Peran Work-Family Conflict dan Kepribadian terhadap Work Engagement Karyawan Pimpinan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara agraria memiliki lahan pertanian dan perkebunan
yang luas. Bahkan untuk perkebunan, sampai tahun 2013, Kementerian Pertanian
mencatat luas areal tanaman perkebunan mencapai 23,47 juta ha (Industri
Bisnis.com, 2014). Hasil perkebunan Indonesia juga telah merambah ke luar negeri.
Salah satu hasil perkebunan yang menjadi primadona adalah kelapa sawit. Kelapa
sawit telah menjadi salah satu pilar (back bone) perekonomian Indonesia yang
berkelanjutan. Sektor kelapa sawit menjadi penyumbang besar terhadap ekspor
Indonesia (24% terhadap total ekspor non migas, 19% terhadap total ekspor)
(agrokemenperin.co.id., 2014).
Sejalan dengan perkembangan produksi kelapa sawit, Indonesia telah
menjadi negara pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia sejak tahun 2006
bahkan nilai ekspor dari tahun ke tahun semakin meningkat, dan diperkirakan
mencapai 29 juta ton di akhir 2014. Khusus untuk produksi minyak kelapa sawit
yang memiliki sertifikat Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pada tahun
2014 (hingga November) Indonesia telah menyumbang 50 persen produksi minyak
sawit (5,8 juta ton dari 11,6 juta ton). Devisa ekspor yang dihasilkan dari produk
kelapa sawit tahun 2013 mencapai 15,84 miliar dolar AS atau sekitar Rp 170 triliun

(agro.kemenperin.go.id, 2014).
Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan merupakan subsektor yang
berperan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusi dalam

1

pendapatan nasional, penyediaan lapangan kerja, penerimaan ekspor, dan
penerimaan pajak. Pembangunan perkebunan harus mampu memecahkan masalahmasalah yang dihadapi perkebunan selain mampu menjawab tantangan-tantangan
globalisasi. Permasalahan tersebut di antaranya masih rendahnya produktivitas
komoditas perkebunan yang merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan
kedepan, termasuk BUMN Perkebunan (BUMN.go.id, 2011).
Permasalahan rendahnya produktivitas juga dialami oleh PTPN III. Pada
tahun 2014, PTPN III tidak mencapai produktivitas kelapa sawit sebagaimana yang
telah ditetapkan dalam Key Performance Indicator (KPI). Produktivitas kelapa sawit
PTPN III sebesar 21,38 ton/Ha atau di bawah anggaran sebesar 4.98% (PTPN III,
2014). Apabila dibandingkan dengan produktivitas Perkebunan Besar Swasta (PBS)
yang mencapai rata-rata produktivitas 22,57 ton/Ha (data diolah dari Bagian
Tanaman PTPN III, 2014), maka PTPN III harus berupaya untuk meningkatkan
produktivitas kelapa sawit yang merupakan salah satu tolok ukur kinerjanya.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, upaya untuk meningkatkan kinerja

organisasi melalui penekanan pada konsep perilaku positif dan emosi positif
(Cameron, Dutton & Quinn, 2003; May, Gilson & Harter, 2004; Bakker &
Schaufeli, 2008; Burke, Koyuncu, Jing & Fiksenbaum, 2009). Hal ini termasuk
konsep-konsep seperti optimisme, kepercayaan dan engagement (Burke et al, 2009).
Selanjutnya, ditemukan bahwa karyawan engaged pada pekerjaan yang mempunyai
makna dan sesuai dengan kepribadian serta melebihi harapan mereka (Harter, 2001;
Olivier & Rothmann, 2007). Pandangan ini konsisten dengan Schaufeli, Martinez,
Marques-Pinto, Salanova & Bakker (2002) yang menyatakan bahwa engagement
ditandai dengan vigor, dedication dan absorption (Hart, Caballero & Cooper, 2010;

2

May, et.al, 2004). Vigor ditandai oleh tingginya tingkat energi dan ketahanan mental
saat bekerja. Dedication ditandai dengan antusiasme, rasa bangga dan inspirasi.
Absorption ditandai dengan konsentrasi yang tinggi dan terlibat dalam pekerjaan,
yang dikarakteristikkan dengan cepatnya waktu berlalu dan sulitnya memisahkan
seseorang dari pekerjaannya (Schaufeli & Bakker, 2004).
Karyawan yang engaged memiliki tingginya tingkat energi dan antusias
dalam pekerjaan mereka. Selain itu, mereka sering sepenuhnya tenggelam dalam
pekerjaan mereka sehingga waktu berlalu dengan cepat (May et al., 2004).

Penelitian telah menunjukkan bahwa pekerja yang engaged memiliki mental yang
baik (Bakker & Demerouti, 2007) dan kesehatan psikosomatik (Demerouti, Bakker,
Nachreiner & Schaufeli, 2001; Bakker & Demerouti, 2007). Mereka menunjukkan
inisiatif pribadi, perilaku proaktif dan motivasi belajar (Sonnentag, 2003; Schaufeli
& Salanova, 2007; Bakker & Demerouti, 2007). Selain itu, karyawan yang engaged
memiliki inisiatif dan menghasilkan feedback positif bagi diri mereka sendiri
(Schaufeli et al., 2001; Bakker & Demerouti, 2007). Dengan demikian, temuan ini
menunjukkan bahwa karyawan yang engaged mampu dan bersedia untuk "bekerja
ekstra" (Bakker & Demerouti, 2007). Hal ini konsisten dengan konsep bahwa vigor
dan dedication adalah elemen utama dari work engagement (Gonza'lez - Roma' et
al., 2006; Bakker & Demerouti, 2007).
Beberapa studi telah meneliti hubungan antara work engagement dan
resources yang menemukan bahwa work engagement secara signifikan dipengaruhi
oleh job resources (Rothmann & Jordaan, 2006; Schaufeli & Bakker, 2004). Selain
itu, job resources mampu memprediksi work engagement ketika tuntutan pekerjaan
tinggi (Bakker, Hakanen, Demerouti & Xanthopoulou, 2007). Karyawan yang

3

engaged lebih mampu mengatasi tuntutan pekerjaan yang tinggi (Schaufeli, Taris &

van Rhenen, 2009).
Tekanan untuk memenuhi tuntutan tersebut membuat work-family conflict
hampir tidak dapat dihindari (Mauno, Kinnunen & Ruokolainen, 2006; Opie &
Henn, 2013). Hasil dari penelitian Opie & Henn (2013), mengkonfirmasi bahwa
work-family conflict adalah prediktor signifikan dari work engagement, dimana
tingginya work-family conflict berkorelasi dengan rendahnya work engagement.
Temuan ini konsisten dengan studi sebelumnya yang menemukan adanya hubungan
negatif antara work-family conflict dengan berbagai hasil organisasi, seperti
kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja (Allen, Herbst, Bruck & Sutton,
2000; Hassan et al,. 2010; Streich et al, 2008; Opie & Henn, 2013).
Pekerjaan dan keluarga merupakan dua bidang penting dalam kehidupan
sosial orang dewasa. Work-family conflict adalah bentuk konflik antar peran (interrole) di mana demand peran yang berasal dari domain pekerjaan tidak sesuai dengan
demand peran yang berasal dari domain keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985).
Work-family conflict terjadi ketika tuntutan pekerjaan tidak harmonis dengan
tuntutan keluarga (Edward & Rothbard, 2000; Frone, 2003; Srivastava &
Srivastava, 2012) yang menyebabkan hilangnya sumber daya dari salah satu domain
atau dari kedua domain (Srivastava & Srivastava, 2012).
Studi meta-analisis telah mengungkapkan bahwa tingginya work-family
conflict (wfc) dan family-work conflict (fwc) berkaitan dengan berbagai konsekuensi
yang berhubungan dengan pekerjaan (misalnya rendahnya kepuasan kerja,

kurangnya komitmen organisasi, tingginya keinginan turnover), konsekuensi
keluarga (misalnya rendahnya kepuasan perkawinan dan keluarga), dan masalah

4

kesehatan fisik dan psikologis (misalnya depresi dan kesehatan fisik yang buruk)
(Allen et al, 2000; Eby et al, 2005; Mesmer-Magnus &Viswesvaran, 2005; Zhang,
Griffeth & Fried, 2011).
Selain itu, work-family conflict terjadi tidak memandang jenis kelamin. Pada
20 tahun terakhir, perubahan peran antara pria dan wanita di rumah dan tempat kerja
sudah terjadi (Morris & Madsen, 2007; Saungweme, 2010). Tantangan-tantangan
ini muncul dari berbagai faktor termasuk peningkatan tuntutan untuk berpenghasilan
ganda, peningkatan jumlah orang tua tunggal yang bekerja, jam kerja yang panjang
dan peningkatan harapan agar pria turut berpartisipasi di rumah (Carlson, 1999;
Donald & Linington, 2008; Grzywacz & Carlson, 2007; Mckee, Mauthner &
Maclean, 2000; Saungweme, 2010). Struktur keluarga juga telah bergeser secara
signifikan dari model keluarga tradisional di mana pria bertanggung jawab untuk
memenuhi kebutuhan keluarga (Ahmad, 2003; Saungweme, 2010). Sebaliknya,
dalam struktur keluarga 'modern', pasangan berperan untuk turut serta bekerja dan
pria diharapkan diharapkan lebih banyak untuk berpartisipasi dalam tugas rumah

tangga (Carlson, 1999; Saungweme, 2010).
Beberapa studi telah menemukan bahwa work-family conflict dipengaruhi
oleh kepribadian (Bruck & Allen, 2003; Herbst, Coetzee & Visser, 2007; McLellan
& Uys , 2009; Noor, 2002; Thomson & De Bruin, 2007; Opie & Henn, 2013). Dua
trait kepribadian yang telah secara konsisten dikaitkan dengan work-family conflict
adalah conscientiousness dan neuroticism (Andreassi, 2011; Bruck & Allen, 2003;
Wayne, Musisca & Fleeson, 2004; Opie & Henn, 2013).
Terlepas dari hubungannya dengan work-family conflict, penelitian juga
menunjukkan bahwa kepribadian mempengaruhi work engagement. Work

5

engagement berkorelasi positif dengan conscientiousness dan berkorelasi negatif
dengan neuroticism (Jeong, Hyun & Swanger, 2009; Langelaan, Bakker, Van
Doornen & Schaufeli, 2006; Opie & Henn, 2013).
Penelitian Opie & Henn (2013) menemukan bahwa conscientiousness adalah
prediktor signifikan dari work engagement. Penelitian lain menunjukkan bahwa,
conscientiousness telah terbukti secara signifikan memprediksi work engagement
(Jeong et al, 2009; Mostert & Rothmann, 2006; Opie & Henn, 2013). Penelitian
sebelumnya menemukan bahwa work engagement juga dipengaruhi oleh resources

(Schaufeli & Bakker, 2004). Resources merupakan job resources (misalnya
otonomi) atau personal resources (misalnya kepribadian) dan bukti yang ada dalam
literatur saat ini menunjukkan bahwa personal resources bertindak sebagai
prediktor signifikan work engagement (Schaufeli et al, 2006; Robertson & Cooper,
2010; Opie & Henn, 2013). Temuan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
conscientiousness merupakan variabel moderator dalam hubungan antara workfamily conflict dan work engagement (Halbesleben et al., 2009; Opie & Henn,
2013).
Selain itu, penelitian Opie & Henn (2013) juga menemukan bahwa

neuroticism

secara negatif

memprediksi work engagement. Studi sebelumnya menemukan bahwa work engagement terkait dengan
rendahnya

neuroticism (Jeong et al., 2009; Opie & Henn, 2013). Studi lain menemukan bahwa work

engagement ditandai dengan


neuroticism

rendah ketika dikombinasikan dengan tingkat mobilitas yang

tinggi dan extraversion ( Langelaan, Bakker, van Doornen & Schaufeli, 2006;

Opie & Henn, 2013).

Penelitian Reggie (2012) menemukan bahwa extraversion secara signifikan
menjadi prediktor work engagement. Penemuan ini sejalan dengan beberapa studi
(Kim et.al., 2006; Langelaan et.al., 2006, Mostert & Rothmann, 2006; Reggie,

6

2012). Di samping itu, Reggie (2012) menemukan bahwa agreeableness secara
signifikan menjadi prediktor work engagement.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa work engagement
karyawan merupakan variabel penting bagi kinerja perusahaan yang keadaannya
dapat dipengaruhi oleh kepribadian dan work-family conflict. Berkaitan hal tersebut,
maka peneliti ingin melihat lebih jauh tentang peranan work-family conflict dan

kepribadian big 5 terhadap work engagement pada Karyawan Pimpinan PTPN III.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka rumusan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana peranan work-family conflict terhadap work engagement Karyawan
Pimpinan PTPN III;
2. Bagaimana peranan extraversion terhadap work engagement

Karyawan

Pimpinan PTPN III;
3. Bagaimana peranan agreeableness terhadap work engagement

Karyawan

Pimpinan PTPN III;
4. Bagaimana peranan neuroticism terhadap work engagement

Karyawan


Pimpinan PTPN III;
5. Bagaimana peranan conscientiousness terhadap work engagement Karyawan
Pimpinan PTPN III;
6. Bagaimana peranan openness to experience terhadap work engagement
Karyawan Pimpinan PTPN III;

7

7. Bagaimana peranan work-family conflict dan kepribadian terhadap work
engagement Karyawan Pimpinan PTPN III;

C. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan topik peran work-family conflict dan kepribadian terhadap
work engagement pada Karyawan Pimpinan PTPN III, sepengetahuan peneliti
belum pernah diteliti oleh peneliti lain di lingkup PTPN III.
Sejumlah literatur yang telah dikaji menunjukkan bahwa penelitian yang
melibatkan work engagement, work-family conflict dan personality sebagai
moderator adalah penelitian Opie dan Henn (2013) tentang work-family conflict
and work engagement: conscientiousness and neuroticism as moderators pada ibu

bekerja. Selain itu, penelitian Reggie (2014) tentang work-family conflict and work
engagement: personality as moderators pada ibu bekerja di Afrika Selatan.
Kedua penelitian ini belum meneliti tentang peran dari trait openness to
experience dalam hubungan work-family conflict dengan work engagement.

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
untuk mengetahui apakah work-family conflict dan kepribadian berperan terhadap
work engagement pada Karyawan Pimpinan PTPN III.

8

E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat bagi perusahaan


Memberikan masukan kepada perusahaan dalam menghadapi
permasalahan kinerja yang berkaitan dengan work-family conflict dan
work engagement.



Memberikan informasi mengenai tingkat work engagement, workfamily conflict dan deskripsi mengenai kepribadian karyawan
pimpinan.

2. Manfaat bagi akademisi


Hasil penelitian ini dapat memperkuat teori-teori yang berkaitan
dengan work-family conflict, kepribadian dan hubungannya dengan
work engagement.



Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang
terkait dengan karyawan perkebunan pada umumnya.

F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sbb:
BAB I

PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan teori pendukung dan penelitian terdahulu tentang
masing-masing variabel seperti teori Work Engagement, teori Work-

9

Family Conclict, teori Kepribadian, hubungan antara Work-Family
Conflict dan kepribadian big 5 dengan Work Engagement dan
hipotesa.
BAB III

METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tempat penelitian, identifikasi variabel, defenisi
operasional, populasi dan sampel, alat ukur, validitas & reliabilitas
alat ukur, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
Bab ini menjelaskan mengenai gambaran umum subjek penelitian,
uji asumsi klasik, hasil utama penelitian, nilai empiric dan hipotetik,
kategorisasi work-family conflict, kategorisasi kepribadian big 5,
kategorisasi work engagement, korelasi antara work-family conflict
dengan work engagement, korelasi antara extraversion dengan work
engagement, korelasi antara agreebleness dengan work engagement,
korelasi antara neuroticism dengan work engagement, korelasi antara
openness to experience dengan work engagement, korelasi antara
conscientiousness dengan work engagement, korelasi antara workfamily conflict, kepribadian big 5 dengan work engagement dan
pembahasan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini menjelaskan mengenai kesimpulan dan saran berdasarkan
penelitian yang sudah dilakukan.

10