kerja sama, adanya persaingan, muncul suatu pertentangan, dan seterusnya.


(24)

c) Mengandung dinamika. Artinya, dalam proses interaksi sosial terdapat berbagai keadaan nilai sosial yang diproses, baik yang mengarah pada kesempurnaan maupun kehancuran. Contohnya, penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan masyarakat dapat menciptakan keteraturan sosial.

d) Tidak mengenal waktu, tempat, dan keadaan tertentu. Berarti interaksi sosial dapat terjadi kapan dan di manapun, dan dapat berakibat positif atau negatif terhadap kehidupan masyarakat. Contohnya, sebuah sekolah yang terkenal memiliki disiplin dan tata tertib yang ketat dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, pada suatu ketika menjadi tercemar karena ada siswanya yang

melakukan tindakan amoral

Diakses

pada tanggal 10 Agustus 2013 pukul 19:25)

2.2 Interaksi Sosial

H. Boner (dalam Ahmadi, 2007: 49) mengemukakan interaksi sosial adalah suatu hubungan antara individu atau lebih, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. Maryati dan Suryawati menyatakan bahwa, “Interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok”. Pendapat lain dikemukakan oleh Murdiyatmoko dan Handayani, “Interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang


(25)

menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial” tanggal 15 Juni 2013 pukul 13:00)

Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Dalam hidup bersama antara manusia dan manusia atau manusia dan kelompok tersebut terjadi hubungan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud dan tujaunnya masing-masing. Sedangkan untuk mencapai keinginan itu harus diwujudkan melalui hubungan timbal balik. Hubungan inilah yang disebut dengan interaksi.

Interaksi sosial merupakan hubungan yang tertata dalam bentuk tindakan-tindakan yang berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. Bila interaksi itu berdasarkan pada tindakan yang sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka kemungkinan hubungan tersebut berjalan lancar. Misalnya, apabila kita mengutarakan sesuatu dengan hormat dan sopan terhadap orang tua, maka kita akan dilayani dengan baik. Sebaliknya, jika kita berperilaku tidak sopan dan tidak hormat terhadap orang tua, maka mereka akan marah, yang akhirnya hubungan antara kita dan orang tua tersebut tidak lancar.

Terjadinya interaksi sosial sebagaimana dimaksud karena adanya saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing masing pihak dalam suatu hubungan sosial. Menurut Roucek dan Warren, interaksi adalah salah satu masalah pokok karena ia merupakan dasar segala proses sosial. Interaksi merupakan proses timbal


(26)

balik, dimana satu kelompok dipengaruhi tingkah laku reaktif pihak lain dan dengan demikian, ia mempengaruhi tingkah laku orang lain. Orang mempengaruhi tingkah laku orang lain melalui kontak. Kontak ini mungkin berlangsung melalui organisme fisik, seperti dalam obrolan, pendengaran, melakukan gerakan pada beberapa bagian badan, melihat dan lain-lain atau secara tidak langsung, melalui tulisan atau dengan cara berhubungan dari jauh. (Basrowi, 2005: 138-140)

Interaksi sosial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1. Ada selalu dengan jumlah lebih dari satu orang.

2. Ada komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol.

3. Ada dimensi waktu (masa lampau, masa kini, dan masa mendatang) yang menentukan sifat aksi yang sedang berlangsung.

4. Ada tujuan-tujuan tertentu, terlepas dari sama atau tidaknya tujuan tersebut dengan yang diperkirakan oleh pengamat.

Menurut Sitorus (dalam Basrowi, 2005) berlangsungnya interaksi sosial dapat didasarkan pada berbagai faktor, antara lain :

a. Imitasi

Imitasi adalah suatu proses belajar dengan meniru atau mengikuti perilaku orang lain. Dalam interaksi sosial imitasi dapat bersifat positif, artinya imitasi tersebut mendorong seseorang untuk melakukan kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku. Namun, imitasi juga dapat berpengaruh negatif apabila yang dicontoh itu adalah perilaku-perilaku menyimpang. Selain itu, imitasi juga dapat melemahkan atau mematikan kreativitas seseorang. Misalnya, anak yang terus-menerus meniru dan mengikuti perintah atau kehendak orang lain, akhirnya tidak dapat mengembangkan daya kreativitasnya sendiri.


(27)

b. Sugesti

Sugesti adalah cara pemberian suatu pandangan atau pengaruh oleh seseorang kepada orang lain dengan cara tertentu sehingga orang tersebut mengikuti pandangan atau pengaruh tersebut tanpa berpikir panjang. Sugesti terjadi karena pihak yang menerima anjuran tersebut tergugah secara emosional dan biasanya emosi ini menghambat daya pikir rasionalnya. Proses sugesti lebih mudah terjadi apabila orang yang memberikan pandangan itu adalah orang yang yang berwibawa dan bersifat otoriter.

c. Identifikasi

Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan pihak lain. Proses identifikasi dapat membentuk kepribadian seseorang, misalnya seorang pemuda mengikuti mode potongan rambut panjang karena menurutnya hal itu sudah menjadi mode kesukaan para bintang film terkenal.

d. Simpati

Simpati adalah perasaan "tertarik" yang timbul dalam diri seseorang dan membuatnya seolah-olah berada dalam keadaan orang lain. Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada perasaan pihak lain. Dalam hal tertentu, simpati mirip dengan identifikasi yakni kecenderungan untuk menempatkan diri dalam keadaan orang lain. Perbedaannya adalah bahwa di dalam simpati perasaan memegang peranan penting walaupun dorongan utama adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya tanpa memandang status dan kedudukan.


(28)

2.3 Syarat Terjadinya Interaksi Sosial 2.3.1 Kontak Sosial

Istilah kontak berasal dari kata Latin, yaitu crun atau con, yang berarti bersama-sama dan tangere yang berarti 'menyentuh'. Secara harfiah, kontak berarti bersama-sama menyentuh, tetapi dalam pengertian sosiologis, kontak tidak selalu berarti sentuhan fisik. Sebagai gejala sosial, orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa sentuhan fisik, misalnya berbicara dengan orang lain melalui telepon, surat, dan sebagainya. Kontak sosial memiliki makna bagi si pelaku dan si penerima membalas aksi tersebut dengan reaksi (Basrowi, 2005: 140).

Syani (dalam Basrowi, 2005: 104) berpendapat, bahwa kontak sosial adalah hubungan antara satu orang atau lebih melalui percakapan dengan saling mengerti tentang maksud dan tujuan masing-masing dalam kehidupan masyarakat, konflik sosial pihak dengan pihak yang lainnya.

Dalam kontak sosial dapat terjadi hubungan yang positif dan hubungan yang negatif. Kontak sosial positif terjadi oleh karena hubungan antara kedua belah pihak terdapat saling pengertian atau di samping itu, juga menguntungkan masing-masing pihak tersebut. Sedangkan kontak negatif terjadi oleh karena hubungan antara kedua belah pihak tidak melahirkan saling pengertian atau mungkin merugikan masing-masing atau salah satu, sehingga mengakibatkan pertentangan atau perselisihan.

Kontak sosial dapat pula bersifat primer atau sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka, misalnya apabila orang-orang tersebut berjabat tangan. Sebaliknya kontak sekunder memerlukan suatu perantara, misalnya telepon, e-mail, dan lain-lain.


(29)

2.3.2 Komunikasi Sosial

Hogg dan Vaughan (dalam Nasution, 2006 :48) mendefinisikan komunikasi sebagai proses memindahkan informasi yang memiliki arti dari satu orang kepada lainnya. Komunikasi adalah suatu proses saling memberikan tafsiran kepada atau dari perilaku orang lain. Melalui tafsiran pada perilaku pihak lain, seseorang mewujudkan perilaku sebagai reaksi terhadap maksud atau pesan yang ingin disampaikan oleh pihak lain itu. Komunikasi dapat diwujudkan dengan pembicaraan, gerak-gerik fisik ataupun perasaan. Selanjutnya, dari sini timbul sikap dan ungkapan perasaan, seperti senang, ragu-ragu, takut atau menolak, bersahabat dan sebagainya yang merupakan reaksi atas pesan (message) yang diterima. Saat ada aksi dan reaksi itulah terjadi komunikasi. (Basrowi, 2005: 143)

Menurut Scherer dan Giles (dalam Nasution, 2006: 49), dalam berkomunikasi ada istilah social makers, yaitu ciri-ciri gaya bahasa verbal seseorang yang menginformasikan suasana hati, konteks, status dan dari kelompok mana individu tersebut berasal. Manusia pada umumya dengan sengaja menyesuaikan gayanya dalam berbicara dengan situasi yang dihadapi dalam berkomunikasi tersebut. Tentu saja berbeda-beda gaya yang digunakan dalam menyampaikan pesan kepada orang orang tertentu. Contoh : kita memiliki kecenderungan untuk berbicara secara perlahan dengan kalimat yang pendek-pendek dan tata bahasa yang sederhana ketika kita bicara dengan anak kecil maupun orang asing.

2.3.2.1 Komunikasi Verbal

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang kita sadari termasuk ke dalam


(30)

kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan.

Suatu sistem kode verbal disebut bahasa. Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami suatu komunitas. Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita (Mulyana, 2007 : 260-261).

2.3.2.2 Komunikasi Non-verbal

Komunikasi antara individu yang melibatkan bahasa non lisan dari ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh dan postur disebut sebagai komunikasi non verbal (Zebrowitz dalam Nasution, 2006: 7). Ada empat saluran dasar/utama dalam komunikasi non-verbal, yaitu :

1. Ekspresi wajah

Perasaan dan emosi manusia seringkali terbaca di wajahnya dan dapat dikenali melalui berbagai ekspresinya. Mempelajari banyak hal tentang suasana hati seseorang dan perasaannya melalui ekspresi wajah adalah sesuatu yang mungkin dilakukan. Ada enam emosi dasar yang terlihat jelas dan telah kita pelajari sejak kecil yaitu marah, takut, bahagia, sedih, terkejut dan jijik.

2. Kontak mata

Tatapan mata yang dalam dan lama dari seseorang merupakan sinyal rasa suka atau pertemanan. Sebaliknya, jika seseorang menhindar kontak mata, kita bisa berkesimpulan bahwa dia tidak tidak ramah, tidak menyukai kita, atau mungkin


(31)

pemalu. Jika seseorang memandang kita terus menerus dan mempertahankan kontak mata ini tanpa peduli apa yang sedang kita kerjakan, maka jenis pandangan ini disebut sebagai staring (menatap). Tataran sering kali diartikan sebagai sinyal kemarahan atau kebrutalan, seperti tatapan yang dingin, dan dinilai sebagai petunjuk nonverbal yang mengganggu oleh kebanyakan orang.

3. Gerak tubuh : postur (posisi tubuh) dan gestur (sikap tubuh-emblem)

Mood atau emosi kita seringkali direfleksikan dalam posisi postur dan gerakan tubuh. Makin banyak pola gerakan tubuh dan makin banyak bagian tubuh yang digerakkan juga menyimpan makna tersendiri. Perbedaan orientasi tubuh atau postur terjadi sesuai dengan perubahan kondisi emosi.

Gerak tubuh dan postur yang mengiringi bahasa lisan berfungsi memberi ilustrasi. Emblem merupakan gestur yang menggantikan bahasa lisan (misalnya pada saat melambaikan tangan)

4. Sentuhan

Satu cara dimana orang dari latar belakang budaya bisa menerima sentuhan orang asing adalah melalui jabat tangan. Secara keseluruhan, bentuk sentuhan yang satu ini ternyata sangat mengungkap kepribadian seseorang. Jabat tangan yang kuat dan tegas adalah modal yang penting; setidaknya untuk budaya yang menghargai jabat tangan sebagai salam pertemuan dan perpisahan (Nasution, 2006 : 7-8)

2.4 Pola atau Bentuk Interaksi Sosial

Ada empat macam bentuk interaksi sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat, yaitu kerja sama (cooperation), persaingan (competition), pertentangan atau pertikaian (conflict) dan akomodasi atau penyesuaian diri (accomodation).


(32)

Keempat bentuk interaksi sosial ini bukanlah suatu kejadian yang berkesinambungan, dalam arti interaksi sosial tidak selalu dimulai dari kerja sama, kemudian persaingan, lalu menjadi konflik dan berakhir dengan akomodasi. Hal ini tetap saja tergantung pada situasi dan kondisi tertentu sesuai dengan keadaannya di masyarakat.

a. Kerjasama (Cooperation)

Kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial dimana di dalamnya terdapat aktivitas tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami terhadap aktivitas masing-masing (Basrowi, 2005: 145). Sementara itu, menurut Charles Hurton Cooley (dalam Basrowi, 2005: 145-146), kerja sama timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tersebut melalui kerjasama; kesadaran akan adanya kepentingan-kepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerjasama yang berguna.

Bentuk dan pola-pola kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok manusia. Kebiasaan-kebiasaan dan sikap-sikap demikian dimulai sejak masa kanak-kanak di dalam kehidupan keluarga atau kelompok-kelompok kekerabatan. Atas dasar itu, anak tersebut akan menggambarkan bermacam-macam pola kerja sama setelah dia menjadi dewasa. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian kerja serta bakar jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-keahlian tertentu diperlukan


(33)

bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat berjalan dengan baik. (Soekanto, 2009: 66)

b. Persaingan (competition)

Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Persaingan mempunyai dua tipe umum, yakni yang bersifat pribadi dan tidak pribadi. Persaingan yang bersifat pribadi, orang-perorangan, atau individu secara langsung bersaing untuk, misalnya memperoleh kedudukan tertentu di dalam suatu organisasi (Soekanto, 2009: 83).

Persaingan merupakan suatu usaha dari seseorang untuk mencapai sesuatu yang lebih daripada yang lainnya. Sesuatu itu bisa berbentuk hasil benda atau popularitas tertentu. (Basrowi, 2005: 146).

c. Pertikaian atau Pertentangan (conflict)

Pertikaian adalah bentuk persaingan yang berkembang ke arah negatif, artinya karena di satu pihak bermaksud untuk mencelakakan atau paling tidak berusaha untuk menyingkirkan pihak lainnya (Basrowi, 2005: 148). Pertentangan atau pertikaian merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.


(34)

Akomodasi adalah suatu keadaan hubungan antara kedua belah pihak yang menunjukkan keseimbangan yang berhubungan dengan nilai dan norma-norma sosial yang berlaku dalam mayarakat.

2.5 Penyandang Cacat

Pengertian penyandang cacat atau disebut juga berkelainan adalah suatu kondisi yang menyimpang dari rata-rata umumnya. Penyimpangan tersebut memiliki nilai lebih atau kurang. Efek penyimpangan yang dialami oleh seseorang seringkali mengundang perhatian orang-orang yang ada di sekelilingnya, baik sesaat maupun berkelanjutan (Efendi, 2006: 2). Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang dimaksud penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik, dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental.

Meskipun kebanyakan penyandang cacat jelas memperlihatkan gangguan psikologi yang karena cacat tubuhnya, namun seberapa jauh daya rusaknya berbeda-beda dari satu orang ke orang yang lain dan amat bergantung pada beberapa faktor, lima diantaranya tergolong paling sering terjadi.

1. Parahnya cacat tubuh akan mempengaruhi seseorang dalam memandang cacatnya itu. Semakin besar kemungkinan cacat tubuhnya dapat ditutupi, maka orang tersebut merasa cukup aman dari pandangan orang lain, dan pengaruh psikologinya tidak begitu kentara.


(35)

2. Saat terjadi cacat tubuh maka akan mempengaruhi seseorang dalam membangun penyesuaian diri terhadap hal itu. Apabila cacat itu terjadi pada masa bayi atau setelah kelahiran, maka penyesuaian dirinya akan lebih baik dibandingkan dengan bila cacat itu terjadi saat usia yang cukup besar.

3. Seberapa jauh cacat seseorang sehingga mempengaruhi keseluruhan gerak-geriknya sangat mempengaruhi sikap orang tersebut. Misalnya orang yang buta atau lumpuh, jelas akan lebih terbatas gerakannya dibandingkan dengan anak yang tuli.

4. Apabila orang yang melihatnya tidak mampu menyembunyikan para bekas kasihannya, maka dalam diri penyandang cacat akan timbul perasaan mengasihani diri sendiri.

5. Sikap penyandang cacat terhadap cacatnya juga akan menimbulkan akibat pada cacatnya itu. Misalnya ada beberapa penyandang cacat yang dapat menerima bahwa dirinya cacat dan ada juga yang tetap berusaha meyakinkan dirinya tidak berbeda dari orang yang normal. (Hurlock, 1993: 135)

2.6 Tuna Rungu Wicara

2.6.1 Pengertian Tuna Rungu Wicara

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tuna rungu berarti tuli atau tidak dapat mendengar. Sementara itu, kata deaf menurut kamus bahasa inggris berarti kekurangan atau kehilangan sebagian atau seluruh pendengaran atau tidak mampu mendengarkan, sedangkan deafness berarti ketunarunguan yaitu cacat indera


(36)

pendengaran bawaan atau kehilangan pendengaran. Mufti Salim (dalam Depsos RI 2008: 14) mengatakan bahwa tuna rungu adalah anak yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.

Secara fisiologis, struktur telinga manusia dibedakan menjadi dua bagian yaitu organ telinga berfungsi sebagai penghantar dan organ telinga berfungsi sebagai penerima. Organ telinga berfungsi sebagai penggantap meliputi organ telinga yang terdapat di telinga bagian luar, telinga bagian tengah, dan sebagian telinga bagian dalam sedangkan organ telinga berfungsi sebagai penerima meliputi sebagian telinga bagian dalam, saraf pendengaran (auditory nerve), dan sebagian otak yang mengatur persepsi bunyi. Jika dalam proses mendengar tersebut terdapat satu atau lebih organ telinga bagian luar, organ telinga bagian tengah, dan organ telinga bagian dalam mengalami gangguan atau kerusakan disebabkan penyakit, kecelakaan, atau sebab lain yang tidak diketahui sehingga organ tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, keadaan tersebut dikenal dengan berkelainan pendengaran atau tunarungu. (Effendi, 2006: 56-57)

2.6.2 Jenis Tuna Rungu Wicara

Berdasarkan kriteria International Standart Organization (ISO) klarifikasi anak kehilangan pendengaran atau tuna rungu dapat dikelompokkan menjadi kelompok tuli (deafness) dan kelompok lemah pendengaran (hard of hearing).

Seseorang dikategorikan tuli (tunarungu berat) jika ia kehilangan kemampuan mendengar 70 dB atau lebih menurut ISO, sehingga akan mengalami kesulitan untuk


(37)

mengerti atau memahami pembicaraan orang lain walaupun menggunakan alat bantu dengar atau tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid). Sedangkan kategori lemah pendengaran, seseorang dikategorikan lemah pendengaran jika ia kehilangan kemampuan mendengar antara 35- 69 dB menurut ISO, sehingga mengalami kesulitan mendengar suara orang lain secara wajar, namun tidak terhalang untuk mengerti atau mencoba memahami bicara orang lain dengan menggunakan alat bantu dengar. (Kirk & Moores dalam Efendi, 2006: 59)

Jenis kecacatan rungu wicara berdasarkan hasil diteksi dapat dibedakan atas: 1. Menurut derajat kehilangan daya dengarnya :

a. Ringan

Kehilangan 15 - 30 desibel : Mild Hearing Losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap suara cakapan manusia normal.

b. Sedang

Kehilangan 31 - 60 desibel : Moderate Hearing Losses atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.

c. Berat

Kehilangan 61 - 90 desibel : Severe Hearing Losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.

d. Amat berat

• Kehilangan 91 - 120 desibel : Profound Hearing Losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara manusia tidak ada sama sekali.


(38)

• Kehilangan lebih dari 120 desibel : Total Hearing Losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

2. Menurut kerusakan pada telinga

a. Konduktif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh adanya kerusakan organ pendengaran yang terletak pada bagian penghantar gelombang suara (kerusakan telinga bagian luar atau telinga bagian tengah). Misalnya jika terjadi penumpukan kotoran di liang telinga yang berlebihan atau jika terjadi radang di dalam telinga tengah. Ketunarunguan Konduktif umumnya masih dapat disembunyikan secara medis.

b. Persertif yaitu ketunarunguan yang disebabkan oleh kerusakan organ pendengaran di telinga bagian dalam, di dalam rumah siput atau bagian saraf kedelapan, saraf penerima rangsangan suara yang akan meneruskannya ke surat saraf di otak. Ketunarunguan persertif pada umumnya tidak dapat disembuhkan secara medis.

3. Menurut penyebabnya a. Genetik

Cacat rungu bawaan merupakan cacat warisan orangtua karena faktor pembawa sifat keturunan (kromosom). Penyebab gangguan pendengaran pada anak, diperkirakan 50% kasus dari derajat sedang sampai berat, ditentukan secara genetik. Gangguan pendengaran genetik bawaan dapat disertai kelainan lain. Gangguan pendengaran dapat terjadi bersama kelainan bawaan telinga bagian luar dan mata, gangguan metabolik, tulang dan otot, kulit, ginjal dan sistem saraf. Anak dengan


(39)

orangtua yang menderita ketulian keturunan, mempunyai kemungkinan menderita gangguan pendengaran.

b. Non-genetik

1) Sebelum kelahiran

• Penyebab gangguan pendengaran sebelum lahir non-genetik terjadi pada

masa kehamilan terutama pada tiga bulan pertama. Setiap gangguan kelahiran yang terjadi pada masa tersebut dapat menyebabkan ketulian pada anak, seperti kekurangan gizi, infeksi bakteri, seperti campak dan parotitis

• Kelahiran prematur bila disebabkan oleh kekurangan oksigen, selain otak

akan mengalami luka, pendengaran pun mengalami kerusakan. Dalam kondisi demikian, dapat disimpulkan bahwa kelahiran prematur lebih mengakibatkan timbulnya penyakit telinga daripada penyakit lainnya.

• Bila wanita yang sedang mengandung tiga bulan terserang penyakit

campak atau cacar air, kemungkinan besar hal tersebut akan berdampak pada bayinya. Cacat yang ditimbulkan oleh penyakit campak kepada anak adalah 50% penyakit telinga, 20% penyakit mata dan 30% penyakit jantung.

2) Saat kelahiran

Beberapa keadaan yang dialami bayi pada saat lahir juga merupakan faktor risiko terjadinya gangguan pendengaran atau ketulian, seperti: lahir prematur (umur kelahiran kurang dari 37 minggu), berat badan lahir rendah (kurang dari 1.500 gram), tindakan dengan alat pada proses


(40)

kelahiran (ekstrasi vakum, forsep), hiperbilirubinemia dan aksifia berat atau lahir tidak menangis.

3) Setelah kelahiran

Radang selaput otak karena bakteri merupakan penyebab utama gangguan pendengaran yang di dapat pada masa anak, hal lainnya juga dapat disebabkan oleh obat-obatan yang bersifat menggangu pendengaran (ototoksik) yang digunakan selama lebih dari 5 hari, trauma kepala dan infeksi telinga tengah. Cacat lainnya disebabkan oleh penggunaan obat-obatan, penyakit, kecelakaan, kerusakan tulang tengkorak temporal (bagian belakang telinga), keracunan, kekurangan oksigen, kekurangan gizi, kelahiran tak normal, prematur berat badan bayi yang lahir kurang dari 1,5 kg.

4. Menurut jumlah telinga yang mengalami ketunarunguan:

a. Bilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran kedua telinga. b. Unilateral yaitu anak yang kehilangan fungsi pendengaran satu telinga. 5. Menurut umur saat terjadi ketunarunguan:

a. Pralingual (sebelum berbahasa) b. Postlingual (sesudah berbahasa)

2.6.3 Karakteristik Penyandang Tunarungu

Menurut Sastrawinata dkk (1977:13) perkembangan dan ciri khas anak tunarungu, antara lain:

1. Perkembangan pada segi fisik dan bahasa pada anak tunarungu, dalam segi fisik sebenarnya anak tunarungu tidak memiliki banyak hambatan walaupun


(41)

sebagian anak tunarungu yang terganggu keseimbangan karena ada hubungan antara kerusakan telinga bagian dalam dengan indera keseimbangan yang ada didalamnya. Demikian pula ada sebagian anak tunarungu yang perkembangan fisiknya terhambat akibat tekanan-tekanan jiwa yang dideritanya. Sebaliknya ketunarunguan jelas mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa, karena perkembangan bahasa banyak memerlukan kemampuan pendengaran; 2. Perkembangan intelegensi anak tunarungu, sangat dipengaruhi oleh

perkembangan bahasa sehingga hambatan perkembangan bahasa pada anak tunarungu menghambat perkembangan intelegensinya. Kerendahan tingkat intelegensi bukan berasal dari kemampuan intelektuilnya yang rendah, tetapi pada umumnya disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat kesempatan untuk berkembang;

3. Perkembangan emosi anak tunarungu, keterbatasan kecakapan berbahasa mengakibatkan kesukaran dalam berkomunikasi, dan akhirnya menghambat perkembangan emosi. Emosi berkembang karena pengalaman dalam komunikasi seorang anak dengan anak yang lain, orangtuanya dan orang-orang lain disekitarnya. Selain sebab kemiskinan bahasa anak tunarungu, yang mengakibatkan kedangkalan emosinya, juga sikap masyarakat dan kegagalan-kegagalan dalam banyak hal mengakibatkan emosi anak tunarungu menjadi tidak stabil;

4. Perkembangan kepribadian anak tunarungu, perkembangan kepribadian terjadi dalam pergaulan, atau perluasan pengalaman pada umumnya dan diarahkan oleh faktor-faktor anak sendiri. Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu ketidakmampuan menerima rangsang


(42)

pendengaran, kemiskinan berbahasa, ketidaktetapan emosi, dan keterbatasan intelegensi, dihubungkan dengan sikap lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan pribadinya.

2.7 Kerangka Pemikiran

Sebagai makhluk sosial yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, manusia senantiasa membutuhkan orang lain untuk hidup layak. Seorang bayi misalnya, tentu sangat memerlukan bantuan dan kasih sayang dari ibu dan ayahnya. Oleh karena itu, dalam berbagai aspek kehidupan, hubungan antar manusia merupakan suatu kebutuhan yang pokok untuk menunjang keberlangsungan hidup manusia. Kebutuhan itulah yang menimbulkan adanya suatu proses interaksi sosial.

Manusia bagaimanapun keadaaannya adalah makluk individu dan makluk sosial. Demikian pula anak tuna rungu, yang dalam penelitian ini merupakan warga binaan sosial di UPTD. Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Sesuai dengan kodratnya mereka senantiasa mengadakan interaksi dengan orang lain dan dalam pelaksanaannya dibutuhkan kontak dan komunikasi sosial. Dalam berinteraksi, tindakan mereka juga dipengaruhi faktor-faktor tertentu seperti imitasi, sugesti, identifikasi maupun simpati dari orang lain yang berada di lingkungan sekitar panti. Alat komunikasi yang mereka gunakan juga telah mereka sepakati, walaupun menggunakan komunikasi yang kompleks dan cenderung sulit untuk dipahami oleh orang normal. Begitupun, dalam arti sederhana mereka tetap dapat mengerti yang satu dengan yang lainya.

Kehilangan pendengaran pada anak memang sangat mengganggu perkembangan mental dan interaksi sosial mereka pada masa pertumbuhan. Padahal


(43)

kemampuan berkomunikasi merupakan saluran yang sangat penting dalam belajar, bermain dan membangun hubungan dengan orang lain. Tak jarang, mereka cenderung terisolasi dari lingkungan sosial. Gangguan pendengaran dan penggunaan bahasa atau gerak isyarat dalam berkomunikasi sepetinya telah membentuk dunia mereka sendiri, walaupun mereka berada di dalam lingkungan sosial yang luas sekalipun.


(44)

Bagan Alir Pikir

UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia

Tuna Rungu

Wicara

Faktor Berlangsungnya

Interaksi :

• Imitasi

• Sugesti

• Identifikasi

• Simpati

Komunikasi Sosial :

• Bahasa verbal (lisan dan tulisan)

• Bahasa non-verbal (ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh dan postur, dan sentuhan)

Kontak Sosial :

• Kontak sosial positif

• Kontak sosial negatif

• Kontak sosial primer

• Kontak sosial sekunder

Pola Interaksi Sosial


(45)

2.8 Definisi Konsep dan Definisi Opersional 2.8.1 Definisi Konsep

Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Dengan kata lain, definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian. (Siagian, 2011: 138)

Konsep penelitian bertujuan untuk merumuskan istilah dan medefinisikan istillah-istilah yang digunakan secara mendasar agar tercipta persamaan persepsi dan tidak muncul salah penertian pemakaian istilah yang dapat mengaburkan tujuan penelitian. Untuk memperjelas penelitian ini, maka peneliti membatasi memberikan batasan pengertian sebagai berikut :

1. Pola interaksi adalah bentuk-bentuk dalam proses terjadinya interaksi. 2. Interaksi Sosial adalah hubungan timbal-balik antar manusia yang saling

mempengaruhi, dimana ada aksi dan ada juga reaksi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.

3. Kontak Sosial adalah hubungan antara satu pihak dan pihak lain yang merupakan awal terjadinya interaksi sosial, namun tidak selalu berarti terwujud pada sentuhan fisik.

4. Komunikasi Sosial adalah suatu proses penyampaian pesan dan informasi dari satu orang kepada lainnya yang dapat diwujudkan dengan bahasa verbal (lisan dan tulisan) dan bahasa non-verbal (ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh dan postur, dan sentuhan)

5. Tuna Rungu Wicara adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau


(46)

tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengarannya dan

ketidakmampuan oral dalam berbicara sebagaimana orang secara umum.

2.8.2 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah suatu proses menjadikan variabel penelitian dapat diukur sehingga terjadi transformasi dari unsur konseptual ke dunia nyata (Siagian, 2011: 142). Oleh karena itu, untuk memudahkan peneliti dalam memahami dan menggambarkan variabel dalam penelitian ini, maka penulis menetapkan indikator-indikator yang akan digunakan dalam penelitian sebagai berikut :

a) Kontak sosial

• Kontak sosial positif, apakah hubungan antara kedua belah pihak

terdapat saling pengertian atau di samping itu, juga menguntungkan masing-masing pihak tersebut.

• Kontak sosial negatif, apakah hubungan antara kedua belah pihak

tidak melahirkan saling pengertian atau mungkin merugikan masing-masing atau salah satu, sehingga mengakibatkan pertentangan atau perselisihan.

• Kontak sosial primer, apakah pihak-pihak yang mengadakan

hubungan langsung bertemu dan berhadapan muka.

• Kontak sosial sekunder, apakah pihak-pihak yang mengadakan

hubungan tidak bertemu secara langsung, melainkan melalui perantara.


(47)

• Komunikasi verbal:

 Bahasa lisan

 Bahasa tulisan

• Komunikasi non-verbal:

 Ekspresi wajah

 Kontak mata

 Gerak tubuh dan postur

 Sentuhan

c) Faktor berlangsungnya interaksi sosial

• Imitasi

• Sugesti

• Identifikasi


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tipe Penelitian

Adapun tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan obyek atau fenomena yang diteliti (Siagian, 2011:52). Melalui penelitian deskriptif, peneliti akan menggambarkan tentang bagaimana pola interaksi sosial tuna rungu wicara yang menerima layanan sosial di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan.

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia yang beralamat di Jalan Sisingamangaraja no. 68 Keluraha Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Peneliti memilih lokasi ini sebagai lokasi penelitian karena lokasi ini merupakan satu-satunya Unit Pelaksana Teknis yang menangani masalah pemandang cacat tuna rungu wicara dan berada di bawah naungan Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara. Selain itu, UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia ini juga memberikan fasilitas asrama, pendidikan dan keterampilan yang berada dalam lokasi yang berdekatan yang memudahkan peneliti melakukan observasi langsung dalam setiap kegiatan mereka sehari-hari.


(49)

3.3 Unit Analisis

Adapun yang menjadi unit analisis atau objek kajian dalam penelitian ini adalah warga binaan sosial tuna rungu wicara UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar sebanyak 12 orang, yang telah menguasai kemampuan baca-tulis (kelas B dan C dalam pendidikan belajar di UPTD tersebut)

3.4 Informan

Informan adalah orang yang dapat memberikan keterangan atau informasi mengenai masalah yang sedang diteliti dan dapat berperan sebagai nara sumber selama proses penelitian (Moleong, Miles, dalam Mantra, 2004). Informan kunci dalam penelitian ini adalah pengawas asrama putra dan pengawas asrama putri UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Guna mendapatkan data yang diperlukan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data melalui buku-buku, dokumentasi, dan sumber referensi lainnya yang berkenaan dengan masalah yang diteliti

2. Penelitian lapangan yaitu mengadakan penelitian ke lokasi untuk mendapatkan data yang lengkap sesuai dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian lapangan ini, digunakan beberapa metode, yaitu:

a. Observasi, yaitu mengumpulkan data tentang gejala-gejala tertentu yang dilakukan dengan mengamati, mendengar, dan mencatat kejadian


(50)

yang menjadi sasaran penelitian. Peneliti telah menetapkan bahwa teknik observasi ini adalah alat pengumpul data sekunder, mengingat kendala fisik responden dalam hal pendengaran dan komunikasi.

b. Wawancara, yaitu mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan secara tatap muka dengan responden yang bertujuan untuk melengkapi data yang diperoleh. Teknik ini merupakan alat pengumpul data primer yang akan digunakan untuk memperoleh data yang diinginkan peneliti dari responden. Untuk itu, peneliti akan menggunakan penerjemah dalam pengumpulan data.

c. Kuesioner, yaitu mengumpulkan data dan informasi dengan cara menyebar daftar pertanyaan yang akan dijawab oleh responden sehingga peneliti memperoleh data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian (Siagian, 2011 : 207). Teknik ini merupakan alat pengumpul data primer yang akan digunakan untuk memperoleh data yang diinginkan peneliti dari responden.

3.6 Teknik Analisis Data

Teknik analisa data pada penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan mengkaji data yang dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber data yang terkumpul dan kemudian dinarasikan sebagai hasil penelitian.

Adapun teknik analisa data yang digunakan peneliti adalah model penelitian kualitatif versi Miles dan Huberman, dengan menggunakan model alis dan model


(51)

interaktif. Menurut Usman dan Akbar (2011: 85-87) ada beberapa cara untuk menganalisis data kualitatif penelitian, yang secara garis besar adalah sebagai berikut:

a. Reduksi data, diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan lapangan dimana data yang didapatkan di lapangan langsung diketik atau ditulis dengan rapi serta sistematis setiap selesai mengumpulkan data. Laporan harus dianalisis sejak dimulainya penelitian. Laporan-laporan itu kemudian direduksi, yaitu dengan memilih hal-hal pokok yang sesuai dengan fokus penelitian. Data data yang telah direduksi memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan dan mempermudah peneliti untuk mencarinya jika sewaktu-waktu diperlukan. b. Display data, ialah menyajikan data dalam bentuk matriks, network, chart

atau grafik dan sebagainya. Penyajian data digunakan untuk mendeskripsikan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan tindakan. Fungsinya agar peneliti dapat menguasai data dan tidak terbenam dengan setumpuk data. c. Pengambilan keputusan dan verifikasi merupakan kegiatan di akhir

penelitian kualitatif, yaitu mencari pola, model, tema hubungan, persamaan, hal-hal yang sering muncul, hipotesis dan sebagainya. Dari data-data tersebut diambil kesimpulan. Kesimpulan yang kabur lama-kelamaan akan semakin jelas, lalu dilakukan verifikasi dengan mengumpulkan data baru.


(52)

BAB IV

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Berdirinya Lembaga

Pada tahun 1958 oleh Perkebunan Siantar Estate memberikan sebidang tanah kepada Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara/Dinas Sosial Daerah Tingakat II Kabupaten Simalungun guna mendirikan Panti Sosial dengan tujuan dapat menampung para penyandang masalah social terutama para Lanjut Usia yang sudah pensiun dari perkebunan Siantar Estate. Luas arealnya 20.000 m2

Pada tahun 1987 berdiri Panti Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara Panghobopon Bani Nalongah yang berlokasi di Jalan Sisingamangaraja Nomor 68 Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kota Madya Pematang SIantar. Luas areal 36.500 M2. Panti ini merupakan salah satu UPT Kantor Wilayah Departemen Sosial Provinsi Sumatera Utara yang melayani Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara. Wilayah kerjanya meliputi Provinsi Sumatera Utara, Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi (Sumbagut).

. Lokasinya di jalan Sisingamangaraja Kelurahan Bah Kapul Kecamatan Siantar Martoba Kodya Pematang Siantar.Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 1987 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Sosial Tingkat I Sumatera Utara status Panti Karya Bah Kapul berubah menjadi Panti Jompo/Lanjut Usia.

Berdasarkan Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 3 Tahun 2001 Tanggal 31 Juli 2001 kedua panti tersebut di atas digabung menjadi satu panti yaitu Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Harapan Teratai Bah Kapul ini merupakan salah


(53)

satu Unit Pelaksana Teknis Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara yang mempunyai tugas dan fungsi memberikan pelayanan terhadap :

a) Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara b) Lanjut Usia Terlantar.

Berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 33 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi UPT pada Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara UPTD Harapan teratai Bah Kapul Pematang Siantar berubah nama menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar.

4.2 Visi dan Misi

Adapun yang menjadi visi dan misi dari Dinas Kesejahteraan Sosial Provinsi Sumatera Utara, yaitu :

a. Meningkatkan Pelayanan Sosial bagi Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS).

b. Meningkatkan sumber daya manusia yang profesional di bidang

kesejahteraan sosial.

c. Meningkatkan keterjangkauan dan mutu pelayanan sosial.

d. Meningkatkan persan serta dan kepedulian masyarakat terhadap

penyelenggaraan pelayanan sosial dasar.

e. Meningkatkan fasilitas dan koordinasi pembangunan kesejahteraan sosial. f. Melestarikan nilai-nilai keperintisan, kepahlawanan dan kejuangan.

g. Meningkatkan upaya pengurangan resiko bencana.


(54)

UPT pelayanan sosial tuna rungu wicara dan lansia pematang siantar merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara, yang mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pelayanan sosial kepada Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara dan Lansia (Werda), berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Utara No.33 Tahun 2010 (tentang struktur organisasi, tugas dan fungsi UPT Dinas Kesejahteraan dan Sosial Sumatera Utara). UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia berdomisili di Jl.Sisingamangaraja No. 68 Pematang Siantar Sumatera Utara (Jl. Lintas menuju kotawisata Parapat).

4.3.1 Dasar Hukum

1. UUD RI No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak 2. UUD RI no. 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat

3. UUD RI no. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia

4. UUD no. 43 Tahun 1998 tentang upaya peningkaatan kesejahteraan penyandang cacat

5. UUD RI no. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah 6. UUD RI no. 11 Tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial

7. PPRI no. 32 Tahun 2004 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat

8. PPRI no. 43 Tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraansosial lanjut usia

9. KEMENSOS RI no. 59/HUK/2003, tentang organisasi dan tata kerja panti sosial


(55)

10.PERDA/PROVSU no. 3 Tahun 2001, tentang dinas-dinas daerah SumateraUtara

11.KEP.GUBERNUR SUMATERA UTARA no.061.297/K Tahun 2002 tentang tugas, fungsi dan tata kerja dinas sosial serta organisasi dan tata kerja UPTD Sumatera Utara

12.Peraturan Gubernur no. 33 tahun 2010 tentang struktur organisasi, tugas, fungsi UPT pada Dinas Kesejahteraan dan Sosial Provinsi Sumatera Utara

4.3.2 Sasaran Garapan

A. Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara, dengan kriteria:

1. Usia 15-35 tahun

2. Tidak menderita cacat ganda dan penyakit menular

3. Belum menikah

4. Bersedia di asramakan dengan lama pembinaan maksimal 3 tahun

5. Membawa surat pengantar pemerintah setempat (domisili)

B. Lanjut Usia, dengan kriteria:

1. Usia 60 tahun ke atas

2. Tidak menderita penyakit menular

3. Sehat jasmani dan rohani


(56)

4.3.3 Struktur Organisasi

Struktur organisasi diperlukan untuk membedakan batas-batas wewenang dan tanggung jawab secara sistematis yang menunjukkan adanya hubungan/keterkaitan antara setiap bagian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Demi tercapainya tujuan umum suatu instansi diperlukan suatu wadah untuk mengatur aktivitas maupun kegiatan instansi. Pengaturan ini dihubungkan dengan pencapaian tujuan instansi yang telah ditetapkan sebelumnya. Wadah tersebut disusun dalam suatu struktur organisasi dalam instansi. Melalui struktur organisasi yang baik, pengaturan pelaksanaan pekerjaan dapat diterapkan, sehingga efisiensi dan efektivitas kerja dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan koordinasi yang baik sehingga tujuan instansi dapat dicapai.

KEPALA UPT

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL (PEKERJA SOSIAL)

KASUB. BAG TATA USAHA


(57)

Kepala UPT

Adapaun uraian tugas dari Kepala Unit Pelaksana Teknis, adalah :

a. Menyelenggarakan pembinaan, bimbingan, arahan dan penegakan disiplin

pegawai di lingkungan dinas.

b. Menyelenggarakan pembinaan, sinkronisasi dan pengendalian

pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dinas.

c. Menyelenggarakan penetapan perencanaan dan program kegiatan dinas,

sesuai ketentuan yang berlaku.

d. Menyelenggarakan pengkajian dan menetapkan pemberian dukungan

tugas atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah di bidang kesejahteraan dan sosial.

e. Menyelenggaraan fasilitasi penyelenggaraan program potensi sumber

kesejahteraan sosial, pemberdayaan sosial, pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial.

f. Menyelenggarakan koordinasi dan kerjasama dengan instansi/lembaga

terkait.

g. Menyelenggarakan pengkoordinasian penyusunan tugas-tugas teknis serta

evaluasi pelaporan yang meliputi kesekretariatan, potensi sumber kesejahteraan sosial, pelayanan dan rehabilitasi sosial, bantuan dan jaminan sosial.

h. Menyelenggarakan penetapan penyusunan standar, norma-norma dan

kriteria-kriteria sesuai ketentuan yang berlaku.

i. Menyelenggarakan koordinasi kegiatan teknis dalam rangka


(58)

j. Menyelenggarakan koordinasi kegiatan dengan dinas/lembaga kesejahteraan dan sosial lintas Kabupaten/Kota.

k. Menyelenggarakan tugas lain, yang diberikan Gubernur sesuai tugas dan

fungsinya.

Pekerja Sosial Fungsional

Adapun yang menjadi tugas dari pekerja sosial fungsional adalah : 1. Membuat kurikulum pembelajaran warga binaan sosial 2. Menyusun jadwal pembelajaran warga binaan sosial 3. Menyusun rancangan dan istrumen asesmen

4. Menyusun rencana bimbingan fisik, keterampilan, sosial, psikososial, advokasi

5. Pendampingan bimbingan pengetahuan dasar, bahasa isyarat, dan bimbingan keterampilan

6. Melaksanakan bimbingan sosial, psikososial, dan advokasi 7. Pembahasan kasus

8. Supervise pelaksanaan tugas

9. Evaluasi dan pembuatan laporan kegiatan

Sub Bag Tata Usaha

Adapun yang menjadi tanggung jawab Sub bag tata usaha, meliputi : 1. Melaksanakan surat menyurat

2. Pengusulan kenaikan pangkat, gaji berkala, dan pensiunan 3. Mutasi pegawai


(59)

4. Melakukan pembayaran air, listrik, dan telepon 5. Mengurus gaji pegawai, honor daerah, honor lepas 6. Memelihara sarana dan prasarana

7. Pembinaan pegawai apel pagi dan sore, upacara hari kesadaran nasional 8. Menginventarisasi barang

4.3.4 Sarana dan Prasarana Panti

UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar memiliki luas areal 56.500 m, yang terdiri dari :

No Nama Bangunan Luas Jumlah

1 Kantor 312 m2 1 unit

2 Aula 392 m2 1 unit

3 Mess 200 m2 5 unit

4 Wisma I 48 m2 1 unit

5 Wisma II,III 72 m2 2 unit

6 Ruang keterampilan pertukangan

kayu

184 m2 1 unit

7 Ruang keterampilan menjahit, salon 147 m2 1 unit

8 Ruang pendidikan I 100 m2 1 unit

9 Ruang pendidikan II 216 m2 1 unit

10 Ruang pendidikan III 48 m2 1 unit

11 Dapur dan ruang makan 213 m2 1 unit

12 Garasi/Gudang 340 m2 1 unit


(60)

14 Asrama putri WBS Rungu Wicara 110 m2 1 unit

15 Asrama WBS Lanjut Usia I,II,III 74 m2 1 unit

16 Rumah Dinas Kepala 74 m2 1 unit

17 Ruang kesehatan/poliklinik 100 m2 1 unit

18 Ruang perawatan 30 m2 2 unit

19 Pos jaga 9 m2 1 unit

4.4 Tata Cara Penanganan Tuna Rungu Wicara

Warga binaan social (wbs) tuna rungu wicara sejumlah 22 orang, terdiri dari 8 orang laki-laki dan 14 orang perempuan. Proses pelayanan dilakukan dengan beberapa tahap, yakni :

1. Pendekatan awal

a. Sosialisasi program

b. Registrasi pendaftaran calon wbs rungu wicara (mengisi formulir) c. Membuat kontrak kerja dengan keluarga dan calon wbs

d. Menerima dan penempatan calon wbs ke asrama e. Orientasi calon wbs di UPT

2. Asesmen

a. Menyusun instrument asesmen b. Mengisi formulir asesmen

c. Analisa tingkat kemampuan fisik, vocational, sosial, mental dan psikososial


(61)

e. Menentukan fokus masalah

f. Penempatan wbs ddalam kelas pembelajaran pengetahuan dasar dan keterampilan

3. Perencanaan Pelayanan Sosial a. Menetapkan tujuan pelayanan

b. Pengelompokan wbs pada jenis program pelayanan berdasarkan rekomendasi asesmen

c. Membuat jadwal pelayanan

d. Menyusun materi pengetahuan dasar, bimbingan fisik, keterampilan, sosial, psikososial dan advokasi

4. Pelaksanaan Program Pelayanan Sosial

a. Pemberian pengetahuan dasar dan bahasa isyarat kelas A1. Jumlah 8 orang

b. Pemberian pengetahuan dasar dan bahasa isyarat wbs tuna rungu wicara kelas C. sejumlah 10 org

c. Pemberian bimbingan fisik (wbs tuna rungu wicara main volley, tenis meja, senam, jalan santai, bulu tangkis dan sepak bola)

d. Bimbingan mental agama islam dan Kristen

• Bimbingan agama islam (hari jumat)

• Bimbingan agama Kristen (hari jumat)

• Ibadah dilaksanakan di dekat UPT. Mesjid Sibatu-batu, Gereja di

Jl. Bali

• Merayakan Natal bersama di Aula UPT


(62)

e. Bimbingan social (Peksos dengan wbs tuna rungu wicara) f. Bimbingan keterampilan menjahit dan border

g. Bimbingan keterampilan salon

h. Bimbingan keterampilan pertukangan kayu

i. Kegiatan lain: melaksanakan perayaan HUT Kemerdekaan RI ke 66 j. Melaksanakan evaluasi pengetahuan dasar, bahasa isyarat, keterampilan

dan mental wbs tuna rungu wicara k. Terminasi :

Terminasi bagi wbs lanjut usia dilaksanakan karena meninggal dunia

Terminasi bagi wbs rungu wicara dilaksanakan setelah 3 tahun mengikuti pelayanan sosial di panti.

4.5 Tuna Rungu Wicara

Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak. Penyandang Cacat Rungu Wicara adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada alat pendengaran dan bicara sehingga tidak dapat melakukan fungsinya secara wajar.


(63)

BAB V ANALISIS DATA 5.1 Karakteristik Umum Responden

Dalam bab ini, penulis akan menyajikan data yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan melalui observasi, penyebaran kuesioner serta wawancara kepada responden dan informan. Kuesioner tersebut diisi oleh keseluruhan unit analisis data yang sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya pada bab Metode Penelitian, bahwa unit analisis data dalam penelitian ini berjumlah 12 orang dan merupakan warga binaan social tuna rungu-wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Pengambilan data yang telah dilakukan bertujuan untuk menggambarkan ataupun mendeskripsikan berbagai aktivitas dan bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar sesama warga binaan social tuna rungu-wicara dan terhadap orang lain yang berada di sekitar lingkungan panti. Agar tujuan penelitian ini tercapai, maka diperlukan data yang valid dan benar-benar terjamin keabsahannya berdasarkan observasi dan pengalaman yang telah dialami oleh keseluruhan unit analisis data.

Sebelum melakukan analisis dan mengevaluasi data maka terlebih dahulu akan dijelaskan beberapa data mengenai karakteristik umum responden baik menerut jenis kelamin, umur, suku bangsa, agama dan pendidikan. Hal ini nantinya akan dipergunakan untuk memberikan gambaran yang lebih jauh mengenai hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial tuna rungu-wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar.


(64)

5.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Diagram 5.1

Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Sumber: Hasil Kuesioner peneliti tahun 2013

Berdasarkan pada diagram 5.1 diatas, dapat dilihat bahwa respoden perempuan lebih banyak dibandingkan dengan responden laki-laki, dimana frekuensi responden perempuan sebanyak 7 orang (58,33%) sedangkan frekuensi sebanyak 5 orang (41,66%). Dari hasil observasi yang dilakukan peneliti, hal ini cenderung disebabkan karena responden perempuan lebih berminat dalam pelajaran dan mau menerima pelajaran yang diberikan kepada mereka, sehingga responden perempuan tergolong lebih cepat untuk naik kelas, yang disesuaikan dengan kemampuan mereka masing-masing. Oleh karena itu, kelas B dan kelas C dalam pendidikan belajar di UPT Pelayanan Sosial ini, didominasi oleh responden perempuan.

0 2 4 6 8 10 12

Laki-Laki Perempuan

Persentase 41,66% 58,33%

Frekuensi 5 7

5 7 41,66% 58,33% Jum la h R e spo nde n Persentase Frekuensi


(1)

BAB VI PENUTUP 6.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis data yang dijelaskankan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar:

1. Pola atau bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sosial tuna rungu wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar adalah kerjasama dan pertentangan (conflict). Bentuk interaksi sosial kerjasama terwujud dalam aktivitas belajar bersama, kegiatan ketetampilan, dan kegiatan kebersihan lingkungan. Sementara bentuk interaksi sosial pertentangan (conflict) terwujud dalam aktivitas berkelahi.

2. Tingkat intensitas komunikasi warga binaan sosial tuna rungu wicara dengan orang normal di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar ini masih sangat kurang. Ada kecenderungan untuk membatasi diri, baik oleh warga binaan tuna rungu wicara maupun orang normal di lingkungan sekitar panti untuk berhubungan dan berinteraksi dalam kehidupan sosial antara keduanya.

3. Seluruh responden menggunakan kombinasi antara bahasa verbal dan bahasa non-verbal dalam interaksi sosial sehari-hari antar sesama tuna rungu wicara di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar. Bahasa verbal yang umum mereka gunakan adalah teriakan. Sementara itu, semua saluran komunikasi non-verbal yaitu


(2)

ekspresi wajah, kontak mata, gerak tubuh dan sentuhan merupakan bentuk saluran komunikasi yang selalu mereka gunakan dalam berinteraksi. Setiap warga binaan tuna rungu wicara, pegawai dan staff di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar serta orang lain yang mereka kenal memiliki nama isyarat khusus. Nama dalam bentuk bahasa isyarat tersebut disesuaikan oleh warga binaan tuna rungu wicara dengan ciri khas, kebiasaan, suatu tanda tertentu di wajah ataupun bentuk tubuh orang yang dimaksudkan.

4. Tingkat kemampuan bahasa dan komunikasi responden baik secara lisan maupun tulisan, masih tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh pola susunan kalimat yang dituliskan responden pada kuesioner penelitian sangat tidak beraturan, belum adanya program atau kegiatan bina wicara, serta tingkat intensitas responden yang rendah dalam membaca buku, majalah, ataupun surat kabar.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian yang dikemukakan, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar khususnya petugas asrama dan pekerja sosial untuk lebih sering mengamati serta memberikan bimbingan konseling dan perilaku kepada warga binaan tuna rungu wicara, agar perkelahian antar sesama tuna


(3)

2. Diharapkan kepada UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar terutama bagi pegawai, staff maupun pekerja sosial yang tinggal di lingkungan asrama untuk lebih berbaur dan lebih meningkatkan intensitas interaksi dan komunikasi dengan warga binaan tuna rungu wicara. Hal ini dimaksudkan dengan tujuan untuk memaksimalkan kemampuan warga binaan sosial tuna rungu wicara dalam berinteraksi dengan orang normal.

3. Diharapkan kepada UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematangsiantar untuk mengaktifkan kembali fasilitas perpustakaan yang ada serta mengupayakan ketersediaan buku-buku bacaaan yang sesuai dengan tingkat kemampuan bahasa masing-masing warga binaan tuna rungu wicara. Atau bila perlu, ada baiknya bila dilaksanakan program atau kegiatan bina wicara bagi mereka.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: RINEKA CIPTA Basrowi. 2005. Pengantar Sosiologi. Bogor: GHALIA INDONESIA Browne, Ken. 2008. SOCIOLOGI for AS AQA. Cambridge: Polity Press

Depsos RI. 2008. Pedoman Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Anak dengan Kecacatan Rungu Wicara. Jakarta

Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Hurlock, B Elisabeth. 1993. Perkembangan Anak. Jakarta: PT Gelora Aksara Pratama Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian & Metode Penelitian Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyana, Deddy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA

Narwoko, J Dwi & Suyanto, Bagong. 2007. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan.

Jakarta: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP

Nasution, Sri Mulyani. 2006. Kumpulan Materi Kuliah Psikologi Sosial. Medan. Sastrawinata, Emon dkk. 1977. Pendidikan Anak-Anak Tunarungu. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Siagian, Matias. 2011. Metode Penelitian Sosial. Medan: PT. Grasindo Monoratama Soekanto, Soerjono. 2009. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


(5)

Sumber lain :

http://id.wikipedia.org/wiki/Interaksi_sosial Diakses pada tanggal 30 Mei 2013, pukul 14:10

15 Desember 2013 pukul 20:05

2013 pukul 20:08

Diakses pada tanggal 17 Desember 2013 pukul 17:03

Diakses pada tanggal 15 Juni 2013 pukul 13.00

ejournal.unesa.ac.id/article/3358/15/article.pdf Diakses pada tanggal1november 2013 pukul 01:01

November 2013 pukul 01:04


(6)

CURRICULUM VITAE ( Daftar Riwayat Hidup ) DATA PRIBADI

Nama :Surya Darma Putra Pakpahan Jenis kelamin :Laki-laki

Tempat, tanggal lahir :Pematangsiantar, 18 Juli 1990 Kewarganegaraan :Indonesia

Status perkawinan :Belum Kawin Tinggi, berat badan :168 cm, 57 kg Kesehatan :Baik

Agama :Kristen Protestan

Alamat lengkap :Jl. Medan km 6,5 Pematangsiantar Telepon, HP :085277165xxx

E-mail :pakph90@gmail.com

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

» Formal

1996 - 2002 :SD RK 7 Pematangsiantar 2002 - 2005 :SMP Negeri 1 Pematangsiantar 2005 - 2008 :SMU Negeri 3 Pematangsiantar

2008 - 2014 :Program Sarjana (S-1) Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Sumatera Utara

» Non Formal

1998 - 1999 :Kursus Bahasa Inggris di KHALSA,Pematangsiantar

Denpasar, Januari 2014 Hormat saya,

(tanda tangan) Surya D P Pakpahan


Dokumen yang terkait

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

3 95 103

Efektivitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Penyandang Cacat Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar

8 67 136

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 8 151

Implementasi Sistem Pelayanan Penyandang Disabilitas Tuna Rungu Wicara dalam Mencapai Kemandirian di UPTD Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Kecamatan Siantar Sitalasari Kota Pematangsiantar

2 25 147

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 15

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 8

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 1 30

Efektivitas Program Pelayanan Sosial bagi Perkembangan Biopsikososial Spiritual Remaja Tuna Rungu Wicara di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lansia Pematang Siantar

0 0 2

Strategi Pekerja Sosial dalam Pelayanan Anak Tuna Rungu Wicara (Studi Kasus di UPT Pelayanan Sosial Tuna Rungu Wicara dan Lanjut Usia Pematang Siantar)

0 0 12