Policy Paper

SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN
PEMBANGUNAN NASIONAL/ KEPALA BAPPENAS
Kita telah melihat bahwa dengan kemampuannya yang dapat
mempengaruhi ekosistem dunia, kehidupan populasi manusia dan
pembangunan, perubahan iklim telah menjadi isu kritis paling utama
yang mendapat perhatian serius dari para pembuat kebijakan di seluruh
dunia. Target utamanya adalah untuk mencegah peningkatan suhu
rata-rata global melebihi 2˚C, atau dengan kata lain menurunkan emisi
tahunan seluruh dunia hingga separuh dari kondisi sekarang pada tahun
2050. Kita percaya bahwa upaya ini tentunya membutuhkan respon
international yang solid – aksi kolektif untuk menghindari konlik
antara inisiatif kebijakan nasional dan internasional. Pada saat ekonomi
dunia sedang dalam tahap pemulihan dan negara-negara berkembang
sedang berupaya keras memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya, dampak
perubahan iklim telah ikut serta dalam memperburuk kondisi kehidupan manusia. Untuk itu diperlukan
pengintegrasian perubahan iklim sebagai pilar penting dan fokus utama dalam agenda kebijakan
pembangunan yang berkelanjutan.
Kita menyadari bahwa perubahan iklim telah banyak diteliti dan dibahas di seluruh dunia. Berbagai solusi
telah ditawarkan, program-program telah didanai dan kemitraan telah terjalin. Namun di luar itu semua,
emisi karbon masih terus meningkat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Karena lokasi
geograisnya, kerentanan Indonesia terhadap dampak negatif perubahan iklim harus menjadi perhatian

yang serius. Kita akan berhadapan, dan sudah terlihat oleh kita beberapa dampak negatif seperti musim
kemarau yang berkepanjangan, banjir, serta meningkatnya intensitas kejadian cuaca ekstrim. Kekayaan
keanekaragaman hayati kita juga berada dalam resiko.
Beberapa pihak yang memilih untuk bersikap diam dalam perdebatan isu perubahan iklim atau
memperlambat upaya penanggulangannya kini telah termarginalisasi oleh kenyataan saintiik yang tidak
terbantahkan. Puluhan tahun penelitian, analisis dan bukti-bukti nyata yang terjadi telah menunjukkan
pada kita bahwa perubahan iklim bukan hanya menjadi isu lingkungan saja, namun juga isu pembangunan
secara menyeluruh karena dampaknya akan terasa di semua sektor kehidupan manusia baik sebagai bangsa
maupun individu.
Sayangnya, kita tidak dapat mencegah atau menghindar dari beberapa dampak negatif perubahan iklim.
Kita dan khususnya Negara-negara maju telah terlalu lama berkontribusi dalam memanaskan bumi ini.
Kita harus bersiap oleh karena itu, untuk beradaptasi terhadap perubahan yang akan terjadi, dan dengan

i
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

segenap tenaga berusaha untuk memitigasi agar tidak terjadi perubahan lebih lanjut dari iklim global
bumi. Kita telah meratiikasi Protokol Kyoto di masa awal serta berkontribusi aktif dalam negosiasi
perubahan iklim dunia, dengan menjadi tuan rumah pada pelaksanaan Konvensi Para Pihak ke 13 United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang telah melahirkan Bali Action Plan pada

tahun 2007. Kini, kita mencurahkan perhatian kita pada tantangan untuk mencapai target yang telah
dicanangkan oleh Presiden yaitu penurunan emisi sebesar 26% hingga tahun 2020. Aksi nyata sangat
penting. Namun sebelum melakukan aksi, kita harus siap dengan analisis yang komprehensif, perencanaan
strategis dan penetapan prioritas.
Untuk itu saya mengantarkan dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap, atau disebut ICCSR,
dengan tujuan agar perubahan iklim dapat diintegrasikan ke dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional.
Dokumen ICCSR menampilkan visi strategis pada beberapa sektor utama yang terkait perubahan iklim,
yaitu sektor kehutanan, energi, industri, perhubungan, pertanian, daerah pesisir, sumber daya air, limbah,
dan kesehatan. Dokumen Roadmap ini telah diformulasikan melalui analisis yang komprehensif. Kita
telah melakukan penaksiran kerentanan secara mendalam, penetapan opsi prioritas termasuk peningkatan
kapasitas dan respon strategis, dilengkapi dengan analisis keuangan dan dirangkum dalam perencanaan
aksi yang didukung oleh kementerian-kementerian terkait, mitra strategis dan para donor.
Saya meluncurkan dokumen ICCSR ini dan mengundang Saudara untuk ikut mendukung komitmen dan
kemitraan, serta bekerjasama dalam merealisasikan prioritas pembangunan berkelanjutan yang ramah
iklim serta melindungi populasi kita dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


Prof. Armida S. Alisjahbana

ii
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN
Perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara dinamis dan terusmenerus. Oleh sebab itu, strategi antisipasi dan penyiapan teknologi
adaptasi menjadi salah satu “target pembangunan pertanian” dalam
upaya pengembangan pertanian yang tahan (resilience) terhadap perubahan
iklim. Mengingat luasnya dampak dan aspek yang terkait, maka antisipasi,
adaptasi, dan mitigasi sektor pertanian dalam menyikapi perubahan
iklim harus disusun secara holistik dan terintegrasi dengan melibatkan
seluruh subsektor pertanian dalam “Road map Strategi Sektor Pertanian
Menghadapi Perubahan Iklim”.
Road map ini disusun sebagai pedoman dalam mensinergikan program
dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antar-subsektor.
Secara spesiik, penyusunan road map ini bertujuan untuk menyiapkan arah dan strategi kebijakan, program
dan rencana aksi, tahapan dan strategi pelaksanaan program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi sektor
pertanian dalam menghadapi perubahan iklim, serta menetapkan sasaran dan waktu pencapaian masingmasing program dan rencana aksi.
Road map sektor pertanian ini harus dijadikan acuan kebijakan bagi setiap subsektor pertanian dalam

menyusun program perubahan iklim untuk periode 2010-2029.

Jakarta, Maret 2010
Menteri Pertanian

Suswono

iii
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

PENGANTAR DEPUTI MENTERI BIDANG SUMBER
DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP BAPPENAS
Sebagai bagian dari solusi dalam menghadapi perubahan iklim global,
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi
Gas Rumah Kaca secara nasional hingga 26% dari kondisi dasar dalam
kurun waktu 10 tahun dengan menggunakan sumber pendanaan
dalam negeri, serta penurunan emisi hingga 41% jika ada dukungan
international dalam aksi mitigasi. Dua sektor utama yang berkontribusi
terhadap emisi adalah sektor kehutanan dan energi, terutama dari
kegiatan deforestasi dan pembangkit tenaga listrik, hal ini dikarenakan

oleh sebagian pembangkit yang masih menggunakan bahan bakar tidak
terbarukan seperti minyak bumi dan batubara, yang menjadi bagian dari
intensitas energi kita yang tinggi.
Dengan lokasi geograisnya yang unik, di antara negara-negara di dunia kita termasuk salah satu negara
yang paling rentan terhadap dampak negatif perubahan iklim. Pengukuran terhadap hal ini diperlukan
untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh naiknya permukaan air laut,
banjir, perubahan curah hujan, dan dampak negatif lainnya. Jika upaya adaptasi tidak segera dilakukan,
maka berdasarkan prediksi analisis, Indonesia dapat mengalami kekurangan sumber air, penurunan hasil
pertanian, serta hilangnya atau rusaknya habitat di berbagai ekosistem termasuk di daerah pesisir pantai.
Aksi nasional dibutuhkan baik untuk memitigasi perubahan iklim global maupun untuk mengidentiikasi
upaya-upaya adaptasi yang diperlukan. Hal ini menjadi tujuan utama dari dokumen Indonesia Climate Change
Sectoral Roadmap, ICCSR. Prioritas tertinggi dari aksi-aksi tersebut akan diintegrasikan ke dalam sistem
perencanaan pembangunan nasional. Untuk itu kita telah berupaya membangun konsensus nasional
dan pemahaman mengenai opsi-opsi dalam merespon perubahan iklim. Indonesia Climate Change Sectoral
Roadmap (ICCSR) merepresentasikan komitmen jangka panjang untuk menurunkan emisi dan melakukan
upaya adaptasi serta menunjukkan kesiapan perencanaan program-program yang inovatif dalam upaya
mitigasi dan adaptasi hingga puluhan tahun mendatang.

Deputi Menteri Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


U. Hayati Triastuti

iv
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Perubahan iklim yang dampaknya sudah sangat dirasakan di sektor
pertanian harus diatasi melalui perencanaan yang matang dilanjutkan
dengan program aksi melalui tindakan nyata oleh semua ihak. Road Map
Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim ini merupakan
strategi antisipasi, mitigasi dan adaptasi setiap sub sektor dan bidang
masalah lingkup Sektor Pertanian untuk meminimalkan dampak
variabilitas dan perubahan iklim di sektor pertanian.
Road Map ini disusun bersama oleh tim dari sub sektor dan bidang masalah
pertanian yang koordinasikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian melalui Program Konsorsium Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim Sektor Pertanian (KP3I), dengan struktur yang sederhana
agar mudah dipahami oleh para pengambil kebijakan dan pelaksana. Road Map ini perlu juga dijabarkan

secara teknis, baik dalam upaya mitigai maupun adaptasi.
Penghargaan dan ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Deputi Bidang Sumberdaya Alam dan
Lingkungan Hidup KemNeg PPN/BAPPENAS, Deputi Bidang Peningkatan Konservasi SDA dan
Pengendalian Kerusakan Lingkungan, KemNeg LH, Sekjen Deptan, Dirjen dan Kepala Badan lingkup
Kementerian Pertanian, serta tim penyusun dan kontributor, baik dari Badan Litbang Pertanian maupun
Setjen Deptan, Ditjen Perkebunan, Tanaman Pangan, Hortikultura, PLA, Peternakan, P2HP, BKP,
Perguruan Tinggi. Khususnya juga kepada kepada Tim Second National Communication (SNC), Deutsche
Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ), dan Tim Roadmap Bappenas serta semua pihak yang telah
berkontribusi dan berperan aktif dalam penyusunan Road Map ini.

Jakarta, Maret 2010
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Sumardjo Gatot Irianto

v
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

TIM PENYUSUN
Penanggungjawab : Dr. S. Gatot Irianto, DEA Ka. Badan Litbang Pertanian


Tim Teknis
1.

Prof. Dr.Irsal Las, Ka BB Litbang SDL Pertanian, (Ketua Tim).

2.

Dr. Astu Unadi, Ka Balitlimat (Wakil Ketua Tim)

3.

Dr. Eleonora Runtunuwu (Sekretaris Tim)

4.

Dr. Irawan

5.


Dr. Fahmuddin Agus

6.

Ir. Elza Surmaini, M.Si

7.

Ir. Erni Susanti, M.Sc

8.

Dr. Aris Pramudia

9.

Adang Hamdani. SP

10.


Ir. Sucianti, M.Si

11.

Dr. Istiqlal Amien

12.

Dr. Sukarman

13.

Drs. Wahyunto, M.Sc

14.

Dr. Prihasto Setianto

15.


Prof. Dr. A. K. Makarim

16.

Dr. Amlius Thalib

17.

Haryono, SP., MM

18.

Prof. Dr. Rizaldi Boer (IPB-CCROM)

19.

Prof. Dr. Supiandi Sabiham (IPB)

20.

Prof. Dr. Hidayat Pawitan (IPB)

vi
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Kontributor
1.

Dr. Haryono, Sekretaris Badan Litbang Pertanian

2.

Dr. Sri Rochayati, M.Sc (Badan Litbang Pertanian)

3.

Dr. Ahmad Rachman (Badan Litbang Pertanian)

4.

Dr. Dedi Nursyamsi (Badan Litbang Pertanian)

5.

Dr. Ai Dariah (Badan Litbang Pertanian)

6.

Dr. M. Ardiansyah (IPB-CCROM)

7.

Ir. Achmad Fuadi, M.Si (Setjen/Biro Perencanaan)

8.

Ir. Yuliana E. Utami (Setjen/Biro Perencanaan)

9.

Dr. Herdrajat (Ditjen Perkebunan)

10.

Heru Tri Widarto, SSi, M.Si (Ditjen Perkebunan)

11.

Ir. Galih Surti, MM (Ditjen Perkebunan)

12.

Ir. Ati Wasiyati, MM (Ditjen Tanaman Pangan)

13.

Ir. Endang Titik Purwani, MM (Ditjen Tanaman Pangan)

14.

Ir. Prasetyo M, MM (Ditjen PLA)

15.

Ir. Diah Susilokarti, MP (Ditjen PLA)

16.

Ir. Sukirno, MM (Ditjen Hortikultura)

17.

Ir. Sulistyo Sadewo (Ditjen Hortikultura)

18.

Dr. Riwantoro (Ditjen Peternakan)

19.

Ir. Mursid, MS (Ditjen Peternakan)

20.

Ir.Bambang Sugiarto, M.Sc (Badan Ketahanan Pangan)

21.

Ir. Iwan F. Malonda, M.Kom (Badan Ketahanan Pangan)

22.

Ir. Jamil Musanif

(P2HP)

23.

Ir.Susanto, MM

(P2HP)

24.

Dede Sulaeman, ST, MSi (P2HP)

25.

Hermanto S.Sos (Badan Litbang Pertanian)

vii
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

DAFTAR ISI
SAMBUTAN MENTERI PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/
KEPALA BAPPENAS

i

SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

iii

PENGANTAR DEPUTI MENTERI BIDANG SUMBER DAYA ALAM
DAN LINGKUNGAN HIDUP BAPPENAS

iv

PENGANTAR KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

v

TIM PENYUSUN

vi

DAFTAR ISI

viii

DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xii

1

2

3

PENDAHULUAN

1

1.1

Latar Belakang

2

1.2

Tujuan

3

1.3

Pendekatan

4

ARAH DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

7

2.1

Visi Kementerian Pertanian

8

2.2

Misi Kementerian Pertanian

8

2.3

Tujuan Pembangunan Pertanian

9

2.4

Arah Kebijakan Kementerian Pertanian

9

2.5

Strategi Fundamental dan Akselerasi

11

2.6

Program Kementerian Pertanian

12

KERENTANAN DAN DAMPAK PERUBAHAN IKLIM
TERHADAP SEKTOR PERTANIAN
3.1

Perubahan Pola Curah Hujan dan Iklim Ekstrem

13
14

vii
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

4

5

6

3.1.1

Kerentanan sektor pertanian terhadap bahaya kekeringan

17

3.1.2

Kerentanan dan dampak sektor pertanian terhadap bahaya banjir

21

3.1.3

Dampak pergeseran pola curah hujan

23

3.2

Kerentanan Sektor Pertanian terhadap Peningkatan Suhu Udara

23

3.3

Dampak Kenaikan Muka Air Laut terhadap Sektor Pertanian

26

ARAH DAN KEBIJAKAN UMUM PEMBANGUNAN PERTANIAN
MENYIKAPI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM

29

4.1

Strategi Umum

30

4.2

Antisipasi

30

4.3

Adaptasi Perubahan Iklim

31

4.4

Mitigasi Perubahan Iklim

32

4.5

Penelitian dan Pengembangan

33

4.6

Isu Lintas Sektoral (Cross Cutting Issue)

34

ROAD MAP PROGRAM ANTISIPASI, ADAPTASI, DAN MITIGASI
PERUBAHAN IKLIM SEKTOR PERTANIAN

35

5.1

Penelitian dan Pengembangan

36

5.2

Antisipasi Perubahan Iklim

38

5.3

Advokasi dan Diseminasi

39

5.4

Adaptasi dan Mitigasi

39

5.5 Program Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK

40

PENUTUP

41

DAFTAR PUSTAKA

43

Lampiran 1. Program dan kegiatan penelitian dan pengembangan menghadapi perubahan iklim global 45
Periode RPJM 2010-2014

48

Lampiran 2. Program dan kegiatan antisipasi sektor pertanian menghadapi perubahan iklim global

49

Lampiran 3. Program dan kegiatan advokasi dan diseminasi menghadapi perubahan iklim global

50

ix
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Lampiran 4. Program dan kegiatan adaptasi dan mitigasi sektor pertanian
menghadapi perubahan iklim global

51

Lampiran 5. Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim 2010-2020 Sektor Pertanian

77

Lampiran 6. Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim 2010-2020 Sektor Pertanian pada Lahan Gambut 78
Lampiran 7. Kerangka Kerja Logis

79

x
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

DAFTAR TABEL
Tabel 3.1

Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (ha)

18

Tabel 3.2

Pengaruh kekeringan terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit (Ditjenbun, 2007)

20

Tabel 3.3

Luas lahan sawah rawan banjir/genangan di Jawa (ha)

21

Tabel 3.4

Proyeksi penurunan hasil panen pada tanaman jagung akibat peningkatan laju respirasi
tanaman yang disebabkan oleh kenaikan suhu pada tahun 2050 (Handoko et al, 2008) 24

Tabel 3.5

Dampak kenaikan muka air laut terhadap penurunan luas baku lahan sawah
dan produksi padi/beras hingga tahun 2050

27

xi
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1

Tren perubahan curah hujan pada periode Des-Feb (atas) dan Jun-Agt (bawah)
di Indonesia

15

Gambar 3.2

Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006

16

Gambar 3.3

Sepuluh kejadian El-Nino terkuat dalam satu abad terakhir (Lebar garis
menunjukkan karakter kejadian, seperti durasi kejadian 6-18 bulan;

17

Gambar 3.4

Peningkatan frekuensi kejadian El-Nino dan La-Nina (Las et al., 2008)

17

Gambar 3.5

Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan dan banjir di Indonesia
dalam periode 1991-2006 (Ditlin Tanaman Pangan, 2007).

19

Gambar 3.6

Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El
Nino di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006.

19

Gambar 3.7

Produksi padi dan pengaruh kekeringan dan penerapan teknologi, 1971-2004
(Las., et al., 2008a).

20

Gambar 3.8

Peta penyebaran kerawanan banjir di Indonesia

22

Gambar 3.9

Rata-2 Wilayah pertanaman padi yang terkena dampak banjir pada tahun La
Nina per kabupaten (1989-2006).

22

Gambar 3.10 Perubahan suhu pada musim hujan (Januari) dan musim kemarau (Juli) di Jakarta,
1860-2000.

24

Gambar 3.11 Perkiraan perubahan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding
produksi saat ini akibat kenaikan suhu dan kosentrasi CO2 untuk skenario
SRESB1 dan SRESA2 pada berbagai skenario perubahan luas lahan sawah dan
indeks penanaman padi.

25

Gambar 3.12 Penyebaran lahan sawah di Indonesia yang berpeluang terkena dampak kenaikan
tinggi muka air laut

26

Gambar 3.13 Dampak kenaikan SLR terhadap lahan sawah di Jawa.

27

Gambar 3.14 Road map sektor pertanian menghadapi perubahan iklim 2010-2014

37

xii
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

1
PENDAHULUAN

1
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

1.1

Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan tantangan paling serius yang dihadapi masyarakat dunia pada saat ini dan ke
depan. Sejumlah bukti baru dan kuat yang muncul dari berbagai studi mutakhir memperlihatkan faktor
antropogenik, terutama industrialisasi yang berkembang cepat selama 50 tahun terakhir, telah menyebabkan
pemanasan global secara signiikan. Seiring dengan pemanasan global, terjadi pula perubahan iklim
lainnya, seperti peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan serta peningkatan periodisitas
El-Nino.
Industrialisasi mendorong peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer,
yang terdiri atas karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksalorida (SF6),
perlorokarbon (PFCs), dan hidroloro-karbon (HFCs). Tiga jenis GRK yang disebut terdahulu
berhubungan dengan perubahan penggunaan lahan pertanian (LULUCF, Land Use Land Use Change and
Forestry).
Walaupun berkontribusi relatif kecil (sekitar 7%) terhadap emisi GRK nasional, namun sektor pertanian,
terutama subsektor tanaman pangan, mengalami dampak (victim) perubahan iklim yang cukup besar.
Di sisi lain, sektor pertanian berperan penting dalam kehidupan dan perekonomian nasional, terutama
sebagai penghasil utama bahan pangan, bahan baku industri dan bioenergi. Sektor pertanian juga
mengasilkan jasa lingkungan dan berbagai fungsi lainnya seperti penyedia lapangan kerja bagi sekitar 40%
angkatan kerja Indonesia, penyumbang pertumbuhan ekonomi, menjaga ketahanan pangan, memberikan
kesegaran dan keindahan di pedesaan (rural amenity), dan menjaga tata air daerah aliran sungai (Yoshida,
2001; OECD, 2001; EOM dan KANG, 2001; Chen, 2001; Agus et al., 2006). Multifungsi lahan sawah
di DAS Citarum, Jawa Barat, diperkirakan bernilai 51% dari nilai gabah yang dihasilkan di DAS tersebut
(Agus et al., 2003). Perubahan iklim dapat mempengaruhi sektor pertanian, baik sebagai penghasil barang
yang dapat dipasarkan maupun sebagai penghasil berbagai jasa. Oleh sebab itu, antisipasi dan adaptasi
sektor pertanian terhadap perubahan iklim harus menjadi program utama dalam menghadapi perubahan
iklim.
Dalam lima tahun terakhir sektor pertanian berhasil meningkatkan produksi padi dari 54,1 juta ton GKG
pada tahun 2004 menjadi 60,3 juta ton GKG pada 2008 atau meningkat rata-rata 2,8% per tahun, bahkan
laju peningkatan produksi padi dalam tiga tahun terakhir (2006-2008) mencapai 5,2% per tahun. Kenaikan
produksi ini menjadikan Indonesia kembali berswasembada beras pada tahun 2008. Selain padi, produksi
jagung dan kedelai juga mengalami peningkatan masing-masing sebesar 9,5% dan 3,14% per tahun (Ditjen
Tanaman Pangan, 2009; Apryantono, et al. 2009)). Namun tanaman pangan pada umumnya paling rentan
terhadap hampir semua komponen perubahan iklim, sehingga upaya adaptasi sangat diperlukan.
Subsektor perkebunan dengan komoditas utamanya kelapa sawit, karet, dan coklat juga mempunyai
posisi yang sangat strategis dalam mendukung perekonomian nasional, antara lain penyediaan bahan baku
industri dan sebagai komoditas ekspor yang paling dominan menghasilkan devisa, penyediaan bahan
baku energi terbarukan (bioenergi), dan penyerapan tenaga kerja. Di samping itu, subsektor perkebunan

2
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

memiliki fungsi ekologis yang unggul, tertutama dalam menyerap karbon dioksida. Oleh sebab itu,
subsektor perkebunan berperan strategis dalam mitigasi perubahan iklim dan pada gilirannya berpotensi
dalam perdagangan karbon (carbon trading).
Di sisi lain, areal lahan perkebunan, khususnya kelapa sawit, dalam beberapa tahun terakhir meluas ke
lahan gambut. Pembukaan lahan gambut menjadi kontroversi dan polemik internasional karena berpotensi
meningkatkan emisi GRK. Subsektor peternakan juga menyumbang emisi GRK cukup signiikan terhadap
sektor pertanian.
Sektor pertanian juga dituntut untuk berperan dalam mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) sebagai
bahan baku energi (bioenergi) seperti biodiesel, bioetanol, dan biogas. Tanaman sumber utama biodiesel
adalah kelapa sawit, kelapa, jarak pagar, dan kemiri sunan, sedangkan sumber bioetanol adalah tanaman
penghasil pati (sagu, ubi-ubian), gula (tebu, nira), dan selulose (limbah kayu, bagas tebu). Bahan baku
utama biogas adalah kotoran ternak.
Oleh sebab itu, peningkatan produksi pertanian di masa yang akan datang bukan hanya ditujukan untuk
stabilitas ketahanan pangan, tetapi juga untuk mitigasi emisi GRK dan stabilitas ketahanan energi.
Terkait dengan peranan strategis sektor pertanian bagi pembangunan nasional, kendala dan ancaman yang
dihadapi di masa depan, khususnya perubahan iklim, maka upaya antisipasi dan adaptasi menghadapi
perubahan iklim perlu dirumuskan dalam bentuk peta jalan (road map).

1.2

Tujuan

Road map Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim disusun sebagai pedoman dalam mensinergikan
program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim antar-subsektor. Secara spesiik,
penyusunan road map ini bertujuan untuk:
a.

menyiapkan arah kebijakan dan strategi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

b.

menyiapkan program dan rencana aksi sektor pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

c.

menyiapkan tahapan dan strategi pelaksanaan program dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi sektor
pertanian dalam menghadapi perubahan iklim;

d.

menetapkan sasaran dan waktu pencapaian masing-masing program dan rencana aksi.

3
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

1.3

Pendekatan

Road map Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim disusun berdasarkan kajian dan analisis terhadap
berbagai dokumen dan data, serta hasil-hasil penelitian sebelumnya, diskusi dan konsultasi dengan berbagai
pihak terkait, maupun melalui seminar, focus group discussion (FGD) yang diwadahi oleh Konsorsium
Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim (KP3I) Sektor Pertanian dan Tim Road map Bappenas
serta Kelompok Kerja Komunikasi Nasional Kedua (SNC) Perubahan Iklim.
Beberapa dokumen yang menjadi sumber penyusunan road map antara lain adalah:
a) Rencana Aksi Nasional Perubahan Iklim (dihasilkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup).
b) Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK).
c)

Mainstreaming of Climate Change to Government Work Plan.

d) Mainstreaming of Climate Change into National Development Agenda.
e)

Technology Need Assessment for Adaptation and Mitigation to Climate Change in Agricultural Sector.

f)

Konsep dan Arahan Renstra Kementerian Pertanian 2010-2014.

g) Program 100 Hari Depertemen Pertanian.
h) Road map Pengembangan Kelapa Sawit, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.
i)

Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis (SEAMEO BIOTROP).

j)

Indonesian National Greenhouse Gas Inventory under the UNFCC: Enabling Acivities for the Preparation of
Indonesia’s Second National Commnication to the UNFCCC: GHG Inventory, GHG Emission Reduction,
Vulnerability and Adatation) (KLH & UNDP).

k) Laporan kegiatan Tim KP3I (Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Global
terhadap Sektor Pertanian), Badan Litbang Pertanian.
l)

Laporan hasil penelitian Sumberdaya Lahan (Tanah, iklim, air) Badan Litbang Pertanian.

Konsultasi dilakukan dengan pejabat, peneliti atau pakar terkait, dan kelompok kerja atau tim kajian
di lingkup Kementerian Pertanian, seperti Badan Litbang Pertanian, Setjen Pertanian, Ditjen Tanaman
Pangan, Ditjen Perkebunan, Ditjen Pengelolaan Lahan dan Air, Ditjen Hortikultura, Ditjen Peternakan,
Badan Ketahanan Pangan, Ditjen P2HP, dan Badan Pengembangan SDM Pertanian.
Hasil FGD berupa penyamaan persepsi di lingkup Kementerian Pertanian mengenai perubahan iklim
diintegrasikan dengan hasil kajian dan analisis kerentanan dan adaptasi sektor pertanian oleh Kelompok
Kerja SNC, serta adanya masukan data VA dari Tim Basis Akademis Bappenas-GTZ. Selain itu dilakukan
juga empat kali FGD di lingkup Bappenas-GTZ dengan melibatkan nara sumber, antara lain Dr. Irving

4
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Mintzer, Mr. Heiner von Luepke, dan Prof. Dr. Handoko. Kemudian perumusan prioritas program dan
kegiatan pembangunan pertanian terkait dengan perubahan iklim dilakukan melalui konsinyasi antara Tim
KP3I dengan subsektor terkait di lingkup Kementerian Pertanian dan Biro Perencanaan Kementerian
Pertanian.
Road map Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim disusun untuk periode (time frame) 20 tahun, yakni
perencanaan program untuk tahun anggaran 2010-2029 dengan harapan rumusannya dapat digunakan
untuk empat periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Namun program
dan rencana aksi yang rinci disiapkan untuk RPJMN 2010-2014. Selain itu dalam rangka menyiapkan
program penurunan emisi GRK sebesar 26% atau 41% pada tahun 2020, juga disusun Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi GRK (RAN-PEGRK) dalam bentuk matrik program.

5
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

6
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

2
ARAH DAN PROGRAM
PEMBANGUNAN
KEMENTERIAN
PERTANIAN

7
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Salah satu masalah yang mendasar pada sektor pertanian adalah keterbatasan sumberdaya lahan, baik
dari aspek sosial-ekonomi maupun isik, yang ditandai oleh (a) terjadinya degradasi kualitas lahan
sehingga produktivitasnya menurun atau laju peningkatan produktivitas berkurang (leveling off), (b) tidak
terkendalinya konversi lahan pertanian produktif dan terbatasnya ketersediaan lahan potensial untuk
ekstensiikasi pertanian, dan (c) terjadinya fragmentasi penguasaan lahan.
Konversi lahan pertanian produktif di Indonesia merupakan salah satu ancaman serius bagi berkelanjutan
ketahanan pangan nasional. Dalam periode 1999-2003 konversi lahan sawah mencapai 424.000 ha (106.000
ha/tahun) (Sutomo, 2004). Selain itu, terdapat sekitar 9,55 juta KK yang memiliki lahan < 0,5 ha dan
angka tersebut cenderung meningkat akibat fragmentasi lahan serta makin tingginya insentif untuk usaha
pada sektor non-pertanian. Perubahan iklim dengan segala dampaknya akan semakin menekan sektor
pertanian dalam mencapai berbagai sasaran pembangunan pertanian, seperti peningkatan produksi dan
kesejahteraan petani.
Berdasarkan persoalan mendasar dan target yang ingin dicapai, arah dan program Kementerian Pertanian
ke depan ditujukan untuk mencapai visi, misi, dan tujuan pembangunan pertanian (Renstra Deptan 20102014).

2.1

Visi Kementerian Pertanian

Terwujudnya pertanian industrial unggul berkelanjutan berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan
kemandirian pangan berkelanjutan, nilai tambah, ekspor, dan kesejahteraan petani.

2.2

Misi Kementerian Pertanian

1) Mewujudkan sistem pertanian berkelanjutan yang eisien, berbasis iptek dan sumberdaya lokal, serta
berwawasan lingkungan melalui pendekatan sistem agribisnis.
2) Menciptakan keseimbangan ekosistem pertanian yang mendukung keberlanjutan peningkatan
produksi dan produktivitas untuk meningkatkan kemandirian pangan.
3) Meningkatkan produk pangan segar dan olahan yang
dikonsumsi.

aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH)

4) Meningkatkan produk pertanian sebagai bahan baku industri.
5) Mengamankan plasma nutfah dan meningkatkan pendayagunaannya untuk mendukung pembangunan
pertanian.
6) Mewujudkan usaha pertanian yang terintegrasi secara vertikal dan horizontal, guna menumbuhkan
usaha ekonomi produktif dan menciptakan lapangan kerja di perdesaan.

8
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

7) Mengembangkan industri hilir pertanian yang terintegrasi dengan sumberdaya lokal untuk memenuhi
permintaan pasar domestik, regional, dan internasional.
8) Mendorong terwujudnya sistem kemitraan usaha dan perdagangan komoditas pertanian yang sehat,
jujur, dan berkeadilan.
9) Menjadikan petani kreatif, inovatif, dan mandiri, serta mampu memanfaatkan iptek dan sumberdaya
lokal untuk menghasilkan produk pertanian yang berdaya saing tinggi.
10) Meningkatkan kualitas kinerja dan pelayanan aparatur pemerintah di bidang pertanian yang amanah
dan profesional.

2.3

Tujuan Pembangunan Pertanian

Sebagai acuan untuk mencapai visi dan melaksanakan misi tersebut Kementerian Pertanian menetapkan
lima target sukses pembangunan pertanian yaitu: (1) peningkatan produksi dan swasembada berkelanjutan;
(2) ketahanan pangan dan gizi; (3) peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor; (4) peningkatan
pendapatan petani; dan (5) adaptasi perubahan iklim dan kelestarian lingkungan.

2.4

Arah Kebijakan Kementerian Pertanian

Kementerian Pertanian telah merumuskan 15 butir arah kebijakan pembangunan pertanian untuk RPJM
2010-2014, dan beberapa di antaranya sangat terkait dengan isu perubahan iklim dan lingkungan, antara
lain:
1)

Meningkatkan produksi bahan pangan utama dan komoditas unggulan berbasis sumberdaya lokal
dan mengupayakan diversiikasi konsumsi, pemerataan distribusi, dan aksesibilitas bahan pangan.

2)

Meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia pertanian (petani, peternak, dan aparatur), terutama
dalam menghadapi perubahan iklim dan cekaman lingkungan.

3)

Mengembangkan dan merehabilitasi infrastruktur pertanian (pengairan, jalan usahatani, perluasan
areal, pengelolaan lahan termasuk padang penggembalaan, serta status dan kepemilikan lahan).

4)

Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan dan air serta mengembangkan kegiatan pertanian
berwawasan lingkungan hidup.

5)

Melakukan perlindungan terhadap kegiatan pertanian dan produksinya (subsidi, asuransi pertanian,
tarif, stabilisasi harga).

6)

Meningkatkan kegiatan penelitian dan diseminasi hasil penelitian, tertutama dalam menghasilkan dan
mengembangkan teknologi pertanian yang adaptif terhadap perubahan iklim.

9
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Padi, jagung, kedelai, gula, dan daging sapi merupakan komoditas pangan utama bagi masyarakat Indonesia,
sehingga upaya pemenuhan dari produksi dalam negeri menjadi sangat krusial. Padi dan jagung saat ini
sudah dapat dipenuhi pengadaannya dari produksi dalam negeri dan perlu dipertahankan dan dimantapkan
lagi ke depan. Kedelai, gula, dan daging sapi ditargetkan untuk dapat berswasembada dalam lima tahun ke
depan. Dalam periode 2010-2014 terdapat 32 komoditas yang diunggulkan untuk dikembangkan.
Aktivitas pembangunan pertanian tidak hanya terbatas pada upaya pemanfaatan dan pengefektifan
kapasitas produksi yang ada, tetapi juga diupayakan melalui penambahan kapasitas produksi. Oleh
karena itu, pengembangan dan rehabilitasi infrastruktur pertanian menjadi sangat fundamental, terutama
pengairan, jalan usahatani, dan areal pertanian. Untuk itu akan dilakukan pembuatan dan rehabilitasi
saluran irigasi tersier dan saluran irigasi di areal persawahan, penyediaan pompa air dalam, sumur resapan
dan embung, fasilitasi irigasi tetes, dan lainnya, sehingga terjadi penambahan lahan berpengairan.
Lahan dan air merupakan faktor produksi pertanian yang mutlak dibutuhkan. Pemanfaatan lahan
pertanian yang ada saat ini masih sangat memungkinkan untuk dioptimalkan, baik melalui pemanfaatan
lahan tidur dan rehabilitasi lahan kritis maupun peningkatan indeks pertanaman (IP) pada lahan yang
sudah diusahakan.
Pemanfaatan air juga masih sangat dimungkinkan untuk dieisienkan. Fenomena yang sering terjadi adalah
lahan pertanian kekurangan air pada musim kemarau dan kebanjiran pada musim hujan. Oleh karena
itu, pengembangan bangunan konservasi air melalui upaya penyimpanan dan pendistribusian air menjadi
salah satu arah kebijakan pertanian lima tahun ke depan.
Kemajuan pertanian tidak terlepas dari kemajuan teknologi yang dinamis sesuai dengan dinamika
lingkungan dan kebutuhan pasar. Karena itu, penelitian pertanian tetap menjadi bagian dari arah kebijakan
pembangunan pertanian ke depan yang tidak hanya ditekankan pada upaya menghasilkan teknologi baru,
tetapi juga mendiseminasikan teknologi tersebut agar betul-betul sampai dan dapat diimplementasikan
petani.
Teknologi yang dibutuhkan dalam lima tahun ke depan antara lain adalah berbagai varietas baru komoditas
pertanian yang sesuai dengan kebutuhan petani dan adaptif terhadap lingkungan, teknologi pasca-panen/
pengolahan, teknologi perbenihan/perbibitan, dan teknologi budi daya pertanian yang sesuai dengan
kondisi iklim (Las et al, 2008a).

10
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

2.5

Strategi Fundamental dan Akselerasi

Untuk melaksanakan 10 program prioritas pertanian diperlukan strategi fundamental melalui tujuh gema,
yaitu:
1) Revitalisasi Lahan
2) Revitalisasi Perbenihan dan Perbibitan
3) Revitalisasi Infrastruktur dan Sarana
4) Revitalisasi Sumberdaya Manusia
5) Revitalisasi Pembiayaan Petani
6) Revitalisasi Kelembagaan Petani
7) Revitalisasi Teknologi dan Industri Hilir
Selain strategi fundamental diperlukan pula upaya untuk mempercepat pembangunan pertanian dengan
strategi akselerasi, yaitu:
1)

Mendorong peningkatan produksi dan produktivitas berbasis komoditas lokal dengan mengantisipasi
perubahan iklim dan penerapan praktek pertanian yang berwawasan lingkungan hidup.

2)

Mendorong pengembangan industri pengolahan pertanian di pedesaan secara eisien guna
meningkatkan nilai tambah dan daya saing di pasar dalam negeri dan internasional.

3)

Mengembangkan kawasan komoditas unggulan pertanian berdasarkan database, masterplan/
roadmap.

4)

Menumbuhkan usaha ekonomi produktif di pedesaan yang berbasis pertanian dan sumberdaya
lokal.

5)

Meningkatkan dan menjaga mutu dan keamanan pangan pada semua tahapan produksi, mulai dari
hulu sampai hilir.

6)

Meningkatkan diversiikasi pangan berbasis sumberdaya lokal, dan mengupayakan kelancaran
distribusi serta stabilitas harga.

7)

Meningkatkan kegiatan penelitian, khususnya dalam upaya perakitan varietas dan bibit unggul,
pemanfaatan sumberdaya lahan dan air, peningkatan nilai tambah dan daya saing.

8)

Mempercepat diseminasi hasil penelitian dengan mengoptimalkan kelembagaan pengkajian, diklat,
penyuluhan, tenaga teknis pertanian lapangan dan kelembagaan petani dan peternak.

9)

Meningkatkan kegiatan perkarantinaan dalam rangka pengawasan dan pengendalian organisme

11
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

pengganggu tanaman (OPT) dan hewan serta kesehatan manusia dan lingkungan hidup yang
diakibatkan oleh lalu lintas komoditas pertanian, baik antar- pulau maupun antar-negara
10) Meningkatkan citra pertanian melalui upaya promosi dan penghargaan kepada pelaku usaha yang
sukses di bidang pertanian, serta koordinasi dengan pihak perguruan tinggi untuk memperkaya
kurikulum dengan memasukkan unsur agribisnis/entrepreneurship dalam mata kuliah atau dalam
praktek lapang.
2.6

Program Kementerian Pertanian

Sesuai dengan kebijakan Reformasi Perencanaan dan Penganggaran, program Kementerian Pertanian
disesuaikan dengan tugas dan fungsi yang ada di masing-masing unit Eselon I yang dijabarkan ke dalam
10 program prrioritas pada Rencana Strategis (Renstra) 2010-2014, yakni:
1)

Audit lahan dan sertiikasi.

2)

Pencetakan 100 ribu ha lahan baru per tahun.

3)

Perbenihan (300 ribu ton padi dan 80 ribu ton jagung).

4)

Perbibitan (200 ribu ekor sapi per tahun).

5)

Infrastruktur (jaringan irigasi tingkat usahatani dan jaringan irigasi desa).

6)

Sarana (pupuk anorganik dan pengembangan pupuk organik).

7)

Pengembangan sumberdaya manusia (sekolah lapang pertanian, 60 ribu penyuluh, pelatihan dan
pemagangan).

8)

Pembiayaan petani (PUAP, sarjana membangun desa, lembaga distribusi pangan masyarakat ,
LM3).

9)

Pengembangan kelembagaan petani (pemberdayaan Gapoktan, lembaga keuangan mikro).

Revitalisasi teknologi dan industri hilir (traktor, pompa air, packing house, penggilingan, perontok, dryer,
silo, mini feed mill, alat pemerah susu, RPH, pengolahan kompos dan biogas).

12
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

3
KERENTANAN DAN
DAMPAK PERUBAHAN
IKLIM TERHADAP
SEKTOR PERTANIAN

13
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Kerentanan sektor pertanian terhadap perubahan iklim dapat dideinisikan sebagai tingkat kekurangberdayaan
suatu sistem usaha tani dalam mempertahankan dan menyelamatkan tingkat produktivitasnya secara
optimal dalam menghadapi cekaman perubahan iklim. Pada dasarnya kerentanan bersifat dinamis sejalan
dengan kehandalan teknologi, kondisi sosial-ekonomi, sumberdaya alam dan lingkungan. Kerentanan
dipengaruhi oleh tingkat keterpaparan (exposure) terhadap bahaya dan kapasitas adaptif serta dinamika
iklim itu sendiri. Dampak adalah tingkat kondisi kerugian, baik secara isik, produk, maupun secara sosial
dan ekonomi yang disebabkan oleh cekaman perubahan iklim.
Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait tiga faktor
utama, yaitu bioisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya
merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cakeman, teutama cekaman (kelebihan dan
kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan
sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las., et al,
2008b). Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor
pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan
suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.

3.1

Perubahan Pola Curah Hujan dan Iklim Ekstrem

Perubahan pola hujan sudah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir,
seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi, dan maju di lokasi lain (Ibrahim, 2004).
Penelitian Aldrian dan Djamil (2006) menunjukkan jumlah bulan dengan curah hujan ekstrim cenderung
meningkat dalam 50 tahun terakhir, terutama di kawasan pantai.
Naylor (2007) memprediksi arah perubahan pola hujan tipe di wilayah Bagian Barat Indonesia dan Selatan
Khatulistiwa. Di Bagian Utara Sumatea dan Kalimantan, intensitas curah hujan cenderung lebih tinggi
dengan periode yang lebih pendek, sedangkan di Wilayah Selatan Jawa dan Bali akan menurun tetapi
dengan periode yang lebih panjang. Secara nasional, Boer et al. (2009) mengungkapkan tren perubahan
secara spasial (Gambar 3.1), di mana curah hujan pada musim hujan lebih bervariasi dibandingkan dengan
musim kemarau.

14
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Gambar 3.1. Tren perubahan curah hujan pada periode Des-Feb
(atas) dan Jun-Agt (bawah) di Indonesia
Data curah hujan rata-rata 10 tahun (1994-2002) untuk musim hujan dibandingkan dengan data curah
hujan normal dalam 30 tahun (1970-2000) menunjukkan banyaknya wilayah yang mengalami penurunan
jumlah curah hujan. Sebagai contoh, penurunan jumlah curah hujan di Tasikmalya dalam periode 18792006 (Gambar 3.2) telah menurunkan potensi satu musim tanam padi (Runtunuwu dan Syahbuddin, 2007).
Kondisi yang tidak menguntungkan ini juga terjadi di Wilayah Utara dan Selatan Sumatera, Kalimantan
Barat, Jawa Timur, NTT, NTB, dan Sulawesi Tenggara.

15
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Curah hujan/curah hujan rata-rata
Curah hujan/Curah hujan rata-rata

2.00
1.80
1.60
1.40
1.20
1.00
0.80
0.60
0.40
0.20
0.00
1879 1890 1901 1912 1923 1934 1945 1956 1967 1978 1989 2000
Tahun

Gambar 3.2. Perubahan curah hujan di Tasikmalaya periode 1879-2006

Keragaman iklim antar-musim dan tahunan yang disebabkan oleh fenomena ENSO dan Osilasi Antlantik
atau Osilasi Pasiik akhir-akhir ini semakin meningkat dan menguat. Menurut Timmerman et al. (1999)
dari Max Planck Institute dan Hansen et al (2006), pemanasan global cenderung meningkatkan frekuensi
El-Nino (Gambar 3.3) dan menguatkan fenomena La-Nina (Gambar 3.4). Peningkatan siklus ENSO (El
Nino Southern Oscillation) dari 3-7 tahun sekali menjadi semakin 2-5 tahun sekali (Ratag, 2001).
Kejadian iklim ekstrim antara lain menyebabkan: (a) kegagalan panen dan tanaman, penurunan IP yang
berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; (b) kerusakan sumberdaya lahan pertanian; (c)
peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; (d) peningkatan kelembaban; dan (e)
peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Las, et al., 2008).

16
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Gambar 3.3. Sepuluh kejadian El-Nino terkuat dalam satu abad terakhir (Lebar garis menunjukkan
karakter kejadian, seperti durasi kejadian 6-18 bulan;
Sumber:http://www.ncdc.noaa.gov/oa/climate/research/1998/enso/ 10elnino.html).

Pola El Nino, Normal, dan La Nina, 1900-2003
98

La Nina

03
Normal

El Nino

91 94 97 02
1900

1910

1920

1930

1940

1950

1960

El Nino

1970

1980

1990

2000

La Nina

Intensitas

Frekuensi

Persen

Intensitas

Frekuensi

Persen

1

2

7,2

2

3

15,0

2

7

25,0

3

3

15,0

3

4

14,0

4

7

35,0

4

7

28,0

5

1

5,0

5

4

18,3

6

1

5,0

6

3

22,0

7

3

15,0

7

1

3,6

>8

2

10,0

Gambar 3.4. Peningkatan frekuensi kejadian El-Nino dan La-Nina (Las et al., 2008)

3.1.1

Kerentanan sektor pertanian terhadap bahaya kekeringan

Tingkat kerentanan lahan pertanian terhadap kekeringan cukup bervariasi antar-wilayah dan hal ini
menunjukkan bahwa lahan sawah di beberapa wilayah di Sumatera dan Jawa rentan terhadap bahaya
kekeringan (Tabel 3.1). Dari 5,14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat
rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan (Wahyunto, 2005).

17
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Tabel 3.1. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (ha).
Wilayah/ provinsi
Jawa Barat
Banten
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali

Sangat rentan

Rentan

Luas baku Sawah

-

30.863

971.474

-

26.588

192.904

2.322

142.575

1.053.882

-

3.652

69.063

1.580

70.802

1.313.726

-

14.758

85.525

Nusa Tenggara

38.546

105.687

214.576

Lampung

29.378

168.887

278.135

-

184.993

439.668

Sumatera Selatan
Sumatera Utara

2.055

342.159

524.649

Jumlah

73.881

1.090.964

5.143.602

Dalam periode 1991-2006, luas tanaman padi yang dilanda kekeringan berkisar antara 28.580-867.930 ha
per tahun dan puso 4.614-192.331 ha (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2007). Kekeringan yang lebih
luas terjadi pada tahun-tahun El Nino (Gambar 3.5).
Tim SNC (2009) mengidentiikasi luas rata-rata wilayah pertanaman padi yang mengalami kekeringan
pada tahun El Nino periode 1989-2006 pada masing-masing kabupaten. Wilayah yang terkena kekeringan
lebih besar dari 2.000 ha per kabupaten antara lain di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten
Indramayu, sebagian Pantai Utara Nanggroe Aceh Darusalam, Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi
Barat, Kalimantan Selatan, dan Lombok (Gambar 3.6).
Walaupun secara umum produksi padi tetap meningkat dari tahun 1971 sampai 2004, namun pada tahuntahun tertentu terjadi penurunan produksi akibat kekeringan (Gambar 3.7).

18
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

1,000,000

Luas Kerusakan (Ha)

800,000

600,000

400,000

200,000

0

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

Banjir T

37,977 59,323 83,002 127,666 218,137 107,385 58,197 143,344 190,466 243,594 193,414 219,580 263,181 303,153 295,497 329,826

Banjir P

5,707

9,595 27,348 32,881 46,462 38,167 13,953 33,152 42,275 58,816 32,765 63,459 68,638 76,627 80,384 138,227

Kekeringan T 867,930 42,382 66,987 654,807 28,580 59,560 517,614 180,701 104,539 91,105 151,390 348,512 568,619 163,923 283,660 338,261
Kekeringan P 192,331 7,262 20,411 205,305 4,614 12,482 87,099 32,557 12,631 5,116 12,434 41,690 117,006 26,384 44,829 73,045

Gambar 3.5. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan dan banjir di Indonesia dalam
periode 1991-2006 (Ditlin Tanaman Pangan, 2007).

Pada tahun El-Nino wilayah
yang terkena dampak
meningkat dengan signifikan

Gambar 3.6. Rata-rata luas areal pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El Nino di
setiap kabupaten dalam periode 1989-2006.

19
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Produksi Padi (Juta Ton)

Inovasi Teknologi
60

OPSUS
PHT
PB26,
PB36

50
40

BIMAS
Pelita1&2
PB5, PB8

INSUS
PHT
PB36,
PB42

SUPRA INSUS
PHT, IR64,
Cisadane,
Krueng Aceh

Kekeringan
Kekeringan

30
20
10
0

SUPRA INSUS, PMI-PAT, dll
SUTPA, PHT, (ProksiIR64, Membe- mantap), P3T.
ramo, Cibodas

SUPRA
INSUS
PHT, IR64,
Cisadane

Kekeringan

Kekeringan
Kekeringan
Biotipe Sumut
Ledakan wereng coklat,
Kekeringan
Program Intensifikasi

Cekaman Iklim & OPT
71

73

75

77

79

81

83

85

87

89

91

93

Terobosan
Inovasi
Teknologi

Gema Palagung
IP Padi 300
SUTPA, SUP, PHT
IR64, Memberamo,
Cibodas, Ciherang
95

97

99

00

02

04

Inovasi Teknologi Masa Depan
 PTT, Pertanian Presisi
 VU-Hibrida, VU-Tipe Baru, VUB, VUHTB,
 VUB/VUTB Gogo & Rawa

Kelembagaan &
Sarana Produksi

Gambar 3.7. Produksi padi dan pengaruh kekeringan dan
penerapan teknologi, 1971-2004 (Las, et al., 2008a).
Tabel 3. 2. Pengaruh kekeringan terhadap pertumbuhan dan produksi kelapa sawit (Ditjenbun, 2007).
Stadiun
Kekeringan

Pertama

Kedua

Ketiga

Keempat

Nilai deisit air
(mm/thn)

Gejala

Pengurangan
produksi TBS

200-300

3-4 pelepah daun muda
mengumpulkan dan umumnya tidak
membuka
1-8 pelepah daun tua patah

21-32%

300-400

4-5 pelepah daun muda dan
umumnya tidak membuka
5-12 pelepah daun tua patah

33-43%

400-500

4-5 pelepah daun muda mengumpul
dan umumnya tidak membuka
12-16 pelepah daun tua patah

44-53%

>500

4-5 pelepah daun muda mengumpul
dan umumnya tidak membuka
12-16 pelepah daun tua patah
Pucuk patah

54-65%

20
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Dampak kekeringan juga mempengaruhi produktivitas dan kualitas tanaman perkebunan seperti kelapa
sawit, karet, kakao, tebu, kopi, dan tebu. Dampak kekeringan pada kelapa sawit sangat nyata menurunkan
produksi tandan sawit. Apabila kelapa sawit mengalami deisit air 200-300 mm/tahun maka produksi
tandan buah segar (TBS) menurun sebesar 21-32% dan penurunan produksi TBS mencapai 60% jika
deisit air terus berlanjut sampai lebih besar dari 500 mm/tahun (Tabel 3.2). Kekeringan juga dapat
memicu kebakaran lahan, baik langsung maupun tidak langsung, yang berdampak terhadap penurunan
hasil.
3.1.2

Kerentanan dan dampak sektor pertanian terhadap bahaya banjir

Salah satu dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah ancaman banjir yang semakin sering
pada lahan sawah, yang menyebabkan berkurangnya luas areal panen dan produksi padi. Luas sawah di
Jawa yang rentan terhadap banjir/ genangan disajikan pada Tabel 3.3.
Tabel 3.3. Luas lahan sawah rawan banjir/genangan di Jawa (ha)
Propinsi
Jawa Barat

Sangat rawan

Rawan

Kurang rawan

Tidak rawan

Jumlah

27.654

205.304

324.734

409.984

967.676

7.509

53.472

89.291

42.259

192.531

49.569

503.803

188.688

303.346

1.045.406

-

15.301

34.459

13.622

63.382

Jawa Timur

105.544

306.337

533.447

359.630

1.304.958

Total

162.622

1.084.217

1.170.619

1.128.841

3.573.953

4,5

30,3

32,7

32,5

100,0

Banten
Jawa Tengah
D.I.Yogyakarta

Persen

Catatan:
Sangat rawan
Rawan
Kurang rawan
Tidak rawan

= frekuensi banjir 4-5x/5 th; dan luas tanaman padi puso >30%
= frekuensi banjir 3x/5 th; dan luas tanaman padi puso 20-29%.
= frekuensi banjir 1-2x/5 th dan luas tanaman padi puso 10-19%
= tidak ada banjir dalam 5 th

Secara nasional tingkat kerawanan banjir per kabupaten di seluruh Indonesia disajikan dalam Gambar
3.8. Luas sawah rawan banjir/genangan di Jawa mencapai 1.084.217 ha dan yang sangat rawan 162.622
ha, sedangkan di Sumatera 267.178 ha, 124.465 ha di antaranya terdapat di Sumatera Selatan dan 50.606
ha di Jambi.
Berdasarkan laporan Ditlin Tanaman Pangan (2007), luas wilayah yang terkena dampak banjir selama 16
tahun (1991-2006) di Indonesia berluktuasi dengan rata-rata luas kerusakan lahan 37.977-32.826 ha, dan
yang mengalami puso 5.707-138.227 ha (Gambar 3.5). Wilayah pertanaman padi yang terkena dampak
banjir pada tahun La Nina di setiap kabupaten dalam periode 1989-2006 ditunjukkan pada Gambar 3.9
(SNC, 2009).

21
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

Gambar 3.8. Peta penyebaran kerawanan banjir di Indonesia
Peningkatan intensitas banjir secara tidak langsung akan mempengaruhi produksi karena meningkatnya
serangan hama penyakit (OPT). Menurut Wiyono (2009), peningkatan frekuensi kejadian banjir dapat
menimbulkan masalah berupa serangan hama keong emas pada tanaman padi. Di samping itu juga ada
indikasi bahwa sawah yang terkena banjir pada musim sebelumnya berpeluang lebih besar mengalami
ledakan hama wereng coklat. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan pada tahun 2007 melaporkan
bahwa serangan wereng coklat meningkat drastis pada tahun kejadian La-Nina 1998.

Pada tahun La Nina wilayah yang
terkena dampak banjir meningkat

Gambar 3.9. Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena
dampak banjir pada tahun La Nina per kabupaten (1989-2006).

22
ICCSR - SEKTOR PERTANIAN

3.1.3

Dampak pergeseran pola curah hujan

Salah satu dampak perubahan iklim adalah mundurnya awal musim hujan dan makin panjangnya periode
musim kemarau. Pergeseran pola hujan sangat mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian,
bergesernya waktu taman, musim dan pola tanam, serta degradasi lahan.
Adanya kecenderungan pemendekan musim hujan dan peningkatan curah hujan di bagian selatan (Jawa
dan Bali) mengakibatkan perubahan awal dan durasi musim hujan. Kondisi tersebut menyulitkan upaya
peningkatan indeks penanaman (IP) jika tidak diikuti oleh pengembangan varietas berumur genjah,
rehabilitasi, dan pengembangan jaringan irigasi. Mundurnya awal musim hujan selama 30 hari dapat
menurunkan produksi padi di Jawa Barat dan Jawa Tengah sebanyak 6,5% dan di Bali sebanyak 11% dari
kondisi normal.
Sebaliknya, di bagian utara (Sumatera dan Kalimantan) terjadi kecenderunan perpanjangan musim hujan
dengan intensitas yang lebih rendah sehingga mengakibatkan pemanjangan musim tanam dan pening