Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian terhadap Work Engagement Karyawan Pimpinan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Work Engagement
1. Definisi Work Engagement
Konsep engagement pertama sekali dikemukakan oleh Kahn (1990), yang
berpendapat bahwa karyawan yang engaged adalah orang yang secara fisik, kognitif
dan emosional terhubung dengan pekerjaan mereka dan orang lain. Ketiga aspek
tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Aspek fisik yaitu energi fisik yang
dikerahkan oleh karyawan dalam melaksanakan perannya dalam pekerjaan. Aspek
kognitif mengacu pada keyakinan karyawan terhadap organisasi, kepemimpinan dan
kondisi pekerjaan. Sedangkan aspek emosional lebih mengacu kepada bagaimana
perasaan karyawan apakah merasakan hal positif atau negatif terhadap organisasi
dan kepemimpinan yang ada. Kahn (1992) kemudian mengembangkan konsep ini
dengan menekankan pada pentingnya ―kehadiran psikologis‖. Pada intinya, ia
berpendapat bahwa karyawan yang engaged memiliki kehadiran psikologis yang
mencakup atribut seperti perhatian, keterhubungan, integrasi dan fokus.
Maslach, Schaufeli dan Leiter (2001) mengkonseptualisasikan work
engagement sebagai lawan dari burnout dan mendefinisikan work engagement

sebagai keadaan emosional yang persisten, dikarakteristikkan dengan adanya level

yang tinggi dalam aktivasi dan kesenangan. Selanjutnya, work engagement dan
burnout membentuk kutub-kutub yang berlawanan dalam suatu kontinum kerja

yang berkaitan dengan kesejahteraan, dimana burnout sebagai kutub negatif dan

11

work engagement sebagai kutub positif (Maslach et.al., 2001; Schaufeli & Bakker,

2004).
Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma dan Bakker (2002) mendefinisikan
work engagement sebagai keadaan positif, pemenuhan, pandangan terhadap kondisi

kerja dikarakteristikkan dengan adanya vigor, dedication dan absorption. Vigor
dikarakteristikkan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan untuk
berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai
dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang, dan yang
terakhir absorption ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas.
Wellins dan Concelman (2005) menyatakan bahwa work engagement adalah
kekuatan yang dapat memotivasi karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja pada

level yang lebih tinggi, energi ini berupa komitmen terhadap organisasi, rasa
memiliki pekerjaan dan kebanggaan, usaha yang lebih (waktu dan energi), semangat
dan ketertarikan, komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Vazirani (2007) menyatakan bahwa engagement sebagai tingkat komitmen
dan keterlibatan yang karyawan miliki terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang
ada di dalamnya yang terlihat dalam sikap positif karyawan terhadap organisasi dan
nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Bakker, Schaufeli, Leiter dan Taris (2008) menyatakan bahwa work
engagement adalah motivasi positif, pemenuhan dan afektif karyawan dalam

bekerja terkait dengan kesejahteraan yang merupakan kutub yang berlawanan dari
burnout. Karyawan yang engaged dikarakteristikkan dengan tingginya level energi

dan secara antusias terlibat dalam pekerjaan mereka.

12

Macey dan Schneider (2008) mengelompokkan istilah employee engagement
dalam beberapa tipe engagement yaitu trait engagement (proactive personality),
state engagement (involvement), behavioral engagement (organizational citizenship

behavior ).

Bakker & Leiter (2010) mendefinisikan work engagement sebagai konsep
motivasi, dimana karyawan yang engaged merasa terdorong untuk berjuang
menghadapi tantangan kerja. Karyawan berkomitmen untuk mencapai tujuan, secara
antusias mengerahkan seluruh energinya untuk pekerjaan mereka.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa work engagement
menggambarkan keadaan psikologis yang positif dan pemenuhan diri untuk
berkontribusi bagi keberhasilan organisasi yang dikarakteristikkan dengan adanya
vigor (kekuatan), dedication (dedikasi), dan absorption (absorpsi).

2. Karakteristik Work Engagement
Karyawan yang memiliki work engagement terhadap organisasi/perusahaan
memiliki karakteristik tertentu. Berbagai pendapat mengenai karakteristik karyawan
yang memiliki work engagement yang tinggi banyak dikemukakan dalam berbagai
literatur, diantaranya Federman (2009) mengemukakan bahwa karyawan yang
memiliki work engagement yang tinggi dicirikan sebagai berikut:
1. Fokus dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan juga pada pekerjaan yang
berikutnya.
2. Merasakan diri adalah bagian dari sebuah tim dan sesuatu yang lebih besar

daripada diri mereka sendiri.

13

3. Merasa mampu dan tidak merasakan sebuah tekanan dalam membuat sebuah
lompatan dalam pekerjaan.
4. Bekerja dengan perubahan dan mendekati tantangan dengan tingkah laku
yang dewasa.
Karyawan yang memiliki work engagement yang tinggi akan secara
konsisten mendemonstrasikan tiga perilaku umum (Hewitt, 2008; Schaufeli &
Bakker, 2010), yaitu:
1. Say – secara konsisten bebicara positif mengenai organisasi dimana ia bekerja
kepada rekan sekerja, calon karyawan yang potensial dan juga kepada pelanggan.
2. Stay – Memiliki keinginan untuk menjadi anggota organisasi dimana ia bekerja
dibandingkan kesempatan bekerja di organisasi lain.
3. Strive – Memberikan waktu yang lebih, tenaga dan inisiatif untuk dapat
berkontribusi pada kesuksesan bisnis organisasi
Menurut Gallup the Consulting Organization (Vazirani, 2007), ada beberapa
tipe engagement karyawan yang berbeda, yaitu:
- Engaged—karyawan "engaged" adalah pembangun (builders). Mereka ingin tahu

harapan yang diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan
melebihi harapan tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan
mereka dan tempat mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten pada
level tinggi. Mereka ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka dalam
bekerja setiap hari. Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka
mendorong inovasi serta menggerakkan organisasi mereka ke depan.
- Not Engaged--- karyawan yang tidak engaged cenderung berkonsentrasi pada
tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan

14

perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh dan
melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas dibanding
mencapai suatu hasil. Karyawan yang tidak engaged cenderung merasa
kontribusi mereka diabaikan dan potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka
kadangkala merasakan hal ini karena mereka tidak memiliki hubungan yang
produktif dengan manajer mereka atau dengan mitra kerja mereka.
- Actively Disengaged—Karyawan yang tergolong "actively disengaged " dapat
dikatakan sebagai "para penghuni gua." Mereka secara konsisten melawan segala
sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam bekerja; mereka

juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka menanam benih
negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja yang secara aktif
tidak engaged, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka yang engaged.
Karena para pekerja semakin bergantung satu sama lain untuk menghasilkan
produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang dimunculkan oleh para pekerja
yang actively disengaged bisa menyebabkan kerusakan besar bagi fungsi
organisasi.
Schaufeli, Taris & Rhenen (2008) menyatakan bahwa karyawan yang
engaged juga mempunyai level energi yang tinggi dan secara antusias terlibat dalam

pekerjaannya. Menurut Bakker dan Leiter (2010), ketika karyawan engaged, mereka
merasa terdorong untuk berusaha maju menuju tujuan yang menantang, mereka
menginginkan kesuksesan. Lebih lanjut, work engagement merefleksikan energi
karyawan yang dibawa dalam pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri karyawan yang engaged tidak hanya
mempunyai kapasitas untuk menjadi energik, tetapi mereka secara antusias

15

mengaplikasikan energi yang dimiliki pada pekerjaan mereka. Work engagement

juga merefleksikan keterlibatan yang intensif dalam bekerja, karyawan yang
memilikinya memiliki perhatian yang lebih terhadap perusahaan, memikirkan detail
penting, tenggelam dalam pekerjaannya, merasakan pengalaman untuk hanyut
dalam pekerjaaan sehingga melupakan waktu dan mengurangi segala macam
gangguan dalam pekerjaan.

3. Aspek-Aspek Work Engagement
Work engagement merupakan hal positif, yang terkait dengan keadaan

pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan absorpsi (Schaufeli, dkk,
2002). Vigor atau semangat mencerminkan kesiapan untuk mengabdikan upaya
dalam pekerjaan seseorang, sebuah usaha untuk terus energik saat bekerja dan
kecenderungan untuk tetap berusaha dalam menghadapi tugas kesulitan atau
kegagalan. Dedikasi mengacu pada identifikasi yang kuat dengan pekerjaan
seseorang dan mencakup perasaan antusiasme, inspirasi, kebanggaan, dan
tantangan. Dimensi ketiga dari work engagement adalah penyerapan atau absorpsi.
Absorpsi ditandai dimana seseorang menjadi benar-benar tenggelam dalam
pekerjaan, dengan waktu tertentu ia akan merasa sulit untuk melepaskan diri dari
pekerjaannya. Beberapa studi telah divalidasi secara empiris melalui kuesioner yang
memang untuk mengukur keterlibatan kerja (work engagement), Utrecht Work

Engagement Scale (UWES) (Schaufeli & Bakker, 2003). Seorang karyawan yang

tergolong memiliki work engagement dengan kata lain dapat didefinisikan dengan
melakukan pekerjaan pikiran yang ditandai dengan semangat, dedikasi dan
penyerapan dalam menyelesaikan semua penugasannya.

16

Secara ringkas Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma, & Bakker, (2002)
menjelaskan mengenai dimensi yang terdapat dalam work engagement, yaitu:
a. Vigor
Merupakan curahan energi dan mental yang kuat selama bekerja, keberanian untuk
berusaha sekuat tenaga dalam menyelesaikan suatu pekerjaan dan tekun dalam
menghadapi kesulitan kerja. Juga kemauan untuk menginvestasikan segala upaya
dalam suatu pekerjaan dan tetap bertahan meskipun menghadapi kesulitan.
b. Dedication
Merasa terlibat sangat kuat dalam suatu pekerjaan dan mengalami rasa
kebermaknaan, antusiasme, kebanggaan, inspirasi dan tantangan. Kewajiban yang
mengharuskan untuk tidak menguntungkan diri sendiri, baik secara langsung
maupun tidak langsung dan berkaitan dengan kepentingan pihak ketiga, hal ini

dapat diukur dengan: arti pekerjaan bagi seseorang, antusias terhadap pekerjaan,
selalu ingin bekerja, dapat bekerja dalam waktu yang lama, bangga dengan
pekerjaan.
c. Absorption
Dalam bekerja karyawan selalu penuh konsentrasi dan serius terhadap suatu
pekerjaan. Dalam bekerja waktu terasa berlalu begitu cepat dan menemukan
kesulitan dalam memisahkan diri dengan pekerjaan. Perasaan seseorang terhadap
pekerjaannya terkait dengan waktu yang dirasakannya ketika bekerja, apakah
pekerjaan menjadi inspirasinya dan apakah pekerjaan menarik baginya.
Pada penelitian ini, peneliti mengambil 3 dimensi work engagement menurut
Schaufeli, Salanova, Gonzales-Roma & Bakker, (2002) yaitu: vigor, dedication,
absorption sebagai acuan dalam menggunakan skala peneltian.

17

4. Faktor- Faktor yang mempengaruhi Engagement
Xanthopoulou, Bakker, Hevven, Demerouti & Schaufelli (2008) menyatakan
bahwa engagement ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor
lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik
pekerjaan, seperti: otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik kinerja

dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu pada
evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu untuk
mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses.
Menurut Robinson, Perryman & Hayday (2004), faktor kunci pendorong
dari engagement karyawan adalah dimana apabila karyawan dapat merasa dihargai
dan dilibatkan (feeling valued and involved), yang mempengaruhi hal ini adalah:
1. Karyawan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
2. Karyawan dapat menyalurkan ide/ suara sehingga mereka dapat merasa berharga.
3. Kesempatan untuk mengembangkan pekerjaan.
4. Organisasi memperhatikan akan keberadaan dan kesehatan karyawan.
Penggerak employee engagement akan berbeda di tiap jenis pekerjaan dan
organisasi. Hewitt (2008) mengemukakan bahwa engagement dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah: penghargaan (total rewards), kondisi
perusahaan (company practices), kualitas kehidupan (quality of life), kesempatan
(opportunities), aktivitas pekerjaan yang dihadapi (work) dan orang lain di sekitar
pekerjaan (people). Apabila keenam faktor tersebut terpenuhi maka akan dicapai
high level of engagement dan keenam faktor tersebut merupakan faktor yang saling

berhubungan.


18

Bakker dan Demerouti (2007) menyebutkan bahwa terdapat 3 faktor yang
menjadi penyebab utama work engagement, yakni:
1. Job Resources
Merujuk pada aspek fisik, sosial, maupun organisasional dari pekerjaan yang
memungkinkan individu untuk : mengurangi tuntutan pekerjaan dan biaya
psikologis maupun fisiologis yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut,
mencapai target pekerjaan, dan menstimulasi pertumbuhan, perkembangan, dan
perkembangan personal.
2. Salience of Job Resources
Faktor ini merujuk pada seberapa penting atau bergunanya sumber daya pekerjaan
yang dimiliki oleh individu.
3. Personal Resources
Merujuk pada karakteristik yang dimiliki oleh karyawan seperti kepribadian, sifat,
usia dan lain-lain. Karyawan yang engaged akan memiliki karakteristik personal
yang berbeda dengan karyawan lainnya karena memiliki skor extraversion dan
concientiousness yang lebih tinggi serta memiliki skor neuoriticism yang lebih

rendah.

B. Work-Family Conflict
1. Definisi Work-Family Conflict
Work-family conflict adalah salah satu dari bentuk interrole conflict yaitu

tekanan atau ketidakseimbangan peran antara peran di pekerjaan dengan peran
didalam keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Jam kerja yang panjang dan beban
kerja yang berat merupakan pertanda langsung akan terjadinya work-family conflict,

19

dikarenakan waktu dan upaya yang berlebihan dipakai untuk bekerja mengakibatkan
kurangnya waktu dan energy yang bisa digunakan untuk melakukan aktivitasaktivitas keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).
Gutek, Searle dan Klepa (1991) menyebutkan bahwa work-family conflict
mempunyai dua komponen, yaitu urusan keluarga mencampuri pekerjaan (family
interference with work) dan urusan pekerjaan mencampuri keluarga (work
interference with family). Work-family conflict dapat timbul dikarenakan urusan

pekerjaan mencampuri urusan keluarga seperti banyaknya waktu yang dicurahkan
untuk

menjalankan

pekerjaan

menghalangi

seseorang

untuk

menjalankan

kewajibannya di rumah, atau urusan keluarga mencampuri urusan pekerjaan, seperti
merawat anak yang sakit akan menghalangi seseorang untuk datang ke kantor.
Frone, Russel & Cooper (1992) mendefinisikan work-family conflict sebagai
konflik peran yang terjadi pada karyawan, satu sisi karyawan harus melakukan
pekerjaan di kantor dan di sisi lain harus memperhatikan keluarga secara utuh,
sehingga sulit membedakan antara pekerjaan mengganggu keluarga dan keluarga
mengganggu pekerjaan. Frone, et. al. (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa workfamily conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara

permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun dari pekerjaannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa work-family
conflict merupakan salah satu bentuk dari konflik peran dimana muncul stimulus

dari dua tekanan peran yang menyebabkan salah satu peran kesulitan dalam
memenuhi tuntutan peran yang lain. Sehingga mengakibatkan individu sulit
membagi waktu dan sulit untuk melaksanakan salah satu peran karena hadirnya
peran yang lain.

20

2. Dimensi Work-Family Conflict
Greenhaus & Beutell (1985) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi
konflik pekerjaan-keluarga, yaitu :
1. Time-based conflict, merupakan konflik yang terjadi ketika waktu yang tersedia
untuk memenuhi peran di pekerjaan (keluarga) tidak dapat digunakan untuk
memenuhi peran di keluarga (pekerjaan) dengan kata lain pada waktu yang sama
seorang yang mengalami work-family conflict tidak akan bisa melakukan dua atau
lebih peran sekaligus. Misalnya jam kerja yang panjang, waktu kerja yang tidak
fleksibel dan lembur membuat individu kekurangan waktu dalam memenuhi
tuntutan keluarga secara maksimal (Byron, 2005).
2. Strain-based conflict, merupakan ketegangan yang disebabkan oleh salah satu
peran membuat seseorang sulit untuk memenuhi tuntutan perannya yang lain.
Misalnya, seorang karyawan yang seharian bekerja akan merasakan kelelahan dan
menyebabkannya kesulitan dalam melakukan pekerjaan di rumah. Konflik
ketegangan ini bisa memicu tekanan darah meningkat, kecemasan, kelelahan, cepat
marah dan depresi
3. Behavior-based conflict, merupakan konflik yang muncul ketika pola dari suatu
perilaku pada peran yang sedang dijalankan tidak sesuai dengan harapan perilaku
pada peran yang lainnya. Sebagai contoh seorang manajer saat bekerja diharapkan
memiliki kepercayaan diri, emosi yang stabil dan objektif, sedangkan ketika berada
di rumah mungkin diharapkan menjadi orang yang hangat, melindungi dan
emosional. Jika seseorang tidak bisa menyesuaikan perilakunya dengan berbagai
peran yang berbeda, maka akan mengalami konflik antar peran-peran tersebut.

21

3. Dampak dari Work-Family Conflict
Berdasarkan beberapa penelitian, work-family conflict berhubungan dengan
pekerjaan seperti kepuasan kerja, komitmen kerja dan sebagainya, berhubungan
dengan non pekerjaan seperti kepuasan pernikahan dan sebagainya, serta
berhubungan dengan stress seperti depresi, burnout dan sebagainya (Allen, Herst,
Bruck, & Sutton, 2000; Netemeyer, et al., 1996).
Sejumlah besar penelitian telah mencatat hubungan work-family conflict
dengan kondisi psikologis terutama dengan kesehatan mental (Netemeyer et al.,
1996; Thomas & Ganster, 1995; Frone 2000; McEwen & Barling, 1994; Geurts et
al., 2003; Rijwizk, Bakker, Rutte, & Croon 2004; Noor, 2002; Madsen, John, &
Miller, 2005; Kinnunen et. al., 2006; Hibah, Elisa, & Donaldson, 2001).
Oomens, Geurts dan Scheepers (2007) telah melaporkan bahwa work-family
conflict berhubungan negatif dengan kesehatan mental. Misalnya, jika karyawan

sering menjalani lembur, maka ini membatasi waktu yang tersedia di rumah, yang
mungkin bertentangan dengan tuntutan keluarga atau, jika anaknya sakit yang
menuntut perhatiannya, dapat menjadi tekanan bagi pekerjaan.
Dalam sebuah penelitian Madsen et sangat baru. al., (2005) melaporkan
bahwa work-family conflict terkait dengan rendahnya kesehatan mental. Demikian
pula Frone (2003) telah meneliti bahwa kedua arah work-family conflict
berhubungan dengan kesehatan mental, fisik kesehatan dan perilaku kesehatan yang
terkait dengan karyawan.
Netemeyer et al. (1996) melaporkan bahwa

work-family conflict

berhubungan negatif dengan kinerja. Beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa
work-family conflict terkait dengan berkurangnya konsentrasi dan perhatian pada

22

pekerjaan, absensi, keterlibatan kerja yang rendah dan pada akhirnya mengurangi
keseluruhan kinerja (Ahmad, 2008; Burley, 1989; Eagle, Miles, & Iconagle, 1997;
Thompson & Werner, 1997; Karatepe & Sokmen, 2006; Witt & Carlson, 2006).
Work-family conflict juga umumnya berhubungan negatif dengan berbagai

kepuasan seperti kepuasan hidup, kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga dan
kepuasan kerja. Studi meta analisis yang dilakukan Allen et al. (2000) dan Kossek
dan Ozeki (1998) menemukan hubungan negatif antara work-family conflict dan
kepuasan pernikahan, kepuasan keluarga dan kepuasan hidup.

C. Kepribadian
1. Definisi Kepribadian
Menurut Allport (1961), kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistemsistem psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Definisi yang komprehensif dari Allport menyatakan
bahwa kepribadian adalah produk dan proses dari manusia yang telah terstruktur,
namun pada saat yang bersamaan memiliki kapabilitas untuk berubah. Kepribadian
mencakup sistem fisik dan psikologis; meliputi perilaku yang terlihat dan pikiran
yang tidak terlihat, serta tidak hanya merupakan sesuatu, tetapi melakukan sesuatu.
Kepribadian adalah substansi dan perubahan, produk dan proses serta struktur dan
perkembangan.
Feist dan Feist (2008) menyimpulkan bahwa kepribadian adalah pola dari
trait dan karakteristik yang unik dan relatif menetap sehingga perilaku seseorang

sangat individual dan konsisten. Trait menunjukkan perbedaan individu dalam
perilaku, konsistensi perilaku dari waktu ke waktu dan stabilitas perilaku pada

23

seluruh situasi. Trait dapat menjadi unik, umum untuk beberapa kelompok, atau
dapat berbagi bersama beberapa kelompok, tetapi pola mereka berbeda untuk setiap
individu. Sehingga setiap orang memiliki kepribadian yang unik. Karakteristik
adalah kualitas yang unik dari individu yang meliputi atribut seperti temperamen,
fisik dan kecerdasan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian
adalah karakteristik dari individu yang unik/khas yang menentukan perbedaan
tingkah laku atau tindakan dari tiap-tiap individu dalam menyesuaikan diri dan
berinteraksi dengan lingkungannya.

2. Pendekatan Trait dalam Kepribadian
Psikologi kepribadian memerlukan model deskriptif atau taksonomi
mengenai kepribadian itu sendiri. Salah satu tujuan utama taksonomi dalam ilmu
pengetahuan adalah untuk menyederhanakan definisi yang saling tumpang-tindih.
Oleh karena itu, dalam psikologi kepribadian, suatu taksonomi akan mempermudah
para peneliti untuk meneliti sumber utama karakteristik kepribadian daripada hanya
memeriksa ribuan atribut yang berbeda-beda yang membuat setiap individu berbeda
dan unik (John & Srivastava, 1999).
Setelah beberapa dekade, cabang psikologi kepribadian memperoleh suatu
pendekatan taksonomi kepribadian yang dapat diterima secara umum yaitu dimensi
―Kepribadian Big 5‖. Dimensi Big 5 pertama kali diperkenalkan oleh Goldberg pada
tahun 1981. Dimensi ini tidak mencerminkan perspektif teoritis tertentu, tetapi
merupakan hasil dari analisis bahasa alami manusia dalam menjelaskan dirinya
sendiri dan orang lain. Taksonomi Big 5 bukan bertujuan untuk mengganti sistem

24

yang terdahulu, melainkan sebagai penyatu karena dapat memberikan penjelasan
sistem kepribadian secara umum (John & Srivastava, 1999; Sulistyawati, 2014).
Big 5 disusun bukan untuk menggolongkan individu ke dalam satu

kepribadian tertentu, melainkan untuk menggambarkan sifat-sifat kepribadian yang
disadari oleh individu itu sendiri dalam kehidupannya sehari-hari. Pendekatan ini
disebut Goldberg sebagai Fundamental Lexical (Language) Hypothesis; perbedaan
individu yang paling mendasar digambarkan hanya dengan satu istilah yang terdapat
pada setiap bahasa (Pervin, 2005).
Costa dan Mc Crae (1999) mengembangkan teori kepribadian big five. Teori
ini didasarkan pada model five factors personality sebagai representasi struktur trait
yang merupakan dimensi utama dari kepribadian. Trait kepribadian merupakan
dimensi dari kepribadian yang merupakan kecenderungan emosional, kognitif dan
tingkah laku yang bersifat menetap dan ditampilkan individu sebagai respons
terhadap berbagai situasi lingkungan (Westen, 1999; Sulistyawati, 2014).
Taksonomi kepribadian big 5 merupakan asesmen yang komprehensif dari
kepribadian dimana individu mempersepsikan bagaimana dirinya sendiri serta
bagaimana hubungan dirinya dengan orang lain. Penilaian dalam kepribadian big 5
tidak menghasilkan satu trait tunggal yang dominan, tetapi menunjukkan seberapa
kuat setiap trait dalam diri seseorang. Kelima trait kepribadian tersebut adalah:
neuroticism,

extraversion,

openness

to

experience,

agreeableness

serta

conscientiousness (Pervin, Cervone, John, 2005; Sulistyawati, 2014).

Selanjutnya, Pervin, Cervone dan John (2005) mengilustrasikan arti dari
faktor-faktor tersebut. Dalam tabel berikut dipaparkan mengenai daftar sifat
seseorang yang merupakan skor tinggi secara individual dan rendah pada faktor

25

lain. Kepekaan emosi yang merupakan neuroticism dengan sisi lain dari perasaan
negatif termasuk kecemasan, sedih, mudah tersinggung dan gugup. Faktor openness
to experience digambarkan dengan luasnya, kedalaman dan kompleksitas dari

mental individu dalam pengalaman hidup. Khusus faktor extraversion dan
agreeableness, kedua sifat tersebut lebih bersifat interpersonal, yang berarti

perbuatan seseorang dalam kaitannya dengan orang lain. Faktor conscientiousness
diterangkan awal mula adalah berkaitan dengan tugas dan perilaku sebagai tujuan
akhir dan pengendalian diri sebagai faktor sosial (Sulistyawati, 2014).

26

Tabel 2.1
Faktor Kepribadian Big 5 dan Skala Ilustratif
Karakteristik Skor
Tinggi

Skala Sifat

Karakteristik Skor
Rendah

Neuroticism

Cemas, takut, emosional, Mengukur emosi yang tidak Kalem, relaks, tidak
tidak
aman,
tidak stabil. Identifikasi rata-rata emosional, keras, pasti,
sebanding, murung
individu penyebab stress kepuasan diri
psikologis, ide-ide yang
tidak realistis, dorongan hati
dan
mengatasi
responrespon penyesuaian yang
buruk
Extraversion

Sosial, aktif, banyak
bicara, orientasi personal,
optimis, senang bercinta,
pengasihan

Mengukur kuantitas dan Segan, sederhana, tidak
intensitas dari interaksi mewah, diam, menarik
interpersonal, level aktivitas, diri
kebutuhan untuk stimulasi
dan kapasitas kesenangan
Openness to Experience

Ingin
tahu,
tertarik
sesuatu hal di luar,
kreatif, keaslian, penuh
imajinatif,
tidak
tradisional

Mengukur secara proaktif,
apresiatif
terhadap
pengalaman
untuk
pencarian, toleransi untuk
eksplorasi terhadap sesuatu
yang belum dikenal

Konvensional, kembali
ke masa lalu, tidak
memiliki ketertarikan,
tidak
artistic,
tidak
bersifat analitik

Agreeableness

Lembut,
alamiah,
kepercayaan,
senang
membantu,
pemaaf,
mudah dibohongi, tulus
hati

Mengukur
kualitas
interpersonal
yang
berorientasi
secara
berkelanjutan dari belas
kasihan hingga antagonis
dalam
pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan
dan
langkah-langkah

Mengorganisasi,
dapat
dipercaya, pekerja keras,
disiplin
diri,
teliti,
seksama, tertib, ambisius,
tekun dalam berusaha

Mengukur
pendidikan Tidak bertujuan, tidak
seseorang dalam organisasi, percaya, malas, teledor,
keras hati, motivasi diri kemauan rendah
dalam mencapai tujuan,
ketergantungan
yang
berbeda, memilih orangorang dengan sentimental

Sinis, kasar, curiga,
tidak
kooperatif,
menaruh dendam, tidak
kenal belas kasihan,
mudah
tersinggung,
manipulative

Conscientiousness

27

3. Dimensi-Dimensi Kepribadian Big 5
Menurut Costa & Mc Crae (1999), setiap dimensi dari kepribadian Big 5 terdiri dari
6 (enam) faset atau sub faktor. Faset-faset tersebut adalah:
a. Extraversion (E) terdiri dari :
1. Gregariousness (suka berkumpul): skor tinggi terlihat pada individu yang
senang hidup dalam kelompok. Skor rendah pada mereka yang ingin
menyendiri atau menolak untuk berkelompok atau tidak mencari aktivitas
sosial.
2. Activity Level (level aktivitas): skor tinggi terlihat pada individu yang
memiliki banyak aktivitas, enerjik, sibuk. Skor rendah dimiliki individu
yang kurang beraktivitas, banyak waktu luang, relaks.
3. Assertiveness (asertif): skor tinggi bagi individu yang dominan, berpengaruh
sosial, berbicara apa adanya dan selalu menjadi pimpinan kelompok. Skor
rendah bagi individu yang tidak berani mengemukakan sesuatu atau
pendapat.
4. Excitement Seeking (mencari kesenangan): skor tinggi pada individu yang
senang memotivasi. Individu tersebut berpengalaman dan memiliki
rangsangan keakraban sebagai aspek pencarian sensasi. Skor rendah bagi
individu yang merasa sedikit dibutuhkan yang akhirnya menemukan suatu
kebosanan.
5. Positif Emotions (emosi yang positif): faset ini merefleksi tendensi
pengalaman emosi stabil seperti senang, bahagia, cinta dan kegembiraan.
Skor tinggi pada emosi stabil dan selalu tertawa. Skor rendah apabila mereka
tidak bahagia, selalu tidak bersemangat dan tidak bergairah.

28

6. Warmth (kehangatan): skor tinggi terlihat pada individu yang mudah bergaul
dengan orang lain, identik dengan keramahtamahan dengan tulus. Skor
rendah adalah sifat bermusuhan atau iba, tetapi lebih formalnya adalah
enggan untuk bergaul.
b. Agreeableness (A) terdiri dari :
1. Straightforwardness (berterusterang): skor tinggi terlihat pada individu yang
terbuka, murni dan terus terang. Skor rendah pada faset ini adalah keinginan
untuk terus memanipulasi seperti membujuk, tidak tulus.
2. Trust (kepercayaan): skor tinggi apabila individu percaya bahwa orang lain
memiliki ketulusan dan perhatian. Skor rendah pada skala kecenderungan
menjadi sinis dan skeptic dan berasumsi bahwa yang lain mungkin tidak
tulus atau berbahaya.
3. Altruism (mendahulukan kepentingan orang lain); skor tinggi pada
konsentrasi aktif untuk kesejahteraan orang lain yang diperlihatkan dalam
bermurah hati, pertimbangan lain dan kemauan untuk menolong orang lain
yang membutuhkan bantuan. Skor rendah pada orang yang agak egois dan
enggan untuk terlibat dalam permasalahan orang lain.
4. Modesty (rendah hati): skor tinggi pada rendah hati, tidak mempedulikan
diri. Skor rendah apabila individu merasa superior, sombong, arogan
terhadap yang lain.
5. Tendermindedness (berhati lembut): skor tinggi adalah tergerak akan
dibutuhkan orang lain dan mengutamakan sisi kemanusiaan pada kebijakan
sosial. Skor rendah lebih pada keras atau kurang iba. Realitas akan

29

dipertimbangkan yang membuat keputusan rasional dengan mendasarkan
logika minim.
6. Compliance (kerelaan): skor tinggi cenderung pada individu yang
menghormati orang lain dan memaafkan. Skor rendah terlihat pada individu
yang suka menyerang, lebih suka untuk bersaing dibandingkan bergabung
dan mudah mengekspresikan sikap marah ketika memaksa.
c. Conscientiousness (C) terdiri dari :
1. Self discipline (disiplin): skor tinggi terlihat pada individu yang menilai
bahwa suatu tugas dapat memotivasi dirinya untuk segera mengerjakan.
Skor rendah pada memperlambat untuk memulai, mudah dihalangi serta
disiplin rendah.
2. Dutifulness (patuh): skor tinggi pada skala ini adalah taat sekali pada prinsip
etikanya dan obligasi moralnya sangat tinggi. Skor rendah adalah lebih pada
kebetulan tentang sesuatu hal dan mungkin agak tidak bergantung dan tidak
reliable.
3. Competence (kompetensi): pada faset ini perhatian pada kecakapan,
sensibilitas, hati-hati dan efektif. Skor tinggi akan rasa untuk perbaikan
dalam hidup. Skor rendah bila memiliki pendapat rendah pada kecakapankecakapan dan selalu tidak memperbaiki.
4. Order (teratur): skor tinggi adalah rapi dan dikoordinir dengan baik. Mereka
menempatkan sesuatu dalam tempat yang sebenarnya. Skor rendah adalah
tidak terkoordinasi dengan baik dan tanpa metodologi.

30

5. Deliberation

(pertimbangan):

mempertimbangkan.

Skor

skor

rendah

tinggi

bila

pada

buru-buru,

hati-hati
berbicara

dan
tanpa

mempertimbangkan konsekuensi, spontanitas.
6. Achievement striving (pencapaian prestasi): skor tinggi pada level aspirasi
tinggi dan kerja keras untuk mencapai tujuan. Skor rendah bila sentimental
dan malas, tidak terdorong untuk sukses, tidak punya ambisi.

d. Neuroticism (N) terdiri dari :
1. Anxiety (kecemasan): skor tinggi pada individu yang khawatir, ketakutan,
cenderung takut, cemas, tegang, gelisah atau gugup. Skor rendah adalah
kalem dan relaks.
2. Self consciousness (kesadaran diri): skor tinggi pada individu yang tidak
mudah diganggu oleh situasi-situasi sosial yang kaku. Skor rendah pada
individu yang bersifat memaksa, memiliki ketenangan atau sosialisasi yang
baik.
3. Depression (depresi): skor tinggi pada kecenderungan rasa bersalah, sedih
dan merasa sendiri serta sangat mudah putus asa. Skor rendah pada individu
yang terbuka.
4. Vulnerability (mudah tersinggung): skor tinggi pada individu yang cepat
tersinggung, tidak mampu menghadapi stress, tergantung, tidak berdaya atau
panic ketika menghadapi situasi darurat. Skor rendah pada individu yang
memiliki kemampuan untuk mengatasi sistuasi.

31

5. Impulsiveness (menuruti kata hati): skor tinggi pada individu yang
menunjukkan

ketidakmampuan

mengontrol

dorongan.

Skor

rendah

ditemukan pada individu yang mudah melawan godaan.
6. Angry hostility (amarah): skor tinggi menggambarkan suatu tendensi
bermusuhan dalam kondisi marah dan dihubungkan dengan keadaan
frustrasi dan dendam. Skor rendah pada individu yang tidak mudah marah.
e. Openness to experience (O) terdiri dari :
1. Fantasy (khayalan): skor tinggi pada individu yang terbuka untuk berfantasi,
memiliki imajinasi dan semangat. Skor rendah adalah lebih memilih pada
apa yang dikehendaki.
2. Aesthetics (keindahan): skor tinggi pada individu yang memiliki apresiasi
dalam seni dan keindahan. Skor rendah pada individu yang tidak tertarik
pada seni dan keindahan.
3. Feelings (perasaan): skor tinggi pada kedalaman pengalaman dan
perbandingan emosi dengan orang lain. Skor rendah pada individu yang
memiliki afek-afek yang agak tidak jelas dan tidak percaya bahwa
kedudukan perasaan adalah lebih penting.
4. Ideas (ide): sifat ini terlihat tidak hanya dalam suatu pengejaran aktivitas
pada kemampuan intelektual untuk kepentingannya, tetapi juga dalam
ketidakpahaman dan suatu kesukaan pertimbangan baru, mungkin ide-ide
yang tidak konvensional.
5. Actions (tindakan): skor tinggi pada individu yang memilih hal baru dan
variasi dari yang biasa atau rutin. Skor rendah pada individu yang
mengalami kesulitan untuk berubah, serta memiliki keinginan terbatas.

32

6. Values (nilai-nilai): skor tinggi pada individu yang menunjukkan kesiapan
untuk nilai sosial, politik dan religius.

D. Peran Work-family Conflict terhadap Work Engagement
Penelitian tentang dampak work-family conflict terhadap work engagement
sangat sedikit. Salah satu penelitian berkaitan hal tersebut, dilakukan oleh Opie &
Henn (2013) yang menemukan bahwa work-family conflict merupakan prediktor
yang signifikan dari work engagement, dimana tingginya level work-family conflict
berhubungan dengan rendahnya level work engagement. Penemuan ini sejalan
dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan hubungan negatif antara workfamily conflict dengan berbagai hasil organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen

organisasi dan kinerja (Allen, Herbst, Bruck & Sutton, 2000; Hassan et al, 2010.;
Streich et al., 2008; Opie & Henn, 2013).
Penelitian Srivastava dan Srivastava (2012) menemukan bahwa karyawan
dengan level work-family conflict yang tinggi menunjukkan level kesehatan mental,
kinerja dan kepuasan pernikahan yang rendah. Work-family conflict juga dapat
mengurangi konsentrasi dan perhatian terhadap pekerjaan, tingginya ketidakhadiran
bekerja, kurangnya keterlibatan kerja dan mengurangi organizational citizenship
sehingga dapat mengurangi kinerja karyawan (Ahmad, 2008; Burley, 1989; Eagle,
Miles & Iconagle, 1998, Thompson & Werner, 1997; Karatepe & Sokmen, 2006;
Witt & Carlson, 2006; Srivastava & Srivastava, 2012). Zhang (2010) menemukan
bahwa work-family conflict berhubungan positif dengan kecenderungan untuk
berhenti dari pekerjaan. Faktor ketidakhadiran, keterlibatan, konsentrasi dan

33

organizational citizenship serta kecenderungan untuk berhenti dari pekerjaan

merupakan konsekuensi dari employee engagement (Saks, 2005).
Selain itu, penelitian lain telah menemukan hubungan yang signifikan antara
work-family conflict dengan burnout (Ahmad, 2010; Opie & Henn, 2013). Temuan

ini sangat relevan dimana burnout secara negatif berhubungan dengan work
engagement (Schaufeli et al., 2002; Opie & Henn, 2013).

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, karyawan yang engaged ditandai
dengan tingkat energy yang tinggi, antusias terhadap pekerjaan, komitmen, dedikasi
dan konsentrasi penuh (Bakker & Demerouti, 2008; De Braine & Roodt, 2011;
Rothmann & Rothmann, 2010; Opie & Henn, 2013). Oleh karena itu, apabila
karyawan mengalami konflik sebagai akibat dari adanya tuntutan yang tidak sesuai
antara pekerjaan dan keluarga, maka dapat menyebabkan berkurangnya engaged
mereka terhadap pekerjaan.
Berdasarkan hasil penelitian Opie & Henn (2013), dapat disimpulkan bahwa
stress berhubungan dengan work-family conflict dapat mencegah karyawan untuk
dapat konsentrasi dan mendedikasikan waktu dan energy mereka untuk pekerjaan.
Pada dasarnya, work-family conflict mungkin dapat mengurangi karyawan engaged
pada pekerjaan mereka.

E. Peran Kepribadian Big 5 terhadap Work Engagement
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara kepribadian dengan work
engagement. Penelitian Langelaan, Bakker, Van Doornen & Schaufeli (2006)

mengevaluasi tingkat engagement dan burnout individu yang dihubungkan dengan
trait kepribadian neuroticism dan extraversion. Mereka mengukur apakah

34

engagement dan burnout dapat dibedakan atas trait neuroticism dan extraversion

pada sampel karyawan Belanda. Karyawan yang burnout ditemukan memiliki
tingkat neuroticism yang tinggi. Namun, mereka tidak dikarakteristikkan dengan
rendahnya tingkat extraversion. Leiter & Maslach (1999) menjelaskan bahwa
engagement adalah kutub yang berlawanan dengan burnout yang ditandai dengan

energi, keterlibatan dan efektifitas yang tinggi. Level yang rendah dari ketiga
dimensi ini menunjukkan karyawan mengalami burnout dan level yang tinggi
menunjukkan karyawan engaged terhadap pekerjaannya.
Hallberg, Johansson & Schaufeli (2007) telah meneliti hubungan antara
engagement dan burnout pada Type A Behavior . Type A Behavior dibedakan

menjadi dua faktor: dorongan berprestasi yang ditandai dengan energik, cepat, kuat,
giat, antusias, ambisius, bersemangat untuk membahas, suka berbicara, extravert
dan kuat; dan mudah tersinggung/ tidak sabaran ditandai dengan agresif, tegang,
mudah kesal, menonjolkan diri, mudah tersinggung dan keras. Penelitian ini
menunjukkan bahwa engagement terkait dengan aspek dorongan berprestasi dari
Type A Behavior .

Kim, Shin & Swanger (2009) menemukan hubungan negatif antara
neuroticism dan work engagement dan conscientiousness berhubungan positif,

sedangkan

extraversion

tidak

berhubungan

dengan

dimensi-dimensi

dari

engagement pada sampel karyawan restoran cepat saji. Selanjutnya, Liao, Yang,

Wang, Drown dan Shi (2013) meneliti tentang peran kepribadian dalam hubungan
antara Team-member Exchange dengan work engagement. Mereka menemukan
bahwa extraversion dan neuroticism memoderasi hubungan antara team-member
exchange

dengan

work

engagement,

sementara

conscientiousness

tidak

35

menunjukkan peran sebagai moderator dalam hubungan antara team-member
exchange dengan work engagement.

Zaidi, Wajid, Zaidi, Zaidi & Zaidi (2013) meneliti hubungan antara trait big
five personality dengan work engagement pada dosen perguruan tinggi negeri di

Lahore. Mereka menemukan bahwa extraversion, agreeableness, conscientiousness
dan openness to experience berhubungan positif dengan work engagement,
sedangkan neuroticism berhubungan negatif dengan work engagement. Ini berarti
bahwa dosen yang engaged menunjukkan keinginan untuk suka berteman, penuh
kasih, percaya kepada orang lain, terorganisir, puas, kreatif dan tidak konvensional .
Li, Zhong, Chen, Xie & Mao (2014) meneliti tentang efek moderasi dari
proactive kepribadian terhadap work engagement. Li, et.al (2014) menemukan

bahwa karyawan dengan proaktif yang tinggi cenderung untuk meningkatkan
kinerjanya dengan usaha sendiri, seperti meningkatkan komunikasi atau mencari
feedback dengan atasan atau koleganya. Mereka akan lebih engaged bila didukung
oleh lingkungan kerja yang tepat dan work-family conflict yang rendah.
Handa & Gulati (2014) menemukan bahwa kepribadian merupakan
prediktor yang signifikan dari employee engagement pada karyawan frontliner . Ada
hubungan positif antara trait extraversion dan conscientiousness dengan employee
engagement.

F. Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian Big 5 terhadap Work
Engagement

Mauno, Kinnunen & Ruokolainen (2006) menggunakan Job-Demand
Resources Model (JD-R) dalam melakukan penelitian tentang pekerjaan dan sumber

36

daya sebagai moderator dari work-family conflict, well being dan job attitude. Workfamily conflict dikonseptualisasikan sebagai job demand sebagai perluasan model

JD-R dari Demerouti et al. (2001) (Bakker, Van Veldhoven & Xanthopoulou, 2010;
Mauno et al., 2006; Opie & Henn, 2013).
Penelitian Opie & Henn (2013) juga menggunakan model JD-R untuk
menjelaskan hubungan work-family conflict dengan work engagement dan
kepribadian sebagai moderator. Opie & Henn (2013) mengkonseptualisasikan workfamily conflict sebagai demand dan dampaknya terhadap work engagement,

kepribadian dikonseptualisasikan sebagai personal resources.
Baltes, Zhdanova & Clark (2011) berpendapat bahwa variabel kepribadian
mempengaruhi cara bagaimana individu menerima, menginterpretasikan dan
menanggapi lingkungan sesuai karakteristiknya yang berbeda. Dari penelitiannya,
Baltes et. al. (2011) menemukan bahwa kepribadian berhubungan dengan coping
strategy yang dipilih individu dalam menyelesaikan konfliknya.

Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian Malekiha, Abedi & Baghban
(2012) menyatakan bahwa individu dengan level conscientiousness yang tinggi
lebih

sedikit

kemungkinan

mengalami

work-family

conflict.

Neuroticism

berhubungan positif dengan work-family conflict, sedangkan agreeableness
berhubungan negatif dengan work-family conflict. Dan tidak ada hubungan antara
work-family conflict dengan trait extraversion dan openness to experience.

Opie & Henn (2013) menemukan bahwa conscientiousness merupakan
prediktor yang signifikan terhadap work engagement. Hal ini sejalan dengan
beberapa penelitian yang menemukan bahwa kepribadian mempengaruhi karyawan
untuk engaged terhadap pekerjaan mereka (Langelaan, Bakker, van Doornen &

37

Schaufeli, 2006) dan conscientiousness secara signifikan memprediksi work
engagement (Jeong, Hyun & Swanger, 2009;. Mostert & Rothmann, 2006).

Halbesleben, Harvey & Bolino (2009) menemukan bahwa conscientiousness
menjadi moderator dalam hubungan work-family conflict dengan work engagement.
Karyawan dengan level conscientiousness yang tinggi ditandai dengan disiplin,
dapat diandalkan, dapat mengendalikan diri, tertib, teratur dan berkemauan keras
(Digman, 1990; Taylor & De Bruin, 2006) dapat efektif dalam mengelola waktu
dan stress (Westerman & Simmons, 2007). Sejalan dengan penelitian sebelumnya,
Opie & Henn (2013) menemukan bahwa dalam hal efek interaksi, conscientiousness
mendukung hubungan antara work-family conflict dengan work engagement.
Namun, Opie & Henn (2013) menemukan bahwa semakin tinggi work-family
conflict, semakin kuat penurunan work engagement terutama pada partisipan yang

memiliki level conscientiousness yang tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian Witt
& Carlson (2006), yang menyatakan bahwa ada hubungan negatif antara workfamily conflict dengan work engagement dan lebih menonjol pada individu yang

memiliki level conscientiousness yang tinggi.
Pada trait neuroticism, Opie & Henn (2013) menemukan bahwa neuroticism
menjadi prediktor negatif terhadap work engagement. Hal ini sejalan dengan
penelitian Jeong et. al. (2009) yang menemukan bahwa work engagement
berhubungan dengan rendahnya neuroticism. Dalam hal efek interaksi, penelitian
Opie & Henn (2013) menemukan bahwa tidak ada dukungan untuk peran moderator
neuroticism pada hubungan antara work-family conflict dan work engagement.

Penemuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Van Den Berg & Feij (2003)
yang menyatakan bahwa neuroticism yang rendah menjadi moderator dalam

38

hubungan antara karakteristik jabatan (tuntutan dan sumber daya) dan perilaku kerja
(seperti stress kerja dan kepuasan kerja).
Penelitian Reggie (2014) menemukan bahwa extraversion secara signifikan
menjadi prediktor terhadap work engagement. Penemuan ini sejalan dengan
penelitian Michel et. al. (2011) yang menemukan hubungan positif antara
extraversion dengan positive work-nonwork spillover dan berhubungan negatif

antara extraversion dengan negative work-nonwork spillover . Reggie (2014) tidak
menemukan efek interaksi dari extraversion pada hubungan work-family conflict
dengan work engagement. Karyawan dengan level extraversion yang tinggi
menerima masalah dengan positif dan menggunakan strategi pemecahan masalah
ketika dihadapkan pada satu tantangan (Bakker et.al., 2006; Michel et. al., 2011).
Pada trait agreeableness, Reggie (2014) menemukan bahwa agreeableness
secara signifikan menjadi prediktor terhadap work engagement. Hal ini sejalan
dengan beberapa penelitian yang menemukan bahwa ada hubungan negatif antara
agreeableness dengan depersonalization (komponen dari burnout) (Bakker et. al.,

2006; Deary, Watson & Hogston, 2003). Hal ini relevan sejak burnout
dikonseptualisasikan sebagai lawan dari work engagement. Reggie (2014) tidak
menemukan peran agreeableness sebagai moderator dalam hubungan antara workfamily conflict

dengan work engagement. Penemuan ini tidak sejalan dengan

penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara agreeableness dengan work-family conflict (Baltes et. al., 2010; Grzywacz &
Marks, 2000; Noor, 2002; Wayne et. al., 2004). Karyawan dengan level
agreeableness yang tinggi cenderung untuk mengimplementasikan pendekatan

39

coping dalam menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga yang akan mempengaruhi

munculnya work-family conflict (Baltes et. al., 2010).
Penelitian tentang trait openness to experience sangat terbatas. Penelitian
Malekiha et. al. (2012) menemukan bahwa openness to experience tidak
berhubungan dengan work-family conflict. Sementara penelitian Khan et. al. (2011),
menemukan bahwa openness to experience secara signifikan terlibat dalam
problem-focused coping. Hal ini menunjukkan bahwa karyawan dengan trait
openness to experience yang ditandai dengan keingintahuan, tertarik sesuatu hal di

luar, kreatif, keaslian, penuh imajinatif dapat lebih mudah menemukan penyelesaian
work-family conflict, sehingga dapat lebih engaged dalam pekerjaannya.

G. Skema Hubungan antar Variabel
Peran work-family conflict dan kepribadian big 5 terhadap work engagement
dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1 Skema Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian Big 5
terhadap Work Engagement

40

H. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan pemaparan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah :
Ha 1 : Work-family conflict berpengaruh negatif terhadap work engagement.
Ha 2 : Extraversion berpengaruh positif terhadap work engagement.
Ha 3 : Agreeableness berpengaruh positif terhadap work engagement.
Ha 4 : Neuroticism berpengaruh negatif terhadap work engagement.
Ha 5 : Openness to experience berpengaruh positif terhadap work engagement.
Ha 6 : Conscientiousness berpengaruh positif terhadap work engagement.

41