Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi KA d
Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi KA dalam Budidaya Ikan Di KJA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan yang dipelihara, juga sarana dan
prasarana pendukung harus tersedia secara memadai serta sosial ekonomi
masyarakat yang kondusif.
Permintaan ikan-ikan karang khususnya kerapu dan lobster terus meningkat
seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya minat
masyarakat untuk mengkonsumsi ikan-ikan karang. Harga yang cukup tinggi dan
akses pasar yang cukup lancar, mendorong usaha penangkapan ikan-ikan karang
berkembang demikian pesat. Namun demikian, rendahnya penguasaan teknologi
dan sarana penangkapan yang dimiliki nelayan, mengakibatkan hasil tangkapan
sangat rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan hasil
tangkapan, di antaranya melalui peningkatan intensitas tangkap, penggunaan bahan
peledak, racun sianida dan tindakan-tindakan destruktif lainnya. Intensitas
penangkapan yang tinggi disertai penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
beracun, tidak hanya menimbulkan tekanan pada populasi ikan yang terdapat di
alam, melainkan juga dapat merusak lingkungan, seperti rusaknya terumbu karang
dan padang lamun yang menjadi habitatnya, sehingga kapasitas daya dukung
lingkungan menurun.
Berkembangnya usaha pembesaran ikan dalam KJA selain berpengaruh
pada aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, juga berdampak pada aspek
lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif, langsung maupun tidak
langsung. Walaupun ikan-ikan karang termasuk sumberdaya dapat pulih (renewable
resources), tidak berarti bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi secara
berlebihan, apalagi dengan cara-cara yang merusak. Ketika upaya eksploitasi
(fishing effort) lebih besar dari pada tangkapan optimum (Maximum Sustainable
Yield, MSY), akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated). Gejala
tangkap lebih (overfishing) yang disertai menurunnya daya dukung lingkungan dapat
mengancam kapasitas keberlanjutan ikan-ikan ekonomis dan bahkan dapat terjadi
kepunahan. Gejala tangkap lebih umumnya terjadi di wilayah pesisir yang padat
penduduknya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya
pesisir dan laut.
Kerusakan wilayah pesisir juga dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas
nelayan maupun proses-proses alamiah baik yang terdapat di lahan atas (upland
areas) maupun laut lepas (oceans). Sifat sumberdaya pesisir yang merupakan
sumberdaya milik bersama (common proverty resources), aksesnya bebas dan
terbuka. Sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dieksploitasi secara
bebas oleh semua orang (open access), sehingga wilayah pesisir sangat rentan dari
kerusakan.
Untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan
berkelanjutan, perlu didukung dengan kebijakan yang mampu memperbesar dampak
positif dan sekecil mungkin dampak negatif.
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang
meliputi :
-
Kesesuaian lokasi,
-
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
-
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
-
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA meliputi :
·
Kesesuaian lokasi
·
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
·
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
·
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA
2. Manfaat
Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat:
·
Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan investasi, skim kredit,
infra struktur, kelembagaan dan hukum serta penelitian dan penyuluhan
·
Bahan acuan bagi masyarakat dan swasta dalam mengembangkan sistem usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan
·
Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengetahui kelayakan
suatau perairan untuk budidaya KJA di laut.
BAB II
PEMBAHASAN
Guna memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di
laut memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan beberapa
aspek antara lain :
A. Aspek Resiko
Adapun faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi
untuk kegiatan budidaya KJA di lau antara lain:
1. Faktor Pencemaran
Dalam memilih lokasi yang tepat untuk kegiatan budidaya KJA di laut harus
memperhatikan faktor pencemaran baik dari kegiatan budidaya itu sendiri maupun
kegiatan lain yang akan menimbulkan pencemaran sehingga akan mengganggu
aktifitas budidaya di KJA.
Dalam dunia perikanan, yang dimaksud dengan pencemaran perairan adalah
penambahan sesuatu berupa bahan atau energi ke dalam perairan yang
menyebabkan perubahan kualitas air sehingga mengurangi atau merusak nilai guna
air dan sumber air perairan tersebut.
Bahan pencemar yang biasa masuk kedalam suatu badan perairan pada
prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pencemar yang sulit
terurai dan bahan pencemar yang mudah terurai. Contoh bahan pencemar yang sulit
terurai berupa persenyawaan logam berat, sianida, DDT atau bahan organik sintetis.
Contoh bahan pencemar yang mudah terurai berupa limbah rumah tangga, bakteri,
limbah panas atau limbah organik. Kedua jenis bahan pencemar tersebut umumnya
disebabkan oleh kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebab kedua adalah keadaan alam seperti : banjir atau gunung meletus.
Jika lokasi budidaya mengandung bahan pencemar maka akan berpengaruh
terhadap kehidupan ikan yang dipelihara didalam wadah budidaya ikan tersebut.
2. Faktor Keamanan (savety)
Lokasi budidaya KJA di laut harus terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan baik pencurian maupun gangguan dari hama
seperti hama competitor (penyaing), predator (pemangsa), dan perusak yang dapat
mengganggu keamanan biota budidaya.
Selain itu lokasi KJA juga harus aman dari kondisi gelombang yang besar
karena jika gelombang terlalu besar maka akan menimbulkan kerusakan pada KJA.
Lokasi yang memiliki gelombang yang tidak terlalu besar saperti pada daerah teluk.
3. Arus
Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan
angin terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah
pantai (Raharjo dan Sanusi, 1983 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut
juga dapat menggantikan air secara total dan terus menerus sehingga
Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan.
Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan atau
teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada kekeruhan sehingga
terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari arus adalah menyuplai
makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun
sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003). Kenyataan yang
tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat
kegiatan budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat penting dalam
sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Dahuri, 2003), serta
dapat berdampak pada keberadaan organisme penempel (Akbar et al, 2001).
Kecepatan arus perairan untuk budidaya keramba jaring apung di laut tidak boleh
lebih dari 100 cm/detik (Gufron dan Kordi, 2005) dan kecepatan arus bawah 25
cm/dt.
4. Kedalaman perairan keramba jaring apung
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan
didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan
arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang
lebih dalam (Odum, 1979). Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh
pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai
tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap jumlah
dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan penyebaran
plankton. Dalam kegiatan budidaya variabel ini berperanan dalam penentuan
instalasi budidaya yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kegiatan tersebut.
Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan baik
terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup dalam.
Beberapa biota seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam
dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat
tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka untuk menjaga terakumulasinya
sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar
perairan dengan dasar jaring. Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi
dari sisa pakan yang menghasilkan senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan
adalah berkisar 5-25 meter (Deptan, 1992 ; DKP, 2002)
5. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik
dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan,
pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata,
perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap
aktifitas budidaya laut.
6. Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air
diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh
arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling)
yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi
berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air sangat
membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya
apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba
serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan
energi banyak yang terbuang (Achmad 2008).
Substrat dasar berpengaruh terhadap jenis hewan dasar yang hidup pada
daerah tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada substrat
yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada substrat yang lunak
dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Substrat dasar
suatu lokasi bervariasi dari bebatuan sampai lumpur dapat berpengaruh terhadap
instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran
(Rejeki, 2001).
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa substrat juga berperan dalam
menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus air dan tempat
pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran substrat merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos.
Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak bahan
organik (Nybakken, 1992).
Substrat dasar perairan yang baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan
wilayah perairan yang sesuai habitat masing- masing organisme. Substrat dasar
yang cocok untuk budidaya tiram adalah gugusan terumbu karang atau karang
berpasir. Sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut akan cocok pada substrat
berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et al, 2003).
7. Kesesuaian Lingkungan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya.
Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan
akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial
dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan
Widiatmaka 2001).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe
penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan
penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang
rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan
penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan
tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan
terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan
pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan
dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut
dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut
yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri
Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya
No.
1
Parameter
Kecerahan
Satuan
M
2
3
4
5
Suhu
Salinitas
pH
DO
C
/00
Mg/l
Mg/l
0
0
Budidaya Laut
Coral:>5a)
mangrove; lamun: >3a)
alami1b)
alami1c)
7 – 8,5
>5
6
7
8
9
Nitrat
Fosfat
BOD5
TSS
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
0,008
0,015
20
Coral:>20 e)
mangrove; 80e)
lamun: >20e)
Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang,
malam dan musim).
a) = Diperbolehkanterjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH
b) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 3 m
(KLH, 2004; Akbar 2001).
Ø Kekeruhan
Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu
banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna
dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil
tersuspensi lainnya.
Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman
pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat
sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat
besar pada metabolism makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk
berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup
pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto,
2005; Alaerts dan Santika, 1987).
Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin
tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan
tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air
laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya
tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha
budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi
menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang
menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat
bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total
suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap
kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui
beberapa mekanisme berikut ini:
-
Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air;
-
Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
-
Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena
terlapisi oleh padatan;
-
Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa
-
dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
-
Gangguanterhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena
padatan menghalangi sinar yang masuk;
-
Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.
Ø Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan budidaya umnya warna perairan yang baik
digunakan dalam kegiatan budidaya KJA dilaut adalh perairan yang memiliki warna
yang tidak terlalu pekat atau sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut)
b. Parameter Kimia Air
Parameter kimia didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang
keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air seperti :
Ø DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut
digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu,
1991).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup
didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut
di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak
mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan 0,0-15,0
mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan
sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang
secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen
terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995;
Akbar, 2001).
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami,
sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen
(Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen
perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air,
pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke
badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua
kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas ikan.
Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan akan oksigen antara
tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur molekul sel
darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial oksigen dalam air dan
dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Brown and Gratzek, 1980).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak
menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di
perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan.
Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi
berbagai organisme perairan (Dahuri et al, 2004). Dalam situasi tertentu ikan akan
berenang menjauhi air yang kadar oksigennya rendah, terutama melampaui batas
yang diinginkan. Pada prinsipnya insang merupakan organ yang dipergunakan ikan
untuk proses respirasi. Insang berfungsi untuk mengekstrak sebagian oksigen dalam
air (Brown and Gatzek,
1980). Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies
tidak sama. Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat
ekstrim. Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang
mampu mengambil oksigen langsung dari udara, misalnya, ikan lele (Clarias sp)
memiliki arborescent organ, atau jenis ikan blodok (Periopthalmus) yang dapat
menggunakan kulitnya (Fujaya, 2004).
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan
dalam Effendi (2003) sebagai berikut :
Tabel 3. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan
Kadar Oksigen Terlarut (mg/l)
Pengaruh Terhadap
Kelangsungan Hidup Ikan
5.0
Pada kisaran ini, hampir semua
organisme akuatik
menyukainnya.
Sumber : Modifikasi Swingle dalam Boyd, 1988.
Ø pH
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam
air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran
pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang
masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7
disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4
merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam
kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh
kapasitaspenyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat
yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik
terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen
terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup
biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan
mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral
yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan
tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil
metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut
dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka
pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang
apabila air mengandung garam CaCO3 (Choliketal., 2005).
Ø Fosfat
Tumbuhan dalam air laut memerlukan N dan P sebagai ion PO 4
–
untuk
pertumbuhan yang disebut nutrient atau unsur hara makro (Brotowidjoyo et al.,
1995). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat
terhambatnya pertumbuhan. Kandungan fosfat 0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan
batas yang layak untuk normalitas kehidupan organisme budidaya. (Winanto, 2000).
Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa
organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut
(Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan
merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankon. Oleh
karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan ortofosfat terlarut
sangat penting (Boyd, 1981).
Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan organik melalui darat
atau juga dari pengikisan batuan fosfor oleh aliran air dan dekomposisi organisme
yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti variable oksigen dan
salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang alami dalam suatu perairan
atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).
Ø Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme
dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama
pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk
amonia,amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya.
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
(NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N
dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala
kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi
nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit,
nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan
industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme
hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar
ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1
mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan
Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga
berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah
mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah
ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit
bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara
ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan
proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat
merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan
dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh
ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk
keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat
adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).
Ø Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO 2 yang
terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil
proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi
organisme akuatik. Tingginya kandungan CO 2 pada perairan dapat mengakibatkan
terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO 2 bebas 12 mg/l dapat
menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan
pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua
organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).
Ø COD (Chemical Oxygen Demand)
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical
Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD
dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di
dalam perairan (A. Laerst dan Sartika, 1987).
Ø BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau
mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan
bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat
diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD
yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan
menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi
mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20
0
C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982).
Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat
berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 4).
Tabel 4. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran BOD5 (mg/l)
Kriteria Kualitas Perairan
” 2,9
3,0 – 5,0
Tidak tercemar
Tercemar ringan
5,1 – 14,9
Tercemar sedang
• 15,0
Tercemar berat
Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 4 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai
BOD.Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai
sistem budidaya.
c. Parameter Biologi Air
Secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah
kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini
dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam
perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Secara singkat dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih
dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Ø Plankton
Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak
mengikuti arus (Bal and Rao, 1984), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan
zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut, karena
menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Nontji, 1993 ; Nybakken,
1992).
Menurut Newell and Newell (1963) daur hidupnya plankton digolongkan atas:
-
Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik
-
Meroplankton merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur
hidupnya bersifat planktonik.
Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang
cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau
daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Produktifitas
fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta
makrophite (Boyd, 1981). Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran
ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam rantai
makanan di perairan atau yang disebut produsen primer (Odum, 1979).
Distribusi fitoplankton menjadi penting karena kemampuan beradaptasi dari
jenis-jenis fitoplankton tersebut. Perubahan komposisi jenis dan kepadatan terjadi
karena pengaruh faktor-faktor berupa perubahan musim, jumlah konsentrasi cahaya
dan temperatur. Perubahan-perubahan kandungan meneral, salinitas, run off, dan
aktifitas di darat dapat juga merubah komposisi fitoplankton di laut (Basmi, 2000
Ø Klorofil-a
Sifat- sifat plankton yaitu memiliki pigmen yang lengkap mulai dari klorofil-a
hingga klorofil-c, sehingga kadang diberi nama berdasarkan warnanya. Kesuburan
perairan, salah satu indikatornya dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Basmi,
2000). Kandungan klorofil-a pada setiap jenis dalam kelas, berbeda berdasarkan
kemampuan menyerap dan membiaskan panjang gelombang cahaya yang diterima.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, mampu
melaksanakan reaksi fotosintesa menghasilkan senyawa organik. Pigmen klorofil-a
merupakan pigmen yang paling besar dan dominan dibandingkan dengan klorofil-b
atau klorofil-c. Kandungan klorofil-a berbeda berdasarkan lokasi (Nontji, 2005), dan
mempunyai hubungannya positif antara total fitoplankton dan klorofil-a (Akbulut,
2003)
Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem
keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budida
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Faktor lingkungan memegang peranan penting dalam mendukung usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan. Selain memenuhi persyaratan
untuk pertumbuhan dan perkembangan ikan yang dipelihara, juga sarana dan
prasarana pendukung harus tersedia secara memadai serta sosial ekonomi
masyarakat yang kondusif.
Permintaan ikan-ikan karang khususnya kerapu dan lobster terus meningkat
seiring dengan semakin membaiknya perekonomian dan meningkatnya minat
masyarakat untuk mengkonsumsi ikan-ikan karang. Harga yang cukup tinggi dan
akses pasar yang cukup lancar, mendorong usaha penangkapan ikan-ikan karang
berkembang demikian pesat. Namun demikian, rendahnya penguasaan teknologi
dan sarana penangkapan yang dimiliki nelayan, mengakibatkan hasil tangkapan
sangat rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan hasil
tangkapan, di antaranya melalui peningkatan intensitas tangkap, penggunaan bahan
peledak, racun sianida dan tindakan-tindakan destruktif lainnya. Intensitas
penangkapan yang tinggi disertai penggunaan bahan-bahan berbahaya dan
beracun, tidak hanya menimbulkan tekanan pada populasi ikan yang terdapat di
alam, melainkan juga dapat merusak lingkungan, seperti rusaknya terumbu karang
dan padang lamun yang menjadi habitatnya, sehingga kapasitas daya dukung
lingkungan menurun.
Berkembangnya usaha pembesaran ikan dalam KJA selain berpengaruh
pada aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, juga berdampak pada aspek
lingkungan baik yang bersifat positif maupun negatif, langsung maupun tidak
langsung. Walaupun ikan-ikan karang termasuk sumberdaya dapat pulih (renewable
resources), tidak berarti bahwa sumberdaya ini dapat dieksploitasi secara
berlebihan, apalagi dengan cara-cara yang merusak. Ketika upaya eksploitasi
(fishing effort) lebih besar dari pada tangkapan optimum (Maximum Sustainable
Yield, MSY), akan terjadi pemanfaatan yang berlebihan (over exploitated). Gejala
tangkap lebih (overfishing) yang disertai menurunnya daya dukung lingkungan dapat
mengancam kapasitas keberlanjutan ikan-ikan ekonomis dan bahkan dapat terjadi
kepunahan. Gejala tangkap lebih umumnya terjadi di wilayah pesisir yang padat
penduduknya dengan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya
pesisir dan laut.
Kerusakan wilayah pesisir juga dapat disebabkan oleh berbagai aktivitas
nelayan maupun proses-proses alamiah baik yang terdapat di lahan atas (upland
areas) maupun laut lepas (oceans). Sifat sumberdaya pesisir yang merupakan
sumberdaya milik bersama (common proverty resources), aksesnya bebas dan
terbuka. Sumberdaya yang terkandung di dalamnya dapat dieksploitasi secara
bebas oleh semua orang (open access), sehingga wilayah pesisir sangat rentan dari
kerusakan.
Untuk memanfaatkan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dan
berkelanjutan, perlu didukung dengan kebijakan yang mampu memperbesar dampak
positif dan sekecil mungkin dampak negatif.
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA yang
meliputi :
-
Kesesuaian lokasi,
-
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
-
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
-
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA.
B. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan
Analisis aspek lingkungan usaha pembesaran ikan dalam keramba jaring
apung (KJA) bertujuan menganalisis dan mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan
yang berperan dalam mendukung usaha pembesaran ikan dalam KJA meliputi :
·
Kesesuaian lokasi
·
Ketersediaan sarana produksi dan pendukung
·
Persepsi dan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan, dan
·
Peluang usaha dan kesempatan kerja yang tersedia sebagai dampak usaha
pembesaran ikan dalam KJA
2. Manfaat
Hasil analisis ini diharapkan bermanfaat:
·
Sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan investasi, skim kredit,
infra struktur, kelembagaan dan hukum serta penelitian dan penyuluhan
·
Bahan acuan bagi masyarakat dan swasta dalam mengembangkan sistem usaha
pembesaran ikan dalam KJA yang berkelanjutan
·
Menambah khasanah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengetahui kelayakan
suatau perairan untuk budidaya KJA di laut.
BAB II
PEMBAHASAN
Guna memperoleh suatu perairan yang layak untuk kegiatan budidaya KJA di
laut memerlukan pemilihan lokasi yang tepat dengan memperhatikan beberapa
aspek antara lain :
A. Aspek Resiko
Adapun faktor-faktor resiko yang harus diperhatikan dalam pemilihan lokasi
untuk kegiatan budidaya KJA di lau antara lain:
1. Faktor Pencemaran
Dalam memilih lokasi yang tepat untuk kegiatan budidaya KJA di laut harus
memperhatikan faktor pencemaran baik dari kegiatan budidaya itu sendiri maupun
kegiatan lain yang akan menimbulkan pencemaran sehingga akan mengganggu
aktifitas budidaya di KJA.
Dalam dunia perikanan, yang dimaksud dengan pencemaran perairan adalah
penambahan sesuatu berupa bahan atau energi ke dalam perairan yang
menyebabkan perubahan kualitas air sehingga mengurangi atau merusak nilai guna
air dan sumber air perairan tersebut.
Bahan pencemar yang biasa masuk kedalam suatu badan perairan pada
prinsipnya dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu bahan pencemar yang sulit
terurai dan bahan pencemar yang mudah terurai. Contoh bahan pencemar yang sulit
terurai berupa persenyawaan logam berat, sianida, DDT atau bahan organik sintetis.
Contoh bahan pencemar yang mudah terurai berupa limbah rumah tangga, bakteri,
limbah panas atau limbah organik. Kedua jenis bahan pencemar tersebut umumnya
disebabkan oleh kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebab kedua adalah keadaan alam seperti : banjir atau gunung meletus.
Jika lokasi budidaya mengandung bahan pencemar maka akan berpengaruh
terhadap kehidupan ikan yang dipelihara didalam wadah budidaya ikan tersebut.
2. Faktor Keamanan (savety)
Lokasi budidaya KJA di laut harus terhindar dari hal-hal yang dapat
menimbulkan gangguan keamanan baik pencurian maupun gangguan dari hama
seperti hama competitor (penyaing), predator (pemangsa), dan perusak yang dapat
mengganggu keamanan biota budidaya.
Selain itu lokasi KJA juga harus aman dari kondisi gelombang yang besar
karena jika gelombang terlalu besar maka akan menimbulkan kerusakan pada KJA.
Lokasi yang memiliki gelombang yang tidak terlalu besar saperti pada daerah teluk.
3. Arus
Adanya arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan
angin terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah
pantai (Raharjo dan Sanusi, 1983 dalam Satriadi dan Widada, 2004). Pasang surut
juga dapat menggantikan air secara total dan terus menerus sehingga
Arus mempunyai pengaruh positif dan negatif bagi kehidupan biota perairan.
Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan jazad hidup akibat pengikisan atau
teraduknya substrat dasar berlumpur yang berakibat pada kekeruhan sehingga
terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang lain, manfaat dari arus adalah menyuplai
makanan, kelarutan oksigen, penyebaran plankton dan penghilangan CO2 maupun
sisa-sisa produk biota laut (Beverige, 1987 ; Romimohtarto, 2003). Kenyataan yang
tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat
kegiatan budidaya laut (Ghufron dan Kordi, 2005). Arus juga sangat penting dalam
sirkulasi air, pembawa bahan terlarut dan padatan tersuspensi (Dahuri, 2003), serta
dapat berdampak pada keberadaan organisme penempel (Akbar et al, 2001).
Kecepatan arus perairan untuk budidaya keramba jaring apung di laut tidak boleh
lebih dari 100 cm/detik (Gufron dan Kordi, 2005) dan kecepatan arus bawah 25
cm/dt.
4. Kedalaman perairan keramba jaring apung
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan
didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan
arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang
lebih dalam (Odum, 1979). Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh
pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai
tingkat kekeruhan yang tinggi. Kedalaman perairan berpengaruh terhadap jumlah
dan jenis organisme yang mendiaminya, penetrasi cahaya, dan penyebaran
plankton. Dalam kegiatan budidaya variabel ini berperanan dalam penentuan
instalasi budidaya yang akan dikembangkan dan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
kegiatan tersebut.
Kedalaman perairan merupakan faktor yang diperlukan dalam kegiatan baik
terhadap organisme yang membutuhkan kedalaman rendah sampai cukup dalam.
Beberapa biota seperti rumput laut membutuhkan perairan yang tidak terlalu dalam
dibandingkan dengan budidaya ikan kerapu dan tiram mutiara. Ikan kerapu sangat
tergantung dari pakan buatan (artificial food), maka untuk menjaga terakumulasinya
sisa pakan pada dasar perairan, diharapkan ada perbedaan jarak antara dasar
perairan dengan dasar jaring. Akumulasi yang terjadi berupa proses dekomposisi
dari sisa pakan yang menghasilkan senyawa organik. Kedalaman yang dianjurkan
adalah berkisar 5-25 meter (Deptan, 1992 ; DKP, 2002)
5. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan. Pemilihan lokasi sebaiknya tidak menimbulkan konflik
dengan kepentingan lain. Beberapa kegiatan perikanan (penangkapan ikan,
pemasangan bubu, dan bagan) serta kegiatan bukan perikanan (pariwisata,
perhubungan laut, industri dan taman laut) dapat dipengaruhi negative terhadap
aktifitas budidaya laut.
6. Dasar Perairan
Kondisi dasar perairan akan sangat berpengaruh terhadap kualitas air
diatasnya. Dasar perairan yang mengalami pelumpuran, bila terjadi gerakan air oleh
arus maupun gelombang akan membawa partikel dasar ke permukaan (Upwelling)
yang akan menyebabkan kekeruhan, sehingga penetrasi cahaya matahari menjadi
berkurang dan partikel lumpur ini berpotensi menutup insang ikan. Arus air sangat
membantu pertukaran air dalam keramba, membersihkan timbunan sisa-sisa
metabolism ikan dan membawa oksigen terlarut yang dibutuhkan ikan. Sebaliknya
apabila kecepatan arus tinggi akan sangat berpotensi merusak konstruksi keramba
serta dapat menyebebkan stress pada ikan, selera makan ikan akan berkurang dan
energi banyak yang terbuang (Achmad 2008).
Substrat dasar berpengaruh terhadap jenis hewan dasar yang hidup pada
daerah tersebut. Kehidupan biota sesuai dengan habitatnya, dimana pada substrat
yang keras dihuni oleh hewan yang mampu melekat dan pada substrat yang lunak
dihuni oleh organisme yang mampu membuat lubang (Odum, 1979). Substrat dasar
suatu lokasi bervariasi dari bebatuan sampai lumpur dapat berpengaruh terhadap
instalasi budidaya, pertukaran air, penumpukan hasil metabolisme dan kotoran
(Rejeki, 2001).
Menurut Dahuri (2003) mengatakan bahwa substrat juga berperan dalam
menjaga stabilitas sedimen yang mencakup perlindungan dari arus air dan tempat
pengolahan serta pemasukan nutrien. Jenis dan ukuran substrat merupakan salah
satu faktor yang mempengaruhi kandungan bahan organik dan distribusi bentos.
Semakin halus tekstur tersebut semakin tinggi kemampuan untuk menjebak bahan
organik (Nybakken, 1992).
Substrat dasar perairan yang baik untuk lokasi budidaya adalah gugusan
wilayah perairan yang sesuai habitat masing- masing organisme. Substrat dasar
yang cocok untuk budidaya tiram adalah gugusan terumbu karang atau karang
berpasir. Sedangkan untuk ikan kerapu dan rumput laut akan cocok pada substrat
berpasir dan pecahan karang (Bakosurtanal, 1996; Radiarta et al, 2003).
7. Kesesuaian Lingkungan
Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi
dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya.
Termasuk didalamnya akibat dari kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun
pada masa sekarang seperti reklasi daerah-daerah pantai, penebangan hutan dan
akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam Faktor-faktor sosial
dan ekonomi secara murni tidak termasuk dalam konsep lahan ini (Harjowigeno dan
Widiatmaka 2001).
Kesesuaian lahan adalah kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tipe
penggunaan lahan tertentu. Penggunaan lahan secara umum adalah penggolongan
penggunaan lahan seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang
rumput, kehutanan atau daerah rekreasi. Perkembangan penguasaan dan
penggunaan lahan erat kaitannya dengan perkembangan populasi manusia dan
tingkat kebudayaannya dalam upaya manusia mempertahankan kehidupannya.
Perubahan penggunaan lahan yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan
terganggunya ekosistem di suatu wilayah apalagi bila wilayah tersebut merupakan
pulau kecil. Dalam aktivitas budidaya laut istilah kesesuaian lahan dipadankan
dengan kesesuaian perairan, secara umum kualitas perairan untuk budidaya laut
dan pariwisata dianalisis dengan menggunakan pedoman pada baku mutu air laut
yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri
Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Baku Mutu Air Laut untuk Budidaya
No.
1
Parameter
Kecerahan
Satuan
M
2
3
4
5
Suhu
Salinitas
pH
DO
C
/00
Mg/l
Mg/l
0
0
Budidaya Laut
Coral:>5a)
mangrove; lamun: >3a)
alami1b)
alami1c)
7 – 8,5
>5
6
7
8
9
Nitrat
Fosfat
BOD5
TSS
Mg/l
Mg/l
Mg/l
Mg/l
0,008
0,015
20
Coral:>20 e)
mangrove; 80e)
lamun: >20e)
Sumber : Kepmen Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004
Keterangan:
Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat(siang,
malam dan musim).
a) = Diperbolehkanterjadi perubahan sampai dengan < 0,2 satuan pH
b) = Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan 3 m
(KLH, 2004; Akbar 2001).
Ø Kekeruhan
Kekeruhan merupakan sifat fisik air yang tidak hanya membahayakan ikan
tetapi juga menyebabkan air tidak produktif karena menghalangi masuknya sinar
matahari untuk fotosintesa. Kekeruhan ini disebabkan air mengandung begitu
banyak partikel tersuspensi sehingga merubah bentuk tampilan menjadi berwarna
dan kotor. Adapun penyebab kekeruhan ini antara lain meliputi tanah liat, lumpur,
bahan-bahan organik yang tersebar secara baik dan partikel-partikel kecil
tersuspensi lainnya.
Tingkat kekeruhan air di perairan mempengaruhi tingkat kedalaman
pencahayaan matahari, semakin keruh suatu badan air maka semakin menghambat
sinar matahari masuk ke dalam air. Pengaruh tingkat pencahayaan matahari sangat
besar pada metabolism makhluk hidup dalam air, jika cahaya matahari yang masuk
berkurang maka makhluk hidup dalam air terganggu, khususnya makhluk hidup
pada kedalaman air tertentu, demikian pula sebaliknya (Hardjojo dan Djokosetiyanto,
2005; Alaerts dan Santika, 1987).
Padatan tersuspensi dan kekeruhan memiliki korelasi positif yaitu semakin
tinggi nilai padatan tersuspensi maka semakin tinggi pula nilai kekeruhan. Akan
tetapi, tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan tingginya kekeruhan. Air
laut memiliki nilai padatan terlarut yang tinggi, tetapi tidak berarti kekeruhannya
tinggi pula (Effendi, 2003). Padatan tersuspensi perairan yang baik untuk usaha
budidaya perikanan laut adalah 5 – 25 mg/l (KLH, 2004). Padatan tersuspensi
menciptakan resiko tinggi terhadap kehidupan dalam air pada aliran air yang
menerima tailings di kawasan dataran rendah. Dalam daftar berikut ini, dapat dilihat
bahwa padatan tersuspensi dalam jumlah yang berlebih (diukur sebagai total
suspended solids – TSS) memiliki dampak langsung yang berbahaya terhadap
kehidupan dan bisa mengakibatkan kerusakan ekologis yang signifikan melalui
beberapa mekanisme berikut ini:
-
Abrasi langsung terhadap insang binatang air atau jaringan tipis dari tumbuhan air;
-
Penyumbatan insang ikan atau selaput pernapasan lainnya;
-
Menghambat tumbuhnya/smothering telur atau kurangnya asupan oksigen karena
terlapisi oleh padatan;
-
Gangguan terhadap proses makan, termasuk proses mencari mangsa
-
dan menyeleksi makanan (terutama bagi predation dan filter feeding;
-
Gangguanterhadap proses fotosintesis oleh ganggang atau rumput air karena
padatan menghalangi sinar yang masuk;
-
Perubahan integritas habitat akibat perubahan ukuran partikel.
Ø Warna Perairan
Pada umunakan dalam kegiatan budidaya umnya warna perairan yang baik
digunakan dalam kegiatan budidaya KJA dilaut adalh perairan yang memiliki warna
yang tidak terlalu pekat atau sewajarnya saja (kecokelatan/biru laut)
b. Parameter Kimia Air
Parameter kimia didefinisikan sebagai sekumpulan bahan/zat kimia yang
keberadaannya dalam air mempengaruhi kualitas air seperti :
Ø DO (Oksigen Terlarut)
Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme.
Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang
berakibat pada kematian organisme perairan. Sedangkan pengaruh yang tidak
langsung adalah meningkatkan toksisitas bahan pencemar yang pada akhirnya
dapat membahayakan organisme itu sendiri. Hal ini disebabkan oksigen terlarut
digunakan untuk proses metabolisme dalam tubuh dan berkembang biak (Rahayu,
1991).
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan makhluk hidup
didalam air maupun hewan teristrial. Penyebab utama berkurangnya oksigen terlarut
di dalam air adalah adanya bahan-bahan buangan organik yang banyak
mengkonsumsi oksigen sewaktu penguraian berlangsung (Hardjojo dan 0,0-15,0
mg/l (Hadic dan Jatna, 1998).
Konsentrasi oksigen terlarut yang aman bagi kehidupan diperairan
sebaiknya harus diatas titik kritis dan tidak terdapat bahan lain yang bersifat racun,
konsentrasi oksigen minimum sebesar 2 mg/l cukup memadai untuk menunjang
secara normal komunitas akuatik di periaran (Pescod, 1973). Kandungan oksigen
terlarut untuk menunjang usaha budidaya adalah 5 – 8 mg/l (Mayunar et al., 1995;
Akbar, 2001).
Pada perairan yang terbuka, oksigen terlarut berada pada kondisi alami,
sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka yang miskin oksigen
(Brotowidjoyo et al., 1995). Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen
perairan tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran masa air,
pergerakan masa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke
badan air (Effendi, 2003). Kebutuhan oksigen pada ikan mempunyai dua
kepentingan yaitu : kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan
konsumtif yang tergantung pada metabolisme ikan (Ghufron dan Kordi, 2005).
Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air dapat menghambat aktivitas ikan.
Oksigen diperlukan untuk pembakaran dalam tubuh. Kebutuhan akan oksigen antara
tiap spesies tidak sama. Hal ini disebabkan adanya perbedaan struktur molekul sel
darah ikan yang mempunyai hubungan antara tekanan partial oksigen dalam air dan
dengan keseluruhan oksigen dalam sel darah (Brown and Gratzek, 1980).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya sangat kecil sehingga tidak
menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo et al, 1995). Keberadaan oksigen di
perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses kimia biologi perairan.
Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai senyawa kimia dan respirasi
berbagai organisme perairan (Dahuri et al, 2004). Dalam situasi tertentu ikan akan
berenang menjauhi air yang kadar oksigennya rendah, terutama melampaui batas
yang diinginkan. Pada prinsipnya insang merupakan organ yang dipergunakan ikan
untuk proses respirasi. Insang berfungsi untuk mengekstrak sebagian oksigen dalam
air (Brown and Gatzek,
1980). Kemampuan bertahan terhadap perubahan oksigen untuk setiap spesies
tidak sama. Beberapa jenis ikan dapat bertahan pada kondisi oksigen yang sangat
ekstrim. Hal ini disebabkan beberapa ikan memiliki pernapasan tambahan yang
mampu mengambil oksigen langsung dari udara, misalnya, ikan lele (Clarias sp)
memiliki arborescent organ, atau jenis ikan blodok (Periopthalmus) yang dapat
menggunakan kulitnya (Fujaya, 2004).
Kadar oksigen terlarut dan pengaruhnya terhadap kelangsungan hidup ikan
dalam Effendi (2003) sebagai berikut :
Tabel 3. Kadar Oksigen Terlarut dan Pengaruhnya pada Kelangsungan Hidup Ikan
Kadar Oksigen Terlarut (mg/l)
Pengaruh Terhadap
Kelangsungan Hidup Ikan
5.0
Pada kisaran ini, hampir semua
organisme akuatik
menyukainnya.
Sumber : Modifikasi Swingle dalam Boyd, 1988.
Ø pH
pH merupakan suatu pernyataan dari konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam
air, besarannya dinyatakan dalam minus logaritma dari konsentrasi ion H. Besaran
pH berkisar antara 0 – 14, nilai pH kurang dari 7 menunjukkan lingkungan yang
masam sedangkan nilai diatas 7 menunjukkan lingkungan yang basa, untuk pH =7
disebut sebagai netral (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Perairan dengan pH < 4
merupakan perairan yang sangat asam dan dapat menyebabkan kematian makhluk
hidup, sedangkan pH > 9,5 merupakan perairan yang sangat basa yang dapat
menyebabkan kematian dan mengurangi produktivitas perairan.
Perairan laut maupun pesisir memiliki pH relatif lebih stabil dan berada dalam
kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,7 – 8,4. pH dipengaruhi oleh
kapasitaspenyangga (buffer) yaitu adanya garam-garam karbonat dan bikarbonat
yang dikandungnya (Boyd, 1982; Nybakken, 1992).
Pescod (1973) menyatakan bahwa toleransi untuk kehidupan akuatik
terhadap pH bergantung kepada banyak faktor meliputi suhu, konsentrasi oksigen
terlarut, adanya variasi bermcam-macam anion dan kation, jenis dan daur hidup
biota. Perairan basa (7 – 9) merupakan perairan yang produktif dan berperan
mendorong proses perubahan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral
yang dapat diassimilasi oleh fotoplankton (Suseno, 1974). pH air yang tidak optimal
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakan ikan, menyebabkan
tidak efektifnya pemupukan air di kolam dan meningkatkan daya racun hasil
metabolisme seperti NH3 dan H2S. pH air berfluktuasi mengikuti kadar CO2 terlarut
dan memiliki pola hubungan terbalik, semakin tinggi kandungan CO2 perairan, maka
pH akan menurun dan demikian pula sebaliknya. Fluktuasi ini akan berkurang
apabila air mengandung garam CaCO3 (Choliketal., 2005).
Ø Fosfat
Tumbuhan dalam air laut memerlukan N dan P sebagai ion PO 4
–
untuk
pertumbuhan yang disebut nutrient atau unsur hara makro (Brotowidjoyo et al.,
1995). Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas toleransi dapat berakibat
terhambatnya pertumbuhan. Kandungan fosfat 0,1011 μg/l - 0,1615 μg/l merupakan
batas yang layak untuk normalitas kehidupan organisme budidaya. (Winanto, 2000).
Dalam perairan fosfat berbentuk orthofosfat, organofosfat atau senyawa
organik dalam bentuk protoplasma, dan polifosfat atau senyawa organik terlarut
(Sastrawijaya, 2000). Fosfat dalam bentuk larutan dikenal dengan orthofosfat dan
merupakan bentuk fosfat yang digunakan oleh tumbuhan dan fitoplankon. Oleh
karena itu, dalam hubungan dengan rantai makanan diperairan ortofosfat terlarut
sangat penting (Boyd, 1981).
Fosfat terlarut biasanya dihasilkan oleh masukan bahan organik melalui darat
atau juga dari pengikisan batuan fosfor oleh aliran air dan dekomposisi organisme
yang sudah mati (Hutagalung dan Rozak, 1997). Seperti variable oksigen dan
salinitas, ortofosphat juga berada dalam nilai-nilai yang alami dalam suatu perairan
atau biolimited element (Brotowidjoyo et al, 1995).
Ø Nitrogen
Nitrogen merupakan salah satu unsur penting bagi pertumbuhan organisme
dan proses pembentukan protoplasma, serta merupakan salah satu unsur utama
pembentukan protein. Diperairan nitrogen biasanya ditemukan dalam bentuk
amonia,amonium, nitrit dan nitrat serta beberapa senyawa nitrogen organik lainnya.
Pada umumnya nitrogen diabsorbsi oleh fitoplankton dalam bentuk nitrat
(NO3 – N) dan ammonia (NH3 – N). Fitoplankton lebih banyak menyerap NH3 – N
dibandingkan dengan NO3 – N karena lebih banyak dijumpai diperairan baik dala
kondisi aerobik maupun anaerobik. Senyawa-senyawa nitrogen ini sangat
dipengaruhi oleh kandungan oksigen dalam air, pada saat kandungan oksigen
rendah nitrogen berubah menjadi amoniak (NH3) dan saat kandungan oksigen tinggi
nitrogen berubah menjadi nitrat (NO3-) (Welch, 1980). Senyawa ammonia, nitrit,
nitrat dan bentuk senyawa lainnya berasal dari limbah pertanian, pemukiman dan
industri. Secara alami senyawa ammonia di perairan berasal dari hasil metabolisme
hewan dan hasil proses dekomposisi bahan organik oleh bakteri. Jika kadar
ammonia di perairan terdapat dalam jumlah yang terlalu tinggi (lebih besar dari 1,1
mg/l pada suhu 25 0C dan pH 7,5) dapat diduga adanya pencemaran (Alaerst dan
Sartika, 1987).
Sumber ammonia di perairan adalah hasil pemecahan nitrogen organic
(protein dan urea) dan nitrogen anorganik yang terdapat dalam tanah dan air, juga
berasal dari dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota akuatik yang telah
mati) yang dilakukan oleh mikroba dan jamur yang dikenal dengan istilah
ammonifikasi (Effendi, 2003). Nitrit (NO2) biasanya ditemukan dalam jumlah yang
sangat sedikit di perairan alami, kadarnya lebih kecil daripada nitrat karena nitrit
bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara
ammonia dan nitrat serta antara nitrat dan gas nitrogen yang biasa dikenal dengan
proses nitrifikasi dan denitrifikasi (Effendi, 2003).
Nitrat (NO3) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami. Nitrat
merupakan salah satu nutrien senyawa yang penting dalam sintesa protein hewan
dan tumbuhan. Konsentrasi nitrat yang tinggi di perairan dapat menstimulasi
pertumbuhan dan perkembangan organisme perairan apabila didukung oleh
ketersediaan nutrient (Alaerst dan Sartika, 1987). Konsentrasi ammonia untuk
keperluan budidaya laut adalah ” 0,3 mg/l (KLH, 2004). Sedangkan untuk nitrat
adalah berkisar antara 0,9 – 3,2 mg/l (KLH, 2004; DKP, 2002).
Ø Karbondioksida (CO2) Bebas
Karbondioksida bebas merupakan istilah untuk menunjukkan CO 2 yang
terlarut di dalam air. CO2 yang terdapat dalam perairan alami merupakan hasil
proses difusi dari atmosfer, air hujan, dekomposisi bahan organik dan hasil respirasi
organisme akuatik. Tingginya kandungan CO 2 pada perairan dapat mengakibatkan
terganggunya kehidupan biota perairan. Konsentrasi CO 2 bebas 12 mg/l dapat
menyebabkan tekanan pada ikan, karena akan menghambat pernafasan dan
pertukaran gas. Kandungan CO2 dalam air yang aman tidak boleh melebihi 25 mg/l,
sedangkan konsentrasi CO2 lebih dari 100 mg/l akan menyebabkan semua
organisme akuatik mengalami kematian (Wardoyo, 1979).
Ø COD (Chemical Oxygen Demand)
Hardjojo dan Djokosetiyanto (2005) menyatakan bahwa COD (Chemical
Oxygen Demand) merupakan suatu uji yang menentukan jumlah oksigen yang
dibutuhkan oleh bahan oksidan. Uji COD biasanya menghasilkan nilai kebutuhan
oksigen yang lebih tinggi dibandingkan uji BOD karena bahan-bahan yang stabil
terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dengan uji COD.
Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organik
yang secara alami dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis yang
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air. Sedangkan nilai COD
dapat memberikan indikasi kemungkinan adanya pencemaran limbah industri di
dalam perairan (A. Laerst dan Sartika, 1987).
Ø BOD (Biochemical Oxygen Demand)
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau kebutuhan oksigen menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk memecah atau
mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi yang
ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut, maka berarti kandungan
bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen tinggi. Konsumsi oksigen dapat
diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20 0C selama 5 hari, dan nilai BOD
yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan
menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah inkubasi
(Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005).
BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi
mikroba aerob yang terdapat pada botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20
0
C selama 5 hari dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd, 1982).
Berikut akan disajikan derajat pencemaran suatu badan perairan yang dilihat
berdasarkan nilai BOD5 (Tabel 4).
Tabel 4. Derajat Pencemaran Berdasarkan Nilai BOD5
Kisaran BOD5 (mg/l)
Kriteria Kualitas Perairan
” 2,9
3,0 – 5,0
Tidak tercemar
Tercemar ringan
5,1 – 14,9
Tercemar sedang
• 15,0
Tercemar berat
Sumber: Lee (1987) dalam Sukardiono (1987).
Tabel 4 menyajikan tingkat pencemaran di badan perairan berdasarkan nilai
BOD.Kriteria ini merupakan kriteria untuk organisme budidaya dengan berbagai
sistem budidaya.
c. Parameter Biologi Air
Secara keseluruhan parameter biologi mampu memberikan indikasi apakah
kualitas air pada suatu perairan masih baik atau sudah kurang baik, hal ini
dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih dapat hidup dalam
perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Secara singkat dinyatakan dalam jumlah dan jenis biota perairan yang masih
dapat hidup dalam perairan (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005; Effendi, 2003).
Ø Plankton
Plankton merupakan organisme pelagik yang mengapung atau bergerak
mengikuti arus (Bal and Rao, 1984), terdiri atas dua tipe yakni fitoplankton dan
zooplankton. Plankton mempunyai peranan penting dalam ekosistem di laut, karena
menjadi bahan makanan bagi berbagai jenis hewan laut (Nontji, 1993 ; Nybakken,
1992).
Menurut Newell and Newell (1963) daur hidupnya plankton digolongkan atas:
-
Holoplankton adalah plankton yang seluruh daur hidupnya bersifat planktonik
-
Meroplankton merupakan organisme akuatik yang sebagian dari daur
hidupnya bersifat planktonik.
Fitoplankton hanya dapat hidup di tempat yang mempunyai sinar yang
cukup, sehingga fitoplankton hanya dijumpai pada lapisan permukaan air atau
daerah-daerah yang kaya akan nutrien (Hutabarat dan Evans, 1995). Produktifitas
fitoplankton dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara nitrat dan fosfat serta
makrophite (Boyd, 1981). Fitoplankton sebagai pakan alami mempunyai peran
ganda, yakni berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan dasar dalam rantai
makanan di perairan atau yang disebut produsen primer (Odum, 1979).
Distribusi fitoplankton menjadi penting karena kemampuan beradaptasi dari
jenis-jenis fitoplankton tersebut. Perubahan komposisi jenis dan kepadatan terjadi
karena pengaruh faktor-faktor berupa perubahan musim, jumlah konsentrasi cahaya
dan temperatur. Perubahan-perubahan kandungan meneral, salinitas, run off, dan
aktifitas di darat dapat juga merubah komposisi fitoplankton di laut (Basmi, 2000
Ø Klorofil-a
Sifat- sifat plankton yaitu memiliki pigmen yang lengkap mulai dari klorofil-a
hingga klorofil-c, sehingga kadang diberi nama berdasarkan warnanya. Kesuburan
perairan, salah satu indikatornya dinyatakan dalam konsentrasi klorofil-a (Basmi,
2000). Kandungan klorofil-a pada setiap jenis dalam kelas, berbeda berdasarkan
kemampuan menyerap dan membiaskan panjang gelombang cahaya yang diterima.
Fitoplankton sebagai tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil, mampu
melaksanakan reaksi fotosintesa menghasilkan senyawa organik. Pigmen klorofil-a
merupakan pigmen yang paling besar dan dominan dibandingkan dengan klorofil-b
atau klorofil-c. Kandungan klorofil-a berbeda berdasarkan lokasi (Nontji, 2005), dan
mempunyai hubungannya positif antara total fitoplankton dan klorofil-a (Akbulut,
2003)
Secara singkat kriteria kualitas air untuk lokasi budidaya ikan dengan sistem
keramba jaring apung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 5. Kriteria Kualitas Air untuk Lokasi Budida