REFLEKSI KONDISI PERIKANAN ACEH UNTUK ME

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS SYIAH KUALA REFLEKSI KONDISI PERIKANAN ACEH UNTUK MENATA DAN MENYONGSONG MASA DEPAN YANG GEMILANG

PIDATO PENGUKUHAN Dalam Jabatan Guru Besar

Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala

Disampaikan pada Rapat Senat Terbuka Universitas Syiah Kuala di Gedung Academic Activity Center Prof. Dr. Dayan Dawood, MA

Selasa, 24 Februari 2015

Oleh :

Prof. Dr. Muchlisin Z.A., S.Pi, M.Sc

Darussalam, Banda Aceh Februari 2015

REFLEKSI KONDISI PERIKANAN ACEH UNTUK MENATA DAN MENYONGSONG MASA DEPAN YANG GEMILANG

Oleh: Muchlisin Z.A.

Pidato Pengukuhan dalam Jabatan Guru Besar Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala di Gedung AAC Prof. Dr. Dayan Dawood, MA. Kampus Universitas Syiah Kuala Selasa, 24 Februari 2015

Bismillahirrahmanirarrahim Assalamualikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillahhirabbil ‘alamin, wassalatu wassalamu ‘ala asrafil ambiyaii walmursalin, syaIidina muhammadin wa’alaalihi waashabihi ajmain. Rabbisyrahli shadri wayassirli amri wahlul ‘uqdatan mil lisani yafqahu qauli.

Yang terhormat: Ketua and para anggota senat serta Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Rektor dan para Pembantu Rektor, para Dekan, dosen serta Staf Adminstrasi Universitas Syiah Kuala, Ketua beserta Anggota Dewan Penyantun Universitas Syiah Kuala; Jajaran Muspida Aceh, Para Rektor dan Pimpinan Perguruan Tinggi dan fakultas yang hadir,

Para tamu undangan khusus dan hadirin yang saya muliakan.

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya kita telah diberi kesempatan dan kesehatan untuk kita semua sehingga dapat hadir dalam forum ilmiah ini. Salawat dan salam kita sampaikan pula kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita ke alam ilmu pengetahuan dan akhlakul karima. Hadirin dan Hadirat yang mulia

Sektor perikanan merupakan salah satu sektor terpenting bagi pemerintah dan masyarakat Aceh, diperkirakan lebih kurang 55% masyarakat Aceh mengantungkan hidup baik secara langsung maupun tidak langsung pada sektor ini (Yusuf, 2003). Provinsi Aceh memiliki luas wilayah lebih

kurang 57.366 km 2 atau setara dengan 12.3% luas Pulau Sumatra. Provinsi ini berbatasan langsung dengan Selat Malaka di bagian timur, Lautan Hindia di Barat, Selat Benggala dan Laut Andaman di

Utara serta dengan Provinsi Sumatera Utara di Selatan. Provinsi Aceh memiliki garis pantai sepanjang lebih kurang 2.310 km dengan perairan teretorial seluas lebih kurang 295.370 km 2 termasuk 238.807

km 2 perairan zona ekonomi ekslusif (ZEE) dengan sekurang-kurangnya 119 buah pulau. Disamping perairan lautnya, Provinsi Aceh juga memiliki potensi di perairan umum darata (PUD), sekurang-

kurangnya terdapat 73 sungai-sungai besar, rawa gambut (misalya Rawa Singkil , Rawa Tripa dan Rawa Kluet ) dan danau (Danau Laut Tawar dan Danau Aneak Laot).

Pada perairan umum daratan (PUD), Provinsi Aceh memiliki potensi yang tidak kalah besarnya, Muchlisin and Siti-Azizah (2009) mencatat sekurangnya terdapat 114 species ikan air tawar dan payau (Muchlisin, 2013) dan Rudi et al. (2009) mencatat 450 spesies ikan karang dan 120 spesies karang ada di perairan Aceh (Rudi et al., 2012). Lebih lanjut laporan terkini dari Muchlisin et al. (2015) bahwa terdapat lebih kurang 73 species ikan dari kawasan rawa gambut Tripa, dari jumlah tersebut hampir 50% diantaranya diantaranya memiliki nilai ekonomis dan berpotensi dijadikan ikan target budidaya baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias. Diantara ikan air tawar dan payau yang Pada perairan umum daratan (PUD), Provinsi Aceh memiliki potensi yang tidak kalah besarnya, Muchlisin and Siti-Azizah (2009) mencatat sekurangnya terdapat 114 species ikan air tawar dan payau (Muchlisin, 2013) dan Rudi et al. (2009) mencatat 450 spesies ikan karang dan 120 spesies karang ada di perairan Aceh (Rudi et al., 2012). Lebih lanjut laporan terkini dari Muchlisin et al. (2015) bahwa terdapat lebih kurang 73 species ikan dari kawasan rawa gambut Tripa, dari jumlah tersebut hampir 50% diantaranya diantaranya memiliki nilai ekonomis dan berpotensi dijadikan ikan target budidaya baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias. Diantara ikan air tawar dan payau yang

Pada orasi ini saya ingin mengupas beberapa isu terkini dalam dunia perikanan secara umum yang terjadi baik ditingkat lokal Provinsi Aceh dan nasional yang saya anggap penting untuk kita perbincangkan dan saya juga mencuba mengajukan beberapa pemikiran-pemikiran untuk mengatasi permasaalahan yang ada baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang sehingga kita dapat menata masa depan yang lebih baik lagi dimasa depan.

Isu yang pertama adalah:

Kemiskinan Nelayan dan Pendidikan Rendah

Sudah menjadi persepsi umum bahwa nelayan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan melaporkan bahwa tingkat pendidikan nelayan di Aceh sebagian besar (40-55%) adalah lulusan Sekolah Dasar (SD) (Muchlisin et al. , 2013; Mussawir, 2009). Sebagai gambaran bahwa, hasil penelitian kami tahun 2012 (Muchlisin et al. , 2012) di Aceh Besar menunjukkan bahwa pendapatan nelayan Aceh Besar berkisar Rp 33.000,- s/d Rp 1.500.000,- dan umumnya nelayan kecil mendapatkan pendapatan lebih kecil berbanding nelayan besar dan sebagian besar nelayan di Aceh tergolong sebagai nelayan kecil dengan armada tangkap kurang dari 5GT.

Kemiskinan dan Pendidikan, ibarat dua keping mata uang, sulit untuk dipisahkan, dan sulit juga untuk menentukan yang mana mempengaruh mana, apakah karena nelayan miskin sehingga tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang baik, ataukah karena pendidikan rendah menyebabkan mereka sulit keluar dari kemiskinan?. Namun demikian kami menyakini tingkat pendidikan yang lebih baik dapat merubah pola dan cara berpikir sehingga mudah beradaptasi dengan perkembangan teknologi perikanan terkini dengan demikian mereka dapat mengoptimalkan cara menangkap atau membudidaya ikan, menangani hasil produksi, member nilai tambah pada hasil sampai kepada pengelolaan pendapatan yang dihasilkan. Oleh karena itu peluang dan kesempatan pendidikan bagi keluarga nelayan atau petani ikan khususnya bagi anak-anak nelayan harus menjadi prioritas pemerintah termasuk lembaga pendidikan.

Pemerintah dalam hal ini Dikti telah menyediakan banyak beasiswa salah satunya adalah beasiswa Bidik Misi yang khusus diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu yang telah diterima di berbagai Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, termasuk Unsyiah, namun sayangnya sangat sedikit dari anak-anak nelayan yang bisa mendapatkannya, di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah misalnya masih kurang dari 10% mahasiswa dari anak nelayan. Hal ini mungkin disebabkan persaingan yang ketat untuk masuk ke PT ataukah karena informasi ini belum banyak diketahui oleh masyarakat nelayan, ataukah belum adanya dorongan yang kuat dari orang tua agar anaknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu menurut saya perguruan tinggi khususnya Universitas Syiah Kuala perlu menyediakan jalur khusus bagi anak-anak nelayan agar mereka dapat diterima di Unsyiah dan menikmati beasiswa Bidik Misi tersebut, dengan harapan Pemerintah dalam hal ini Dikti telah menyediakan banyak beasiswa salah satunya adalah beasiswa Bidik Misi yang khusus diperuntukan bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu yang telah diterima di berbagai Perguruan Tinggi di seluruh Indonesia, termasuk Unsyiah, namun sayangnya sangat sedikit dari anak-anak nelayan yang bisa mendapatkannya, di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah misalnya masih kurang dari 10% mahasiswa dari anak nelayan. Hal ini mungkin disebabkan persaingan yang ketat untuk masuk ke PT ataukah karena informasi ini belum banyak diketahui oleh masyarakat nelayan, ataukah belum adanya dorongan yang kuat dari orang tua agar anaknya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Oleh karena itu menurut saya perguruan tinggi khususnya Universitas Syiah Kuala perlu menyediakan jalur khusus bagi anak-anak nelayan agar mereka dapat diterima di Unsyiah dan menikmati beasiswa Bidik Misi tersebut, dengan harapan

Kami juga sangat berharap fasilitas dan infrastruktur pendidikan tinggi di Universitas Jantong Hatee Rakyat Aceh ini khususnya di Fakultas Kelautan dan Perikanan dilengkapi sehingga dapat memenuhi standar minimal yang diperlukan sehingga dapat mendidik calon-calon pemimpin di masa depan yang diharapkan dapat menjaga, mengelola dan mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan Aceh dimasa depan demi kemakmuran masyarakat Aceh, dan sebagai langkah kesiapsiagaan masyarakat Aceh menghadapi kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) tentang pemberlakukan Pasar Bebas Asean di akhir Tahun 2015 ini. Hal ini tentu selaras dengan visi dan misi Pemerintah RI saat ini yaitu ingin menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Oleh karean itu sudah selayaknya lah Fakultas Kelautan dan Perikanan berada di garda terdepan universitas ini dan mendapatkan perhatian yang lebih dari berbagai pihak terutama Kementerian Dikti, Pemerintah Aceh dan Unsyiah khususnya.

Isu selanjutnya adalah:

Subsisi Bahan Bakar Minyak (BBM)

Bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar merupakan komponen paling penting dalam suatu operasi penangkapan ikan, lebih dari 50% biaya operasi kapal penangkap ikan dihabiskan untuk BBM. Menurut hasil penelitian yang pernah kami lakukan di Aceh Besar (Muchlisin et al. 2012) bahwa umumnya nelayan belum bisa mendapatkan BBM bersubsidi, hal ini disebabkan karena tidak semua lokasi TPI/PPI tersedia stasiun pengisian BBM atau letaknya jauh dari lokasi nelayan sehingga dengan terpaksa mereka membeli secara eceran dengan harga lebih tinggi. Menurut hasil penelitian kami di Aceh Besar tersebut jika subsidi BBM dicabut total, maka pendapatan nelayan akan nelayan menurun sampai 90% dan bahkan bisa merugi, terutama bagi nelayan kecil disebabkan hasil tangkapan dan harga ikan yang tidak menentu. Oleh karena itu subsidi BBM bagi nelayan khususnya nelayan kecil kami pandang mutlak masih diperlukan. Pendirian sub-sub depo BBM di perkampungan nelayan juga perlu mendapat perhatian agar nelayan bisa mendapatkan harga resmi BBM subsidi tersebut.

Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang berbahagia, isu selanjutnya adalah:

Teknologi dan Kepemilikan Modal

Sebagaimana telah kami jelaskan diatas bahwa nelayan Aceh khususnya dan Indonesia umumnya, sebagian besar adalah nelayan kecil dengan teknologi penangkapan ikan yang sederhana, sehingga mereka hanya dapat beroperasi di perairan pesisir (kurang dari 4 mil), hanya menangkap ikan-ikan pelagis kecil dan ikan-ikan karang, menyebabkan kawasan pesisir tersebut sangat rentan terhadap kelebihan tangkap (over fishing). Untuk mengatasi permasaalahan tersebut menurut saya saat ini pemerintah tidak perlu lagi menambah kapal perikanan ukuran kecil tetapi harus fokus pada peningkatan kapasitas nelayan dengan cara meningkatkan kapasitas/ukuran kapal dan teknologi yang lebih maju, sehingga mereka dapat menangkap di perairan laut lepas sampai ke ZEE dengan waktu penangkapan beberapa hari sampai beberapa minggu dengan harapan hasil yang lebih baik.

Selain dengan meningkatkan kapasitas dan teknologi penangkapan, peningkatan kapasitas nelayan dalam hal pengoperasian alat tangkap yang lebih modern namun tidak merusak juga harus dilakukan, dan yang lebih penting juga adalah mempersiapkan “mental” nelayan Aceh agar siap berlayar berhari-hari di laut lepas tidak berjumpa dengan anak istri berhari-hari, hal ini penting mengingat kebiasaan sebagian besar nelayan kita adalah nelayan one day fishing, pergi pagi pulang sore, atau pergi sore pulang pagi dan bahkan ada masyarakat nelayan yang sehari (12 jam) dua kali pulang pergi melaut sebagaimana yang kami jumpai di salah satu wilayah di Aceh Besar. Sudah tentu nelayan-nelayan seperti ini perlu disiapkan terlebih dahulu, misalnya dengan dimagangkan pada kapal-kapal besar yang beroperasi dari beberapa minggu sampai ber bulan-bulan.

Program bagi-bagi kapal terutama kapal besar kepada kelompok nelayan tanpa dibarenggi dengan dengan peningkatan kapasitas nelayan dan fasilitas penunjang lainnya, kami pandang akan sia- sia bahkan dapat memecah belah kesatuan diantara nelayan yang selama ini sudah sangat baik, hingga pada akhirnya kapal tersebut akan beralih kepemilikannya kepada para toke secara tidak resmi (dibawah tangan), akibat nelayan tidak mampu mengoperasikannya baik oleh sebab teknis maupun finansial.

Masalah lain adalah, sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa banyak nelayan kita sebenarnya boleh disebut “buruh nelayan” karena hanya menjadi pekerja saja di kapal-kapal yang dimiliki oleh toke-toke dan yang lebih miris lagi ada pula yang menjadi pekerja di kapal milik sendiri yang telah digadaikan akibat hutang yang menumpuk. Juga bukan rahasia lagi jika ada nelayan yang hasil tangkapannya sudah dimiliki oleh para toke sebelum ikan berhasil ditangkap dan didaratkan (ijon), hal ini disebabkan karena biaya operasi penangkapan sepenuhnya dibiayai oleh para toke tersebut. Juga patut kita pahami bahwa nelayan-nelayan tradisional tidak dapat melakukan aktifitas penangkapan ikan sepanjang tahun, pada bulan-bulan tertentu (musim angin barat) sebagian besar nelayan tidak dapat melaut disebabkan ukuran kapal dan teknologi yang tidak menjamin keselamatan di laut, akibatnya pada musim-musim panceklik seperti ini sebagai besar nelayan tidak ada sumber pendapatan dan dengan sangat terpaksa berhutang kepada tengkulak atau toke, hal ini disebabkan sebagian besar nelayan kita belum memiliki ketrampilan tambahan sebagai alternatif sumber pendapatan jika tidak melaut (Muchlisin et al., 2013).

Oleh karena itu menurut saya nelayan harus menjadi pemilik modal sehingga mereka bekerja untuk diri sendiri dan bahkan dapat memperkerjakan orang lain di kapalnya. Agar hal tersebut dapat tercapai salah satunya dengan pendirian Bank Nelayan, atau dengan cara pemberdayaan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang telah ada, kredibel dan bersedia menyediakan fasilitas pinjaman lunak bagi nelayan. Pemerintah daerah dapat menempatkan dananya di bank-bank tersebut untuk selanjutnya disalurkan kepada nelayan yang membutuhkan tanpa agunan atau dengan agunan kapal mereka. Pada bank-bank konvensional hampir dapat dikatakan tidak ada yang bersedia memberikan pinjaman seperti ini, mereka tidak mau “berjudi” dengan hasil tangkapan yang tidak pasti. Kontribusi dari perusahaan- perusahaan yang ada di Aceh melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bapak angkat bagi para nelayan dan petani ikan dinilai perlu ditingkatkan, dengan demikian diharapkan akan diperoleh dampak saling menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat.

Nelayan dan keluarga mereka juga perlu diberikan ketrampilan tambahan yang dapat digunakan sebagai mata pencaharian tambahan, menurut saya jenis-jenis ketrampilan tambahan yang diberikan kepada nelayan haruslah yang sifatnya cepat mendatangkan hasil (pendapatan). Pengalaman saya bekerja dengan nelayan menunjukkan bahwa sangat sulit merubah perilaku nelayan yang terbiasa berpikir sederhana dan jangka pendek, ini suatu tantangan bagi kita semua.

Para hadiran yang saya muliakan, isu selanjutnya adalah:

Kerusakan habitat

Kerusakan lingkungan baik yang terjadi di kawasan pesisir maupun hutan pendalaman secara langsung dan tidak langsung telah menyebabkan kerusakan habitat ikan. Diperkirakan sampai tahun 1997 Indonesia telah kehilangan 72% hutannya (Bryant et al., 1997). Aceh memiliki lebih dari 3,5 juta

ha hutan tropis, dan diperkitakan 80% hutan Aceh telah mengalami deforestasi dengan laju kerusakan mencapai 20.000 ha lebih per hari (Purnamawati, 2007), di kawasan pesisir pula, kerusakan hutan bakau juga sangat mengkhawatirkan, diperkirakan 58% hutan bakau Indonesia telah mengalami kerusakan dan dalam kasus Aceh 75% dari 50.000 ha hutan bakaunya telah hilang dikonversikan sebagai lahan tambak dan pemukiman.

Kerusakan hutan akibat legal dan ilegal logging akan menyebabkan erosi (longsor), meningkatkan sedimentasi dan kekeruhan air sungai yang selanjutnya akan terbawa ke kawasan pantai. Peningkatan kekeruhan air sungai secara langsung akan mempengaruhi produktifitas perairan disebabkan terganggunya proses fotosentesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, akibatnya ikan- ikan pemakan plankton akan berkurang atau bahkan punah dan seterusnya akan mempengaruhi pula keberadaan ikan-ikan yang hidup pada tingkatan tropik yang lebih tinggi (merusak jaring-jaring makanan di perairan), selain itu pula peningkatan kekeruhan akan menganggu aktifitas mencari makan, merusak habitat pemijahan dikawasan lubuk-lubuk sungai akibat pendangkalan, jika hal ini terus terjadi maka dapat dipastikan kawasan perairan sungai tersebut akan “miskin” dari ikan.

Sekarang mari kita lihat di perairan pantai, erosi akan membawa partikel-partikel lumpur ke kawasan pesisir, mengendap dan menyebabkan pendangkalan di daerah muara, sehingga menyulitkan keluar masuk kapal nelayan. Pada beberapa daerah di Aceh bahkan Indonesia, Ratusan bahkan Milyaran juta uang rakyat telah dihabiskan untuk mengeruk muara sungai setiap tahunnnya, namun belum juga dapat diatasi dengan sempurna.

Aliran air sungai yang membawa material lumpur juga akan menutupi akar-akar mangrove dan polip-polip karang di kawasan pesisir, menyebabkan kerusakan serius di ekosistim terumbu karang dan menganggu respirasi mangrove. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa kawasan mangrove, lamun dan terumbu karang adalah kawasan paling penting dalam suatu ekosistim perairan, kawasan ini berfungsi sebagai tempat memijah (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) bahkan sebagai tempat berlindung (shelter) bagi sebagian besar biota perairan termasuk ikan. Oleh karena itu jika kerusakan didarat dan dilaut ini terus dibiarkan terjadi maka bukan tidak mungkin suatu saat nanti profesi nelayan menjadi barang “langka”, nelayan akan ramai-ramai berganti profesi karena tidak ada lagi ikan yang bisa ditangkap.

Untuk mengatasi permasaalahan tersebut maka diperlukan langkah-langkah konservasi yang sangat segera, rehabilitasi kawasan pesisir (hutan mangrove dan terumbu karang) perlu diprioritaskan bagi daerah-daerah yang memiliki cukup dana. Bagi daerah-daerah yang kesulitan dana, kerjasama dengan pihak lembaga swadaya masyarat yang bergerak dalam pelestarian lingkungan dan perusahaan swasta nasional/internasional perlu dilakukan untuk membantu mengatasi masalah ini, keterlibatan pihak perguruan tinggi setempat juga perlu diintensifkan. Cara yang paling murah dan berdampak sangat nyata adalah dengan menetapkan beberapa kawasan yang dilindunggi (protected area) yang dipilih berdasarkan usulan masyarakat, berdasarkan kajian-kajian pihak perguruan tinggi atau lembaga penelitian lainnya, dimana pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat nelayan itu sendiri (community based conservation).

Menurut saya moratorium logging yang telah dijalankan oleh pemerintah Aceh perlu terus dilakukan dan yang tidak kalah penting adalah komitmen penegakan hukum harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, dalam hal ini aparat pemerintah dan aparat penegak hukum harus menjadi suri tauladan bagi masyarakat dalam hal penegakan hukum.

Pencemaran perairan

Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang mulia Pencemaran yang umum terjadi dikawasan pesisir adalah tumpahan limbah minyak yang umumnya berasal dari kapal nelayan atau bahkan kapal-kapal komersil lainnya. Sungai dan laut masih diposisikan sebagai “tong sampah raksasa” penampung segala macam bentuk sampah dan polutan dari darat terutama dari aktifitas manusia.

Pada tahun 2010 lalu kami pernah melakukan survey dan kajian cepat dibeberapa tempat pendaratan ikan dibeberapa kawasan dalam Provinsi Aceh, dari data yang ada kami memprediksi lebih dari 561.000 liter oli bekas setiap tahun dibuang dan mencemari perairan pantai Aceh (Muchlisin, 2011). Beberapa penelitian juga telah mengindikasikan adanya pencemaran logam berat pada air dan biota air termasuk ikan dan kerang (Ali, 2013; Ali 2014), dapat kita dibayangkan bagaimana kondisi perairan pantai kita saat ini.

Untuk mengatasi hal tersebut maka tindakan yang diperlukan adalah menyediakan tempat- tempat penampungan oli bekas disemua TPI/PPI dan menghimbau nelayan untuk tidak membuang limbah oli bekas ke perairan. Dalam kaitan pencemaran logam berat, maka kebijakan yang perlu dilakukan adalah introduksi teknologi pertambangan emas ramah lingkungan kepada penambang tradisional yang tidak merusak lingkungan dan bebas merkuri atau bahan beracun lainnya.

Isu selanjutnya adalah:

Rumpon

Rumpon adalah salah satu alat bantu penangkapan ikan, terbuat dari dedaunan ataupun bahan sentetis lainya yang dipasang di laut baik secara permanen maupun sementara, ikan-ikan kecil menjadikannya tempat berlindung, kondisi ini memancing ikan-ikan yang lebih besar untuk hadir dan berkumpul ke kawasan rumpon untuk memangsa ikan-ikan yang kecil kecil, keadaan ini memudahkan nelayan pemilik rumpon menangkap ikan dalam jumlah yang banyak.

Yang patut kita ketahui adalah rumpon sebenarnya bukan untuk menghasilkan ikan akan tetapi digunakan untuk mengumpulkan ikan sehingga mudah ditangkap, yang menjadi permasaalahan adalah ikan-ikan semakin sulit ditemukan dikawasan lain karena sudah berkumpulkan disatu atau beberapa lokasi rumpon, kondisi ini menyebab nelayan kecil yang tidak memiliki rumpon menurun hasil tangkapannya, artinya sumberdaya perikanan hanya dikuasai oleh nelayan-nelayan besar atau pemilik modal yang mampu membeli atau membuat rumpon.

Saat ini penggunaan rumpon sebagai alat bantu penangkapan mulai banyak ditentang oleh nelayan kecil dan penggiat konservasi sumberdaya perikanan karena tidak memberikan keadilan dan merusak populasi ikan secara jangka panjang. Dalam satu pertemuan antara pemerintah dengan nelayan di salah satu kabupaten yang kami turut hadir, dilaporkan bahwa saat ini sudah sangat merajalela rumpon-rumpon nelayan asing (luar Aceh) yang ditempatkan berdekatan dengan areal penangkapan nelayan kecil (radius 4 mil), kondisi ini menyebabkan ikan-ikan pelagis kecil dan besar yang bernilai ekonomis tinggi tertahan dalam kawasan rumpon dan sangat jarang tertangkap dalam radius 4 mil tersebut, ikan-ikan tersebut menjadi target tangkapan yang sangat menguntungkan oleh para nelayan asing tersebut, nelayan kecil kita hanya gigit jari saja. Tidak jarang dilaporkan nelayan kita diancam tabrak untuk ditenggelamkan jika berani mengusik mereka, karena mereka memiliki kapal dan ABK yang berkali lipat lebih besar dari nelayan kita.

Untuk mengatasi permasaalahan tersebut maka yang perlu dilakukan oleh pihak terkait adalah melakukan penataan rumpon, terkait perizinan, kepemilikan, jumlah dan jarak rumpon, dan melakukan razia dan menenggelamkan rumpon-rumpon tapi izin baik yang dimiliki oleh nelayan Aceh apalagi nelayan asing. Namun yang perlu dicatat bahwa program Rumponisasi harus dibarenggi dengan program rehabilitasi habitat (konservasi habitat) alami ikan (seperti terumbu karang, mangrove dan lamun) dalam kawasan berdekatan, kawasan ini akan berfungsi sebagai “mesin” penghasil benih-benih ikan yang setelah mencapai ukuran tertentu dapat ditangkap di kawasan rumpon.

Patroli laut oleh pihak berwenang sangat diperlukan, namun masih banyak kendala yang dihadapi diantaranya minimnya fasilitas kapal dan dana operasional, oleh karena itu kerjasama antar pihak sangat diperlukan, misalnya TNI AL atau Airud menyediakan fasilitas kapal sedangkan Pemerintah daerah mengangarkan sejumlah dana untuk biaya operasional termasuk BBM sedangkan krunya adalah gabungan pihak KKP dan petugas keamanan laut tersebut.

Melengkapi kelompok-kelompok nelayan dengan alat komunikasi dan nomor-nomor penting aparat pengawas perikanan atau aparat penegak hukum perlu juga dipertimbangkan agar jika terjadi praktek IUU fishing (pelanggaran) di laut dapat dilaporkan secara langsung sehingga bisa diambilkan tindakan dengan segera oleh pihak berwenang. Tindakan keras Kementrian Kelautan dan Perikanan terhadap kapal-kapal asing patut kita apresiasi demi menjaga sumberdaya perikanan kita dan kedaulatan bangsa.

Modifikasi alat tangkap dan cara menangkap ikan

Hasil penelitian kami tahun 2013 di Aceh Besar terungkap bahwa hampir 80% nelayan responden menyatakan hasil tangkapan mereka menurun berbanding 5 tahun sebelumnya (Muchlisin et al. , 2013), mereka juga mengakui areal penangkapan ikan semakin jauh dan ikan yang tertangkap juga semakin kecil. Kondisi ini menunjukkan bahwa memang benar telah terjadi kelebihan tangkap (over fishing ) di kawasan pesisir Aceh. Menghadapi kondisi ini beberapa nelayan yang bermodal besar melakukan modifikasi alat tangkap agar lebih efektif menangkap lebih banyak ikan dalam kondisi jumlah stock ikan dikawasan pesisir semakin menipis.

Cara menangkap ikan juga mengalami perubahan, diantaranya dengan cara memasang pukat disekeliling terumbu karang, diikuti oleh penyelaman dengan alat bantu compressor untuk mengusir kawasan ikan dari kawasan terumbu dan mengiringnya masuk kedalam pukat, ikan kecil dan besar semua diangkat bersih dan tidak jarang terumbu karang juga rusak oleh jaring (Personal komunikasi dengan nelayan Lhok Lampuuk, Aceh Besar). Sekali lagi nelayan kecil gigit jari!

Apa yang dapat dilakukan? Sekali lagi yang diperlukan adalah aturan (regulasi) yang mengatur tata kelola perikanan yang baik, pengaturan alat-alat tangkap yang dibolehkan dan alat tangkap yang dilarang, termasuk tatacara menangkap ikan yang diperbolehkan dan yang dilarang, jenis-jenis dan ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap dll. Kelompok nelayan yang concern dengan tatacara yang ramah lingkungan diberi insentif dan penghargaan yang sewajarnya (misalnya “fishermen award” dan lain-lain).

Ketua Senat, anggota Senat dan hadiran sekalian, isu selanjutnya yang tidak kalah penting adalah:

Perubahan iklim global

Pemanasan global salah satunya disebabkan oleh efek rumah kaca yang disebabkan karena naiknya konsentrasi gas CO 2 dan gas-gas lainnya (diantaranya Nitrogen monoksida dan Nitrogen dioksida) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan kloro-fluorokarbon, CFC) di atmosfer. Penyebab kenaikan konsentrasi gas CO 2 di atmosfer disebabkan pembakaran bahan bakar yang berasal dari fosil and bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan- tumbuhan dan laut untuk menyerapnya.

Isu pemanasan global merupakan salah satu isu yang sedang hangat didiskusikan akhir-akhir ini. Pemanasan global telah memicu pencairan es di kutup menyebabkan kenaikan permukaan air laut, perubahan salinitas, temperatur dan pH air laut.

Salah satu fenomena yang sering terjadi adalah kematian karang secara massal (coral bleaching ) dibeberapa kawasan laut di dunia, termasuk di Aceh khususnya Pulau Weh (Goblue, 2010 dalam Muchlisin, 2011). Menurut Herdiana (2010) terumbu karang di perairan Pulau Weh 80% mengalami pemutihan dan sekitar 20% di antaranya mengalami kematian pasca terjadinya pemutihan karang pada April 2010.

Dampak perubahan iklim ini sangat dirasakan oleh nelayan sebagaimana diakui oleh Panglima Laot Lhok Aceh, bahwa dalam setahun terakhir hasil tangkapan nelayan menurun drastis mencapai 50% dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (Harian Serambi Indonesia, 2011 dalam Muchlisin, 2011).

Di perairan daratan khususnya danau, pemanasan global telah menyebabkan turunnya permukaan air danau, misalnya di Danau Laut Tawar Aceh Tengah, lebih kurang 1,5 sampai 2 meter air danau turun dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, hal ini telah menyebabkan anak-anak sungai- sungai di sekeliling danau menjadi kering, anak-anak sungai-sungai ini merupakan spawning ground bagi bagi beberapa spesies kan termasuk ikan depik, spesies endemik di Danau Laut Tawar menyebabkan populasi ikan ini turun mencapai lebih dari 90% (Muchlisin et al., 2010; Muchlisin et al ., 2011).

Perubahan iklim mempengaruhi migrasi ikan, ikan-ikan yang mampu bermigrasi akan mencari tempat yang lebih nyaman meninggalkan tempat yang terpengaruh dengan fenomena ini, sedangkan ikan-ikan yang tidak mampu bermigrasi akan melakukan adaptasi baik secara fisiologis maupun morfologis dan bagi spesies yang tidak mempu melakukan adaptasi mengalami kematian massal dan bahkan punah, dengan demikian akan mengubah perilaku, komposisi jenis dan jumlah ikan pada suatu perairan dan bukan tidak mungkin menyebabkan perairan berkenaan steril dari ikan.

Perubahan sifat-sifat kimia fisika air laut akibat perubahan iklim juga akan menyebabkan perubahan jalur migrasi ikan sehingga menyebabkan perubahan fishing ground nelayan, menyebabkan ikan gagal mencapai spawning ground dan gagal memijah, menyebabkan populasinya menurun dan bahkan punah. Kenaikan muka air laut akan mengenangi kawasan pantai, merusak kawasan pertambahan, pemukiman, hutan bakau dan terumbu karang. Kesemuanya itu berdampak pada penurunan populasi dan produksi ikan dan mengancam pasokan ikan dunia, sudah tentu mengancam keamanan pangan (food secutity) penduduk bumi.

Ketua dan sekretaris senat serta para undangan yang berbahagia, isu berikutnya adalah:

Harga Pakan Mahal

Isu utama yang sering diperbincangkan dalam industri perikanan budidaya saat ini adalah mahalnya harga pakan, kualitas bibit rendah, merajalelanya alien spesies (spesies hasil introduksi dari luar Aceh atau Indonesia), penyakit, pencemaran dan ketrampilan petani ikan masih rendah.

Pakan merupakan komponen yang paling penting dalam suatu industri budidaya perikanan, biaya pakan dapat mencapai 60-70% dari biaya produksi, oleh karena itu pemberian pakan harus dilakukan secara tepat baik dari segi jumlah, waktu maupun frekuensi pemberian sehingga dapat menghasilkan pertumbuhan ikan yang maksimun dengan jumlah pakan yang seminimum mungkin, sehingga dengan demikian biaya produksi dapat ditekan dan margin keutungan yang diperoleh lebih besar.

Saat ini harga pakan komersil tergolong mahal, hal ini disebabkan karena komponen paling penting dalam pakan ikan komersil saat ini adalah tepung ikan dan kedelai yang sebagian besar masih mengadalkan impor. Oleh karena itu kajian-kajian tentang pakan ikan menjadi topik yang menarik dan banyak dikaji oleh para pakar budidaya. Mahasiswa dan dosen di Fakultas Kelautan dan Perikanan Unsyiah saat ini kami banyak menfokuskan dan menstimulasi mahasiswa untuk melakukan kajian pada pakan alternatif bagi ikan-ikan yang berpotensi untuk dibudidayakan dengan tujuan untuk menekan biaya produksi lebih rendah dengan memanfaatkan potensi lokal sebagai sumber protein dalam pakan dan ikan-ikan yang dipilih juga adalah ikan-ikan local yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Hadiran yang saya muliakan, isu lain yang juga sangat penting dalam dunia perikanan budidaya adalah:

Penyakit dan Dominansi Spesies Ikan Asing

Perikanan budidaya di Provinsi Aceh tergolong masih baru berkembang dan masih didominansi budidaya ikan air tawar dan payau. Hal ini dipandang wajar mengingat Provinsi Aceh dimasa lalu memiliki kekayaan perikanan laut masih sangat melimpah, namun saat ini kondisi sudah mulai berubah dan kita mulai melirik perikanan budidaya, sebagai starting point nya memang lebih baik kita memulai dengan perikanan air tawar atau payau karena secara umum perikanan air tawar memang lebih dahulu berkembang secara global, sehingga alih teknologi relatif cepat dan mudah serta investasinya juga relatif lebih rendah berbanding perikanan laut.

Aceh juga pernah berjaya dengan perikanan budidaya udang windu (Penaeus monodon) pada kurun 1970an- 1980an kemudian kolaps akibat dari serangan penyakit salah satunya adalah Monodon Baculovirus (MBV) yang sampai sekarang belum ada motode pengobatan yang benar-benar efektif sehingga masih menghantui para petambak khususnya petambak tradisional yang belum menerapkan best management aquaculture practices menyebabkan hampir sebagian besar tambak rakyat di Aceh menjadi telantar (idle). Kami menduga merebaknya berbagai penyakit tidak terlepas juga dari kerusakan lingkungan akibat alih fungsi hutan bakau besar-besar menjadi tambak pada kurun 1970an – 1980an tersebut, dilain pihak masukan beban limbah dari sisa-sisa pakan dan feces udang/ikan yang menumpuk di dasar tambak atau dasar perairan tidak pernah ditangani dengan baik sehingga terakumulasi selama puluhan tahun dan menjadi media yang sangat baik bagi perkembangan berbagai jenis penyakit udang dan bahkan ikan.

Untuk mengatasi permasaalahan tersebut beberapa langkah yang dapat ditempuh adalah peremajaan tanah dasar tambak, rehabilitasi hutan mangrove, penerapan closed water circulation, teknologi biofluc, dan sistim budidaya sistim selang seling (udang – ikan – udang) yang dapat dipadukan (polikultur) juga dengan budidaya rumput laut, moluska (kerang-kerangan) lain-lain jenis organisme air yang memiliki kebiasaan dan cara makan (food and feeding habits) yang berbeda satu sama lain, yang diharapkan dapat membantu memperbaiki kualitas air. Model budidaya seperti ini sering disebut sebagai sistim budidaya tropic level rendah atau (Trophic Level Based Aquaculture Practices).

Pasca tsunami akhir 2014 lalu, perikanan budidaya di Provinsi Aceh mulai hidup kembali dari mati surinya, tambak-tambak yang rusak diperbaiki dan nelayan diberikan pelatihan-pelatihan dan bahkan modal. Namun sayangnya pada masa ini pula intensitas introduksi spesies ikan asing ke Aceh semakin intensif dilakukan, sehingga petani ikan kita sangat bergantung kepada ikan-ikan introduksi (alien fish species) teesebut sebagai ikan target budidaya, misalnya ikan mas (Cyprinus carpio), ikan nila (Oreochromis niloticus), ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan patin (Pangsius spp.), dan akhir-akhir ini petambak juga mulai “dirayu” untuk memelihara udang Vaname dll, hal yang sama juga terjadi pada budidaya ikan hias, kami memprediksi lebih dari 75% ikan hias yang dijajakan adalah spesies hasil introduksi dari luar Aceh atau bahkan luar Indonesia. Menurut saya hal ini bukanlah salah petani ikan atau petambak 100%, akan tetapi pihak-pihak yang membina petani ikan lah yang sepatutnya yang bertangggung jawab.

Kita juga sering mendegar atau membaca kegiatan “tebar ikan” atau dalam bahasa asing disebut “restocking” ke parairan umum, danau dan bahkan laut yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu tanpa didasari hasil kajian ilmiah, padahal ikan yang ditebar tersebut sebenarnya tidak hidup atau belum pernah ditemukan di perairan berkenaan. Menurut saya ini adalah “restocking salah kaprah” dan perlu diluruskan dan pihak-pihak yang terlibat sebelumnya perlu segera melakukan evaluasi ulang program-program mereka tersebut.

Program restocking salah kaprah ini menjadi program primadona bagi sebagian pihak karena sulit untuk dimonitoring, sulit untuk bisa menghitung dan mengukur satu persatu bibit ikan yang sudah Program restocking salah kaprah ini menjadi program primadona bagi sebagian pihak karena sulit untuk dimonitoring, sulit untuk bisa menghitung dan mengukur satu persatu bibit ikan yang sudah

Para pakar konservasi sumberdaya perairan dunia umumnya sepakat bahwa introduksi suatu spesies asing pada suatu ekosistim perairan secara jangka panjang akan merugikan baik secara ekonomis maupun ekologis, oleh karena itu perlu dilakukan secara hati-hati dan dibatasi. Introduksi spesies ikan asing ke Indonesia terjadi dengan dua cara, yaitu: secara sengaja (proposes introduction) dan tanpa disengaja (insedentil introduction), yang disengaja antara lain untuk tujuan memperbanyak jenis ikan target budidaya, namun sayang akibat ketidak tahuan atau teknik budidaya yang tidak benar ikan-ikan tersebut terlepas ke perairan bebas dan berkembangbiak disana; Untuk tujuan hobbi, misalnya untuk pemancingan atau ikan hias; dan untuk pengontrolan vector penyakit, misalnya untuk membasmi jentik-jentik nyamuk pembawa malaria; sedangkan yang tidak sengaja, antara lain melalui ballast water , yaitu air pendingin mesin kapal yang diambil dari perairan lain dan dibuang di perairan Indonesia saat kapal bersandar dan driftwood atau kayu-kayu yang hanyut dari perairan lain dan masuk ke perairan Indonesia saat banjir atau tsunami. Pada air dan kayu hanyut tersebut secara tidak sengaja ikut menempel membawa telur atau larva-larva ikan asing, menetas dan menyebar di perairan Indonesia.

Sebagai gambaran bahwa ikan nila dan ikan mujair telah diintroduksi dari habitat aslinya dari Afrika ke lebih kurang 90 negara dan 85 negara diantaranya telah melaporkan terjadi gangguan ekologis akibat kedua jenis ikan tersebut (Casal, 2000), dan menurut Invasive Species Specialist Group bahwa ikan nila dan ikan mas telah mendapat gelar sebagai “the top hundred of the world’s most destructive invasive alien species” yaitu termasuk 100 ikan asing paling merusak di dunia (ISSG, 2004).

Dampak negatif dari introduksi spesies ikan asing ke suatu perairan antara lain; terjadi pemangsaan, persaingan dalam pemanfaatan jenis makan (diet overlap) dan ruang (kolom air), rentan sebagai agen menyebarkan penyakit dan parasit, kegagalan mendapatkan pasangan, jika terjadi kawin silang yang tidak diharapkan dengan ikan lokal akan menyebabkan ikan-ikan lokal kehilangan sifat- sifat aslinya (misalnya sifat tahan penyakit, rasa daging dll).

Sebagai ilustrasi suatu kegiatan yang sangat fenomenal dan menarik perhatian banyak saintis adalah dampak introduksi ikan nile perch (Lates niloticus) ke Danau Victoria dan Danau Kyoga di Afrika, menyebabkan produksi ikan di kedua danau menurun drastis dan kolaps pada Tahun 1985, sehingga semua nelayan terpaksa dipindahkan keluar dari kawasan tersebut karena kehilangan sumber pendapatan (Barlow dan Lisle, 1987). Dalam kontek Aceh, pada Tahun 2011 kami mencatat terdapat

10 species ikan asing di perairan Aceh dan yang paling luas penyebarannya adalah ikan nila, ikan mujair dan ikan lele dumbo (Muchlisin, 2012). Sementara dilain pihak, Indonesia dan Provinsi Aceh khususnya memiliki potensi keragaman species ikan yang sangat tinggi dan sebagian besar memiliki potensi untuk dijadikan ikan target budidaya baik untuk tujuan konsumsi maupun ikan hias.

Oleh karena itu pengembangan perikanan budidaya Aceh dimasa depan HARUS

BERTUMPUKAN KEPADA IKAN-IKAN ASLI SETEMPAT YANG MEMILIKI NILAI

EKONOMIS TINGGI, diantaranya untuk ikan air tawar; ikan keureling (Tor spp), ikan ileah/niejie atau sidat (Anguilla spp.), lele lokal (Clarias spp.) ikan seurukan (Osteochilus spp), bacei atau ikan gabus (Channa striata) dan naleh (Barbonymus sp.), untuk ikan payau/laut diantaranya kerapu

(Epinephelus spp.), ikan rambea atau ikan kue (Caranx spp), kakap putih (Lates calcarifer), cabeh- cabeh atau baronang (Siganus spp.), dan lain-lain, beberapa diantaranya sudah mulai kita teliti di Unsyiah. Namun demikian, ikan yang dipilih sebaiknya adalah yang tergolong sebagai ikan herbivora agar ketergantungan pada pakan dengan kandungan protein tepung ikan dapat dikuranggi.

Dalam jangka pendek dominansi ikan-ikan asing tersebut sudah tentu tidak dapat dihilangkan serta merta, perlu dilakukan secara bertahap, hal ini mengingat sebagian besar petani ikan kita sudah begitu akrab dengan ikan-ikan alien tersebut. Yang diperlukan adalah adanya (sekali lagi) regulasi yang mengatur mekanisme dan membatasi atau bahkan melarang pemasukan spesies ikan asing ke Aceh khususnya dan Indonesia umumnya dimasa depan, dan mengendalikan penyebaran lebih lanjut spesies ikan asing yang sudah terlanjur ada.

Menurut saya perlu ada komitmen yang tinggi terutama dari stakeholder terkait untuk memberdayakan potensi spesies ikan dan udang lokal, tentunya yang memiliki nilai ekonomis tinggi baik di pasar lokal maupun internasional.

Tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya menjadikan ikan lokal sebagai ikan target budidaya yang diminati oleh petani ikan sehingga bisa menjadi tuan rumah di rumah sendiri, adalah mendorong pemerintah daerah dan perguruan tinggi khususnya Unsyiah untuk menyediakan dana penelitian yang cukup sehingga akan dihasilkan teknologi pembenihan, teknologi pakan dan teknologi pembesaran yang mapan. Sejauh ini permintaan ikan-ikan lokal, misalnya ikan keureling di pasar lokal masih sangat tinggi dan sulit dipenuhi, namun demikian pembukaan akses ke pasar global juga perlu mendapat perhatian dari pihak terkait sehingga jika suatu saat nanti teknologi tepat guna ini telah berkembang dan produksi massal sudah dapatdilakukan dan kebutuhan pasar lokal telah terpenuhi maka kelebihannya dapat diekspor.

Patut kita sadari bahwa ikan-ikan introduksi yang kita kenal saat ini seperti ikan lele dumbo, ikan nila dan ikan mas telah dikaji berpuluh-puluh tahun lamanya oleh peneliti-peneliti khususnya di negara-negara asal ikan tersebut, sehingga dihasilkan ikan-ikan tersebut yang kita kenal sekarang sebagai ikan yang mudah dipelihara, cepat besar, tahan penyakit dan seterusnya, ini tidak lain adalah buah dari kerja keras dari peneliti sebelumnya. Oleh karena itu penelitian-penelitian dasar tentang bio- ekologi, pola reproduksi, pertumbuhan, kebiasaan makanan, penyakit dan domestikasi adalah penting dilakukan dalam upaya menjadikan ikan lokal yang masih liar menjadi ikan target budidaya yang diminati.

Rekruitmen tenaga penyuluh perikanan dan menempatkan mereka langsung dengan masyarakat juga perlu ditingkatkan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan nelayan dan kesadaran akan pentingnya menerapkan cara-cara penangkapan dan budidaya ikan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sedikit saya ingin menyinggung industri pengolahan hasil perikanan di Aceh, bahwa dalam bidang industri pengolahan ikan Provinsi Aceh masih jauh tingggal baik dari segi teknologi maupun inovasi jenis olahannya. Kita masih bertumpu pada industri rumah tangga dengan teknologi tradisional dan belum dikelola dengan baik sehingga kualitas olahan masih rendah, jenis olahan juga masih terbatas pada ikan asin, ikan peda, ikan kayu dan ikan teri.

Untuk memberi nilai tambah lebih pada produk-produk perikanan yang telah diusahakan secara tradisional, kedepan secara jangka pendek pembinaan secara berkelanjutan diperlukan untuk meningkatkan kualitas dengan packaging yang menarik sehingga dapat dijual di super market-super market , tidak hanya dijajakan dipinggir jalan terpapar asap dan debu kenderaan. Secara jangka panjang investasi dari pemodal yang bergerak dalam bidang pengolahan hasil perikanan mutlak diperlukan, untuk tujuan tersebut pemerintah perlu memberikan insentif bagi investor berupa kemudahan perizinan, subsidi pajak sampai penyediaan lahan dan lain-lain fasilitas yang mungkin disediakan.

Kesimpulan

Provinsi Aceh memiliki memiliki potensi perikanan yang besar namun belum dikelola dan dimanfaatkan dengan baik, hal ini disebabkan oleh berbagai macam persoalan yang telah diuraikan diatas dan perlu segera dituntaskan. Sektor Kelautan dan Perikanan merupakan modal dan asset Aceh untuk pembangunan dan mensejahterakan masyarakat Aceh dimasa depan. Aceh sangat berpotensi menjadi inti dari poros maritim dunia sebagaimana yang telah dicanangkan oleh pemerintah RI. Oleh karena itu kerjasama semua pihak baik pemerintah, swasta, LSM dan perguruan tinggi mutlak diperlukan agar tujuan tersebut dapat tercapai sehingga akan berdampak kepada peningkatan taraf hidup nelayan khususnya dan masyarakat Aceh umumnya.

Ucapan Terimakasih

Ketua & anggota senat serta para undangan yang mulia Pada kesempatan ini sebelum saya mengakhiri pidato pengukuhan, perkenankan saya sekali lagi mengucapkan puji dan syukur alhamdullah ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menggali sedikit ilmu yang Allah berikan sehingga dianugrahi jabatan akademik tertinggi sebagai Guru Besar di Fakultas Keluatan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala, bagi kami Guru Besar bukan lah tujuan akhir, akan tetapi menjadi cambuk untuk terus berkerja lebih keras dan lebih produktif lagi demi kejayaan keluarga, universitas yang kita cintai ini dan tentunya masyarakat khususnya nelayan dan petani ikan, Insha Allah.

Ucapan terima kasih senantiasa disampaikan kepada pemerintah khususnya jajaran Kementerian Teknologi Riset dan Pendidikan Tinggi, Kementrian Kelautan dan Perikanan, Rektor Unsyiah Prof. Samsul Rizal, M.Eng dan Dekan FKP Prof. Adlim. Proses pengusulan Guru Besar dimulai dari unit terkecil yaitu program studi, fakultas, universitas dan Dikti melibatkan banyak pihak termasuk tiga reviewer eksternal, yaitu Prof. Usman M. Tang dari Universitas Riau, Pekanbaru, Prof. M.F. Rahardjo dari IPB Bogor dan Prof. Ambo Tuwo dari Universitas Hasanuddin, mereka adalah pakar-pakar kelautan dan perikanan yang memiliki reputasi nasional dan internasional. Karena itu ucapan terima kasih dan penghargaan senantiasa saya berikan kepada semua pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu per satu dalam kesempatan ini, termasuk semua sahabat dan kolega saya di FKP Unsyiah.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada semua guru-guru saya mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi, para dosen pembimbing akademik saya mulai dari S1 hingga S3, yaitu Dra. Idasari Boer, MS dan Alm. Dr. Zulkifli, M,Sc dari Universitas Riau, Prof. Roshada Hashim dari USM dan yang spesial untuk Prof. Siti Azizah dari Universiti Sains Malaysia pembibing saya saat mengambil program Doktor di USM Penang. Semoga ilmu dan amal jariah beliau semua mendapat pahala di sisi Allah SWT. Selain para pembimbing akademik, saya berutang budi kepada almarhum Bapak Prof. Dayan Dawood, Kakanda Drs. Azwir, M.Kn dan Bapak Prof. Syamsul Rizal, yang telah banyak membantu dan mempromosikan saya hingga menjadi dosen di Unsyiah sampai dianugerahi jabatan akademik Guru Besar. Semoga Allah membalasnya juga dengan pahala yang melimpah.

Hadirin dan hadirat yang mulia Kebahagian hari ini berkat Rahmat Allah serta hasil dari perjuangan masa lalu terutama yang dilakukan oleh kedua orang tua saya. Karena itu ucapan terima kasih yang tulus saya persembahkan kepada ayahanda saya H. Zainal Abidin Djafaris dan ibunda saya Hj. Nursiah yang selalu senantiasa mendoakan saya agar sukses di dunia dan di akhirat.