DASAR HUKUM ISLAM terpadu yang

DASAR HUKUM ISLAM

A. SUMBER HUKUM ISLAM
1. Al-Qur’an
a. Pengertian Al-Qur’an
Secara etimologis, Al-Qur’an adalah mashdar dari kata qara’a yang artinya
bacaan. Secara terminologis Al-Qur’an adalah:

‫خاتم‬

‫على‬

‫المعجزالمنزل‬

‫الله‬

‫ههوواالكلم‬

‫ن‬
‫ا ول ا ه‬
‫قارا ه‬


‫النبياءوالمرسلين بواسطة المين جبريل عليه السلم‬
‫المكتوب فى المصاحف المنقول الينابالتواترالمتعبد‬
‫بتلوته المبدوبسورة الفاتحة المختتم بسورة الناس‬
“Alquran adalah Kalam Allah yang merupakan mukjizat, yang diturunkan
kepada Nabi dan Rasul penghabisan dengan perantaraan Malaikat terpercaya,
Jibril, tertulis dalam mushaf yang diriwayatkan kepada kita secara mutawatir,
membacanya merupakan ibadah, yang dimulai dari surah Al-Fatihah dan
diakhiri dengan surat An-Nas”1
b. Kehujjahan Al-Qur’an2
Semua ulama sependapat bahwa Al-Qur’an merupakan hujjah bagi setiap
muslim, karena ia adalah wahyu dan kitab Allah yang sifat periwayatannya
mutawatir. Periwayatan Al-Qur’an sendiri, selain dilakukan oleh orang banyak
dari satu generasi ke generasi yang sejak generasi sahabat Nabi, juga dilakukan
dalam bentuk lisan dan tulisan, dimana tidak seorang berbeda pendapat dalam
periwayatannya, padahal para perawi Al-Qur’an tersebut berbeda-beda suku,
bangsa, dan wilayah tempat tinggalnya. Berdasarkan kenyataan tersebut,
keberadaan seluruh ayat Al-Qur’an bersifat pasti (qath’i ats tsubut) sebagai wahyu
Allah.
c. Sifat Qath’i dan Zhanni Ayat-Ayat Al-Qur’an3

1 H. Sam’ani Sya’roni, Tafkirah Ulum Alquran (Al-Ghotasi Putra, 2006), hal. 11
2 Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: amzah, 2014), hal.117-119
3 Ibid,hal. 117-118

Sebagaimana telah disebutkan, ditinjau dari segi kepastian keberadaan
ayat-ayat Al-Qur’an, semua ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam mushaf Utsmani
adalah bersifat qath’I ats-tsubut, yang keberadaannya pasti. Artinya, secara
meyakinkan semuat ayat-ayat tersebut pasti bersala dari Rasulullah, dan tidak ada
satu ayat atau satu kata pun di dalamnya yang berasal dari pemikirannya atau
reka-rekaan sahabat. Sebab semua kata-kata dan ayat-ayatnya diriwayatkan secara
mutawatir dan melalui suatu verifikasi ilmiah yang sangat teruji, yang sampai
sekarang belum ada satu penelitian ilmiah yang mampu menandingi ketelitiannya.
Dengan demikian, tidak ada satu ayatpun di dalam Al-Qur’anyang bersifat zhanni
ats tsubut, yang keberadaanya tidak pasti.
Dalam pada itu, ditinjau dari segi tunjukan (dalalah) makna yang
terkandung di dalamnya, dapat dibagi dua:
1) Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalalah
2) Ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat zhanni ad-dalalah
Adapun yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat qath’i
ad-dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya bersifat pasti, dalam arti,

hanya mengandung satu makna saja. Ayat-ayat yang menjelaskan tentang pokokpokok keimanan, seperti tentang keesaan Allah, keberadaan dan misi para Rasul,
tentang malaikat, kitab-kitab suci yang diturunkan dan tentang kepastian dating
hari kiamat, tentang kewajiban-kewajiban utama sebagaimana yang dirumuskan
dalam rukus Islam, dan beberapa masalah hukum Islam lainnya, seperti:
haramnya riba dan makan babi. Tentang tujuan-tujuan utama persyariatan hukum
Islam yaitu meraih manfaat kemaslahatan, serta menolak bahaya dan
kemundaratan.
Selanjunya, yang dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat
zhanni ad dalalah ialah, ayat-ayat yang tunjukan maknanya mengandung lebih
dari satu makna. Maskipun keberadaan teks/redaksi/nashsh semua ayat-ayat AlQur’an berdifat pasti, namun dari segi makna yang terkandung di dalamn ayatayatnya terdapat banyak makna ayat bersifat zhanni ad-dallah.
Faktor-faktor terjadinya zhanni ad-dallah:
1) Faktor kebahasaan

Masalah kebahasaan dapat dipandang merupakan faktor yang paling
dominan melahirkan ketidakpastian makna suatu ayat. Faktor kebahasaan ini,
antara lain, lafal musytarak.
Contoh, surah al-Baqaraah (2):228:

‫ة قههرووءء‬
‫ن ب هوأن ه‬

‫مط ول ن لو‬
‫ن ث ول لوث و و‬
‫ف ه‬
‫ق ه‬
‫ووٱلص ه‬
‫سه ه ن‬
‫ت ي وت وورب نصص و‬

Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru’
Dalam bahasa Arab, kata quru’ sebagaimana yang terdapat dalam ayat di
atas dapat mengandung arti suci, dan dapat pula mengandung arti haid.
Karena kedua makna tersebut sama kuat dalam bahasa Arab. Oleh karena itu,
mazhab asy-syafi’i berpendapat maknanya suci. Akibat hukumnya, menurut
mazhab ini, masa ‘iddah wanita ditalak suaminya lebih pendek, jika
dibandingkan dengan pendapat mazhab Hanafi yang berpendapat makna kata
quru’ adalah haid.
2) Faktor rumusan-rumusan syara’
Faktor rumusan-rumusan syara’ ini, antara lain, berkaitan dengan naskh,
tarjih, pertentangan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah ushuliyyah.

d. Karakteristik dan Bentuk-Bentuk Penjelasan Hukum Al-Qur’an
Sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an sendiri, sebagai kitab wahyu, fungsi
Al-Qur’an, antara lain:4
1) Sebagai al-huda (petunjuk) bagi manusia yang bertakwa untuk keselamatan
dan kebahagiannya di dunia dan di akhirat
2) Sebagai rahmat yang mengantarkan manusia untuk hidup dengan penuh kasih
sayang, dan sebagai bukti bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang
3) Sebagai maw’izhah (bimbingan dan pengajaran) bagi manusia untuk
mencapai keluhuran dan kesucian fitrahnya tibyan (penjelasan) dan tafshil
(pemerinci) atas segala sesuatu yang perlu diketahui manusia untuk
kepentingan keselamtannya di dunia dan akhirat.
4) Sebagai furqan (pembeda antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan
yang salah, yang berada dalam jalan yang benar dan yang sesat)
5) Sebagai nur (cahaya) yang menerangi kalbu manusia untuk melihat kebenaran
dan menjadi benar dalam hidupnya.
Akan tetapi, meskipun Al-Qur’an bukan kitab undang-undang, namun di
dalam fungsinya sebagai furqan, tafshil, dan tibyan, Al-Qur’an mengandung ayat4 Ibid, hal. 125

ayat yang berisi ketentuan-ketentuan hukum Islam. Sesuai dengan kedudukannya
sebagai sumber hukum utama dan pertama dari hukum Islam, sebagaimana juga

halnya udang-undang dasar suatu Negara, aturan yang ketentuan hukum yang
terdapat di dalamnya, pada umumnya mengatur hal-hal yang bersifat umum dan
pokok. Penjabaran lebih lanjut dari ketentuan-ketentuan tersebut dijabarkan oleh
sunnah Nabi.
Ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terdapat di dalam Al-Qur’an ada
yang bersifat perintah, bersifat larangan, dan ada pula yang bersifat pilihan untuk
berbuat atau tidak berbuat.
e. Ayat-Ayat tentang Hukum dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum yang
jumlahnya sangat berbatas itu, berisi aturan-aturan tentang hubungan manusia
dengan hubungan Allah, hubungan antarsesama manusia, dan hubungan antara
manusia dengan alam sekitarnya.
Ayat-ayat yang mengatur huubungan manusia dengan Allah disebut
ibadah. Misalnya shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya. Adapun
hubungan antara sesama manusia, secara garis besar tersebut dengan muamalah.
Dalam kelompok ini, termasuk di dalamnya:
1) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah transaksi-transaksi bisnis
(jual beli, sewa-menyewa, utang piutang, gadai, dan upah) dan yang berkaitan
dengan harta orang lain (muamalah dalam arti sempit)
2) Ketentuan-ketentuan tentang perkawinan (munakahat), dan yang berkaitan

denganya, seprti: perceraian, talak, rujuk, pengasuhan anak, dan lain-lain.
3) Ketentuan-ketentuan tentang masalah kewarisan dan wasiat.
4) Ketentuan-ketentuan tentang hukum pidana (jinayat), seperti: pencurian
perampokan, perusakan harta benda, pembunuhan dan perzinahan, dan semua
masalah yang berkaitan dengan kejahatan terhadap harta dan seksual.
5) Ketentuan-ketentuan tentang peradilan.
6) Ketentuan-ketentuan tentang masalah politik dan tata Negara (siyasat dan
dusturiyyah).
7) Ketentuan-ketentuan tentang.
8) hubungan antar Negara (ahkam al-dualiyyah).

Sebagaimana telah dijelaskan, mengingat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan masalah hukum bersifat terbatas, maka sebagian besar dari
masalah-masalah di atas diatur dalam bentuk garis besarnya dan dasar-dasar
pokoknya saja. Ketentuan yang lebih terperinci memerlukan penjelasan dari hadis
maupun ijtihad, baik terhadap ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis
Meskipun ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hukum
bersifat terbatas dan sebagian besar hanya mengatur dasar-dasar dan masalah
pokok saja, namun karena Al-Qur’an berkedudukan sebagai sumber hukum
utama, maka semua ketentuan yang ada di bawahnya, baik berupa hadis, apalagi

ijtihad tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Al-Qur’an.
2. Sunnah
a. Pengertian Sunnah
Sunnah ialah apa yang bersumber dari Rasul, perkataan, atau perbuatan,
atau ketetapannya.5
Ditinjau dari segi etimologi, makna kata sunnah adalah perbuatan yang
semula belum pernah dilakukan kemudian diikuti oleh orang lain. Sementara
secara terminology, makna kata sunnah dapat ditinjau dari tiga disiplin ilmu
sebagai berikut:
1) Menurut para ahli hadis, sunnah sama dengan hadis, yaitu: sesuatu yang
dinishabkan kepada Rasulullah, baik perkataan, perbuatan, maupun sikap
beliau tentang suatu peristiwa.
2) Menurut para ahli usul fiqh, sunnah ialah: semua yang berkaitan dengan
masalah hukum yang dinisbahkan kepada Rasulullah, baik perkataan,
perbuatan, maupun sikap beliau terhadap suatu peristiwa.
3) Menurut ahli fiqh, makna sunnah mengandung dua pengertian, yang pertama
sama dengan yang dimaksud oleh ahli ushul fiqh. Sedangkan pengertian yang
kedua ialah: suatu perbuatan yang jika dikerjakan mendapat pahala, tetapi jika
ditinggalkan tidak berdosa. 6
Meskipun ketiga kelompok ahli disiplin ilmu di atas berbeda pendapat

dalam mendefenisikan sunnah, namun mereka sepakat bahwa dalam bidang
5 Syekh, Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012) hal. 37
6Abd. Rahman Dahlan, Op.Cit, hal. 131

agama, hanya Rasulullah yang dapat menjadi sumber sunnah. Sebab hanya beliau
saja yang bersifat ma’shum (bebas dari kesalahan), sedangkan manusia lainnya
tidak ma’shum, sehingga tidak dapat menjadi sumber ajaran agama Islam.
b. Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam
Kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam setidak-tidaknya dapat
dilihat dari dua sisi, yaitu: dari segi kewajiban umat Islam mematuhi dan
meneladani Rasulullah, dan dari segi fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an. Dari sisi
yang pertama dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.7
Melalui Al-Qur’an, Allah memerintahkan kepada kita untuk menempatkan
kepatuhan kepada-Nya sama dengan kepatuhan kepada Rasul-Nya. Alllah
berfirman dakam surah an-Nisa’ (4): 80

‫و‬
‫ن‬
‫قدص أ و و‬
‫سههلصن ول و‬

‫سو و‬
‫ك ع ول ويصههههمص‬
‫ل فو و‬
‫مهها أرص و‬
‫من ي هط ههع ٱلنر ه‬
‫ى فو و‬
‫طاع و ٱلل نهه ههه وو و‬
‫ن‬
‫مههن ت وههوول ل‬
‫في ظ‬
٨٠ ‫ظا‬
‫ح ه‬
‫و‬
Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan

barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu
untuk menjadi pemelihara bagi mereka
Demikian juga dalam surah an Nisa’ (4): 59

‫و‬

‫و‬
‫و‬
‫سو و‬
‫ل ووأ هواهلي‬
‫ه ووأ ه‬
‫من هووا ا أ ه‬
‫ي ولأي يوها ٱل ن ه‬
‫طيهعوا ا ٱلنر ه‬
‫طيهعوا ا ٱلل ن و‬
‫ن وءا و‬
‫ذي و‬
‫و‬
‫منك همصه فوهإن ت ون لووزعصت همص هفي و‬
‫شيصءء فوهريدوه ه إ هولى ٱلل نهه‬
‫ٱلصأمصره ه‬
‫و‬
‫ل هإن ه‬
‫خ ررء ذ لول ه و‬
‫خيصرر‬
‫ك و‬
‫ن ب هٱلل نهه ووٱلصي ووصم ه ٱلصأ ه‬
‫كنت همص ت هؤص ه‬
‫مهنو و‬
‫ووٱلنر ه‬
‫سو ه‬
‫و‬
٥٩ ‫ن ت وأصهويلل‬
‫ووأحص و‬
‫س ه‬

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya

Disamping itu, selain Allah memuji akhlak Rasullah, sebagai mana
terdapat dalam surah al-Qalam (68): 4
7 Ibid, hal. 138

‫ك ل وعول وى ه ه‬
‫ووإ هن ن و‬
٤ ‫ظيمء‬
‫ق عو ه‬
‫خل ق‬
‫ل‬
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”
Berdasarkan kutipan ayat-ayat di atas, menjadi sangat jelas, kepatuhan
kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari kepatuhan kepada Rasulullah. Dalam
pada itu, tentu saja mematuhi dan meneladani Rasulullah berarti pula mengikuti
aturan-aturan hukum yang ditetapkan beliau. Bahkan Al-Qur’an menegaskan,
keimanan seseorang tergantung pada kepatuhan seseorang kepada keputusankeputusan hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Dari sisi lain, tidak dapat dibayangkan adanya orang yang patuh kepada
ajaran-ajaran Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tanpa mempercayai kebenaran
Rasulullah dan mematuhi beliau. Sebab, sampainya Al-Qur ’an kepada seseorang
melalui lisan beliau, setelah sebelumnya diturunkan Allah melalui Jibril kepada
beliau.8
Selanjutnya, kedudukan sunnah sebagai sumber dan dalil ditinjau dari segi
fungsi sunnah dapat diuraikan sebagai berikut.
Sebagaimana telah dijelaskan, ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang
hukum sebagian besar bersifat umum dan mengatur hal-hal yang pokok dan
mendasar. Al-Qur’an yang mendasar dan pokok itu pun memerlukan penjelasan
yang lebih lanjut untuk dilaksanakan. Pejelasan itu didapat di dalam sunnah.
Sunnah yang menerangkan, wajib diikuti, karena bersumber dari Rasul.
Adapun sunnah itu dinishabkan kepada Al-Qur’an. Dan dari segi hujah, maka
orang harus kembali kepada Al-Qur’an, untuk mengambil kesimpulan hukum
syryri’. Sebab para mujtahid belum akan kembali kepada sunnah untuk membahas
suatu peristiwa, kecuali bila tidak terdapat dalam Al-Qur’an hukum-hukum yang
dibutuhkan itu. Karena Al-Qur’an itulah sumber tasyri’ dan menjadi sumber
8 Syekh Abdul Wahab Khallaf, Op.Cit, hal 49

pengembilannya yang pertama. Apabila tidak terdapat nash hukumnya dalam AlQur’an maka baru orang kembali kepada sunnah.
Sunnah menduduki posisi kedua sebagai sumber dan dalil hukum Islam,
setelah Al-Qur’an sebagai sumber dan dalil hukum Islam yang pertama. Secara
lebih terperinci dapat disebutkan, fungsi sunnah sebagai penjelas (al bayan)
terhadap Al-Qur’an terdiri sebagai berikut.
1) Menjelaskan maksud ayat-ayat hukum al-qur’an
Penjelasan sunnah terdapat maksud Al-Qur’an dapat pula lebih diperinci
sebagai berikut.
a) Memerinci ketentuan-ketentuan hukum Al-Qur’an yang disebutkan secara
garis besar
b) Menerangkan kata-kata yang maknanya belum spesifik dalam Al-Qur’an.
2) Mentakhshish ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum
3) Mengukuhkan dan mempertegas kembali ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam Al-Qur’an
4) Menetapkan hukum baru yang menurut zhahirnya tidak terdapat dalam AlQur’an
3. Ijma’
a. Pengertian Ijma’
Ijma’ menurut istilah ushul ialah sepakat para mujtahid muslim memutuskan
suatu masalah sesudah wafat Rasulullah terhadap hukum syar’i, pada suatu
peristiwa. Apabila terjadi suatu peristiwa, maka peristiwa itu dikemukan kepada
semua orang Mujtahid diwaktu terjadinya.9 Para Mujtahid itu sepakat
memutuskan/ menentukan hukumnya. Kesepakatan mereka itu dinamakan ikma’.
Ijma’ mereka itu adalah suatu I’tibar terhadap suatu hukum. Menurut mereka
hukum itu adalah adil terhadap suatu masalah. Defenisi ini adanya yaitu setelah
wafatnya Nabi SAW. Karena selagi Rasul masih hidup, maka dia sendiri yang
menjadi sumber tasyri’.
Ijma’ mengandung beberapa unsur sebagai berikut:
a. Adanya kesepakatan seluruh mujtahid dari kalangan umat Islam (ulama).
Apabila ada ulama yang menolak kesepakatan tersebut, maka kesepakatan dari
yang lainnya tidak dapat disebut ijma’. Berdasarkan unsur yang pertama ini dapat
pula diketahui, ulama yang melakukan kesepakatan tersebut harus dari seluruh
9 Ibid, hal 49

ulama yang ada, tanpa pembatasan wilayah atau Negara, dan / golongan tertentu.
Karena itu, jika ada ulama dari golongan atau Negara tertentu yang tidak sepakat,
maka ijma’ tidak terwujud.
b. Suatu kesepakatan yang dilakukan haruslah dinyatakan jelas. Berdasarkan unsur
ini, jika ada ulama mujtahid yang diam-diam berbeda pendapat dengan para
ulama mujtahid lainnya. Ijma’ juga tidak terwujud.
c. Yang melakukan kesepakatan tersebut adalah mujtahid
d. Kesepakatan tersebut terjadi setelah wafatnya Rasulullah.
e. Yang disepakati ini adalah hukum syara’ mengenai suatu masalah/ peristiwa
hukum tertentu.
b. Kedudukan Ijma’ sebagai Hujjah
Jumhur ulama berpendapat, ijma’ merupakan hujjah bersifat qath’I (pasti).
Artinya ijma’ merupakan dasar penetapan hukum yang bersifat mengikat dan
wajib dipatuhi dan diamalkan. Itulah sebabnya, jumhur ulama menempatkan ijma’
sebagai sumber dan dalil hukum yang ketiga setelah Al-Qur’an dan sunnah.
Menurut jumhur ulama. Dalil ijma’ sebagai hujja yang pasti, didasarkan atas alas
an-alasan sebagai berikut.
Al-Qur’an surah an-Nisa’ (4): 115

‫سو و‬
‫من ي ه و‬
‫ع غ ويصور‬
‫ه ٱلصههد وىل ووي وت نب ه ص‬
‫ل ه‬
‫ق ٱلنر ه‬
‫ن لو ه‬
‫منن ب وعصد ه و‬
‫وو و‬
‫ما ت وب وي ن و‬
‫شاقه ه‬
‫ن‬
‫سههاوءتص‬
‫ى وون ه ۦۦل هصصهه‬
‫مههؤص ه‬
‫ۦۦۦۦ و‬
‫جهون نهه همه وو و‬
‫و‬
‫ن ن هههوول لههۦ و‬
‫ل ٱلص ه‬
‫مهني و‬
‫سهبي ه‬
‫مهها ت وههوول ل‬
١١٥ ‫صيلرا‬
‫م ه‬
‫و‬
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa
terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam
Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali
Jumhur ulama berpendapat, ancaman siksa yang terdapat pada ayat di atas,
ditunjukkan kepada orang yang menentang Rasulullah dan tidak mengikuti jalan
orang mukmin. Ancam siksa hanya ditujukan kepada orang yang melakukan yang
haram atau meninggalkan wajib. Dalam hal itu, ijma’ adalah mengikuti jalan

orang-orang mukmin. Karena meninggalkan perbuatan mengikuti jalan orangorang mukmin adalah haram, maka mengikuti jalan orang-orang mukmin adalah
wajib. Dengan demikian, mengikuti ijma’ adalah wajib.
Firman Allah pada surah al-baqarah (2): 143:

‫ك جعلصنك همص أ ه‬
‫داوء ع ول و‬
‫كون هههوا ا‬
‫طا ل ل‬
‫س ظ‬
‫ه‬
‫ه‬
‫س‬
‫هها‬
‫ن‬
‫ل‬
‫ٱ‬
‫ههى‬
‫ه‬
‫هه‬
‫ش‬
‫ت‬
‫و‬
‫ة‬
‫م‬
‫ظ‬
‫ن‬
‫و‬
‫ووك وذ لول ه و و و لو‬
‫و‬
‫و‬
‫ن‬
‫و‬
‫و‬
‫ه‬
‫ة ٱل نهتي ه‬
‫ووي و ه‬
‫سو ه‬
‫ل ع ول ويصك همص و‬
‫ت‬
‫قبصل و و‬
‫جعولصونا ٱلص ه‬
‫ما و‬
‫كو و‬
‫ن ٱلنر ه‬
‫كن و‬
‫شههيد ظاا وو و‬
‫و‬
‫سو و‬
‫قب وي ر ءصه‬
‫من وين و‬
‫ى عو ه‬
‫ل ه‬
‫قل ه ه‬
‫من ي وت نب هعه ٱلنر ه‬
‫م ن‬
‫م و‬
‫ع ول ويصوها إ هنل ل هن وعصل و و‬
‫ب ع ول ل‬
‫ووهإن و‬
‫ه‬
‫كان وتص ل وك وهبيورة ل إ هنل ع وولى ٱل ن ه‬
‫ما ك وهها و‬
‫ن هو و‬
‫ن ٱلل نهه ه‬
‫دى ٱلل ن هها وو و‬
‫ذي و‬
١٤٣ ‫حيرم‬
‫س ل وورهءورف نر ه‬
‫ل هي ه ه‬
‫من وك همصء إ ه ن‬
‫ن ٱلل ن و‬
‫ضيعو هإي ول‬
‫ه ب هٱلننا ه‬
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil
dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui
(supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan
sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang
yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan
imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia
Kata al-watsh (pertengahan) pada ayat di atas mengandung arti adil dapat
terpilih. Sedangkan kesepakatan yang lahir dari umat yang adil dan terpilih adalah
al-haaq (kebenaran). Karena ijma’ lahir dari umat Islam yang adil dan terpilih,
maka yang sesuatu yang dihasilkan ijma’ adalah kebenaran.

c. Pembagian Ijma’ dari Segi Pembentukannya
1) Ijma’ Sharih

Ialah adanya kesepakatan pendapat para mujtahid, dimana kesepakatan
tersebut dinyatakan dalam bentuk pernyataan lisan atau perbuatan, mengenai
hukum dari suatu masalah tertentu. Ijma’ dalam bentuk pertama ini dapat
terjadi, dengan cara berkumpulnya seluruh ulama mujtahid dalam suatu
tempat, kemudian masing-masing mereka menyatakan pendapat mengenai
suatu masalah tertentu, dimana pendapat mereka itu ternyata sama.
2) Ijma’ Sukuti
Ialah adanya sebagian ulama yang menyatakan pendapat mereka
mengenai suatu masalah tertentu dan waktu tertentu pula, sementara sebagian
ulama lainnya, setelah mengetahui pendapat ulama tersebut, mengembil sikap
dan tidak menyatakan penolakan atas pendapat tersebut.
Para ulama sepakat bahwa bentuk ijma’ yang pertama, yaitu ijma’
sharih sebagai ijma’ dan merupakan hujjah. Tetapi mereka berbeda pendapat
mengenai ijma’ bentuk kedua

atau ijma’ sukuti. Mazhab asy-syafi’i dan

Malikiyyah berpendapat ijma’ sukuti bukanlah ijma’ dan tidak dapat menjadi
hujjah. Sementara mayoritas ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad berpendapat
ijma’ sukuti merupakan ijma’ dan menjadi hujjah.
Dalam hal itu untuk menerima ijma’ sukuti sebagai ijma’ yang menjadi
hujjah. Hanafiyah dan Malikiyyah mengemukakan 5 syarat sebagai berikut.
 Diamnya para ulama itu tidak diiringi dengan tanda-tanda tidak setuju atau


setuju.
Pendapat yang berkaitan dengan masalah yang menjadi objek ijma’



tersebar sedemikian rupa, sehingga siketehui oleh ulama mujtahid.
Terdapat waktu yang cukup bagi ulama yang diam itu untuk melakukan



penelitian dan pembahasan terhadap masalah tersebut
Masalah yang menjadi objek ijma’ adalah masalah yang bersifat



ijtihadiyyah.
Tidak terdapat halangan atau tekanan dan ancaman bagi mereka yang

diam untuk menyatakan pendapat mereka secara bebas.
d. Mustanad (Sandaran) Ijma’
Adapun yang dimaksud dengan mustanad ijma’ ialah, dalil yang dijadikan
pegangan oleh mujtahid yang melakukan kesepakatan hukum dari suatu masalah
tertentu. Para ulama berbeda pendapat tentang kemestian adanya mustanad dalam
setiap kesepakatan hukum yang terjadi, menjadi dua kelompok sebagai berikut.

Pertama, jumhur ulama berpendapat, setiap ijma’ harus memiliki
mustanad, baik berupa dalil nashsh Al-Qur’an maupun sunnah, ataupun khabar
ahad maupun qiyas. Setiap fatwa hukum, yang kemudian menjadi ijma’ yang
tidak memiliki mustanad adalah salah, karena hal itu berarti menetapkan hukum
agama tanpa dasar. Allah berfirman pada surah al-Isra’ (17): 36

‫س لو و‬
‫فهه و‬
‫صههور ووٱلص ه‬
‫ك ب هههۦ ه‬
‫ووول ت وقص ه‬
‫ؤاد و‬
‫علصمءم إ ه ن‬
‫ن ٱل ن‬
‫ف و‬
‫سمصعو ووٱلصب و و‬
‫ما ل ويص و‬
‫ك و‬
‫ل أ هوال ولئ ه و‬
‫كه ي‬
٣٦ ‫مسص‍ه‍وظل‬
‫كا و‬
‫ه و‬
‫ن ع ونص ه‬
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan diminta pertanggungan jawabnya
Contoh ijma’ yang mustanad-nya adalah dalil nashsh ialah, terjadinya
ijma’ terhadap ketentuan haramnya menikahi nenek dan cucu. Mustanad ijma’
atas ketentuan tersebut adalah firman Allah pada surah an Nisa (4): 23

‫ه‬
‫مهولت هك همص ووب وونات هك ه صم‬
‫م ص‬
‫ه‬
‫ت ع ول ويصك همص أ ن‬
‫حلر و‬

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan
Para ulama telah melakukan ijma’ bahwa yang dimaksud dengan umahat
dalam ayat di atas mencakup pengertian nenek dan seterusnya dalam garis lurus
ke atas. Sedangkan kata banat dalam ayat di atas, mencakup pengertian cucu dan

seterusnya dalam garis lurus ke bawah.
Adapun contoh ijma’ yang mustanadnya adalah sunnah ialah, dalam
masalah warisan. Nenek mendapat bagian seperenam dari harta warisan cucunya,
menempati kedudukan bagian ibu, jika ibu telah lebih dahulu meninggal dunia.
Hal ini didasarkan atas sebuah hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah
memberikan bagian warisan perenam kepada nenek.

‫هحهدث ههنا اببهن هأبي عمر قال جاءت الجدة أم الم وأم الب إلى أبي بكر‬
‫فقالت إن ابن ابني أو ابن بنتي مات وقد أخبرت أن لي في كتاب‬
‫الله حقا فقال أبو بكر ما أجد لك في الكتاب من حق وما سمعت‬
‫رسول الله صلى الله عليه وسلم قضى لك بشيء وسأل سأل الناس‬
‫قال فسأل االناس فشهد المغيرة بن شعبة أن رسول الله صلى الله‬

‫عليه وسلم أعطا ها السدس قال ومن سمع ذلك معك قال محمد بن‬
‫مسلمة قال فأعطاها السدس‬

Menceritakan kepada kami Ibnu Abi Umar, ia berkata: “Datang seorang
nenek (dari pihak ibu dan dari pihak ayah seseorang) kepada Abu Bakar dan
berkata: “ cucu saya telah wafat, da nada orang yang menjelaskan kepada saya

bahwa saya berhak mendapatkan warisan menurut ketentuan Al-Qur’an “Abu
bakar berkata: “saya tidak menumukan hak Anda, baik menurut Al-Qur’an
maupun yang dengar dari Rasulullah yang menetapkan hak itu, tapi saya akan
menanyakan kepada sahabat yang lain. Ia pun menenyakan hal itu kepada
masyarakat. Al Mughirah bin asy syu’bah kemudian bersaksi bahwa Rasulullah
memberikan bagian nenek seperenam. Abu Bakar bertanya “ siapa yang
mengetahui hal itu selain Anda?” Al Mughirah menjawab: Muhammad bin
Maslamah “ kata Ibnu Abi Umar: “Maka Abu Bakar memberikan seperenam
kepada nenenk tersebut.”
Sedangkan contoh ijma’ yang mustanadnya qiyas ialah, haramnya lemak
babi, karena diqiyaskan kepada dagingnya, berdasarkan firman Allah pada surah
al Maidah (5):3

‫ما أ هه ه ن‬
‫ل ل هغويصره ٱلل نهه ب هههۦ‬
‫م ص‬
‫م ٱلص ه‬
‫ميصت و ه‬
‫ه‬
‫ة ووٱلد ن ه‬
‫زيره وو و‬
‫م وول وحص ه‬
‫م ٱلص و‬
‫ت ع ول ويصك ه ه‬
‫حلر و‬
‫خن ه‬
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan)
yang disembelih atas nama selain Allah
Kedua kelompok yang berpendapat, untuk terjadinya ijma’, tidak
dipersyaratkan adanya musnad. Ijma’ dapat saja terjadi meskipun tanpa mustanad,
asalkan terdapat kesepakatan pada umat Islam, dimana hal itu terjadi melalui
ilham yang diilhamkan Allah kepada mereka yang melakukan kesepakatan untuk
menemukan kebenaran.
Dikalangan jumhur ulama yang berpendapat bahwa mustanad ijma’
merupakan kemestian, terjadi perbedaan pendapat tentang dalil-dalil yang dapat
menjadi mustanad ijma’. Mayoritas mereka mengatakan, dalil tersebut dapat
berupa dalil qath’i yang berupa Al-Qur’an dan sunnah mutawatirah, tetapi dapat

juga berupa dalil zhanni, dalam bentuk hadis ahad maupun qiyas. Sementara itu,
sebagian ulama lain berpendapat mustanad ijma’ hanya dapat diakui apabila
berupa dalil yang besifat qath’i. Dengan demikian, hadia ahad dan qiyas tidak
dapat menjadi mustanad ijma’.
4. Qiyas
a. Pengertian qiyas
Qiyas secara etimologi berarti mengukur suatu atas sesuatu yang lain, dan
kemudian menyamakan antara keduanya. Menurut ulama ushul fiqih, qiyas adalah
mempersamakan suatu hukum, suatu peristiwa yang tidak ada nashnya dengan
hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnyalantaran ada persamaan illat
hukumnya dari kedua peristiwa.10
b. Unsur-Unsur Qiyas11
1) Al-Ashl (Dasar/Pokok)
Adapun yang dimaksud dengan al-ashl ialah sesuatu yang telah ditetapkan
hukumnya berdasarkan nashsh, baik nashsh tersebut berupa Al-Qur’an
maupun sunnah.
Mengenai unsur pertama ini, beberapa ulama menetapkan pula beberapa
persyaratan sebagai berikut.
 Al-ashl tidak mansukh,. Artinya, hukum syara’ yang akan menjadi sumber
pengqiyasan itu masih berlaku pada masa hidup Rasulullah. Apabila telah



dihapuskan ketentuan hukumnya, maka ia tidak dapat menjadi al-ashl.
Hukum syara’
Bukan hukum yang dikecualikan.
Sebagai contoh dari unsur pertama ini ialah, haramnya khamr. Khamr
diharamkan berdasarkan firman Allah. Sebagaimana terdapat dalam surah
al-Maidah (5): 90:

‫و‬
‫و‬
‫ب‬
‫مهها ٱلص و‬
‫ميص ه‬
‫ي ولأي يوها ٱل ن ه‬
‫صهها ه‬
‫خ ۦۦ همصر ٱووۦۦۦلص و‬
‫من هووا ا إ هن ن و‬
‫ن وءا و‬
‫سهههر ووٱلصأن و‬
‫ذي و‬
‫وٱلصأ و‬
‫شهيصط لو‬
‫ل‬
‫و‬
‫ن فو ٱجصت ون ههبوه ه ل وعول ن ه‬
‫ن‬
‫كهمص‬
‫ل‬
‫ٱ‬
‫ل‬
‫مه‬
‫ع‬
‫ن‬
‫ص‬
‫مه‬
‫سۦۦۦ‬
‫ج‬
‫ص‬
‫ۦۦ‬
‫ر‬
‫م‬
‫ل‬
‫ز‬
‫ص‬
‫و‬
‫و‬
‫ل‬
‫ه‬
‫ه‬
‫و‬
‫ه‬
‫ه ر‬
٩٠ ‫ن‬
‫حو و‬
‫ت هفصل ه ه‬
10Abdul wahab khallaf, Ushul Fiqh, (Bandung: Balai pustaka, 1996), hal 92-93
11 Abd.Rahman Dahlan, Op.Cit, 162-165

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan
Berdasarkan persyaratan unsur pertama di atas, kita dapat berkata,
keharaman khamr dapat menjadi al-ashl untuk menetapkan hukum haram
minuman memebukan lainnya, sebab syarat-syarat al-ashl terpenuhi, dimana
ketentuan haramnya khamr adalah berdasarkan nashsh Al-Qur’an, tidak
mansukh, ayat tersebut jelas berbicara hukum syara’ dan tidak termasuk
hukum yang dikecualikan.
2) Al-Far’u
Adapun yang dimaksud dengan far’u ialah, masalah yang hendak di
qiyaskan yang tidak ada ketentuan nash yang menetapkan hukumnya. Para
ulama menyebutkan beberapa syarat sebagai berikut
 Sebelum diqiyaskan tidak pernah ada nashsh lain yang menetukan


hukumnya.
Adanya kesamaan antara ‘illah yang terdapat dalam al-ashl dan yang




terdapat dalam far’u
Tidak terdapat dalil qath’I yang kandungannya berlawan dengan al-far’u
Hukum yang terdapat dalam al-ashl bersifat sama dengan hukum yang
terdapat dalam al far’u.

3) Hukum Ashl
Adapun yang dimaksud dengan hukum ashl ialah, hukum yang
terdapat dalam masalah yang ketentuan hukumnya itu ditetapkan oleh nash
tertentu, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah. Terhadap unsur ketiga ini, para
ulama mengatakan, syarat-syaratnya ialah sebagai berikut.
 Hukum tersebut adalah syara’
 ‘illat hukum tersebut dapat ditemukan; bukan hukum yang tidak dapat


dipahami ‘illah-nya.
Hukum ashl tidak termasuk dalam kelompok yang menjadi khushushiyyah



Rasulullah
Hukum ashl tetap berlaku setelah wafatnya Rasulullah; bukan ketentuan

hukum yang sudah dibatalkan (mansukh)
4) ‘illat

‘illat ialah siafat ayng terdapat pada ashl (poko) yang menjadi dasar dari
pada hukumnya, dan denagn sifat tersebut dapat diketahui adanya hukuman
pada far’u (cabangnya). Sedangkan menurut para ahli ilmu ushul fiqh dengan
perkataan mereka :‘illat ialah sesuatu yang memberitahukan adanya hukum.12
Sedangakan pengertian ‘illat pada buku Abd Rahman Dahlah, ‘illat ialah,
suatu sifat yang nyata dan berlaku setiap kali suatu peristiwa terjadi, dan
sejalan dengan tujuan penetapan hukum dari suatu peristiwa hukum.
Sebagaimana diketahui berdasarkan penelitian yang mendalam,, bahwa tujuan
Allah dalam menetapkan setiap hukum adalah mewujudkan kemaslahatan
bagi hamba-hambaNya, yaitu dengan meraih manfaat dan menghindarkan
bahaya dan kemudaratan bagi hamba. Para ulama menetapkan beberapa syarat
terhadap suatu ‘illat hukum, agar dipandang sah sebagai ‘illat, yaitu sebagai
berikut.
 Zhahir, yaitu ‘illat mestilah suatu sifat yang jelas dan nyata.
 ‘illat harus mengandung hikmah yang sesuai dengan kaitan hukum dan


tujuan hukum.
Mundhabithah, yaitu ‘illat mestilah sesuatu yang dapat di ukur dan jelas



batasnya.
Mula’im wa munasib, yaitu suatu ‘illat harus memiliki kelayakan dan
memiliki hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat yang dipandang



sebagai’illat
Muta’diyyah, yaitu suatu sifat yang terdapat bukan hanya pada peristiwa
yang ada nashsh hukumnya, tetapi juga terdapat pada peristiwa-peristiwa
lain yang hendak ditetapkan hukumnya.

c. Landasan Qiyas Sebagai Dalil Hukum
Kedudukan qiyas sebagai dalil penetapan hukum dipahami jumhur ulama
dari beberapa nash Al-Qur’an dan sunnah serta atsar ash shahabi, sebagai berikut.
1) Dalil dari Al-Qur’an
Firman Allah pada surah an-Nisa’ (4): 59

‫و‬
‫و‬
‫و‬
‫سههو و‬
‫ل ووأ هوال هههي‬
‫ه ووأ ه‬
‫من هووا ا أ ه‬
‫ي ولأي يوها ٱل ن ه‬
‫طيعهههوا ا ٱلنر ه‬
‫طيهعوا ا ٱلل ن و‬
‫ن وءا و‬
‫ذي و‬
‫و‬
‫منك هههمصهۦۦۦ فوهههإن ت ون لووزعصت هههمص فهههي و‬
‫شههيصءء فوهههريدوه ه إ هل وههى ٱلل نهههه‬
‫ٱلصأ ۦۦمصره ه‬
12 Abdul wahhab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( Semarang, Dina Utama, 2008), hal.101

‫و‬
‫ل هإن ه‬
‫خهه ررء ذ لول ههه و‬
‫خۦۦيصررۦۦ‬
‫ك و‬
‫ن ب هههٱلل نهه ووٱلصي وههوصم ه ٱلصأ ه‬
‫كنت همص ت هؤص ه‬
‫من هههو و‬
‫ووٱلنر ه‬
‫سو ه‬
‫و‬
٥٩ ‫ن ت وأصهويلل‬
‫ووأحص و‬
‫س ه‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Melalui ayat diatas Allah memerintahkan, jika terjadi perbedaan pendapat
tentang

suatu

masalah

di

antara

kaum

muslimin,

agar

mencari

penyelesaiannya dengan merujukkannya kepada Allah (Al-Qur’an) dan
Rasulullah (sunnah). Cara merujukkannya kepada Al-Qur’an dan sunnah
adalah melalui metode qiyas.
2) Dalil dari Sunnah
Adapun dalil penggunaan qiyas yang berasal dari sunnah, antara lain, sebagai
berikut.
Hadis yang diriwayatkan oleh al Bukhari

‫عن ابن عباس أن امرأة جاءت الى النبي صلى الله عليه وسلم‬
‫ققالت إنه كان على امها صوم شهر أفأقضية عنها فقال لو كان‬
‫على أمك دين أكنت قاضيته قالت نعم قال فدين الله أحق أن‬
‫يقض‬

Dari Ibnu Abbas bahawa seorang wanita menghadap Rasulullah saw dan
bertanya tentang kewajiban puasa ibunya selama sebulan yang belum
ditunaikan ibunya itu: “Apakah saya dapat melaksanakannya atas namanya?
Maka Rasulullah balik bertanya: jika ibumu mempunyai utang, apakah anda
akan membayarnya?”wanita itu menjawab: “Benar” Rasulullah bersabda: “
Utang kepada Allah lebih berhak untuk dilunasi.
Hadis di atas menggambarkan bahwa Rasulullah saw sendiri menjawab
pertanyaan dengan cara mengqiyaskan antara hutang kepada sesama manusia

dan hutang kepada Allah. Karena itu, qiyas merupakan salah satu institusi
yang legal dalam menetapkan hukum Islam.
3) Dalil dari Atsar ash-Shahabi
Adapun menganai dalil qiyas yang berasal dari atsar ash-shahabi, antara lain,
ialah sebagai berikut.
 Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah pertama dalam Islam
 Surat Umar kepada Abu Musa
4) Dalil dari logika
Adapun dalil qiyas yang berasal dari logika , setidaknya dapat diuraikan
dari dua sisi sebagai berikut.
Pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang ditetapkan Allah selalu
rasional. Dapat dipahami tujuannya, dan didasarkan pada ‘illat untuk
mencapai kemaslahatan. Tiada ada satu hukum pun di dalam Islam yang tidak
terdapat kemaslahatan manusia di dalamnya, baik kemaslahatan di dunia
maupun akhirat. Sebab kemaslahatan manusialah yang menjadi tujuan akhir
dari setiap ketentuan hukum Islam.
Kedua, Imam asy-syafi’i, sebagai orang pertama yang secara sistematis
menguraikan kedudukan qiyas sebagai dalil hukum, menegaskan bahwa di
dalam Islam, semau peristiwa ada hukumnya. Sebab syariat Islam bersifat
umum, mencakup dan mengatur semua peristiwa hukum, baik peristiwa itu
bersifat baik maupun buruk, yang dilarang maupun yang dibolehkan. Oleh
karena itu pastilah Allah telah menyediakan aturan hukumny, baik dalam
bentu nash ataupun isyarat, ataupun melalui pemahaman yang menunjukan
hukum suatu peristiwa tersebut. Menemukan hukum melalaui nash adalah
jelas. Sedangkan menemukan ketentuan hukum melalui penunjuk hukum
adalah

melaui

ijtihad,

penggalian

hukum,

maupun

melalui

menghubungkan dan menyamakan hukum yang memiliki kesamaan ‘illat.

cara