Gerakan Politik S. M. Kartosoewirjo (DI TII 1949-1962)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gerakan politik adalah gerakan sosial kemasyarakatan di bidang politik. Gerakan
politik bisa saja berfokus pada satu masalah atau dari serangkaian isu
permasalahan yang ada, bisa juga berfokus pada kolektivitas kegelisahan bersama
dari kelompok sosial.1
Berbeda dengan partai politik, gerakan politik tidak terorganisir dan memiliki
keanggotaan, bukan pula gerakan pada saat pemilu atas jabatan politik pada
kantor-kantor pemerintah akan tetapi lebih merupakan gerakan politik yang
berdasarkan kesamaan dalam kesatuan pandangan politik untuk tujuan tertentu
antara lain untuk meyakinkan atau menyadarkan publik atau masyarakat
termasuk pula para pejabat pemerintahan untuk mengambil tindakan pada
persoalan dan masalah yang merupakan fokus penyebab dari gerakan tersebut.
Sedangkan gerakan sosial, merupakan gerakan sekelompok yang berbentuk
informal dan terorganisir, berjumlah besar ataupun juga hanya individu yang
secara spesifik fokus pada isu – isu sosial atau politik dengan melaksanakan,
menolak, atau ,mengkampanyekan sebuah perubahan sosial. Gerakan sosial
merupakan gerakan yang secara sadar melibatkan orang dan organisasi dalam
jumlah yang memadai, yang diikat bersama oleh visi untuk melakukan perubahan

sosial.2

                                                            
1
2

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Politik diakses pada 28 Juli 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Sosial diakses pada 28 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo yang menggunakan Darul Islam dan Tentara
Islam Indonesia sebagai instrumen gerakannya, akan dikupas secara objektif dan
juga empiris dengan menggunakan teori – teori gerakan sosial, untuk kemudian
melihat apakah gerakan politik yang dilakukannya sesuai dengan aplikasi dari
teori – teori tersebut.
Tentu saja kondisi sistem politik yang tengah berlangsung di Indonesia pada saat
awal kemerdekaan juga perlu diketahui, khususnya di tahun 1949, dimana pada
tahun


inilah

akhirnya

Kartosoewirjo

kemudian

memutuskan

untuk

mendeklarasikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.
Sejak permulaan kemerdekaan Indonesia, bangsa ini menginginkan sebuah
Negara kesatuan yang melindungi segenap bangsa. Namun setelah berakhirnya
perang dunia kedua, dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada
Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia dan kembali berusaha untuk
mengubah susunan Negara RI.3
Serangkaian peristiwa sejarah yang terjadi, menunjukkan upaya – upaya yang
dilakukan Belanda


untuk kembali menguasai Indonesia.4 Perjanjian Roem

Royem, perjanjian Linggarjati, Agresi Militer Belanda I dan II, RIS, dan
sebagainya telah menunjukkan bagaimana ngototnya upaya Belanda dalam
menguasai kembali Indonesia.
Indonesia di awal kemerdekaan pernah memakai sistem parlementer, dengan
Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia pada Desember 1945.5 Dan
pada masa jabatan Sjahrir, Belanda kemudian memenangkan diplomasi dengan
Sjahrir dan ditandatanganilah perjanjian Linggarjati.

                                                            
3

Al Chaidir, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.Kartosoewirjo, Jakarta : Darul
Farah, 1999 hal. 67
4 Kansil Christine, Sistem Pemerintahan Indonesia, Jakarta : Bumi Aksara, 2008 hal. 38
5 Ibid, hal. 37

Universitas Sumatera Utara


Lalu pada bulan Juli 1947, Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai
Menteri Pertahanan diangkat untuk menggantikan Sjahrir sebagai Perdana
Menteri Indonesia.6 Dalam kapasitasnya sebagai Perdana Menteri, dia
menawarkan kepada S.M. Kartosoewirjo untuk turut serta duduk dalam
kabinetnya menjadi Wakil Menteri Pertahanan kedua. Namun kemudian tawaran
itu ditolak oleh Kartosoewirjo.
Penolakan itu dikarenakan Kartosoewirjo ingin menarik diri dari gelanggang
politik pusat akibat menyaksikan kondisi politik yang tidak menguntungkan bagi
Indonesia disebabkan berbagai perjanjian yang diadakan pemerintah RI dengan
Belanda. Di samping itu Kartosoewirjo tidak menyukai arah politik Amir
Syarifudin yang kekiri-kirian.
Bahkan dimasa jabatan Amir Syarifudin, pada 17 Januari 1948, Indonesia dan
Belanda pun menandatangani perjanjian Renville di atas kapal perang Amerika
Serikat yang dianggap netral, USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung
Priok, Jakarta.
Perundingan ini sebenarnya sudah dimulai sejak 8 Desember 1947 dan ditengahi
oleh Komisi Tiga Negara (KTN), Committee of Good Offices for Indonesia, yang
terdiri dari Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Delegasi Indonesia dipimpin
oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap. Delegasi Kerajaan Belanda

dipimpin oleh Kolonel KNIL R. Abdul Kadir Wijoyoatmojo. Delegasi Amerika
Serikat dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Adapun isi dari perjanjian Renville ini adalah bahwa Belanda hanya mengakui
sebagian Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera sebagai bagian dari wilayah
Indonesia dan disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah
Indonesia dan daerah kekuasaan Belanda.7 Maka untuk itu pula, pusat
                                                            
6
7

http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1945-1949) diakses pada 3 September 2012
http://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_Renville diakses pada 10 Juli 2012

Universitas Sumatera Utara

pemerintahan pun dipindahkan ke Jawa Tengah dan seluruh Tentara Indonesia
harus ditarik kembali ke wilayah yang masih menjadi bagian Indonesia saja.
Kartosoewirjo melihat ini sebagai bentuk kegagalan pemerintah Indoensia
mempertahankan kedaulatannya. Dan kemudian memilih untuk mendeklarasikan
sendiri pemerintahannya dengan mendirikan sebuah Negara yang berlandaskan

Islam di Indonesia, dan dia melihat perjanjian Renville mengakibatkan bahwa
Jawa Barat merupakan wilayah vacuum of power.
Maka pada tahun 1949 di Jawa Barat Kartosoewirjo bersama pengikutnya
memproklamasikan Negara Islam Indonesia, dan tentu saja Kartosoewirjo
diangkat sebagai imamnya. Kemudian gerakan ini lebih dikenal dengan adDaulatul Islamiyah atau Darul Islam, dan basis kekuatan militernya disebut
Tentara Islam Indonesia, dan selalu dikaitkan Darul Islam dengan Tentara Islam
Indonesia sehingga masyarakat kemudian lebih akrab menyebutnya DI/TII.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja
diproklamasikan kemerdekaannya menjadi negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa hukum yang berlaku dalam
Darul Islam adalah hukum Islam, lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
dinyatakan bahwa dalam Darul Islam hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan
Hadits. Proklamasi Darul Islam dengan tegas menyatakan kewajiban negara
untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan
yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka
sebut dengan hukum kafir.8
B. Rumusan Masalah
Pokok masalah dalam skripsi ini adalah, bagaimana gerakan politik yang
dilakukan


oleh

Sekarmadji

Maridjan

Kartosoewirjo,

dan

bagaimana

                                                            
8

http://id.wikipedia.org/wiki/Negara_Islam_Indonesia diakses pada 3 September 2012

Universitas Sumatera Utara

Kartosoewirjo menggunakan Darul Islam dan juga Tentara Islam Indonesia

sebagai instrumen atau alat dalam gerakan politiknya.
C. Pertanyaan Penelitian
Yang menjadi pertanyaan dalam skripsi ini adalah :
1. Apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh Kartosoewirjo dengan
mendirikan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia ?
2. Bagaimana Kartosoewirjo menggunakan instrumen DI/TII dalam konteks
gerakan sosial politik demi mencapai tujuannya tersebut ?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Negara Islam Indonesia oleh
Kartosoewirjo.
2. Untuk melihat gerakan – gerakan sosial politik yang dilakukan
Kartosoewirjo dalam mencapai tujuannya dengan menggunakan
DI/TII sebagai instrument dalam perjuangannya.

E. Manfaat Penelitian
Tentu saja penulisan skripsi ini diharapkan memberikan dampak positif dan manfaat
yang berarti bagi penulis secara pribadi dan juga bagi kalangan akademisi tentunya,
seperti :
1. Untuk meningkatkan kapasitas penulis dalam membuat sebuah karya tulis

ilmiah yang baik.
2. Menyusun

sebuah

kerangka

pemikiran

politik

yang

diharapkan

mampu menambah literatur mahasiswa ilmu politik khusunya dan
seluruh mahasiswa FISIP USU umumnya.
3. Memperkaya wawasan tentang tokoh - tokoh pemikir Islam yang jarang

Universitas Sumatera Utara


dibahas secara teoritis baik di kampus ataupun di forum - forum resmi.
4. Skripsi ini diharapkan mampu menggabarkan konsep Negara Islam dalam
perspektif yang berbeda dan menggali nilai - nilai positif yang bisa
diaplikasikan dalam kehidupan sosial saat sekarang.

F. Tinjauan Pustaka
Sejauh pengetahuan saya, yang pernah menerbitkan karya atau tulisan tentang
Kartosoewirjo sampai saat ini masih terbilang sedikit. Salah satu yang paling
fokus dalam mengkaji Kartosoewirjo adalah Al Chaidar.
Skripsi S1-nya di ilmu politik FISIP UI tahun 1996 juga mengangkat tema
tentang Darul Islam dan juga Kartosoewirjo. Al Chaidar juga menulis buku
dengan judul Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M.
Kartosoewirjo, yang buku ini selain mengangkat tentang pokok – pokok
pemikiran seorang Kartoseowirjo, juga mencoba mengungkap manipulasi sejarah
Darul Islam semasa pemerintahan orde lama dan orde baru.
Al Chaidar menggambarkan sosok Kartosoewirjo sebagai seorang yang sangat
tidak menyukai kompromi, dan tetap tegas dengan keyakinannya bahwa sebuah
Negara yang berlandaskan pada ajaran Islam harus segera ditegakkan.
Agak senada dengan Al Chaidar, Damien Dematra juga menulis tentang

Kartosoewirjo ke dalam sosok yang sangat prinsipil dan tidak suka berkompromi
untuk urusan – urusan yang prinsip.
Dia menggambarkan dari kecil Kartosoewirjo berada dalam lingkungan keluarga
yang dekat dengan Belanda, Kartoseowirjo juga pernah sekolah dengan anak –
anak Belanda, namun tetap saja Kartosoewirjo tidak suka terhadap penjajahan
Belanda dan menginginkan kemerdekaan di Indonesia terwujud secepatnya.

Universitas Sumatera Utara

Permasalahannya adalah ketika sudah merdeka, apa yang akan menjadi landasan
Negara nantinya, itulah yang menjadi awal pertentangan Kartosoewirjo dengan
tokoh – tokoh pejuang kemerdekaan lainnya pada waktu itu. Kendati begitu,
Kartosoewirjo tidak memilih jalan yang frontal, ketika tahu bahwa tidak ada
harapan untuk memproklamasikan Darul Islam pada 1945, Kartosoewirjo
memilih untuk hijrah ke Jawa Barat.
Al Chaidar dan Damien Dematra dalam tulisannya, mengungkap secara objektif
nilai – nilai yang positif tentang pemikiran – pemikiran dan gerakan perjuangan
yang dilakukan oleh Kartosoewirjo.
Selain itu, penulis lain yang juga menulis tentang Kartosoewirjo adalah Roso
Daras. Namun Roso Daras mencoba membandingkan pemikiran – pemikiran
Kartosoewirjo dengan pemikiran – pemikiran Soekarno.
Dia mengungkap bahwa yang dibalik gerakan darul islam itu adalah Amerika dan
juga yang membantu dana Darul Islam adalah juga Amerika, dan upaya – upaya
yang dilakukan oleh Kartosoewirjo dalam memuluskan jalannya adalah dengan
membunuh Soekarno dan itu juga terkait dengan kepentingan Amerika waktu itu,
yang kita tahu bersama bahwa Soekarno memiliki hubungan yang dekat dengan
Rusia.
Namun ketiga penulis tersebut memiliki objek penelitian yang berbeda dalam
tulisannya, Al Chaidar lebih ingin mengungkap manipulasi sejarah yang
dilakukan orde lama dan orde baru tentang Kartosoewirjo dan Darul islam.
Sedangkan Damien Dematra ingin mempertanyakan kembali tentang label teroris
yang disematkan sejarah kepada Kartosoewirjo, apakah memang kartosoewirjo
seorang teroris ataukah pahlawan, karena itu Damien coba mengunngkap kembali
riwayat kartosoewirjo dan pokok – pokok pemikirannya.

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan Roso Daras sebenarnya lebih fokus dalam mengangkat sosok
Soekarno. Namun dengan sudut pandang yang berbeda, yaitu membandingkan
pemikiran Soekarno dengan pemikiran Kartosoewirjo.
Sedangkan skripsi ini akan lebih fokus kepada gerakan politik yang dilakukan
oleh Kartosoewirjo dengan Darul Islam sebagai instrumen gerakannya.
G. Kerangka Teori
1.Teori – Teori Gerakan Sosial
Ada banyak teori yang menjelaskan proses terbentuknya gerakan sosial. Teori
tersebut setidaknya bisa dilihat dari dua perspektif bidang ilmu, perspektif
psikologi dan juga sosiologi.9
Dari perspektif psikologi, menjelaskan bahwa tumbuhnya gerakan sosial berawal
dari faktor kepribadian yang dapat dijelaskan lewat dua teori, pertama, teori
ketidakpuasan (discontent theory). Teori ini menyatakan bahwa munculnya
gerakan sosial berawal dari perasaan ketidakpuasan. Orang yang hidupnya
cenderung nyaman dan puas, biasanya kurang tertarik pada gerakan sosial.
Ada beragam bentuk ketidakpuasan, mulai dari luapan kemarahan orang – orang
yang merasa dikorbankan oleh ketidakadilan yang kejam sampai tingkat
kejengkelan terendah dari orang – orang yang tidak menyukai perubahan sosial
tertentu. Pada semua masyarakat modern, selalu saja terdapat kadar
ketidakpuasan yang cukup untuk mendorong terciptanya gerakan sosial.
Ketidakpuasan memang merupakan kondisi yang diperlukan dalam proses
kelahiran suatu gerakan sosial, tetapi kondisi ketidakpuasan saja belum cukup
untuk membangkitkan gerakan sosial.
Kedua, teori ketidakmampuan penyesuaian diri pribadi (personal maladjustman
theory). Teori ini mengatakan bahwa gerakan sosial merupakan tempat untuk
                                                            
9

Nanang Martono, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Rajawali Pers, 2011 hal. 228

Universitas Sumatera Utara

menyalurkan kegagalan pribadi. Orang yang merasa kecewa dan gagal lebih
tertarik untuk ikut serta dalam gerakan sosial daripada orang yang sudah merasa
puas dan senang.
Teori gerakan sosial dari disiplin ilmu sosiologi lebih melihat faktor masyarakat
daripada individu sebagai pemicu munculnya gerakan sosial.10Pertama, teori
deprivasi relative (relative deprivation theory). Konsep ini dikembangkan oleh
Stouffer. Menurut teori ini, seseorang merasa kecewa karena adanya kesenjangan
antara harapan dan kenyataan.
Orang yang mengharap mendapatkan sedikit kemudian mendapat lebih sedikit
dari yang diharapkan, akan merasakan kadar kekecewaan yang lebih rendah
daripada orang yang sudah mendapat banyak, tapi masih menginginkan yang
lebih lagi dari yang sudah didapatkan. Faktor ini juga dipicu oleh proses
melemahnya kendali dan tradisi kesukuan yang biasanya disertai dengan
meningkatnya kadar keinginan.
Kedua, teori mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory). Teori ini
menekankan pada faktor teknis, bukan penyebab munculnya gerakan sosial. Teori
ini menjelaskan mengenai pentingnya pendayagunaan sumber daya secara efektif
dalam menunjang gerakan sosial, karena gerakan sosial yang berhasil
memerlukan organisasi dan taktik yang efektif.
Dalam teori ini, kepemimpinan, organisasi dan taktik merupakan faktor utama
yang menentukan sukses atau gagalnya suatu gerakan sosial. Dalam hal ini,
sumber daya yang dimaksud bisa saja seperti pandangan dan tradisi penunjang,
peraturan hukum yang mendukung organisasi dan pejabat yang dapat membantu,

                                                            
10Ibid,

hal : 229

Universitas Sumatera Utara

manfaat yang mungkin untuk dipromosikan, kelompok sasaran yang dapat terikat
oleh manfaat tersebut dan sumber daya penunjang lainnya.11
Ketiga, Teori proses-politik. Teori ini erat berkaitan dengan teori mobilisasi
sumber daya. Pendekatan teori proses-politik menenkankan pada peluang –
peluang bagi gerakan yang diciptakan oleh proses politik dan sosial yang lebih
besar.
Terlepas dari itu, Jurgen Habermas, sebagaimana dikutip oleh Pasuk Phongpichit
(2004) menyatakan bahwa Gerakan sosial adalah Devensive relations to defend
the public and private sphere of individuals against the inroad of the state system
and market economy. (Gerakan sosial adalah hubungan devensif individu –
individu untuk melindungi ruang publik dan privasi mereka dengan melawan
serbuan dari system Negara dan ekonomi pasar).12
Sedangkan Anthony Giddens menyatakan gerakan sosial sebagai upaya kolektif
untuk mengejar kepentingan bersama atau gerakan mencapai tujuan bersama atau
gerakan bersama melalui tindakan kolektif (collective action) diluar ruang
lingkup lembaga – lembaga yang mapan.13 Sedangkan Mansoer Fakih
menyatakan bahwa gerakan sosial dapat diartikan sebagai kelompok yang
terorganisir secara tidak ketat dalam rangka tujuan sosial terutama dalam usaha
merubah struktur maupun nilai sosial.14 Lalu Robert Misel dalam bukunya Teori
Pergerakan Sosial, mendefenisikan gerakan sosial sebagai seperangkat keyakinan

                                                            
11

Horton dan Hunt, Sosiologi Jilid 2(diterjemahkan dari Sociolgy oleh Aminuddin Ram dan Tita Sobari),
Jakarta : Erlangga, 1992 hal : 58
12http://pioner.netserv.chula.ac.th/~ppasuk/theorysocmovt.doc diakses pada 28 Mei 2012
13 Fadhillah Putra dkk, Gerakan Sosial, Konsep, Strategi, Aktor, Hambatan dan Tantangan Gerakan Sosial
di Indonesia, Malang : PlaCID’s dan Averroes Press, 2006 hal. 1
14 Mansoer Fakih, Tiada Transformasi tanpa Gerakan Sosial, dalam Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum
Terpinggir : Studi Tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan, Yogyakarta : Insist Press, 2002 hal.
xxvii

Universitas Sumatera Utara

dan tindakan yang tak terlembaga yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk
memajukan atau menghalangi perubahan dalam masyarakat.15
Tetapi, David Meyer dan Sidney Tarrow, dalam karya mereka Social Movement
Society, memasukkan semua ciri yang sudah disebutkan di atas dan mengajukan
sebuah defenisi yang lebih inklusif tentang gerakan sosial, yakni : Tantangan –
tantangan bersama, yang didasarkan atas tujuan dan solidaritas bersama, dalam
interaksi yang berkelanjutan dengan keliompok elite, saingan atau musuh, dan
pemegang otoritas.16
Kita dapat melihat dua pokok pikiran yang tampil menonjol dalam definisi ini,
pertama, gerakan-gerakan sosial melibatkan ‘tantangan kolektif’, yakni upaya –
upaya yang terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam aransemenaransemen kelembagaan. Tantangan – tantangan ini bisa berpusat pada kepada
kebijakan – kebijakan publik atau ditujukan untuk mengawali perubahan yang
lebih luas dalam struktur lembaga – lembaga sosial dan politik, distribusi jaminan
sosial, atau bisa juga menyangkut konseptualisasi

mengenai hak – hak dan

tanggung jawab sosial dan politik.
Lalu fitur yang kedua, adalah corak politis yang inheren di dalam gerakan –
gerakan sosial. Ini terutama terkait dengan tujuan – tujuan yang hendak dicapai
lewat gerakan – gerakan sosial, yang secara tipikal mencakup perubahan di dalam
distribusi kekuasaan dan wewenang. Tujuan – tujuan politis ini hanya mungkin
dicapai lewat interaksi – interaksi yang terus – menerus, berkelanjutan, dengan
aktor – aktor politik di luar gerakan, yang terpenting di antaranya adalah sekutu –
sekutu dan pesaing – pesaing politik dan pemegang otoritas kekuasaan.
Denny JA menyatakan adanya tiga kondisi yang menyebabkan lahirnya gerakan
sosial, yang pertama, gerakan sosial dilahirkan dengan kondisi yang memberikan
                                                            
15

Robert Misel, Teori Pergerakan Sosial, Yogyakarta : Resist Book, 2004 hal. 6-7
David Meyer dan Sidney Tarrow. The Social Movement Society, 1998.
Lihat http://www.socialmovement.com//social_movement_society diakses pada 28 Mei 2012
16

Universitas Sumatera Utara

kesempatan bagi gerakan itu. Pemerintah yang moderat misalnya, memberikan
kesempatan bagi timbulnya gerakan sosial ketimbang pemerintahan yang sangat
otoriter.
Kedua, gerakan sosial timbul karena meluasnya ketidakpuasan atas situasi yang
ada. Perubahan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern misalnya, akan
menimbulkan kesenjangan ekonomi yang semakin luas antara si kaya dan si
miskin. Selain itu, perubahan ini juga bisa menyebabkan krisis identitas dan
lunturnya nilai – nilai sosial yang telah lama ada. Perubahan itu akan
menimbulkan gejolak dari kelompok yang merasa dirugikan dan kemudian
meluas menjadi gerakan sosial.
Ketiga, gerakan sosial semata – mata masalah kemampuan kepemimpinan dari
tokoh penggerak. Sang tokoh penggerak akan menjadi inspiratory, membuat
jaringan, membangun organisasi yang menyebabkan sekelompok orang
termotivasi untuk terlibat dalam gerakan tersebut.17 Secara sekilas, poin ketiga ini
dapat menggambarkan salah satu penyebab munculnya gerakan Darul Islam yang
dimotori oleh Kartosoewirjo ini adalah tak lepas dari sosok kepemimpinan dari
Kartosoewirjo ini sendiri.
Lebih jauh, dalam memahami dan menjelaskan fenomena gerakan sosial, para
ahli ilmu sosial mengembangkan wacana yang pada tataran teoritis telah
melahirkan beberapa pendekatan untuk bisa lebih menjelaskan gerakan sosial.
Paradigma teoritis dari gerakan sosial mungkin bisa dimasukkan dalam istilah
yang berbeda – beda.
Selain paradigma neo-marxisme, pendekatan yang mendominasi hingga awal
1970-an adalah konsep perilaku kolektif interaksionis dan konsep gerakan sosial
mahzab Chicago, serta model struktural – fungsional. Paradigma yang terakhir ini
merupakan perspektif yang paling luas dianut saat ini.
                                                            
17

Noer Fauzi, Memahami Gerakan – Gerakan Rakyat Dunia Ketiga, Yogyakarta : Insist Press, 2005 hal. 21

Universitas Sumatera Utara

Berikut kita akan melihat beberapa teori – teori gerakan sosial

yang dapat

menggambarkan secara empiris bagaimana gerakan politik Kartosoewirjo.
1.1 Teori Pilihan Rasional
Teori ini dipengaruhi oleh pemikiran ekonomi neo-klasik yang menjelaskan
bahwa setiap individu memiliki daya nalar yang tinggi. Dalam artian tidak serta
merta selalu berada dibawah tekanan struktur sosial.
Bahkan teori ini mampu memberikan penjelasan mengenai perubahan sosial yang
terjadi di setiap masa tertentu yang berdampak pada perubahan stuktural dan
kultural.
Menurut Coleman, salah seorang teoritis pilihan rasional ternama bahwa setiap
tindakan sosial seseorang bertujuan untuk mencapai hasil yang diinginkannya
secara individual, hal inilah yang akhirnya membentuk nilai dan juga preferensi
dari si aktor. Dengan kata lain, bahwa setiap individu tidak selalu memiliki tujuan
dan orientasi yang sama, karena manusia adalah makhluk yang khas dan kreatif.18
Tindakan-tindakan sosial yang dilakukan oleh setiap aktor pada dasarnya
ditujukan untuk memperbesar manfaat yang diterimanya. Sehingga dalam teori
ini ada dua kata kunci, yaitu; para aktor dan juga sumberdaya.
Dalam upaya menghubungkan wilayah mikro dengan ranah makro, Coleman
mengenalkan konsep tindakan bersama. Tindakan bersama yaitu kumpulan dari
setiap tindakan individu yang pada akhirnya menciptakan keseimbangan.
Keseimbangan itu tercipta karena adanya saling kontrol atas tindakan-tindakan
individu yang ada dalam suatu kelompok sosial.

                                                            
18

http://yudomahendro.wordpress.com/2012/03/30/membahas-teori-pertukaran-teori-jaringan-serta-teoripilihan-rasional diakses 3 September 2012

Universitas Sumatera Utara

Coleman mencontohkan bagaimana di dalam demokrasi voting yang merupakan
kumpulan dari keinginan masing-masing individu pada akhirnya diputuskan
suara terbanyaklah yang akhirnya ditetapkan sebagai tindakan bersama.
Walaupun begitu, selalu ada ruang perubahan terutama jika mengandalkan
rasionalitas yang dapat diterima oleh akal sehat setiap anggota kelompok sosial,
maka tak dapat dipungkiri perubahan sosial akan terjadi.
1.2 Teori Pertukaran Sosial
Teori pertukaran sosial adalah teori dalam ilmu sosial yang menyatakan bahwa
dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan
yang saling memengaruhi. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia
memandang tentang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan
diri manusia tersebut terhadap keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam
hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu, juga jenis hubungan yang
dilakukan, dan kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang
lain.19
Pada umumnya, hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan
masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling memengaruhi dalam
hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran , pengorbanan dan keuntungan.
Ganjaran

merupakan

segala

hal

yang

diperolehi

melalui

adanya

pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan
keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial
terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan
untung-rugi.
Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling
memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat
                                                            
19

http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Pertukaran_Sosial diakses pada 3 September 2012

Universitas Sumatera Utara

sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling
memberikan dukungan dikala sedih.
Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan
biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan
lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat
sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut
penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. Namun, biaya
tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisis secara obyektif
hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan.
Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang
terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang
diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang
sudah diberikan.
Analisa mengenai hubungan sosial yang terjadi menurut cost and reward ini
merupakan salah satu ciri khas teori pertukaran. Teori pertukaran ini memusatkan
perhatiannya pada tingkat analisis mikro, khususnya pada tingkat kenyataan
sosial antarpribadi (interpersonal).
Pada pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh
Homans dan Blau. Homans dalam analisisnya berpegang pada keharusan
menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku
sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain pihak
berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antarpribadi di tingkat mikro, ke
tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan
bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses
pertukaran dasar.
Berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori interaksi simbolik, teori
pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses yang bersifat

Universitas Sumatera Utara

subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang tidak
memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubunganhubungan timbal balik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan
interaksi nyata seperti yang terjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih
jauh berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata
yang dapat diamati dan diukur secara empirik.
Menurut Homans, manusia memiliki daya nalar yang akhirnya dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan atas sikap-sikapnya selanjutnya. Juga ia melihat
pengaruh norma sosial sebagai penghambat atas tindakan sosial seseorang. Atas
dasar itulah, manusia menggunakan pengalaman-pengalamannya untuk memiliki
sikapnya dalam merespon sesuatu yang ada di dalam dunia sosial.
Dalam hal ini Homans banyak memberikan contoh mengenai proposisi-proposisi
dari interaksi antar manusia dan ia pun menjelaskan mengenai pentingnya
pengalaman memberikan petunjuk bagi manusia untuk mengulanginya lagi.
Menurut Homans, bahwa pengulangan tindakan manusia merupakan respon
empirik terhadap hasil yang baik yang telah diterimanya pada masa yang lampau.
Sehingga dalam persepsi manusia ia selalu mempertimbangkan antara mana yang
menguntungkan dan mana yang tidak, mana yang berpeluang lebih besar mana
yang tidak, serta mana yang menyenangkan dan mana yang mengecewakan.
Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa manusia dalam kehidupannya
berupaya untuk selalu mendapatkan hasil yang baik atau keuntungan atas
tindakan-tindakan sosialnya.
Namun walaupun begitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa manusia
memiliki nalar dibandingkan dengan makhluk lainnya dalam bertindak. Maka
Homans memberikan penjelasan mengenai adanya jarak antara tindakan pertama
dengan hasil yang diperoleh. Jika manusia mendapatkan apa yang dilakukannya
secara reguler maka akan terjadi suatu kebosanan dalam beraktivitas, sedangkan

Universitas Sumatera Utara

jika kemungkinan atas hasil yang didapatkan tidak terbayangkan, itulah yang
membuat individu memiliki ketertarikan yang lebih untuk bertindak pada masa
selanjutnya.
Selanjutnya teoritis pertukaran lainya adalah Blau. Jika Homans, melihat
pertukaran terjadi pada ranah antar individual, Blau mencoba mengisi
kekosongan antara relasi interaksi antar individual dengan ranah yang lebih
makro; masyarakat.
Ia mencoba menjelaskan bagaimana kehidupan sosial menjadi terorganisir dan
terbentuk dalam stuktur yang kompleks. Ia menawarkan empat tahap dalam
mengidentifikasi progres dari tingkat mikro ke ranah makro. Pertama, bagaimana
interaksi dan pertukaran terjadi diantara individu. Dalam hal ini diidentifikasi,
siapa mendapat apa dalam relasi tersebut.
Kedua, melihat adanya perbedaan status dan kekuatan, berbeda dengan Homans
yang seakan-akan tidak memperhatikan adanya perbedaan kekuatan dalam setiap
individu, Blau sangat fokus terhadap ini.
Tahap ketiga, adalah melihat bagaimana terbentuknya legitimasi dan organisasi
yang ada di masyarakat. Legitimasi dan organisasi merupakan bentuk nyata
adanya ketidaksamaan kekuatan manusia yang terlembaga di dalam struktur
sosial.
Selanjutnya, terakhir yang keempat, munculnya oposisi dan perubahan. Puncak
dari proses sosial ini adalah adanya perubahan struktur sosial yang diinisiasi oleh
para oposan yang tidak puas terhadap sistem sosial yang ada. Dengan demikian,
dapat disimpulkan proses tahapan ini merupakan siklus relasi mikro dan makro
dalam kehidupan manusia.
Dalam menjelaskan pada ranah mikro, Blau menjelaskan adanya proses
“pemberian kredit’’ bagi siapa saja yang dalam perjalanan interaksi sosial

Universitas Sumatera Utara

memberikan hasil yang memuaskan untuk si aktor. Selanjutnya, menurut Blau
interaksi sosial terjadi pertama kali dalam kelompok sosial, dalam artian bahwa
manusia selalu berada dalam konteks norma dan nilai suatu kelompok.
Dengan demikian, untuk bergabung kedalam kelompok sosial tersebut harus ada
relasi saling menguntungkan antara kelompok sosial dan juga si calon anggota
baru.
Pada tahap selanjutnya, ia menjelaskan bagaimana di dalam kelompok sosial
tersebut terjadi kompetisi untuk mendapatkan pengakuan sosial dari anggota
kelompok. Proses inilah yang memunculkan pemimpin di suatu kelompok sosial.
Dengan demikian, si pemimpin (leader) memiliki otortitas yang lebih untuk
menerapkan aturan dan juga norma yang berlaku bagi para anggota lainnya.
Norma dan nilai yang telah terlegitimasi dalam suatu kelompok sosial itulah yang
membentuk atau mengatur relasi-relasi sosial yang terjadi di dalam suatu
kelompok.
Kontribusi kepada teori pertukaran selanjutnya diberikan oleh Emerson. Dalam
hal ini kekhususan Emerson adalah perhatiannya yang lebih terhadap
ketergantungan kekuatan dalam interaksi sosial.
Selanjutnya ia menyatakan bahwa relasi sosial dan juga jejaring sosial menjadi
dasar dari teori pertukaran yang dikembangkannya. Ia menyadari bahwa setiap
interaksi sosial yang dilakukan oleh individu selalu diorientasikan kepada
keuntungan, namun karena dalam setiap interaksi tersebut ia mendapatkan
kepuasan, maka terjadilah pengurangan kegunaan dari setiap keuntungan yang
didapatkan. Maka terciptalah arus dari keuntungan dalam setiap interaksi sosial,
karena

sitiap

individu

menginginkan

adanya

pertukaran

yang

lebih

menguntungkan.

Universitas Sumatera Utara

Penjelasan lainya yang cukup penting dari Emerson adalah jejaring pertukaran
merupakan sebuah spesifik struktur sosial yang dibentuk oleh relasi pertukaran
antara dua aktor atau lebih. Dengan adanya ketidakseimbangan kekuatan dalam
setiap individu, maka terciptalah suatu sistem sosial yang memberikan reward
dan punishment dalam interaksi sosial yang terjadi dalam suatu kelompok sosial
tertentu.
Proses pertukaran sosial ini juga telah diungkapkan oleh para ahli sosial klasik.
Seperti yang diungkapkan dalam teori ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para
ahli ekonomi seperti Adam Smith sudah menganalisis pasar ekonomi sebagai
hasil dari kumpulan yang menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual
yang tidak dapat dilihat besarnya.
Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi hanya
apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari pertukaran tersebut, dan
kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik sekali dijamin
apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan pribadinya
melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
1.3 Teori Mobilisasi Sumber Daya
Teori mobilisasi sumber daya muncul sebagai antitesa dari pandangan yang
mengatakan bahwa gerakan sosial muncul akibat dari penyakit sosial. Dalam
pandangan lama mengatakan bahwa gerakan sosial muncul akibat adanya
dukungan dari pihak – pihak mengalami penindasan, teraliansi dan terisolasi
dalam masyarakat.
Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial muncul karena tersedianya faktor –
faktor pendukungnya, seperti adanya sumber – sumber pendukung, tersedianya
kelompok koalisi dan adanya dukungan dana, adanya tekanan dan upaya

Universitas Sumatera Utara

pengorganisasian yang efektif serta sumber daya yang penting berupa ideologi.20
Teori ini lebih menekankan pada permasalahan teknis, bukan pada sebab
mengapa gerakan sosial muncul. Para penganut teori mobilisasi sumber daya ini
memandang bahwa kepemimpinan, organisasi dan teknik sebagai faktor yang
menentukan sukses tidaknya sebuah gerakan sosial.
Lahirnya pandangan positif merupakan implikasi dari perkembangan gerakan
sosial dewasa ini, yang dinilai telah berhasil mendorong proses demokratisasi.
Gerakan sosial yang dimaksud adalah gerakan perjuangan hak – hak sipil,
gerakan anti kolonial, feminisme, gerakan hak asasi manusia dan gerakan anti
rasial.21
Varian yang berbeda didalam perspektif mobilisasi sumber daya memiliki logika
yang sama, para ahli berpendapat bahwa gerakan sosial menggunakan penalaran
instrumental-strategis, kalkulasi biaya, manfaat dan mengejar tujuan dan
kepentingan secara rasional.
Mereka juga sepakat dalam poin penting lainnya, bahwa gerakan sosial bukan
sebuah kejadian yang abnormal, tetapi bagian dari kehidupan sosial yang normal,
yang dianggap penuh potensi konflik. Karena tekanan tersebut, mereka menolak
ide bahwa tekanan atau kekecewaan dapat menjelaskan kemunculan dari gerakan
sosial, tetapi sebaliknya gerakan sosial lah yang memfokuskan ketegangan dan
ketidakpuasan itu.
1.4 Contentious Politics
Munculnya teori ini dikarenakan adanya anggapan bahwa beberapa teori dan
pendekatan yang selama ini ada untuk menganalisa suatu gerakan sosial memiliki
kelemahan dan keterbatasan dalam pengujiannya menganalisa gerakan sosial itu.

                                                            
20Mansoer
21

Fakih, Op.Cit., hal. xxvii
Noer Fauzi, Op.Cit., hal. 10 -11

Universitas Sumatera Utara

McAdam, mengidentifikasikan bahwa ada terdapat empat kelemahan pada
mekanisme teori – teori diatas, yaitu, pertama, mekanisme – mekanisme tersebut
terlalu statis dan tidak bersifat dinamis.
Kedua, mekanisme – mekanisme tersebut lebih relevan untuk menjelaskan
gerakan sosial dalam bentuk tunggal dengan cakupan yang relatif kecil sehingga
tidak dapat menjelaskan fenomena ketegangan politik yang terjadi pada suatu
gerakan sosial dengan cakupan yang cukup besar dan luas.
Ketiga, mekanisme – mekanisme tersebut muncul dalam konteks yang relatif
terbuka di Amerika, dengan organisasi gerakan sosial yang relatif besar dan
banyak secara kuantitas dibandingkan Negara – Negara selatan dimana organisasi
gerakan sosialnya lebih sedikit dan lebih tertutup.
Keempat, mekanisme – mekanisme tersebut lebih memfokuskan kepada asal –
asal gerakan daripada fase – fase perkembangannya.22
Oleh karena itu, untuk menjembatani kelemahan masing – masing dari
mekanisme teori – teori diatas, maka pada tahun 1995 McAdam, Tarrow dan
Tilly bertemu dan mencoba berkolaborasi mengintegrasikan serangkaian diskusi
dan seminar dan menyerap pendapat dan kritik dari akademis gerakan sosial
mengenai konsep yang telah ada dan juga konsep Contentious Politics yang akan
mereka ajukan.
Dan di tahun 2001, karya mereka Dynamics of Contentious dipublikasikan.
Dalam karya mereka tersebut, mereka menawarkan pendekatan yang sangat
dinamis dalam menganalisa rangkaian besar peristiwa – peristiwa gerakan, baik
gerakan sosial baru, revolusi, nasionalisme, maupun demokratisasi dimanapun
terjadi.
                                                            
22

McAdam, Political Process And The Development of Black Insurgency, 1930 – 1970 dalam Abdul Wahab
Situmorang, Gerakan Sosial : Studi Kasus Beberapa Perlawanan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2001 hal.
23 - 24

Universitas Sumatera Utara

Dalam buku tersebut, komponen mekanisme dan proses seperti struktur
kesempatan politik, struktur mobilisasi dan sebagainya dijadikan sebagai subjek,
bukan objek. Dengan kata lain, komponen – komponen tersebut dijadikan sebagai
kata kerja, bukan kata benda. Berdasarkan pengertian – pengertian di atas, ada
beberapa hal yang perlu dicatat sebagai karakteristik yang melekat dalam gerakan
sosial, yaitu :
-

Gerakan sosial merupakan salah satu bentuk perilaku kolektif.
Menurut para sosiolog, istilah perilaku kolektif secara harfiah
mengacu pada perilaku serta bentuk – bentuk peristiwa sosial yang
tidak dilembagakan. Kalimat ini digunakan oleh Asosiasi Sosiologi
Amerika untuk menyebut perilaku kolektif dan gerakan sosial.

-

Gerakan sosial senantiasa memiliki tujuan untuk membuat perubahan
sosial atau untuk mempertahankan suatu kondisi. Itu artinya, tujuan
sekelompok orang untuk melakukan gerakan sosial tidak selalu
disadari oleh morif perubahan, karena bisa saja disadari atau tidak,
gerakan sosial dilakukan untuk “mempertahankan” keadaan.

-

Gerakan sosial tidak identik dengan gerakan politik yang terlibat
dalam perebutan kekuasaan secara langsung.

-

Gerakan sosial merupakan perilaku kolektif yang terorganisasi, baik
formal maupun tidak. Gerakan sosial merupakan gejala yang lahir
dalam kondisi masyarakat yang konfliktual.

H. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif.
Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk melakukan pemahaman yang cermat
terhadap fenomena sosial berdasarkan gejala – gejalanya.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan
subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, maupun masyarakat pada saat
sekarang berdasarkan fakta – fakta yang tampak sebagaimana adanya.23
Sedangkan Muhammad Nazir mengatakan bahwa metode deskriptif adalah
pencarian fakta interpretasi yang tepat yang digunakan untuk mempelajari
masalah – masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam
masyarakat serta situasi – situasi tertentu, termasuk hubungan kegiatan, sikap –
sikap, pandangan – pandangan, serta proses – proses yang sedang berlangsung
dan pengaruh – pengaruh dari suatu fenomena.24
Penelitian deskriptif malakukan analisis dan menyajikan data – data serta fakta –
fakta secara sistematis sehingga dapat lebih mudah dipahami dan disimpulkan.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Metode penelitian kualitatif merupakan proses penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata – kata tertulis maupun lisan dan perilaku dari objek yang
diamati.25
Penelitian ini bermaksud untuk meneliti perilaku dan pemikiran politk
Kartosoewirjo

yang

diaplikasikan

dalam

gerakan

Darul

Islam

yang

diproklamasikannya. Maka data yang digunakan adalah data – data kepustakaan
dan dokumen – dokumen yang ada terkait dengan gerakan Darul Islam dan
Kartosoewirjo.
2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan data sekunder. Data
sekunder merupakan penggunaan library research atau studi pustaka dengan
                                                            
23Hadari

Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta : Gajah Mada Universitas Press, 1987
hal. 63
24 Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1998 hal. 64
25 Lexy Maelong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000 hal. 5

Universitas Sumatera Utara

mengumpulkan data dari buku – buku, literatur, dokumen – dokumen, artikel,
jurnal ilmiah, bulletin dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan
penelitian ini.
3. Analisa Data
Metode analisa data dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu suatu
metode dimana data yang diperoleh disusun dan diinterpretasikan sehingga
memberikan data keterangan terhadap masalah – masalah yang aktual
berdasarkan data – data yang sudah terkumpul dari penelitian.26
Dalam analisa data ini, data – data yang sudah diperoleh kemudian
dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Selanjutnya data dan informasi yang sudah
dikelompokkan tadi dianalisis secara korelasional; yakni dengan menghubungkan
antara variabel – variabel yang ada, dan argumentatif; yakni menyuguhkan
berbagai pendapat yang relevan dengan masalah serta dengan menggunakan
metode dialektika; yakni membenturkan argumentasi yang ada atau variabel yang
ada untuk mendapatkan kesimpulan tentang masalah yang diteliti.
I. Sistematika Penulisan
BAB I: Pada bab ini, akan dipaparkan tentang latar belakang penulisan, rumusan
masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teori yang dipakai serta metodologi penelitian yang dipakai dan juga
sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II : Pada bab ini, akan menjelaskan tentang sosok Kartosoewirjo, masa
kecilnya, latar belakang keluarganya, pendidikan yang pernah didapatnya, serta
perjuangan - perjuangannya semasa muda hingga dia menentukan Islam sebagai
jalan hidupnya dan keputusannya untuk mendirikan DI/TII.

                                                            
26

Hadari Nawawi, Op.Cit., hal : 65

Universitas Sumatera Utara

Dalam bab ini juga akan dijelaskan tentang perjalanan perjuangan Kartosoewirjo
sampai akhirnya Kartosoewirjo mendeklarasikan Darul Islam pada tahun 1949.
Dengan begitu diharapkan dapat dipahami pokok – pokok pemikiran dan gerakan
sosial yang dilakukan oleh Kartosoewirjo.
BAB III: Pada bab ini, akan dikaji secara mendalam apa - apa saja yang menjadi
pertanyaan dalam skripsi ini, apa sebenarnya tujuan yang ingin dicapai oleh
Kartosoewirjo dan bagaimana Kartosoewirjo menggunakan Darul Islam dan
Tentara Islam Indonesia sebagai instrumen yang dipakai oleh Kartosoewirjo
dalam gerakan sosialnya.
Pisau analisa yang digunakan adalah teori – teori gerakan sosial, skripsi nantinya
diharap dapat menjelaskan perjuangan Kartosoewirjo dengan menggunakan teori
gerakan sosial.
Skripsi ini tidaklah ingin menjelaskan tentang apa itu Darul Islam, tapi lebih
kepada Darul Islam sebagai instrumen dalam melaksanakan gerakan politik.
BAB IV : Ini merupakan bab penutup dan akan menyampaikan kesimpulan kesimpulan yang didapat dari pembahasan di skripsi ini serta saran dan
rekomendasi.

Universitas Sumatera Utara