Gerakan Politik S. M. Kartosoewirjo (DI TII 1949-1962)

BAB II
PROFIL S.M. KARTOSOEWIRJO

Pada bab ini, akan dipaparkan profil tentang Kartosoewirjo. Kita tentu perlu tahu
bagaimana latar belakang Kartosoewirjo mulai dari keluarga, lingkungan,
pendidikan dan kondisi sosial yang menyelimuti Kartosoewirjo sehingga kita bisa
melihat apa – apa yang mendasari gerakan sosial yang dilakukan oleh
Kartosoewirjo. Selain itu latar belakang kehidupan Kartosoewirjo juga tentunya
mempengaruhi dalam pembentukan karakter pribadinya.
A. Masa Kecil Kartosoewirjo
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, lahir di Cepu pada tanggal 7 Januari 1905.27
Cepu merupakan sebuah kota kecil antara Blora dan Bojonegoro yang menjadi
daerah perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Tengah.
Untuk bisa lebih memahami karakter Kartosoewirjo, akan lebih mudah bila kita
memahami bagaimana kondisi sosial politik yang terjadi di Indonesia pada waktu
itu yang tentu saja kondisi itu akan mempengaruhi perkembangan karakter
Kartosoewirjo itu sendiri. Dalam hal ini, saya akan menggunakan pendekatan
sejarah alternatif (alternative history) untuk melihat kondisi di Indonesia pada
waktu itu.
Pada 1901, pemerintahan Belanda yang pada waktu itu menguasai Indonesia,
menerapkan kebijakan politik etis di Indonesia.28 Dan Kartosoewirjo lahir pada

saat kebijakan politik etis tersebut sedang dijalankan. Kebijakan politik etis ini
                                                            
27

 Damien Dematra, Kartosoewirjo Pahlawan atau Teroris, Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2011 hal. 10  

 Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo, Jakarta : Darul
Farah, 1999 hal.3

28

Universitas Sumatera Utara

mengizinkan anak – anak pribumi yang orangtuanya bekerja untuk pemerintahan
Belanda berhak untuk mendapatkan pendidikan modern di sekolah – sekolah
Belanda pada waktu itu.
Kedudukan orang tua Kartosoewirjo waktu itu yang merupakan mantri candu di
pemerintahan Belanda menyebabkan Kartosoewirjo berhak memasuki sekolah –
sekolah Belanda.
Hal ini tentu saja memberikan perbedaan tersendiri antara Kartosoewirjo dengan

anak – anak pribumui seusianya pada waktu itu. Dimana banyak anak pribumi
yang sejak kecil harus ikut membantu orang tuanya bekerja dan tidak memiliki
kesempatan untuk mendapat pendidikan di sekolah modern, Kartosoewirjo dapat
dikatakan beruntung dapat mengenyam pendidikan di sekolah – sekolah modern
pada waktu itu. Dia juga tidak perlu banyak membantu pekerjaan orang tuanya,
karena posisi ayahnya sebagai seorang mantri candu untuk pemerintahan Belanda
waktu itu tidak memerlukan tenaga yang besar seperti bila bekerja sebagai petani.
Hal ini memberi pengaruh kepada Kartosoewirjo ketika dia mulai menyadari
bahwa anak – anak pribumi lain yang seusianya menjaga jarak dengan
Kartosoewirjo hanya karena Karto merupakan anak dari seorang pribumi yang
bekerja kepada Belanda. Kartosoewirjo mulai merasakan ada keanehan dengan
latar belakang kondisi sosialnya, kenapa ia bisa sekolah sedangkan anak – anak
lain seusianya tidak bisa mendapatkan kesempatan yang sama, hal tersebut mulai
menjadi sebuah keresahan tersendiri pada Kartosoewirjo sampai dia besar nanti.
B. Masa Pendidikan S.M. Kartosoewirjo
Pada tahun 1901, Belanda menetapkan sistem politik etis (politik balas budi).
Penerapan politik etis ini menyebabkan banyak sekolah modern yang dibuka
untuk penduduk pribumi. Kartosoewirjo adalah salah seorang anak negeri yang
berkesempatan mengenyam pendidikan modern ini. Hal ini disebabkan karena


Universitas Sumatera Utara

ayahnya memiliki kedudukan yang cukup penting sebagai seorang pribumi saat
itu.
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sejak kecil sudah mengenyam pendidikan di
sekolah – sekolah Belanda. Dia pun termasuk anak yang pintar di sekolahnya.
Namun begitu, lingkungan dia tinggal sangat kental dengan nuansa Islam.
Sehingga walaupun mendapat pendidikan di sekolah Belanda, nilai – nilai ajaran
Islam juga masih melekat kental dalam diri Kartosoewirjo.
Pada usia 6 tahun, 1911, Kartosoewirjo mulai masuk sekolah di Inlandsche
School der Tweede Klasse.29 Sekolah kelas dua yang khusus untuk anak – anak
kaum pribumi. Dia termasuk murid yang pintar di kelas nya dan dapat mengikuti
pelajaran – pelajaran dengan baik di sekolah. Dia memiliki banyak teman namun
tidak teman dekat. Ia pun tumbuh menjadi anak yang ulet dan cerdas.
Pada tahun 1917, ayah Kartosoewirjo kemudian melanjutkan sekolah
Kartosewirjo ke HIS (Hollandsch-Inlandsche School). Di sini, Kartosoewirjo
segera mendapat teman – teman baru yang juga anak – anak pribumi dan bekerja
untuk pemerintahan Belanda, keturunan ningrat dan juga anak anak peranakan
keturunan Belanda. Sama seperti di sekolah sebelumnya, Kartosoewirjo juga
merupakan seorang murid yang pintar di kelas, dan menonjol di tiap – tiap

pelajaran.
Pada tahun 1920, ayah Kartosoewirjo mendapat kenaikan pangkat dan dipindah
tugaskan ke Bojonegoro.30 Sehingga keluarganya pun dibawa ikut pindah ke
Bojonegoro. Hal ini juga memberikan efek langsung kepada sekolah
Kartosoewirjo yang juga harus pindah sekolah ke Bojonegoro.
Di sana, Kartosoewirjo disekolahkan di Europeesche Lagere School. Ini
merupakan salah satu sekolah elite yang menggunakan sistem pendidikan Eropa
                                                            
29
30

 Damien Dematra, op.cit. hal. 11 
 Ibid, hal. 57

Universitas Sumatera Utara

dan dirancang untuk anak – anak kulit putih dan juga anak – anak peranakan
Indo-Eropa di sana.
Di Bojonegoro, Kartosoewirjo mengenal Ustadz Notodihardjo, seorang tokoh
Islam modern yang mengikuti alur pemikiran Muhammadiah. Ia menanamkan

pemikiran Islam modern ke dalam alam pemikiran Kartosoewirjo. Pemikiran
Notodiharjo ini sangat memengaruhi sikap Kartosoewirjo dalam meresponi
ajaran-ajaran Islam. Bersama ustadz Notodihardjo inilah Kartosoewirjo mulai
belajar tentang Islam secara mendalam.
Pada usia 18 tahun, yaitu tahun 1923, Kartosoewirjo berhasil menyelesaikan
pendidikannya dari Europeesche Lagere School. Dalam pertimbangan ayah
Kartosoewirjo, karena diuntungkan oleh kebijakan politik etis yang sedang
diterapkan Belanda, maka tentu anaknya bisa melanjutkan sekolah ke jenjang
yang lebih tinggi dan anaknya juga harus mendapat pekerjaan yang layak dan
diakui di masyarakat, yaitu antara insinyur atau dokter. Oleh karena itu ayah
Kartosoewirjo memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Kartosoewirjo ke
Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya.31 Di NIAS inilah
sebenarnya Kartosoewirjo mulai aktif dalam perjuangan melawan Belanda.
Dia tinggal di salah satu rumah kos di sekitar wilayah kampusnya. Ketika baru
tiba di kos, dia pun kemudian berjalan keluar untuk melihat pemandangan
kampus. Sesampainya di kampus, Kartosoewirjo melihat sebuah perkumpulan
pemuda yang menamai diri mereka Jong Java. Ia pun bergabung dengan Jong
Java dan mulai aktif terlibat dalam kegiatan – kegiatan di Jong Java.
Sedangkan kuliahnya di NIAS harus menjalani masa kuliah umum selama 3
tahun,barulah di tahun ke-empat mulai memasuki kuliah inti. Selama 3 tahun ini

Kartosoewirjo pun aktif mengikuti kegiatan perjuangan pemuda di Surabaya,

                                                            
31

 Ibid, hal. 65  

Universitas Sumatera Utara

bersama Jong Java, dia pun aktif melakukan aksi – aksi melawan pemerintahan
Belanda.
Dia juga banyak membaca buku – buku dari berbagai bidang ilmu lain selain
buku – buku kedokteran, dan dia juga dipinjamkan buku – buku tentang
komunisme oleh pamannya, Marko Kartodikromo, seorang sastrawan dan
wartawan yang cukup terkenal pada masa itu.
Tentu saja pergerakan Kartosoewirjo diamati oleh pemerintahan Belanda yang
tak ingin menyekolahkan seseorang hanya untuk kemudian berani melawan dan
mengancam pemerintahan Belanda. Hingga suatu hari kamar kos Kartosoewirjo
pun digeledah secara paksa oleh prajurit Belanda dan mereka menemukan buku –
buku komunis yang dipinjamkan oleh pamannya tadi di kamar Kartosoewirjo.

Komunis pada waktu itu merupakan ancaman bagi pihak Belanda, tentu saja
mereka tidak suka bila warga pribumi mempelajari tentang komunisme, oleh
karena itu, pada tahun ketiga tepat dimana Kartosoewirjo harus mulai
melanjutkan ke perkuliahan inti, saat itu pula ia dikeluarkan dari NIAS oleh
pemerintah Belanda dengan alasan terlibat dalam gerakan komunis. Dan sampai
saat itu pula riwayat pendidikan formal Kartosoewirjo berakhir. Tapi bukan
berarti semangat dan perjuangan Kartosoewirjo pun berakhir juga.
Ketika bersekolah di NIAS, Kartosoewirjo mulai aktif dalam pergerakan
perjuangan Indonesia. Begitu sampai di Surabaya Kartosoewirjo bergabung
dalam gerakan Jong Java.
Pada masa itu, 1920-an, Surabaya merupakan salah satu kota basis perjuangan
kemerdekaan Indonesia. Dan juga pada masa itu, perjuangan yang dilakukan oleh
para pemuda sudah tidak lagi dengan mengandalkan perang fisik menggunakan
bambu runcing, melainkan dengan cara perjuangan melalui organisasi.

Universitas Sumatera Utara

Sjarikat Islam merupakan salah satu organisasi pelopor perjuangan kemerdekaan
Indonesia pada waktu itu. Tjokroaminoto merupakan pimpinan dari organisasi
ini. Kartosoewirjo sejak masih kecil dan bersekolah di Bojonegoro sudah

mengenal sosok Tjokro dan mengikuti ceramahnya sekali. Dari situ ia langsung
menggilai tokoh yang satu ini, banyak membaca tulisannya dan juga mengikuti
perkembangan pergerakan Tjokroaminoto.
Tentu saja ini menjadi sangat mempengaruhi pemikiran – pemikiran dari
Kartosoewirjo. Kartosoewirjo menaruh respek yang besar kepada Tjokroaminoto,
melalui Tjokroaminoto pula Kartosoewirjo kemudian bertemu dan berdialog
dengan Soekarno. Seperti kita tahu bahwa banyak tokoh – tokoh perjuangan
kemerdekaan Indonesia yang sempat berguru dan belajar kepada Tjokroaminoto.
Para pejuang kemerdekaan Indonesia mulai menyadari bahwa perjuangan untuk
meraih kemerdekaan akan masih sangat sulit dilakukan karena bangsa Indonesia
sendiri sampai saat itu masih sedikit sekali yang sadar akan politik.
Para pemuda memahami ini dan kemudian dalam gerakan perjuangan
kemerdekaan yang dilakukan, mereka merumuskan empat pemikiran pokok yang
harus diperjuangkan dalam kemerdekaan, yaitu : Pertama, kesatuan nasional.
Dalam masalah persatuan nasional ini, perlunya bangsa Indonesia untuk
mengenyampingkan terlebih dahulu perbedaan – perbedaan yang sempit
semacam perbedaan etnis serta kedaerahan. Dikarenakan perlu ada kesatuan aksi
melawan Belanda dalam rangka menciptakan Negara kebangsaan Indonesia yang
merdeka dan bersatu.
Kedua, solidaritas. Masalah solidaritas ini didasari oleh suatu kebulatan tekad

bersama senasib dan sepenanggungan dalam kerangka persatuan yang amat
kukuh dan kokoh luar dalam antara pribumi tanpa melihat perbedaan yang ada
antara sesama orang Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

Ketiga, non-kooperasi.

Artinya adalah gerakan perjuangan kemerdekaan

Indonesia sama sekali tidak mau berkompromi dengan segala hal yang berbau
kolonial. Para pejuang kemerdekaan waktu itu menyadari bahwa kemerdekaan
bukanlah hadiah sukarela dari Belanda dan harus direbut dan diperjuangkan oleh
seluruh rakyat bangsa Indonesia dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan
sendiri.
Keempat, swadaya. Dengan swadaya gerakan kaum nasionalis dan mengandalkan
kekuatan sendiri dan mengembangkan suatu struktur alternatif dalam kehidupan
nasional, politik, sosial, ekonomi dan hokum yang kuat dan berakar dalam
masyarakat pribumi dan sejajar dengan administrasi kolonial. Inilah prinsip yang
mendasari semangat perjuangan kemerdekaan waktu itu, dimana tentu saja

Kartosoewirjo terlibat dalam ini.
Dalam masa ketika Kartosoewirjo mulai sekolah di NIAS, dia banyak
menghabiskan waktu diluar sekolah dengan organisasi pemuda yang dia ikuti,
bahkan kuliah yang seharusnya menjadi tujuan utama dia di Surabaya menjadi
tidak prioritas lagi bagi Kartosoewirjo.
Di organisasinya, ia mulia aktif terlibat dalam diskusi – diskusi politik. Ia pun
bergabung dengan organisasi Sjarikat Islam dibawah pimpinan Hadji Oemar Said
Tjokroaminoto

yang

merupakan

tokoh

yang

sangat

dikagumi


oleh

Kartosoewirjo.32 Pemikiran – pemikiran Tjokroaminoto inilah yang kemudian
banyak mempengaruhi sikap, tindakan dan orientasi dari Kartosoewirjo.
Lalu ketika pamannya Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan
meminjamkan buku – buku komunis kepada Kartosoewirjo, buku itulah yang
menyebabkan Kartosoewirjo akhirnya dikeluarkan dari sekolahnya di Surabaya,
namun dikeluarkan dari sekolah tidak membuat Kartosoewirjo gentar dan ragu

                                                            
32

 Al Chaidar, op.cit. hal. 29

Universitas Sumatera Utara

untuk

melanjutkan perjuangannya, dia tetap ingin melawan Belanda dan

memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kartosoewirjo pun tetap aktif di gerakan Jong Java, bahkan dia sempat menjadi
ketua cabang Jong Java di Surabaya. Lalu kemudian pada tahun 1925, ketika
anggota – anggota Jong Java yang lebih mengutamakan cita – cita keislaman
mendirikan Jong Islamieten Bond, Kartosoewirjo pun lalu pindah ke organisasi
ini karena memang sikap Kartosoewirjo yang menjadikan agamanya sebagai
landasan utama dalam hidupnya dan perjuangannya, bukan pada paham
nasionalisme, dan tak lama setelah masuk ke Jong Islamieten Bond,
Kartosoewirjo terpilih menjadi ketua cabang Jong Islamieten Bond di Surabaya.33
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah seorang orator ulung. Melalui Jong
Java dan juga Jong Islamieten Bond kemudian Kartosoewirjo terlibat dalam salah
satu peristiwa sejarah gerakan pemuda yang menjadi titik balik perjuangan
pemuda, Sumpah Pemuda.
Kartosoewirjo pun terus aktif di organisasi perjuangan kemerdekaan. Dia juga
bergabung dengan Sjarikat Islam, organisasi masa yang kemudian menjadikan
dirinya partai politik berbasis Islam, sehingga kemudian dikenal dengan Partai
Sjarikat Islam (PSI).
Di dalam PSI ini Kartosoewirjo kemudian kenal dengan Oemar Said
Tjokroaminoto dan juga Agoes Salim. Mereka adalah tokoh pemimpin di PSI,
terlebih Tjokroaminoto, adalah merupakan sosok yang sejak lama dikagumi oleh
Kartosoewirjo. Tentu saja sejak bergabung dengan Partai Sjarikat Islam,
Kartosoewirjo banyak bertukar fikiran dengan pemimpin PSI mengenai
pandangan politik dan juga kesamaan cita – cita untuk mendirikan suatu Negara
Islam.

                                                            
33

 Ibid, hal. 30  

Universitas Sumatera Utara

Hal yang sangat berpengaruh dalam jalan perjuangan Kartosoewirjo adalah ketika
dia dikeluarkan dari sekolah NIAS di Surabaya, lalu disusul dengan
meninggalnya ayah Kartosoewirjo di Bojonegoro sehingga Kartosoewirjo pun
harus pulang ke Bojonegoro dan untuk membantu perekonomian ibunya, diapun
mengajar di sekolah rakyat di Bojonegoro.
Tak lama setelah itu, Kartosoewirjo diminta langsung oleh Tjokroaminoto untuk
menjadi sekretaris Tjokroaminoto, dan Kartosoewirjo pun langsung menerima
permintaan itu tanpa ragu. Keakraban secara pribadi terjalin setelah
Kartosoewirjo tinggal dirumah Tjokroaminoto dan secara berkelanjutan
mendapat transformasi pengalaman politik dari Tjokroaminoto.

C. Kartosoewirjo, Sjarikat Islam dan Politik Hijrah
Pada awal tahun 1927 ketika dikeluarkan dari NIAS, Kartosoewirjo pulang ke
Bojonegoro ke rumah orang tuanya. Kepulangan Kartosoewirjo ini setelah
sebelumnya mendengar kabar bahwa orang tuanya meninggal dunia.
Untuk membantu perekonomian ibunya yang ditinggal suami, Kartosoewirjo pun
membantu dengan menjadi guru particular di Bojonegoro. Sampai di bulan
September di tahun yang sama, Kartosoewirjo kembali ke Surabaya dan
menerima tawaran Tjokroaminoto untuk menjadi sekretaris pribadinya.
Kemudian Kartosoewirjo menemani Tjokroaminoto pindah ke Cimahi di dekat
Bandung. Tentu saja Kartosoewirjo lalu aktif bergabung dengan organisasi
Sjarikat

Islam

yang

dipimpin

oleh

Tjokroaminoto.

Dan

kepribadian

Kartosoewirjo yang tegas dan cerdas membuatnya cepat dikenal dikalangan
Sjarikat Islam yang saat itu telah menjadi partai politik dan mengganti namanya
menjadi PSIHT (Partai Sjarikat Islam Hindia Timoer).

Universitas Sumatera Utara

Peningkatan karir Kartosoewirjo dikalangan Partai Sjarikat Islam berkembang
dengan pesat. Pada bulan desember di tahun yang sama, 1927 di kongres PSIHT
yang dilaksanakan di Pekalongan, Kartosoewirjo terpilih menjadi sekretaris
umum PSIHT. Dalam kongres itu juga, diputuskan bahwa pimpinan partai harus
dipindahkan ke Batavia.
Selain bertugas sebagai sekretaris umum PSIHT, Kartosoewirjo juga bekerja
sebagai wartawan di harian Fadjar Asia. Semula ia bertugas sebagai korektor,
kemudian diangkat menjadi reporter.
Seiring dengan tugasnya sebagai sekretaris PSIHT, maka Kartosoewirjo banyak
melakukan perjalanan ke propinsi – propinsi. Pada tahun 1928 Kartosoewirjo
pergi ke Malangbong, disana dia bertemu dengan pemimpin PSIHT setempat,
Ajengan Ardiwisastera dan juga anaknya Siti Dewi Kalsum yang kemudian
dinikahi oleh Kartosoewirjo pada bulan April 1929, dan Kartosoewirjo pun lalu
menetap di Malangbong.
S. M. Kartosoewirjo juga bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran harian Fadjar
Asia. Ia membuat tulisan-tulisan yang berisi penentangan terhadap bangsawan
Jawa (termasuk Sultan Solo) yang bekerjasama dengan Belanda. Dalam
artikelnya nampak pandangan politiknya yang radikal. Ia juga menyerukan agar
kaum buruh bangkit untuk memperbaiki kondisi kehidupan mereka, tanpa
memelas. Ia juga sering mengkritik pihak nasionalis lewat artikelnya.
Kariernya kemudian melejit saat ia menjadi sekretaris jenderal Partai Serikat
Islam Indonesia (PSII). PSII merupakan kelanjutan dari Sarekat Islam.
Kartosoewirjo kemudian bercita-cita untuk mendirikan negara Islam (Daulah
Islamiyah). Di PSII ia menemukan jodohnya. Ia menikah dengan Umi Kalsum,
anak seorang tokoh PSII di Malangbong. Ia kemudian keluar dari PSII dan
mendirikan Komite Pembela Kebenaran Partai Sarekat Islam Indonesia
(KPKPSII).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kartosoewirjo, PSII adalah partai yang berdiri di luar lembaga yang
didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, ia menuntut suatu penerapan politik
hijrah yang tidak mengenal kompromi. Menurutnya, PSII harus menolak segala
bentuk kerjasama dengan Belanda tanpa mengenal kompromi dengan cara jihad.
Ia mendasarkan segala tindakkan politiknya saat itu berdasarkan pembedahan dan
tafsirannya sendiri terhadap Al-Qur’an. Ia tetap istiqomah pada pendiriannya,
walaupun berbagai rintangan menghadang, baik itu rintangan dari tubuh partai itu
sendiri, rintangan dari tokoh nasionalis, maupun rintangan dari tekanan
pemerintah Kolonial.
Prestasi Kartosoewirjo di harian Fadjar Asia juga terus berkembang, di usianya
yang masih 22 tahun, Kartosoewirjo telah menjadi redaktur harian Fadjar Asia,
dan dia pun aktif menerbitkan artikel – artikel yang secara tegas mengkritisi hal –
hal yang terjadi yang dianggapnya sebagai bentuk perlawanan terhadap para
penjajah.34
Pada usianya yang masih muda, Kartosoewirjo pun lalu menjadi tokoh yang
disegani oleh masyarakat, dia masih muda, pernah bersekolah di NIAS, menjadi
sekretaris pribadi untuk Tjokroaminoto, lalu menjadi sekretaris PSIHT dan juga
redaktur di salah satu harian yang terkemuka pada waktu itu.
Mengenai Sjarikat Islam, yang sempat berganti nama menjadi Partai Sjarikat
Islam Hindia Timoer, lalu pada 1929 berganti nama lagi menjadi Partai Sjarikat
Islam Indonesia dan lebih sering disebut PSII. Karir Kartosoewirjo di PSII terus
menanjak, bahkan di kongres 1929, dalam kongres partai, Kartsoewirjo terpilih
menjadi wakil ketua di partai tersebut.35
Dalam organisasi Sjarikat Islam, sampai berubah menjadi Partai Sjarikat Islam
Indonesia, tradisi non-kooperasi terhadap kelompok penjajah menjadi satu nilai
                                                            
34
35

 Ibid, hal. 36
 Ibid, hal. 39

Universitas Sumatera Utara

yang kuat tertanam di Sjarikat Islam ini. Pada saat kongres pertama partai ini
dilaksanakan yaitu tahun 1923 dan 1924, Sjarikat Islam banyak mengembangkan
konsep – konsep berdikari atau swadeshi yang banyak terilhami dari perjuangan
Mahatma Gandhi di India. Sehingga memang dari awal berdiri partai ini
senantiasa mencoba untuk selalu tidak terikat dan tidak bergantung pada kaum
kolonial.
Secara praktis maka tentu partai Sjarikat Islam Indonesia ini akan menolak
bentuk – bentuk kerjasama dengan kelompok penjajah dan tentu juga menolak
semua pengaruh kolonial terhadap partai ini. Namun seiring berjalan waktu dan
siasat licik Belanda dalam memecah belah lawannya, lambat laun memberikan
pengaruh kepada Partai Sjarikat Islam.
Terdapat pertentangan di dalam tubuh PSII, yaitu antara Dewan Eksekutif di
bawah pimpinan Abikoesno Tjokrosoejoso yang tetap memperjuangkan politik
non-kooperasi dimana dia tidak mau bekerja sama dengan kelompok kolonial.
Dan pihak Dewan Partai dibawah pimpinan Agoes Salim yang cenderung pada
sikap untuk bekerja sama dengan kekuasaan kolonial.
Dalam pandangan Agoes Salim, seandainya politik non-kooperasi tetap
diteruskan, akan ada kerugian forum politik yang akan mempercepat keruntuhan
partai dan dia mendesak agar diadakan suatu referendum tentang masalah ini.
Pertentangan ini cukup membawa pengaruh terhadap internal Partai Sjarikat
Islam Indonesia, pihak Agoes Salim pun mengangkat isu bahwa haluan politik
non-kooperatif yang dijalankan oleh Abikoesno merupakan kebijakan yang hanya
mementingkan kepentingan partai dan tidak memperdulikan kepentingan rakyat.
Hingga pada akhir tahun 1935, sebelum kongres partai dilaksanakan, Abikoesno
melepaskan jabatannya dan langkah ini kemudian diikuti oleh Kartosoewirjo
juga.

Universitas Sumatera Utara

Namun pada kongres partai ke-22 di tahun 1936, Abikoesno malah terpilih
menjadi ketua partai, dan dengan peraturan baru bahwa kongres hanya
menetapkan ketua saja, maka Abikoesno pun mutlak menjadi formateur dalam
partai itu dan Abikoesno langsung memilih Kartosoewirjo sebagai wakilnya.
Dan pada Januari 1937, Agoes Salim, Moehammad Roem, Sabirin, Sangadji,
Muclish dan 23 anggota fraksi Agoes Salim dikeluarkan dari keanggotaan PSII
karena pertentangan politik non-kooperasi. Dan ini semakin memicu perpecahan
di kubu partai, karena Salim lalu membentuk partai Islam yang baru yang diberi
nama Pergerakan Penjadar.
Setelah itu, Abikoesno lalu membuat pernyataan bahwa kongres PSII tahun 1936
telah menyetujui bentuk politik non-kooperasi dan melakukan politik hidjrah
yang menentang secara tegas untuk menerima kerja sama dengan kolonialisme
dan menuntut penghapusan kolonialisme itu sendiri. Dan untuk penjelasan
mengenai langkah politik hidjrah ini kemudian dijelaskan oleh Kartosoewirjo
melalui dua jilid brosur partai yang ditulisnya.
Melanjuti kebijakan politik hidjrah yang menolak untuk melakukan kerja sama
dengan kolonialisme, maka pada tahun 1937 di kongres partai ke-23, dibawah
pimpinan Kartosoewirjo dibentuk suatu komisi yang harus menyusun program
aksi hidjrah PSII. Kartosoewirjo lalu berhasil merumuskan program aksi tersebut
dan program tersebut disepakati pada tahun 1938 di kongres partai selanjutnya.36
Dalam program tersebut, Kartosoewirjo juga menyebutkan bahwa PSII harus
memiliki lembaga pendidikan sendiri, dan dia mengusulkan didirikannya sekolah
Soeffah PSSI, lembaga pendidikan ini kemudian secara resmi dibuka pada tahun
1939 di Malangbong di bawah pimpinan Kartosoewirjo sendiri.37

                                                            
36
37

Ibid, hal. 45
Ibid, hal. 47 

Universitas Sumatera Utara

Tampak jelasa bahwa selama berada di Sjarikat Islam, Kartosoewirjo tetap teguh
pendirian dalam upaya menciptakan kondisi kemerdekaan yang dibangun atas
nilai – nilai Islam, dan Kartosoewirjo secara tegas melalui partai Sjarikat Islam
Indonesia menolak dengan tegas segala bentuk kerjasama dengan pihak Belanda
dan segala bentuk – bentuk kolonialisme.
Dan Kartosoewirjo sebagai bentuk perjuangannya daripada bekerja sama dengan
pemerintah Belanda, dia lebih baik mendirikan lembaga pendidikan sendiri dan
mendidik kaum muda untuk masa depan yang lebih baik tanpa menerima bantuan
dari kaum penjajah.
Akan tetapi sangat disayangkan, karena program yang disusun tersebut tidak
dapat dilaksanakan seperti seharusnya, karena situasi yang terjadi di internal
partai mengalami perubahan haluan politik. Pada tahun 1939, sebagai pimpinan
partai, Abikoesno mengajak Kartosoewirjo untuk memutar haluan partai dengan
bergabung ke GAPI (Gabungan Politik Islam) dalam mengatasi tekanan politik
pemerintah kolonial yang makin mendesak.
Namun Kartosoewirjo dengan tegas menolak ajakan ini dan tetap konsisten
dalam konsep politik hidjrah yang dijalankannya yaitu dengan menolak semua
bentuk kompromi dan kerja sama dengan kolonialisme. Sehingga perdebatan
yang sengit antara Abikoesno dan Kartosoewirjo pun tak terhindarkan.
Dalam pemikiran Kartoseowirjo, tuntutan GAPI adalah dibentuknya suatu
parlemen Indonesia, dan itu merupakan bentuk kompromi dan kooperasi juga
yang bertentangan dengan prinsip politik hidjrah yang menentang kompromi
dengan kolonialisme, hanya saja dengan corak yang berbeda.
Hal ini mengakibatkan Kartosoewirjo dan teman – teman yang mendukungnya
akhirnya dikeluarkan dari Partai Sjarikat Islam Indonesia.38 Namun tentu saja
kepribadian dan karakter Kartosoewirjo yang tegas membuatnya tidak mundur
                                                            
38

 Ibid, hal. 48

Universitas Sumatera Utara

dan menyerah dari perjuangannya dan tetap melaksanakan politik hidjrah dan
juga pendidikan kader.
Begitu Kartosoewirjo dikeluarkan dari PSII, ia dan beberapa temannya lalu
mendirikan partai independen yang diberi nama KPK PSII (Komisi Pembela
Kebenaran Partai Sjarikat Islam Indonesia). Dalam pemikiran Kartosoewirjo,
organisasi yang tengah dirintisnya inilah merupakan bentuk sebenarnya dari
Sjarikat Islam sebenarnya.
Melalui KPK PSII Kartosoewirjo lalu kemudian melanjutkan perjuangan politik
hidjrahnya. Secara sederhana hidjrah artinya adalah pindah. Kartosoewirjo
melihat dalam sistem sosial politik yang sedang terjadi dimana Indonesia sedang
dijajah Belanda, apapun kerjasama yang dilakukan oleh Belanda hanyalah bentuk
untuk mematikan perjuangan kemerdekaan bangsa dan memecah belah kesatuan
kekuatan bangsa Indonesia, namun tekanan untuk ikut dalam sistem itu juga
cukup besar dirasakan oleh para kaum pejaung bangsa hingga akhirnya ikut
melakukan kompromi dan bekerja sama dengan Belanda merupakan langkah
yang harus diambil.
Namun dalam pandangan Kartoseowirjo, yang kita tahu bersama bahwa pola
pikirnya sangat Islam-minded, tentu saja berkompromi menjadi hal yang tidak
perlu dilakukan karena tidak akan mungkin menguntungkan bangsa Indonesia.
Namun Kartosoewirjo sadar betul bahwa melawan secara fisik adalah tindakan
konyol yang tidak akan berhasil. Maka cara yang paling ideal adalah hidjrah,
pindah. Pindah dalam segi pemikiran bahwa tidak perlu melakukan kompromi
dan kerja sama dengan koloni adalah harga mutlak karena hanya akan
menimbulkan ketergantungan pada kaum penjajah, dan pendidikan yang selama
ini didapat dari sekolah Belanda kepada anak – anak tertentu saja, haruslah bisa
secara adil dan merata kepada semua anak.

Universitas Sumatera Utara

Jadi hidjrah disini adalah selain pindah secara fisik, namun juga secara makna
bahwa pola pikir bangsa harus juga pindah dari pola pikir yang kolot, takut dan
tertekan, harus pindah ke pola pikir yang kritis dan juga siap membawa
perubahan dengan potensi sendiri.
Begitulah politik hidjrah yang dicanangkan oleh Kartoseowirjo, bahwa bangsa
Indonesia tidak perlu pindah ke wilayah lain, namun hanya sekedar pindah dari
watak, tabiat dan pola pikir masing – masing individu, dan untuk itu mutlak
diperlukan lembaga pendidikan. Namun begitu Kartosoewirjo dikeluarkan dari
PSII, maka semua konsep yang dia buat tentang politk hidjrah ditinggalkan
begitu saja, bahkan sekolah Soeffah yang di Malangbong juga ditutup.
Namun melalui KPK PSII yang didirikan oleh Kartosoewirjo, pada tahun 1940
akhirnya didirikan kembali lembaga pendidikan, di Malangbong juga, dengan
nama lembaga pendidikan kader Suffah.
Lembaga pendidikan ini didirikan dengan konsep sebuah pesantren tradisional,
dimana para siswanya juga tinggal disitu. Kartosoewirjo mengajarkan Bahasa
Belanda, Astrologi dan Ilmu Tauhid kepada para siswa, selain ilmu pengetahuan
umum, ilmu agama Islam, di pesantren ini juga diajarkan tentang politik agar
para siswanya sadar tentang kondisi yang terjadi dan mengetahui bahwa mereka
sedang tidak merdeka dan tidak bebas.
Pada akhirnya nanti, lembaga pendidikan Suffah inilah yang akan menjadi basis
kekuatan perjuangan Kartosoewirjo nantinya dalam menegakkan Darul Islam.
D. Periode Awal Kemerdekaan Indonesia dan Kembalinya Belanda
Pada bulan Maret 1942, ketika itu bala tentara Jepang yang dipimpin oleh
Kolonel Shoji sudah masuk ke wilayah Jawa Barat lewar Eretan dekat Subang,
mereka terus memobilisasi pasukan untuk terus bergerak menuju pusat
pemerintahan kolonial di Bandung, karena di Bandung berada semua

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan kolonial

yang telah diungsikan sejak bulan Februari 1941.

Bersamaan dengan kejadian itu, Kartosoewirjo masih berada di Malangbong, di
jantung Jawa Barat sehingga tidak langsung merasakan pengaruh perang tersebut.
Dengan adanya serangan dadakan dari Jepang ini, maka pada tanggal 8 Maret
1942 Panglima Tertinggi Angkatan Perang Kerajaan Belanda, Jenderal Ter
Poorten, bersama Gubernur Jenderal Pemerintah Kolonial Belanda, Tjarda Van
Starkenborgh Stachouwer, menyerahkan Indonesia tanpa syarat kepada Jepang.
Pada tanggal 9 Maret 1942, di mana militer Jepang telah berhasil menaklukkan
Belanda, mulailah mereka melanjutkan politik yang pernah dijalankan oleh
Belanda. Niponisasi mulai diterapkan di hampir seluruh wilayah pendudukan
Jepang di Indonesia.
Pembaharuan di segala bidang pun kemudian dilakukan Jepang pada awal masa
penjajahannya di Indonesia. Jepang sadar betul bahwa Indonesia, bangsanya telah
mengenal semangat nasionalisme untuk bebas dari penjajahan yang dialami
sekian lama, yang mana jika Jepang coba mencegahnya maka tentu Jepang akan
mendapat perlawanan dari bangsa Indonesia.
Maka Jepang coba menyakinkan masyarakat Indonesia bahwa kehadiran mereka
adalah

sebagai saudara tua dalam pengertian politik, yang nantinya akan

memberikan kemerdekaan pada Indonesia.
Dalam kondisi ini, Kartosoewirjo hanya menjadi tokoh regional saja, sikap
hidjrahnya sangat konsekuen. Dalam masa pendudukan Jepang, dia tetap
menjalankan lembaga suffah di Malangbong, hanya saja kali ini Kartosoewirjo
juga banyak memberikan pendidikan militer kepada murid – muridnya, karena
memang diizinkan oleh Jepang, dan saat itu Jepang juga sedang membuka
pendidikan militernya di Indonesia.
Sampai pada tahun 1943, Kartosoewirjo kembali aktif di bidang politik. Dia
masuk sebuah sebuah organisasi kesejahteraan dari Madjlis Islam ‘Alaa

Universitas Sumatera Utara

Indonesia dibawah pimpinan Wondoamiseno, sekaligus juga menjadi sekretaris
dalam Majelis Baitulmal pada organisasi tersebut.
Selanjutnya Kartosoewirjo berupaya untuk meneruskan gagasan awalnya yaitu
suatu masyarakat Islam yang benar – benar sempurna secara ideologi. Namun
organisasi ini hanya berjalan selama enam bulan saja, karena pada Oktober 1943
dibubarkan yang selanjutnya bergabung dengan Masyumi yang didirikan pada
tanggal 11 November 1943 dan Kartosoewirjo pun bergabung dengan organisasi
baru ini
Bersamaan dengan itu, ketika situasi Perang Asia Pasifik mulai memburuk bagi
Jepang, untuk lebih memanfaatkan para politikus Indonesia mendukung
perjuangan Jepang, mereka bersedia memberikan konsesi yang lebih besar bagi
rakyat Indonesia dari yang pernah diberikan Belanda sebelumnya. Bangsa
Indonesia pun diperbolehkan membentuk organisasi bersenjata sendiri.
Pertama, pada bulan Oktober 1943, terbentuknya PETA (Pembela Tanah Air) dan
kemudian, pada akhir 1944 dibentuklah Hizbullah (Tentara Allah), cabang
bersenjata Masyumi Islam. Kedua, pada 7 September 1944 Perdana Menteri
Jepang Koiso menjanjikan Indonesia merdeka di kemudian hari kelak. Dan pada
1 Maret 1945 janji ini diulang kembali oleh panglima tertinggi Jepang yang
sekaligus

mengumumkan

pembentukan

“Panitia

Penyidik

Persiapan

Kemerdekaan”.
Sehubungan dengan diizinkannya Indonesia membentuk organisasi bersenjatanya
sendiri, Kartosoewirjo pun lalu kemudian mengaktifkan kembali pusat
pendidikan suffah yang ia dirikan di Malang untuk melatih para pemuda dengan
latihan kemiliteran dengan dipersenjatai tongkat bambu.
Dalam masa pendudukan Jepang ini, Kartosoewirjo pun memfungsikan kembali
lembaga Suffah yang pernah dia bentuk. Namun kali ini lebih banyak

Universitas Sumatera Utara

memberikan pendidikan kemiliteran karena saat itu Jepang telah membuka
pendidikan militernya.
Kemudian siswa yang menerima latihan kemiliteran di Institut Suffah itu
akhirnya memasuki salah satu organisasi gerilya Islam yang utama sesudah
perang, Hizbullah dan Sabilillah, yang nantinya menjadi inti Tentara Islam
Indonesia di Jawa Barat.
Janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan bangsa Indonesia diwujudkan
dengan mendirikan Dokuritsu Jumbi Chosakai, yaitu Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang didirikan pada 28 Mei 1945.
Dalam Komite BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang serius antara
wakil – wakil golongan nasionalis Islam dan kelompok nasionalis sekuler.
Perbedaan disekitar dasar ideologi Negara Indonesia yang akan merdeka menjadi
perdebatan politik yang hangat saat itu. Sebagian mengusulkan Indonesia yang
berdasarkan syariah Islam dan sebagian lagi mengajukan gagasan Negara
Integralis dengan dasar ideologi Pancasila.
Pada bulan Agustus 1945 menjelang berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia,
Kartosoewirjo yang disertai tentara Hizbullah berada di Jakarta. Dia juga telah
mengetahui kekalahan Jepang dari sekutu, bahkan dia mempunyai rencana:
kinilah

saatnya

rakyat

Indonesia,

khususnya

umat

Islam,

merebut

kemerdekaannya dari tangan penjajah.
Sesungguhnya dia telah memproklamasikan kemerdekaan pada bulan Agustus
1945. Tetapi proklamasinya ditarik kembali sesudah ada pernyataan kemerdekaan
oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Untuk sementara waktu dia tetap loyal
kepada Republik dan menerima dasar “sekuler”-nya.
Namun sejak kemerdekaan RI diproklamasikan (17 Agustus 1945), kaum
nasionalis sekulerlah yang memegang tampuk kekuasaan negara dan berusaha

Universitas Sumatera Utara

menerapkan prinsip-prinsip kenegaraan modern yang sekuler. Semenjak itu
kalangan nasionalis Islam tersingkir secara sistematis dan hingga akhir 70-an
kalangan Islam berada di luar negara.
Dari sinilah dimulainya pertentangan serius antara kalangan Islam dan kaum
nasionalis sekuler. Karena kaum nasionalis sekuler mulai secara efektif
memegang kekuasaan negara, maka pertentangan ini untuk selanjutnya dapat
disebut sebagai pertentangan antara Islam dan negara.
Perbedaan dan perdebatan ini berlangsung terus. Namun ketika Soekarno di
BPUPKI lalu menjelaskan tentang konsep nasionalismenya maka berakhirlah
perdebatan itu. Keinginan dari Soekarno untuk tidak menimbulkan perpecahan,
kompromi pun diambil dan tercapailah kesepakatan bersama sebagaimana
terumuskan dalam Piagam Jakarta, didalamnya disepakati bahwa Pancasila
merupakan dasar Negara. Di samping itu, dicantumkan pula rumusan “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya.”
E. Kartosoewirjo Memproklamasikan DI/TII
Pada masa pasca kemerdekaan 1945-1949, Kartosoewirjo sebenarnya termasuk
orang yang terlibat aktif dalam pemerintahan. Tetapi sikap kerasnya membuatnya
sering bertolak belakang dengan pemerintah, termasuk ketika ia menolak
pemerintah pusat agar seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa
Tengah.
Perintah long march itu merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville yang
sangat mempersempit wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kartosoewirjo
juga menolak posisi menteri yang ditawarkan Amir Sjarifuddin yang saat itu
menjabat Perdana Menteri.

Universitas Sumatera Utara

Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat semakin membulatkan tekadnya
untuk membentuk Darul Islam di Indonesia. Kartosoewirjo kemudian
memproklamirkan DI/TII pada 7 Agustus 1949 di Malang, Jawa Barat.
Darul Islam yang artinya adalah Rumah Islam adalah gerakan politik yang
diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam
kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah,
Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja
diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara
Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar
negara.
Dalam proklamasinya disebutkan bahwa hukum yang berlaku dalam Darul Islam
adalah hukum Islam. Lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan
bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran
dan Hadits".
Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara
untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan
yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an.
F. Akhir Perjuangan Kartosoewirjo
Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama
Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi
Selatan dan Aceh.
Pemerintah Indonesia kemudian bereaksi dengan menjalankan operasi untuk
menangkap Kartosoewirjo. Dan pasukan Tentara Islam Indonesia yang secara
gerilya melawan pemerintah berlangsung cukup lama. Hingga perjuangan
Kartosoewirjo berakhir ketika aparat keamanan menangkapnya setelah melalui

Universitas Sumatera Utara

perburuan panjang di wilayah Gunung Rakutak di Jawa Barat pada 4 Juni 1962.
Pemerintah Indonesia kemudian menghukum mati Kartosoewirjo pada September
1962.
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini
menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dianggap
sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.
Kartosoewirjo menggalang kekuatan pasukan laskar Hizbullah dan Sabilillah
yang kemudian menjelma menjadi Tentara Islam Indonesia (TII). Kartosoewirjo
yang pernah menjadi wartawan di harian Fadjar Asia dengan posisi wakil
pemimpin redaksi ini akhirnya pada 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah,
Tasikmalaya memproklamirkan berdirinya DI/TII. Hingga kemudian bertahuntahun Kartosoewirjo dan kelompoknya menjadi buruan TNI. Pada Juni 1962 dia
dibekuk di Garut.
Kartosoewirjo didakwa melanggar pasal-pasal berlapis yaitu pasal 107 ayat 2,
108 ayat 2, dan 104 junto pasal 55 KUHP, juncto pasal 2 PENPRES No.5 tahun
1959 yang dimuat dalam lembaran negara No 80 tahun 1959.39
Fadli menulis setidaknya ada tiga kejahatan politik yang disangkakan pemerintah
pada Kartosoewirjo. Pertama, memimpin dan mengatur penyerangan dengan
maksud hendak merobohkan pemerintahan yang sah. Kedua, memimpin dan
mengatur pemberontakan melawan kekuasan yang telah berdiri dengan sah yaitu
Republik Indonesia. Dan ketiga, melakukan makar pembunuhan terhadap
presiden yang dilakukan secara berturut-turut dan terakhir dalam peristiwa 'Idul
Adha.
Pada 16 Agustus 1962, pengadilan militer menjatuhkan vonis mati bagi
Kartosoewirjo. Dalam proses pengadilan itu, dia juga membantah tuduhan kedua
                                                            
39

 Fadli Zon, Hari Terakhir Kartosoewirjo, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2012 hal. 54  

Universitas Sumatera Utara

dan ketiga. Kartosoewirjo mengatakan bahwa tuduhan upaya membunuh presiden
Soekarno hanya isapan jempol belaka.
Kartosoewirjo pun sempat meminta grasi kepada Soekarno. Namun, saat itu
Soekarno langsung menolak. Soekarno menyatakan menandatangani hukuman
mati bukan suatu kesenangan.
Dalam bukunya Hari Terakhir Kartosoewirjo,40 Fadli Zon menuliskan bahwa
sebelum dihukum mati ada empat permintaan Kartosoewirjo kepada pemerintah
Indonesia, yang mana dari empat tersebut, hanya satu permintaan yagn
dikabulkan.
Pertama, Kartosoewirjo meminta dipertemukan dengan keluarganya, untuk
terakhir kalinya sebelum dieksekusi. Permintaan itu dikabulkan karena dianggap
sesuai dengan standar hukum yang berlaku.
Namun, pemerintah tidak mengabulkan tiga permintaan Kartosoewirjo lainnya.
Permintaan kedua Kartosoewirjo yang tidak diterima pemerintah Indonesia
adalah keinginannya untuk bertemu dengan perwira terdekatnya di TII.
Permintaan itu ditolak karena dinilai ada sangkut pautnya dengan masalah politik.
Permintaan ketiga yang juga ditolak adalah agar eksekusinya disaksikan oleh
wakil dari keluarganya. Permintaan ini ditolak karena tidak sesuai dengan
ketetapan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dan permintaan terakhir Kartosoewirjo, permintaan keempat yang juga tidak
dikabulkan adalah keinginan agar jenazahnya dikembalikan ke pihak keluarga.
Permintaan ini ditolak karena dalam prosedur pelaksanaan hukuman mati,
tersangka yang dieksekusi dianggap hilang, termasuk juga kuburnya. Sehingga
memang sampai saat ini tidak jelas dimana jenazah Kartosoewirjo dimakamkan.

                                                            
40

 Ibid, hal. 98

Universitas Sumatera Utara