INDUSTRI MARITIM INDONESIA dan id

Penghambat Industri Maritim

Di sisi lain, banyak faktor yang menghambat pembangunan industri maritim nasional. Pertama, sistem finansial. Kebijakan sektor perbankan atau lembaga keuangan di Indonesia, yang sebagian besar keuntungannya diperoleh dari penempatan dana di Sertifikat Bank Indonesia (SBI), untuk pembiayaan industri maritim sangat tidak mendukung. Ini karena bunga pinjaman sangat tinggi. Berkisar antara 11-12 persen per tahun dengan 100 persen kolateral (senilai pinjaman).

Bandingkan dengan sistem perbankan Singapura yang hanya mengenakan bunga 2 persen+LIBOR 2 persen (total sekitar 4 persen) per tahun. Equity-nya hanya 25 persen sudah bisa mendapatkan pinjaman tanpa kolateral terpisah. Sebagai contoh bagi pengusaha kapal, Kapal yang dibelinya bisa menjadi jaminan. Tidak heran jika pengusaha nasional kesulitan mencari pembiayaan untuk membeli kapal, baik baru maupun bekas melalui sistem perbankan Indonesia.

Kedua, sesuai dengan Kepmenkeu No 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa sektor perkapalan mendapat pembebasan pajak. Namun semua pembebasan pajak itu kembali harus dibayar jika melanggar pasal 16, tentang Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada impor atau pada saat perolehan Barang Kena Pajak Tertentu disetor kas negara apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak impor digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula atau dipindahtangankan.

Artinya kebijakan tersebut banci. Jika pengusaha menjual kapalnya sebelum 5 tahun harus membayar pajak kepada negara sebesar 22,5 persen dari harga penjualan (PPn 10 persen, PPh impor 7,5 persen dan bea masuk 5 persen). Padahal, di Indonesia jarang ada kontrak penggunaan kapal lebih dari 5 tahun, paling banyak 2 tahun. Supaya pengusaha kapal tidak menanggung rugi berkepanjangan mereka harus menjual kapalnya. Namun, pengusaha harus membayar pajak terutang kepada negara sesuai Pasal 16 tersebut. Jika demikian, industri maritim negara ini terhambat oleh kebijakan fiskal yang dianut.

Sebaliknya, di Singapura pemerintah akan memberikan insentif, seperti pembebasan bea masuk pembelian kapal, pembebasan pajak bagi perusahaan pelayaran yang bertransaksi di atas 20 juta dolar AS. Mereka sadar bahwa investasi di industri pelayaran bersifat slow yielding sehingga diperlukan insentif. Kalaupun kapal harus dijual, pemerintah Singapura juga membebaskan pajaknya.

Pemerintahan di negara maju telah berpikir meski penerimaan pajak menurun, tetapi penerimaan dari sektor lain akan bertambah. Misalnya, semakin banyak tenaga kerja asing tinggal dan bekerja pada akhirnya akan banyak uang yang dibelanjakan di negara tersebut. Selain itu, transaksi perbankan biasanya akan semakin banyak, sehingga pendapatan negara akan meningkat. Ini adalah pola pikir dan langkah pemerintahan yang dikelola oleh negarawan cerdas.

Ketiga, buruknya kualitas sumber daya maritim Indonesia menyebabkan biaya langsung industri maritim menjadi tinggi. Meskipun gaji tenaga Indonesia 1/3 gaji dari tenaga kerja asing, tetapi karena rendahnya disiplin dan tanggung jawab, menyebabkan biaya yang harus ditanggung pemilik kapal berbendera dan berawak 100 persen orang Indonesia (sesuai dengan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran) sangat tinggi. Sebaliknya, jika kapal berawak 100 persen asing yang mahal, ternyata pendapatan perusahaan pelayaran bisa meningkat dua kali lipat.

Keempat, persoalan klasifikasi industri maritim di tangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan kendali Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan, sistem klasifikasi Indonesia, membuat industri maritim Indonesia semakin terpuruk. Semua kapal yang diklasifikasi atau disertifikasi, diduga tidak diakui asuransi perkapalan kelas dunia. Kalaupun diakui, pemilik kapal harus membayar premi asuransi sangat mahal.

Disinyalir, kondisi ini terjadi karena dalam melakukan klasifikasi kapal, masih kurang profesional. Penilaiannya diragukan semua pihak. Patut diduga klasifikasi kapal masih sarat dengan praktek-praktek yang tidak selayaknya. Sebab itu sebagian pemilik kapal memilih tidak meregister kapalnya di Indonesia, tetapi di Hongkong, Malaysia atau Singapura. Akibatnya pelaksanaan UU No 17 tahun 2008 hanya retorika. Karena mereka menganggap klasifikasi yang dikeluarkan PT BKI sebuah ‘pepesan kosong’ yang diragukan industri maritim global.

Jika industri maritim Indonesia mau berkembang dan siap bersaing dengan industri sejenis, maka pemerintah khususnya Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian, Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan harus membuka mata dan jangan mau dipengaruhi para pelobi yang mewakili pihak-pihak pencari keuntungan, tanpa memikirkan nasib bangsa. Langkah pertama, melakukan revitalisasi atau deregulasi di sektor fiskal sehingga Indonesia bisa kompetitif. Kecuali bangsa ini mau jadi pecundang terus.

Selanjutnya lakukan perombakan total di lingkungan lembaga pemberi klasifikasi sehingga dunia pelayaran internasional dan asuransi kerugian mengakui keberadaannya. Kemudian, susun ulang kurikulum lembaga pendidikan maritim oleh Kemendiknas supaya Indonesia mempunyai SDM maritim yang berkualitas dan bertanggung jawab. Jika tidak industri maritim Indonesia hanya tinggal nama.

Industri Perkapalan

Indonesia dengan perairan yang luas, membutuhkan sarana transportasi kapal yang mampu menjangkau pulau-pulau yang jumlahnya mencapai lebih dari 17.500 buah. Tak heran jika kebutuhan industri perkapalan setiap tahun terus meningkat.

Sebagai negara kepulauan, sudah seharusnya Indonesia mengembangkan industri perkapalan nasional. Kebijakan ini didukung dengan adanya Inpres No 5/2005 yang intinya bahwa seluruh angkutan laut dalam negeri harus diangkut kapal berbendera Indonesia. Tetapi, permintaan tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan memproduksi kapal.

Industri perkapalan merupakan industri padat karya dan padat modal yang memiliki daya saing tinggi. Karena itu, dukungan pemerintah sebagai pemegang kewenangan sangat penting. Faktor kebijakan moneter dan fiskal, masih sulitnya akses dana perbankan dan tingginya bunga menjadi beban para pelaku usaha. Industri kapal juga diharuskan membayar pajak dua kali lipat. Masalah lain adalah minimnya keterlibatan perbankan. Perbankan enggan menyalurkan kredit kepada industri perkapalan. Mereka beranggapan, industri perkapalan penuh risiko karena kontrol terhadap industri ini sulit.

Selain itu, masalah lahan yang digunakan industri perkapalan terutama galangan kapal besar berada di daerah kerja pelabuhan dan hak pengelolaan lahan (HPL)-nya dikuasai PT Pelindo. Sehingga Industri perkapalan masih sangat tergantung pada HPL. Padahal, jika ada keleluasaan lahan di pelabuhan bukan tidak mungkin industri kapal lebih berkembang.

Industri Perikanan

Dari industri pengolahan ikan, kurangnya bahan baku menjadi penyebab tidak berkembangnya industri ini. Utilitas pabrik yang rata-rata hanya 45 persen. Menjadi masalah karena banyak hasil tangkapan ikan yang langsung di ekspor ke luar negeri, terutama ke Thailand dan Jepang.

Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan No 5 Tahun 2008 yang melarang ekspor langsung hasil tangkapan perikanan. Peraturan ini, secara otomatis mewajibkan perusahaan asing untuk bermitra dengan perusahaan lokal dalam membangun industri pengolahan di Indonesia. Namun yang menjadi persoalan implementasi Permen tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Sumber permasalahan lainnya adalah penangkapan ikan ilegal (illegal fishing dan illegal license), oleh mafia perikanan yang nilainya ditaksir mencapai Rp 218 triliun per tahun. Hal ini bisa diatasi bila Indonesia memiliki kapal-kapal tangkapan ikan dengan skala menengah ke atas. Saat ini jumlah kapal ukuran tersebut hanya 3 persen dari kebutuhan. Selain itu, tingginya impor garam membuat industri garam nasional terpuruk. Juga impor tepung ikan untuk bahan baku pakan ternak juga sangat tinggi sehingga industri pengolahannya tidak bisa berkembang di dalam negeri.

Pemerintah harus segera membangun dan memperbaiki infrastruktur perikanan dan kelautan yang masih lemah ini. Tanpa upaya itu, sektor perikanan Indonesia akan tertinggal jauh dari negara lain. Sebagai contoh, pembangunan infrastruktur di Lampung yang merupakan lumbung udang terbesar harus menjadi perhatian serius pemerintah.

Industri Pertahanan

Berbicara mengenai konsep negara maritim tidak lepas dari industri pertahanan. Sebagai negara yang disatukan lautan, Indonesia tidak hanya harus bisa menjaga kedaulatan, tetapi juga melindungi seluruh kekayaan alam yang dimilikinya.

Connie Rahakundini Bakrie, Analis Pertahanan Maritim melihat banyak sumber daya alam yang dimiliki Indonesia bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industri maritim. Salah satunya adalah baja. Menurutnya baja adalah basicdari industri pertahanan suatu negara. Seperti yang dilakukan negara Taiwan. Mereka membangun industri baja, di sebelahnya dibangun pabrik kapal. Ini strategis karena kapal-kapal besar yang mereka bangun sewaktu-waktu bisa menjadi kapal perang.

“Dalam tiga menit, saya lihat satu lempengan baja sudah jadi. Taiwan tercatat sebagai pembuat baja tercepat di dunia. Mereka bisa dengan mudah mendistribusikan baja ke pabrik pembuatan kapal yang ada di sebelahnya. Mereka mengekspor kapal-kapal besar ke luar negeri dengan proses pembuatan hanya butuh waktu 10 minggu.,” katanya.

Karena itu, Connie menilai industri baja sebagai national security, dasar dari pembangunan industri militer. Baja menjadi bahan dasar kapal-kapal perang, termasuk kapal induk milik Amerika. Salah jika bangsa Indonesia menjualnya begitu saja. Sebaiknya potensi logam ini diolah dengan baik, untuk mendukung industri maritim nasional.

“Selama tidak paham pentingnya pertahanan, kita tidak akan pernah sampai semua itu. Kita perlu tentara, guna memprotek kedaulatan, tentara perlu alutista, khususnya udara dan laut. Alutista harus kita produksi dengan membangun industri baja sebagai dasar dari pembangunan pertahanan kita,” terangnya.

Namun, pihak asing tidak menginginkan Indonesia besar dengan menguasai bahan logam berharga ini. Sebagai bukti banyak industri pertambangan dalam negeri dikuasi pihak asing. Mereka memiliki kepentingan dengan sumber-sumber daya alam dan energi di tanah air. Mereka berusaha dengan berbagai cara menguasai bangsa ini.

Mengapa Perlu Bank Infrastruktur

Bank infrastruktur cukup mendesak karena pemerintah memiliki banyak proyek triliunan.

ddd

Selasa, 31 Januari 2012, 07:37 Hadi Suprapto

Pembangunan jalan layan non tol di Jakarta Pembangunan jalan layan non tol di Jakarta(VIVAnews/ Muhamad Solihin)

BERITA TERKAIT

Bank Infrastruktur Penggerak Ekonomi

Keuangan Mikro Menjamur, Perlu UU Khusus

Bank Bisa Ditunjuk Biayai Infrastruktur

Perbanas: Indonesia Butuh Bank Infrastruktur

Beda Bank Infrastruktur dan Bapindo Versi BI

Follow us on Google+

VIVAnews – Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mendukung rencana pemerintah mendirikan bank infrastruktur. Pasalnya, perbankan yang ada belum mampu didorong membiayai proyek-proyek besar.

HIPMI juga menilai keberadaan bank infrastruktur cukup mendesak karena pemerintah memiliki banyak proyek yang bernilai ribuan triliun rupiah. Kendati demikian, HIPMI mengusulkan agar bank ini berpusat di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Sebab kawasan ini sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur.

“HIPMI sangat mendukung, sebab bank yang ada termasuk bank Badan Usaha Milik Negara, sulit didorong untuk lebih ekspansif bagi pembiayaan infrastruktur,” kata Sekretaris Jenderal BPP HIPMI Harry Warganegara, Selasa, 31 Januari 2012.

HIPMI mengusulkan agar bank infrastruktur dipusatkan di KTI atau bisa juga dihadirkan di wilayah Indonesia Tengah dan Barat. HIPMI melihat, KTI merupakan kawasan yang paling membutuhkan kehadiran dan layanan lembaga keuangan infrastruktur karena tingkat feasibilities berbagai proyek infrastruktur di kawasan ini masih rendah. Akibatnya, banyak bank umum tidak berminat membiayai berbagai proyek infrastruktur di sana meski potensi ekonominya sangat tinggi.

HIPMI menilai keberadaan bank infrastruktur justru sangat mendesak. Selain alasan di atas, bank infrastruktur dapat menjadi integrator atau hubungan antara lembaga keuangan dan berbagai proyek pemerintah yang tercakup dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia (MP3EI).

Harry mengatakan meningkatnya kredit yang mubazir atau undisbursed loan di sektor infrastruktur dari tahun ke tahun menunjukkan kian jauhnya konektivitas antara sektor keuangan dan riil. “Hal ini disebabkan sumber pendanaan di bank-bank umum belum bisa disesuaikan dengan pendanaan jangka panjang. Takutnya bisa mismatch. Maka kehadiran bank infrastruktur ini sangat penting,” ujar Harry.

Harry menambahkan, nantinya bank infrastruktur dapat memberikan pinjaman jangka panjang dengan bunga yang relatif rendah. Oleh sebab itu, bank ini dicarikan sumber pendanaan jangka panjang. “Dengan kian bagusnya citra investasi Indonesia dan adanya predikat layak investasi (investment grade), HIPMI menilai sumber dana jangka panjang terbuka lebar, termasuk dana-dana dari negara yang memiliki unlimited fund seperti China dan Timur-Tengah melalui penerbitan saham (IPO), emisi obligasi, dan pinjaman luar negeri,” katanya.

Ide pembentukan bank infrastruktur itu berasal dari sidang kabinet terbatas bidang perekonomian yang digelar Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Yudhoyono menyatakan, pembangunan infrastruktur telah menjadi prioritas pemerintah saat ini. Lewat program MP3EI pemerintah memprioritaskan pembangunan di bidang infrastruktur di seluruh Indonesia.

"Ada sisi lain, sisi perbankan. Ini harus kami pastikan semua tersedia. Ini harus kami lakukan agar semua terimplementasi," kata Yudhoyono di Kantor Presiden, Rabu, 25 Januari. (umi)

Home » Ocean » Negeri Cincin Api: Anugerah dan Bencana

Negeri Cincin Api: Anugerah dan Bencana

By REDAKSI - Tue Nov 05, 3:38 am

0 Comments0 viewsEmail Email Print Print

Edited by

Redaksi

ALSO WROTE

Benarkah Pulau Terluar Beranda NKRI?

SISTEM LOGISTIK NASIONAL, Amburadul Biaya Tinggi Mencekik

HUT IMI: Menggagas Indonesia Negara Maritim

Olivia Zalianty Doyan “Night Diving”

MALAPETAKA MONTARA: Negara Lalai Tangani Pencemaran Laut Timor

OCEAN_ENTRY_BLOG_0076

Panaroma alam dan perairan Indonesia terkenal hingga ke penjuru dunia. Kekayaan yang dimiliki negeri ini juga berlimpah ruah. Banyak investor asing yang tertarik mengekplorasi kekayaan alam Indonesia. Namun, di balik itu semua negara ini menyimpan potensi bencana yang sangat besar. Dibutuhkan kewaspadaan, kepedulian dan kearifan dari semua pihak dalam menanggulangi bencana di Tanah Air.

Luas perairan Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai pulau Rote mencapai 5,8 juta km per segi atau sekitar 70 persen dari total luas Nusantara. Jika diukur jaraknya, mencakup ujung Inggris hingga Turki. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, dengan panjang 81.000 km.

Ditaburi 17.504 pulau, Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipelago) atau dalam bahasa yang lebih luas Negara Maritim. Posisi Indonesia yang terletak di pertemuan tiga lempeng, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Indo- Australia menjadi pusat pergerakan bumi. Tak heran, jika wilayah ini memiliki potensi bencana besar artificial dan non artificial.

Berada di cincin api atau ring of fire, Indonesia juga memiliki potensi bencana tektonik. Keberadaan gunung api yang terhampar hampir di seluruh kepulauan dan laut Indonesia, menjadikan negeri ini berada di lingkaran api, yang sewaktu-waktu bisa meletus. Indonesia juga tercatat sebagai pemilik gunung berapi terbanyak di dunia, sebanyak 130 gunung berapi atau 10 persen dari jumlah gunung berapi di dunia. Dari jumlah tersebut 17 di antaranya masih aktif.

Ring of fire merupakan rangkaian lempeng atau pa­tahan besar yang menjadi ancaman potensial gempa. Posisinya mengepung perairan Indonesia mulai dari Laut Andaman menjalar dari atas pesisir Sumatera hingga timur. Lempeng ‘Semangka’ di sepanjang daratan pantai barat Sumatera berakhir di Selat Sunda. Kemudian, bersambung dengan rangkaian puluhan gunung berapi aktif di Jawa-Bali-Lombok-Sumbawa-Flores hingga Pulau Alor.

Di pulau Jawa juga diketahui ada beberapa patahan lokal yang pernah menjadi sumber gempa daratan, seperti lempeng Lembang, dan lempeng di sekitar Gunung Gede. Hal ini pernah menyebabkan gempa bumi besar di Jakarta pada 1699, 1780 dan 1852.

Patahan dari zona subduksi Euroasia-Austronesia (Maintrust) men­­jalar dari Laut Andaman menyusuri perairan Barat Sumatera – Jawa – Nusa Tenggara – Laut Arafuru – Laut Seram – Sulawesi Utara – Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Pertemuan lempeng EuraAsia – lempeng Australia dan lempeng Filipina – Lempeng Pasifik pergerakannya bagai sebuah bom waktu. Potensi paling rawan pertemuan dari tiga “jalur api”, yaitu patahan dari Samudera Indonesia, patahan dari Pasifik Selatan yang berbelok ke laut Pasifik menuju Jepang dan patahan dari China – Taiwan – Filipina. Artinya, wilayah Timur Laut Indonesia (Papua, Maluku Utara dan Sulawesi Utara) adalah tempat pertemuan tiga lempeng mayor (Eurasian Plate, Australian Plate dan Pacific Plate), serta satu lempeng minor (Philippine Plate).

Gempa dan Tsunami

Gempa vulkanik disebabkan letusan gunung berapi, baik yang berada di darat maupun di bawah permukaan laut. Sumber gempa vulkanik mudah diketahui berdasarkan peta gunung berapi, daerah guncangan dan efek kerusakan yang ditimbulkan.

Namun, secara kuantitas gempa yang paling sering terjadi adalah tektonik. Gempa ini bisa terjadi hingga puluhan ribu kali dan lebih kuat dari gempa vulkanik. Gempa tektonik disebabkan pergeseran lempeng tektonik (tectonic plate) pada kerak (crust) bumi, khususnya pergerakan sepanjang retakan-retakan (faults) dan patahan (cracks) lempeng tektonik.

Ring of fire map teori pergeseran lempeng tektonik atau hanyutan benua (continental drift) atau penyebaran dasar laut (sea-floor spreading) merupakan teori geofisika paling modern tentang perilaku kerak bumi yang mampu menjelaskan secara rinci sebab gempa tektonik. Teori ini mendasarkan pada kenyataan bahwa kerak bumi merupakan sekumpulan lempengan padat dan berat yang mengambang di atas lapisan bumi cair, dan lunak seperti lumpur beku.

Formasi bebatuan dan karang pada kerak bumi dibentuk dari dasar kerak dan berlangsung terus menerus sebagai efek pelepasan panas inti bumi yang mendidih melalui selimut (mantel) bumi. Saat formasi baru dibentuk, terjadi desakan yang menggeser lempengan, sehingga terjadi keretakan dan benturan antar patahan lempeng.

Melihat kenyataan tersebut tidak ada jaminan bagi wilayah Indonesia bebas gempa mengingat semua lempeng di bumi ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Hal tersebut menjelaskan kenapa gempa besar saling beriringan dalam 3 tahun terakhir di wilayah Asia dan Pasifik. Gempa besar di Aceh, Yogyakarta, Pakistan, Mentawai, Taiwan, China, Haiti, Selandia Baru dan yang terbaru Jepang, adalah bukti nyata keganasan alam.

Sebagai gambaran dari dahsyatnya bencana laut di Indonesia adalah sejarah ledakan gunung Krakatau. Menurut catatan peneliti dari University of North Dakota, Amerika Serikat, ledakan Krakatau bersama ledakan Tambora (1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah. Ledakan Krakatau melemparkan batu-batu apung dan abu vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencapai 80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau Jawa dan Sumatera. Bahkan, sampai ke Sri Lanka, India, Pakistan, Australia dan Selandia Baru.

Letusan itu menghancurkan Gunung Danan, Gunung Perbuwatan, serta sebagian Gunung Rakata, di mana setengah kerucutnya hilang, membuat cekungan selebar 7 km dan sedalam 250 meter. Gelombang tsunami setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja yang berada di pesisir pantai. Tsunami ini timbul bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut.

Tercatat jumlah korban yang tewas kala itu mencapai 36.417 orang, berasal dari 295 kampung mulai dari Merak (Serang), Cilamaya (Karawang), pantai barat Banten hingga Tanjung Layar di pulau Panaitan (Ujung Kulon), serta Sumatera bagian selatan. Di Ujung kulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman tidak lagi melihat matahari. Gelombang tsunami yang ditimbulkan bahkan merambat hingga ke pantai Hawaii, pantai barat Amerika Tengah dan Semenanjung Arab, yang jauhnya 7.000 kilometer.

Tragedi dahsyat terbaru yang paling banyak memakan korban jiwa dalam sejarah bencana alam di Indonesia dan dunia adalah tsunami di Aceh. Peristiwa itu terjadi pada 26 Desember 2004. Air pasang diawali gempa besar terjadi pukul 07:58:53 WIB. Kejadian berawal dari gempa tektonik yang berpusat di bujur 3.316° N 95.854° E, koordinat 3.316° N 95.854° E kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh, di kedalam 10 kilometer bawah laut. Gempa berkekuatan 9,3 skala richter itu merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir yang menghantam Aceh, Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Sri Lanka, hingga pantai timur Afrika.

Gempa yang mengakibatkan tsunami setinggi 9 meter tersebut menyebabkan sekitar 230.000 orang tewas di delapan negara. Bencana ini merupakan kematian terbesar sepanjang sejarah. Indonesia, Sri Lanka, India, dan Thailand, negara dengan jumlah korban terbesar.

Peneliti dan Pakar Gempa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman mengemukakan, wilayah Indonesia secara geografis terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, di bagian selatan dan timur terdapat sabuk vulkanik (volcanic arc) yang memanjang dari Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Kondisi ini memiliki potensi bencana yang tinggi, seperti letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Indonesia sebagai bagian dari rangkaian ‘cincin api’ Pasifik atau ‘lingkaran api’ Pasifik merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi dan letusan gunung. Cakupan wilayah cincin api ini sepanjang 40.000 km dengan bentuk seperti tapal kuda. Tak heran, 81 persen gempa bumi terbesar terjadi di sepanjang wilayah ini. Daerah gempa berikutnya (5–6 persen dari seluruh gempa dan 17 persen dari gempa terbesar) adalah sabuk Alpide yang membentang dari Jawa, Sumatera, Himalaya, Mediterania hingga Atlantika

Gempa yang disebabkan patahan lapisan tanah dan letusan gunung merupakan rangkaian cerita dari kondisi alam Nusantara. Terbentuknya patahan ”besar” di Sumatera misalnya, bermula jutaan tahun lampau saat lempeng (samudera) Hindia-Australia menabrak secara menyerong bagian barat Sumatera yang menjadi bagian dari lempeng (Benua) Eurasia.

Tabrakan menyerong ini memicu munculnya dua komponen gaya. Komponen pertama bersifat tegak lurus, menyeret ujung lempeng Hindia masuk ke bawah lempeng Sumatera. Batas kedua lempeng ini sampai ke kedalaman 40 kilometer umumnya mempunyai sifat regas, dan di beberapa tempat terekat kuat. Suatu saat, tekanan yang terhimpun tak sanggup lagi ditahan sehingga menghasilkan gempa bumi yang berpusat di sekitar zona penunjaman atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi sampai suatu saat kembali terjadi gempa bumi besar. Gempa di zona inilah yang kerap memicu terjadinya tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh (26 Desember 2004).

Adapun komponen kedua berupa gaya horizontal yang sejajar arah palung, menyeret bagian barat pulau ini ke arah barat laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas lempeng, yang kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatera. Geolog Katili dalam The Great Sumateran Fault (1967) menyebutkan, retakan ini terbentuk pada periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lalu.

Lempeng bumi di bagian barat patahan Sumatera ini senantiasa bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun. Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatera sampai pada kedalaman 10-20 km terkunci erat sehingga terjadi akumulasi tekanan.

Suatu saat tekanan yang terkumpul semakin besar sehingga bidang kontak di zona patahan tidak kuat lagi menahan sehingga pecah. Batuan di kanan-kirinya melenting dengan kuat sehingga terjadi gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi, hingga mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi kembali gempa bumi besar.

Pusat gempa di Patahan Sumatera pada umumnya dangkal dan dekat dengan permukiman. Dampak energi yang dilepas dirasakan sangat keras dan biasanya sangat merusak. Apalagi gempa bumi di zona patahan selalu disertai gerakan horizontal yang menyebabkan retaknya tanah yang akan merobohkan bangunan di atas permukaan. Topografi di sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa memicu tanah longsor. Adapun lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik semakin memperkuat efek guncangan gempa.

Beberapa tempat di Patahan Besar Sumatera merupakan zona lemah yang ditembus magma dari dalam bumi. Getaran gempa bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma. Karena itu, pada saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang diikuti munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.

Danny melihat kondisi wilayah Indonesia yang rawan gempa hingga kini belum ada teknologi yang bisa memperkirakan gempa. Sehingga, masyarakat tidak perlu khawatir terhadap isu-isu terjadinya gempa. Bisa saja mereka mengklaim bisa meramal gempa dengan berbagai cara. Tapi, buktinya belum ada teknik atau metode meramal gempa yang diakui secara ilmiah.

Namun, seorang ilmuan bernama Dr RJ Roberts, dalam situsnya Livescience, mengklaim bahwa timnya berhasil memprediksi gempa di Hawaii, pada 20 Oktober 2011 lalu, dengan akurasi 90 persen.

Tak hanya kekuatan gempa, prediksi situs tersebut juga mencantumkan prediksi hari dan lokasi gempa. Misalnya, ramalan gempa di wilayah Utara Sumatera, diprediksi sekitar 500 kilometer dari Medan. Diprediksi gempa dengan magnitud 4,5 sampai 6,5 SR, terjadi sekitar 20 Desember 2011, kurang lebih tiga hari sebelum atau sesudah.

Tetapi, Roberts menolak membuka metodologi ramalan gempa yang diciptakannya, dengan alasan khawatir jadi korban pencurian kekayaan intelektual. Dia mengklaim, latar belakangnya sebagai entomolog (ahli yang mempelajari dinamika populasi serangga), membuatnya menjadi ahli pola dasar lempeng.

Belajar dari sejarah bencana

Tim Bencana Katastropik Purba, yang dibentuk Kantor Staf Khusus Pre­siden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Iwan Sumule me­nga­takan, meski gempa tak bisa diramalkan kapan datang, timnya bisa meng­gunakan data sejarah untuk melakukan mitigasi bencana. Gempa-gem­pa besar biasanya memiliki perulangan yang konsisten, misalnya 200 tahun sekali. Sehingga, wilayah yang diketahui pernah diguncang gem­pa, harus bersiap menghadapi kemungkinan pengulangan gempa.

Staf Khusus Presiden Bidang Sosial dan Bencana Alam, Andi Arief menuturkan, melihat letusan katastropik Toba yang di­perkirakan terjadi pemusnahan massal dari populasi mahluk hidup di seluruh dunia, termasuk manusia. Hanya sebagian kecil yang dapat bertahan.

Catatan mengenai letusan Krakatau Purba itu diambil dari sebuah teks Jawa Kuno yang berjudul “Pustaka Raja Parwa” yang diperkirakan berasal dari 416 masehi. Dalam teks kuno itu juga disinggung mengenai bencana alam di kawasan yang kini dikenal sebagai Selat Sunda, yang akhirnya memisahkan dua pulau yang kini dikenal sebagai Jawa dan Sumatera.

Bukti-bukti secara geologis yang ditemukan para ilmuwan dan peneliti Indonesia maupun luar negeri, menemukan banyak sekali peradaban yang terkubur akibat bencana tsunami dan letusan gunung. Contohnya, di situs Batujaya, Karawang seluas ribuan hektar yang terkubur akibat bencana.

Sementara peta kebencanaan khususnya laut, pemerintah untuk pertama kalinya telah merilis Peta Hazard Gempa Indonesia 2010, sebagai acuan dasar perancangan infrastruktur tahan gempa. Peta ini menggambarkan percepatan puncak dan respon spektra di batuan dasar hasil analisa probabilistik untuk berbagai periode gempa.

“Indonesia yang merupakan negara rawan bencana seharusnya memiliki Undang-undang Mitigasi Bencana. Sebelum itu terwujud, kita perlu membuat sebuah pedoman mitigasi bencana secara nasional,” ujar Andi.

Seperti bencana gempa 7,2 SR di Sinabang, Aceh, Posko Satuan Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana (RSCPB) bekerja dengan baik dalam melaksanakan instruksi tanggap darurat Presiden. Respon itu dilihat dari indikasi peningkatan kesiapan dan koordinasi yang semakin baik, dari berbagai lembaga pemerintah, seperti Badan Nasional Penangulangan Bencana (BNPB), Pusat Penanggulangan Krisis (PPK Kemkes), Satuan Siaga Bencana (Tagana Kemsos), Basarnas dan BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika).

Selain kesiapan tanggap darurat yang semakin prima, sistem pe­ringat­an dini yang telah berlangsung di masyarakat juga membantu pemulihan situasi. Meski demikian, sistem peringatan dini dan kesiapan tanggap darurat masih perlu disempurnakan dengan penyiapan sistem mitigasi bencana.

Pemerintah telah membentuk Tim Katastropik Purba untuk meneliti berbagai bencana alam berkategori katastropik (bencana alam yang sangat besar) yang terjadi di masa lalu, sejauh yang bisa dikenali dari peninggalan-peninggalan alam dan catatan sejarah. Tujuan mempelajari daftar ini, adalah untuk mengetahui sikslus, pola dan besaran bencana.

Tim terdiri dari sejumlah pakar, terutama geolog yang memiliki perhatian kepada bidang tersebut. Penelitian ini dalam langkah mitigasi untuk meminimalkan korban bencana alam, agar tidak seperti korban gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004.

Dalam penelitian di berbagai tempat seperti sesar, patahan, dan gunung di sepanjang Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan lainnya, Tim menemukan sejumlah kejadian geologis yang menarik. Termasuk di dalamnya bangunan yang diduga piramida di bawah Gunung Sadahurip, Garut, Jawa Barat.

Terbaru adalah bukti arkeolog Gunung Padang di Cianjur, Jabar. Tim Bencana Katastropik Purba yang diinisiasi Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana Alam, Andi Arief telah mulai meneliti situs Gunung Padang yang berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka. Temuan awal, Tim menemukan anomali geologis.

“Penelitian patahan Cimandiri merupakan patahan aktif yang terdapat di daerah Sukabumi Selatan, memanjang dari Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Cianjur sampai Padalarang. Ini adalah riset awal kami tentang kebutuhan mitigasi bencana, dan upaya mencari sumber bencana purba yang pernah terjadi,” ujar Andi.

Beberapa kejadian gempabumi yang tercatat dalam kurun waktu relatif terkini terkait dengan aktivitas Patahan Cimandiri adalah gempa Pelabuhan Ratu 1900, gempa Padalarang 1910, gempa Conggeang 1948, gempa Tanjungsari 1972, gempa Cibadak 1973, gempa Gondasoli 1982 dan gempa Sukabumi 2001.

Tim Katastropik Purba telah melaksanakan survei di Gunung Padang untuk mengetahui penyebab robohnya situs megalitikum yang diklaim terbesar di Asia Tenggara itu. Dalam penelitian awal tersebut telah ditemukan anomali struktur geologis dari Gunung Padang.

Tim peneliti lintas instansi di Indonesia juga telah melakukan serangkaian penelitian di wilayah pesisir, seperti survei lapisan tsunami purba di wilayah Banda Aceh. Pe­nelitian itu melanjutkan survei identifikasi oleh Tim EOS-ARKENAS-LIPI, yang meneliti kota kuno Lamri atau Lamuri di Pantai Utara Banda Aceh.

Di Aceh juga ditemukan bangunan kota Indra Parwa dan Indra Patra di bawah laut. Seperti diketahui Indra Parwa, Indra Patra dan Indra Puri adalah daerah yang disebut Segitiga Sago. Masih diteliti penyebab tenggelamnya kota tua itu, hipotesa sementara adalah karena tsunami. Pendekatan Paleostunami, Tim Mitigasi Bencana Katastropik Purba menemukan fakta bahwa sekitar 1450 M dan 1390 M, telah terjadi tsunami besar di Aceh. Melihat bukti scientific itu mengingatkan bahwa Aceh masih meyimpan potensi tsunami.

“Namun, hingga saat ini Indonesia masih kekurangan ahli kelautan, me­ngingat sebagaian besar bencana yang melanda berasal dari laut. Kita butuh melakukan kompilasi data kelautan untuk evaluasi tektonik aktif dan kegempaan di Indonesia,” terang Andi.

Dia mengemukakan, data mengenai isu-isu tektonik dan kegempaan akan menjadi masukan dan jembatan antar lembaga yang dapat mendukung kebijakan kebencanaan pemerintah.

Berdasarkan data, terdapat ancaman gempa dan tsu­nami Mentawai (Siberut) sebesar 8,9 SR yang mengancam satu ju­ta lebih penduduk di Padang, Pariaman, Painan dan wilayah lain di Sumatera Barat serta Bengkulu, khususnya di sepanjang pe­sisir barat. Catatan pengukuran jaringan CGPS SuGAr LIPI menunjukkan keadaan lewat jatuh tempo pengulangan gempa be­sar 8.7 SR pada 1833.

Potensi Gempa juga terdapat di Selat Sunda, sesar Cimandiri, sesar Lembang (Jawa Barat) dan Bali. Setelah gempa Aceh 2004 dan gempa Sendai, Je­pang 2011, dihadapkan pada gunung-gunung api yang te­rus menerus menggeliat. Setelah letusan besar Merapi 2010, sekarang berhadapan dengan letusan khususnya Gunung Gamalama dan aktivitas Krakatau, serta 23 gunung lain yang berstatus waspada dan siaga.

Untuk patahan Sumatera segmen yang sudah lama bertapa termasuk di wilayah Aceh, Toba, Pasaman, Bukit Tinggi ke utara, Dempo, dan Teluk Semangko serta Selat Sunda. Bahaya sekunder gunung api terutama di sekitar aliran sungai pasca letusan Merapi 2010, berpotensi banjir longsoran material erupsi Merapi 120 juta m3.

Minim Mitigasi

Fenomena alam tidak akan berubah menjadi bencana alam dahsyat apabila memiliki konsep ketahanan bencana yang baik. Yaitu, memiliki valuasi sistem dan infrastruktur yang mampu mendeteksi, mencegah dan menangani dampak yang timbul.

Meskipun daerah tersebut rawan bencana dengan jumlah penduduk yang besar, jika diimbangi dengan ketahanan terhadap bencana yang cukup kerentanan jatuhnya korban jiwa atau materi bisa lebih diminimalisasi.

Topografi dan struktur geologi Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Ma­luku Utara, Papua hingga Sulawesi Utara memperlihatkan bukti ke­beradaan lempeng bumi dan patahan, plus 154 gunung berapi aktif. Bahkan, Jakarta yang dinilai wilayah aman pernah dilanda em­pat kali gempa bumi besar pada periode tiga abad terakhir.

Peta rawan gempa menunjukkan dua per tiga wilayah Indonesia me­rupakan area sumber gempa dan atau rawan dampak gempa. Hanya sebagian area yang relatif aman, meliputi wilayah pantai ti­mur Sumatera (Riau, sebagian Jambi, Sumatera Selatan), Laut China Selatan, Kalimantan, bagian utara Laut Jawa, serta perairan Laut Arafuru selatan Papua.

Berada di wilayah dengan potensi bencana sangat dahsyat membuat Indonesia harus memiliki sistem manajemen bencana terpadu dan terintegrasi untuk meminimalisasi dampak dari risiko yang ditimbulkan, mencakup hubungan antara komponen-komponen ancaman (hazard), kerentanan (vulnerability), dan kemampuan dalam mengelola ancaman.

Potensi bencana pesisir yang kerap terjadi, adalah tsunami, rip current, banjir rob, gempa bumi dasar laut dan abrasi. Hal ini beberapa kali menyapa wilayah pesisir dan banyak menimbulkan korban jiwa karena ketidaksiapan masyarakat menerima ancaman bencana dari luar.

Divergensi dalam cara pandang memaknai kebencanaan menelurkan ego-ego sektoral yang hal ini berimbas pada terganggunya sistem keterpaduan penanganan bencana secara parsial. Manajemen bencana tidak bisa ditangani secara teknis-parsial, tapi harus lebih holistic-komperhensif. Manajemen bencana yang terpadu dan terintegrasi merupakan salah satu alternatif upaya mengurangi potensi risiko bencana di pesisir Indonesia.

Upaya-upaya dalam manajemen bencana berfungsi untuk menyeleraskan fungsi kehidupan manusia agar bisa hidup berdampingan dengan bencana yang kerap kali terjadi tanpa bisa diprediksi atau living harmony with the disaster. Karena di dalam siklus manajemen bencana manusia belajar tentang bagaimana mengenali dan memahami bencana, bagaimana cara meminimalisir risiko sebelum terjadinya bencana, pada saat terjadi bencana dan setelah terjadi bencana.

Salah satu elemen terpenting dalam siklus manajemen bencana adalah upaya mitigasi bencana, berupa mitigasi struktural serta mitigasi non struktural. Masing-masing wilayah pesisir memiliki karakteristik potensi bencana berbeda, sehingga perlakuan upaya mitigasi antar daerah juga tidak sama. Terlebih, masing-masing daerah memiliki local knowledge atau local wisdom yang berbeda dalam menyikapi sapaan alam. Persepsi dan sikap masyarakat tersebut akan mempengaruhi perbedaan strategi adaptasi masyarakat.

Ada beberapa upaya mitigasi yang secara umum dilakukan di daerah pesisir untuk mereduksi risiko ancaman kerugian yang ditimbulkan akibat tsunami maupun bencana alam pesisir lainnya, seperti penataan ruang berbasis bencana dengan desain sabuk hijau atau wanamina. Selain itu, bisa juga dengan memperbaiki posisi bangunan di mana sebisa mungkin tegak lurus dengan pantai. Pemetaan daerah rawan bencana juga bisa dilakukan sebagai bentuk upaya mitigasi non struktural.

Kesadaran dan pemahaman hubungan antara bencana dan kebutuhan masyarakat adalah hal yang sangat penting dalam meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana. Bencana alam lahir dari interaksi manusia dengan alamya. Apabila gejala yang timbul dari alam tersebut sudah memasuki ranah kehidupan manusia dengan segala kerusakannya, maka akan timbul damage + hazard = vulnerability. Dalam menghadapi bencana, masyarakat harus bisa mengantisipasi, meminimalisasi, dan menyerap potensi stres atau kekuatan destruktif melalui adaptasi atau resistensi. Selain itu, juga harus bisa mengelola atau menjaga fungsi dan struktur dasar tertentu, selama peristiwa bencana, serta mampu memulihkan pasca-bencana.

Banyak masyarakat pesisir yang tidak paham dalam menjawab fenomena bencana. Ketidakmampuan mereka menjawab fenomena alam membuat masyarakat beralih pada ilmu metafisika yang mengkaitkan segala sesuatu dengan hal mistik, seperti yang terjadi di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Banyaknya korban jiwa akibat terseret arus sering dikaitkan oleh penduduk sekitar, bahwa kejadian tersebut merupakan tumbal dari Ratu Pantai Selatan.

Pakar Mitigasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Subandono Diposaptono mengatakan, pemerintah telah melakukan pencegahan korban tsunami atau yang biasa disebut Mitigasi Tsunami. Bicara mengenai migitasi bencana khususnya tsunami, KKP sudah melakukan kegiatan itu sejak berdirinya kementerian karena me­mang ada unit sub direktorat migitasi lingkungan.

Menurut Subandono, ada dua yang menjadi patokan KKP dalam melakukan pencegahan bencana, terutama tsunami. Pertama, upaya struktur (fisik). Hal tersebut meliputi metode pelindungan alami, seperti mangrove, sand dune, terumbu karang, dan hutan pantai. Kemudian, metode perlindungan buatan, diantaranya breakwater, tembok laut, tanggul, konstruksi pelindung, shelter, bukit buatan, dan poin lainnya, yaitu struktur tahan bencana.

Faktor kedua, yaitu upaya nonstruktur (non fisik), seperti pembuatan peta rawan bencana, peraturan perundangan, kelembagaan dan sisitem peringatan dini. Selanjutnya, pemindahan atau relokasi, meliputi tata ruang, tata guna lahan, zonasi. Hal ini dilakukan, selain dengan melakukan sosialiasi melalui komik tsu­nami, peta tsunami, dan juga melakukan imbauan kepada pem­da-pemda untuk memperbanyak peta rawan tsunami.

Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai De­mokrat, Ingrid Kansil berpendapat, untuk meminimalisir dampak ben­cana alam, khususnya korban jiwa pemerintah harus me­ningkatkan kegiatan preventif bencana, baik pemerintah pusat maupun daerah.

Upaya preventif, kata Ingrid, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, melakukan simulasi bencana dan pe­ngadaan tempat perlindungan.” Jika terjadi tsunami masyarakat tidak akan lagi panik karena sudah tahu harus ke mana. Pemerintah daerah harus memperhatikan soal ini,” ujarnya.

Di samping itu, sistem peringatan dini juga harus ditingkatkan. Tidak sedikit sistem yang ada saat ini kondisinya sudah rusak. Contohnya, sistem peringatan dini di Pelabuhan Ratu. Di sana sudah rusak. “Alangkah baik kalau sistem peringatan dini diperbaiki dan ditambah. Pemerintah jangan terlalu terpaku pada besar atau kecilnya anggaran. Karena, jika pemerintah mau secara serius meningkatkan kegiatan preventif bencana, pihaknya pasti akan berusaha membantu meloloskan dana yang dibutuhkan,” tegas Ingrid.

Dia menambahkan, selain kegiatan preventif pemerintah juga harus segera me­nyempurnakan peralatan dan prasarana lain yang dibutuhkan da­lam penanggulangan bencana. Termasuk kebutuhan untuk mem­perlancar program tanggap darurat.

PP 5/1964, PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT

Presiden Republik Indonesia,

Menimbang:

a.bahwa Angkutan Laut perlu diselenggarakan atas dasar kepentingan umum dan ditujukan ke arah pengabdian kepada terlaksananya strategi dasar ekonomi Indonesia yakni untuk mengerahkan segenap potensi nasional dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan guna meningkatkan produksi dan menambah penghasilan negara;
b.bahwa untuk menjamin kelancaran Angkutan Laut serta fungsi pelabuhan sebagai fasilitas penyaluran barang dianggap perlu mengatur kembali ketentuan-ketentuan tentang penyelenggaraan Angkutan Laut yang meliputi pengusahaan pelayaran, mengerjakan dan mengurus muatan di pelabuhan, keagenan kapal dan perantaraan jual-beli/sewa kapal.

Mengingat:

1.Pasal 5 ayat 2 Undang-undang Dasar;

2.Indonesische Scheepvaartwet 1936 (Stbl. 1936 No. 700);

3.Bedrijfsreglementeringsordonnantie 1934 (Stbl. 1934 No. 595 jo Stbl. 1938 No. 86);

4.Deklarasi Ekonomi.

Mendengar: Wakil Perdana Menteri II/Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi, Wakil Perdana Menteri III dan Menteri Perhubungan Laut.

MEMUTUSKAN:

Dengan mencabut:

1.Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1957 tentang Perizinan pelayaran;

2.Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1962 tentang Perusahaan muatan kapal laut.

Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PENGUSAHAAN ANGKUTAN LAUT.

BAB I KETENTUAN-KENTENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan:
pelayaran:pengangkutan penumpang, barang dan/atau hewan dengan kapal laut baik di dalam negeri maupun ke dan dari luar negeri termasuk: -semua jenis pekerjaan bongkar muat barang baik secara langsung maupun dengan tongkang sampai ke dalam gudang-gudang/tempat-tempat yang ada dalam pengawasan bea cukai; -semua kegiatan untuk bertindak sebagai agen dari usaha pelayaran niaga untuk hal-hal yang lazim dikerjakan;
ekspedisi muatan:semua jenis pekerjaan yang menyangkut penerimaan/penyerahan muatan yang diangkut melalui lautan untuk diserahkan kepada/diterima dari perusahaan-pelayaran untuk kepentingan pemilik barang dan atau ke gudang yang ada dalam pengawasan bea cukai;
perantaraan jual beli/sewa kapal:semua pemberian jasa dalam melakukan jual-beli/sewa kapal;
perwakilan pelayaran asing:orang atau perusahaan yang tanpa melakukan kegiatan-kegiatan keagenan kapal bertindak sebagai wakil dari pada usaha pelayaran asing;
gudang laut: ialah gudang-gudang dan atau tempat penimbunan di dalam daerah pelabuhan di bawah pengawasan bea cukai;
Menteri: Menteri Perhubungan Laut.

Pasal 2.

Pembinaan dan perkembangan potensi maritim nasional umumnya, potensi pelayaran khususnya, ditujukan ke arah pengabdian kepada terlaksananya strategi dasar ekonomi Indonesia yakni untuk mengerahkan segenap potensi nasional dalam kegiatan ekonomi dan pembangunan guna mempertinggi produksi dan menambah penghasilan Negara.

Pasal 3.

Semua pengusahaan pelayaran, ekspedisi muatan kapal, perantaraan jual-beli dan sewa kapal diselenggarakan atas dasar kepentingan umum agar terjamin penyelenggaraan Angkutan Laut serta penggunaan pelabuhan sebagai fasilitas pengangkutan barang secara teratur dan efisien.

Pasal 4.

Pelayaran terdiri atas:

a. pelayaran pantai, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan antar pelabuhan Indonesia dengan kapal-kapal berukuran 175 ton isi kotor ke atas termasuk pelayaran berupa penundaan tongkang-tongkang yang memuat barang- barang, sedang pelayaran untuk melakukan usaha pengkutan antar pelabuhan Indonesia dengan kapal-kapal/perahu-perahu layar berukuran di bawah 175 ton isi kotor dinamakan pelayaran pantai lokal dan rakyat;

b. pelayaran samudra, yaitu pelayaran untuk melakukan usaha pengangkutan di laut ke dan dari luar negeri.

Pasal 5.

(1) Penyelenggaraan pelayaran pantai atau pelayaran samudra oleh, perusahaan-perusahaan pelayaran Indonesia dilakukan dengan kapal-kapal berbendera Indonesia.

(2) Dalam hal terdapat kekurangan ruang kapal, maka dapat dipergunakan kapal-kapal berbendera negara sahabat atas dasar sewa untuk jangka waktu atau perjalanan tertentu ataupun berdasarkan perjanjian lainnya.

Pasal 6.

(1) Pembukaan pelabuhan-pelabuhan pantai untuk perdagangan luar negeri oleh kapal-kapal berbendera negara sahabat termaksud pasal 2 ayat (3) Indonesische Scheepvaartwet 1936 diberikan oleh Menteri.

(2) Persetujuan tersebut diberikan untuk jangka waktu tertentu, satu atau beberapa perjalanan bagi pengangkutan penumpang dan atau barang.

Pasal 7.

(1) Dispensasi syarat bendera untuk pelayaran pantai oleh kapal-kapal berbendera negara sahabat termaksud pasal 3 ayat (3) Indonesische Scheepvaartwet 1936 diberikan oleh Menteri.

(2) Persetujuan tersebut diberikan untuk jangka waktu tertentu, satu atau beberapa perjalanan bagi pengangkutan penumpang dan atau barang.

(3) Indonesische Scheepvaartwet 1936 diberikan oleh Menteri.

Pasal 8.

(1) Pola jaring-jaring pengangkutan antar-pulau Indonesia, ke dan dari luar negeri ditetapkan oleh Menteri.

(2) Untuk memenuhi kebutuhan angkutan laut yang teratur dan merata ke seluruh bagian wilayah Indonesia, ke dan dari luar negeri maka setiap perusahaan pelayaran nasional dapat diwajibkan untuk melayari satu atau beberapa trayek tertentu.

Pasal 9.

(1) Semua gudang laut di pelabuhan Indonesia dikuasai oleh Negara, yang penyelenggaraannya diatur oleh Menteri.

(2) Di pelabuhan-pelabuhan tertentu Menteri dapat mengadakan pengaturan tersendiri tentang penyelenggaraan gudang laut dan kegiatan-kegiatan bongkar muat kapal.

Pasal 10.

(1) Pengusahaan pelayaran pantai dan pelayaran samudra, ekspedisi muatan, dan perantaraan jual-beli/sewa kapal hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.

(2) Ketentuan pada ayat (1) pasal ini berlaku juga terhadap Perusahaan-perusahaan Negara dan Perusahaan-perusahaan Daerah yang mempunyai lapangan pekerjaan di bidang angkutan laut.

(3) Perizinan termaksud pada ayat (1) pasal ini diselenggarakan berdasarkan azas-azas pertimbangan.

a.adanya pola jaring-jaring pengangkutan yang ditetapkan dan tersedianya barang-barang yang diangkut;
b.kelancaran arus barang secara tetap di jaring-jaring pengangkutan ke seluruh wilayah;
c.adanya pengawasan terhadap arus barang yang berencana dan pengawasan gerak kapal yang kontinyu;
d.adanya fasilitas-fasilitas jembatan, tambatan, pergudangan dan penimbunan yang tersedia di suatu pelabuhan;
e.memajukan perkembangan perdagangan dan sosial-ekonomi nasional;
f.meningkatkan keahlian pengusahaan;
g.pengawasan potensi nasional di bidang pengusahaan maritim;
h.syarat-syarat penggunaan dan pengerahan modal dan kekuatan nasional yang diintegrasikan dan dikoordinasikan untuk mencapai hasil pemberian jasa yang maksimal dalam batas-batas pengusahaan yang berfungsi sosial;
i.ketenteraman serta kesenangan kerja dalam perusahaan; j.digunakannya keuntungan sejauh mungkin untuk memajukan dan memperkembangkan/mempertinggi daya kemampuan dan kesejahteraan para buruh/pegawai serta usaha.

BAB II. PENGUSAHAAN PELAYARAN.

Pelayaran Pantai.

Pasal 11.

Pengusahaan pelayaran pantai hanya diselenggarakan setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari Menteri.

Pasal 12.

(1)Untuk mendapatkan izin pengusahaan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. 1.merupakan Perusahaan Pelayaran Negara atau 2.merupakan perusahaan daerah menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1962 atau 3.merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas, yang saham-sahamnya seluruhnya dimiliki oleh warga negara/badan hukum Indonesia dan yang anggota pengurus dan dewan komisarisnya terdiri dari warga negara Indonesia; b.memiliki alat-alat/modal yang ditetapkan oleh Menteri dan terdiri atas: 1.jumlah minimum satuan kapal dengan jumlah ton isi kotor; 2.minimum modal kerja; c.rencana penyelenggaraan jaring-jaring angkutan yang ditetapkan sesuai pasal 8 dengan frekwensinya; d.menyebutkan pelabuhan-pelabuhan di mana dilakukan kegiatan bongkar muat dengan alat-alat yang diperlukan serta keagenan; e.mengikuti kebijaksanaan umum Pemerintah dalam tarif pengangkutan.

(2)Keterangan-keterangan yang bersangkutan dengan persyaratan termaksud pada ayat (1) pasal ini diajukan melalui penjabat yang ditunjuk untuk itu.

Pasal 13.

Perusahaan pelayaran pantai yang telah mendapatkan izin menurut pasal 11, wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan tersebut di bawah ini:

a.melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam surat izin;
b.mengumumkan kepada umum peraturan perjalanan kapal, tarif dan syarat-syarat pengangkutan;
c.menerima pengangkutan setiap penumpang, barang, hewan dan pos;
d.memberikan prioritas pengangkutan kepada barang-barang sandang-pangan, bahan-bahan industri dan ekspor;
e.hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 14.

Menteri dapat mengizinkan penyelenggaraan pengangkutan tidak tetap oleh perusahaan pelayaran pantai dalam hal ada keperluan pengangkutan yang mendesak atau yang bersifat khusus.

Pasal 15.

Izin pengusahaan pelayaran pantai dicabut atas pertimbangan-pertimbangan tersebut di bawah ini:

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENGARUH GLOBAL WAR ON TERRORISM TERHADAP KEBIJAKAN INDONESIA DALAM MEMBERANTAS TERORISME

57 269 37

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

FENOMENA INDUSTRI JASA (JASA SEKS) TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU SOSIAL ( Study Pada Masyarakat Gang Dolly Surabaya)

63 375 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PENERIMAAN ATLET SILAT TENTANG ADEGAN PENCAK SILAT INDONESIA PADA FILM THE RAID REDEMPTION (STUDI RESEPSI PADA IKATAN PENCAK SILAT INDONESIA MALANG)

43 322 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24