hukum keluarga di negara iran
Hukum Keluarga Islam di Iran
Oleh:
Iftitah Utami
1385148
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Muhammad Adil, M.A
PENDAHULUAN
Orang-orang Iran sering menyebut negerinya “Iran” (Negeri
Arya atau “Masyarakat termasyhur), sementara orang luar,
dalam waktu yang sama menyebutnya Persia, menunjuk
pada Pars, sekarang Fars, wilayah bagian selatan Iran.
Nama Persia bertahan hingga hingga tahun 1935, ketika
pemerintah Teheran secara resmi meminta masyarakat
dunia menggunakan nama Iran.
Luas wilayah Iran 1.648.000 km2. Iran berbatasan dengan
laut Caspian, Republik Caspian, Republik Amenia,
Azerbaizan, dan Turkmenistan disebelah utara; Afganistan
dan Pakistan disebelah timur; Teluk Persia dan Oman di
sebelah selatan; dan Turki dan Irak disebelah barat.
Penduduk Iran berjumlah 64 juta (1996), dan merupakan
negeri terbanyak penduduknya di Asia Tengah. Penduduk
Iran beragama Islam sekitar 95,5%, sisanya penganut,
Zoroaster, dan Yahudi. Mayoritas umat Islam penganut
faham Syiah Isna Asy’ari,. Sementara penganut faham
sunni menjadi warga minoritas.
PEMBAHASAN
Upaya mengkodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak
awal di Iran. Hukum keluarga Iran pertama kali
dikodifikasikan sebagai bagian dari hukum perdata yang
diundangkan dari tahun 1928 s / d 1935. pada tahun
1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang
bertugas menyiapkan draft hukum perdata. Ketentuanketentuan yang berkenaan dengan materi selain hukum
keluarga dan hukum waris diambil dari kode Napoleon
selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syari’ah. Sementara menteri-menteri yang berkenaan
hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan
unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang
ditetapkan komisi tersebut ditetapkan sebagai Qonun
Madani (hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara 19281924.
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World
(New Delhi; The Indian law Institute, 1972), h. 154
Hukum Perdata Iran mencakup berbagai macam aspek hukum
yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861
s/d 949, sementara seluruh buku VII mengatur masalah-masalah
hukum keluarga didasarkan pada hukum tradisional Syi’ah Isna
‘Asyariyah (Ja’fari) menteri hukum waris sebagaimana diatur
dalam hukum perdata berlaku sampai sekarang, tanpa ada
perubahan. Sementara hukum yang mengatur perkawinan dan
perceraian tidak terhindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata
tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun
berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian,
secara terpisah telah diundang-undangkan pada tahun 1931.
undang-undang tersebut memasukkan prinsip-prinsip yang
datur oleh aliran-aliran hukum selain aliran Isna Asyari.
Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan sosial
budaya dan administrative. Pada tahun 1937 dan 1928 juga
ditetapkan undang-undang yang mengatur masalah perkawinan
dan perceraian lebih lanjut.
Ibid.
Reformasi hukum yang lebih penting lagi dilakukan Lembaga
Legislatif Iran pada tahun 1967, pada tanggal 24 juni 1967
diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga. Undangundang in bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami
agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru
ditetapkan, undang-undang ini dimaksudkan untuk mengganti
hukum perlindungan keluarga tahun 1967. undang-undang
tahun 1975 ini, disamping memasukkan ketentuan-ketentuan
mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukan
perubahan-perubahan yang penting yang berkenaan dengan
perceraian. UU ini juga membatasi memberi izin Poligami oleh
pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.
Ibid.
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi,
1987), hal 216
Hukum Perkawinan
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang
ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur
dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk
menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act
tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family
tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan,
yang dipandang telah melewati batas hukum Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran PraRevolusi
Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan , sebelum perkawinan harus dicatatkan pada
lembaga yang berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan di
hukum dengan hukuman penjara selama satu hingga enam bulan.
Aturan tentang pencatatan perkawinan termasuk pembaharuan yang
bersifat regulatory atau administrative. Sebab pelanggarnya hanya
dikenai hukuman fisik, sementara pernikahannya tetap dipandang sah.
Peraturan seperti ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik,
baik dalam mazhab Syi’i maupun mazhab sunni.
Hukum Perkawinan, 1931, pasal 1
perkawinan di bawah umur
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan
bagi pria adalah delapan belas tahun. Bagi
seseorang yang mengawinkan seseorang yang
masih dibawah usia minimum nikah dapat
dipenjara antara enam bulan hingga dua tahun. Jika
seorang anak perempuan dikawinkan dibawah usia
13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat
dipenjara selama dua hingga tiga tahun. Disamping
itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenai denda 2-20 riyal. Dengan demikian ,
ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan
anak dibawah umur merupakan pembaharuan
hukum keluarga di Iran yang bersifat administratif.
Hukum Perdata, pasal 1031
Hukum Keluarga, 1931-1937, pasal 3
Perjanjian Perkawinan
Pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh
membuat perjanjian dalam akad perkawinan, selama tidak
bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut
dapat dilaksanakan dibawah perlindungan pengadilan.
Menurut Mazhab Ja’fari, syarat yang dianggap gugur dalam
akad tidak dianggap dapat menggugurkan akad nikah.
Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat
menggugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika
diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya semua
dampak akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri. Jika
seorang istri ketika akad nikah mensyaratkan kepada suaminya
agar ia tidak kawin dengan wanita lain, tidak menolaknya, tidak
melarangnya keluar rumah, atau mensyaratkan bahwa hak
talak berada ditangannya, tidak mewarisinya, dan persyaratanpersyaratan lain yang bertentangan dengan tujuan akad nikah,
maka persyaratan-persyaratan itu batal, sedangkan akad
nikahnya sendiri tetap sah.
Mughiyah, Fiqih, h. 319-320
Poligami
Seorang pria yang bermaksud berpoligami wajib memberitahukan
kepada calon istri tentang statusnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
dapat dikenakan sanksi. Hukum perlindungan keluarga tahun 1967,
menambahkan ketentuan bahwa seorang pria yang hendak berpoligami
harus mendapatkan persetujuan istri. Jika ketentuan ini dilanggar, istri
pertama dapat menuntut cerai kepengadilan. Suami juga harus
mendapatkan ijin resmi dari pengadilan. Sebelum memberikan izin,
pengadilan akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari
seorang istri; dan apakah ia dapat berbuat adil tehadap istri-istrinya.
Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama
enam bulan hingga enam tahun.
Keharusan adanya persetujuan istri pertama dan izin pengadilan bagi
yang akan berpoligami, disatu sisi dapat dipandang sebagai reformasi
regulatory, karena yang melakukan pelanggaran hanya mendapatkan
hukuman atau sanksi tertentu, sementara perkawinannya sendiri tetap
sah. Disisi lain dapat dipandang sebagai reformasi substantif, karena
seorang suami yang kawin lagi dengan wanita lain tanpa persetujuan
istri pertama dijadikan alasan oleh istri pertama untuk menuntut
perceraian kepengadilan, suatu hal yang tidak diatur dalam mazhab
Ja’fari maupun mazhab sunni.
Hukum Perlindungan Keluarga, 1967, pasal 11 (c)
Nafkah Keluarga
Suami berkewajiban memberikan nafkah pada
istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, tempat
tinggal dan kebutuhan lainnya. Jika seorang
suami tidak dapat memberikan nafkah tersebut,
sang istri mengadukannya pada pengadilan.
Selanjutnya pengadilan akan memerintahkan
suami untuk memberikan nafkah wajib pada
istrinya.
Perceraian
Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 telah
melakukan reformasi hukum yang bersifat
administratif dan substantif sekaligus, yaitu
dengan
menghapus
wewenang
suami
mengikrarkan talak secara sepihak. Menurut
pasal 8 UU tersebut, setiap perceraian, apapun
bentuknya, harus didahului oleh permohonan
pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “
tidak dapat rukun kembali” . Pengadilan baru
mengeluarkan
sertifikat
tersebut
setelah
berupaya maksimal, tetapi tidak berhasil
mendamaikan.
Pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat “tak
dapat rukun kembali” atau keputusan fasakh
pada kasus karena alasan-alasan tertentu
1. Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen
atau berulang-ulang.
2. Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat vitalnya
diamputasi.
3. Istri tak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra
atau kedua matanya buta.
4. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun.
5. Suami atau istri mempuyai kebiasaaan yang membahayakan
pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dakam
kehidupan rumah tangga.
6. Seorang pria tanpa persetujuan istri pertama, kawin dengan
wanita lain.
7. Salah satu pihak menghianati pihak lain.
8. Kesepakatan suami istri untuk bercerai.
9. Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan
kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam
keadaan tertentu.
10. Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum
yang tetap, karana melakukan perbuatan yang dapat
dipandang mencoreng kehormatan bangsa.
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai
(arbitrator)
Pengadilan
dapat
menyerahkan
penyelesaian
perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh
pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus
yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan
dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri
oleh pengadilan, tidak diserah kan pada arbitrator.
Arbitrator, selanjutnya kan berusaha merukunkan
kembali pasangan yang berselisih dalam jangka waktu
yang telah ditentukan oleh pengadilan. Hasilnya
diserahkan pada pengadilan untuk ditindaklanjuti. Jika
arbitrator tidak bisa menyerahkan hasil usahanya
dalam mendamaikan pasangan dalam waktu yang
ditentukan , pengadialan akan mengambil alih usaha
perdamaian
itu
serta
menetukan
keputusan
selanjutnya.
KESIMPULAN
Hukum Perkawinan di negara Iran
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang
ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur
dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk
menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act
tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family
tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan,
yang dipandang telah melewati batas huku Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran Pra-Revolusi
Pencatatn Perkawinan
perkawinan di bawah umur
Perjanjian Perkawinan
Poligami
Nafkah Keluarga
Peceraian
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai (arbitrator)
Oleh:
Iftitah Utami
1385148
Dosen Pembimbing:
Dr. H. Muhammad Adil, M.A
PENDAHULUAN
Orang-orang Iran sering menyebut negerinya “Iran” (Negeri
Arya atau “Masyarakat termasyhur), sementara orang luar,
dalam waktu yang sama menyebutnya Persia, menunjuk
pada Pars, sekarang Fars, wilayah bagian selatan Iran.
Nama Persia bertahan hingga hingga tahun 1935, ketika
pemerintah Teheran secara resmi meminta masyarakat
dunia menggunakan nama Iran.
Luas wilayah Iran 1.648.000 km2. Iran berbatasan dengan
laut Caspian, Republik Caspian, Republik Amenia,
Azerbaizan, dan Turkmenistan disebelah utara; Afganistan
dan Pakistan disebelah timur; Teluk Persia dan Oman di
sebelah selatan; dan Turki dan Irak disebelah barat.
Penduduk Iran berjumlah 64 juta (1996), dan merupakan
negeri terbanyak penduduknya di Asia Tengah. Penduduk
Iran beragama Islam sekitar 95,5%, sisanya penganut,
Zoroaster, dan Yahudi. Mayoritas umat Islam penganut
faham Syiah Isna Asy’ari,. Sementara penganut faham
sunni menjadi warga minoritas.
PEMBAHASAN
Upaya mengkodifikasi hukum Islam telah dilakukan sejak
awal di Iran. Hukum keluarga Iran pertama kali
dikodifikasikan sebagai bagian dari hukum perdata yang
diundangkan dari tahun 1928 s / d 1935. pada tahun
1927, Menteri Keadilan Iran membentuk komisi yang
bertugas menyiapkan draft hukum perdata. Ketentuanketentuan yang berkenaan dengan materi selain hukum
keluarga dan hukum waris diambil dari kode Napoleon
selama tidak bertentangan dengan hukum-hukum
syari’ah. Sementara menteri-menteri yang berkenaan
hukum keluarga dan hukum waris lebih mencerminkan
unifikasi dan kodifikasi hukum syari’ah. Draft yang
ditetapkan komisi tersebut ditetapkan sebagai Qonun
Madani (hukum Perdata) dalam tiga tahap, antara 19281924.
Tahir Mahmood, Family Law Reform in the Muslim World
(New Delhi; The Indian law Institute, 1972), h. 154
Hukum Perdata Iran mencakup berbagai macam aspek hukum
yang berkenaan dengan hukum waris diatur dalam pasal 861
s/d 949, sementara seluruh buku VII mengatur masalah-masalah
hukum keluarga didasarkan pada hukum tradisional Syi’ah Isna
‘Asyariyah (Ja’fari) menteri hukum waris sebagaimana diatur
dalam hukum perdata berlaku sampai sekarang, tanpa ada
perubahan. Sementara hukum yang mengatur perkawinan dan
perceraian tidak terhindar dari reformasi hukum.
Hukum keluarga yang diatur dalam bab VII hukum perdata
tahun 1935 mengalami reformasi beberapa kali pada tahun
berikutnya. Hukum yang mengatur perkawinan dan perceraian,
secara terpisah telah diundang-undangkan pada tahun 1931.
undang-undang tersebut memasukkan prinsip-prinsip yang
datur oleh aliran-aliran hukum selain aliran Isna Asyari.
Sebagian materinya didasarkan pada pertimbangan sosial
budaya dan administrative. Pada tahun 1937 dan 1928 juga
ditetapkan undang-undang yang mengatur masalah perkawinan
dan perceraian lebih lanjut.
Ibid.
Reformasi hukum yang lebih penting lagi dilakukan Lembaga
Legislatif Iran pada tahun 1967, pada tanggal 24 juni 1967
diundang-undangkan hukum perlindungan keluarga. Undangundang in bertujuan mengatur institusi perceraian dan poligami
agar terhindar dari tindakan sewenang-wenang.
Pada tahun 1975, hukum perlindungan keluarga yang baru
ditetapkan, undang-undang ini dimaksudkan untuk mengganti
hukum perlindungan keluarga tahun 1967. undang-undang
tahun 1975 ini, disamping memasukkan ketentuan-ketentuan
mengenai perceraian dalam UU sebelumnya, juga memasukan
perubahan-perubahan yang penting yang berkenaan dengan
perceraian. UU ini juga membatasi memberi izin Poligami oleh
pengadilan hanya pada kondisi-kondisi yang spesifik.
Ibid.
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (New Delhi,
1987), hal 216
Hukum Perkawinan
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang
ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur
dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk
menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act
tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family
tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan,
yang dipandang telah melewati batas hukum Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran PraRevolusi
Pencatatan Perkawinan
Setiap perkawinan , sebelum perkawinan harus dicatatkan pada
lembaga yang berwenang. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan di
hukum dengan hukuman penjara selama satu hingga enam bulan.
Aturan tentang pencatatan perkawinan termasuk pembaharuan yang
bersifat regulatory atau administrative. Sebab pelanggarnya hanya
dikenai hukuman fisik, sementara pernikahannya tetap dipandang sah.
Peraturan seperti ini tidak dijumpai dalam pemikiran hukum klasik,
baik dalam mazhab Syi’i maupun mazhab sunni.
Hukum Perkawinan, 1931, pasal 1
perkawinan di bawah umur
Usia minimum boleh melaksanakan perkawinan
bagi pria adalah delapan belas tahun. Bagi
seseorang yang mengawinkan seseorang yang
masih dibawah usia minimum nikah dapat
dipenjara antara enam bulan hingga dua tahun. Jika
seorang anak perempuan dikawinkan dibawah usia
13 tahun, maka yang mengawinkannya dapat
dipenjara selama dua hingga tiga tahun. Disamping
itu, bagi orang yang melanggar ketentuan ini dapat
dikenai denda 2-20 riyal. Dengan demikian ,
ancaman hukuman bagi wali yang mengawinkan
anak dibawah umur merupakan pembaharuan
hukum keluarga di Iran yang bersifat administratif.
Hukum Perdata, pasal 1031
Hukum Keluarga, 1931-1937, pasal 3
Perjanjian Perkawinan
Pasangan yang berniat untuk melangsungkan perkawinan boleh
membuat perjanjian dalam akad perkawinan, selama tidak
bertentangan dengan tujuan perkawinan. Perjanjian tersebut
dapat dilaksanakan dibawah perlindungan pengadilan.
Menurut Mazhab Ja’fari, syarat yang dianggap gugur dalam
akad tidak dianggap dapat menggugurkan akad nikah.
Sedangkan syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak dapat
menggugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri, kecuali jika
diisyaratkan dalam bentuk khiyar, atau tidak berlakunya semua
dampak akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri. Jika
seorang istri ketika akad nikah mensyaratkan kepada suaminya
agar ia tidak kawin dengan wanita lain, tidak menolaknya, tidak
melarangnya keluar rumah, atau mensyaratkan bahwa hak
talak berada ditangannya, tidak mewarisinya, dan persyaratanpersyaratan lain yang bertentangan dengan tujuan akad nikah,
maka persyaratan-persyaratan itu batal, sedangkan akad
nikahnya sendiri tetap sah.
Mughiyah, Fiqih, h. 319-320
Poligami
Seorang pria yang bermaksud berpoligami wajib memberitahukan
kepada calon istri tentang statusnya. Pelanggaran terhadap ketentuan ini
dapat dikenakan sanksi. Hukum perlindungan keluarga tahun 1967,
menambahkan ketentuan bahwa seorang pria yang hendak berpoligami
harus mendapatkan persetujuan istri. Jika ketentuan ini dilanggar, istri
pertama dapat menuntut cerai kepengadilan. Suami juga harus
mendapatkan ijin resmi dari pengadilan. Sebelum memberikan izin,
pengadilan akan memeriksa apakah suami dapat menafkahi lebih dari
seorang istri; dan apakah ia dapat berbuat adil tehadap istri-istrinya.
Pelanggaran ketentuan ini akan dikenakan hukuman kurungan selama
enam bulan hingga enam tahun.
Keharusan adanya persetujuan istri pertama dan izin pengadilan bagi
yang akan berpoligami, disatu sisi dapat dipandang sebagai reformasi
regulatory, karena yang melakukan pelanggaran hanya mendapatkan
hukuman atau sanksi tertentu, sementara perkawinannya sendiri tetap
sah. Disisi lain dapat dipandang sebagai reformasi substantif, karena
seorang suami yang kawin lagi dengan wanita lain tanpa persetujuan
istri pertama dijadikan alasan oleh istri pertama untuk menuntut
perceraian kepengadilan, suatu hal yang tidak diatur dalam mazhab
Ja’fari maupun mazhab sunni.
Hukum Perlindungan Keluarga, 1967, pasal 11 (c)
Nafkah Keluarga
Suami berkewajiban memberikan nafkah pada
istrinya. Nafkah ini meliputi sandang, tempat
tinggal dan kebutuhan lainnya. Jika seorang
suami tidak dapat memberikan nafkah tersebut,
sang istri mengadukannya pada pengadilan.
Selanjutnya pengadilan akan memerintahkan
suami untuk memberikan nafkah wajib pada
istrinya.
Perceraian
Hukum perlindungan keluarga tahun 1967 telah
melakukan reformasi hukum yang bersifat
administratif dan substantif sekaligus, yaitu
dengan
menghapus
wewenang
suami
mengikrarkan talak secara sepihak. Menurut
pasal 8 UU tersebut, setiap perceraian, apapun
bentuknya, harus didahului oleh permohonan
pada pengadilan agar mengeluarkan sertifikat “
tidak dapat rukun kembali” . Pengadilan baru
mengeluarkan
sertifikat
tersebut
setelah
berupaya maksimal, tetapi tidak berhasil
mendamaikan.
Pengadilan dapat mengeluarkan sertifikat “tak
dapat rukun kembali” atau keputusan fasakh
pada kasus karena alasan-alasan tertentu
1. Salah satu pasangan menderita sakit gila yang permanen
atau berulang-ulang.
2. Suami menderita impotensi, atau dikebiri, atau alat vitalnya
diamputasi.
3. Istri tak dapat melahirkan, menderita cacat seksual, lepra
atau kedua matanya buta.
4. Suami atau istri dipenjara selama lima tahun.
5. Suami atau istri mempuyai kebiasaaan yang membahayakan
pihak lain yang diduga akan terus berlangsung dakam
kehidupan rumah tangga.
6. Seorang pria tanpa persetujuan istri pertama, kawin dengan
wanita lain.
7. Salah satu pihak menghianati pihak lain.
8. Kesepakatan suami istri untuk bercerai.
9. Adanya perjanjian dalam akad perkawinan yang memberikan
kewenangan pada pihak istri untuk menceraikan diri dalam
keadaan tertentu.
10. Suami atau istri dihukum, berdasarkan keputusan hukum
yang tetap, karana melakukan perbuatan yang dapat
dipandang mencoreng kehormatan bangsa.
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai
(arbitrator)
Pengadilan
dapat
menyerahkan
penyelesaian
perselisihan keluarga pada arbitrator jika diminta oleh
pasangan suami istri yang bermasalah. Khusus kasus
yang berkenaan dengan validitas perjanjian perkawinan
dan perceraian yang berbelit-belit, ditangani sendiri
oleh pengadilan, tidak diserah kan pada arbitrator.
Arbitrator, selanjutnya kan berusaha merukunkan
kembali pasangan yang berselisih dalam jangka waktu
yang telah ditentukan oleh pengadilan. Hasilnya
diserahkan pada pengadilan untuk ditindaklanjuti. Jika
arbitrator tidak bisa menyerahkan hasil usahanya
dalam mendamaikan pasangan dalam waktu yang
ditentukan , pengadialan akan mengambil alih usaha
perdamaian
itu
serta
menetukan
keputusan
selanjutnya.
KESIMPULAN
Hukum Perkawinan di negara Iran
Sebelum lahirnya UU keluarga pertama di Iran Marriage Law yang
ditetapkan tahun 1931, masalah perceraian dan perkawinan diatur
dalam UU sipil yang mulai berlaku tahun 1930. kemudian untuk
menggantikan Marriage Law tahun 1931 lahir Family Pritection act
tahun 1967. UU ini kemudian diganti dengan Protection of Family
tahun 1975, setelah reformasi Iran tahun 1979 UU ini dihapuskan,
yang dipandang telah melewati batas huku Islam yang mapan.
Beberapa ketentuan tentang Hukum keluarga Iran Pra-Revolusi
Pencatatn Perkawinan
perkawinan di bawah umur
Perjanjian Perkawinan
Poligami
Nafkah Keluarga
Peceraian
Penyelesaian perselisihan melalui juru damai (arbitrator)